Anda di halaman 1dari 19

A.

Pengertian Pengendalian Hayati


Agar tidak timbul kerancuan lebih dahulu perlu dibedakan pengertian
tentang pengendalian hayati (biological control) dan pengendalian alami
(natural control) yang seringkali dibicarakan bersama.
Menurut H. S. Smith (1919) pertama kali menggunakan istilah
Pengendalian Hayati merupakan taktik pengelolaan hama yang dilakukan
secara sengaja memanfaatkan atau memanipulasikan musuh alami untuk
menurunkan atau mengendalikan populasi hama. De Bach tahun 1979
mendefinisikan Pengendalian Hayati sebagai pengaturan populasi organisme
dengan musuh-musuh alami sehingga kepadatan populasi organisme tersebut
berada di bawah rata-ratanya dibandingkan bila tanpa pengendalian.
Pengendalian Alami merupakan proses pengendalian yang berjalan sendiri
tanpa ada kesengajaan yang dilakukan oleh manusia. Pengendalian alami
terjadi tidak hanya oleh karena bekerjanya musuh alami, tetapi juga oleh
komponen ekosistem lainnya seperti makanan, dan cuaca.
Menurut van den Bosch et al. (1982) pengendalian hayati terdapat dua
pengertian:
a. Pengendalian hayati terapan ialah manipulasi musuh alami oleh
manusia untuk pengendalian hama.
b. Pengendalian hayati alami ialah pengendalian hama oleh
musuh alaminya yang terjadi tanpa intervensi manusia.
Pengendalian hayati terapan dapat dipecah lagi menjadi tiga kategori
pokok yaitu:
1) Pengendalian hayati klasik ialah pengendalian suatu jenis hama dengan
introduksi musuh alami.
2) Augmentasi musuh alami ialah upaya meningkatkan populasi musuh alami
atau efeknya yang menguntungkan.
3) Konservasi musuh alami ialah upaya melestarikan, melindungi dan
menjaga populasi musuh alami.
B. Agens Pengendalian Hayati
Sebagai bagian kompleks komunitas dalam ekosistem setiap spesies
serangga termasuk serangga hama dapat diserang oleh atau menyerang
organisme lain. Bagi serangga yang diserang organisme penyerang disebut
"musuh alami". Secara ekologi istilah tersebut kurang tepat karena adanya
musuh alami tidak tentu merugikan kehidupan serangga terserang. Hampir
semua kelompok organisme dapat berfungsi sebagai musuh alami serangga
hama termasuk kelompok vertebrata, nematoda, jasad renik, invertebrata di
luar serangga. Kelompok musuh alami yang paling penting adalah dari
golongan serangga sendiri. Dilihat dari fungsinya musuh alami atau agens
pengendalian hayati dapat kita kelompokkan menjadi parasitoid, predator, dan
patogen.
1. Parasitoid
Perlu sedikit penjelasan antara istilah parasitoid dan parasit.
Parasitisme adalah hubungan antara dua spesies yang satu yaitu parasit,
memperoleh keperluan zat-zat makanannya dari fisik tubuh yang lain,
yaitu inang. Parasit hidup pada atau di dalam tubuh inang. Inang tidak
menerima faedah apapun dari hubungan ini, meskipun biasanya tidak
dibinasakan. Misalnya kasus cacing pita pada manusia dan caplak pada
binatang. Istilah parasit lebih sering digunakan dalam entomologi
kesehatan. Serangga yang bersifat parasit yang pada akhirnya
menyebabkan kematian inangnya tidak tepat bila dimasukkan ke dalam
definisi parasit. Karena itu kemudian diberikan istilah baru yaitu parasitoid
yang lebih banyak digunakan dalam entomologi pertanian.
Parasitoid adalah binatang yang hidup di atas atau di dalam tubuh
binatang lain yang lebih besar yang merupakan inangnya. Serangan parasit
dapat melemahkan inang dan akhirnya dapat membunuh inangnya karena
parasitoid makan atau mengisap cairan tubuh inangnya. Untuk dapat
mencapai fase dewasa suatu parasitoid hanya memerlukan satu inang.
Dengan demikian parasitoid adalah serangga yang hidup dan makan pada
atau dalam serangga hidup lainnya sebagai inang. Inang akan mati jika
perkembangan hidup parasitoid telah lengkap.
Parasitoid merupakan serangga yang memarasit serangga atau
binatang artropoda yang lain. Parasitoid bersifat parasitik pada fase
pradewasanya sedangkan pada fase dewasa mereka hidup bebas tidak
terikat pada inangnya. Umumnya parasitoid akhirnya dapat membunuh
inangnya meskipun ada inang yang mampu melengkapi siklus hidupnya
sebelum mati. Parasitoid dapat menyerang setiap instar serangga. Instar
dewasa merupakan instar serangga yang paling jarang terparasit.
