Novel Tikam Samurai
Novel Tikam Samurai
Mereka kembali tenggelam dengan cerita ”masa lalu”. Saat tengah berbincang itu
MacKennedy berbisik kepada siBungsuMengatakan ada telepon untuknya.
“Telepon? dari siapa…?” pikir siBungsu heran.
Dia lalu pamit pada Ami lalu menuju ke telepon.
“Halo..siapa ini?”
“Bungsu-san…”
Dug!
Jantung siBungsu berdegup.
“M..Michiko…?”
Sepi beberapa saat. Di antara ke sepian itu si Bungsu mendengar suara isak Michiko di telepon.
“Kau baik-baik saja,Michiko-san…?”
Tak ada jawaban selain isak tangis.
“Kau dimana Michiko..?”
“Los Angeles…” jawab Michiko pelan setelah lama terdiam.
“Michiko-san…..terimakasih kau telah meminta suamimu menyelamatkan diriku. Aku berhutang budi
padamu dan pada Mackenzie, terimakasih..”
“Bungsu-san…”
“Ya…?”
Sepi.
Si Bungsu hanya mnedengar suara terisak tertahan Michiko.
“Michiko-san…”
Sepi.
“Bungsu-san..”
“Ya…?”
“Jaga dirimu baik-baik…”
“Kau juga,Michiko…”
Sepi.. lama.
Lalu siBungsu mendengar gagang telepon di letakkan. Hubungan telepon itu terputus. SiBungsu menarik
nafas, berusaha menenangkan hatinya yang terguncang. Kemudian berjalan ke westafel di toilet.
Mencuci mukanya, lalu kembali bergabung dengan Ami Florence, Le Duan, Laksamana Jones dan
Alfonso Rogers. Saat mereka bicara, seorang datang berbisik ke pada Ami. Mengatakan ada telepon.
“Dari siapa?” tanya Ami yang masih bergelantungan ke tangan siBungsu.
“Roxy Rogers,Mam…” ujar orang itu.
“Oh,Roxy!” ujar Ami sambil menoleh pada Alfonso Rogers, ayah Roxy.
Alfonso Rogers mengangguk sopan.
“Ada pesan untuk Roxy?” tanya Ami pada siBungsu.
“Sampaikan salam ku padanya…” ujar siBungsu.
Ami menuju ke tempat telepon dan mengangkat gagang telepon.
“Hai..Roxy…” sapa Ami memulai bicara.
“Sudah selesai penjemputan?”
“Ya..ya! Terimakasih..Anda dimana?”
“Los Angeles. Sudahkah kau sampaikan terimakasihku pada siBungsu?”
“Sudah. Tapi ayahmu lebih duluan menyampaikannya…”
“Dia baik-baik? Maksudku siBungsu?”
“Ya,dia baik-baik..”
“Ami…”
“Ya…?”
“Ada yang ingin bicara denganmu…”
“Oya,siapa?”
“Tanya saja namanya pada yang bersangkutan secara langsung…” jawab Roxy.
Ami Florence menanti dengan heran.
“Halo, Ami…”
Tak ada jawaban apapun dari bibir Ami Florence.Mereka masih bertatapan dalam
diam.Lalu… gadis itu menghambur memeluk si Bungsu,memeluknya erat-erat dalam isak tangis
bahagia.Mereka berpelukan dalam tatapan haru semua yang ada di helipad itu.
“Jangan lagi kau tinggalkan aku,Bungsu.Jangan lagi,please..!”ujar Ami dalam isak tangisnya.
Hari itu juga mereka di antar dengan helikopter dari USS Alamo ke sebuah hotel mewah di
Manila,ibukota filipina.Malam harinya mereka berkumpul di restoran hotel yang sengaja di pesan untuk
acara pertemuan malam itu.Pertemuan sebagai rasa syukur atas pembebasan dan ucapan terimakasih
kepada si Bungsu.Ketika mereka memegang gelas minuman,sementara Ami Florence bergayut di tangan
si Bungsu,seseorang menepuk pundak Ami.
“Sorry,aku pinjam orang ini sebentar…”ujar sebuah suara sambil meraih tangan si Bungsu sebelum Ami
Florence sempat menoleh.
“Thi-thi..!”seru Ami Florence dan si Bungsu hampir bersamaan tatkala mengetahui siapa yang berkata.
Gadis itu terpaksa melepaskan tangan si Bungsu,karena dia segera di peluk Ami Florence.Mereka
berpelukan saling melepaskan rindu.Habis itu Thi Binh merenggangkan pelukannya lalu kembali bicara.
“Boleh ku pinjam orang asing ini sebentar?”ujarnya sambil kembali memegang tangan si Bungsu.”Boleh
asal jangan kau bunuh dia..”ujar Ami Flerence.
Si Bungsu terpaksa menuruti Thi Binh tatkala gadis itu menariknya keluar dari lingkaran orang banyak
itu.Tapi dia hanya membawa si Bungsu”menghindar” beberapa langkah.
“Waw,cantiknya kau,Thi-thi…”ujar si Bungsu saat tegak berhadapan saling menatap.
“Aku sudah minta izin pada Ami…”ujar gadis itu,lalu tanpa memberi kesempatan pada si Bungsu untuk
memikirkan ucapannya,masih dalam tatapan semua yang hadir,termasuk Ami Florence,gadis itu
memeluknya,menciumnya.
Lama sekali.
Si Bungsu terengah ketika ciuman itu selesai.Orang-orang pada bertepuk, termasuk Ami!
“Aku akan tetap mencintaimu…”ujar Thi Binh tertahan.Lalu dia kembali memegang tangan si Bungsu
membawanya kembali ke lingkaran orang banyak.Dan”menyerahkan”kepada Ami Florence.Dia masih
memegang tangan si Bungsu,saat Ami memeluk lengan lelaki itu yang sebelah lagi.Yang hadir kembali
bertepuk tangan.
Diposting oleh Irvo Oktaviandi di 16.54
tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 716-717
Dalam Neraka Vietnam -bagian 716-717
Dalam Neraka Vietnam-bagian-716
Namun dalam rekaman selanjutnya, nampaknya hari telah siang, kelihatan sesosok
berlari di antara belantara dan sekilas-sekilas menjadi jelas saat dia melewati rawa yang tidak ditutupi
daun kayu.
“Itu si Bungsu…!” serua Ami.
“Ya, itu si Bungsu..! “ ujar Kolonel MacMahon.
Mereka yang di ruangan itu saling berpandangan.
“Peristiwa di padang lalang saat heli menjemput kami, dan kami dihujani tentara Vietkong dengan
tembakan, kini terulang lagi. Dia kembali menjadikan dirinya umpan perluru, demi membebaskan tiga
tawanan lainnya. Oh Tuhan…!” ujar Kolonel MacMahon dengan suara bergetar.
Ami Florence tak mampu menahan isak tangisnya.
“Selamatkan dia, tolong selamatkan dia, please….” ujarnya.
“Ya… kita semua hadir di sini karena ingin menyelamatkannya. Karena tidak hanya kita, Amerika
berhutang amat besar padanya…” ujar multi-milyuner Alfonso Rogers.
“Tidak hanya kita, tiga atau empat tentara Vietkong itu sendiri, seorang di antaranya berpangkat kolonel,
yang ditolong oleh si Bungsu, diam-diam menginginkan kebebasannya. Itu informasi yang disampaikan
Dragon…” ujar Le Duan.
Laksamana Billi Yones Lee, Komandan USS Alamo kemudian bicara.
“Well, baiklah! Berbeda dengan operasi pencarian MIA atau operasi penyelamatan lainnya selama ini
yang dilakukan Amerika, tetapi jika terjadi sesuatu Amerika akan mengatakan ‘tidak tahu!’ Kemarin pagi
saya diinformaskan akan kedatangan Tuan-tuan di bawah koordinasi Tuan Rogers. Setelah itu dari
Pentagon ada perintah langsung dari Kepala Staf Panglima Gabungan, jemput si Bungsu, Amerika akan
menghadapi apapun risiko politiknya. Apapun! Saya yakin, perintah dan sikap Amerika seperti itu hanya
di mungkinan karena tekanan Tuan-Tuan dan Anda, Lady. Terutama Tuan Alfonso Rogers dan Kolonel
MacMahon dan Jhon McKinlay…”
“Anda terlalu merendah, Laksamana. Saya berada di Pentagon ketika Anda membentak-bentak seorang
jenderal di sana. Menyuruh mereka memasang telinga saat Anda menceritakan apa yang dilakukan si
Bungsu untuk membebaskan 17 tentara Amerika, dan menghancurkan beberapa boat perang Vietkong
menyelamatkan Ami Florence dan Le Duan…” ujar Alfonso Rogers memotong.
Laksamana itu tersipu.
“Ya, apa yang dilakukan orang asing itu belum tentu mampu dilakukan satu kompi pasukan kita yang
amat tangguh sekalipun. Di atas segalanya, kesediaannya menjadikan dirinya umpan peluru untuk
menyelamatkan heli dan para tawanan Amerika, membuat saya tak tidur berhari-hari. Dia sendirian di
padang lalang itu, ditembaki dan ditangkap…” ujarnya.
Semua tertunduk mengingat peristiwa tersebut. Lalu Laksamana itu menyambung.
“Kita sudah sediakan tiga heli tempur. Sebuah untuk mengambil mereka di dekat air terjun itu, dua buah
untuk mengawal. Perintahnya amat jelas, bawa mereka pulang, terutama si Bungsu, apapun
risikonya….!”
“Saya telah mendapatkan persetujuan Pentagon untuk memiloti heli penjemputan….” ujar Thomas
MacKenzie, suami Michiko yang mantan pilot udara Perang Dunia II itu.
“Ya, saya sudah diberitahu. Terimakasih, kami memang amat membutuhkan pilot yang berpengalaman.
Dua pilot lain siap mengawal Anda…” ujar Laksamana Lee.
“Saya ikut heli yang menjemput…?” tiba-tiba Ami Florence menyela.
“Maaf, Lady. Kali ini usulan Anda terpaksa saya tolak. Demi kesuksesan operasi yang harus amat cepat
ini. Dia tiap heli, selain pilot masing-masing hanya ada dua penembak yang menjaga di mitraliur. Satu di
kiri, satu di kanan. Oke, masukkan koordinat wilayah air mancur itu ke komputer di tiap heli. Sekarang
jam tiga, ada waktu sekitar empat jam mencapai tempat itu. Anda hanya bisa memakai lampu sorot
setelah dekat air terjun itu, MacKenzie. Waktu untuk Tuan mempersiapkan diri ada lima menit,
McKenzie….”
“Yes, Sir!” ujar veteran Perang Dunia II itu, sambil bergegas keluar menuju heli yang menanti dalam
keadaan mesin sudah dihidupkan.
Mereka menatap keberangkatan tiga helikopter itu dari anjungan komando. Menatapnya hingga jauh,
hingga hanya kelihatan seperti seekor burung kecil, kemudian seperti titik. Saat ketiga heli itu lenyap di
kaki langit, Ami dikejutkan oleh ucapan letnan di komputer tadi.
“Mam, ada yang ingin bicara padamu di telpon….”
“Saya?”
“Siapa?”
“Nona Roxy….”
Ami menoleh pada Alfonso Rogers, ayah gadis yang ingin bicara melalui telepon dengannya. Lelaki tua
itu tersenyum.
“Hallo, Roxy..” sapanya setelah memegang telpon.
“Hai, Ami. Senang dapat lagi bicara dengan Anda. Saya diberitahu ayah, Anda akan bertemu dengannya
di USS Alamo….”
“Ya, Ayahmu ada di sini sekarang. Anda dimana, Roxy?”
“New York. Sudah berangkat penjemputan untuk si Bungsu…?”
Ami tertegun. Dia menatap pada ayah Roxy yang sedang ngobrol perlahan dengan Laksamana Lee.
“Anda sudah tahu adanya operasi penjemputan itu…?”
“Saya mendesak Ayah untuk mempergunakan pengaruhnya. Kita semua berhutang nyawa padanya,
kan? Sudah berangkat yang menjemput si Bungsu, Ami…?”
“Y..Ya! Sudah….”
“Kita doakan bersama mudah-mudahan tak ada halangan. Apalagi Thomas MacKenzie yang menjemput
adalah pilot pesawat tempur yang amat bisa diandalkan….”
“Ya, kita bersama mendoakan.. Roxy….”
ADALAH Cowie pertama tersentak bangun dari tidurnya yang nyenyak karena mendengar suara aneh di
antara suara air terjun. Dia membangunkan kawan-kawannya yang bergelimpang di dalam goa di balik
air terjun itu.
