Anda di halaman 1dari 12

PENERAPAN TEORI TARIGAN (PEMBELAJARAN K 13)

DALAM CERPEN SEPOTONG KAKI

KARYA OKA RUSMINI

Oleh :
INDRA DWI NUGROHO
1105200036

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI RONGGOLAWE (UNIROW) TUBAN
2020
SEPOTONG BIBIR DI JALAN RAYA

T iga hari setelah kerusuhan 27 Juli, Nana menemukan sepotong bibir tergeletak di
jalan raya. Semula ia mengira, itu hanyalah sisa permen karet atau bibir plastik
mainan yang dibuang orang. Nyatanya, itu bibir sunguhan! Kenyal, sedikit basah
oleh darah dan merah merekah. Nana memungutnya dengan gemetar, teringat pada berita
penangkapan dan penahanan orang-orang yang terlibat kerusuhan itu. Apakah ini bibir salah
satu orang yang ditangkap itu?

Nana memperlihatkan bibir itu pada kawannya.

“Aku punya sesuatu untukmu, Lia.... “

“Gila!”

“Ya, gila. Hanya orang gila yang tega menyilet bibir orang.”

Digeletakkan bibir itu di meja. Lia beringsut mundur. Bibir itu berkecapan, bagai
hendak mengatakan sesuatu. Darah masih sesekali menetes dari sudut bibir itu.

“Ia seperti hendak mengatakan sesuatu?” desis Nana.

“Apa?”

“Entahlah.”

“Kira-kira?”

“Dengar saja sendiri.”

Keduanya diam. Bibir itumenggeliat, mirip ekor cicak putus. Dan tiba-tiba saja bibir
itu berhamburan bunga-bunga, harum dan penuh warna, membuat keduanya terpana. Bunga-
bunga itu melayang-layang beberapa lama, kemudian pecah, pyaarr, gaib di udara.

“Aku seperti mendengar sesuatu.”

“Apa?”

“Entahlah.”

***

M ALAMNYA, Nana kian jelas menangkap suara yang muncul dari bibir itu, lirih,
dan perih “Help me please....”. mungkin itu suara si empunya bibir, batin Nana.
Ia duduk mencangkung di tempat tidur, memandan bibir itu. Ia menaruhnya
begitu saja dekat sejakan kosmetiknya. Dan bibir itu masih saja berkecapan, menggeliat,
merah menyala dalam keremangan kamar, mencorong bagai mata naga.

Apakah bibir ini milik salah seorang yang yang ditangkap dalam kerusuhan hari Sabtu
lalu? Nana bergidik, ketika mendadak berkelebat bayangan orang terikat di kursi, lunglai tak
berdaya, sementara di meja berserakan alat-alat pemyiksa. Sayup-sayup, suara jeritan
kesakitan nyelusup, entah dari mana. Keresek daun gugur, membuat malam jadi lebih dalam
ketika bibir orang itu perlahan-lahan disilet pakai pisau lipat.

“Ya Allah!” Nana memejam.

Tapi bayangan itu tumbuh dalam kepalanya.

***

S EJAK itu, Nana sering mendengar suara rintihan minta tolong, bagai gelombang-
gelombang radio gelap yang memenuhi udara. Ketika berbelanja, setiap berada dekat
menekin, Nana merasa menekin-menekin itu memanggilnya, “Nana... Nana...” Juga
ikan-ikan di kotak pendingin, mendesis-desis minta tolong, ketika ia mengambilnya.
Membuat Nana teringat mayat-mayat yang beku dan dingin, berkaparan di pinggir jalan.
Ketika pulang, Nana merasa ada seseorang yang mengikutinya.

“Taksi!” buru-buru ia mencegat taksi, lantas meluncur.

Tapi suara-suara itu terus saja berdesakan di telinganya.

Dan dalam taksi yang meluncur, Nana mendapati kota yang ganjil.