Berdasarkan posisi makannya, parasitoid dapat digolongkan
menjadi 2 yaitu ektoparasitoid dan endoparasitoid . Larva yang keluar dari
telur menghisap cairan inangnya dan menyelesaikan perkembangannya
dapat berada di luar tubuh inang (sebagai ektoparasitoid) atau sebagian
besar dalam tubuh inang (sebagai endoparasitoid). Contoh ektoparasit
adalah Campsomeris sp yang menyerang uret sedangkan Trichogramma sp
yang memarasit telur penggerek batang tebu dan padi merupakan jenis
endoparasit. Fase inang yang diserang pada umumnya adalah telur dan
larva, beberapa parasitoid menyerang pupa dan sangat jarang yang
menyerang imago. Larva parasitoid yang sudah siap menjadi pupa keluar
dari tubuh larva inang yang sudah mati kemudian memintal kokon untuk
memasuki fase pupa parasitoid. Imago parasitoid muncul dari kokon pada
waktu yang tepat untuk kemudian meletakkan telur pada tubuh inang bagi
perkembangan generasi berikutnya.
Ada spesies parasitoid yang dapat melengkapi siklus hidupnya
sampai fase dewasa pada satu inang. Parasitoid semacam ini disebut
parasitoid soliter merupakan suatu spesies parasitoid yang perkembangan
hidupnya terjadi pada satu tubuh inang. Satu inang diparasit oleh satu
individu parasitoid. Contoh parasitoid soliter antara lain Charops sp.
(famili Ichneumonidae). Parasitoid gregarius adalah jenis parasitoid yang
beberapa individu dapat hidup bersama-sama dalam tubuh satu inang.
Contoh parasitoid gregarious adalah Tetrastichus schoenobii. Jumlah
imago yang keluar dari satu tubuh inang dapat banyak sekali. Banyak jenis
lebah Ichneumonid merupakan parasitoid soliter, dan banyak lebah
Braconid dan Chalcidoid yang merupakan parasitoid gregarius.
Fenomena parasitoid yang menyerang parasitoid lainya dan
memanfaatkan sebagai inang disebut hiperparasitasi, dan parasitoidnya
dinamakan hiperparasitoid. Parasitoid yang menyerang inang utama
disebut sebagai pasarasitoid primer, parasitoid sekunder adalah parasitoid
yang menyerang parasitoid primer, dan seterusnya parasitoid tersier,
kuarter dan sebagainya.
Enam ordo serangga yang meliputi 86 famili anggota-anggotanya
tercatat sebagai parasitoid yaitu Coleoptera, Diptera, Hymenoptera,
Lepidoptera, Neuroptera, dan Strepsiptera. Namun dua ordo parasitoid
yang terpenting yaitu Hymenoptera dan Diptera. Famili-famili dalam ordo
Hymenoptera yang terbanyak mengandung parasitoid adalah
Ichneumonidae, Braconidae, dan beberapa famili yang termasuk
Chalcidoidea. Sedangkan dalam ordo Diptera famili Tachinidae
merupakan famili yang terpenting. Tetrastichus schoenobii memiliki
kemampuan memarasit kepompong penggerek batang padi bergaris,
penggerek batang padi kuning dan penggerek batang padi putih. Apanteles
artonae memarasit larva Chilo sp. dan Artona catoxantha. Pertanaman
pisang yang terserang Erionata thrax dapat dikendalikan oleh parasitoid
Xanthopimpla sp. Parasitoid Trichogrammatoidea bactrae-bactrae cukup
efektif memparasit telur penggerek polong kedelai (Etiella spp.).
Selama ini dari sekian banyak kelompok agens pengendalian hayati,
parasitoid yang paling sering berhasil mengendalikan hama apabila
dibandingkan dengan kelompok-kelompok agens pengendalian hayati
lainnya. Dari 4769 kasus pelepasan agens pengendalian hayati yang
tercatat di dunia, hanya 1023 menggunakan predator, sebagian besar kasus
adalah pelepasan serangga parasitoid.
Keuntungan atau kekuatan pengendalian hama dengan parasitoid
adalah:
a. Daya kelangsungan hidup ("survival") parasitoid tinggi.
b. Parasitoid hanya memerlukan satu atau sedikit individu inang untuk
melengkapi daur hidupnya.
c. Populasi parasitoid dapat tetap bertahan meskipun pada aras populasi
yang rendah.
d. Sebagian besar parasitoid bersifat monofag atau oligofag sehingga
memiliki kisaran inang sempit. Sifat ini mengakibatkan populasi
parasitoid memiliki respons numerik yang baik terhadap perubahan
populasi inangnya.
Di samping kekuatan pengendalian dengan parasitoid beberapa
kelemahan atau masalah yang biasanya dihadapi di lapangan dalam
menggunakan parasitoid sebagai agens pengendalian hayati adalah:
a. Daya cari parasitoid terhadap inang seringkali dipengaruhi oleh
keadaan cuaca atau faktor lingkungan lainnya yang sering berubah.
b. Serangga betina yang berperan utama karena mereka yang melakukan
pencarian inang untuk peletakan telur.
c. Parasitoid yang memiliki daya cari tinggi biasanya menghasilkan telur
sedikit.
