"Ini bukan berlian, Nyonya," jelas perempuan itu. "Ini manik-manik airmata…"
"Sungguh, Nyonya. Ini butir-butir airmata yang mengeras. Kami menyebutnya biji-biji
airmata. Seperti butiran beras kering berjatuhan dari kelopak mata…"
Perempuan itu pun terus bercerita, membuat Arini makin terpesona.
"Jadi itu manik-manik airmata?" tanya Mulan, terdengar sinis. "Jangan-jangan airmata buaya,
ha ha…"
Andien ikut tertawa. Yang lain terus menyimak cerita Arini.
"Lihat saja bentuknya, persis airmata yang menetes. Begitu halus. Bening. Berkilauan...
Lebih indah kan ketimbang yang bermerek? Lagi pula gue emang nggak brand
minded, kok!" Lalu Arini melirik Mulan yang beringsut mengambil cocktail.
Dari jauh Andien dan Mulan memandangi Arini.
"Ngapain juga mereka mau dengerin ceritanya yang nggak masuk akal itu," cibir Mulan.
"Dia cuma cari perhatian," ujar Andien. "Gue tahu kok, dia nggak bahagia. Sudah nggak lagi
dapat perhatian. Dani mulai selingkuh..." Mulan hanya mendengus.
"Ha ha."
"Kamu beliin, ya?"
"Nggak."
"Beli di mana?"
"Aku nggak beliin!"
"Kok aku nggak dibeliin?"
Dan di puncak Monas yang telah tenggelam dalam linangan airmata, Arini melihat seorang
penyair berdiri membaca puisi. "Tanah airmata tanah tumpah dukaku. Mata air airmata kami.
Airmata tanah air kami… Di sinilah kami berdiri, menyanyikan airmata kami… Kemana pun
melangkah, kalian pijak airmata kami… Kalian sudah terkepung, takkan bisa mengelak,
takkan bisa ke mana pergi. Menyerahlah pada kedalaman airmata kami..."1 Suaranya
perlahan meleleh dan mencair, menjelma gelombang airmata.
Saat tergeragap bangun, Arini mendapati tubuhnya kebah. Suara tangis yang mengapung itu
masih didengarnya. Arini mengira itu tangis anaknya. Tapi ia mendapati Faizi dan Fauzi
tertidur tenang di kamarnya. Tangis itu merembes dari balik dinding dan menggenangi
ruangan. Arini tercekat ketika memandangi kotak perhiasan di atas meja, di mana ia
menyimpan kalung manik-maniknya. Tangis itu datang dari kotak perhiasan itu, seperti
muncul dari gramafon tua. Gemetar tak percaya, Arini kembali naik ke tempat tidurnya. Lalu
menyadari, tak ada Dani di ranjang. Perlahan ia mulai terisak.
Andien tersenyum, kemudian mengecup bibir Arini pelan. Berciuman dengan Arini seperti
menikmati mayonnaise yang lembut dan gurih. Andien memandangi wajah Arini yang
mengingatkannya pada roti tawar yang diolesi mentega. Bertahun-tahu diam-diam menjalin
hubungan dengan Arini membuat Andien mengerti, saat ini Arini membutuhkannya untuk
menjadi seorang pendengar. Aroma chamomile yang menguar dalam kamar membuat Arini
perlahan lebih rileks. Andien tahu, Arini belakangan makin terlihat rapuh. Mungkin karena
perkawinannya dengan Dani yang sedang bermasalah, tapi berusaha ditutup-tutupi. Dan soal
kalung manik-manik yang selalu dikatakannya terbuat dari airmata itu hanya kompensasi
untuk menutupi kegelisahannya.
Andien merinding, ketika ada dingin yang mendesir, dan ia seperti mendengar isak
tangis keluar dari kalung manik-manik yang berkilauan itu.
"Kalian lihat sendiri anak-anak di sini. Kurus karena busung lapar. Bayi-bayi lahir sekarat.
Ibu-ibu tak lagi bisa menyusui. Susu mereka kering. Kelaparan mengeringkan semua yang
kami miliki. Mengeringkan airmata kami. Sudah lama kami tak bisa lagi memangis. Buat apa
menangis? Tak akan ada yang mendengar tangisan kami. Bahkan begitu lahir, bayi-bayi di
sini tak lagi menangis. Kami terbiasa menyimpan tangis kami. Membiarkan tangis itu
mengeras dalam kepahitan hidup kami. Mungkin karena itulah, perlahan-lahan tangisan kami
mengristal jadi butiran airmata. Dan pada saat - saat kami menjadi begitu sedih, butir-butir
airmata yang mengeras itu berjatuhan begitu saja dari kelopak mata kami." Laki-laki tua itu
menarik nafas pelan. "Kalian lihat sendiri…"
Arini melihat ke pojok yang ditunjuk laki-laki tua itu. Di atas dipan tergolek bocah berperut
busung. Tangan dan kakinya kurus pengkor. Mulutnya perot. Tulang-tulang iga bertonjolan.
Matanya kering. Dan Arini terpana ketika menyaksikan dari sepasang mata bocah itu keluar
berbutir airmata. Seperti biji-biji jagung yang berjatuhan dari sudut kelopaknya yang
bengkak.
Saya meremas surat itu, dan membuangnya. Saya pikir, setelah bercerai dengan Arini, saya
tak akan diganggu hal-hal konyol macam ini. Benarkah ini manik-manik airmata Arini? Saya
pandangi kalung manik-manik itu. Memang bentuknya seperti butiran airmata yang
mengeras.
Mulan muncul dari dalam kamar, dan melihat kalung manik-manik yang tengah saya
pandangi.
"Apa tuh, Dan?"
"Ehmm..." Saya tersenyum, memeluk pinggang Mulan. "Ini aku beliin kalung buat kamu."
***