A. PENDAHULUAN
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara
spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang
mempunyai ciri-ciri tertentu. Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin
menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti: Objek apa yang ditelaah ilmu?
Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya ilmu? Untuk apa ilmu itu
dipergunakan?[1] Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang terkait dengan aspek ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.
Pada perkembangan filsafat ilmu dalam memahami beberapa kerangka teori keilmuwan
dan juga paradigma keilmuwan, terdapat beberapa filsuf yang terkenal karena hasil pemikiran
dan karyanya berpengaruh terhadap perkembangan suatu ilmu, Salah satu tokoh filsafat yang
terkenal yakni Thomas Kuhn yang mengarang buku The Structure of Scientific Revolution tahun
1962. Kuhn melihat adanya kesalahan-kesalahan fundamental tentang image atau konsep ilmu
terutama ilmu sains yang telah dielaborasi oleh kaum filsafat ortodoks, sebuah konsep ilmu yang
dengan membabi-buta mempertahankan dogma-dogma yang diwarisi dari Empirisme dan
Rasionalisme klasik.[2]
Dengan konsep pemikirannya ini, Thomas Kuhn tidak hanya sekedar memberikan
kontribusi besar dalam sejarah dan filsafat ilmu, tetapi lebih dari itu, dia telah menggagas teori-
teori yang mempunyai implikasi luas dalam ilmu-ilmu sosial, seni, politik, pendidikan bahkan
ilmu-ilmu keagamaan, termasuk juga dalam pembaharuan hukum Islam dan lain-lain.
Sejarah, jika dipandang lebih sebagai khazanah dari pada sebagai anekdot atau kronologi, dapat
menghasilkan transformasi yang menentukan dalam citra sains yang merasuki kita sekarang. Citra itu telah dibuat
sebelumnya, bahkan oleh para ilmuwan sendiri, terutama dari studi tentang pencapaian ilmiah yang tuntas seperti
yang direkam dalam karya-karya klasik, dan yang lebih baru, dalam buku-buku teks yang dipelajari oleh generasi
ilmuwan yang baru untuk mempraktekkan kejuruannya. [5]
Jika sains itu konstelasi fakta, teori, dan metode yang dihimpun dalam buku-buku teks yang ada sekarang,
maka para ilmuwan adalah orang-orang yang, berhasil atau tidak, berusaha untuk menyumbangkan suatu unsur ke
dalam konstelasi tertentu itu. perkembangan sains menjadi proses sedikit demi sedikit yang menambahkan item-item
ini, satu per satu atau dalam bentuk gabungan, kepada timbunan yang semakin membesar yang membentuk teknik
dan pengetahuan sains. Dan sejarah sains menjadi disiplin yang berturut-turut mencatatkan tambahan-tambahan
yang terus-menerus ini maupun rintangan-rintangan yang mengisi akumulasi itu. karena berurusan dengan
perkembangan sains, maka sejarahwan itu tampaknya mempunyai dua tugas utama. Di satu pihak ia harus
menetapkan oleh orang apa dan pada saat mana fakta, dalil, dan teori sains kontemporer itu ditemukan atau
diciptakan. Di pihak lain, ia harus mengguraikan dan menerangkan penumpukan kekeliruan, mitos, dan takhayul
yang mengisi akumulasi yang lebih cepat dari unsur-unsur pokok buku teks sains modern. [6]
Pada tahun 1950-an, ketika Kuhn memulai studi sejarah ilmu pengetahuan, sejarah ilmu pengetahuan masih
muda dalam disiplin akademis. Meskipun demikian, itu menjadi jelas bahwa perubahan ilmiah tidak selalu langsung
sebagai standar, pandangan tradisional akan memilikinya. Kuhn adalah yang pertama dan penulis paling penting
untuk mengartikulasikan sebuah alternatif dikembangkan nilai dalam filsafat ilmu. Kuhn sepenuhnya sadar akan
pentingnya inovasi-nya untuk filsafat, dan memang pekerjaannya disebut 'sejarah untuk tujuan filosofis'. [7]
Gagasan Thomas Kuhn ini sekaligus merupakan tanggapan terhadap pendekatan Popper pada filsafat ilmu
pengetahuan. Menurut Kuhn, popper memutar balikkan kenyataan dengan terlebih dahulu menguraikan terjadinya
ilmu empiris melalui jalan hipotesis yang disusul dengan upaya falsifikasi. Namun Popper justru menempatkan
sejarah ilmu pengetahuan sebagai contoh untuk menjustifikasi teorinya. [8]
Hal ini sangat bertolak belakang dengan pola pikir Thomas Kuhn yang lebih mengutamakan sejarah ilmu
sebagai titik awal segala penyelidikan. Dengan demikian filsafat ilmu diharapkan bisa semakin mendekati kenyataan
ilmu dan aktifitas ilmiah yang sesungguhnya. Begitu urgensinya sejarah ilmu ini dalam membuktikan teori-teori atau
sistem, dapat menghantarkan kemajuan revolusi-revolusi ilmiah. Menurut Thomas Kuhn bahwa kemajuan ilmiah itu
pertama-tama bersifat revolusioner, bukan maju secara kumulatif.[9]
Penentuan paradigma-paradigma bersama itu, bagaimana pun, bukan penentuan kaidah-kaidah bersama.