Namun keberhasilan semua teknik pengendalian hayati dengan
parasitoid sangat ditentukan oleh sinkronisasi antara fenologi inang dan
fenologi parasitoid di lapangan. Fase larva parasitoid hanya dapat hidup
pada fase hidup inang tertentu terutama telur dan larva. Kelanjutan hidup
parasitoid sangat ditentukan oleh ketersediaan fase inangnya yang tepat.
Bila sewaktu induk parasitoid akan meletakkan telurnya tetapi tidak
tersedia fase inang yang tepat, parasitoid tersebut tidak akan dapat
melanjutkan fungsinya sebagai pengendali populasi hama. Agar
pengendalian hayati dengan parasitoid berhasil siklus hidup dan fenologi
hama dan inang perlu dipelajari dan diketahui lebih dahulu. Misalkan
untuk
introduksi dan pelepasan parasitoid di lapangan perlu diketahui
banyak hal kecuali fenologi inang dan parasitoid juga tentang pengaruh
berbagai faktor lain seperti cuaca dan tindakan manusia terhadap fenologi
dan perkembangan populasi parasitoid dan inangnya.
Serangga predator dan serangga parasitoid juga memiliki musuh
alami yang berupa parasitoid. Fenomena serangga parasitoid menyerang
parasitoid lain sebagai inangnya disebut hiperparasitasi sedangkan
parasitoid tersebut disebut hiperparasitoid. Apabila kelompok parasitoid
yang memarasit hama disebut parasitoid primer maka kelompok
hiperparasitoid disebut parasitoid sekunder. Parasitoid sekunder masih
mungkin diserang oleh parasitoid tersier. Brachymeria sp yang menyerang
kepompong Charops sp. merupakan salah satu contoh hiperparasitasi.
Adanya parasitoid sekunder perlu diperhitungkan dalam setiap usaha
pengendalian hayati dengan menggunakan predator atau parasitoid. Perlu
dicatat di sini bahwa tidak semua parasitoid primer berguna untuk
pengendalian hayati antara lain parasitoid primer yang menyerang
serangga herbivora digunakan pengendalian hayati gulma.
2. Predator
Predator merupakan organisme yang hidup bebas dengan memakan,
membunuh atau memangsa binatang lainnya. Apabila parasitoid memarasit
inang, predator atau pemangsa memakan mangsa. Predator umumnya
dibedakan dari parasitoid dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Parasitoid umumnya monofag atau oligofag, predator pada umumnya
mempunyai banyak inang atau bersifat polifag meskipun ada juga
jenis predator yang monofag dan oligofag.
b. Predator umumnya memiliki ukuran tubuh yang lebih besar
dibandingkan mangsanya. Namun ada beberapa predator yang
memiliki ukuran tubuh yang tidak lebih besar daripada mangsanya,
contohnya semut yang mampu membawa mangsa secar berkelompok.
c. Predator memangsa dan membunuh mangsa secara langsung sehingga
harus memiliki daya cari yang tinggi, memiliki kelebihan sifat fisik
yang memungkinkan predator mampu membunuh mangsanya
Beberapa predator dilengkapi dengan kemampuan bergerak cepat,
taktik penangkapan mangsa yang lebih baik daripada taktik
pertahanan mangsa, kekuatan yang lebih besar, memiliki daya jelajah
yang jauh serta dilengkapi dengan organ tubuh yang berkembang
dengan baik untuk menangkap mangsanya seperti kaki depan belalang
sembah (Mantidae), mata besar (capung).
d. Untuk memenuhi perkembangannya parasitoid memerlukan hanya
satu inang umumnya fase pradewasa, tetapi predator memerlukan
banyak mangsa baik fase pradewasa maupun fase dewasa.
e. Parasitoid yang mencari inang adalah hanya serangga dewasa betina,
tetapi predator betina dan jantan dan juga fase pradewasa semuanya
dapat mencari dan memperoleh mangsa.
f. Sebagian besar predator mempunyai banyak pilihan inang sedangkan
parasitoid mempunyai sifat tergantung kepadatan yang tinggi.
Predator memiliki daya tanggap rendah terhadap perubahan populasi
mangsa sehingga fungsinya sebagai pengatur populasi hama
umumnya kurang terutama untuk predator yang polifag.
Sifat polifag memberikan keuntungan bagi predator yaitu bila
populasi jenis mangsa utama tertentu rendah, dengan mudah predator
tersebut mencari mangsa alternatif untuk tetap mampu mempertahankan
hidupnya. Sifat pengaturan populasi mangsa secara tergantung kepadatan
lebih nampak pada predator yang bersifat oligofag. Respons numerik
predator terhadap perubahan populasi mangsa dinampakkan dalam bentuk
perubahan reproduksi, imigrasi, emigrasi, dan proses mortalitas. Respons
fungsional predator dalam bentuk perubahan proses fisiologi dan perilaku
seperti daya cari, waktu penanganan mangsa, rasa lapar, kecepatan
pencernaan, kompetisi antar predator, dll. Sinkronisasi fenologi predator
dan mangsa tidak merupakan permasalahan utama bagi keberhasilan
pemanfaatan predator sebagai agens pengendali hayati. Hal ini berbeda
dengan sinkronisasi parasitoid dan inang.
