Anda di halaman 1dari 20

TINJAUAN PUSTAKA

FRAKTUR MAXILLOFACIAL
Tulang nasal, orbitozigomatikus, frontal, temporal, maksila dan mandibula
merupakan tulang-tulang pembentuk wajah, sehingga apabila terjadi fraktur pada
daerah tersebut dapat mengakibatkan suatu kelainan pada bentuk wajah yang
menyebabkan wajah tersebut tidak terlihat estetis serta terjadinya gangguan pada
proses pengunyahan makanan dan gangguan fonetik.1
Fraktur tulang muka disebabkan trauma pada muka yang menyebabkan satu
hingga banyak tulang wajah atah komplit atau tidak komplit. Organ yang terlibat
pada fraktur tulang muka terdiri atas jaringan lunak (kulit, otot, dan jaringan ikat),
tulang muka itu sendiri, yaitu tulang kepala yag tidak membatasi otak (tulang
hidung, zigoma, maksila, septum nasi dan mandibula).2
Penyebab terbanyak adalah jatuh atau kecelakaan lalu lintas dari sepeda
motor tanpa menggunakan helm. Penyebab lain adalah trauma langsung misalnya
akibat perkelahian atau kekerasan fisik, terjatuh, olahraga, kecelakaan industrial,
dan luka tembak.3
Penelitian/studi di RSCM Jakarta menunjukkan terdapat 203 kasus trauma
tulang muka yang terjadi pada periode selama 18 bulan diantara tahun 2000-2001,
dengan rerata 11-12 kasus tiap bulannya. Sebanyak 26,6% terjadi fraktur muka
dengan cedera lain. Kebanyakan traumda dengan cedera otak. Karakteristik 385
pasien fraktur tulang muka di RSCM Jakarta sejak April 2004-Maret 2006
mendapati 348 pasien pria (90,4%) dan 37 pasien perempuan (9,6%); 107 pasien
(27,8%) menderita cedera kepala sedang sampai berat; 278 pasien (72,2%)
menderita cedera kepala ringan; 90% menderita fraktur mandibula, 267 pasien
menderita fraktur midface (muka bagian tengah), 28 pasien merupakan kombinasi;
232 (60,3%) menggunakan helm da 153 (39,7%) tanpa menggunakan helm.2
2.1 Definisi Fraktur Maksilofasial
Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh.
Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu
tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula.3

2.2 Etiologi
Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial itu
dapat terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat
olah raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan
kekerasan, tetapi penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas.4,5,6
Terjadinya kecelakaan lalu lintas ini biasanya sering terjadi pada
pengendara sepeda motor. Hal ini dikarenakan kurangnya perhatian tentang
keselamatan jiwa mereka pada saat mengendarai sepeda motor di jalan raya,
seperti tidak menggunakan pelindung kepala (helm), kecepatan dan rendahnya
kesadaran tentang beretika lalu lintas. Sosin, Sak dan Holmgreen (1990), dalam
studi mortalitas Pusat Nasional Statistik Kesehatan data dari 1979-1986,
menemukan bahwa 53% dari 28.749 pengendara sepeda motor yang tidak
menggunakan helm meninggal karena cidera kepala yang mereka alami.2,7

2.3 Klasifikasi Fraktur Maksilofasial


Klasifikasi dari fraktur maksilofasial itu sendiri terdiri atas beberapa
fraktur yakni fraktur kompleks nasal, fraktur kompleks zigomatikus - arkus
zigomatikus, fraktur dento-alveolar, fraktur mandibula dan fraktur maksila yang
terdiri atas fraktur le fort I, II, dan III.8

2.3.1 Fraktur Komplek Nasal


Tulang hidung sendiri kemungkinan dapat mengalami fraktur , tetapi
yang lebih umum adalah bahwa fraktur – fraktur itu meluas dan melibatkan
proses frontal maksila serta bagian bawah dinding medial orbital.8,9
Fraktur daerah hidung biasanya menyangkut septum hidung. Kadang –
kadang tulang rawan septum hampir tertarik ke luar dari alurnya pada vomer
dan plat tegak lurus serta plat kribriform etmoid mungkin juga terkena
fraktur.9
Perpindahan tempat fragmen – fragmen tergantung pada arah gaya
fraktur. Gaya yang dikenakan sebelah lateral hidung akan mengakibatkan
tulang hidung dan bagian-bagian yang ada hubungannya dengan proses
frontal maksila berpindah tempat ke satu sisi. Dalam penelitian retrospektif
Sunarto Reksoprawiro tahun 2001-2005, insidensi fraktur komplek nasal
sebesar 12,66%.7,10