Cahaya berpendaran, membuat kaca-kaca berkilat, dan kota seperti berkabut. Sesekali ia
melihat satu dua tentara berjaga-jaga di pinggir jalan dan plaza perkantoran. Ada yang
hendak meledak bom, hingga udara penuh kecemasan. Taksi terus meluncur, membuat
cahaya seperti berluruhan, ketika Nana melihat begitu banyak bibir berjatuhan dari langit
kelabu, seperti buah arbei yang berguguran. Namun, tak seorang pun memperhatikan. Radio
terus sibuk dengan berita, yang dibacakan dengan cara seakan-akan semua itu bukanlah
kenyataan. Kemeresek. Ketika taksi melintas Jalan Diponegoro, Nana mendapat potongan-
potongan bibir itu berjatuhan kian lebat, bagai hujan, tumpah dari langit, mengucur sepanjang
perjalanan pulang.

Di rumah, ia langsung membenamkan tubuh dalam selimut, demam, dengan kepala


penuh kemeresek radio.

“Kamu Cuma ketakutan, Na”, ujar Lia. “Lagi pula , kenapa tak kamu buang saja bibir
itu. Kalau ada apa-apa, kamu bisa celaka. Bibir itu bisa jadi barang bukti yang menjeratmu.
Buanglah, dan habis perkara. Kamu nggak usah ngurusi politik yang tak kamu mengerti.”
Dikompresnyabkening Nana.

Nana menurut omongan Lia. Tapi setiap Nana membuang bibir itu jauh-jauh, setiap
kali pula Nana menemukan bibir itu sudah nongkrong di meja riasnya, menghiba padanya.
Sementara itu, setiap kali ke luar rumah, Nana masih menyaksikan bibir-bibir yang
berguguran dari langit. Apakah bibir-bibir itu berjatuhan dari langit dengan sendirinya? Nana
mendongak, berharap melihat seseorang terbang melintasi kota atau tengah berdiri di
ketinggian puncak gedung, menentang keranjang anyaman bambu, dan menjatuhkan
potongan-potongan bibir itu, seperti seorang petani tengah menebarkan benih gandum.
Tapi ia tak melihat apa-apa.

Ia malah merasa, ada seseorang tengah mengintainya. Mungkinkah ada pemilik bibir
yang ditemukannya itu. Kalau bukan? Ah, pemilik bibir itu mungkin memang terlibat
kerusuhan, dan kini tengah disiksa di sebuah tempat entah di mana. Tapi bisa jadi, bibir itu
milik seorang pelacur yang pulang kemalaman, dan mendadak disergap beberapa orang
mabuk, diperkosa dan disilet bibirnya, sekedar memberi kenang-kenangan paling
mengesankan. Rasanya memang tak ada kenangan yang lebih mengesankan selain keisengan
menyilet bibir seseorang.

Milik siapakah sesungguhnya bibir itu? Bibir yang merah merekah. Bibir yang benar-
benar indah. Tak pernah Nana melihat bibir begini mempesona. Hingga ia selalu betah
memandanginya, setiap kali bibir itu mendesah dan mengeliat. Maka bunga-bunga pun
berhamburan di sela bibir itu, bersama puluhan capung dan kupu-kupu. Itulah saat-saat paling
mengesankan bagi Nana. Bibir itu seakan menyimpan sebuah dunia, dengan gerimis dan
senja jalin-menjalin sepanjang waktu, juga burung-burung dan semak perdu, bunga bakung di
telaga pelangi membayang di ufuk cakrawala. Lalu suara itu akan terdengar berulang,
“Tolong saya, Nana ... Tolong...”

Sampai suatu hari, ketika Nana memandang bibir itu seperti biasanya, mendadak bibir
itu perlahan-lahan membesar, terkuak, seperti gua yang mendadak muncul di hadapannya.
“Masuklah,” bisik sebuah suara, “agar kau mendengar setiap kata, setiap desah, setiap suara.
Masuklah, agar kau mengerti makna setiap kata. Agar kau memahami setiap peristiwa.
Masuklah.” Dan Nana pun masuk kedalam bibir yang mengaga itu, masuk ke duania yang
telah lama menggodanya.

Nana terpana. Di situ, ia melihat sepasukan tentara tengah berjaga-jaga.

