Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka
FRAKTUR MAXILLOFACIAL
Tulang nasal, orbitozigomatikus, frontal, temporal, maksila dan mandibula
merupakan tulang-tulang pembentuk wajah, sehingga apabila terjadi fraktur pada
daerah tersebut dapat mengakibatkan suatu kelainan pada bentuk wajah yang
menyebabkan wajah tersebut tidak terlihat estetis serta terjadinya gangguan pada
proses pengunyahan makanan dan gangguan fonetik.1
Fraktur tulang muka disebabkan trauma pada muka yang menyebabkan satu
hingga banyak tulang wajah atah komplit atau tidak komplit. Organ yang terlibat
pada fraktur tulang muka terdiri atas jaringan lunak (kulit, otot, dan jaringan ikat),
tulang muka itu sendiri, yaitu tulang kepala yag tidak membatasi otak (tulang
hidung, zigoma, maksila, septum nasi dan mandibula).2
Penyebab terbanyak adalah jatuh atau kecelakaan lalu lintas dari sepeda
motor tanpa menggunakan helm. Penyebab lain adalah trauma langsung misalnya
akibat perkelahian atau kekerasan fisik, terjatuh, olahraga, kecelakaan industrial,
dan luka tembak.3
Penelitian/studi di RSCM Jakarta menunjukkan terdapat 203 kasus trauma
tulang muka yang terjadi pada periode selama 18 bulan diantara tahun 2000-2001,
dengan rerata 11-12 kasus tiap bulannya. Sebanyak 26,6% terjadi fraktur muka
dengan cedera lain. Kebanyakan traumda dengan cedera otak. Karakteristik 385
pasien fraktur tulang muka di RSCM Jakarta sejak April 2004-Maret 2006
mendapati 348 pasien pria (90,4%) dan 37 pasien perempuan (9,6%); 107 pasien
(27,8%) menderita cedera kepala sedang sampai berat; 278 pasien (72,2%)
menderita cedera kepala ringan; 90% menderita fraktur mandibula, 267 pasien
menderita fraktur midface (muka bagian tengah), 28 pasien merupakan kombinasi;
232 (60,3%) menggunakan helm da 153 (39,7%) tanpa menggunakan helm.2
2.1 Definisi Fraktur Maksilofasial
Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh.
Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu
tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula.3
2.2 Etiologi
Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial itu
dapat terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat
olah raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan
kekerasan, tetapi penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas.4,5,6
Terjadinya kecelakaan lalu lintas ini biasanya sering terjadi pada
pengendara sepeda motor. Hal ini dikarenakan kurangnya perhatian tentang
keselamatan jiwa mereka pada saat mengendarai sepeda motor di jalan raya,
seperti tidak menggunakan pelindung kepala (helm), kecepatan dan rendahnya
kesadaran tentang beretika lalu lintas. Sosin, Sak dan Holmgreen (1990), dalam
studi mortalitas Pusat Nasional Statistik Kesehatan data dari 1979-1986,
menemukan bahwa 53% dari 28.749 pengendara sepeda motor yang tidak
menggunakan helm meninggal karena cidera kepala yang mereka alami.2,7
2.4.4.1 Le Fort I
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan
ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat adanya edema pada bibir atas dan ekimosis.
Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada
pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan
palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior.
Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri. Selanjutnya pemeriksaan
fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi wajah
anterolateral.13,16
2.4.4.2 Le Fort II
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan
ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis, dan edema
periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung bergerak
bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang dipersarafi
oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan
dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat
adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika dibandingkan dengan
fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung
rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan
dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT
scan.13,16
2.5 Perawatan
Perawatan pada masing-masing fraktur maksilofasial itu berbeda satu
sama lain. Oleh sebab itu perawatannya akan dibahas satu per satu pada masing-
masing fraktur maksilofasial. Tetapi sebelum perawatan defenitif dilakukan,
maka hal yang pertama sekali dilakukan adalah penanganan kegawatdaruratan
yakni berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang dikenal dengan
singkatan ABC. Apabila terdapat perdarahan aktif pada pasien, maka hal yang
harus dilakukan adalah hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh
nyeri maka dapat diberi analgetik untuk membantu menghilangkan rasa nyeri.