2.3.2 Fraktur Komplek Zigoma


Tulang zigomatik sangat erat hubungannya dengan tulang maksila,
tulang dahi serta tulang temporal, dan karena tulang – tulang tersebut
biasanya terlibat bila tulang zigomatik mengalami fraktur, maka lebih tepat
bila injuri semacam ini disebut “fraktur kompleks zigomatik”.11
Tulang zigomatik biasanya mengalami fraktur didaerah zigoma
beserta suturanya, yakni sutura zigomatikofrontal, sutura zigomakotemporal,
dan sutura zigomatikomaksilar. Suatu benturan atau pukulan pada daerah
inferolateral orbita atau pada tonjolan tulang pipi merupakan etiologi umum.
Arkus zigomatik dapat mengalami fraktur tanpa terjadinya perpindahan
tempat dari tulang zigomatik.11
Gambar 2. Pandangan frontal dari fraktur zigomatik kompleks

Gambar 3. Pandangan submentoverteks dari fraktur zigomatik kompleks.

Meskipun fraktur kompleks zigomatik sering disebut fraktur ”tripod”,


namun fraktur kompleks zigomatik merupakan empat fraktur yang berlainan.
Keempat bagian fraktur ini adalah arkus zigomatik, tepi orbita, penopang
frontozigomatik, dan penopang zigomatiko-rahang atas.11
Arkus zigomatikus bisa merupakan fraktur yang terpisah dari fraktur
zigoma kompleks. Fraktur ini terjadi karena depresi atau takikan pada arkus,
yang hanya bisa dilihat dengan menggunakan film submentoverteks dan
secara klinis berupa gangguan kosmetik pada kasus yang tidak dirawat, atau
mendapat perawatan yang kurang baik. Insidensi fraktur komplek zigoma
sendiri berbeda pada beberapa penelitian. Pada penelitian Hamad Ebrahim Al
Ahmed dan kawan-kawan insidensi fraktur komplek zigoma sebesar 7,4%.
Sedangkan hasil penelitian yang lain menunjukkan bahwa insidensi fraktur
komplek zigoma sebesar 42% dan 7,9%.11

2.3.3 Fraktur Dentoalveolar


Injuri dento-alveolar terdiri dari fraktur, subluksasi atau terlepasnya
gigi-gigi (avulsi), dengan atau tanpa adanya hubungan dengan fraktur yang
terjadi di alveolus, dan mungkin terjadi sebagai suatu kesatuan klinis atau
bergabung dengan setiap bentuk fraktur lainnya.12
Salah satu fraktur yang umum terjadi bersamaan dengan terjadinya
injuri wajah adalah kerusakan pada mahkota gigi, yang menimbulkan fraktur
dengan atau tanpa terbukanya saluran pulpa.12
Injuri fasial sering menekan jaringan lunak bibir atas pada gigi
insisor,sehingga menyebabkan laserasi kasar pada bagian dalam bibir atas
dan kadang-kadang terjadi luka setebal bibir. Sering kali injuri semacam ini
menghantam satu gigi atau lebih, sehingga pecahan mahkota gigi atau
bahkan seluruh gigi yang terkena injuri tersebut tertanam di dalam bibir
atas.12
Pada seorang pasien yang tidak sadarkan diri pecahan gigi yang
terkena fraktur atau gigi yang terlepas sama sekali mungkin tertelan pada saat
terjadi kecelakaan, sehingga sebaiknya jika terdapat gigi atau pecahan gigi
yang hilang setelah terjadinya injuri fasial agar selalu membuat radiograf
dada pasien, terutama jika terjadi kehilangan kesadaran pada saat terjadinya
kecelakaan.12
Fraktur pada alveolus dapat terjadi dengan atau tanpa adanya
hubungan dengan injuri pada gigi-gigi. Fraktur tuberositas maksilar dan
fraktur dasar antrum relatif merupakan komplikasi yang umum terjadi pada
ilmu eksodonti. 12
Insidensi fraktur dentoalveolar sendiri juga berbeda persentasenya,
pada beberapa penelitian, dimana masing-masing penelitian sebelumnya
menunjukkan persentase sebesar 5,4%, dan 49.0%.12,13