SEJAK itu Nana tak pernah kelihatan. Lia cemas dan mencoba menghubungi kenalan,
kerabat, keluarga Nana. Tak ada. Nana lenyap entah kemana, membuat Lia tentang cerita
Nana tentang orang yang selalu menguntitnya. Apakah Nana ditangkap sehubungan dengan
potongan bibir yang ditemukannya? Lia membayangkan, suatu malam Nana diculik beberapa
orang yang tak dikenal, disergap dan dibawa naik mobil, entah ke mana. Sejak itu pula, Lia
sering mendengar suara lirih memanggil-manggil namanya. Dan Lia tahu, itu suara Nana.

Ketika suatu hari Lia melihat sepoting bibir tergeletak di jalan raya, ia langsung
teringat Nana. Dipandanginya bibir itu, kotor dan berdebu. Seperti Lia pernah melihat bibir
seperti itu. Darah mengering di sekelilingnya, dengan sekawanan semut menggerumut.
Sejenak ia tertegun, tetapi segera bergegas pergi. Sungguh, ia tak mau bernasib konyol seperti
Nana.

***

Horison, No. 12, Tahun XXXIII, Desember 1998


1. Tahapan Deskripsi
Dikenal sebagai cerpenis, penulis prosa, dan lihai menulis naskah panggung
dengangaya parodi dan terkadang satir. Monolog Matinya Toekang Kritik adalah
salah satukaryanya yang menertawakan keadaan Indonesia. Bersama Ayu Utami, ia
menulis naskah Sidang Susila untuk merefleksikan dan mengkritik Rancangan
UndangUndang Pornografi. Lahir di Tegal, Jawa Tengah, 26 Juni 1968. Berlatar
belakang pendidikan Jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta.
Meskipunberlatar belakang pendidikan teater, ia aktif menulis. Ia menyatakan bahwa
menulis baginya cara untuk menyelamatkan diri dari kegilaan.Selain menulis prosa, ia
juga menulis cerpen. Karya cerpennya dimuat dalam Antologi Ambang (1992),
Pagelaran (1993), Lukisan Matahari (1994). Sedangkancerpen-cerpennya yang
terhimpun dalam antologi bersama, diantaranya Lampor (Cerpen Pilihan Kompas,
1994) dan Jl. Asmaradana(Cerpen Pilihan Kompas, 2005), Kitab Cerpen Horison
Sastra Indonesia (Majalah Horison dan The Ford Foundation,2002), Dari Pemburu ke
Tapuetik (Majelis Sastra Asia Tenggara dan Pusat Bahasa,2005), dll.
Buku-buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit antara lain, Memorabilia
(Yayasan untuk Indonesia, 1999), Bapak Presiden yang Terhormat (Pustaka
Pelajar,2000), Selingkuh Itu Indah (Galang Press, 2001), Rendezvous : Kisah Cinta
yang Tak Setia (Galang Press, 2004)Potongan Cerita di Kartu Pos (Penerbit Buku
Kompas,2006). Sebungkus Nasi dari Tuhan, Sepasang Mata Penari Telanjang
MatinyaToekang Kritik (Lamalera, 2006) dan terakhir Sepotong Bibir Paling Indah di
Dunia (Bentang, 2010).