Hampir semua ordo serangga mempunyai spesies yang menjadi
predator serangga lain. Selama ini ada beberapa ordo yang anggota-
anggotanya banyak merupakan predator yang digunakan dalam
pengendalian hayati. Ordo-ordo tersebut adalah Coleoptera, Neuroptera,
Hymenoptera, Diptera, dan Hemiptera. Beberapa famili predator yang
terkenal adalah kumbang kubah (Coleoptera: Coccinellidae), kumbang
tanah (Coleoptera: Carabidae), undur-undur (Neuroptera: Chrysopidae),
kepik buas (Hemiptera: Reduviidae), belalang tanduk panjang (Orthoptera:
Tettigonidae), jangkerik (Orthoptera: Gryllidae), Kepinding air
(Hemiptera: Vellidae), Anggang-anggang (Hemiptera: Gerridae), capung
jarum (Odonata: Coenagrionidae), semut (Hymenoptera: Formicidae) dan
dari golongan laba-laba harimau (Araneae: Lycosidae).
Banyak ahli yang mempersoalkan tentang efektivitas predator
sebagai agens pengendalian hayati apabila dibandingkan dengan
parasitoid. Dari sekian banyak usaha pengendalian hayati yang selama ini
berhasil dilakukan di dunia lebih banyak menggunakan parasitoid daripada
predator. Namun hal itu tidak berarti bahwa predator kurang dapat
difungsikan sebagai agens pengendalian hayati. Keberhasilan
pengendalian hayati memang sulit untuk diduga dan dianalisis secara tepat
karena
kerumitan dan dinamika agroekosistem. Predator dan parasitoid
mempunyai banyak kelebihan dan kelemahan. Oleh karena itu untuk
meningkatkan keberhasilan pengendalian hayati kedua agens tersebut
harus dimanfaatkan secara optimal berdasarkan pada informasi dasar yang
mencukupi tentang berbagai aspek biologi dan ekologi kedua kelompok
agens pengendalian hayati tersebut.
C. Peranan Pengendalian Hayati Dalam PHT
Sesuai dengan konsepsi dasar PHT pengendalian hayati memegang
peranan yang menentukan karena semua usaha teknik pengendalian yang lain
secara bersama ditujukan untuk mempertahankan dan memperkuat
berfungsinya musuh alami sehingga populasi hama tetap berada di bawah aras
ekonomik. Dibandingkan dengan teknik-teknik pengendalian yang lain
terutama pestisida kimia, pengendalian hayati memiliki tiga keuntungan utama
yaitu permanen, aman, dan ekonomi.
Arti permanen di sini karena apabila pengendalian hayati berhasil, musuh
alami telah menjadi lebih mapan di ekosistem dan selanjutnya secara alami
musuh alami akan mampu menjaga populasi hama dalam keadaan yang
seimbang di bawah aras ekonomi dalam jangka waktu yang panjang.
Pengendalian hayati aman bagi lingkungan karena tidak memiliki dampak
samping terhadap lingkungan terutama terhadap serangga atau organisme
bukan sasaran. Karena musuh alami biasanya adalah khas inang. Meskipun
pernah dilaporkan kasus terjadinya ketahanan suatu jenis hama terhadap musuh
alami antara lain dengan membentuk kapsul dalam tubuh inang, namun
kejadian tersebut sangat langka.
Pengendalian hayati juga relatif ekonomis karena begitu usaha tersebut
berhasil petani tidak memerlukan lagi tambahan biaya khusus untuk
pengendalian hama, petani kemudian hanya mengupayakan agar menghindari
tindakan-tindakan yang merugikan perkembangan musuh alami.
Kesulitan dan permasalahan utama dalam penerapan dan pengembangan
pengendalian hayati adalah modal investasi permulaan yang besar yang harus
dikeluarkan untuk kegiatan eksplorasi, penelitian, pengujian dan evaluasi
terutama yang menyangkut berbagai aspek dasar baik untuk hama, musuh
alami maupun tanaman. Aspek dasar dapat meliputi taksonomi, ekologi,
biologi, siklus hidup, dinamika populasi, genetika, fisiologi, dll. Identifikasi
yang tepat baik untuk jenis hama maupun musuh alaminya merupakan langkah
permulaan yang sangat penting. Apabila identifikasi kurang benar kita akan
memperoleh kesulitan dalam mempelajari sifat-sifat kehidupan musuh alami
dan langkah-langkah kegiatan selanjutnya.
Kecuali diperlukan modal, fasilitas yang lengkap juga diperlukan sumber
daya manusia terutama para peneliti yang berkualitas dan berpendidikan
khusus dan berdedikasi tinggi sesuai dengan yang diperlukan untuk
pengembangan teknologi pengendalian hayati. Sampai saat ini tenaga-tenaga
ahli dengan kualifikasi demikian masih sangat jarang tersedia di Indonesia.
