Disusun oleh:
2
Gambar 1. Tugu Triangulasi pada masa Pemerintahan Hindia Belanda
di Kantor Direktorat Topografi TNI AD di Bandung
(sumber: BAKOSURTANAL, 2009)
Untuk melaksanakan survei tersebut, ditetapkan titik awal lintang dan azimuth di
Gunung Genuk sedangkan untuk garis bujur ditentukan di Batavia (Jakarta) sebagai meridian
nol.
3
Selama survei hampir dua dasawarsa itu, berhasil diperoleh jaring Triangulasi Pulau
Jawa dan Madura yang terdiri dari 137 titik primer, dan 723 titik sekunder. Perhitungan Jaring
Triangulasi di P. Jawa dan Madura dilakukan dengan menggunakan elipsoid referensi Bessel
1841.
Pengukuran Triangulasi di Pulau Sumatera dan pulau lainnya adalah kelanjutan dari
triangulasi di Pulau Jawa. Pengukuran tahap kedua ini dimulai pada tahun 1883 bersamaan
dengan dibentuknya Brigade Triangulasi, yang merupakan bagian dari Dinas Topografi Militer
Belanda, yang dipimpin oleh DR. J.J.A. Mueller. Jaring Triangulasi yang dihasilkan terdiri dari
Titik Primer 144 buah, Titik Sekunder 161 buah, dan Titik Tersier 2659 buah.
Tiga dasawarsa kemudian yaitu pada tahun 1913 dilaksanakan pengukuran triangulasi di
seluruh kepulauan Indonesia. Kegiatan ini dilaksanakan Brigade Triangulasi di bawah
pimpinan Prof. Ir. J.H.G. Schepers.
Hasilnya berupa Jaring Triangulasi Pulau Sulawesi terdiri dari : Titik Primer 74 buah,
Titik Sekunder 92 buah, dan Titik Tersier 1081 buah. Titik awal lintang dan azimuth triangulasi
ditentukan di Gunung Moncong Lowe dan bujurnya di Makassar sebagaimeridian nol.
Selama masa pemerintahan Kolonial Belanda sejarah Jaring Kerangka Geodetik di
Indonesia memang cukup panjang. Dengan menggunakan Astronomi Geodesi, masingmasing
daerah memiliki datum, yakni:
1. Pulau Jawa (1862-1880), berdasarkan datum G.Genuk
2. Pantai Barat Sumatera (1883-1896), berdasarkan datum Padang
3. Sumatera Selatan (1893-1909), berdasarkan datum G.Dempo
4. Pantai Timur Sumatera (1908-1916), berdasarkan datum Serati
5. Kep.Sunda Kecil, Bali, Lombok (1912-1918), berdasarkan G.Genuk
6. Pulau Bangka (1917), berdasarkan G.Limpuh
7. Sulawesi (19-09-1916) berdasarkan datum Moncong Lowe
8. Kep.Riau - Lingga (1935) berdasarkan G.Limpuh
9. Aceh (1931), berdasarkan datum Padang
10. Kalimantan Tenggara (1933-1936), berdasarkan G.Segara.
Peta-peta topografi di jaman tersebut menggunakan sistem proyeksi Polyeder, sedangkan
hitungan triangulasi menggunakan sistem proyeksi koordinat Mercator.
Terlepas dari kesalahan pengukuran dan perhitungan, koordinat satu titik yang dihitung
dari titik kontrol pada datum yang berbeda akan menghasilkan koordinat yang berbeda. Intinya,
suatu titik kontrol harus berada pada datum yang sama dan dapat dilakukan transformasi
koordinat.
4
Pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia berdasarkan catatan
BAKOSURTANAL kegiatan Survei Triangulasi dilaksanakan sebagai berikut:
Pengukuran atau penetapan satu titik kontrol geodetik dengan metode pemotongan ke
belakang juga mulai diajarkan pada mahasiswa geodesi ITB angkatan pertama kala itu.
Selain menggunakan teodolit T2 dan peta topografi buatan tahun 1936, survei ini
menggunakan sarana heliotrop yaitu suatu cermin di atas statip yang dapat mengarahkan
pantulan sinar matahari ke arah objek yang diinginkan. Pantulannya dapat dilihat oleh
pengukur dari jarak 60 km.
Karena medan yang luas, kegiatan survei pemetaan biasanya melibatkan pembantu ukur
untuk menangani heliotrop, yang biasa disebut “mantri kaca”.
Ujicoba survei pencarian titik kontrol geodetik pernah dilakukan mahasiswa ITB pada
tahun 1954 di Pantai Kali Bodri, Semarang untuk mencari posisi yang stabil di desa dekat
muara Kali Bodri, yang memungkinkan melihat dua bukit yang akan dipasangi heliotrop.
Pada pengukuran itu harus teramati tiga titik tetap di bukit-buklit sebelah utara
pegunungan Dieng. Sebelum pengamatan dengan heliotrop pada posisi tersebut harus dibangun
pilar orde-orde.
Pengukuran dengan sistem triangulasi kini mulai ditinggalkan dengan adanya sistem
penentuan posisi dengan satelit GPS (Global Positioning System). Sarana transportasi yang
digunakan pun sudah beragam.
5
KONSEP SURVEI TRIANGULASI
Pada dasarnya pengukuran triangulasi dilakukan dengan pengukuran sudut yang
membentuk geometri segitiga dimana setiap segitiga paling tidak memilki satu sisi common
side.
Dengan menggunakan data ukuran utama berupa sudut horisontal dan data ukurang
pelengkap yaitu:
1. jarak horisontal salah satu sisi,
2. azimuth salah satu sisi, dan
3. koordinat salah satu sisi
maka posisi dari setiap titik Triangulasi pada geometri segitiga dapat ditentukan dengan
persamaan sinus yang rumusnya sebagai berikut:
𝑑12 𝑑23 𝑑13
= =
sin 𝜃3 sin 𝜃1 sin 𝜃2
Selain dilakukan perhitungan kesalahan dan toleransi, pada pengukuran triangulasi ini
juga perlu dilakukan perhitungan perataan jaring triangulasi dengan metode least quares untuk
memberikan koreksi dan meminimalkan kesalahan pada pengukuran.
Dalam perkembangannya metode dibuat dengan membentuk jaring berupa segitiga-
segitiga yang saling berurutan seperti yang terlihat pada gambar berikut:
6
Adapun tujuan Survei Triangulasi yaitu:
1. Untuk menentukan/membangun Jaring Kontrol Geodesi yang akurat dalam kegiatan
Ukur Tanah, survei Geodetik, maupun survei Fotogrametri.
2. Untuk mendefinisikan bentuk dan ukuran bumi dengan pengukuran lintang, bujur, dan
gaya beratnya.
3. Untuk menentukan lokasi titik yang akurat guna kegiatan rekayasa (engineering).
Dapat dirangkum dalam tabel berikut mengenai karakteristik dari setiap orde Triangulasi
(B.M.S Institute of Technology, 2016):
7
JARING TRIANGULASI
Jenis jaring Triangulasi menurut B.M.S Institute of Technology (2016) yaitu:
1. Single chain of triangles
3. Braced quadrilaterals
8
4. Centered triangles and polygons
DAFTAR PUSTAKA
B.M.S Institute of Technology. 2016. Geodetic Surveying and Theory of Errors. B.M.S
Institute of Technology: India.
Ikawati, Yuni dan Dwi Ratih Setiawati. 2009. SURVEI DAN PEMETAAN NUSANTARA.
BAKOSURTANAL: Jakarta.