2.3.4 Fraktur Maksila


Klasifikasi fraktur maksilofasial yang keempat adalah fraktur maksila,
yang mana fraktur ini terbagi atas tiga jenis fraktur, yakni ; fraktur Le Fort I,
Le Fort II, Le Fort III. Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya, insidensi
dari fraktur maksila ini masing-masing sebesar 9,2% dan 29,85%.

2.3.4.1 Fraktur Le Fort I


Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau
bergabung dengan fraktur – fraktur Le Fort II dan III.
Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur
transverses rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di
atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan
pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum durum
bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang
terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur
transmaksilari.13

2.3.4.2 Fraktur Le Fort II


Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis
mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan
dengan tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura.
Sutura zigomatimaksilaris dan nasofrontalis merupakan sutura yang sering
terkena.13
Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas,
bias merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat
gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga
gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I.12,,13
2.3.4.3 Fraktur Le Fort III
Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah.
Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni
basis kranii. 12,,13
Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang
mana bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang
bisa mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan
trauma intrakranial. 12,,13
Gambar 6. Fraktur Le Fort I , Le Fort II, Le Fort III

2.3.5 Fraktur Mandibula


Fraktur mandibula merupakan akibat yang ditimbulkan dari trauma
kecepatan tinggi dan trauma kecepatan rendah. Fraktur mandibula dapat
terjadi akibat kegiatan olahraga, jatuh, kecelakaan sepeda bermotor, dan
trauma interpersonal. Di instalasi gawat darurat yang terletak di kota-kota
besar, setiap harinya fraktur mandibula merupakan kejadian yang sering
terlihat.15
Pasien kadang-kadang datang pada pagi hari setelah cedera terjadi,
dan menyadari bahwa adanya rasa sakit dan maloklusi. Pasien dengan fraktur
mandibula sering mengalami sakit sewaktu mengunyah, dan gejala lainnya
termasuk mati rasa dari divisi ketiga dari saraf trigeminal. Mobilitas segmen
mandibula merupakan kunci penemuan diagnostik fisik dalam menentukan
apakah si pasien mengalami fraktur mandibula atau tidak. Namun, mobilitas
ini bisa bervariasi dengan lokasi fraktur. Fraktur dapat terjadi pada bagian
anterior mandibula ( simpisis dan parasimpisis ), angulus mandibula, atau di
ramus atau daerah kondilar mandibula. 15
Gambar 7. Fraktur Mandibula

Kebanyakan fraktur simfisis, badan mandibula dan angulus mandibula


merupakan fraktur terbuka yang akan menggambarkan mobilitas sewaktu
dipalpasi. 15
Namun, fraktur mandibula yang sering terjadi disini adalah fraktur
kondilus yang biasanya tidak terbuka dan hanya dapat hadir sebagai
maloklusi dengan rasa sakit.13,14 Dalam beberapa penelitian sebelumnya,
dikatakan bahwa fraktur mandibula merupakan fraktur terbanyak yang
terjadi akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor, dengan
masing-masing persentase sebesar 51% dan 72,8%.7, 15

2.4 Pemeriksaaan Klinis


Pemeriksaan klinis dari masing-masing fraktur maksilofasial dapat
dilakukan dalam dua pemeriksaan, yakni pemeriksaan ekstra oral dan intra
oral. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiografis yang dapat membantu
dalam menegakkan diagnosa dari fraktur maksilofasial.