Meskipun ada beberapa ahli yang berpendapat bahwa untuk pengendalian
hayati yang penting adalah adanya tenaga peneliti yang berpengalaman dan
berdedikasi tinggi serta cukup memiliki rasa seni dan intuisi, namun
bagaimanapun untuk keberhasilan pengendalian hayati dalam kerangka PHT
diperlukan juga dasar pengetahuan dan teknologi yang mantap
D. Jenis-Jenis Jasad Renik Patogenik
Serangga seperti juga binatang lainnya dalam hidupnya diserang oleh
banyak patogen atau penyakit yang berupa virus, bakteri, protozoa, jamur,
rikettsia dan nematoda. Beberapa penyakit dalam kondisi lingkungan tertentu
dapat menjadi faktor mortalitas utama bagi populasi serangga, tetapi ada
banyak penyakit yang pengaruhnya kecil terhadap gejolak populasi serangga.
Serangga yang terkena penyakit menjadi terhambat pertumbuhan dan
pembiakannya. Pada keadaan serangan penyakit yang parah serangga terserang
akhirnya mati. Saat ini dikenal lebih dari 2000 jenis patogen yang menginfeksi
serangga dan jumlah itu mungkin baru sebagian kecil dari jenis patogen
serangga di muka bumi.
Oleh karena kemampuannya membunuh serangga hama sejak lama
patogen digunakan sebagai agens pengendalian hayati (biological control
agents). Penggunaan patogen untuk pengendalian hama tercatat pada abad ke-
18 yaitu pengendalian hama kumbang moncong pada bit gula, Cleonus
punctiventus dengan menggunakan sejenis jamur. Berikut secara singkat
diuraikan beberapa kelompok jasad renik yang saat ini sudah banyak dan
sering digunakan sebagai agens pengendalian hayati.
1. Virus
Sampai saat ini kurang lebih 1500 virus telah berhasil diisolasi dan
diidentifikasikan dari serangga dan binatang artropoda lainnya. Virus-virus
artropoda sebagian besar masuk dalam genera Nucleopolyhedrovirus,
Granulovirus, Iridovirus, Entomopoxvirus, Cypovirus dan Nodavirus. Dari
keenam genera ini genus NPV (Nucleopolyhedrosis virus) merupakan
genus terpenting karena sekitar 40% jenis virus yang dikenal menyerang
serangga termasuk dalam genus ini. Selain NPV ada kelompok virus
lainnya yaitu GV (Granulovirus), CPV (Cytoplasmic Polyhidrosis Virus)
dan kelompok lainnya yang lebih kecil jumlahnya.
NPV pada umumnya menyerang paling banyak pada ordo
Lepidoptera (86%) dan sedikit pada ordo Hymenoptera (7%) serta ordo
Diptera (3%). Selain itu virus juga telah diketahui menyerang ordo
Coleoptera, Trichoptera, dan Neuroptera. Berbagai virus NPV mempunyai
prospek untuk digunakan dalam pengendalian hayati adalah NPV yang
diisolasi dari genus-genus Spodoptera, Helicoverpa, Trichoplusia, Plusia,
Pectinophora, Neodiprion, Melacosoma, Agrotis, Chilo, dll. Banyak genus
serangga tersebut yang merupakan hama penting di Indonesia.
Beberapa keunggulan penggunaan NPV antara lain memiliki inang
sangat spesifik, mampu menginfeksi serangga yang telah resisten terhadap
insektisida, relatif persisten di pertanaman dan tanah, serta tidak
meninggalkan residu beracun di alam. Virus NPV dicirikan dengan adanya
inclusion bodies yang disebut polihedra atau PIB (“polihedric inclusion
body”). PIB dibentuk oleh protein dan mengandung beberapa
nukleokapsid atau partikel-partikel virus atau virion. Virion NPV
berbentuk batang yang berukuran panjang antara 200-400 nm dengan
diameter 20-50 nm. Di dalam tubuh larva Lepidoptera virus berkembang
terutama di nuklei sel-sel darah, hipodermis, jaringan lemak dan lapisan
epithel saluran trachea.
Larva serangga yang terinfeksi oleh virus pada umumnya melemah
pada saluran pencernaan makanan sewaktu larva makan bagian tanaman
yang telah mengandung polihedra. Selain itu virus juga dapat masuk ke
tubuh serangga sewaktu meletakkan telur atau melalui bagian tubuh yang
terluka mungkin oleh serangan musuh alami. Virus juga dapat
ditransmisikan dari induk yang telah terinfeksi pada keturunannya melalui
telur.
Apabila virus telah masuk ke dalam tubuh serangga, polihedra NPV
akan larut dan pecah serta melepaskan partikel-partikel virus yang
kemudian memasuki sel-sel bagian perut serangga dan akhirnya
memperbanyak diri. Setiap sel yang terinfeksi virus, nukleusnya
membengkak dan dipenuhi oleh masa padat yang disebut viroplan. Proses
perbanyakan nukleokapsid berjalan dengan cepat sehingga terbentuklah
banyak polihedra yang memenuhi seluruh sel tubuh serangga akhirnya
mengakibatkan kematian. Proses masuknya virus ke tubuh serangga
sampai dipenuhinya sel-sel tubuh serangga oleh virus berjalan antara 4 hari
sampai 3 minggu tergantung pada jenis NPV, jenis serangga inang, jumlah
polihedra yang masuk, instar larva yang mulai terinfeksi dan keadaan
suhu.