“Suara heli…!” bisik si Bungsu.
Mereka bangkit dan bergegas ke tabir air terjun yang menutup goa persembunyian mereka. Tiba-tiba
sorot lampu heli menerangi air terjun itu. Lalu lampu sorot itu dimatikan. Kemudian dihidupkan. Mati,
hidup lagi terputus-putus.
“Morse! Itu heli Amerika menjemput kita…!” seru Kopral Jock Graham setelah mengartikan kerdipan
lampu yang dipergunakan seperti morse bagi kapal-kapal di laut.
Mereka keluar dari balik air terjun itu, di bawah sorot lampu heli menuruni bukit batu tersebut dengan
cepat. Heli itu mengapung rendah di hamparan pasir lebar di tepi sungai di bawah air terjun itu. Mereka
berempat berlarian ke sana. Letnan Cowie yang Negro itu pertama sampai di dekat heli. Namun dia tak
segera naik, dia menunggu yang lain. Yang pertama naik adalah Kopral Jock Graham, kemudian Sersan
Tim Smith, kemudian si Bungsu. Baru dia menyusul.
“Lengkap! Go.. go.. go…!!” seru sersan penjaga mitraliur di bagian kanan setelah semuanya naik.
Seiring dengan melambungnya heli itu dengan cepat ke atas, terdengar suara.
“Hallo, Bungsu. Welcome home…!”
Si Bungsu kaget mendegar panggilan itu. Dia menoleh ke arah orang yang menyapanya, yang tak lain
dari pilot heli itu. Meski dia memakai helm pilot, namun si Bungsu mengenalnya dengan baik.
“MacKenzie…” seru si Bungsu sambil mengulurkan tangan, disambut dengan salaman yang kukuh dan
hangat oleh suami Michiko itu.
Sebenarnya, kalau pun dia membawa senjata, belum tentu apa yang dia ucapkan
akan terjadi. Bahwa dia akan menembak mati lelaki yang menyerongi isterinya itu. Sebab, saat dia
menangkap basah kedua orang itu, Smith tak sempat menghajar lelaki yang meniduri isterinya di kamar
hotel tersebut. Dia hanya tertegak mematung. Dia tak yakin bahwa isterinya akan berselingkuh seperti
itu. Dia masih tegak mematung di pintu kamar yang jebol dia tendang sampai polisi militer datang. Dia,
isterinya dan lelaki teman sekantor isterinya itu dibawa ke kantor polisi militer.
Dari pengakuan isteri dan teman kencannya itu kepada polisi militer, terungkap bahwa perbuatan tak
senonoh itu sudah mereka lakukan tiga kali seminggu selama dua tahun. Hampir selama Smith berada di
kancah perang Vietnam. Mendengar pengakuan kedua orang itu, Smith merasa sangat terpukul. Ketika
dia menyabung nyawa di medan perang, dalam belantara yang amat ganas di Vietnam, isterinya hampir
setiap malam menyerahkan tubuh dan kehormatannya pada lelaki lain. Saat dia dihujani peluru, atau
sedang diburu tentara Vietnam, isterinya ternyata tengah mengumbar nafsu. Ketika dia berada di antara
mayat rekan-rekannya yang bertumbangan satu demi satu, di Amerika isterinya sedang bermandi
keringat mendengus-dengus dalam dekapan lelaki lain. Padahal, kemana pun dia pergi, foto mereka
bertiga, dia-isteri-anaknya, selalu setia dalam dompetnya
. Hampir setiap hari dia melihat foto tersebut dengan sepenuh rindu. Siapa menduga, pada saat-saat
seperti itu, isterinya ternyata menikmati hari-harinya dengan gejolak birahi tak terkendali. Smith merasa
dunianya benar-benar tenggelam. Dia tak mampu berkata sepatahpun. Bahkan ketika polisi militer
bertanya apakah dia akan menuntut atau tidak, dia hanya menunduk lemah. Kemudian berdiri. Menatap
sesaat pada lelaki yang telah ratusan kali menyebadani isterinya itu. Lelaki itu menunduk. Tak berani
menatapnya. Kemudian ditatapnya isterinya yang sedang menangis terisak-isak. Hanya sesaat dia tatap.
Kemudian dia melangkah keluar. Tawaran polisi militer untuk mengantarkannya pulang ditolaknya. Dia
pulang naik taksi. Di rumah dikemasinya pakaiannya dan pakaian anak lelakinya yang berusia tiga tahun.
Kemudian dia pergi. Dia pulang ke rumah orang tuanya. Dititipkannya anaknya itu di sana. Ketika ibu dan
ayahnya bertanya apa yang terjadi, dia hanya menarik nafas. Menatap penuh perasaan hiba kepada
anaknya. Kemudian menjawab pertanyaan si ibu sekadarnya, bahwa perkawinannya sudah berakhir. Dia
tak menceritakan sepatah pun apa yang telah dilakukan isterinya. Kemudian dia menghabisi hari-harinya
di bar. Minum sampai mabuk, tidur di jalanan. Suatu malam dia dirampok segerombolan pemuda. Ada
tujuh orang jumlahnya. Ketika dia tak mau menyerahkan dompet, jam dan cincin kawin yang masih dia
pakai, ketujuh pemuda itu menghajarnya sampai babak belur. Aneh, kendati dia bisa melawan, namun
dia tak melawan sedikit pun. Sebagai tentara aktif yang baru seminggu dari medan perang Vietnam, dia
masih memiliki naluri seperti hewan liar dan kemampuan tarung individual yang tak bisa dikatakan
rendah. Namun Smith seperti membiarkan dirinya dihajar. Hidung, mulut dan matanya berdarah. Semua
uang, jam dan cincinya disikat. Dia sadar di rumah sakit.
Sekeluar dari rumah sakit, dia ke markas minta cutinya diakhiri dan segera minta dikirim kembali ke
Vietnam. Dia bertemu dengan PL Cowie, yang saat itu masih berpangkat sersan dan menjabat
komandan regunya. Mereka bertemu di markas sehari sebelum diberangkatkan kembali ke Vietnam.
Ketika Cowie bertanya apa yang terjadi, Smith hanya menatap kosong, seperti orang yang tak punya
semangat untuk hidup. Kemudian dia meninggalkan Cowie. Cowie mendengar apa yang menimpa Smith
dari perawat di rumah sakit. Esoknya Cowie mendatangi rumah Smith. Namun di rumah itu yang ada
hanya isteri Smith yang sedang duduk menangis. Dan perempuan itu, yang kesadarannya datang sangat
terlambat, mengatakan bahwa dia sudah berpisah dengan Smith. Hanya itu. Dia tak bercerita apa
penyebabnya.
Ketika Cowie datang ke markas, dia mendapat kabar bahwa paginya Smith sudah berangkat ke Vietnam,
bersama pasukan yang mendapat giliran tugas di sana. Sersan Negro itu menemui dua anak buahnya
yang sama-sama masih dalam cuti dengannya. Dia ceritakan apa yang dialami Smith. Kemudian mereka
mulai mencari dimana peristiwa itu terjadi. Tak begitu sulit bagi mereka menemukan gerombolan tujuh
anak-anak muda berusia antara dua puluh sampai tiga puluhan itu. Seorang anak muda yang menjadi
saksi mata saat perampokan itu memberitahu mereka pada suatu malam, bahwa ketujuh anak muda itu
berada di sebuah bar. Mereka masuk duluan ke bar yang penuh oleh pengunjung itu. Tak lama kemudian
anak muda yang jadi saksi itu, memberi isyarat dengan sudut mata ke sebuah meja.
Si Bungsu memperlihatkan kepada Smith dua buah batu yang besar hampir sebesar jempol
jari kaki.
“Untuk apa itu?”
“Pengganti senapan….”
Smith sudah hampir mengatakan orang di depannya itu gila. Namun ketika tiba-tiba dia teringat selama
dua hari ini si Bungsu ‘menangkap’ ikan hanya dengan lemparan batu, dia mengurungkan niatnya
mengatakan si Bungsu gila.
“Anda juga bisa menangkap rusa dengan batu?”
“Saya tak yakin, tapi tak ada salahnya dicoba bukan?”
“Pantat kurap! Cobalah, saya ingin melihat…” rutuk Smith.
Si Bungsu mengangkat kepalanya perlahan. Smith ikut-ikutan mengangkat kepala. Di hadapan mereka
kesepuluh ekor rusa itu kelihatan memamah rumput dengan lahap. Untung arah angin tidak datang dari
arah mereka berada maupun dari arah air terjun. Kalau itu yang terjadi, rusa-rusa yang penciumannya
amat tajam itu pasti sudah pada melarikan diri, karena mencium bau manusia, bau yang tak lazim bagi
mereka.
Tiba-tiba si Bungsu bangkit. Rusa-rusa itu terkejut dan menoleh. Binatang itu tertegak. Mungkin merasa
aneh melihat makhluk yang tak pernah mereka lihat seumur hidup. Namun hanya dua atau tiga detik
mereka tertegun. Dengan lengking pendek rusa jantan yang paling besar sebagai peringatan adanya
bahaya, semua rusa itu tiba-tiba melompat cepat melarikan diri. Namun salah seekor, yang nampaknya
masih berusia sekitar dua tahun, tiba-tiba terdongak. Lalu jatuh. Lenyap dalam palunan rumput tebal
tersebut. Rusa yang lain dalam waktu singkat berhasil melintasi padang rumput luas itu. Kemudian
lenyap ke dalam belantara lebat di belakang sana.
Si Bungsu, diikuti Smith memeriksa dan mendapati rusa itu sudah mati. Tengkoraknya, sedikit di bawah
telinga, kelihatan remuk. Bahagian itulah yang dihantam oleh lemparan si Bungsu. Smith mendecak dan
menggelengkan kepala. Sukar baginya memahami bagaimana si Bungsu yang selalu dia maki dengan
kata-kata ‘pantat kurap’ atau ‘induk sipilis’ ini bisa memiliki kemahiran seperti itu. Menangkap ikan dan
rusa hanya dengan lemparan batu. Rusa itu kemudian mereka seret ke dekat air terjun. Cowie dan Jock
Graham ternganga mendengar cerita bagaimana si Bungsu “menembak” rusa tersebut.
“Hati-hati dengan orang ini. Dia bukan manusia. Dia dukun. Mana ada manusia yang bisa menangkap
ikan dan rusa hanya dengan lemparan batu. Pantat kurap dan induk sipilis ini dukun yang berbahaya…”
rutuk Smith panjang pendek sambil menguliti rusa itu bersama Jock Graham dengan bayonet.
Si Bungsu hanya tersenyum mendengar dendang dan rutuk Tim Smith. Saat Jock dan Smith
mengerjakan rusa itu, Cowie beranjak ke tepi hutan. Mengumpulkan kayu-kayu kering sebanyak mungkin
untuk membuaut api unggun guna memanggang rusatersebut. Sore itu mereka pesta pora menikmati
panggang daging rusa. Kepada ketiga tentara Amerika itu si Bungsu menunjukkan jenis daun kayu yang
dia jadikan sebagai pengganti garam saat membakar ikan kemarin. Dia juga menunjukkan pada mereka
jenis-jenis daun dan lumut, yang bisa diramu secara sederhana untuk obat malaria. Dengan takaran yang
berbeda, bahagian tumbuhan itu bisa pula diramu menjadi obat luka yang manjur.
Ketika malam turun, dan kebetulan bulan sabit muncul di langit yang bersih, mereka membuat api
unggun di tepi sungai itu sambil berbaring di pasir yang putih bersih. Tempat itu demikian tenang. Berada
di tempat amat tenang dengan suara desah air terjun itu, orang sudah mengalami atau paling tidak
melihat puing neraka perang Vietnam, takkan percaya bahwa ada tempat seperti itu di Vietnam. Negeri
yang selama belasan tahun dicabik-cabik oleh perang yang kekejamannya tiada tara.
Kekejaman perang Vietnam tercatat dalam sejarah peperangan mana pun yang pernah dikenal umat
manusia di permukaan bumi ini. Kekejaman balatentara Jepang saat perang Pacific jadi tidak berati
dibanding kekejaman perang Vietnam. Tempat mereka berada sekarang seolah-olah berada di negeri
lain, yang jauh sekali dari negeri yang bernama Vietnam.
“Kenapa engkau tak ikut dengan heli tempur yang menjemput Kolonel MacMahon?” tiba-tiba saja Cowie
mengajukan pertanyaan pada si Bungsu, saat mereka berbaring di dekat api unggun di pasir putih di tepi
sungai tersebut.