2.4.1 Fraktur Komplek Nasal


Pemeriksaan klinis pada fraktur kompleks nasal dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra
oral, pemeriksaan dilakukan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat
terlihat adanya deformitas pada tulang hidung, laserasi, epistaksis, bentuk
garis hidung yang tidak normal. Sedangkan secara palpasi dapat terlihat
adanya luka robek pada daerah frontal hidung, edema, hematom, dan tulang
hidung yang bergerak dan remuk. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan
dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat
adanya deformitas yang berlanjut, deviasi pada tulang hidung, ekhimosis dan
laserasi. Sedangkan secara palpasi terdapat bunyi yang khas pada tulang
hidung. Selanjutnya pemeriksaan fraktur nasal kompleks dilakukan dengan
foto rontgen dengan proyeksi Water, CT Scan, Helical CT dan pemeriksaan
foto roentgen dengan proyeksi dari atas hidung.10,16

2.4.2 Fraktur Komplek Zigoma


Pemeriksaan klinis pada fraktur kompleks zigoma dilakukan dalam
dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan
ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat adanya kehitaman pada sekeliling mata, mata juling,
ekhimosis, proptosis, pembengkakan kelopak mata, perdarahan
subkonjungtiva, asimetris pupil, hilangnya tonjolan prominen pada daerah
zigomatikus. Sedangkan secara palpasi terdapat edema dan kelunakan pada
tulang pipi. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya ekimosis
pada sulkus bukal atas di daerah penyangga zigomatik, kemungkinan
penyumbatan oklusi didaerah molar pada sisi yang terkena injuri. Sedangkan
secara palpasi terdapat kelunakan pada sulkus bukal atas di daerah
penyangga zigomatik, anestesia gusi atas. Pemeriksaan fraktur komplek
zigomatikus dilakukan dengan foto rontgen submentoverteks, proyeksi
waters dan CT scan. 11,16

2.4.3 Fraktur Dentoalveolar


Pemeriksaan klinis pada fraktur dentoalveolar dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra
oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat adanya laserasi, edema dan ekimosisi pada daerah
bibir. Sedangkan secara palpasi terdapat pecahan gigi pada jaringan bibir.
Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan
palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya laserasi pada permukaan
lidah dan sulkus labial, avulsi dan subluksasi. Sedangkan secara palpasi
terdapat deformitas tulang, krepitus. Pemeriksaan fraktur dentoalveolar
dilakukan dengan radiograf intra-oral dan panoramik.16

2.4.4 Fraktur Maksila


Fraktur maksila terbagi atas fraktur Le Fort I, Le Fort II dan Le Fort
III, dimana pemeriksaan klinis pada masing-masing fraktur Le Fort tersebut
berbeda.

2.4.4.1 Le Fort I
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan
ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat adanya edema pada bibir atas dan ekimosis.
Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada
pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan
palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior.
Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri. Selanjutnya pemeriksaan
fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi wajah
anterolateral.13,16

2.4.4.2 Le Fort II
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan
ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis, dan edema
periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung bergerak
bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang dipersarafi
oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan
dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat
adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika dibandingkan dengan
fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung
rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan
dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT
scan.13,16

2.4.4.3 Le Fort III


Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra
oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan
visualisasi. Secara visualisasi dapat terlihat pembengkakan pada daerah
kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral. Usaha untuk melakukan tes
mobilitas pada maksila akan mengakibatkan pergeseran seluruh bagian
atas wajah. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan
dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT
scan.13,16

2.4.5 Fraktur Mandibula


Pemeriksaan klinis pada fraktur mandibula dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra
oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi terlihat adanya hematoma, pembengkakan pada bagian yang
mengalami fraktur, perdarahan pada rongga mulut. Sedangkan secara palpasi
terdapat step deformity. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan
secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi terlihat adanya gigi yang
satu sama lain, gangguan oklusi yang ringan hingga berat, terputusnya
kontinuitas dataran oklusal pada bagian yang mengalami fraktur. Sedangkan
secara palpasi terdapat nyeri tekan, rasa tidak enak pada garis fraktur serta
pergeseran. Pada fraktur mandibula dilakukan pemeriksaan foto roentgen
proyeksi oklusal dan periapikal, panoramik tomografi ( panorex ) dan helical
CT.14,15,16

Gambar 8. Fraktur nasal akibat kecelakaan kendaraan bermotor

Gambar 9. Pemeriksaan dengan proyeksi waters dari fraktur kompleks


zigomatik
Gambar 10. Fraktur Dentoalveolar

Gambar 11. CT koronal menunjukkan fraktur Le Fort I (kanan) dan Le


Fort II (kiri)

Gambar 12. Tampilan Waters menunjukkan fraktur Le Fort III (panah).