2. Tahap Interpretasi
Yang dimaksud dengan interpretasi adalah upaya memahami karya sastra
dengan memberikan tafsiran berdasarkan sifat-sifat karya sastra itu. Dalam artinya
yang sempit, interpretasi adalah usaha untuk memperjelas arti bahasa dengan sarana
analisis, parafrasa, dan komentar. Interpretasi dipusatkan terutama pada kegelapan,
ambiguitas, dan kiasan-kiasan. Dalam arti luas interpretasi adalah menafsirkan makna
karya sastra berdasarkan unsur-unsurnya beserta aspek-aspeknya yang lain, seperti
jenis sastranya, aliran sastranya, efek-efeknya, serta latar belakang sosial historis yang
mendasari kelahirannya (Abrams, 1981; Pradopo, 1982).
Dalam Cerpen Sepotong Bibir di Jalan Raya karya Agus Noor ini menceritakan
tentang sebuah bukti yang ditemukan oleh si tokoh bernama Nana dan ia merupakan
seorang saksi yamg mrngetahui kejadian dalam peristiwa KUDATULI yang dituliskan
sebagai Sepotong Bibir di Jalan Raya
Tiga hari setelah kerusuhan 27 Juli, Nana menemukan sepotong bibir tergeletak di
jalan raya. Nana memungutnya dengan gemetar, teringat pada berita penangkapan dan
penahanan orang-orang yang terlibat kerusuhan itu.
Malamnya, Nana kian jelas menangkap suara yang muncul dari bibir itu, lirih dan
perih. “Help me please...” mungkin itu suara si empunya bibir, bati Nana. Apakah bibir
ini milik salah seorang yang ditangkapa dalam kerusuhan hari sabtu lalu?
Sejak itu, Nana sering mendengar suara rintihan minta tolong, bagai gelombang-
gelombang radio gelap memenuhi udara, dan terus saja berdesakan di telinganya. Saat
Nana naik taksi, ia mendapati kota yang ganjil, Nana mendapati potongan-potongan bibir
itu berjatuhan kian lebat, bagai hujan, tumpah dari langit, mengucur sepanjang
perjalanan pulang. Di rumah, Nana langsung membenamkan tubuh dalam selimut,
demam. “Kamu Cuma ketakutan, Na,” ujar Lia. “Lagi pula, kenapa tak kamu buang saja
bibir itu. Kalau ada apa-apa, kamu bisa celaka. Bibir itu bisa jadi barang bukti yang
menjeratmu. Buanglah, dan habis perkara. Kamu nggak usah ngurusi politik yang tak
kamu mengerti.” Bibir itu seakan menyimpan sebuah dunia, dengan gerimis dan senja
jalin-menjalin sepanjang waktu,
Sejak itu Nana tak pernah kelihatan, membuat, membuat Lia cemas. Lia
membayangkan, suatu malam Nana diculik beberapa orang tak dikenal, disergap dan
dibawa naik mobil entah kemana. Ketika suatu hari Lia melihat sepotong bibir tergeletak
di jalan raya, ia langsung teringat Nana. Dipandanginya bibir itu kotor dan berdebu,
darah mengering di sekelilingnya dengan sekawanan semut menggerumut. Sejenak Lia
tertegun, tetapi segera bergegas pergi. Sungguh, ia tak mau bernasib konyol seperti
Nana.

3. TAHAP ANALISIS

1. SETTING
Pemahaman atas pelataran bagi pembaca merupakan hal yang tak kalah penting.
Sebab salah satu upaya untuk membantu imaji pembaca adalah mengenali tempat, waktu,
dan peristiwa yang terjadi.
a. Latar Tempat
- Jalan raya, kutipan:
Paragraf 1, baris 1
. ..Nana menemukan sepotong bibir tergeletak di jalan raya...
- Tempat tidur, kutipan:
Paragraf 2, baris 3
...Ia duduk mencakung di tempat tidur...

- Di dalam taksi, kutipan:


Paragraf 4, baris 11
...Dari dalam taksi yang meluncur...

- Kota, kutipan:
Paragraf 4, baris 11
...Nana mendapati kota yang ganjil...

- Jalan Diponegoro, kutipan:


Paragraf 4, baris 20
...Ketika taksi melintas Jalan Diponegoro...

- Rumah, kutipan:
Paragraf 5, baris 1
Di rumah, ia langsung membenamkan tubuh dalam selimut...

- Luar rumah, kutipan:


Paragraf 7, baris 3
...Sementara itu, setiap kali keluar rumah...

b. Latar Waktu
- Tiga hari setelah kerusuhan 27 juli, kutipan:
Paragraf 1, baris 1
Tiga hari setelah kerusuhan 27 juli, Nana menemukan sepotong bibir
tergeletak di jalan raya
- Sabtu, kutipan:
Paragraf 3, baris 1
Apakah bibir ini milik salah seorang yang ditangkap dalam kerusuhan
hari sabtu lalu?

- Malam hari, kutipan:


Paragraf 2, baris 1
Malamnya, Nana kian jelas menangkap suara yang muncul dari bibir
itu, lirih, dan perih. “Help me please...”

c. Latar Suasana
- Mencekam, kutipan:
Paragraf 4, baris 11
Nana mendapati kota yang ganjil. Cahaya berpendaran, membuat
kaca-kaca berkilat, dan kota seperti berkabut. Sesekali ia melihat satu
dua tentara berjaga-jaga di pinggir jalan dan plaza perkantoran. Ada
yang hendak meledakkan bom, hingga udara penuh kecemasan

- Menegangkan, kutipan:
Paragraf 3, baris 2
Nana bergidik, ketika mendadak berkelebat bayangan orang terikat
dikursi, lunglai tak berdaya, sementara di meja berserakan alat-alat
penyiksa.