Hal itu menuntut langkah kedua, yaitu langkah yang agak berbeda jenisnya. Ketika melakukannya, sejarahwan harus
membandingkan paradigma-paradigma masyarakat itu satu sama lain dengan laporan-laporan riset pada masa itu.
Paradigma-paradigma bisa menentukan sains yang normal tanpa campur tangan kaidah-kaidah yang dapat
ditemukan.[11] Kuhn berpendapat bahwa sains atau ilmu pengetahuan itu terikat oleh ruang dan waktu, maka dari itu
suatu paradigma hanya sesuai untuk permasalahan yang ada pada saat tertentu saja. Sehingga ketika dihadapkan
pada persoalan yang berbeda dan dalam kondisi atau situasi yang berbeda pula, perpindahan antara satu paradigma
menuju paradigma yang baru yang lebih sesuai itu sangat dibenarkan dan merupakan suatu keharusan. Hal itu
menunjukan bahwa suatu paradigma tidak akan bersifat mutlak, dalam artian mengikuti kondisi dan suatu
permasalahan tertentu.[12]
Adapun paradigma menurut Kuhn ada dua pengertian, yang pertama, yaitu paradigma berarti keseluruhan
konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu. Yang kedua, Kuhn
mengemukakan bahwa paradigma merupakan sejenis unsur pemecahan teka-teki yang konkret yang jika digunakan
sebagai model, pola, atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang secara eksplisit menjadi dasar bagi
pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang belum tuntas. Paradigma merupakan elemen primer
dalam proses sains. Seorang ilmuwan selalu bekerja dalam paradigma tertentu, dan teori-teori ilmiah dibangun
berdasarkan paradigma dasar.
Menurut Kuhn, ilmu dapat berkembang secara open-ended (sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan
dikembangkan). Kuhn berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah. Dengan demikian,
filsafat ilmu diharapkan lebih mendekati kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah sesungguhnya. Menurutnya, ilmu harus
berkembang secara revolusioner bukan berkembang secara kumulatif sebagaimana anggapan kaum rasionalis dan
empiris klasik, sehingga dalam teori Kuhn, faktor sosiologis, historis serta psikologis ikut berperan. Singkatnya
paradigma menurut Thomas Kuhn dapat diartikan sebagai, "Seluruh konstelasi kepercayaan, nilai dan teknik yang
dimiliki oleh suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena)".[13]
Dengan demikian, paradigma ilmu tidak lebih dari suatu konstruksi segenap komunitas ilmiah. Dalam
komunitas tersebut mereka membaca, menafsirkan, mengungkap, dan memahami alam, sehingga menurut Kuhn
paradigmalah yang menentukan jenis-jenis eksperimen yang dilakukan oleh para ilmuawan, tanpa paradigma
tertentu para ilmuawan tidak bisa mengumpulkan fakta-fakta, dengan tiadanya paradigma atau calon paradigma
tertentu, semua fakta yang mungkin sesuai dengan perkembangan ilmu tertentu tampak seakan sama-sama relevan,
akibatnya pengumpulan fakta hampir semuanya merupakan aktivitas acak.[14]
Aktivitas yang terpisah-pisah dan tidak terorganisasi yang mengawali pembentukan suatu ilmu akhirnya
menjadi tersusun dan terarah pada suatu paradigma tunggal yang telah dianut oleh suatu masyarakat ilmiah, suatu
paradigma yang terdiri dari asumsi-asumsi teoritis yang umum dari hukum-hukum serta teknik-teknik untuk
penerapannya diterima oleh para anggota komunitas ilmiah, keadaan seperti inilah yang dikatakan dalam tahapan
paradigma normal science.[15]
Ilmuwan-ilmuwan yang risetnya didasarkan atas paradigma bersama terikat pada kaidah-kaidah dan
standar-standar praktek ilmiah yang sama. Contoh konsep yang disepakati pada tahapan normal sains ini
adalah pada abad ke-18 paradigma disajikan tentang Optik karya Newton yang mengajarkan bahwa cahaya adalah
partikel yang sangat halus yang diterima oleh komunitas ilmiah pada zaman tersebut.