Gambar 13. Radiografi Panoramik menunjukkan fraktur sudut kiri yang
meluas dan mencabut gigi molar 3. Gambar ini juga menunjukkan fraktur
simphisis kanan.

2.5 Perawatan
Perawatan pada masing-masing fraktur maksilofasial itu berbeda satu
sama lain. Oleh sebab itu perawatannya akan dibahas satu per satu pada masing-
masing fraktur maksilofasial. Tetapi sebelum perawatan defenitif dilakukan,
maka hal yang pertama sekali dilakukan adalah penanganan kegawatdaruratan
yakni berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang dikenal dengan
singkatan ABC. Apabila terdapat perdarahan aktif pada pasien, maka hal yang
harus dilakukan adalah hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh
nyeri maka dapat diberi analgetik untuk membantu menghilangkan rasa nyeri.
Setelah penanganan kegawatdaruratan tersebut dilaksanakan, maka perawatan
defenitif dapat dilakukan.17,18,19

2.5.1 Fraktur Komplek Nasal


Pada fraktur komplek nasal, ada 2 cara perawatan yang dilakukan
yakni reduksi dan fiksasi. Fraktur kompleks hidung dapat direduksi dibawah
analgesia lokal, tetapi anestesia umum dengan pipa endotrakeal lewat mulut
yang memadai lebih diminati karena mungkin terjadi perdarahan banyak.
Kadang – kadang bila fraktur tidak begitu parah maka pemasangan splin
setelah reduksi tidak perlu. Pada beberapa kasus, pendawaian langsung antar
tulang pada pertemuan dahi-hidung akan bermanfaat.20,21

2.5.2 Fraktur Komplek Zigoma


Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan secara elektif.
Fraktur arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui pendekatan Gillies klasik.
Adapun langkah-langkah teknik Gillies yang meliputi :
a. Membuat sayatan dibelakang garis rambut temporal,
b. Mengidentifikasi fasia temporalis,
c. Menempatkan elevator di bawah fasia mendekati lengkungan dari
aspek dalam yakni dengan menggeser elevator di bidang dalam
untuk fasia, cedera pada cabang frontal dari syaraf wajah harus
dihindari. Sehingga arkus dapat kembali ke posisi anatomis yang
lebih normal.
Bila hanya arkus zigoma saja yang terkena fraktur, fragmen – fragmen
harus direduksi melalui suatu pendekatan memnurut Gillies. Fiksasi tidak
perlu dilakukan karena fasia temporalis yang melekat sepanjang bagian atas
lengkung akan melakukan imobilisasi fragmen-fragmen secara efektif.22,23

Gambar 14. Pendekatan Gillies untuk mengurangi fraktur arkus


zigomatikus, A. Insisi temporal melalui fasia subkutan dan fasia superfisial
dibawah fasia temporal bagian dalam, B. Reduksi fraktur dengan elevator
Ketika fragmen tulang dan gigi yang bergeser masih memiliki mukosa
yang baik di sisi lingual, maka fragmen tulang dan gigi tersebut masih dapat
dilestarikan.23,24
Pergeseran dikurangi dan mukosa yang terjadi laserasi tersebut
diperbaiki jika itu diperlukan. Pengurangan dari pergeseran tersebut
bertujuan untuk menstabilkan, yakni dilakukan dengan cara mengetsa pilar
ke mahkota, baik pada gigi yang terlibat maupun pada gigi yang berdekatan
dengan batang akrilik atau bar yang cekat ,splint komposit atau splin
ortodonsi selama 4 - 6 minggu.24
Tetapi jika terdapat kominusi yang kotor, sebaiknya gigi dan tulang
yang hancur tersebut dibuang dan dilakukan penjahitan pada mukosa yang
berada diatas daerah tulang yang telah rata.24

