Anda di halaman 1dari 9

RANGKUMAN “SURVEI TRIANGULASI”

KERANGKA KONTROL GEODESI


GDA-310

Tanggal Penyerahan: 28 Februari 2018

Disusun oleh:

Nama : Rifqi Oktavianto


NRP : 23 - 2017 - 089
Kelas :D

Dosen : Prof. Dr-ing. Sjamsir Mira

JURUSAN TEKNIK GEODESI


PROGRAM STUDI TEKNIK GEOMATIKA
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL
BANDUNG
2018
“SURVEI TRIANGULASI”

SEJARAH SURVEI TRIANGULASI DI INDONESIA


Berdasarkan kutipan dari Buku “Survei dan Pemetaan Nusantara” yang diterbitkan oleh
Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL, sekarang Badan
Informasi Geospasial atau BIG) tahun 2009 menuliskan mengenai sejarah Survei Triangulasi
pada masa prakemerdekaan Republik Indonesia sebagai berikut:
Catatan sejarah di Nusantara menyebutkan survei triangulasi mulai dilakukan Kolonial
Hindia Belanda pada tahun 1862 untuk menyediakan Kerangka Kontrol Horizontal yang
disebut sebagai titik kontrol triangulasi. Fokus kegiatan mereka paling awal diarahkan ke Pulau
Jawa, yang ketika itu menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan.
Dengan menggunakan teodolit mereka melakukan serangkaian survei triangulasi dan
survei geodesi secara terestrial.
Survei Triangulasi adalah proses pencarian koordinat dan jarak sebuah titik dengan
mengukur sudut antara titik tersebut dan dua titik referensi lainnya yang sudah diketahui posisi
dan jarak antara keduanya. Koordinat dan jarak ditentukan dengan menggunakan hukum sinus.
Hasil pengukuran triangulasi pada awalnya digunakan untuk keperluan pemetaan
wilayah dan navigasi, dalam perkembangannya kemudian dikembangkan untuk berbagai
keperluan seperti metrologi, astrometri, pembentukan citra pada binokular dan pembidikan
senjata artileri.
Dalam proyek pembuatan Kerangka Kontrol Triangulasi, Pemerintah Hindia Belanda
ketika itu telah membangun pilar kontrol geodesi (pilar triangulasi) menggunakan metoda
pengukuran terestrial, dan survei triangulasi.
Survei triangulasi di Pulau Jawa dan Pulau Madura yang dipimpin oleh Dr Oudemans,
dimulai pada tahun 1862. Proyek itu dilaksanakan selama 18 tahun, hingga selesai pada tahun
1880. Sebelum melaksanakan proyek itu ia perlu meyakinkan pemerintah ketika itu tentang
perlunya triangulasi untuk mendapatkan pemetaan yang sistematis, sekaligus dapat
dimanfaatkan untuk keperluan ilmiah dalam menentukan dimensi bumi.

2
Gambar 1. Tugu Triangulasi pada masa Pemerintahan Hindia Belanda
di Kantor Direktorat Topografi TNI AD di Bandung
(sumber: BAKOSURTANAL, 2009)

Gambar 2. Informasi pada tugu Triangulasi


(sumber: BAKOSURTANAL, 2009)

Untuk melaksanakan survei tersebut, ditetapkan titik awal lintang dan azimuth di
Gunung Genuk sedangkan untuk garis bujur ditentukan di Batavia (Jakarta) sebagai meridian
nol.

Gambar 3. Transfer bujur dari meridian nol Batavia ke


titik awal lintang dan azimuth di Gunung Genuk (dekat Semarang)
(sumber: Adha, 2017)

