Anda di halaman 1dari 3

74.

Kematian Ke-33 (2)

Range rover yang dikendarai oleh dua opsir polisi itu tengah melaju dengan kecepatan di atas rata-rata
membelah jalan raya yang tampak sedikit lengang. hingga mobil mereka berhenti di sebuah rumah yang
cukup luas dengan dua lantai. Opsir Amar dan Bambang pun segera turun dari mobil.

"Kenapa semua orang-orang kaya selalu dalam bahaya? Apa karena mereka sombong dan juga bodoh?"
Amar berkata seraya menatap model bangunan rumah dengan tubuhnya yang berdiri di depan pintu
mobil.

"Mungkin seperti itu. Mereka berpikir bebas melakukan apapun tanpa memikirkan risiko yang akan
mereka tanggung nantinya." Opsir Bambang menimpali kemudian menghela napas keras.

"Seharusnya, pihak sekolah melapor jika ada banyak pembully di antara murid-murid mereka, apa
karena mereka kaya?" Opsir Amar menoleh menatap atasannya itu dengan ekspresi menebak akan
asumsinya. Opsir Bambang kembali menghela napas keras, ia menatap ke arah bangunan lantai dua
yang kini berdiri kokoh di hadapannya. Tampak sebuah kamar tengah di matikan lampunya. Ia merasa
tidak perlu menanggapi pertanyaan bawahannya yang dia sudah tahu sendiri jawabannya.

"Ayo, kita masuk," ujar opsir Bambang yang lebih dahulu menghampiri pintu gerbang dan membukanya.
Ia pun masuk ke halaman rumah diikuti opsir Amar di belakangnya. Ia menekan bel yang tergantung di
salah satu sisi kusen pintu dan menunggu beberapa saat. Seorang wanita yang usianya memasuki empat
puluh tahun pun membukakan pintu untuk mereka.

"Selamat malam, Nyonya, kami dari pihak kepolisian," ujar opsir Bambang seraya menunjukkan lencana
begitu juga dengan opsir Amar.

"Ada yang bisa saya bantu, pak?" Tanya wanita itu terlihat bingung.

"Kami ingin menemui putri Anda, Nyonya, ada beberapa hal yang harus kami diskusikan dengannya,"
jawab opsir Bambang yang ditanggapi wanita itu dengan kening mengerut tajam.

"Ada hal apa, Pak? Kenapa dengan putri saya? Apakah dia melakukan sesuatu yang melanggar hukum?"
Pertanyaan wanita itu hanya mengulur waktu kedua opsir polisi itu untuk mengamankan target.

"Maaf, Nyonya, kami tidak bisa memberikan alasan yang pasti kepada anda mengenai hal ini, kami
mohon kerjasamanya agar kami bisa segera menemui putri Anda." Opsir Bambang menatap wanita itu
serius, namun wanita itu berubah tidak setuju akan alasan opsir Bambang untuk menemui putrinya.

"Anda bisa beritahu saya ada perlu apa Anda dengan putri saya, saya ibunya," ujar wanita itu mulai kesal
namun opsir Bambang pun menoleh ke opsir Amar dan memberi isyarat untuk segera masuk ke dalam
rumah untuk mencari gadis itu.

" Hei! Mau kemana Anda!! Anda tidak bisa seenaknya masuk ke rumah saya tanpa saya izinkan," bentak
wanita itu marah namun dua opsir itu menulikan telinga dan bersikap tidak peduli. Opsir Amar bertemu
dengan seorang wanita yang merupakan asisten rumah tangga rumah itu dan menanyakan kamar sang
nona muda.

"Di lantai dua, Pak. Nona muda sedang istirahat di kamarnya," jawab wanita itu sopan. Opsir Amar pun
segera menaiki tangga menuju ke lantai dua. Ia membuka salah satu kamar yang berada di sebelah kiri
tangga. Ia mengetuk beberapa kali dan keluarlah sang pemilik kamar yang merupakan target mereka.

"Dengan Nona Rosiana?" tanya opsir Amar ke gadis itu.

"Benar, Pak? Anda siapa?" Gadis itu menatap opsir Amar bingung seraya menilai penampilan pria itu
dari atas hingga bawah.

"Saya dari pihak kepolisian," ucap opsir Amar seraya menunjukkan lencananya kemudian berkata lagi,
"Saya harus mengamankan Nona ke kantor polisi." Gadis itu sontak terbelalak terkejut.

"Kantor polisi? Salah saya apa, Pak? Saya tidak salah apa-apa," ucap gadis itu sedikit panik.