2.5.4 Fraktur Maksila


Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi
maksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yang didapatkan dari
pengawatan sirkumzigomatik. Apabila segmen fraktur mengalami impaksi,
maka dilakukan pengungkitan dengan menggunakan tang pengungkit, atau
secara tidak langsung dengan menggunakan tekanan pada splint/arch bar.
Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le Fort
I. Hanya perbedaannya adalah perlu dilakukan perawatan fraktur nasal dan
dasar orbita juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan menggunakan
molding digital dan splinting. Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat
dengan menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular, pengawatan
langsung bilateral, atau pemasangan pelat pada sutura zigomatikofrontalis
dan suspensi kraniomandibular pada prosessus zigomatikus ossis
frontalis.25,26,27,28

2.5.5 Fraktur Mandibula


Ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibula, yakni cara tertutup
/ konservatif dan terbuka / pembedahan. Pada teknik tertutup, reduksi fraktur
dan imobilisasi mandibula dicapai dengan jalan menempatkan peralatan
fiksasi maksilomandibular.39,30,31,32
Pada prosedur terbuka, bagian yang fraktur dibuka dengan
pembedahan dan segmen direduksi dan difiksasi secara langsung dengan
menggunakan kawat atau plat. Terkadang teknik terbuka dan tertutup ini
tidaklah selalu dilakukan tersendiri, tetapi juga dapat dikombinasikan.
39,30,31,32

2.6 Prognosis
Jika terapi dan operasi perbaikan utuk memulihkan bentuk dilakukan
dalam waktu 1 minggu setelah cedera/trauma maka prognosis baik. Jika
penderita mempunyai penyakit kronik atau osteoporosis maka penyembuhan
menjadi masalah.2
Trauma kendaraa sepeda motor atau luka tembak sebagai contoh, dapat
menyebabkan trauma berat pada wajah sehingga membutuhkan prosedur
bedah multiple dan membutuhkan perawatan lama. Laserasi jaringan lunak
karena bekas luka biasanya dapat diatasi dengan lebih maksimal oleh ahli
bedah plastik.2

2.7 Pencegahan
Perlengkapan keselamatan dengan helm (pengaman kepala) yang
melindungi sampai rahang bawah dapat untuk mencegah trauma
maxillofacial.2
DAFTAR PUSTAKA

1. Corry J. Kucik, Timothy Clenney, James Phelan. 2004. Management of


Acute Nasal Fractures. Am Fam Physic; 70 (7): 1315-20.

2. Michael F Zide. 1992. Nasal and Nasoorbital Ethmoid Fractures. In: Dina
K Rubin, Delois Patterson, Darlene BC. Principles of Oral and
Maxillofacial Surgery. Philadelphia: Lippincott;p.547-57

3. Weller MD, Drake AB. 2006. A Review of Nasal Trauma. Brit Med J.
London; 8 (1): 21-8.

4. Gregory Staffel. 1998. Nasal Fracture. Current Therapy in Otolaringology


– Head and Neck Surgery. 6th ed. Saints Louis: Mosby Company.p.133-4.

5. James K Pitcock, Robert M Bumsted. 1991. Nasal Fractures. In: Raymond


J Fonseca, Robert V Walker, editors. Oral and Maxillofacial Trauma.
Philadelphia: WB Saunders;p.600-15.

6. Bartkiw TP, Pynn BR, Brown DH. 1995. Diagnosis and Management of
Nasal Fractures. Int J Trauma Nurs; 1: 11-8.

7. Brian Rubinstein, Bradley Strong. 2000. Management of Nasal Fractures.


Arch Fam Med; 9: 738-42

8. Manuel A Lopez, James HL, Benjamin Hartley. 2000. Septal Hematoma


and Abscess after Nasal Trauma. Clin Ped; 39: 609-10.

9. Marshall AH, Johnston MN, Jones NS. 2004. Principles of septal


correction.
J Laryngol & Otolog; 118: 129-34.

10. Ogundipe OK, Afolabi AO, Adebayo O. 2012. Maxillofacial Fractures in


Owo, South Western Nigeria. A 4 Year Retrospective Review of Pattern
and Treatment Outcome. OMICS Publishing Group. 2:4.

