Anda di halaman 1dari 14

LARA

"Kalian bukan Indonesia, kalian najis!"

"Apa salah kami?"

"CINA SIALAN!"

"JANGAN BAKAR KAMI!"

Ailin terbangun dengan penuh keringat dingin. Teriakan-teriakan itu sudah hadir selama
hampir dua puluh tahun ini. Tak sering muncul namun suara-suaranya seakan melekat pada diri
Ailin. Ailin kerap menangis bila mimpi-mimpi itu muncul.

"Have you taken your medicine?" ujar Arnold, suaminya sambil mengelap peluh keringat
Ailin. Arnold khawatir dengan kondisi Ailin. Akhir-akhir ini mimpi-mimpi buruk itu selalu datang.
"I think this is the right time." lanjutnya.

Ailin menatap suaminya dengan raut serius. Ia menggelengkan kepalanya. "There was
nothing there anymore. I'm okay." ujar Ailin sambil mengelus pundak suaminya.

"Is it about Hermawan?"

Mata Ailin berkaca-kaca setelah mendengar nama itu. Memori-memori yang tak ingin
dikenang seketika muncul. Ailin menangis dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Arnold memeluk
Ailin yang menangis tersedu-sedu. Arnold tahu bahwa yang dilalui Ailin tidak mudah. Banyak yang
harus dikorbankan untuk dia dapat hidup sampai saat ini. Arnold tahu luka itu tidak akan sembuh
sempurna.

"Aku ingin bertemu Papa sama Mama." ujar Ailin sambil terisak-isak. "Aku rindu mereka."
lanjutnya.

Ailin memberanikan diri untuk pulang ke Indonesia. Ailin cuti dari pekerjaannya selama
satu minggu. Ditemani oleh Arnold, ia akan kembali ke Indonesia setelah hampir 15 tahun ia
menetap di Singapura. Dengan berbekal informasi mengenai Hermawan yang sudah mereka cari
selama dua bulan ini, Ailin memutuskan untuk segera pulang ke Surakarta mencari Hermawan.
Sepanjang perjalanan, Ailin gugup dan tidak tenang. Ailin takut pertemuannya dengan Hermawan
tidak akan membuahkan hasil.

"What if I can't find them?"


"You're gonna find them."

Lima jam perjalanan tidak terasa. Ailin dan Arnold tiba di Surakarta pada siang hari. Ailin
hanya terpaku ketika ia menatap pintu pesawat yang terbuka. Ia termenung hingga akhirnya Arnold
membantu Ailin untuk turun dari pesawat. Selama di bandara, Ailin hanya terdiam. Matanya
bergerak kesana kemari mengawasi sekitar. Masih ada ketakutan dalam diri Ailin. Arnold dapat
merasakannya. Arnold terus menggandeng tangan Ailin untuk mengatakan semua baik-baik saja.
Ailin dan Arnold menuju ke hotel untuk menaruh koper-koper mereka terlebih dahulu karena
mereka akan langsung ingin menuju rumah Hermawan.

Sepanjang perjalanan ke rumah Hermawan, mata Ailin hanya terpejam karena bayangan-
bayangan yang tidak ingin dilihatnya akan muncul seketika. Perjalanan dari hotel menuju rumah
Hermawan menempuh jarak sekitar tiga puluh menit. Menurut informasi dari teman-teman
Hermawan yang Ailin cari di Facebook, rumahnya berada di daerah Solo Baru, Kabupaten
Sukoharjo. Kabarnya, Hermawan sudah tiga kali pindah rumah sehingga Ailin berharap Hermawan
masih berada di kota yang sama.

"What if he has moved? There was a chance that he didn't live here anymore." Ailin ragu. Ia
takut bila ia tidak bisa menemukan Hermawan lagi.
"We will look for him anywhere." ujar Arnold menenangkan Ailin.

Tak terasa taksi yang mereka tumpangi sudah tiba di depan sebuah rumah bercat putih yang
sudah mulai pudar. Nampak sebuah motor tua Yamaha RX yang tak asing lagi bagi Ailin. Ailin
semakin yakin bahwa Hermawan masih disini. Diketuknyalah pintu rumah itu. Tak ada respon.
Ailin dan Arnold mencoba sekali lagi.

Tok Tok Tok

"Permisi."
Pintu rumah terbuka. Ailin menatap pria di depannya dengan raut wajah yang tidak bisa
dijelaskan. Pria dengan tinggi 172 cm dengan kumis tipis bernama Hermawan Djatmiko. Pria
kelahiran Madiun, sosok yang Ailin tidak akan pernah ia lupakan. Hermawan memandang wajah
Ailin. Raut wajah Hermawan menunjukkan ekspresi sama kagetnya.

"Hermawan…"
"Ailin…"

Setelah terpaku selama beberapa detik, Hermawan mempersilahkan Ailin dan Hermawan
untuk masuk. Hermawan merapikan tumpukan buku-buku yang berserakan di ruang tamu. Ailin
menatap sekitar. Matanya tertuju pada sebuah pigura foto kebersamaan Hermawan dengan keluarga
Ailin. Foto itu membawanya teringat akan masa lalu yang ingin Ailin rubah.

Api berkobar disambut dengan teriakan-teriakan di sepanjang jalanan kota Surakarta. Suara
ricuh menggambarkan kota Surakarta pada sore ini. Jalanan kacau, banyak manusia yang tergeletak
begitu saja di jalanan. Suasananya mencekam ditambah desas desus pembakaran massal dan
pemerkosaan perempuan keturunan Tionghoa.

"Kamu nunduk, jangan tengak-tengok!" ujar Hermawan yang tengah mengemudikan mobil
menuju kos miliknya. Hermawan tengah bersama Ailin, anak pemilik kos yang Hermawan huni
selama dua tahun ia tinggal di Surakarta. "KAMU KENAPA MASIH DILUAR? Aku minta kalian
kemarin untuk diam di rumah!" lanjut Hermawan sedikit berteriak.
"Aku tidak bisa diam saja melihat toko kami dirusak. Semua pegawai mengundurkan diri."
ujar Ailin yang sedang menunduk.
"Ini bunuh diri, kamu mau mati?! Aku sudah kehilangan temanku, Aheng." Hermawan
gusar. Keluarga Pak Tay atau kerap disapa Pak Budi sudah menganggap Hermawan seperti
keluarga sendiri. Hermawan sudah kehilangan kedua orang tuanya. "Aku sudah bilang biar aku saja
yang ke toko. Kenapa malah ke toko sendiri?" Hermawan terus memandangi jalanan. Kota
Surakarta seperti medan perang.

Hermawan dan Ailin berhasil sampai ke kos keluarga Ailin di daerah Kartosuro. Pak Budi
menunggu dengan perasaan cemas. Perasaannya lega ketika Ailin dapat pulang dengan selamat. Pak
Budi segera membawa Ailin masuk ke dalam rumah. Pak Budi segera mengunci rumah dan
menutup semua gorden.

"Sebenarnya kenapa rusuh sampai sini?" tanya Pak Budi kepada Hermawan. Aksi
mahasiswa yang berdemonstrasi akibat tragedi Trisakti berubah menjadi pergerakan massa yang
tidak dikenal. Pertokoan di sepanjang Jl. Slamet Riyadi Solo menjadi amukan dan penjarahan.
"Mama dengar dari cik Tari, Pasar Klewer runtuh wis hancur. Dijarah dibakar sama
mereka." ujar Bu Feli sambil memeluk anak bungsunya yang masih berusia 13 tahun. "Gak ada
harapan buat nyelamatin toko kita." lanjutnya.

Ailin termenung. Ailin gagal menyelamatkan toko keluarganya. Toko kain yang sudah
berdiri sejak tahun 1972 kini sudah tak tersisa. Belum sampai ia menyelamatkan isi toko,
Hermawan menemukannya dan membawa Ailin pulang.

"Ini karena Kak Hermawan! Dia menarikku pulang padahal aku ingin mempertahankan
toko!" teriak Ailin menunjuk Hermawan. Hermawan menatap Ailin dan menghampirinya. "Kamu
sadar kan betapa mengerikannya kekejaman mereka? Kalau aku tidak menemukanmu belum tentu
kamu ada disini sekarang! Kamu ini perempuan. Sudah dengarkah banyak yang diperkosa?" sahut
Hermawan.
"LALU SEKARANG KELUARGA KAMI PUNYA APA SEKARANG?" balas Ailin
sambil menggebrak meja. "Bahkan kita gak bisa kabur ke Singapura. Kita kehabisan tiket!"
lanjutnya.
"Yang terpenting kita masih bisa berkumpul seperti ini, Ai. Fokus kita gimana caranya
supaya kita aman sampai masalah ini kelar." ujar Pak Budi menenangkan keadaannya yang mulai
memanas. "Hermawan, sebenarnya ini ada apa? Kenapa jadi seperti ini?" tanya Pak Budi kepada
Hermawan. Hermawan merupakan mahasiswa di UMS yang turut berdemonstrasi akibat tragedi
Trisakti. Pak Budi berharap Hermawan mempunyai titik terang dalam masalah ini.

"Banyak oknum yang nyamar jadi mahasiswa terus dirusak semua sama mereka jadinya
anarkis semua." ujar Hermawan. "Kalau bisa keluar dari Solo lebih bagus, semua orang Cina lagi
diincar. Banyak yang mati. Yang punya Apotik Jaya sudah gak ada, tadi siang suaminya di bunuh,
istrinya diperkosa terus dibunuh." Perkataan Hermawan membuat seluruh isi rumah hening.
Pasalnya keluarga Alin dekat dengan mereka. Pak Budi semakin bertekad untuk membawa
keluarganya pergi dari Surakarta. Pak Budi sadar pasti mereka juga akan menjadi sasaran massa.
"Kita harus pergi dari sini. Sekarang kita persiapkan bawaan kita, pokoknya kita harus jaga-
jaga. Entah bisa dapat tiket atau tidak, kita harus ke bandara. Aman disana daripada disini." ujar Pak
Budi menepuk pundak Hermawan. "Kamu pergi saja, kamu nggak jadi incaran." lanjutnya.

Hermawan menggeleng. Hermawan akan tetap disana membantu keluarga Pak Budi.
Hermawan yang akan membawa mereka ke bandara. Pak Budi adalah sosok yang berjasa bagi
Hermawan. Sewaktu kedua orang tua Hermawan meninggal, Pak Budi yang merupakan teman lama
ayahnya memberi tawaran untuk Hermawan agar melanjutkan pendidikannya di Surakarta. Pak
Budi memberikan tempat tinggal bahkan membayar sebagian uang kuliah Hermawan. Kedekatan
Hermawan dengan keluarga Pak Budi membuat Hermawan dianggap seperti anak sulung mereka.
Hermawan bahkan memberikan tutor pelajaran kepada Ailin dan Alvin. Itu sebabnya, Hermawan
akan sebisa mungkin melindungi keluarga Pak Budi.

Pak Hermawan lantas meminta anak-anaknya untuk bersiap-siap. Dibantu dengan


Hermawan, tepat pukul 7 malam, mereka akan kabur dan pergi ke Bandara Adi Sumarmo. Pak Budi
bahkan tidak segan-segan menyiapkan balok kayu berukuran sedang untuk membela diri apabila
terjadi sesuatu. Hermawan membantu semua persiapan yang ada. Mereka berencana keluar dengan
mobil yang akan dikemudikan oleh Hermawan dan akan menghindari daerah yang sedang terjadi
kerusuhan.

Pada pukul setengah tujuh malam, terdengar dari luar suara ricuh. Hermawan segera
mengintip dari jendela lantai atas. Banyak kerumunan massa yang tengah berjalan di tengah jalan
dan semakin mendekat. Hermawan berharap kerumunan massa itu hanya sekedar lewat saja, namun
didalam hati Hermawan ada sesuatu yang mengganjal. Hermawan bergegas meminta Pak Budi dan
keluarga untuk segera masuk ke mobil setidaknya untuk bersembunyi. Namun sayang, baru saja
mereka akan keluar untuk masuk ke mobil, rumah mereka sudah dilempari batu dari luar. Pagar
dengan tinggi 4 meter itu bergoyang-goyang lantaran kerumunan tersebut berusaha menerobos.

"Cepat kembali! Kita cuma bisa bersembunyi! Jangan misah!" bisik Hermawan. Hermawan
bergegas menggandeng tangan Ailin dan menariknya untuk bersembunyi di gudang. Ailin dan
Alvin sudah menangis ketakutan. "Tidak akan ada yang mati hari ini. Jaga satu sama lain. Itu tugas
saudara! Ailin pegang adikmu." lanjut Hermawan. Ailin segera meraih tangan kanan Alvin.

BRUAKK
Pagar rumah sudah runtuh. Hermawan langsung menarik dan membawa keluarga Pak Budi
untuk bersembunyi di gudang. Tiba-tiba genggaman tangan Alvin dengan Bu Feli terlepas. Bu Feli
dan Pak Budi sengaja melepaskan genggamannya. Alvin mengejar kembali tetapi ditahan
Hermawan. Hermawan meminta Ailin membawa Alvin ke gudang.

"Anak-anakku bakal mati kalau aku tidak disini." ujar Pak Budi seraya merangkul Bu Feli.
Hermawan menggelengkan kepalanya. Matanya berkaca-kaca. Hermawan paham. Mereka akan
mengorbankan diri mereka.
"Biar aku saja, kalian pergi! Mereka tidak akan membunuhku!" ujar Hermawan. Pak Budi
menggeleng tanda tak setuju.
"Tanpa kamu, Ailin dan Alvin akan mati. Kamu yang harus jaga mereka. Bawa mereka
pergi dari sini." pesan Pak Budi kepada Hermawan. Pak Budi segera mendorong Hermawan untuk
segera pergi lantaran pintu rumah telah digedor. "Terima kasih ya, Nak."

Tak ada pilihan lain, Hermawan segera menuju gudang. Gudang yang gelap dan sempit
karena hanya berukuran 5×5 meter menjadi saksi bisu kisah kekejaman para massa. Gudang
memang sengaja tidak dinyalakan supaya tidak mencolok. Begitu sesampainya di gudang,
Hermawan segera menemui Ailin yang tengah meringkuk di pojok. Melihat Hermawan yang datang
sendirian, Ailin paham artinya. Hermawan segera membawanya ke pelukan. Pelukan terlepas ketika
Hermawan menyadari bahwa ia tidak melihat keberadaan Alvin.

"Ai, Alvin kemana?"


"Tadi ada di belakangku!"
"Asu! Pasti nyusulin papa mama."
"Yaudah bawa kesini, Kak!"
"Gak bisa. Mereka udah berhasil masuk. Kita gak bisa ngapa-ngapain lagi. Sekali aku
keluar, kamu enggak akan aman."

Ailin menangis. Dunianya runtuh. Terdengar suara perdebatan dan teriakan-teriakan yang
memekik di telinga. Ailin dan Hermawan tahu itu adalah suara Alvin. Ailin tak kuasa menahan
tangis mendengar rintihan keluarganya. Seisi rumahnya dihancurkan dan dirusak. Terdengar suara
piano yang dihancurkan begitu saja. Hermawan menatap Ailin yang ketakutan. Hermawan berharap
mereka akan aman. Teriakan-teriakan kesakitan Pak Budi, Bu Feli dan Alvin semakin kencang.
Hermawan merangkul Ailin. Ia berusaha menenangkan Ailin meskipun tahu itu tidak mudah.
Hermawan sama hancurnya, tapi ia tidak bisa menunjukkan itu di saat seperti ini.
"JANGAN!"
"MAMAAA!"
BRAKK

Satu jam setengah berlalu, suara-suara ricuh itu semakin lama semakin hilang. Hermawan
meyakini bahwa para massa telah pergi. Hermawan beranjak dari duduknya. Hermawan ingin
melihat keadaan diluar. Melihat Hermawan berdiri, Ailin ikut berdiri. Hermawan segera
melangkahkan kakinya untuk keluar dari gudang.

"Aku mau cek dulu. Kamu disini jangan kemana-mana." ujar Hermawan sambil menahan
Ailin untuk tidak ikut. Hermawan takut apabila Ailin melihat keluarganya yang kemungkinan besar
sudah tidak bernyawa.
"Aku mau ikut. Siapa tau mereka kesusahan untuk nyusul kita."
"Diluar bahaya, aku mau mastiin dulu. Sebentar aja, Kakak janji."

Hermawan kemudian keluar dari gudang. Baru sebentar ia berjalan masuk ke rumah, , ia
sudah mencium bau anyir. Hermawan mendapati bahwa seisi rumah sudah kacau balau. Pecahan
kaca ada dimana-mana, lemari yang sudah hancur, meja kursi yang sudah acak-acakan. Rumah ini
sudah seperti tidak layak huni. Hermawan kemudian melanjutkan untuk berjalan mencari Pak Budi,
Bu Feli, dan Alvin. Matanya tertuju pada Alvin yang tergeletak di tengah reruntuhan lemari.
Hermawan segera mendekat. Ia memegang tangan Alvin yang sudah lemas dan dingin. Tulang
kakinya mencuat ke luar, lebam disekujur tubuhnya dan Hermawan mendapati kepala Alvin bocor
sehingga ia meninggal. Hermawan meremas kencang tangan Alvin. Sosok Alvin periang bahkan
Alvin adalah yang paling dekat dengan Hermawan. Hermawan kehilangan adik laki-lakinya.
Hermawan mengecup tangan Alvin sebagai tanda perpisahan.

Tak jauh dari sana, Hermawan melihat Bu Feli yang sudah terbujur kaku atas meja makan
dengan keadaan tanpa busana. Bajunya telah robek dan digunakan untuk mengikat tangan Bu Feli.
Bagian paha dan selangkangannya berlumuran darah. Hermawan melepaskan kemejanya untuk
menutupi Bu Feli. Hermawan sungguh tidak tega melihat kondisi ini. Hermawan sudah tidak bisa
membendung tangisannya lagi. Hermawan menangis dan merasa gagal. Hermawan gagal menjaga
dan melindungi orang-orang yang sudah menggangapnya sebagai keluarga. Tangisan Hermawan
berhenti ketika ia mendengar Ailin berteriak. Hermawan segera menghampiri Ailin.
"PAPA!"

Ailin menangis tersedu-sedu. Ailin menemukan Pak Budi, papanya tergeletak dengan penuh
luka dan darah. Kaki kirinya hancur, isi perut Pak Budi sedikit keluar sehingga dapat
memperlihatkan ususnya, serta terdapat gorokan di leher Pak Budi yang mengakibatkan banyaknya
darah yang keluar. Hermawan yang melihatnya terpaku. Hatinya sakit dan hancur. Namun,
Hermawan segera menutup mata Ailin dan menggendong dan membawanya ke samping halaman.
Ailin memberontak, ia ingin tetap bersama keluarganya.

"GAK MAU, AKU MAU DISINI! LEPAS KAK!" ujar Ailin sambil memukul-mukul
punggung Hermawan. Hermawan menurunkannya.
"Bukan ini yang Papa sama Mama mau! Aku sudah gagal, tolong jangan buat aku gagal juga
menyelamatkanmu." ujar Hermawan sedikit membentak.

Ailin terdiam. Matanya masih terus mengeluarkan air mata. Badannya kaku dan lesu
membuat Hermawan kemudian menurunkan emosinya. Hermawan mengusap wajahnya kemudian
menghampiri motor miliknya yang ia parkir di dekat tumpukan rongsokan. Hermawan menaiki
motor tersebut dan menghampiri Ailin.

"Ayo naik." ujar Hermawan sambil memasangkan helm pada Ailin setidaknya untuk sedikit
menutupi wajah Ailin.

Ailin naik tanpa mengeluarkan satu katapun. Wajahnya hanya memandang kedepan dengan
tatapan kosong. Ailin masih syok dengan apa yang baru daja dialami keluarganya. Di sepanjang
perjalanan pun, tidak ada satupun yang memulai pembicaraan. Semua fokus pada pikiran di
benaknya masing-masing. Hermawan memgingat momen-momen tak terlupakan bersama keluarga
Pak Budi. Pak Budi sering mengajak Hermawan dan Ailin ke toko di waktu luang untuk belajar
cara berbisnis. Pak Budi dengan nasi goreng andalannya, serta kehadiran keluarga Pak Budi pada
hari wisuda SMAnya.

Begitu sampai di bandara, situasinya sangat ramai dan padat. Tidak hanya itu, banyak sekali
korban-korban yang sedang ditangani oleh medis disebelah utara bagian Check-In. Hermawan
mencari informasi kelanjutan perkara masalah ini.

"Ai, haus?"
Ailin tidak menjawab. Ia hanya termenung. Hermawan kemudian membawa Ailin ke arah
petugas medis untuk diperiksa. Petugas medis awalnya menolak lantaran Ailin tidak mengalami
luka fisik yang berat namun setelah mendengar sekilas cerita dari Hermawan, petugas medis itu
akan meembawa Ailin pergi. Hermawan ingin mengikutinya namun petugas medis menolak
lantaran kapasitas yang ada sudah terlalu memenuhi. Hermawan hanya bisa menunggu Ailin dari
jauh ditengah kerumunan manusia.

"Aku yang akan urus Papa, Mama dan Alvin. Aku janji." ujar Hermawan sambil mengelus
kepala Ailin. Ailin masih diam dan tidak merespons. Ailin kemudian dibawa oleh petugas medis
dan berpisah dengan Hermawan.

Malam itu adalah malam terakhir Hermawan dengan Ailin. Hermawan mengetahui bahwa
Ailin telah diberangkatkan ke Singapura bersama korban-korban lain pada pukul setengah satu pagi
tadi untuk menjalani pengobatan yang intensif. Hermawan lega mendengar kabar tersebut.

"Pak Budi, Ailin berhasil." ujar Hermawan lirih.

Setelah mengetahui keberadaan Ailin sekarang sudah aman, Hermawan kemudian pulang
menuju rumah Pak Budi bersama kepolisian, petugas medis, dan sukarelawan untuk membantu
mengurus dan menyelidiki penyiksaan ini. Hermawan memakamkan mereka secara layak di salah
satu pemakaman, yaitu Kuburan Mojo. Hermawan menggunakan segala cara yang ia dapat gunakan
untuk menghubungi Ailin namun tidak ada balasan kabar.

Hermawan memberikan satu kotak yang cukup besar kepada Ailin. Kotak itu berisikan
peninggalan berharga yang berhasil ia selamatkan. Kotak itu sudah usang dan berdebu.

"Waktu itu aku cuma bisa selamatkan ini." ujar Hermawan sambil menyerahkan kotak
tersebut.