- Mengerikan, kutipan:
Paragraf 3, baris 6
...Ketika bibir orang itu perlahan-lahan disilet pakai pisau lipat

2. TOKOH DAN PENOKOHAN


TOKOH : Orang yang terlibat didalam cerita cerpen
Nana, Lia, Tentara
PENOKOHAN:
1. Tokoh Nana di gambarkan, sebagai berikut:
Nana adalah seorang perempuan dan ia saksi dalam peristiwa kerusuhan yang
terjadi pada Sabtu, 27 Juli dan karena peristiwa itulah yang membuat perubahan
dalam hidup Nana. Sifat-sifat Nana terlihat jelas saat ia mulai terlibat dalam peristiwa
itu, sifat itu diantaranya :
- Ingin tahu, kutipan:
paragraf 1, baris 5
Nana memungutnya dengan gemetar, teringat pada berita penangkapan dan
penahanan orang-orang yang terlibat kerusuhan itu. Apakah ini bibir salah
satu orang yang terlibat kerusuhan itu?

- Mudah tergoda, kutipan:


Paragraf 10, baris 3
“Masuklah,” bisik sebuah suara, “agar kau mendengar setiap kata, setiap
desah, setiap suara. Masuklah, agar kau mengerti makna setiap kata. Agar
kau memahami setiap peristiwa. Masuklah.” Dan Nana pun masuk ke dalam
bibir yang menganga itu, masuk ke dunia yang telah lama menggodanya

- Ceroboh, kutipan:
Paragraf 10, baris 1
Sampai suatu hari, ketika Nana memandang bibir itu seperti biasanya,
mendadak bibir itu perlahanlahan membesar, terkuak, seperti gua yang
mendadak muncul di hadapannya. “Masuklah,”...

...Dan Nana pun masuk ke dalam bibir yang menganga itu, masuk kedunia
yang telah lama menggodanya.

- Overthinking, kutipan:
Paragraf 8, baris 1
Ia malah merasa, ada seseorang yang mengikutinya. Mungkinkah dia pemilik
bibir yang ditemukan itu...

2. Tokoh Lia di gambarkan sebagai seorang, sebagai berikut:


Lia adalah teman dekat Nana, saking dekatnya Lia tahu apa saja yang terjadi
pada Nana, terutama tentang Nana yang menemukan sepotong bibir di jalan raya,
karena Nana selalu cerita padanya. Tetapi meskipun mereka cukup dekat, sifat
mereka berbeda. Jika Nana adalah seorang yang Ingin tahu dan mudah tergoda
terhadap peristiwa yang melibatkannya, maka Lia adalah seorang yang :

- Peduli, kutipan:
Paragraf 12, baris 1
Sejak saat itu Nana tak pernah kelihatan. Lia cemas dan mencoba
menghubungi kenalan, kerabat dan keluarga Nana.

- Waspada, kutipan:
Paragraf 13, baris 1
Ketika suatu hari Lia melihat sepotong bibir tergeletak di jalan raya, ia
langsung teringat Nana...
...Sejenak ia tertegun, tetapi segera bergegas pergi. Sungguh ia tak mau
bernasib konyol seperti Nana.

3. Amanat
Pesan dan nilai atau yang biasa disebut sebagai amanat adalah sebuah pesan yang
dapat diambil untuk dijadikan bahan pembelajaran dan peresapan dari sebuah cerita.
Pesan dan nilai yang terdapat dalam cerpen Sepotong Bibir di Jalan Raya karya Agus
Noor sebagai berikut:
 Nilai Moral
Kita sebagai manusia harus tau batasan-batasan pada diri kita jangan asal ikut
campur dalam urusan orang lain yang kita tahu/paham akan masalahnya yang bisa
saja membawa kita ke dalam bahaya.
“Kamu Cuma ketakutan, Na,”... Kamu mggak usah ngurusi politik yang tak kamu
mengerti.” Dikompresnya kening Nana.