11. Exadaktylos K, Bournakas T, Eggli S, Zimmermann H, Iizuka T. 2002.


Maxillofacial injuries related to work accidents: a new concept of a
hospital-based full electronic occupational trauma surveillance system.
Occup. Med. Vol. 52 No. 1, pp. 45–48,

12. Truong AQ, Strong EB, Dublin AB. 2012. Lateral Pterygoid Fracture Can
Predict a Mandible Fracture. Otolaryngology, Head and Neck Surgery.
Vol 147, pp 128.
13. Archer KA, Kopp, Goyal P, Kellman RM, Suryadevara A. 2013.
Comparison of Complication Rates with and without Arch Bar Use in
Treatment of Mandible Fractures. Vol 149, pp 36.

14. Saigal, K., Ronald S. Winokur., et al. 2005. Use of Three-Dimensional


Computerized Tomography Reconstruction in Complex Facial Trauma.
Facial Plastic Surgery, Volume 21, Nomor 3, pp. 214-219

15. Kamulegeya A, Lakor F, Kabenge K. 2009. Oral Maxillofacial Fractures


Seen At A Ugandan Tertiary Hospital: A Six-Month Prospective Study.
Oral Maxillofacial Unit Of The Department Of Dentistry, Mulago
Hospital, Complex Mulago Hill. Clinics; 64(9): 843–848

16. Kumar YR, Chaudhary Z, Sharma P. 2012. Spiral intermaxillary fixation.


Craniomaxillofac Trauma Reconstruction; 5:97–8

17. Kraft A, Aberrmann E, Stigler R, Zsifkovitz C, Pedross F, Kloss F,


Gassner R. 2012. Craniomaxillofacial trauma: Synopsis of 14,654 cases
with 35,129 injuries in 15 years. Craniomaxillofacial Trauma and
Reconstruction; 5(1)

18. Lee SJ, Lee HP, Tse KM, Cheong EC, Lim SP. 2012. Computer-aided
design and rapid prototyping–assisted contouring of costal cartilage graft
for facial reconstructive surgery. Craniomaxillofac Trauma
Reconstruction; 5:75–82

19. Krausz AA, Abu el-Naaj, Barak M. 2009. Maxillofacial trauma patient:
coping with the difficult airway. World Journal of Emergency Surgery;
4:21

20. Tucker MR, Ochs MW. 2003. Management of facial fractures. Dalam :
Peterson lj et al. contemporary oral and maxillofacial surgery. St louis:
mosby co.

21. Prasetiyono A. 2005. Penanganan fraktur arkus dan kompleks


zigomatikus. Indonesian journal of oral and maxillofacial surgeons; 1: 41-
50.

22. Bailey JS, Goldwasser MS. 2004. Management of Zygomatic Complex


Fractures. Dalam : Miloro M et al. Peterson’s principles of Oral and
Maxillofacial Surgery 2nd. Hamilton, London : BC Decker Inc.

23. Ellis E. 2005. fractures of the zygomatic complex and arch. Dalam :
fonseca rj et al. oral and maxillofacial trauma. St. louis : Elsevier.
24. Piombino P, Iaconetta G, Ciccarelli R, Romeo A, Spinzia A, Califano L.
2010. Repair of Orbital Floor Fractures: Our Experience and New
Technical Findings. Craniomaxillofac Trauma Reconstruction;3:217–222.

25. Manolidis S, Weeks B H, Kirby M, Scarlett M, Hollier L. 2002.


Classification and surgical management of orbital fractures: experience
with 111 orbital reconstructions. J Craniofac Surg.;13:726–737.

26. Tong L, Bauer R J, Buchman S R. 2001. A current 10-year retrospective


survey of 199 surgically treated orbital floor fractures in a nonurban
tertiary care center. Plast Reconstr Surg.;108:612–621.

27. Macewen CJ. 2009. Occular Injury. Ninewells Hospital and Medical
School, Dundee, U.K.

28. Chalya PL, Mchembe, Mabula JB, Kanumba ES, Gilyoma. 2011.
Etiological spectrum, injury characteristics and treatment outcome of
maxillofacial injuries in a Tanzanian teaching hospital. Journal of Trauma
Management & Outcomes; 5:7

29. Koshy JC, Feldman, Chike-Obi CJ, Bullocks JM. 2010. Pearls of
Mandibular Trauma Management. Semin Plast Surg;24:357–374.

Anda mungkin juga menyukai