3
Selama survei hampir dua dasawarsa itu, berhasil diperoleh jaring Triangulasi Pulau
Jawa dan Madura yang terdiri dari 137 titik primer, dan 723 titik sekunder. Perhitungan Jaring
Triangulasi di P. Jawa dan Madura dilakukan dengan menggunakan elipsoid referensi Bessel
1841.
Pengukuran Triangulasi di Pulau Sumatera dan pulau lainnya adalah kelanjutan dari
triangulasi di Pulau Jawa. Pengukuran tahap kedua ini dimulai pada tahun 1883 bersamaan
dengan dibentuknya Brigade Triangulasi, yang merupakan bagian dari Dinas Topografi Militer
Belanda, yang dipimpin oleh DR. J.J.A. Mueller. Jaring Triangulasi yang dihasilkan terdiri dari
Titik Primer 144 buah, Titik Sekunder 161 buah, dan Titik Tersier 2659 buah.
Tiga dasawarsa kemudian yaitu pada tahun 1913 dilaksanakan pengukuran triangulasi di
seluruh kepulauan Indonesia. Kegiatan ini dilaksanakan Brigade Triangulasi di bawah
pimpinan Prof. Ir. J.H.G. Schepers.
Hasilnya berupa Jaring Triangulasi Pulau Sulawesi terdiri dari : Titik Primer 74 buah,
Titik Sekunder 92 buah, dan Titik Tersier 1081 buah. Titik awal lintang dan azimuth triangulasi
ditentukan di Gunung Moncong Lowe dan bujurnya di Makassar sebagaimeridian nol.
Selama masa pemerintahan Kolonial Belanda sejarah Jaring Kerangka Geodetik di
Indonesia memang cukup panjang. Dengan menggunakan Astronomi Geodesi, masingmasing
daerah memiliki datum, yakni:
1. Pulau Jawa (1862-1880), berdasarkan datum G.Genuk
2. Pantai Barat Sumatera (1883-1896), berdasarkan datum Padang
3. Sumatera Selatan (1893-1909), berdasarkan datum G.Dempo
4. Pantai Timur Sumatera (1908-1916), berdasarkan datum Serati
5. Kep.Sunda Kecil, Bali, Lombok (1912-1918), berdasarkan G.Genuk
6. Pulau Bangka (1917), berdasarkan G.Limpuh
7. Sulawesi (19-09-1916) berdasarkan datum Moncong Lowe
8. Kep.Riau - Lingga (1935) berdasarkan G.Limpuh
9. Aceh (1931), berdasarkan datum Padang
10. Kalimantan Tenggara (1933-1936), berdasarkan G.Segara.
Peta-peta topografi di jaman tersebut menggunakan sistem proyeksi Polyeder, sedangkan
hitungan triangulasi menggunakan sistem proyeksi koordinat Mercator.
Terlepas dari kesalahan pengukuran dan perhitungan, koordinat satu titik yang dihitung
dari titik kontrol pada datum yang berbeda akan menghasilkan koordinat yang berbeda. Intinya,
suatu titik kontrol harus berada pada datum yang sama dan dapat dilakukan transformasi
koordinat.

4
Pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia berdasarkan catatan
BAKOSURTANAL kegiatan Survei Triangulasi dilaksanakan sebagai berikut:
Pengukuran atau penetapan satu titik kontrol geodetik dengan metode pemotongan ke
belakang juga mulai diajarkan pada mahasiswa geodesi ITB angkatan pertama kala itu.
Selain menggunakan teodolit T2 dan peta topografi buatan tahun 1936, survei ini
menggunakan sarana heliotrop yaitu suatu cermin di atas statip yang dapat mengarahkan
pantulan sinar matahari ke arah objek yang diinginkan. Pantulannya dapat dilihat oleh
pengukur dari jarak 60 km.
Karena medan yang luas, kegiatan survei pemetaan biasanya melibatkan pembantu ukur
untuk menangani heliotrop, yang biasa disebut “mantri kaca”.
Ujicoba survei pencarian titik kontrol geodetik pernah dilakukan mahasiswa ITB pada
tahun 1954 di Pantai Kali Bodri, Semarang untuk mencari posisi yang stabil di desa dekat
muara Kali Bodri, yang memungkinkan melihat dua bukit yang akan dipasangi heliotrop.