"Sebaiknya, kita bicara di luar agar ibumu juga mendengarkan penjelasan kami," saran opsir Amar yang
diangguki oleh gadis itu kemudian beranjak menuruni tangga hingga ke depan pintu utama rumahnya
yang mana di sana masih berdiri ibunya dan opsir Bambang.

"Kami harus membawa putri Anda ke kantor polisi untuk diamankan. Putri Anda terlibat dalam bahaya
sehingga kami ingin putri Anda masuk dalam daftar pengawasan kami untuk diamankan ke kantor
polisi," terang opsir Bambang yang hanya membuat ibu dan anak itu semakin bingung.

"Bahaya apa yang mengintai saya, Pak?" tanya gadis itu ingin tahu.

"Kami tidak bisa mengatakannya yang jelas kamu harus dibawa ke kantor polisi untuk diamankan." Opsir
Amar angkat bicara. Gadis itu hanya bertambah bingung dan ibunya yang mendengar penjelasan tidak
jelas itu merasa kesal.

"Tidak!! Anda tidak bisa membawa putri saya dengan alasan tidak jelas seperti itu! Anda bisa
membawanya jika Anda punya surat penangkapan."

Opsir Amar dan Bambang mulai terbawa oleh sikap ibu gadis itu yang tidak kooperatif. Opsir Bambang
kembali memberi isyarat ke bawahannya itu untuk membawa gadis itu ikut bersama mereka meskipun
tanpa persetujuan ibunya, namun saat opsir Amar akan melewati sang ibu dengan membawa pulang
gadis itu, sang ibu segera menarik putrinya ke arahnya dan mendorong opsir Amar keluar melewati
pintu utama.

"Jika Anda tidak bisa menunjukkan surat penangkapan putri saya, saya tidak akan membiarkan kalian
membawanya," kecam wanita itu kemudian menutup pintu dengan cara membantingnya. Kedua opsir
itu hanya bisa mendengkus kesal atas kegagalan mereka membawa gadis itu untuk mereka amankan.
Opsir Amar berdecak seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan perasaan frustasi.
"Aku lupa kalau harus membawa surat penangkapan," ujar opsir Amar yang langsung ditanggapi
atasannya itu dengan menghela napas keras.

"Ya, aku juga tidak sempat memikirkan hal itu." Opsir Bambang mengakui ketidaksiapan mereka
mengatasi masalah ini.

"Jadi kita harus bagaimana? Butuh waktu untuk kembali ke kantor dan membuat surat itu, aku bisa saja
memalsukannya tetapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya jika kita lalai sedikit saja."
terang Opsir Amar memuntahkan pikirannya saat ini. opsir Bambang mengangguk setuju dengan
pemaparan bawahannya itu.

"Ayo, kita kembali ke mobil dan pikirkan cara lain." Opsir Bambang pun beranjak lebih dulu diikuti opsir
Amar.

"Apakah, tidak ada cara lain?" tanya opsir Amar saat mereka telah berada di dalam mobil. Ia
meninggalkan lokasi tempat mereka parkir saat ini, maju beberapa langkah di bawah sebuah tiang listrik
dengan bohlam oranye. Setidaknya mereka mendapatkan penerangan saat mereka berada di dalam
mobil.

Opsir Bambang tampak berpikir. Ia menopangkan sikunya yang berada di sisi pintu mobil, dan
meletakkannya pada bagian pinggiran kaca mobil. Tangannya memijat ringan pelipisnya. Ia tidak
memikirkan kemungkinan lain sebelum berangkat ke rumah korban selain pengamanannya akan
berjalan dengan lancar. Ia melupakan soal penjelasan yang harus ia berikan ke orang tua gadis itu saat
harus membawanya dan surat penangkapan yang seharusnya mereka bawa. Ia akui, alasan yang ia
berikan tidak bisa diterima siapapun, bahkan jika dia berada dalam posisi ibu gadis itu ia akan bersikap
sama. Ia tidak mungkin mengatakan alasan sebenarnya yang berkaitan dengan buku terkutuk itu, karena
pasti mereka akan dianggap gila, atau polisi gadungan yang punya niat jahat.

"Perlukah kita menghubungi ke empat remaja itu? Mungkin saja mereka punya usul untuk itu." Opsir
Amar menyarankan. Opsir Bambang tampak berpikir sejenak kemudian setuju.

"Kau hubungi dia, sementara itu kita di sini untuk beberapa saat, mau tidak mau hanya bisa membuntuti
gadis itu untuk sementara waktu," ucap opsir Bambang dan tanpa membuang waktu, opsir Amar segera
menghubungi salah satu nomor dari ke empat remaja itu.

Anda mungkin juga menyukai