Pertanyaan yang sejak awal sudah mengusik perasaan Cowie. Si Bungsu tak segera menjawab. Sambil
menelentang dia menatap bulan sabit di langit yang bersih. Jock Graham dan Smith merobah posisi
tidurnya. Jika sebelumnya mereka menelentang kini pada memiringkan tubuh menghadap ke arah si
Bungsu. Mereka memang ingin tahu, kenapa lelaki Indonesia itu bertemu dengan MacMahon di tempat
kolonel itu disekap. Dan kenapa dia tak ikut pergi atau tak ikut dibawa bersama helikopter tersebut.
“Ada puluhan tentara Vietnam saat itu…” ujar si Bungsu perlahan.
“Mengepung heli tersebut?” ujar Cowie.
“Ya. Sekaligus menembakinya….”
“Engkau bersama MacMahon saat itu?”
“Persisnya tidak. Setelah MacMahon dan beberapa tentara Amerika lainnya saya bebaskan dari tempat
penyekapan, kami membagi kelompok menjadi tiga bahagian.
Kini keempat mereka sudah berkumpul. Ketika ditanya mengapa secepat itu dia bisa
menyusul, si Bungsu bercerita ala kadarnya. Semula, beberapa saat setelah dia menyuruh ketiga orang
itu melarikan diri arah ke barat, dia bertahan di balik sebuah pohon besar yang tumbang. Dari sana dia
menembaki tentara Vietnam, untuk mengalihkan perhatian mereka. Saat akan pergi dari kayu besar
tempat dia bertahan itu, tiba-tiba saja perutnya memilin-milin. Kalau saja sabut dimasukkan ke perutnya
yang memilin-milin itu, hampir bisa dipastikan akan dihasilkan tali yang alot, saking kuatnya perutnya
memilin. Di antara tembakan yang dar…dor… der… darrrr…. dia teringat baru saja memakan buah
rukam yang ranum. Rukam yang batangnya penuh duri itu buahnya persis buah anggur.
Hanya bedanya, jika anggur manis, maka rasa buah rukam berbaur antara sepat, asam dan manis. Yang
paling mendominasi di antara ketiga rasa itu tentu saja sepat dan asam. Manisnya hanya sedikit, sekedar
pelepas tanya. Karena lapar, apalagi semasa di Gunung Sago dulu buah rukam adalah menu
makanannya setiap hari, maka dia segera saja memetik belasan buah tersebut. Sambil berlindung dari
incaran tentara Vietnam, dia menikmati buah rukam itu. Eh, akibat terlalu banyak makan buah rukam
perutnya menjadi memilin-milin. Dia sudah akan melangkah ke batang kayu besar tempat dia berlindung.
Namun pilin perutnya sungguh kalera. Tak mau kompromi. Perutnya seolah-olah berpihak pada tentara
Vietnam. Apa boleh buat, sambil membalas tembakan dua kali ke sembarang tempat. Dia lalu melorotkan
celana. Lalu mencongkong. Ketika ada balasan tembakan. Dia merunduk di balik batang tumbang itu.
Diangkatnya bedilnya ke atas kayu, sambil menunduk dua tiga kali. Kemudian kedua bedil yang sudah
habis pelurunya itu dia sandarkan ke kayu besar tersebut. Lalu dia pergi ke sungai kecil itu, cebok di
sana.
Di antara cecaran tembakan dari tentara Vietnam, dia kembali memakai celananya. Lalu, dalam
kegelapan tersebut dia naik ke kayu besar yang tumbang itu. Dengan amat mudah dia berjalan ke
bahagian ujung. Di sana ada sebuah pohon besar, dengan beberapa akar besar menjulai ke bawah.
Ditariknya akar itu, dia memejamkan mata. Lalu tiba-tiba dengan bergantung di akar besar itu, tubuhnya
melayang ke arah barat, melewati sela-sela batang kayu yang tumbuh rapat sekali di belantara tersebut.
Beberapa orang tentara Vietnam mendengar suara mendesis di atas kepala mereka. “Kelelawar atau
enggang…” bisik hati mereka.
Padahal, kalau saja hari sedikit terang, mereka mungkin akan ternganga. Sebab suara mendesis itu
bukan enggang, apalagi kelelawar. Yang melintas di atas batok kepala mereka justru salah seorang dari
empat pelarian yang mereka buru! Si Bungsu mirip tarzan yang berayun dari pohon ke pohon dengan
mempergunakan akar, yang lazimnya disebut sebagai akar angin. Kendati hanya sekali bisa
memanfaatkan akar kayu itu, namun akar kayu itu telah membawanya keluar dari kepungan tersebut. Dia
meninggalkan kepungan dengan sekaligus mening galkan seungguk “induk kentut” yang esoknya
membuat komandan Vietnam yang melakukan pengepungan menjadi murka.
Dengan pengalamannya selama bertahun-tahun hidup di belantara Gunung Sago, dia tahu kapan
ayunan akar kayu itu akan berhenti. Ketika ayunan akar itu dia rasa melemah, tangan kirinya masih
memegang akar itu agar tubuhnya tak jatuh seperti goni buruk ke tanah. Sementara tangan kanannya
menggapai ke sisi, mencari dahan atau pohon yang bisa dipegang. Tangannya menangkap dahan yang
lumayan besar. Tubuhnya bertahan di sana. Untuk sesaat tubuhnya masih berada di dahan yang baru
dia pegang. Lalu akar pohon yang baru dia pergunakan untuk meloloskan diri itu dia ikatkan ke dahan di
mana tangan kanannya kini berpegang. Dengan demikian, akar itu tak kembali ke tempat awal. Hal itu
perlu, sebab kalau akar itu kembali ke tempat semula, pencari jejak andal yang biasanya dimiliki tiap
pasukan Vietnam, dengan mudah bisa melacak bagaimana dan kemana dia meloloskan diri. Dalam
kegelapan dia naik dan menelungkup di dahan yang besarnya sebesar betis lekaki dewasa tersebut.
Bertahan dengan diam dan memusatkan konsentrasi. Dia mendengar tentara yang gelisah diserang
nyamuk jauh di utara sana. Jarak antara dia dengan tentara terdekat dia perkirakan sekitar dua puluh
meter. Itu berarti ayunan akar kayu itu sudah mengantarnya ketempat lain sejauh lebih kurang tiga puluh
meter, kemudian dia mencari jalan untuk segera turun. Setelah itu mulai melangkah meninggalkan
tempat tersebut. Dalam waktu tak begitu lama dia berhasil menemukan tempat di mana dia
meninggalkan Cowie, Jock dan Smith. Dia bisa menemukan setiap jejak yang di tinggalkan ketiga orang
tersebut. Menjelang siang dia memanjat sebuah pohon besar dan tinggi. Dari pohon itu dia memandang
ke arah dari mana dia datang. Melihat kalau-kalau tentara Vietnam itu menyusul. Ada sekitar satu jam dia
di pohon besar dan rindang itu, namun tak ada gerakan apapun yang dia lihat.
Letnan itu memutuskan meneruskan pengejaran. Dia tahu, pengejaran harus dia lakukan.
Sebab dia sudah mendengar perintah komandannya, sebelum berhasil menangkap ke empat pelarian itu
mereka tak dibolehkan pulang ke markas!
Letnan Cowie memutuskan istirahat di balik sebuah jeram air terjun. Belantara yang sudah mereka lewati
sepanjang dua hari dua malam ini nampaknya benar-benar belum pernah disentuh kaki manusia. Dia
dengan teguh menuruti petunjuk si Bungsu, agar menjaga arah pelarian, tetap menuju ke arah barat.
Kendati medan yang harus mereka tempuh semakin berat, namun dia tetap mengarahkan jalan ke arah
matahari terbenam. Di hari ketiga, menjelang tengah hari mereka sudah meninggalkan belantara yang
datar dan berawa. Dari kejauhan mereka melihat bukit-bukit yang menjulang.
Ketika menemui sebuah sungai yang cukup besar dan berair jernih, mereka mengikuti alur sungai itu ke
arah hulu. Semakin jauh ke hulu semakin sulit medan yang harus mereka tempuh. Mendaki bukit batu
cadas terjal dan menuruni tebing curam. Namun mereka semua yakin, apa yang diucapkan lelaki
Indonesia itu tentang helikopter tempur yang menjemput Kolonel MacMahon. Helikopter itu datang dan
pergi ke arah barat, ke arah perbatasan Kamboja.
Lewat tengah hari, mereka tiba-tiba menemukan sebuah air terjun dua tingkat yang selain tinggi dan
terjal, juga sangat indah. Di bahagian bawah, di mana air terjun itu terhempas, tercipta sebuah danau
selebar lapangan bola volli. Di seluruh tepinya adalah hamparan pasir putih yang landai. Sedikit bahagian
yang terjal dan berbatu-batu besar ada di bahagian air itu menghujam dari ketinggian sekitar lima puluh
meter. Di bahagian itu pula tercipta pelangi yang melengkung dari sisi kanan ke sisi kiri. Seolah-olah
sebuah jembatan yang terbuat dari selendang. Sungguh-sungguh teramat indah.
Baik di danau kecil tempat air itu menghujam maupun di sungai yang dalamnya hanya sekitar dua meter,
yang mengalirkan air yang amat jernih ke arah danau berpelangi itu, terlihat dengan jelas ikan-ikan mulai
dari sebesar telapak tangan sampai sebesar paha lelaki dewasa hilir mudik. Jumlahnya ratusan!
“Ya Tuhan, saya hampir tak yakin bahwa ada tempat yang begini indah di tengah belantara yang belum
pernah ditempuh manusia ini…” desis Cowie sembari menatap dengan mulut separuh ternganga ke arah
air terjun tersebut.
Lalu ketiga mereka, termasuk Jock Graham yang demamnya sudah benar-benar sembuh, segera
mencebur ke sungai dengan dasar pasir yang amat putih itu. Minum air tawar sepuas hati mereka,
sembari mencoba menangkap ikan yang kelihatannya seperti jinak-jinak merpati. Smith yang gagal
menangkap ikan, segera kumat lagi penyakit bercarut-carut dan sumpah serapahnya. Semua sumpah
serapah yang sudah beberapa hari istirahat dari mulutnya, kini berham buran. Dimakinya ikan-ikan
sebesar betis yang lepas dan lepas lagi, padahal sudah tersentuh oleh tangannya.
Makian dan sumpah serapahnya sungguh teramat lengkap. Mulai dari ikan berpantat kurap, ikan kena
sipilis, ikan pukimak, ikan impoten, ikan panau, ikan mirip beruk, monyet-gorila. Hampir delapan tahun
bertugas bersama Smith, Cowie tahu makian anak buahnya itu hanya asbun, asal bunyi. Kegembiraan
yang sangat, bebas dari buruan dan berada di tempat yang seolah-olah sebuah sudut sorga di atas dunia
ini, menyebabkan mereka semua melupakan segala rasa penat dan rasa takut. Apalagi di bahagian
kanan air terjun itu ada hutan pisang emas dan beberapa pohon durian yang buahnya sedang ranum.
Tuhan nampaknya memang melimpahi sepenggal wilayah jauh di tengah belantara Vietnam Selatan itu
dengan rahmat yang amat luar biasa. Sebagai tentara yang sudah malang melintang dalam berbagai
medan tempur, yang sudah menjelajahi banyak sekali wilayah, Cowie yakin di balik tirai air terjun itu pasti
ada tempat yang aman untuk berteduh. Dia segera melangkah ke sana. Dari sisi sebelah timur dia
menyelinap di antara air terjun dengan dinding batu.
Benar!
Di belakang air terjun itu ada sebuah goa berbentuk ruangan sekitar tiga kali tiga meter. Lantainya
memang tak begitu datar, namun tempat itu merupakan tempat yang luar biasa indah dan nyaman untuk
tempat tinggal. Ruangan di balik air terjun itu tak kelihatan dari luar. Tertutup oleh curahan air terjun yang
tak putus-putusnya, yang lebarnya sekitar enam meter. Namun dari dalam goa kecil itu pemandangan
bisa menembus air terjun tersebut. Semua yang ada di bahagian depan, hamparan pasir empat meter di
kiri dan empat meter di kanan sungai kecil tersebut, sejauh lima puluh meter ke hilir sungai kelihatan
dengan jelas.
Menemukan sorga di tengah belantara itu, ketiga pelarian tentara Amerika tersebut benar-benar
bergembira, memekik-mekik seperti kanak-kanak yang mendapat permainan baru.
“Saya akan membangun istana di sini. Akan cari cewek Vietnam untuk isteri…” ujar Smith.
“Saya akan jadi nelayan. Ikan-ikan ini akan saya kembangbiakan, untuk dijual ke Washington…” ujar
Jock Graham.