Dari penjelasan di atas bisa dikatakan pada tahap ini tidak terdapat sengketa pendapat mengenai hal-hal
fundamental di antara para ilmuwan, sehingga paradigma tunggal diterima oleh semuanya. Paradigma tunggal yang
telah diterima tersebut dilindungi dari kritik dan falsifikasi sehingga ia tahan dari berbagai kritik dan falsifikasi. Hal
ini menjadi ciri yang membedakan antara normal science dan pra science.
Untuk lebih jelasnya, berikut akan dijelaskan analisis Kuhn tentang sejarah ilmu pengetahuan menunjukkan
bahwa praktek ilmu datang dalam tiga fase; yaitu[16]:
a. Tahap pertama, tahap pra-ilmiah, yang mengalami hanya sekali dimana tidak ada konsensus tentang teori apapun.
penjelasan Fase ini umumnya ditandai oleh beberapa teori yang tidak sesuai dan tidak lengkap. Akhirnya salah satu
dari teori ini "menang".
b. Tahap kedua, Normal Science. Seorang ilmuwan yang bekerja dalam fase ini memiliki teori override (kumpulan
teori) yang oleh Kuhn disebut sebagai paradigma. Dalam ilmu pengetahuan normal, tugas ilmuwan adalah rumit,
memperluas, dan lebih membenarkan paradigma. Akhirnya, bagaimanapun, masalah muncul, dan teori ini diubah
untuk mengakomodasi bukti eksperimental yang mungkin tampaknya bertentangan dengan teori asli. Akhirnya, teori
penjelasan saat ini gagal untuk menjelaskan beberapa fenomena atau kelompok dari padanya, dan seseorang
mengusulkan penggantian atau redefinisi dari teori ini.
c. Tahap ketiga, pergeseran paradigma, mengantar pada periode baru ilmu pengetahuan revolusioner. Kuhn percaya
bahwa semua bidang ilmiah melalui pergeseran paradigma ini berkali-kali, seperti teori-teori baru menggantikan
yang lama.
Sebagi contoh fenomena adanya pergeseran paradigma ini adalah tentang saran Copernicus bahwa bumi
berputar mengelilingi matahari, bukan saran Ptolemeus bahwa Matahari (dan planet-planet lain dan bintang-bintang)
berputar mengelilingi bumi. Sebelum Copernicus ada set yang rumit epicycles (lingkaran di atas lingkaran) yang
digunakan untuk memprediksi pergerakan 'benda langit'. Epicyclic asli Ptolmey kombinasi itu, oleh Abad
Pertengahan, menjadi terlihat kurang memadai, dan 'memperbaiki'; oleh astronom kemudian lebih dan lebih
rumit.Copernicus menawarkan kembali ke pandangan alternatif (disarankan oleh banyak orang di Antiquity), tetapi
dengan lebih data yang lebih baik untuk mendukungnya; account baru ini menurunkan kompleksitas teori yang
diperlukan untuk menjelaskan pengamatan yang tersedia. Tentu saja, sekali oleh Copernicus 'teori ini diterima oleh
para astronom lain, itu diantara masuk periode baru' sains normal '. Penyempitan ditambahkan
oleh Kepler dan Newtonberpegang pada paradigma baru. Contoh-contoh lainnya yang lebih baru adalah
penerimaan Einstein relativitas umum untuk menggantikan Newton tentang gravitasi pada tahun 1920 dan 1930; dan
lempeng tektonik Wegener tahun 1960 oleh ahli geologi.[17]
Menurut Kuhn, ilmu sebelum dan sesudah pergeseran paradigma begitu jauh berbeda melihat teori-teori
mereka yang tak tertandingi - pergeseran paradigma tidak hanya mengubah satu teori, hal itu akan mengubah cara
bahwa kata-kata yang didefinisikan, cara para ilmuwan melihat mereka subjek, dan mungkin yang paling penting
pertanyaan-pertanyaan yang dianggap sah, dan aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan kebenaran suatu
teori tertentu.
Contoh lain dari pergeseran paradigma dalam ilmu alam yaitu beberapa "kasus-kasus klasik" dari
pergeseran paradigma Kuhn dalam ilmu pengetahuan adalah:
a. Penerimaan teori Biogenesis, bahwa semua kehidupan berasal dari kehidupan, yang
bertentangan dengan teori generasi spontan, yang dimulai pada abad ke-17 dan tidak lengkap
hingga abad ke-19 dengan Pasteur.
b. Penerimaan teori seleksi alam Charles Darwin digantikan Lamarckism sebagai mekanisme
evolusi.
c. Transisi antara pandangan dunia fisika Newton dan pandangan dunia relativistik Einstein.