Larva yang terserang virus NPV dapat dilihat dari gejala serangan
yang antara lain berupa larva semakin malas bergerak, pertumbuhannya
terhambat, kulit berganti warna menjadi semakin pucat dan memutih
seperti susu, dan larva bergerak ke pucuk tanaman. Larva yang mati karena
virus posisi tubuhnya seperti patah dan menggantung pada bagian
tanaman. Penyebaran virus ini melalui berbagai cara dan dipengaruhi oleh
banyak faktor antara lain cuaca. Virus telah berada di tanaman dan telah
dapat disebarkan oleh angin dan hujan. Beberapa jenis predator termasuk
burung dan parasitoid dapat juga menjadi agens penyebaran virus.
Aplikasi virus untuk pengendalian hama sebagian besar baru dalam
tahap pengkajian laboratorium sedangkan di lapangan masih sangat
terbatas. Kendala utama dalam perbanyakan virus diantaranya belum
berkembangnya teknik perbanyakan dan penggunaan pakan buatan. Teknik
rekayasa genetika diharapkan mampu memacu perkembangan dan
perluasan aplikasi virus sebagai agens pengendalian hayati.
2. Jamur Entomopatogenik
Kelompok jenis jamur yang menginfeksi serangga dinamakan jamur
entomopatogenik. Saat ini telah dikenal lebih dari 750 spesies jamur
entomopatogenik dari sekitar 100 genera jamur. Tabel 1 menunjukkan
berbagai genus jamur penting yang dapat menjadi patogen serangga.
Berbeda dengan virus, jamur patogen masuk ke dalam tubuh
serangga tidak melalui saluran makanan tetapi langsung masuk ke dalam
tubuh melalui kulit atau integumen. Setelah konidia jamur masuk ke dalam
tubuh serangga, jamur memperbanyak dirinya melalui pembentukan hife
dalam jaringan epikutikula, epidermis, hemocoel, serta jaringan-jaringan
lainnya. Pada akhirnya semua jaringan dipenuhi oleh miselia jamur.
Disamping itu ada beberapa jenis jamur yang mempengaruhi pigmentasi
serangga dan menghasilkan toksin yang sangat mempengaruhi fisiologi
serangga. Karena pengaruh infeksi jamur terhadap pembentukan pigmen,
larva atau instar serangga yang terserang jamur memperlihatkan perubahan
warna tertentu seperti warna merah muda dan merah.
Proses perkembangan jamur dalam tubuh inang sampai inang mati
berjalan sekitar 7 hari. Setelah inang terbunuh, jamur membentuk konidia
primer dan sekunder yang dalam kondisi cuaca yang sesuai konidia
tersebut muncul keluar dari kutikula serangga. Konidia akan menyebarkan
sporanya melalui angin, hujan, air, dll.
Penyebaran dan infeksi jamur sangat dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain kepadatan inang, kesediaan spora, cuaca terutama angin
dan kebasahan. Kebasahan tinggi dan angin kencang sangat membantu
penyebaran konidia dan pemerataan infeksi patogen pada seluruh individu
pada populasi inang.
Saat ini jamur Metarhizium anisopliae telah digunakan secara luas di
Indonesia untuk pengendalian hama Oryctes rhinoceros yang menyerang
kelapa, wereng coklat, ulat jengkal (Ectropis bhurmitra). Jamur ini juga
sudah dikembangkan untuk pengendalian hama wereng daun, penggerek
batang padi, hama putih palsu, walang sangit dan kepinding tanah. Jamur
Beauveria bassiana telah dicoba untuk pengendalian hama wereng padi
coklat dan hama penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei). Mortalitas
Helopeltis sp. dapat mencapai 98% setelah disemprot dengan B. bassiana,
bahkan hama penting pada kelapa sawit, Darna catenata mampu
dikendalikan oleh jamur ini hingga 100%. Pengendalian dengan
menggunakan jamur Hirsutella citriformis dapat menurunkan populasi
Diaphorina citri hingga 62%. Penurunan populasi mencapai 82%
dengan jamur Paecilomyces fumosoroseus terhadap jenis hama yang sama.
Hama wereng coklat dapat dikendalikan dengan menggunakan jamur
Enthomopthora sp. Ulat api Setora nitens mampu ditekan
perkembangannya dengan Cordyceps purpurea. Helopeltis sp. dapat
dikendalikan dengan jamur Spicaria sp. Jamur Verticillium mampu
menekan populasi Scotinophora coarctata, Aphis, dan kutu putih
Aleurodicus destructor.
Penggunaan pestisida baik insektisida maupun fungisida untuk
mengendalikan hama dan penyakit ternyata sangat mempengaruhi
kehidupan dan perkembangan jamur patogenik serangga. Banyak laporan
membuktikan pestisida dapat menghambat perkecambahan konidia primer
dan pengurangan pelepasan konidia sekunder berikutnya.