“Kalau begitu saya akan menjadi eksportir pisang dan durian. Saya akan menjual pisang dan durian ini ke
New York dan Hollywood. Agar bintang-bintang film Hollywood tak berkurap pantatnya. Hei, Cowie!
Apakah ada bintang Hollywood yang tak berkurap pantatnya…?”
Cowie yang sedang berbaring di pasir putih itu hanya tersenyum. Namun semua kegembiraan itu lenyap
tiba-tiba, menguap seperti kabut pagi disergap terik matahari. Begitu Tim Smith usai dengan sumpah
serapahnya, tiga tembakan menghajar sekitar tempat mereka. Cowie sampai terlambung saking
kagetnya, Tim Smith ternganga dan menggigil di dalam air. Durian di mulutnya sampai terlompat keluar.
Jock Graham yang sedang menyusun-nyusun kayu kering untuk perapian membakar ikan, langsung
melompat ke balik pohon pisang, tak jauh dari tempatnya tadi menyusun kayu perapian.
Mereka berfikir, daripada orang yang mereka buru lolos, atau malah balas menembak,
sehingga nyawa mereka pula yang terancam, lebih baik membunuh saja keempat pelarian itu! Usai
rentetan tembakan yang panjang itu tiba-tiba suasana menjadi sepi! Mereka menunggu. Tak ada reaksi
atau balasan apapun dari keempat pelarian tersebut. Usah kan balasan tembakan, gerakan saja pun tak
terlihat dari arah sekitar bedil tersebut. Kedua bedil itu sudah terpental ketika kena hajaran peluru.
Mereka lalu menyergap dengan bedil terhunus ke tempat itu.
Dan…
Mereka semua, sekitar dua belas tentara Vietnam yang merangsek maju ke dekat pohon tumbang itu,
pada tertegak kaku!
Si Komandan,yang memperhatikan dari jarak sekitar dua puluh depa, menatap dengan tegang ke arah
anak buahnya tersebut. Dia menjadi agak heran juga, melihat belasan anak buahnya itu tiba-tiba tertegak
diam di seberang pohon besar yang tumbang itu. Dia memberi isyarat kepada anak buahnya,
menanyakan apakah keadaan aman. Anak buahnya yang tak berada dekat pohon tumbang itu memberi
isyarat aman.
Si letnan segera melangkah ke lokasi yang sudah dikepung belasan prajuritnya. Dia faham sudah, ke
empat pelarian itu sudah jadi mayat. Tak apalah. Yang penting perburuan yang melelahkan ini selesai
sudah. Walau pun dia tak bisa mewujudkan niatnya, tak apalah. Yang jelas dia bisa kembali dengan
membawa kepala ke empat pelarian itu. Kepalanya saja! Bikin apa membawa-bawa tubuh mereka.
Menambah-nambah beban saja. Bukankah komandan mereka sudah memerintahkan agar membawa
kepala para pelarian itu ke markas?
Si letnan pun sampai ke tempat tersebut. Dia melompat naik ke kayu besar yang tumbang itu. Dari sana
dia menatap ke bawah, ke arah tempat yang sudah dikerumuni belasan pasukannya. Dan, sebagaimana
anak buahnya, dia juga ikut tertegun tatkala melihat tempat yang dikepung itu. Kecuali dua buah bedil
yang sudah sompeng popornya dimakan peluru, tak ada siapa pun di sana! Jangankan empat pelarian
yang mereka buru, kentut pelarian itu pun tak lagi terlihat! Dia hampir tak mempercayai penglihatannya.
Di tempat itu memang ada belasan selongsong peluru, dan bekas orang tiarap.
Memang tak ada kentut, tapi yang membuat sakit hati si komandan adalah ketika melihat di antara bekas
belasan selongsong peluru itu, orang yang mereka buru ternyata meninggalkan embahnya kentut.
Sungguh mati, di sana mereka melihat seonggok tahi manusia! Benar-benar tahi manusia! Dan onggokan
tahi itu ternyata sudah cerai berai oleh hajaran peluru anak buahnya. Ooo, sakitnya hati si letnan. Ooo
remuk redam jantungnya terasa. Dulu dia dikhianati pacarnya. Sakiiiiit.. sekali. Tapi, apa yang dia lihat
sekarang, sakitnya seribu eh.. sejuta kali lebih sakit dari dikhianati pacarnya dulu.
Sakiiiit sekali!
Dengan muka sebentar merah dan sebentar hijau, lalu sebentar kebiru-biruan, si letnan menatap hilir
mudik. Ke arah pangkal kayu besar itu, kemudian ke arah ujungnya. Berharap di salah satu tempat yang
dia lihat ada kepala atau telinga salah seorang pelarian tersebut. Agak seorang jadilah. Tapi, dia
memang lagi sial.
Si Bungsu menggenggam tangan Cowie. Demikian juga tangan Smith dan Jock Graham, yang dalam
gelap gulita itu juga mengulurkan tangan pada si Bungsu.
“Cowie, setelah ini dengan atau tanpa saya, saya yakin engkau bisa membawa teman-temanmu keluar
dengan selamat dari neraka ini. Kalian adalah orang-orang hebat dan tangguh. Jika kalian bergerak,
usahakan agar bergerak ke arah barat. Ke arah barat Cowie, karena arah itu menuju ke
perbatasan Kamboja. Beberapa bulan yang lalu, saya melihat helikopter tempur Amerika yang
menjemput Kolonel MacMahon bergerak ke arah itu. Barangkali di sana ada gugus tugas pasukan
Amerika. Ingat, ke arah barat, Cowie….!”
“Tunggu, bagaimana kami tahu bahwa yang menembak pertama adalah engkau, sehingga kami yakin
bahwa tembakan setelah itu merupakan tembakan balasan dari tentara Vietnam? Bisa saja merekalah
yang pertama kali menembakmu…” ujar Cowie.
Si Bungsu terdiam. Benar juga ucapan orang ini, fikirnya.
“Baik, tembakan pertama akan saya arahkan ke tempat kalian ini. Kemudian baru ke arah mereka. Nah
kawan, saya pergi.…”
Si Bungsu lalu bergerak cepat. Baik Cowie maupun Jock Graham dan Smith, nyaris tak mendengar suara
apapun ketika lelaki itu menjauh dari mereka. Padahal lelaki itu bergerak di antara belukar yang amat
lebat. Dia bergerak seolah-olah tak menyentuh sehelai daun pun. Cowie menarik nafas panjang.
“Lelaki yang luar biasa. Hanya saya tak mengerti, untuk apa dia berada di Vietnam ini….”
Tak ada yang mengomentari ucapannya. Malam terasa merangkak amat perlahan dalam belantara yang
ditelan kegelapan kental itu. Ada suara burung hantu di kejauhan. Ada suara desir angin di pucuk-pucuk
pohon, jauh di ketinggian belantara. Sesekali ada bunyi kepak sayap kelelawar, yang terbang melintas
dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Dalam kegelapan yang mencekam tersebut terdengar Tim
Smith yang memiliki banyak sekali perbendaharaan sumpah serapah dan carut marut itu, berkata
perlahan. Perkataan yang seolah-olah ditujukan pada dirinya sendiri.
“Saya tak faham ucapannya. Orang itu sungguh penuh misteri. Dia mengatakan melihathelikopter
tempur menjemput Kolonel MacMahon dari arah perbatasan Kamboja. Dia tentu berada di sana ketika
MacMahon dijemput helikopter tersebut. Mengapa dia ada di sana? Kalau dia berada di pihak Amerika,
dia tentu pergi meninggalkan Vietnam bersama MacMahon. Ternyata dia tak pergi. Itu berarti dia berada
di pihak Vietnam. Tetapi, jika dia di pihak Vietnam kenapa dia disekap bersama kita dalam neraka
berlumpur itu?”
Tak segera ada yang mengomentari ucapan Smith. Cowie bertanya pada Jock Graham.
“Engkau datang bersamanya Jock. Apakah engkau tahu kenapa dia ditangkap Vietnam?”
“Saya bertemu dengan dia ketika sudah di atas truk yang akan mengangkut kami ke tempat kalian.
Selama di truk tak ada pembicaraan. Mata kami saja ditutup dengan kain….”
Cowie dan Smith mendengar jawaban Jock Graham yang singkat itu dengan berdiam diri, sampai tiba-
tiba mereka mendengar suara tembakan. Dan peluru tembakan pertama itu mereka dengar menghantam
sebuah dahan kayu di atas mereka. Detik berikutnya mereka dengar tembakan beruntun, tapi mereka
bisa menandai bahwa tembakan beruntun itu berasal dari bedil yang sama dengan suara tembakan
pertama tadi,Lalu sepi…
Maka kini, mereka benar-benar hanya menyerahkan nasib dan nyawa mereka
pada ketajaman pendengaran masing-masing.
Hutan itu, dalam radius hanya sekitar lima ratus meter persegi, dipenuhi tak kurang dari 40 manusia.
Mereka adalah tiga puluhan tentara Vietnam yang terbagi dalam dua regu, serta empat pelarian yang
kurus kerempeng dan kelaparan. Hanya karena malam dan belantara itu amat lebat saja mereka tak
saling melihat antara satu dengan yang lain.
Setelah cukup lama menanti, namun tak ada tanda-tanda gerakan apapun dari pelarian tersebut, kedua
komandan regu tentara Vietnam itu sepakat mengambil insiatif untuk menggeledah saja belantara itu.
Mereka berani mengambil inisiatif karena mereka lebih banyak dan kondisi tubuh mereka tentu saja lebih
baik di banding kondisi tubuh orang yang mereka buru.
Kedua regu tentara itu segera membentuk formasi bersaf. Dengan formasi seperti itu mereka mulai
begerak maju. Jarak seorang tentara dengan yang lain hanya sekitar lima depa. Maju selangkah demi
selangkah, sambil tiap sebentar berhenti, mendengarkan kalau-kalau ada gerakan lain di sekitarnya.
Tentu saja tak seorang pun yang mengetahui, bahwa di antara ke empat pelarian yang sedang mereka
buru itu adalah ‘pangeran belantara’! Seorang yang benar-benar hafal bentuk dan struktur rimba raya.
Seorang yang bisa berlari cepat di belantara lebat, kendati dalam suasana gelap gulita.
Seorang yang bisa membedakan apakah sebuah daun bergoyang karena angin atau karena sebab yang
lain. Seorang yang bisa membedakan bau kayu atau daun yang sudah disentuh manusia dengan bau
daun kayu yang belum disentuh apa pun. Tak seorang pun di antara tentara Vietnam itu yang tahu,
bahwa ada orang dengan kualifikasi seperti itu di antara ke empat pelarian yang sedang mereka buru itu.
Kalau saja mereka tahu, bahwa setiap saat, setiap detik, orang itu tiba-tiba bisa berada sejengkal di
depan hidung mereka, tanpa diketahui dari mana datangnya, mereka takkan gegabah merancah hutan
tersebut.
Namun bagi beberapa tentara Vietnam yang bernasib malang, waktu sudah terlambat. Seorang prajurit di
bahagian kanan, ketika merunduk-runduk melewati sebuah dahan besar, tiba-tiba seutas tali menjerat
lehernya. Dia ingin berteriak, tapi teriakannya tersangkut di tenggorokan yang dijerat semakin ketat oleh
tali kasar itu. Dia berusaha menarik pelatuk bedilnya, namun jarinya tak bisa dia gerakkan. Tubuhnya
telah dibuat lumpuh!
“Tetaplah bertahan, Jock. Saya akan buatkan obat untukmu…” ujar si Bungsu. Matanya coba
meneliti beberapa dedaunan dan lumut yang bisa dibuat ramuan obat.
Namun baru dua dari empat jenis daun yang harus diperoleh, pendengarannya yang amat tajam
mendengar bunyi langkah tak jauh di belakang mereka. Sementara Smith dan Cowie sudah terpisah dari
mereka oleh palunan hutan lebat tersebut. Cowie yang berjalan di bahagian depan sekali berhenti dan
menoleh ke belakang. Dia merasa ada sesuatu yang tak beres. Dia tidak melihat Jock Graham dan si
Bungsu.
“Jock…!!” serunya.
Tak ada sahutan apapun. Sepi sekali. Hanya suara binatang hutan terdengar di mana-mana.
“Bungsu….!!” serunya.
Tetap tak ada sahutan apapun. Sepi dan amat mencekam. Smith yang nafasnya sudah sesak bersandar
ke pohon besar. Matanya menatap jalan yang tadi mereka tempuh. Tak ada jalan sebenarnya, karena
yang mereka tempuh saat ini adalah belantara lebat yang belum pernah dijejak manusia. Perang
Vietnam-Amerika pun, yang berlangsung amat ganas dan bertahun-tahun, tak sampai menjamah daerah
ini. Smith maupun Cowie hanya melihat hutan belantara yang maha lebat dan angker. Apa yang terjadi
dengan Jock Graham dan si Bungsu?
Mengapa mereka tak menyahuti panggilan Cowie? Saat si Bungsu sedang memetik beberapa lembar
daun untuk obat Jock Graham, kemudian mendengar suara langkah tak jauh di belakangnya, dia
bergerak cepat ke tempat Jock Graham yang masih tegak bersandar seperti memeluk pohon besar itu.
Dia menotok bahagian belakang leher tentara Amerika tersebut. Totokan yang amat terlatih itu membuat
Jock Graham lumpuh. Si Bungsu memanggul tubuh yang sudah tak bertenaga itu. Kemudian dengan
cepat membawanya pergi dari sana.
Dia membawa tubuh kurus kerempeng itu ke bawah sebuah pohon yang besarnya sekitar tiga pelukan
lelaki dewasa. Letaknya sekitar dua puluh depa dari tempat Jock Graham tegak pertama. Urat kayu itu
berbentuk pipih dan besar-besar. Urat-uratnya yang muncul di atas tanah menyebabkan bahagian bawah
pohon besar itu memiliki sekat-sekat seperti kamar. Tiap urat pipih yang membentuk sekat itu bisa
setinggi tegak lelaki dewasa. Dia dudukkan tentara yang tak sadar diri itu di antara sekat tersebut, persis
saat salah satu regu Vietnam sampai ke tempat mereka tadi.
Belasan tentara Vietnam tersebut melihat bekas Jock Graham tegak. Namun setelah itu jejaknya hilang.
Tapi saat itu pula mereka mendengar suara orang memanggil sampai dua kali. Suara yang didengar
tentara Vietnam itu adalah suara Cowie yang memanggil Jock Graham dan si Bungsu. Pimpinan regu
memberi isyarat kepada anak buahnya dengan meletakkan telunjuk ke bibir. Kemudia dia membagi
formasi anak buahnya untuk menyergap orang yang hanya ke dengaran suaranya itu. Dia bagi anak
buahnya dalam dua sayap, kiri dan kanan.
Mereka memang tak bisa melihat siapapun, karena belantara dimana kini mereka berada demikian lebat.
Jarak pandang hanya bisa menembus antara tiga sampai empat meter. Selepas itu pandangan
terhambat oleh pohon besar dan belukar yang rapat sekali. Pemburuan itu semakin dipersulit oleh sore
yang sudah turun. Hutan yang sudah gelap itu dengan cepat menjadi semakin gelap. Mereka bergerak
perlahan, namun cepat, ke arah sumber suara memanggil tadi. Sementara itu, usai mendudukkan Jock
Graham si Bungsu menekan urat di belakang leher tentara tersebut. Jock Graham mengeluh saat
pertama sadar. Namun mulutnya dibekap oleh si Bungsu. Dia berbisik di telinga tentara itu.
“Dengar Jock! Belasan tentara Vietnam berada hanya beberapa langkah dari tempat kita. Engkau akan
cukup kuat untuk mengangkat bedil dan menembakkannya kalau keadaan terdesak. Saya akan
membuatkan obat untukmu. Tapi sebelum itu kita harus bisa lolos diri dari buruan Vietnam itu….”
Usai memberikan penjelasan si Bungsu menyerahkan kembali bedil rampasan dari tentara Vietnam yang
tadi nyaris lepas dari tangan Jock. Kemudia dia menotok dan mengurut dengan cepat beberapa urat di
pusat, kening dan punggung tentara itu. Dengan perasaan takjub Jock Graham merasakan kondisi
tubuhnya agak membaik.
“Terimakasih, kawan…” ujarnya perlahan.
“Jangan bergerak. Tetap duduk seperti ini, pasang telinga dan matamu. Saya akan melihat apa yang
masih bisa dilakukan. Maaf, saya belum sempat meramu obat untukmu. Tapi kunyah saja daun ini, telan
airnya. Agak pahit bercampur asin rasanya, tapi itu obat. Usahakan agar tak tertelan ampas daunnya…”
ujar si Bungsu dalam kalimat cepat, sembari menyumpalkan tiga lembar daun selebar telapak tangan ke
mulut Jock Graham, kemudian dia menyelinap dengan cepat meninggalkan tempat itu.
Jock Graham mengunyah daun yang disumbatkan lelaki dari Indonesia itu ke mulutnya. Daun itu kesat
sekali. Seperti kertas ampelas. Rasanya memang agak asin. Kalau saja bukan lelaki dari Indonesia itu
yang menyumbatkan daun sialan tersebut, sudah sejak tadi dia muntahkan. Tapi dia yakin, orang
Indonesia itu bukan sembarangan lelaki. Dia tidak hanya sekedar pandai meramu obat, juga tangguh luar
biasa. Buktinya adalah kemampuan lelaki itu melumpuhkan empat tentara Vietnam yang menggiringnya.
Dengan fikiran demikian dia meneruskan mengunyah daun rasa kentut tersebut. Kemudian menelan
airnya yang juga rasa kentut.
Air getah daun yang dia telan itu sebagaimana tadi dijelaskan si Bungsu, memang terasa agak asin dan
agak pahit. Dia ingin meludah, namun tiba-tiba di depannya telah berdiri seorang tentara Vietnam!
Tentara itu sebenarnya tak tahu bahwa di balik ceruk akar pohon yang besar-besar itu bersembunyi
orang yang mereka buru.
Namun, jika sial lagi datang ada-ada saja kesalahan yang dibuat. Saat berjudi itu, mereka
menyandarkan bedilnya ke dinding pondok. Tengah asyik memperhatikan kartu ceki di tangan, tiba-tiba
saja ada bayangan orang tegak di depan tangga pondok yang tingginya hanya semeter dari tanah.
Mereka menoleh, dan tiba-tiba muka mereka menjadi pucat. Mereka melihat di sana tegak tawanan yang
tadi baru ditarik ke atas dari lobang penyekapan. Kini lelaki itu tegak menodongkan bedil kepada mereka.
Bagaimana mungkin mereka bisa melakukan perlawanan, bedil mereka tersandar di dinding.
Bedil itu memang bisa diraih, tapi telunjuk lelaki yang menodong itu siaga di pelatuk. Buat sesaat mereka
menatap si Bungsu dengan melongo.
“Turun dan buka penutup lobang itu…” perintah si Bungsu.
Untuk sesaat mereka masih berdiam diri. Namun si Bungsu segera menukar bedil dengan tali plastik
besar itu. Sebelum kedua pengawal di pondok tersebut faham apa yang akan diperbuat si Bungsu,
tangan si Bungsu bergerak. Di tangannya, tali plastik itu berubah menjadi senjata yang tangguh. Entah
dengan cara bagaimana, kedua orang itu terpekik tatkala daun telinga mereka robek dan berdarah kena
sabet cambuk tali nilon tersebut. Salah seorang yang bertubuh kurus, memanfaatkan waktu yang sesaat
itu untuk menyambar bedil di kanannya.
Namun dia kalah cepat. Ujung cambut di tangan si Bungsu menghajar lengannya. Lengan baju kain
mereka yang berwarna hitam itu robek, dan daging lengannya juga ikut robek. Dia terpekik.
“Turun dan buka tutup lobang itu cepat…!” perintah si Bungsu.
Kini kedua orang Vietnam tersebut benar-benar tak berani untuk tidak mematuhi. Karena di tangan kiri
orang yang memerintah mereka teracung bedil dengan telunjuk di pelatuk. Mereka bergerak turun dari
pondok. Kemudian memindahkan kayu-kayu besar yang berfungsi sebagai penghimpit ‘pintu’ yang
menutup lobang. Usai itu mereka segera membuka salah satu bahagian yang berfungsi sebagai ‘jendela’
tempat memasukkan atau mengeluarkan tawanan. Ketika pintu lobang itu terbuka, dengan tangan kanan
menodongkan bedil, si Bungsu melemparkan tali nilon ke dalam lobang tersebut.
Cowie, Smith dan Jock Graham yang semula merasa heran kenapa tutup lobang tahanan mereka
dibuka, pada ternganga tatkala melihat ke atas. Di tepi lobang terlihat si Bungsu tengah menodongkan
bedil.
“Tarik mereka satu demi satu ke atas…” perintah si Bungsu.
Kedua Vietnam itu kelihatan berusaha mencari celah untuk melakukan perlawanan. Namun melihat
telunjuk kanan si Bungsu bergerak menarik pelatuk, mereka cepat-cepat memegang ujung tali. Lalu
menanti. Si Bungsu memberi isyarat pada Letnan PL Cowie. Letnan Negro itu segera menyambar ujung
tali. Lalu tubuhnya ditarik ke atas. Dengan cepat dia menerima salah sebuah senjata yang diberikan si
Bungsu. Senjata yang baru saja dirampas dari keempat tentara yang tadi menggiringnya. Kini Cowie
mengawasi kedua tentara Vietnam itu menarik Tim Smith.
Smith juga menerima sepucuk senjata. Kemudian dia bergerak ke bahagian kanan, berlutut di dekat
pohon kayu mengawasi jalan yang menuju ke arah kampung. Cowie memberi isyarat kepada Jock
Graham, yang segera menyambar tali tersebut. Dia segera ditarik ke atas. Di atas Graham juga
menerima sebuah bedil dari si Bungsu.
“Masukkan mereka ke lobang….” ujar si Bungsu kepada Cowie.
Cowie dan Jock Graham memerintahkan kedua Vietnam itu membuka sepatu dan celana mereka.
Kemudian dengan hanya berkolor dan berbaju, hampir secara bersamaan keduanya kena hantaman
pada tengkuk oleh popor bedil di tangan Cowie dan Smith. Entah mati entah hidup, yang jelas keduanya
tercebur dengan suara agak keras ke dalam air kuning berlumpur itu. Baik Cowie maupun Smith memang
tidak menembak kedua milisi itu, karena suara tembakan akan mengundang tentara yang ada di
perkampungan.
“Kita berangkat…” ujar si Bungsu.
“Kemana?” tanya Cowie sambil memakai sepatu dan pakaian salah seorang tentara Vietnam itu.
Si Bungsu menunjuk ke arah belantara lebat di bahagian utara lobang tempat mereka disekap. Bagi
Cowie, Smith dan Graham memang ke sana pilihan terbaik untuk lari. Mereka tak mungkin masuk ke
kampung. Hutan adalah tempat yang aman, meski untuk sementara. Bagi si Bungsu, hutan lebat itu
menjadi pilihan karena hutan merupakan ‘rumah’nya. Cowie mengambil semua peluru dan dua bedil
yang pemiliknya sudah terjun ke lobang penyekapan. Tanpa banyak membuang waktu, mereka segera
menuju ke arah belantara yang terlihat tak begitu jauh.
Yang tak mendapat jatah pakaian adalah Tim Smith. Dia hanya mendapat sepatu. Karena sepatu itu
kebesaran di kaki Jock Graham. Namun keempat mereka kini memiliki bedil dan peluru. Kendati jumlah
peluru yang mereka miliki tak mencukupi untuk bertempur lama, namun bagi seorang pelarian memiliki
bedil dan peluru merupakan sesuatu yang amat luar biasa harganya.
“Hei, Negro…” ujar salah seorang di antara tentara yang tidak menodongkan bedil, yang
bersenjata pistol di pinggang, ke arah Cowie dalam bahasa Inggris.
Cowie menatap dengan diam ke atas.
“Sambut ini…” ujarnya sambil memperlihatkan sebuah gari.
Sebelum habis ucapannya dia sudah melemparkan belenggu terbuka itu, yang disambut oleh Cowie.
“Pasangkan pada kedua tangan orang itu…” ujar tentara tersebut sambil menunjuk pada si Bungsu.
Cowie segera berjalan dalam air kental itu ke arah si Bungsu. Dia faham benar tak ada gunanya
memperlambat melaksanakan perintah tentara Vietnam
tersebut, apalagi membantahnya. Cowie, dan siapapun tentara Amerika, yang pernah merasakan
tertangkap oleh Vietnam tahu benar bahwa terhadap
tawanan tentara Amerika tentara maupun milisi Vietnam tak memiliki kata iba, kasihan atau bentuk
timbang rasa apapun. Mereka dengan segala senang hati
akan menghamburkan peluru dengan sedikit alasan saja. Bahkan dengan alasan yang kadang-kadang
tak masuk akal.
Itulah sebabnya ketika tentara Vietnam itu melempar kan gari ke arahnya, Cowie segera menyambutnya.
Kemudian ketika diperintah untuk membelenggu si Bungsu, Cowie segera mendekati orang Indonesia itu,
untuk melaksanakan perintah yang diberikan kepadanya. Si Bungsu juga faham bahwa tentara Vietnam
tak suka dibantah. Maka ketika Cowie mendekatinya dengan belenggu di tangan, yang diperbuat si
Bungsu adalah menjulurkan kedua tangannya ke arah Cowie.
Dia bisa memahami dan bersyukur bahwa Cowie memasangkan pula gari itu dengan baik.
Sebab, jika misalnya belenggu itu tidak terkunci dengan benar, maka kemungkinan yang terjadi setelah
diperiksa di atas adalah si Bungsu langsung ditembak.
Atau yang ditembak justru Cowie. Bukannya hal yang mustahil pula bahwa yang ditembak bukan salah
seorang di antara mereka, melainkan kedua mereka
sekaligus. Mereka berusaha untuk tidak saling memandang ketika memasang belenggu itu, agar tidak
ditafsirkan sebagai memberi isyarat atau apapun yang
bisa diartikan sebagai usaha persiapan melarikan diri.
Usai belenggu dipasangkan, tali nilon sebesar empu jari kaki dilemparkan ke bawah. Tali tersebut adalah
tali nilon yang biasanya dipergunakan untuk menarik
mayat dari lobang sekapan itu ke atas.
“Ikat kedua pergelangan tangannya yang dibelenggu itu…” ujar tentara Vietnam yang melemparkan
belenggu ke pada Cowie.
Cowie kembali mengambil ujung tali nilon tersebut. Lalu membuat jeratan, sebagaimana beberapa hari
yang lalu dia juga membuat jeratan di ujung tali yang
sama, untuk di kalungkan ke leher Sersan Mike Clark yang sudah mati. Jerat itu kemudian dia kalungkan
ke tangan si Bungsu yang dibelenggu. Setelah itu tali plastik tersebut dia lilitkan di tengahnya. Ikatan
seperti itu mencegah tangan si Bungsu tidak terluka atau terlalu sakit ketika tubuh si Bungsu ditarik ke
atas.
“Tarik…!” ujar tentara Vietnam yang berpistol, begitu melihat Cowie selesai mengikat kedua pergelangan
tangan si Bungsu.
Tiga orang tentara Vietnam segera menarik dengan kasar tali tersebut. Tarikan kuat dan tiba-tiba itu
membuat tubuh si Bungsu terputar dan wajahnya
menghantam dinding lobang. Hal itu terjadi sebelum dia sempat mengantisipasi dengan menekankan
kakinya ke dinding. Benturan diikuti tarikan yang
menyebabkan wajahnya tergesek dengan keras ke dinding, mengakibatkan hidung dan kening si Bungsu
berdarah. Sesampai tubuhnya di atas dia segera
digelandang menuju ke perkampungan. Sementara dua tentara lainnya segera pula menutup lobang
tempat menyekap para tawanan tersebut.
“Ayo kita cari lagi. Saya masih cukup banyak kantong seperti ini, yang sudah kita buang dan terbenam
jauh di bawah lumpur…” bisik Cowie.
Ke tiga tentara Amerika itu kembali menyelam. Begitu juga si Bungsu. Yang pertama dia lakukan adalah
menggulung kantong plastik itu sehingga menjadi gulungan kecil. Kemudian dia letakkan baik-baik di tepi
dinding di dasar lobang. Ditimbunnya dengan dua kepal lumpur agar jangan mengapung ke permukaan.
Lalu tangannya menggerayang lagi mengaduk-aduk lumpur. Beberapa kali mereka saling berbenturan
kepala di dalam air kental tersebut, atau tangan mereka saling beradu saat mengaduk-aduk lumpur.
Ketika satu demi satu mereka muncul lagi dengan nafas tersengal-sengal, di tangan Cowie ada tiga
kantong plastik. Smith mendapat enam, Graham dua buah dan si Bungsu lima. Mereka pada bersandar
terlebih dahulu di dinding lobang. Mengatur pernafasan. Namun tak seorang pun yang mengangkat
kantong plastik yang mereka dapat kepermukaan. Mereka memegang kantong-kantong plastik tersebut
di dalam air.
Semua mereka merasa perlu waspada. Kendati mereka yakin takkan ada seorang pun tentara atau milisi
Vietnam yang akan mencoba melihat dari atas. Namun harapan untuk bebas yang tiba-tiba demikian
besar membersit, membuat mereka berhati-hati. Mereka tak ingin ada Vietnam yang melihat bahwa
mereka tengah mengumpulkan kantong plastik tersebut.
Sore sudah turun saat mereka menyelesaikan pekerjaan menyambung-nyambung tali dari kantong
plastik itu. Kini mereka memiliki tali sepanjang lebih kurang lima depa. Cowie memberi isyarat agar
menyembunyikan saja tali itu di dalam air. Tak usah dicoba menarik-narik untuk menguji kekuatannya.
Cowie, dan mereka semua sepakat, agar bersikap lebih hati-hati. Jangan sampai ada mata yang
mengintai apa yang mereka lakukan di dalam lobang ini. Fikiran dan kecurigaan seperti itu tak pernah
muncul selama ini. Fikiran itu baru muncul setelah mereka memiliki alat untuk melarikan diri.
Cahaya sore yang merah, membias ke dalam lobang di mana mereka berada. Ke tiga tentara Amerika
itu, Letnan PL Cowie, Sersan Tim Smith dan Kopral Jock Graham, tiba-tiba saja seperti orang yang baru
bangkit dari kubur. Wajah mereka membiaskan harapan untuk bebas amat besar. Berbeda dari saat
sebelum tali plastik itu mereka buat.
Dimana wajah dan mata mereka kelihatan murung dan tak bercahaya. Kini, wajah mereka memang tetap
pucat, namun ada rona dan harapan yang membersit di sana. Ketika gelap sudah meraup semua lobang
tersebut, Cowie dan si Bungsu segera mengatur ujicoba kekuatan tali plastik yang mereka buat. Wajah
mereka membiaskan harapan hidup yang amat besar. Berbeda dari saat sebelum tali plastik itu mereka
buat. Dimana wajah dan mata mereka tetap kelihatan murung dan tak bercahaya. Kini, wajah mereka
memang tetap pucat, namun ada rona dan harapan yang membersit di sana.
Ketiga gelap sudah meraup semua lobang tersebut, Cowie dan si Bungsu segera mengatur uji coba
kekuatan tali plastik yang mereka buat. Si Bungsu menyelam di tempat yang sudah dia beri tanda di
mana dia menyimpan tali plastik yang lima depa itu. Tangannya mengaiskan lumpur yang dia jadikan
sebagai pemberat, agar tali itu tidak mengapung. Setelah muncul dan tegak di sisi Cowie, dia
menyerahkan ujung yang satu kepada letnan tersebut. Sementara ujung yang satu lagi tetap dia pegang.
“Saya dengan Smith, Anda dengan Graham…” bisik Cowie.
“Oke….” ujar si Bungsu.
Kedua orang yang disebut Cowie, Smith dan Graham, yang juga tegak di dekat mereka, segera berbagi
tegak. Smith mengikuti langkah Cowie ke dinding yang berseberangan dengan tempat tegak si Bungsu.
Sementara Graham mendekatkan tegaknya ke dekat si Bungsu. Kini tali plastik itu mereka regang. Si
Bungsu dan Graham di ujung yang satu, sementara Cowie dan Smith di ujung lainnya.
“Siap….?” bisik si Bungsu.
“Yap…!” jawab Cowie.
Keempat mereka memegang masing-masing ujung tali itu kuat-kuat ketika si Bungsu menghitung mundur
dari tiga, dua, satu dan nol. Pada hitungan nol, mereka menarik tali itu sekuat mungkin. Namun yang
terjadi bukannya tali yang putus, tapi Cowie dan Smith di ujung sana tertarik kuat ke depan. Mereka
berdua sampai kehilangan keseimbangan dan kelelep di air.
“Pantat kurap….” sumpah Smith diiringi sederet panjang makin lain.
Rupanya dia tak bisa menahan tarikan kuat si Bungsu dan Graham, beberapa teguk air kental tertelan
olehnya. Untuk beberapa saat dia kelam kabut menyemburkan air bekas mayat teman-temannya itu.
Cowie tertawa, Graham tertawa. Smith akhirnya ikut tertawa. Cowie segera sadar, tenaga mereka amat
tak berimbang dibanding tenaga orang Indonesia itu. Soalnya dia dan Smith memang sudah tak punya
tenaga sedikit pun. Habis terhisap selama dalam lobang sekapan dengan makan amat minim selama
lebih dari dua tahun. Sementara si Bungsu masih segar bugar.
Si Bungsu juga menyadari perbedaan antara tenaga yang dia miliki dibanding tenaga ketiga teman satu
tahanannya tersebut. Dia faham, bertahun-tahun di dalam sekapan, dengan makanan dan minum yang
amat kurang, menyebabkan tubuh para tawanan menjadi seperti mayat hidup. Benar-benar hanya tinggal
tulang belulang dibalut kulit. Dia sendiri tak yakin bisa bertahan hidup jika ditahan selama itu.
Mereka lalu kembali mengulangi percobaan dalam gelap gulita itu. Kali ini, si Bungsu tegak sendirian,
sementara Cowie, Smith dan Graham bergabung jadi satu di ujung yang lain.
“Siap?” bisik si Bungsu.
“Yap…” ujar Cowie.
Si Bungsu kembali mengulang menghitung mundur. Pada saat dia menyebut angka nol, mereka semua
mengerahkan tenaga. Menarik sekuat daya ujung tali pada bahagian masing-masing. Hanya beberapa
saat, tiba-tiba semua mereka merasakan tali itu putus dan mereka pada tersandar dengan agak keras ke
dinding di belakangnya. Nafas ketiga tentara Amerika itu pada memburu.
“Cowie….?” bisik si Bungsu.
“Ya….”
“Putus?”
“Ya….”
“Periksa bahagian ujung yang putus itu…..”
Cowie menghela tali plastik tersebut. Menggulungnya perlahan sampai ujung yang putus itu tiba di
tangannya. Demikian juga si Bungsu.
“Bungsu….” bisik Cowie.
“Ya…?”
“Tak ada serpihan bekas putus di ujung tali ini….”
“Ya, di ujung ini juga tidak…” jawab si Bungsu.
“Kalau demikian, tali ini tidak putus. Melainkan terlepas sambungannya…” ujar Cowie.
“Ya, menurut saya juga begitu…” jawab si Bungsu.
“Kita uji lagi?” tanya Cowie.
“Ya, kecuali kita ingin tetap berada di dalam lobang celaka ini selama-lamanya…” ujar si Bungsu sambil
melangkah di dalam air, mendekati tempat Cowie dan kawan-kawannya.
Smith kalau berjalan pasti tak lurus. Tulang kering kaki kanannya patah dihajar, juga dengan popor bedil.
Kini memang sudah sembuh, tapi tulang keringnya itu bertaut secara tak benar. Kalau dia berjalan,
jalannya tak normal. Setelah si Bungsu berada di hari kelima di dalam kurungan itu, barulah orang
Vietnam memberi mereka makanan. Makanan berupa sisa yang terdiri dari rebus ubi kayu, keladi dan
ikan asin itu dimasukkan ke dalam sejenis kambut. Kemudian dilempar begitu saja ke dalam lobang
penyekapan tersebut. Cowie yang pangkatnya memang tertinggi, mengatur agar semua mereka tidak
berebutan.
Sebab pengalaman sudah mengajarkan, ketika bulan-bulan pertama disekap, sebahagian dari mereka
babak belur saling pukul karena berebut makanan, yang selain tak memenuhi syarat, jumlahnya pun
amat sedikit.
“Makanlah, karena mana tahu ini adalah makanan terakhir bagi salah seorang di antara kita…” ujar
Cowie.
Mereka makan dengan diam tapi dengan cepat. Hanya beberapa saat, makanan yang menjadi bahagian
masing-masing itu habis. Smith malah menjilati tangannya, merasakan nikmatnya rasa asin ikan yang
tertinggal di jari-jarinya. Kemudian mereka meminum air yang dikirim bersama makanan itu. Air mentah,
tapi jernih, barangkali air sungai atau air sumur, yang dibungkus dengan kantong plastik. Cowie memberi
jatah air dua teguk seorang, kemudian tempat air digantung pada sebuah ranting yang ditancapkan di
dinding tanah napal itu.
Tak ada yang membantah aturan yang ditetapkan Cowie, karena aturan itu amat mereka perlukan.