Setelah penanganan kegawatdaruratan tersebut dilaksanakan, maka perawatan
defenitif dapat dilakukan.17,18,19
2.6 Prognosis
Jika terapi dan operasi perbaikan utuk memulihkan bentuk dilakukan
dalam waktu 1 minggu setelah cedera/trauma maka prognosis baik. Jika
penderita mempunyai penyakit kronik atau osteoporosis maka penyembuhan
menjadi masalah.2
Trauma kendaraa sepeda motor atau luka tembak sebagai contoh, dapat
menyebabkan trauma berat pada wajah sehingga membutuhkan prosedur
bedah multiple dan membutuhkan perawatan lama. Laserasi jaringan lunak
karena bekas luka biasanya dapat diatasi dengan lebih maksimal oleh ahli
bedah plastik.2
2.7 Pencegahan
Perlengkapan keselamatan dengan helm (pengaman kepala) yang
melindungi sampai rahang bawah dapat untuk mencegah trauma
maxillofacial.2
DAFTAR PUSTAKA
2. Michael F Zide. 1992. Nasal and Nasoorbital Ethmoid Fractures. In: Dina
K Rubin, Delois Patterson, Darlene BC. Principles of Oral and
Maxillofacial Surgery. Philadelphia: Lippincott;p.547-57
3. Weller MD, Drake AB. 2006. A Review of Nasal Trauma. Brit Med J.
London; 8 (1): 21-8.
6. Bartkiw TP, Pynn BR, Brown DH. 1995. Diagnosis and Management of
Nasal Fractures. Int J Trauma Nurs; 1: 11-8.
12. Truong AQ, Strong EB, Dublin AB. 2012. Lateral Pterygoid Fracture Can
Predict a Mandible Fracture. Otolaryngology, Head and Neck Surgery.
Vol 147, pp 128.
13. Archer KA, Kopp, Goyal P, Kellman RM, Suryadevara A. 2013.
Comparison of Complication Rates with and without Arch Bar Use in
Treatment of Mandible Fractures. Vol 149, pp 36.
18. Lee SJ, Lee HP, Tse KM, Cheong EC, Lim SP. 2012. Computer-aided
design and rapid prototyping–assisted contouring of costal cartilage graft
for facial reconstructive surgery. Craniomaxillofac Trauma
Reconstruction; 5:75–82
19. Krausz AA, Abu el-Naaj, Barak M. 2009. Maxillofacial trauma patient:
coping with the difficult airway. World Journal of Emergency Surgery;
4:21
20. Tucker MR, Ochs MW. 2003. Management of facial fractures. Dalam :
Peterson lj et al. contemporary oral and maxillofacial surgery. St louis:
mosby co.
23. Ellis E. 2005. fractures of the zygomatic complex and arch. Dalam :
fonseca rj et al. oral and maxillofacial trauma. St. louis : Elsevier.
24. Piombino P, Iaconetta G, Ciccarelli R, Romeo A, Spinzia A, Califano L.
2010. Repair of Orbital Floor Fractures: Our Experience and New
Technical Findings. Craniomaxillofac Trauma Reconstruction;3:217–222.
27. Macewen CJ. 2009. Occular Injury. Ninewells Hospital and Medical
School, Dundee, U.K.
28. Chalya PL, Mchembe, Mabula JB, Kanumba ES, Gilyoma. 2011.
Etiological spectrum, injury characteristics and treatment outcome of
maxillofacial injuries in a Tanzanian teaching hospital. Journal of Trauma
Management & Outcomes; 5:7
29. Koshy JC, Feldman, Chike-Obi CJ, Bullocks JM. 2010. Pearls of
Mandibular Trauma Management. Semin Plast Surg;24:357–374.