Adapun contoh dalam bidang ilmu-ilmu sosial diantaranya tentang: The Keynesian Revolution yang
biasanya dipandang sebagai pergeseran besar dalam makroekonomi. Menurut John Kenneth Galbraith
mengatakan,Hukum didominasi pemikiran ekonomi sebelum Keynes selama lebih dari satu abad, dan peralihan ke
Keynesianisme sangat sulit. Ekonom yang bertentangan dengan hukum, yang disimpulkan bahwa setengah
pengangguran dan kurangnya investasi (ditambah dengan oversaving) adalah tidak mungkin, beresiko kehilangan
karier mereka. Dalam magnum opus, Keynes dikutip salah seorang pendahulunya, JA Hobson, yang berulang-ulang
menyangkal posisi di universitas untuk teori sesat. Monetarists berpendapat bahwa kebijakan fiskal tidak penting
bagi stabilisasi ekonomi, berbeda dengan Keynes pandangan bahwa baik kebijakan fiskal dan moneter yang penting.
Konsep sentral Kuhn adalah apa yang dinamakan dengan paradigma. Istilah ini tidak dijelaskan
secara konsisten, sehingga dalam berbagai keterangannya sering berubah konteks dan arti. Pemilihan
kata ini erat kaitannya dengan istilah “sains normal”. Kuhn mengemukakan bahwa sains normal adalah
beberapa contoh praktik ilmiah nyata yang diterima (contoh-contoh yang bersama-sama mencakup
dalil, teori, penerapan dan instrumentasi) menyajikan model-model yang melahirkan tradisi-tradisi
tertentu dari riset ilmiah. Atau dengan kata lain, sains normal adalah kerangka referensi yang
mendasari sejumlah teori maupun praktik-praktik ilmiah dalam periode tertentu.
Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal, di mana ilmuwan
berkesempatan mengembangkan secara rinci dan mendalam. Dalam tahap ini ilmuwan tidak bersikap
kritis terhadap paradigma yang membimbing aktifitas ilmiahnya dan selama menjalankan riset ini
ilmuwan bisa menjumpai berbagai fenomena yang disebut anomali. Jika anomali ini kian menumpuk,
maka bisa timbul krisis.
Dalam krisis inilah paradigma mulai dipertanyakan. Dengan demikian sang ilmuwan sudah
keluar dari sains normal. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang
lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma tandingan yang bisa
memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah
revolusi ilmiah.
Dari sini nampak bahwa paradigma pada saat pertama kali muncul itu sifatnya masih sangat
terbatas, baik dalam cakupan maupun ketepatannya. Paradigma memperoleh statusnya karena lebih
berhasil dari pada saingannya dalam memecahkan masalah yang mulai diakui oleh kelompok praktisi
bahwa masalah-masalah itu rawan. Keberhasilan sebuah paradigma semisal analisis Aristoteles
mengenai gerak, atau perhitungan Ptolemaeus tentang kedudukan planet, atau yang lainnya. Pada
mulanya sebagian besar adalah janji akan keberhasilan yang dapat ditemukan contoh-contoh pilihan
dan yang belum lengkap. Dan ini sifatnya masih terbatas serta ketepatannya masih dipertanyakan.
Transformasi-transformasi paradigma semacam ini adalah revolusi sains, dan transisi yang
berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi. Hal ini merupakan
perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang.[18]
Data anomali berperan besar dalam memunculkan sebuah penemuan baru yang diawali dengan kegiatan
ilmiah. Dalam keterkaitan ini, Kuhn menguraikan dua macam kegiatan ilmiah yaitu[20]:
a. Puzzle solving
Dalam puzzle solving, para ilmuwan membuat percobaan dan mengadakan observasi yang tujuannya untuk
memecahkan teka-teki, bukan mencari kebenaran. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk memecahkan
persoalan penting atau malah berefek konflik, maka suatu paradigma baru harus diciptakan/dimunculkan.