Mereka tak mungkin meminum air setinggi dada dalam lobang dimana mereka disekap. Selain airnya
kuning dan kental karena lumpur, air itu juga sudah kotor dan bau sekali. Maklum, di lobang tersebut
sudah lebih dari enam atau tujuh orang yang mati. Setiap ada yang mati, mayatnya tak segera diangkat
orang Vietnam. Ada yang sehari, ada yang dua hari, malah seperti mayat terakhir baru pada hari ketiga
diangkat. Namun makanan yang mereka terima itu ternyata tak bisa menolong Sersan Mike Clark.
Kondisi sersan itu sudah demikian buruknya sebelum dipindahkan ke lobang laknat ini. Kondisi
kesehatannya yang buruk itu diperburuk oleh bau mayat selama tiga hari di dalam lobang 4 x 4 meter itu.
Tak lama setelah usai makan, dia diserang demam. Nampaknya dia terkena tularan kawannya dua
minggu yang lalu. Dia menggigil dan mengigau. Tiap sebentar tubuhnya melorot dan terbenam ke dalam
air. Cowie sudah berkali-kali menyangga badan temannya itu agar tak terbenam. Si Bungsu menyesal
kehabisan ramuan tradisionalnya.
Kalau saja dia mendapat sedikit dedaunan atau lumut yang cocok untuk obat, dia yakin dia bisa
menolong Mike Clark. Namun dalam kondisi seperti sekarang kemana dia harus mencari dedaunan atau
lumut? Tubuh sersan itu dipegangi Jock Graham. Mereka tak berusaha berteriak meminta bantuan
kepada dua penjaga yang ada di atas. Teriakan atau panggilan dalam bentuk apa pun takkan pernah
diacuhkan. Memanggil atau berteriak hanya akan menghabis-habiskan tenaga. Mereka sudah berkali-kali
mengalami hal seperti itu.
Berkali-kali pula yang sakit di dalam lobang penyekapan ini harus menyerahkan nyawa mereka benar-
benar pada takdir Tuhan. Hanya ada satu di antara dua kemungkinan yang harus mereka tunggu.
Sembuh dengan sendirinya, atau mati. Untuk kemungkinan pertama, bukannya tak ada. Baik Cowie
maupun Tim Smith pernah menderita demam berhari-hari. Namun karena demam mereka stadiumnya
masih rendah, akhirnya mereka sembuh sendiri. Tetapi sebahagian besar lainnya, demam memang
mengantar mereka ke pintu kubur.
Sersan Mike Clark sudah benar-benar tak sadar pada dirinya. Tubuhnya menggigil terguncang-guncang.
Setiap satu jam mereka bergiliran memegang tubuh sersan itu agar tak tenggelam. Dan menjelang larut
malam, hanya sekitar enam jam setelah mereka mendapat jatah makanan, tubuh sersan itu sudah tak
bergerak.
Kebetulan saat itu yang mendapat giliran untuk memegangi tubuh sersan tersebut adalah si Bungsu dan
Tim Smith. Si Bungsu memegangi Clark pada bahagian kepala dan punggung, sementara Smith
memegangi bahagian pinggul dan paha.
Dengan kedua tangan berada di bahagian bawah tubuh yang ditelentangkan itulah mereka menjaga agar
si sakit tidak tenggelam. Sebenarnya, dengan bantuan air menahan tubuh orang agar tak tenggelam
tidaklah begitu berat. Apalagi semua mereka di dalam lobang itu, kecuali si Bungsu, badannya pada
kurus kerempeng. Kalau saja dinaikkan ke timbangan, beratnya rata-rata mungkin hanya sekitar 40an
kilogram. Dengan tubuh di atas 175 cm, berat badan sekian membuat mereka seperti kerangka hidup.
Menjelang larut malam itu, si Bungsu merasa tak ada gerakan apapun lagi pada tubuh Clark.
Perlahan tangannya yang memegang kepala Clark, meraba nadi di leher sersan itu. Tak ada gerakan, tak
ada denyut sehalus apa pun. Dia tak perlu meraba atau mendengarkan degup jantung sersan itu untuk
memastikan apakah dia benar-benar sudah mati atau masih hidup. Tidak, dia sudah belasan kali
menghadapi orang yang berada dalam keadaan sakratul maut. Dari pengalaman itu dia sangat yakin
sersan ini sudah mati. Dan dia yakin, bagi mereka yang sudah bertahun dalam sekapan ini, kematian
merupakan anugerah, dibanding harus mati setelah menderita dalam waktu yang amat panjang.
Si Bungsu kembali meluruskan badannya bersandar ke dinding. Dia menoleh ke arah Smith. Tak ada
yang kelihatan, kendati jarak antara mereka berdua hanya sehasta. Kegelapan yang kental
menyebabkan suasana di dalam lobang itu tenggelam dalam kelam yang tak terbayangkan.
Sambil melangkahi tiap anak jenjang, matanya melotot ke dada wanita tersebut. Dia masih menahan diri.
Tapi pikirannya merayap kemana-mana. Bukan, bukan kemana-mana. Pikirannya merayap hanya ke
satu tempat, yaitu ke balik baju wanita itu. Kesela dadanya yang ranum dan sekal. Nafasnya memburu
ketika dia sampai di bawah. Perempuan itu lalu naik. Si milisi menoleh ke belakang.
Dan… ampun, ketika perempuan itu naik, pinggulnya yang besar membayang jelas. Terbungkus oleh
celana hitamnya yang ketat. Tubuhnya agak kurus. Namun dada dan pinggulnya yang amat sintal
membuat lutut lelaki yang melihat goyah gemertak. Senyum dan tatap matanya amat mengundang selera
buruk lelaki. Itulah yang terjadi begitu dia menaiki anak tangga di pondok pengawalan tersebut. Dia baru
saja akan menghenyakkan pinggulnya di lantai beralas tikar, ketika anggota milisi yang baru turun itu
tiba-tiba saja sudah berada di sisinya.
“Ada apa?” ujarnya kaget sambil menatap ke arah milisi tinggi kurus bermata juling yang tegak di
depannya.
Perang panjang sering membuat manusia kehilangan akal sehat. Dan akal sehat itulah yang hilang dari
tempurung kepala anggota milisi kurus tinggi di pondok penjagaan itu. Dia langsung saja menyergap
wanita itu. Si wanita yang kaget bukan main, berusaha berontak dan berteriak. Namun teriaknya
tersumbat di tenggorokan. Mulut milisi kurus itu sudah menyumpal mulut si wanita dengan rakus.
Berontaknya hanya berupa gelinjang tanpa daya, karena si kurus sudah dikuasai nafsu. Satu-satunya
harapan adalah dua milisi lelaki yang kini berada di bawah pondok.
Yang satu adalah yang sama-sama datang dengannya ke pondok ini untuk menggantikan tugas
penjagaan. Yang satu lagi adalah teman si kurus, yang akan mereka gantikan. Namun reaksi kedua lelaki
itu justru bertolak belakang dengan yang diinginkan si wanita. Kedua mereka justru mengawasi jalan
setapak ke arah kampung. Melihat kalau-kalau ada yang datang. Tentu saja takkan ada yang datang.
Tempat penyekapan itu terletak di tengah pepohonan dan hutan bambu. Jarak ke perkampungan ada
sekitar 500 meter. Memekik kuat pun si wanita tetap takkan terdengar ke kampung. Apalagi pekiknya
tertahan di tenggorokan.
Angin bertiup kencang. Atap penutup lobang penyekapan di depan pondok itu terkuak-kuak. Cahaya
terang menerobos masuk ke lobang itu. Bau busuk segera menerobos ke atas. Para milisi tersebut
segera pada menutup hidung mereka dengan kain. Salah seorang segera melemparkan tali yang tadi dia
sandang di bahunya. Si wanita yang masih berpeluh hanya menatap dari tempat duduknya di atas
pondok. Dia seperti kehabisan tenaga untuk bergerak.
“Ikat mayat itu dengan tali ini…” ujar pimpinan milisi Vietnam itu dalam bahasa Inggris.
Kendati bahasa Inggrisnya tak begitu baik, namun mereka yang berada dalam lobang sekapan itu faham
apa yang disuruh. Letnan PL Cowie maju dan mengikatkan tali sebesar empu jari kaki itu ke pinggang
mayat yang sudah tiga hari mengapung di dalam lobang itu. Tali itu segera ditarik. Masih untung mayat
itu belum berulat. Udara dingin di dalam lobang tersebut membuat mayat itu tak cepat menjadi rusak.
Lalu di bawah todongan bedil salah seorang milisi, dua milisi lain segera menarik mayat itu ke atas.
Diperlukan kerja yang cukup menguras tenaga untuk menarik mayat gembung itu.
Si wanita yang masih duduk tersandar menutup hidungnya dan membuang pandangannya ke tempat
lain. Betapapun sudah seringnya dia ikut dalam pertempuran dan menyak sikan mayat bergelimpangan,
namun melihat mayat gembung yang baru saja diangkat itu tetap saja membuat perutnya mual. Setelah
mayat diangkat, bambu-bambu kembali ditutupkan ke lobang tersebut. Kemudian semak-semak
ditimbunkan kembali di atasnya. Setelah itu, mayat tersebut mereka bawa kearah hutan. Dan dikubur di
sebuah lubang dangkal. Lalu ketiga milisi itu kembali ke perkampungan.
Kini di pondok penjagaan wanita itu hanya tinggal bersama seorang milisi lelaki. Di dalam lobang
penyekapan, kelima lelaki yang terkurung di sana bisa agak bernafas lega. Kendati bau bangkai masih
saja memenuhi lobang tersebut. Mereka bersandar dengan diam. Air dalam lobang itu nampaknya agak
menyusut. Jika semula sebatas dada, kini sudah turun sedikit. Namun masalah mereka untuk bertahan
hidup tidak hanya harus berjuang melawan lapar, tapi harus mampu berdiri terus menerus. Tidak satu
pun batang atau ranting yang bisa dijadikan tempat berpegang.
Satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah bersandar ke dinding. Penat bersandar mereka berjalan
di dalam air berlumpur itu. Si Bungsu menjadi faham cerita Cowie, bahwa sebahagian dari tentara
Amerika yang ditawan dalam lobang ini mati karena tak kuat berdiri. Mereka terbenam dan mati lemas.
Ini adalah cara menyiksa yang luar biasa. Tentara Vietnam tak perlu rugi sebutir pelurupun untuk
membunuh tawanannya. Satu persatu tawanan mati karena lapar, gila atau sakit, kemudian terbenam.
Mereka harus berjuang untuk bisa tetap tegak, dengan kaki yang makin melemah.
Semakin lama mereka mampu bertahan untuk berdiri, makin lama pula mereka bisa bertahan hidup.
Siapa pun yang berada dalam lobang penyekapan itu pasti takkan pernah membayangkan apa yang
mereka hadapi kini. Yaitu kala mereka hidup di kota di Amerika sana, saat mereka masih belum
mendaftar menjadi tentara. Saat sebahagian dari mereka masih mengisi hidupnya dengan masuk bar
keluar bar. Masuk nightclub yang satu ke nightclub yang lain. Menenggak bir atau wisky, melahap
lezatnya hamburger atau sandwich, berjoget dan kemudian main perempuan.
Kini, dalam lobang neraka segi empat berair kuning dan berbau bangkai ini, mereka kembali mendengar
cekikikan perempuan. Mereka pada memasang telinga. Suara cekikikan itu suara siapa lagi, kalau bukan
suara milisi wanita bertubuh agak kurus tapi berdada dan berpinggul bahenol, yang bisa membuat mata
lelaki jadi juling dan lemas kelelep itu. Dia memang sedang terlibat pembicaraan dengan teman lelakinya
yang sama-sama menjaga di pondok pengawalan tersebut. Penempatan pengawalan di pondok itu
nampaknya hanya sebagai sikap berjaga-jaga.
Lobang itu memang tak perlu diawasi benar. Sebab, hampir bisa dipastikan orang yang disekap di
dalamnya, takkan bisa melarikan diri. Tapi begitulah, namanya saja tawanan perang. Kan aneh kalau tak
ada yang menjaga tempat mereka ditawan. Itulah sebabnya setiap 12 jam pengawalan ditukar.
Perempuan itu sedang berada dalam posisi berbaring menelungkup di lantai pondok. Di bahagian depan,
agak ke samping kanan, duduk temannya yang lelaki. Sesekali memandang ke arah timbunan semak
belukar yang menutupi lobang penyekapan. Namun matanya lebih sering menatap bongkol pinggul
perempuan yang menelungkup itu.