Gambar 4. Pelaksanaan Survei Triangulasi


(sumber: BAKOSURTANAL, 2009)

Pada pengukuran itu harus teramati tiga titik tetap di bukit-buklit sebelah utara
pegunungan Dieng. Sebelum pengamatan dengan heliotrop pada posisi tersebut harus dibangun
pilar orde-orde.
Pengukuran dengan sistem triangulasi kini mulai ditinggalkan dengan adanya sistem
penentuan posisi dengan satelit GPS (Global Positioning System). Sarana transportasi yang
digunakan pun sudah beragam.
5
KONSEP SURVEI TRIANGULASI
Pada dasarnya pengukuran triangulasi dilakukan dengan pengukuran sudut yang
membentuk geometri segitiga dimana setiap segitiga paling tidak memilki satu sisi common
side.

Gambar 5. Konsep triangulasi dengan satu common side yaitu d12


(sumber: Rudianto, 2016)

Dengan menggunakan data ukuran utama berupa sudut horisontal dan data ukurang
pelengkap yaitu:
1. jarak horisontal salah satu sisi,
2. azimuth salah satu sisi, dan
3. koordinat salah satu sisi
maka posisi dari setiap titik Triangulasi pada geometri segitiga dapat ditentukan dengan
persamaan sinus yang rumusnya sebagai berikut:
𝑑12 𝑑23 𝑑13
= =
sin 𝜃3 sin 𝜃1 sin 𝜃2
Selain dilakukan perhitungan kesalahan dan toleransi, pada pengukuran triangulasi ini
juga perlu dilakukan perhitungan perataan jaring triangulasi dengan metode least quares untuk
memberikan koreksi dan meminimalkan kesalahan pada pengukuran.
Dalam perkembangannya metode dibuat dengan membentuk jaring berupa segitiga-
segitiga yang saling berurutan seperti yang terlihat pada gambar berikut:

Gambar 6. Jaring Triangulasi


(sumber: B.M.S Institute of Technology, 2016)

6
Adapun tujuan Survei Triangulasi yaitu:
1. Untuk menentukan/membangun Jaring Kontrol Geodesi yang akurat dalam kegiatan
Ukur Tanah, survei Geodetik, maupun survei Fotogrametri.
2. Untuk mendefinisikan bentuk dan ukuran bumi dengan pengukuran lintang, bujur, dan
gaya beratnya.
3. Untuk menentukan lokasi titik yang akurat guna kegiatan rekayasa (engineering).

Sementara klasifikasi titik Triangulasi berdasarkan ordenya yaitu:


1. Primer (first order), untuk mendefinisikan bentuk dan ukuran Bumi dan meliputi wilayah
yang luas seperti negara.
2. Sekunder (second order), jaringan dalam orde primer, untuk wilayah provinsi.
3. Tersier (tertiary order), jaringan dalam orde sekunder, untuk rekayasa detil (detailed
engineering) dan survei lokasi.

Dapat dirangkum dalam tabel berikut mengenai karakteristik dari setiap orde Triangulasi
(B.M.S Institute of Technology, 2016):

Sementara tahapan-tahapan yang dilakukan pada Survei Triangulasi yaitu (B.M.S


Institute of Technology, 2016):

7
JARING TRIANGULASI
Jenis jaring Triangulasi menurut B.M.S Institute of Technology (2016) yaitu:
1. Single chain of triangles

Gambar 7. Single chain of triangles


(sumber: B.M.S Institute of Technology, 2016)

2. Double chain of triangles

Gambar 8. Double chain of triangles


(sumber: B.M.S Institute of Technology, 2016)

3. Braced quadrilaterals

Gambar 9. Braced quadrilaterals


(sumber: B.M.S Institute of Technology, 2016)

8
4. Centered triangles and polygons

Gambar 10. Centered triangles and polygons


(sumber: B.M.S Institute of Technology, 2016)

5. A combination of above systems

DAFTAR PUSTAKA
B.M.S Institute of Technology. 2016. Geodetic Surveying and Theory of Errors. B.M.S
Institute of Technology: India.
Ikawati, Yuni dan Dwi Ratih Setiawati. 2009. SURVEI DAN PEMETAAN NUSANTARA.
BAKOSURTANAL: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai