Anda di halaman 1dari 7

73.

Kematian Ke-33

Opsir Amar menekan klakson mobil beberapa kali dengan dalam agar barisan mobil yang ada di
hadapannya segera melaju, bukannya berhenti entah sampai kapan. Mobil polisi yang saat ini kedua
opsir itu tumpangi beserta keempat remaja murid sekolah ternama Lachesis akan pergi ke lokasi korban
kematian ke 32 setelah mendapatkan telepon laporan adanya kejadian mengenaskan yang terjadi di
sebuah warung di pasar raya.

Opsir Amar dengan menyeringai membunyikan klakson sekali lagi dengan bunyi yang panjang,
kemudian menyalakan sirine mobil polisi yang mereka tumpangi agar diberi jalan, namun sia-sia.

Mobil-mobil yang terjebak macet bersama mereka tidak bergerak sedikit pun justru klakson mobil
mereka saling bersahut-sahutan terdengar, beberapa orang melongok dari kaca mobil untuk melihat
situasi di depan sana.

"Ah! Sial! Kenapa bisa macet begini? "

Opsir Amar menggerutu.

"Telepon bagian lalulintas, mereka dibayar untuk mengamankan hal semacam ini, " ucap opsir Bambang
yang segera dipatuhi oleh opsir Amar. Pria itu segera menelepon kantornya dan meminta agar polisi lalu
lintas segera mengatasi kemacetan yang terjadi di ruas jalan ia berada saat ini. Sementara itu, ke empat
remaja yang saat ini duduk di bangku penumpang di belakang hanya bisa terdiam dengan pikiran
masing-masing. Alice yang duduk di dekat jendela merenung. Menatap setengah kosong mobil yang
berada di dekat mobil yang ia tumpangi saat ini.

"Kita pasti sudah terlambat sekarang," ucap Rein menghapus keheningan di dalam mobil tipe range
rover itu. Terdengar helaan napas dari opsir Bambang.

"Semoga saja tidak, kita tidak bisa mengambil jalur tercepat untuk sampai kesana," terang opsir
Bambang. Opsir Amar berdecak kemudian memukul kemudian karena jengkel.

"Kenapa lama sekali?" rutuknya lagi kemudian menekan klakson sekali lagi dan menyalakan sirine
selama beberapa menit, tetapi tidak ada yang bergerak. Opsir Bambang tersenyum melihat bawahannya
yang lain tetapi dalam hal kinerja dia salah satu yang terbaik dan sangat bisa diandalkan.

Alice hanya diam menanggapi ucapan Rein, matanya tidak pernah beralih kemanapun saat ini. Seorang
anak kecil melambai padanya dari balik kaca mobil yang saat ini berada disamping mobil ini. Alice
tersenyum kecil melihat anak yang ia perkirakan berusia dua tahun itu. Lalu pikirannya kembali
mengembara.

"Caitlin.... apakah kau akan melakukan ini sampai semuanya benar-benar berakhir?" Pertanyaan itu
menggema dibenaknya. Sejak ia sering melihat penampilan Caitlin akhir-akhir ini, ia berharap suatu saat
bisa bicara dengan gadis itu.
Opsir Bambang menghela napas lagi kemudian berkata, "seharusnya kita ke rumah korban sejak tadi
malam." Nadanya penuh sesal. Opsir Amar tidak bisa berkata-kata ia juga merasa menyesal karena tidak
memilih untuk datang lebih awal ke rumah gadia itu.

"Setelah kasus ini, kita harus segera membahas korban selanjutnya, agar tidak ada lagi kejadian kita
terlambat." Opsir Bambang berkata dan di angguki setuju oleh Lea, Rein dan King. Kecuali Alice ia masih
sibuk dengan pikirannya.

Mobil pun akhirnya mulai bergerak sedikit demi sedikit.

"Haaaaah....Thanks God." Opsir Amar terlihat sedikit lega. Ia mengubah posisi perseneling mobil agar
benda itu bergerak maju. Alice teralihkan oleh laju mobil yang mulai meninggalkan tempatnya berdiam
sejak tadi. Opsir Amar pun kembali membunyikan sirine agar mobil mereka diberi prioritas utama untuk
menggunakan jalan. Hal itu pun membuat polisi lalu lintas membuka jalan untuk membuka jalan untuk
mereka agar bisa terlebih dahulu keluar dari kemacetan saat ini. Saat mereka melintas dihadapan polisi
lalu lintas yang bertugas, polisi itu memberi hormat dengan sedikit menundukkan kepala, Opsir Amar
membalas dengan wajah dingin.

"Andai aku yang jadi atasannya sudah kupotong gajinya. Apa yang mereka lakukan sehingga jalan
dibiarkan macet?!" Opsir Amar kembali mengomel.

"Kalau kau yang jadi atasannya, kau akan merasakan kemarahanku saat ini", timpal Opsir Bambang yang
ditanggapi pria itu dengan menelan ludah kering. Mobil range rover itu melaju membelah jalan raya
yang terlihat lengang. Tanpa membuang waktu, Opsir Amar pun menginjak pedal gas lebih dalam untuk
memacu kecepatan agar segera tiba di TKP.

Mobil yang mereka tumpangi pun menurunkan laju saat mendekati tempat tujuan. Tampak orang-orang
berkerumun, Opsir Amar membunyikan klakson dengan bunyi pendek agar orang-orang yang saat ini
berada sedikit menjorok ke jalan raya menyingkir. Ia pun mematikan sirine mobil setelah berhasil
menemukan tempat parkir dan berhenti. Mereka turun bersamaan dari mobil kemudian bergegas
menghampiri kerumunan.

"Tolong beri jalan, kami dari pihak kepolisian," seru Opsir Amar seraya mengacungkan lencana polisi
miliknya. Orang-orang yang berkerumun pun segera terbagi untuk memberi jalan kedua opsir itu yang
diikuti oleh ke empat remaja yang merupakan teman korban. Tampak seonggok jasad seorang gadis
berada dalam pelukan seorang wanita yang saat ini menangis histeris. Wajahnya memerah karena sejak
tadi telah berurai air mata dan berteriak. Bagian depan tubuh wanita itu beserta tangannya berlumuran
darah tetapi ia tidak peduli, yang ia inginkan hanyalah putrinya kembali hidup.

Opsir Amar berjongkok di dekat wanita itu dan meneliti keadaan korban yang ia yakini sudah tidak
bernyawa itu. Pria itu menoleh ke arah opsir Bambang dan memberi isyarat berupa gelengan lemah jika
korban sudah tidak bernyawa. Opsir Bambang dan ke empat remaja yang bersamanya saat ini pun
menghela napas dengan keras. Tampak raut penyesalan dari wajah Alice dan ketiga temannya karena
keterlambatan mereka menyelamatkan korban. Sementara opsir Bambang menunjukkan raut wajah
kesal karena tidak berhasil mengambil langkah preventif untuk menyelamatkan korban.

Petugas media pun datang untuk mengevakuasi jasad Cecil yang telah menjadi mayat itu. Ibunya pun
dibantu berdiri dan ditopang oleh beberapa warga yang masih berkerumunan di sekitar tempat kejadian
saat putrinya dimasukkan kedalam body bag dan di bawa petugas medis ke rumah sakit untuk
diamankan. Opsir Amar pun mulai melakukan tugasnya mencari informasi mengenai kejadian tewasnya
gadis remaja itu. Ia pun mendatangi pemilik toko. Sementara itu Opsir Bambang menelepon ke
kantornya agar membawa tim ke TKP untuk mengamankan TKP tersebut.

Alice dan tiga orang temannya ikut bersama opsir Amar untuk mendengarkan keterangan pemilik toko
atas kejadian yang baru saja terjadi itu.

"Awalnya, gadis itu akan membeli sebuah parutan kelapa, aku yang melayaninya, saat kami sedang
mencoba alat itu, entah apa yang terjadi setelah itu karena aku sempat meninggalkannya untuk
memeriksa colokan listrik yang aku gunakan untuk mencoba parutan itu karena benda itu tidak menyala
saat kami nyalakan." Pemilik toko itu berkata sesuai dengan apa yang ia alami beberapa saat yang lalu.

"Apakah ada orang lain yang ia ajak bicara sebelum menemui anda, nyonya?" Opsir Amar menatap
pemilik toko dengan mimik serius.

"Saya tidak tahu kalau itu, pak, anda bisa tanya ke salah satu karyawan saya, mungkin di antara mereka
ada yang bicara dengan gadis itu lebih dulu."

Opsir Amar pun mengangguk kemudian beralih ke salah satu karyawan toko, seorang pria muda.

"Apa kau bicara dengan korban saat dia sampai di sini?" Opsir Amar memulai kembali interogasinya. Pria
itu mengangguk dengan gestur gugup.

"I-iya pak. dia bilang mau membeli alat parutan kelapa, saya langsung antarkan dia di barisan antrian
paling depan, tapi kemungkinan dia menerobos kerumunan orang-orang yang berkerumun jadi dia bisa
sampai sepenuhnya di depan toko," terang pria muda itu. Opsir Amar menghela napas kemudian
mengangguk.

"Pihak kami akan kembali memanggil jika kamu membutuhkan keterangan lebih lanjut, anda diminta
untuk bersedia memenuhi panggilan kami," ucap Opsir Amar ke pemilik toko dan pria muda yang ia
tanyai itu. Mereka berdua pun mengangguk atas pernyataan itu. Para warga pun sedikit demi sedikit
mulai membubarkan diri, ada yang memilih tinggal untuk mengetahui langkah selanjutnya dari pihak
kepolisian.

Tim keamanan khusus yang dimintai oleh Opsir Bambang pun tiba di TKP dan segera mengamankan
tempat kejadian perkara, terkhusus tempat Cecil tewas yang di sana masih menyisakan jejak darahnya
yang lumayan banyak, dan alat parutan serta serpihan gelas yang pecah, masih berserakan di tempat itu.
Alice menatap lokasi itu dengan tatapan miris bercampur ngeri. Setiap kali seorang teman tewas ia
selalu bisa membayangkan bagaimana para korban merasakan kematian itu menjemputnya. Beberapa
petugas kepolisian mulai membersihkan serpihan kaca yang berserakan dan darah yang cukup banyak
berceceran di sana.

Dua orang polisi pun memasang police line untuk area itu. Alice menghampiri TKP itu dan berdiri di luar
police line. Pemandangan seperti ini masih bisa membuatnya bergidik ngeri namun tidak seintens
sewaktu awal-awal ia melihat kematian-kematian tragis itu terjadi. Alice menatap darah Cecil yang
menggenang cukup banyak. Gadis itu sempat menolongnya menemukan korban kematian di tangki
sewaktu di villa milik Rein. Ia tidak mengenal dengan baik gadis itu karena hanya sebatas ingin
membantunya, namun dimatanya orang-orang yang telah berbuat jahat pada Caitlin adalah kriminal.
Seorang polisi wanita berpakaian seperti opsir Amar, mengenakan jaket kulit hitam yang terbuka, celana
bahan yang begitu pas berwarna coklat tua, dengan rambutnya terkuncir dengan model ekor kuda,
memotret beberapa benda yang ada di dalam kawasan police line termasuk genangan darah Cecil. Alice
bertanya-tanya dalam benaknya mengapa polisi memotret darah itu. Saat polisi wanita itu bergeser ke
arah Alice saat ini, gadis itu pun bertanya.

"Untuk apa anda memotret darah itu?"

Polisi wanita itu menoleh pada Alice sepenuhnya, ia tersenyum.

"Kami butuh semua barang bukti untuk penyelidikan dan kami tidak ingin melewatkan apapun jika ada
kejanggalan. Dia temanmu?" Tanya polisi wanita itu. Alice mengangguk dengan wajah datar.

"Kalian berteman baik?" Polisi wanita itu tampak ingin tahu. Alice kembali menggeleng.

"Aku hanya mengenalnya saat kami tinggal bersama-sama di villa milik seorang teman," terang Alice
singkat namun tidak menjelaskan secara gamblang karena ia rasa tidak perlu. Polisi wanita itu
mengangguk kemudian berpaling dan melanjutkan kegiatannya memotret objek yang ia rasa penting
untuk penyelidikan.

"Apakah kematian kali ini karena kecelakaan lagi?" Tanya Alice saat polisi wanita itu masih berada di
dekatnya. Wanita itu menoleh lagi padanya dan merasa jika gadis itu tahu sesuatu. Ia mendekati police
line untuk bicara lebih dekat dengan Alice.

"Kau berharap kalau ini sebuah pembunuhan?" tanya opsir wanita itu dengan suara rendah dan tatapan
sedikit menajam. Alice yang tidak memperhatikan ekspresi wanita itu karena menatap setengah kosong
ke arah darah Cecil menghela napas.

"Aku rasa tidak, mungkin memang ini hanya sebuah kecelakaan," ujar Alice, opsir wanita itu pun
mengangkat kedua keningnya dan berpikir ia sudah salah duga. Kemudian meninggalkan Alice untuk
berpindah ke tempat lain. Alice menghela napas setelah opsir wanita itu menjauhinya, ia tidak
bermaksud membuat kecurigaan apapun beralih padanya. Sudah cukup rasanya ia harus menceritakan
apa yang sebenarnya terjadi. Alice berpaling dan mencari dia opsir yang membawa ke sini, tengah
berbincang tak jauh dari tempat ia berdiri saat ini.
Sementara itu, opsir Bambang kembali mendengar penuturan pemilik toko tentang kejadian itu dan ia
pun mengangguk, benaknya membenarkan kejadian ini sama dengan yang tertulis di buku terkutuk itu.
Jasad Cecil telah di bawa petugas medis dengan ambulance beberapa saat yang lalu, opsir Bambang
sempat menemui wanita itu sebelum ikut mengantar jenazah anaknya untuk datang ke kantor polisi
agar memberikan keterangan terkait putrinya. Wanita itu mengangguk dengan raut wajah muram
sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil ambulance. Percakapan antara ibu Cecil dan opsir Bambang
pun tidak luput darinya. Ia menatap wanita paruh baya yang baru saja kehilangan putri semata
wayangnya itu. Gurat kesedihan begitu terlihat di wajahnya yang sembab akibat menangis entah berapa
lama. Alice hanya menatap sebentar baginya, itu adalah pemandangan yang memilukan. Melihat
seorang ibu yang mencoba untuk merelakan kepergian anaknya untuk selamanya. Hatinya juga
nelangsa, meskipun apa yang dirasakan ibu Cecil jauh lebih parah dibanding yang ia rasakan saat ini.

"Kalian berempat kembalilah ke mobil, kita akan bicarakan kematian selanjutnya di perjalanan," ucap
opsir Bambang pada ke empat remaja itu. Mereka pun menurut dan segera berlalu kembali ke mobil
range rover yang mereka tumpangi ke sini. Hari tengah menjelang sore saat mereka meninggalkan lokasi
TKP.

"Jadi, siapa selanjutnya?" Tanya opsir Bambang saat mereka tengah dalam perjalanan yang rencananya
akan mengantar pulang para remaja itu.

"Untuk apa anda bertanya?" Tanya Rein dengan nada dingin.

"Tentu saja untuk menyelamatkannya, kita sudah sepakat untuk itu, bukan?!" Opsir Bambang merasa
aneh dengan pertanyaan salah satu dari mereka.

"Sepertinya, tidak ada gunanya kita menyelamatkan mereka, pada akhirnya kita selalu datang setelah
mereka semua jadi mayat," ucap Alice yang membuat keheningan segera menguasai keadaan di antara
mereka.

"Kali ini kita harus lebih cepat mengambil keputusan dan tindakan, kematian berikutnya pasti akan
terjadi dalam waktu 24 jam kedepan." Opsir Bambang berusaha untuk tetap optimistis dan
mengabaikan Alice yang pesimis.

"Kita tidak akan bisa menyelamatkan mereka." Itu King yang bicara.

"Sekali kalian meminta bantuan kami, kami akan berusaha membantu kalian. Bukankah kalian sendiri
yang mendatangi kami dan bilang agar kami harus membantu kalian? Dan disinilah kami." Opsir
Bambang berusaha agar tidak terbawa emosi atas rasa putus asa yang ke empat remaja itu rasakan. Ia
cukup bisa bisa mengerti akan tekanan yang mereka hadapi, memanglah tidak mudah.

"Masalahnya adalah, kita tidak tahu siapa korban selanjutnya." Opsir Amar angkat bicara setelah diam
karena fokus mengemudi. Jalanan cukup ramai di sore hari karena waktu pulang kerja, Sehingga padat
oleh orang-orang yang ingin segera tiba di rumah. Mendengar hal itu, Alice tersenyum kecil, jujur saja, ia
sedikit termotivasi akan semangat opsir Bambang yang sungguh-sungguh akan membantu mereka.
"Aku sudah tahu siapa korbannya," ucap Alice yang kemudian direspon oleh opsir Bambang dengan
menoleh sedikit ke arah bangku penumpang. Alice membuka buku The Writers dan memangkunya.

"Gadis itu pernah mengikat sepatu Caitlin diam-diam hingga ia terjatuh menabrak kaki meja dan lantai."
Alice membacakan kalimat pembuka dari bagian korban ke 33 itu.

"Siapa korbannya?" tanya opsir Bambang sedikit tidak sabaran.

"Aku hanya tahu orangnya tetapi tidak tahu alamatnya." Alice mengungkapkan kendala yang ia alami.

"Bagaimana kau tahu kalau dia korbannya?" Opsir Bambang ingin tahu begitu juga yang lain. Alice
menutup buku itu kemudian menyandarkan punggungnya ke jok mobil. Ingatannya berlari ke dua hari
sebelumnya ia mengirimkan pesan berantai palsu ke grup WhatsApp kalau dia memiliki sebuah video
saat Caitlin menjadi korban bully yang dengan sengaja secara diam-diam mengikat tali sepatu Caitlin
sehingga gadis itu terjatuh dan menabrak kaki-kaki meja dan lantai.

Tidak butuh waktu lama, salah seorang dari mereka mengakui perbuatannya dan memohon pada Alice
untuk tidak menyebarkan video itu.

"Aku sengaja mengirim pesan berantai palsu kalau aku punya video pembullyan Caitlin saat itu. Dan
benar saja, tidak butuh waktu lama seorang siswi mengaku padaku, dia memohon agar video itu tidak
disebarluaskan. Tapi sayangnya, dia tidak ingin kuajak bertemu waktu itu, jadi aku tidak tahu tentang dia
lagi." Alice bercerita secara singkat namun jelas.

"Kalau begitu, kita harus ke kantor lebih dulu untuk menemukan alamat korban selanjutnya," putus
opsir Bambang yang hanya bisa dipatuhi pasrah oleh ke empat remaja itu. Setibanya di kantor polisi,
opsir Bambang terlebih dahulu menemui ibu Cecil yang baru saja tiba untuk dimintai keterangan. Ke
empat remaja itu pun dipersilahkan untuk menunggu di ruangan opsir Bambang.

"Kenapa kau tidak menghubungiku? Aku bisa membantumu memaksanya untuk menemuimu," ucap
saat mereka hanya berempat di ruang opsir Bambang. Alice sebenarnya tidak memikirkan saat itu untuk
melibatkan siapapun. Entahlah, dia hanya ingin melakukannya sendirian.

"Aku lupa," jawab Alice yang ditanggapi King dengan mengerutkan kening. Seolah ia tersinggung.

"Kau tidak percaya padaku?" tanya King yang akhirnya merasa tersinggung. Rein yang mendengar itu
menghela napas keras.

"Sudahlah.....kau tidak perlu mempermasalahkan itu, Alice sudah berusaha agar kita tahu korban
selanjutnya dengan cepat." Rein pun menghentikan sentimental King yang tidak tepat saat ini. King
mendengkus kesal karena teguran itu, tetapi ia tidak bisa membantah pembelaan King pada Alice yang
memang benar.

Setelah beberapa saat menunggu, opsir Amar datang dan menyuruh mereka mengikutinya ke sebuah
ruangan. Ruangan yang cukup luas dengan meja yang berbentuk lonjong dengan enam kursi yang
mengelilinginya. Jendela kaca di kanan kiri dengan tirai roller blind yang menutupinya. Ada lemari besi
yang cukup besar, dan sebuah meja lagi di sudut ruangan yang di atasnya terdapat sebuah perangkat
komputer yang lengkap. Ada alat sinar ultraviolet juga di atas meja itu. Mereka duduk dan menyisakan
satu kursi yang seharusnya diisi oleh opsir Amar tetapi pria itu memilih duduk di depan personal
komputer yang ada di sudut ruangan ini.

"Kau tahu nomor ponselnya?" Tanya opsir Bambang seraya memberikan secarik kertas pada Alice
beserta pulpen. Alice pun merogoh ponsel miliknya yang ada di saku celana jinsnya kemudian membuka
aplikasi berwarna hijau dan membuka profil orang yang saat ini mereka bicarakan. Alice pun menuliskan
sederet angka kemudian memberikannya ke opsir Bambang. Pria itu pun memberikan kertas itu pada
opsir Amar yang duduk di depan PC. Dengan cepat opsir Amar mengetikkan nomor ponsel itu dan tidak
menunggu waktu lama mereka sudah mendapatkan informasi lengkap mengenai alamat korban
kematian selanjutnya.

"Kami sudah menemukan alamatnya," beritahu opsir Bambang dan Alice pun terkejut.

"Secepat itu?" tanyanya dengan raut wajah takjub. Opsir Bambang tersenyum.

"Kami bisa melacak ponsel seseorang hanya dengan memberikan nomornya, kartu chip yang kalian
gunakan terhubung dengan data base kami." Opsir Bambang memberitahu sedikit cara kinerja
kepolisian dalam mengungkap data. Ke empat remaja itu pun mengangguk-angguk dengan wajah
mengerti dan juga takjub.

"Apakah kami harus membawa kalian ke rumah korban? Atau kalian ingin pulang saja?" tawar opsir
Bambang.

"Sebaiknya, kami pulang saja, orang tua kami pasti sedang khawatir apalagi cerita tentang kejadian hari
ini pasti sudah tersebar di media." Alice memilih untuk pulang karena masalah ini ia anggap sudah
berada di tangan yang tepat. Yang lain pun mengikuti saran Alice untuk juga dipulangkan.

"Kalau begitu, kalian akan di antar oleh salah satu opsir yang akan saya perintahkan untuk mengantar
kalian pulang. Akan sangat memakan waktu jika kami yang harus mengantar kalian juga untuk pulang."

Mereka mengangguk setuju dengan arahan opsir Bambang, mereka pun berpisah di depan kantor polisi.
Opsir Bambang dan Amar beranjak ke mobil yang mereka tumpangi tadi sedangkan ke empat remaja itu
beranjak mengikuti seorang opsir yang ditugaskan untuk mengantar mereka pulang menggunakan mobil
yang kurang lebih sama dengan yang digunakan opsir Bambang dan Amar menuju ke rumah korban ke
33 itu.

Anda mungkin juga menyukai