3. Bakteri
Bakteri yang menyerang serangga dapat dibedakan menjadi 2
kelompok yaitu bakteri yang tidak membentuk spora dan bakteri
pembentuk spora. Kelompok pertama mempunyai peranan sebagai faktor
mortalitas alami yang penting, tetapi karena sifatnya yang kosmopolitan
sukar digunakan sebagai agens pengendalian hayati.
Kelompok bakteri yang lebih penting adalah bakteri pembentuk
spora yang pada saat ini telah banyak digunakan sebagai insektisida
mikrobia. Dua jenis bakteri patogen yang penting Bacillus popiliae dan
Bacillus thuringiensis. Bacillus popiliae menyebabkan gejala seperti
penyakit susu yang menyerang kumbang Jepang Popiliae japonica dan
kumbang skarabid lainnya. Bacillus thuringiensis sangat efektif digunakan
untuk pengendalian larva ordo Lepidoptera, dan larva nyamuk. B.
fibourgenesis dapat dipakai pada hama uret Melolontha melolontha.
Beberapa famili bakteri yang berpotensi sebagai sumber alternatif baru
patogen serangga di masa depan telah banyak ditemukan diantaranya
Pseudomonadaceae, Enterobacteriaceae, Lactobacillaceae, Micrococaceae,
Bacillaceae (Tabel 2).

Studi tentang Bacilus thuringiensis (Bt) saat ini sangat menarik dan
berkembang sangat cepat. Telah diketahui bakteri ini terdiri atas banyak
strain yang berbeda sifatnya. Dikenal lebih dari 700 varietas atau strain Bt,
dan penemuan varietas atau strain Bt baru terus berlanjut. Strain Bt
diklasifikasikan menjadi 29 subspesies dan lebih dari 40 inklusi kristalin
(δ-endotoksin) gen-gen protein berhasil diisolasi. Bakteri ini bersifat
selektif terhadap serangga sasaran dan ramah lingkungan. Karena sifat
itulah maka banyak perusahaan pestisida tertarik untuk
memformulasikannya.
Bt dalam sporulasi di dalam tubuh serangga membentuk kristal yang
mengandung protein beracun atau endotoksin. Bila spora dan kristal
bakteri dimakan oleh serangga yang peka maka terjadi paralisis yang
mengakibatkan kematian inang. Kristal bakteri akan melarut dalam saluran
pencernaan, dalam jaringan tersebut bakteri mengeluarkan toksin yang
dapat mematikan serangga. Dari kristal Bt paling sedikit telah diketahui
adanya 4 jenis racun atau toksin.
Bila larva muda atau larva tua terkena Bt dapat kita lihat adanya
reaksi pertama yang cepat seperti kesakitan, kemudian dalam beberapa
waktu larva tidak mau makan dan tidak aktif. Tubuh kemudian menjadi
lemah dan lembek. Kematian larva dapat terjadi dalam kurun waktu dalam
beberapa jam sampai 4 5 hari setelah infeksi pertama tergantung pada
serotipe atau strain Bt dan kepekaan serangga inang.
Meskipun Bt telah banyak dipasarkan dengan berbagai nama dagang
tetapi masih memerlukan banyak kegiatan pengembangan berhubung
karena banyak strain baru ditemukan dan adanya sifat-sifat serangga yang
khas baik ketahanannya terhadap strain tertentu maupun kepekaannya
(Tabel 3).
Tanaman inang hama juga kelihatannya mempengaruhi keberhasilan
Bt dalam menginfeksi serangga inangnya. Salah satu kelemahan dari
formulasi pestisida ini adalah keterbatasan dalam mencapai sasaran.
Insektisida hanya aktif apabila termakan oleh hama sasaran. Bahan
aktifnya tidak mampu menembus kutikula serangga maupun jaringan
tanaman. Dengan demikian insektisida ini belum mampu mengendalikan
hama yang berada di dalam jaringan tanaman seperti penggerek batang
padi, penggerek buah kapas.

Munculnya masalah resistensi hama terhadap penggunaan B.


thuringiensis belum banyak dilaporkan. P. xylostella strain Lembang
dilaporkan telah resisten terhadap insektisida Dipel WP, Thuricide WP dan
Thurex WP, namun P. xylostella strain Garut masih rentan terhadap B.
thuringiensis. Seleksi ke arah timbulnya resistensi kemungkinan dapat
terjadi apabila pemanfaatan teknologi ini tidak dilakukan secara tepat.
4. Protozoa dan Rikettsia
Spesies-spesies protozoa yang patogenik terhadap serangga pada
umumnya termasuk dalam sub kelompok mikrosporodia. Telah dapat
dikenal lebih dari 250 spesies mikrosporodia yang menyerang serangga.
Tiga jenis mikrosporodia antara lain Nosema locustae, N. acridophagus,
dan N. cuneatum telah dijadikan sebagai agens hayati untuk
mengendalikan hama belalang khususnya di Amerika. Jenis Coccidia
mampu menginfeksi hama gudang Tribolium confusum hingga 68%.