 Nilai Pendidikan
Kita sebagai manusia harus bisa belajar dari pengalaman. Baik pengalaman
butuk maupun pengalaman baik.
Ketika suatu hari Lia melihat sepotong bibir tergeletak di jalan raya, ia langsung
teringat Nana... Sejenak ia tertegun, tetapi segera bergegas pergi. Sungguh, ia tak
mau bernasib konyol seperti Nana.

 Nilai Agama
Kita sebagai manusia dilarang berprasangka buruk terhadap sesuatu yang tidak
kita ketahui kebenarannya.
...Ah, pemilik bibir itu mungkin memang terlibat kerusuhan, dan kini tengah disiksa di
sebuah tempat entah dimana. Tapi bisa jadi, bibir itu milik seorang pelacur yang
pulang kemalaman, dan mendadak disergap beberapa orang mabuk...

4. TAHAP EVALUASI

Tahap evaluasi atau penilaian adalah usaha menentukan kadar keindahan


(keberhasilan) karya sastra yang dikritik. Penentuan nilai suatu karya sastra tidak
dapat dilakukan secara semena-mena, tetapi harus berdasarkan pada fenomena yang
ada dalam karya yang akan dinilai, kriteria dan standar penilaian, serta pendekatan
yang digunakan. Dengan mengetahui nilai karya sastra, maka kita dapat memilah
mana karya sastra yang bernilai dan mana yang tidak, juga mana yang bermutu tinggi
dan mana yang bermutu rendah. Yang perlu kita catat adalah bahwa dalam menilai
suatu karya sastra kita dituntut menyikapi secara objektif dengan disertai alasan-
alasan. Artinya, penentuan nilai haruslah mendasarkan pada data-data yang ada.
Dalam konteks kritik sastra, suatu karya sastra dinilai baik atau buruk haruslah
berdasarkan data-data yang ada dalam karya sastra yang kita nilai.

Keindahan cerpen Sepotong Bibir karya Agus Noor. Keindahan cerpen ini
muncul lantaran penggunaan majas yang baik. Menggunakan alitersi dan asonansi,
juga menggunakan rima di masing-masing baitnya. Tidak hanya itu, ciri khas Agus
Noor yang suka memenggal baris dan memenggal kata juga menambah keindahan
cerpen tersebut.
Cerpen Sepotong Bibir karya Agus Noor ini memakai diksi yang tepat. Pilihan kata
yang digunakan penyair sangat tepat untuk menggambarkan suasana hatinya cukup menarik,
dan dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Cerpen Sepotong Bibir sangat istimewa karena memuat kalimat tanya dan kalimat seru yang
jarang digunakan penyair lain.

menggunakan kata-kata sederhana sehingga kurang menunjukkan keindahan.

Diksi yang digunakan sangat sulit diartikan karena cerpen Sepotong bibir banyak berupa
kiasan yang bermakna ganda.

Agus Noor merupakan penyair yang terkenal sehingga karya-karyanya patut mendapat
pujian.

Salah satu cara dalam menganalisis puisi adalah dengan menggunakan pendekatan
objektif. Analisis objektif cerpen, digunakan untuk mengetahui semua unsur (fenomena) yang
terkandung dalam karya sastra. Pendekatan Strata Norma ini digunakan dalam menganalisis
cerpen yang berjudul Sepotong Bibir karya Agus Noor. Dalam cerpen Sepotong Bibir ini
dapat kita petik hikmah yang begitu besar. Cerpen tersebut menceritakan fakta atau kejadian
yangingin diungkapkan namun hal tersebut dihalangi oleh penguasa Untuk lebih menjelaskan
analisis strata norma tersebut dianalisis cerpen Agus Noor sebagai berikut. Analisis cerpen
Sepotong Bibir karya Agus Noor dengan pendekatan objektif. 1. Lapis suara (sound stratum)
Sajak tersebut berupa satuan- satuan suara: suara suku kata, kata, dan berangkai merupakan
seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase da suara kalimat. Jadi, lapis bunyi dalam sajak itu
ialah semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu. Lapis bunyi ditujukan
pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat istimewa atau khusus, yaitu yang
dipergunakan untuk mendapatkan nilai seni.

Anda mungkin juga menyukai