Ailin tersenyum dan membuka kotak itu. Kotak yang berisikan foto-foto keluarga, sebuah
buku jurnal masak milik Bu Feli, topi baseball milik Alvin yang warnanya sudah memudar, dan
sebuah kalung yang Pak Budi anggap sebagai kalung keberuntungan. Dengan melihat semua ini,
Ailin menjadi hidup. Ia merasakan bahwa keluarganya ada disini.

"Terima kasih, Kak. Aku gak pernah terpikir bakal menemukan ini semua."
"Kakak meridukanmu, Ailin. Gadis kecil yang selalu merecoki ku kemana saja."
"Hahahaha! Aku akan merecokimu lagi jika begitu."

Mereka bertiga berbincang-bincang selama beberapa jam. Bertukar cerita, menceritakan


kehidupan masing-masing di Singapura dan Indonesia, hingga membicarakan hal-hal lucu lainnya.
Ailin dan Hermawan seperti mengenang masa lalu. Pembicaraan mereka harus berakhir karena jam
sudah menunjukkan pukul tiga sore. Ailin dan Arnold akan mendatangi makam keluarganya untuk
pertama kalinya. Hermawan menawarkan diri untuk menemani Ailin dan Arnold tetapi mereka
menolaknya.

"Makamnya ada di sebelah utara, Ai. Begitu kamu melihat, kamu akan tahu." ujar
Hermawan.
"Terima kasih, Kak udah menjadi sosok kakak yang seperti ini. Aku senang punya kakak."
"Terima kasih sudah pulang, Ai."

Hermawan dan Ailin berpelukan. Mereka melepaskan rindu yang begitu dalam yang telah
dipendam selama bertahun-tahun. Hermawan kemudian mengantarkan Ailin dan Arnold ke depan
rumahnya. Ailin menatap terus motor tua milik Hermawan. Ailin tersenyum simpul. Motor itu
adalah penyelamat.

"Kalau motornya dijual, hubungi aku ya, Kak." Ailin tertawa kecil. Ailin tahu Hermawan
tidak akan pernah sampai kapanpun menjual motor itu.

Taksi yang ditumpangi Ailin dan Arnold sudah datang. Ailin dan Arnold segera berpamitan
kepada Hermawan. Taksi itu akan mengantarkan mereka menuju tempat peristirahatan terakhir
keluarga Ailin. Pertemuannya dengan Hermawan membuat beban di dalam dirinya seakan hilang.
Rasa berat yang kemarin ada kini sudah hilang.

Sebelum masuk ke dalam taksi, Ailin menoleh dan berkata, "Tapi seharusnya Kakak
membiarkanku mati bersama keluargaku."
TAMAT
PREMIS

Kerusuhan 1998 adalah kerusuhan rasial terhadap kaum etnis Tonghoo pada awal
pertengahan Mei 1998. Kerusuhan ini terjadi di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya adalah
kota Surakarta. Hermawan Djatmiko merupakan seorang mahasiswa UMS yang turun untuk
berdemontrasi akibat kasus Trisakti. Hermawan tinggal di sebuah kos yang dimiliki oleh seorang
keturunan Tionghoa bernama Tay Djung Lee, atau yang kerap dipanggil Pak Budi. Kerusuhan yang
terjadi membuat keluarga Pak Budi bersembunyi di kediamannya yang berada didekat kos. Malam
hari, rumah Pak Budi di jarah dan menyisakan perselisihan. Setelah para penjarah pergi, Hermawan
segera berlari untuk menyelamatkan mereka. Hermawan membawa keluarga Pak Budi dan keluarga
ke bandara meskipun sulit. Mereka bertemu kembali setelah bertahun-tahun berpisah.
BIONARASI
Shyren Alexa Hernanto yang biasa akrab dipanggil Shyren lahir di Salatiga, 13 November
2005. Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan di bangku SMA yaitu SMA Negeri 1 Salatiga. Ia
memiliki hobi menonton film dan berenang. Jika ingin mengirimkan pesan atau saran dapat
dihubungi melalui shyrenalexahernanto@gmail.com.

Anda mungkin juga menyukai