Kelompok protozoa ini ternyata sangat potensial untuk mengendalikan
hama Sexava sp. Leptomonas pyrhocoris dari golongan
Mastigophora dapat menurunkan populasi kepinding,
Malpighamoeba locusta dari jenis Amoeba berpotensi terhadap belalang
sedangkan Nosema bombyces yang pertama kali diisolasi dari ulat sutera
(Bombyx mori) berpotensi untuk mengendalikan beberapa hama penting
seperti Spodoptera litura.
Penyebaran mikrosporodia melalui makanan dan dipindahkan dari
induk yang terinfeksi ke keturunannya. Pengaruh mikrosporodia terhadap
kehidupan inangnya relatif lambat dan gejala luarnya sangat bervariasi.
Mikrosporodia tersebar luas yang secara alami dapat menjadi faktor
mortalitas yang penting bagi serangga inangnya.
Jenis rikettsia banyak menyerang kumbang. Kematian akibat
rikettsia baru terjadi pada 1-4 bulan setelah aplikasi atau lebih lama
dibandingkan kematian akibat agens hayati yang lain seperti jamur, bakteri
dan nematoda. Walaupun demikian pathogen jenis ini memiliki peluang
yang besar untuk dijadikan agens pengendalian hayati khususnya di
Indonesia. Rikettsia mampu menyebabkan kematian pada Popillia
japonica, Melolontha melolontha dan Oryctes rhinoceros.
5. Nematoda
Disamping virus, jamur, bakteri, dan protozoa juga ada banyak
spesies nematoda yang bersifat parasitik terhadap serangga baik yang
bersifat parasit obligat maupun fakultatif. Dari 19 famili nematoda yang
menyerang serangga, Mermithidae merupakan famili yang terpenting dan
tersebar (terdiri atas 50 genera dan 200 spesies). Nematoda muda
meninggalkan telur dan masuk ke dalam tubuh serangga melalui kutikula
dan kemudian masuk ke dalam hemocoel. Setelah berganti kulit beberapa
kali di dalam tubuh serangga nematoda dewasa keluar dari tubuh serangga
untuk kawin dan menyebar. Serangga inang mati sebelum atau sesudah
nematoda meninggalkan tubuh inangnya.
Jenis nematoda entomopatogen lainnya adalah Heterorhabditis spp
dan Steinernema spp. Kedua nematoda ini bersimbiosis dengan bakteri.
Inang yang terserang nematoda akan mengalami septisemia dan akhirnya
mati. Nematoda masuk ke dalam tubuh serangga melalui lubang-lubang
alami serangga seperti mulut, anus dan spirakel. Untuk selanjutnya
nematoda menuju ke saluran pencernaan kemudian melepaskan bakteri
simbion yang bersifat racun. Dalam beberapa jam bakteri tersebut
melakukan replikasi dan akhirnya menyebar dan meracuni tubuh serangga.
Serangga akan mengalami kematian dalam waktu 24-48 jam setelah
aplikasi. Tubuh serangga akan lemas, terjadi penurunan aktivitas, dan
terjadi perubahan warna tubuh menjadi merah kecoklatan jika terserang
Steinernema spp. dan hitam jika terserang Heterorhabditis spp.
Nematoda akan berkembang biak di dalam tubuh serangga inang
sampai menghasilkan keturunan yang sangat banyak. Nematoda akan
memasuki fase reproduktif yaitu memperbanyak keturunan apabila
populasi nematoda dalam tubuh inang rendah sedangkan apabila populasi
tinggi akan memasuki fase infektif. Nematoda stadium ketiga atau sering
disebut juvenil infektif akan keluar dari tubuh serangga dan berusaha untuk
mencari inang baru. Juvenil infektif mampu bertahan hidup lama sampai
memperoleh inang kembali dan fase ini merupakan satu-satunya fase yang
bersifat infektif terhadap serangga inang.
Beberapa kelebihan dari penggunaan nematoda entomopatogen ini
adalah kemampuannya dalam mematikan inang yang relatif cepat,
memiliki kisaran inang yang luas diantaranya Lepidoptera, Coleoptera,
Hymenoptera dan Diptera, tidak menyebabkan resistensi hama, tidak
berbahaya bagi lingkungan, tidak berbahaya bagi mamalia dan vertebrata
serta kompatibel dengan pengendalian lain.
Jenis Steinernema spp. telah terbukti mampu mengendalikan lebih
dari 100 spesies serangga hama terutama ordo Lepidoptera dan Coleptera.
Steinernema carpocapsae dapat mengendalikan hama penggerek
(Schirpophaga sp, Chilo sp.), Helicoverpa armigera hingga 65%. Pada
pengujian yang lain, Steinernema spp. mampu menyebabkan kematian
Spodoptera exigua sampai 98%, Spodoptera litura 99% bahkan 100%
untuk mengendalikan Crocidolomia binotalis. S. carpocapsae juga telah
terbukti memiliki kemampuan mengakibatkan mortalitas pada Cylas
formicarius.

Anda mungkin juga menyukai