Penemuan baru bukanlah peristiwa-peristiwa terasing, melainkan episode-episode yang diperluas dengan
struktur yang berulang secara teratur. Penemuan diawali dengan kesadaran akan anomali, yakni dengan pengakuan
bahwa alam dengan suatu cara telah melanggar pengharapan yang didorong oleh paradigma yang menguasai sains
yang normal. Kemudian ia berlanjut dengan eksplorasi yang sedikit banyak diperluas pada wilayah anomali. Dan ia
hanya berakhir jika teori atau paradigma itu telah disesuaikan sehingga yang menyimpang itu menjadi yang
diharapkan. Jadi, intinya bahwa dalam penemuan baru harus ada penyesuaian antara fakta dengan teori yang baru.
Dari teori ini Thomas Kuhn memberikan definisi yang berbeda antara discovery dan invention. Yang dimaksud
discovery adalah kebaruan faktual (penemuan), sedang invention adalah kebaruan teori (penciptaan) yang mana
keduanya saling terjalin erat satu sama lain.
Dalam pemilihan paradigma tidak ada standar baku melainkan hanyalah menyesuaikan diri terhadap
persetujuan masyarakat. Adanya revolusi sains dengan berbagai teori argumentatifnya akan membentuk masyarakat
sains. Oleh karena itu, permasalahan paradigma / munculnya paradigma baru sebagai akibat dari revolusi sains tiada
lain hanyalah sebuah konsensus atau kesepakatan yang sangat ditentukan oleh retorika di kalangan akademisi atau
masyarakat itu sendiri. Sejauh mana paradigma baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat sains, maka disitulah
revolusi sains (revolusi ilmiah) akan terwujud. Selama proses revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal baru dan
berbeda dengan ketika menggunakan instrumen-instrumen yang sangat dikenalnya untuk melihat tempat-tempat
yang pernah dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan ke daerah lain dimana objek-
objek yang sangat dikenal sebelumnya tampak dalam penerangan yang berbeda dan juga berbaur dengan objek-
objek yang tidak dikenal. Kalaupun ada ilmuwan atau sebagian kecil ilmuwan yang tidak mau menerima paradigma
yang baru sebagai landasan risetnya, dan ia tetap bertahan pada paradigma yang telah dibongkar yang sudah tidak
mendapat legitimasi dari masyarakat sains, maka aktifitas-aktifitas risetnya hanya merupakan tautologi yang tidak
bermanfaat sama sekali. Inilah yang dinamakan perlunya revolusi ilmiah. [22]
E. KESIMPULAN
Melihat pengembangan epistemologi dari Thomas Kuhn di atas, tentunya revolusi ilmiah
yang telah dikembangkan Thomas Kuhn telah membawa perubahann besar dalam peradaban
manusia dan Islam. Kuhn telah menarik fakta bahwa para filosof ilmu pada umumnya tidak
menghiraukan persoalan hermeneutik yang pokok seperti persoalan tentang apa yang sebenarnya
dilakukan oleh seorang ilmuwan. Menurut Kuhn rasioanalitas ilmiah yang sebetulnya ambigu itu
pada dasarnya bukanlah semata-mata perkara induksi atau deduksi atau juga rasioanalis objektif,
melainkan lebih pada perkara interpretasi dan persuasi yang cenderung lebih bersifat subjektif.
Oleh karena itu, segala yang dikatakan ilmu tentang dunia dan kenyataan sebetulnya
terkait erat dengan paradigma dan model atau skema interpretasi tertentu yang digunakan oleh
ilmuwannya. Cara ilmuwan memandang dunia menentukan dunia macam apa yang
dilihatnya. Sementara Paradigma itu sendiri merupakan elemen primer dalam proses sains.
Seorang ilmuwan selalu bekerja dalam paradigma tertentu, dan teori-teori ilmiah dibangun
berdasarkan paradigma dasar. Paradigma adalah seluruh konstelasi kepercayaan, nilai dan teknik
yang dimiliki oleh suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu. Jadi pengetahuan
bukanlah foto copy dari sebuah realitas, melainkan realitas hasil kontruksi manusia. Dan
paradigma yang mendasari konstruksi itu diterima dan dipercayai komunitas para ilmuwan,
bukan karena para ilmuwan itu tahu bahwa itu benar, melainkan karena mereka percaya bahwa
itu yang terbaik, yang paling memberi kemaslahatan dan harapan bila digunakan untuk riset dan
penelitian selanjutnya.
Paradigma yang dikembangkan Thomas Kuhn dalam revolusi ilmiahnya memiliki nilai
guna yang sangat urgen dalam pengembangan ilmu pengetahuan, baik dalam ilmu alam, ilmu
eksak, ilmu sosial, maupun ilmu-ilmu agama. Paradigma itu juga dapat diterapkan dalam
mengembangkan hukum-hukum Islam yang sesuai dengan kaidah-kaidah fiqih dan ushul fiqih.