“Hei orang asing, itu kali terakhir aku menolongmu. Setelah itu kau harus menolong
dirimu sendiri. Sudah dua hari kau kupegangi agar tak mampus lemas…” ujar tentara itu menyumpah.
Si Bungsu memperkuat tegaknya di dalam air. Kemudian dia mengangguk, lalu jambakan pada
rambutnya dilepaskan. Tubuhnya masih doyong dan jatuh berlutut, kepalanya segera tenggelam. Dia
cepat menyesuaikan diri. Sesaat kepalanya muncul, dia kembali terbatuk. Kedua tentara Amerika yang
sudah hampir dua hari memegangi ketiga orang itu hanya menatapnya dengan diam. Si Bungsu dengan
susah payah melangkah di dalam air kuning kental yang hampir setinggi leher dan lumpurnya ternyata
tebal sekali di dasar kurungan tersebut. Kemudian dia bersandar ke dinding tanah.
Cahaya matahari siang yang menerobos masuk dari celah dedaunan kering, yang selintas kelihatan
hanya seperti timbunan sampah yang menutup bahagian atas kurungan itu, membantu si Bungsu
mengenali ‘rumah baru-‘nya tersebut. Sambil bersandar dia mengurut beberapa urat di tengkuknya.
Kemudian di perutnya. Dalam waktu tak begitu lama, semua rasa sakit akibat hantaman popor itu lenyap.
Kemudian dia menoleh pada mayat yang mengapung tertelungkup hanya semeter dari tempatnya tegak.
Dia segera tahu, mayat itu adalah mayat tentara yang kena malaria tropikana itu.
Kemudian matanya menatap kepada dua tentara yang masih terkulai yang dipegang oleh dua temannya.
Dia tahu, kedua tentara itu adalah yang sama-sama diangkut dengannya dengan truk. Dia juga tahu,
kedua mereka pingsan akibat pukulan popor senapan di belakang kepalanya, seperti yang dia terima
sebelum jatuh ke lobang ini. Si Bungsu melangkah ke arah mereka. Di bawah tatapan kedua tentara itu
dia mengurut perlahan urat di belakang tengkuk dan pada bahagian tertentu dekat pusar kedua tentara
yang masih pingsan tersebut.
Tak lama kemudian kedua tentara yang pingsan itu terdengar mengerang. Kemudian nafas mereka mulai
normal. Kemudian membuka mata. Kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Kedua tentara yang tadi
memegang mereka menyumpah dan menatap heran pada si Bungsu.
“Pantat kurap! He.. orang asing, apakah kamu punya ilmu sihir makanya bisa membuat orang sembuh
secepat itu?” ujar yang rambutnya hampir botak.
“Terimakasih, kawan. Kalian sudah menyelamatkan nyawa saya dan orang-orang ini dengan memegang
kami agar tak mati terbenam selama….. berapa lama tadi kau katakan?” ujar si Bungsu.
“Pantat kur….”
Sumpah serapahnya terhenti karena disikut temannya yang seorang lagi.
“Hei…. Hei..! Kenapa kau main sikut. Karena kau letnan dan aku sersan, he? Tak kau lihat keanehan
yang dia lakukan? Hanya dengan menjilat tengkuk dan pusat si kerempeng yang berdua ini, dia bisa
membuat mereka bangkit dari liang kubur. Tak kau lihat keanehan itu…?”
Si rambut hampir botak itu benar-benar mencerocos seenak udelnya. Mengatakan si Bungsu menjilat
tengkuk dan pusar kedua orang itu. Padahal yang dilakukan si Bungsu adalah mengurut dengan jari-
jarinya. Kemudian dia mengatakan kedua orang yang baru ditolong si Bungsu itu sebagai dua orang yang
‘kurus kerempeng’. Seolah-olah tubuhnya gemuk benar, padahal hanya tinggal tulang belulang. Si letnan,
seorang Negro dengan bibir tebal dan rambut benar-benar kribo saking lamanya tak bertemu tukang
pangkas, yang menyikut si sersan hampir botak itu, tersenyum mendengar cerocos kawannya.
“Hai, kawan Anda bisa bahasa Inggris?” tanya letnan Negro tersebut dengan sikap sopan.
Si Bungsu mengangguk. Kemudian menatap jerajak bambu yang di atasnya ditimbuni sampah, jauh di
atas kepala mereka. Saat itu seekor cecak jatuh dari sela-sela timbunan dedaunan tersebut. Belum
sampai sedetik tubuh cecak kecil itu terhempas ke air, si Bungsu dibuat terkejut oleh apa yang dilakukan
kedua tentara tersebut. Mereka hampir serentak, melompat ke arah jatuhnya cecak tadi dengan tangan
terulur dan jari-jari terkembang siap menangkap cecak, itu. Ternyata si hampir botak lebih cepat. Si
Bungsu dapat melihat dengan jelas tangan kanan sersan itu menyambar cecak yang baru jatuh itu.
Namun si hampir botak tak segera berdiri. Dia justru langsung menyelam. Si letnan menarik nafas,
kemudian melangkah lagi ke dinding. Lalu matanya menatap ke atas, ke arah bambu yang menjadi atap
lobang seperti mengharapkan sesuatu jatuh lagi dari atas sana. Saat itulah si hampir botak timbul lagi
dari menyelam. Si Bungsu merasa mual tatkala melihat ujung ekor cecak itu masih tersembul sedikit di
antara bibir si hampir botak. Ekor cecak itu masih bergerak-gerak. Namun dengan cepat lidah si hampir
botak terjulur keluar, mulutnya ternganga sedikit, dan ekor cecak itu lenyap!
Kemudian kelihatan si hampir botak menelan dengan luar biasa nikmatnya. Si letnan, dan dua tentara
yang tadi datang bersama si Bungsu hanya melihat dengan diam. Malah selera mereka seperti ikut
terangsang melihat si hampir botak itu menikmati cecak sebesar telunjuk tersebut. Si Bungsu menahan
rasa mualnya dengan menatap dinding kurungan yang seluruhnya terdiri dari tanah napal.
Nampaknya lumpur yang ada di bawah kaki mereka sengaja dimasukkan, begitu juga airnya. Sebab air
yang kedalamannya hampir mencapai leher mereka itu, kuning dan bau sekali.
Hal itu tentu berbeda kalau air ini berasal dari dalam tanah. Saat itu si sersan yang tadi bertanya apakah
si Bungsu bisa berbahasa Inggris kembali bersuara.
“Hanya firasat. Saya pernah bertemu beberapa anggota SEAL, dan Anda punya ciri seperti mereka…”
ujar si Bungsu perlahan.
Keempat tentara Amerika itu menatap ke arahnya.
“Siapa anggota SEAL yang Anda kenal?” tanya si letnan.
Si Bungsu ganti menatap letnan itu dengan tajam. Dia haqqul yakin, Cowie adalah anggota SEAL yang
terkenal itu. Lalu berkata perlahan.
“MacMahon….”
“Kolonel MacMahon?
Si Bungsu mengangguk, letnan tersebut tertegun. Begitu juga yang lain.
“Anda mengenal Kolonel MacMahon…?”
“Ya….”
“Di mana?”
“Di tempat dia disekap bersama tentara Amerika yang lain, di sebuah goa di bukit batu di daerah selatan.
Tapi sekarang mereka sudah bebas.…”
“Kolonel MacMahon bebas?”
“Ya….!”
“Pertukaran tawanan perang?”
Si Bungsu menggeleng.
“Melarikan diri?”
Si Bungsu mengangguk.
“Anda ada di sana saat dia melarikan diri…?”
Si Bungsu menarik nafas. Menatap sesaat kepada ke empat tentara Amerika yang tubuh mereka sudah
mirip jailangkung karena kurusnya itu.
“Ya… saya di sana.…” jawab si Bungsu perlahan.
Ke empat tawanan kurus seperti jailangkung itu tertegun.
“Anda juga ikut tertawan dengannya?” ujar Letnan Cowie dengan penuh keingintahuan.
“Tidak…”
Untuk sesaat letnan Negro berbibir tebal dan berambut kribo karena tak pernah bertemu tukang pangkas
itu menatap si Bungsu. Kemudian dia berkata
perlahan.
“Jika demikian. Anda pastilah salah seorang dari orang-orang yang membebaskan Kolonel MacMahon…”
ujar Cowie perlahan.
Jari-jari kaki kiri si Bungsu ganti menggaruk betis kanannya di dalam air yang menjadi gatal pula.
Kemudian tangannya menggaruk paha, lalu dada. Lalu
punggung. Sekujur tubuhnya terasa gatal. Si rambut hampir botak tertawa terkekeh melihat si Bungsu
menggaruk kiri kanan, atas bawah.
“Anda salah seorang yang membebaskan Kolonel MacMahon?” kembali Letnan Cowie bertanya.
Si Bungsu akhirnya mengangguk perlahan. Kendati ada sedikit kesalahan dalam perkiraan tersebut. Dia
bukan ‘salah seorang’ dari yang membebaskan
MacMahon. Dia adalah satu-satunya orang yang membebaskan perwira tersebut bersama belasan yang
lain. Tapi tak ada gunanya menjelaskan hal itu dalam
kurungan dengan air berlendir seperti yang mereka huni sekarang.
“Lalu Anda tak berhasil melarikan diri dan tertangkap?” ujar Cowie.
Si Bungsu kembali mengangguk.
“Fuck! Orang ini ternyata bisu. Dia hanya bisa mengangguk dan menggeleng…” Sersan Tim Smith,
tentara yang rambutnya hampir botak itu, memaki sambil
terkekeh.
Letnan Cowie menarik nafas panjang, tetapi matanya menatap tajam pada si Bungsu.
“Maaf, tadi Anda mengatakan bukan tentara mana pun. Saya yakin itu. Saya juga yakin Anda bukan
mata-mata pihak mana pun. Namun kenapa Anda berada
bersama pasukan yang membebaskan MacMahon? Anda penunjuk jalan bagi pasukan pembebas itu…?”
ujar Cowie.
“Tidak, saya datang ke sana karena harus membebaskan seseorang. Kebetulan di tempat dia ditawan
ada MacMahon dan tawanan lainnya. Membebaskan
seorang tawanan atau tujuh belas, saya rasa sama saja.…”
“Maksudnya, Anda membebaskan ketujuh belas tawanan itu sendiri?” ujar Cowie.
Tidak hanya Letnan Cowie yang sangat ingin tahu jawaban orang Indonesia ini, tapi juga ketiga tawanan
lainnya. Mereka menatap si Bungsu nanap-nanap.
“Tidak, kami berempat….”
“Tiga lainnya adalah pasukan Amerika?”
“Tidak, tiga lainnya adalah orang Vietnam….”
“Tentara semua?”
“Hanya satu. Itu pun bekas tentara. Yang dua lagi penduduk sipil. Yang satu seorang lelaki tua, sekitar 55
tahun. Yang seorang lagi anaknya, seorang gadis
berusia sekitar 15 tahun….”
Terdengar umpat, sumpah dan gerutuan dari si hampir botak dan dua tentara lainnya.
“Siapa yang Anda cari untuk dibebaskan itu?” ujar Cowie.
“Roxy.…”
“Oh Tuhan, Roxy Roger maksud Anda?”
“Ya….”
“Anda dibayar ayahnya untuk mencari dan membebaskan cewek itu?”
“Rencananya ya….”
tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 675-676-677
Dalam Neraka Vietnam-bagian 675-676-
677
Dalam Neraka Vietnam-bagian-675
“Saya tidak tahu, apakah obat yang Anda pakai di balik perban itu cukup manjur atau tidak. Jika Anda tak
keberatan, saya punya ramuan di pondok…” ujar si Bungsu.
Kapten itu menatap kedua tangannya yang berbalut perban mirip orang akan bertanding tinju.
“Saya berminat juga mencoba obat Anda, dokter…” ujar Bhun Dhuang, sambil mengikuti si Bungsu dan
Lok Ma ke pondoknya.
Di luar, di halaman yang cukup luas untuk berkumpul seratus orang, yang merupakan alun-alun di desa
tersebut, orang semakin sibuk mempersiapkan tempat perayaan Hari Raya Tet. Tentara bekerja
membuat meja panjang dan kursi darurat. Karena desa itu memang berada jauh di tengah hutan
belantara, dengan mudah mereka mendapatkan pohon-pohon yang diperlukan untuk dijadikan tiang meja
dan kursi. Untuk alas tempat duduk dan daun meja, mereka memotong bambu, yang disusun menjadi
bidang luas. Beberapa lelaki kelihatan tengah membersihkan dua ekor babi.
Kedua hewan itu dibunuh dengan terlebih dahulu mengikat kedua kakinya. Lalu digantung dengan kepala
menghadap ke bawah. Lehernya ditusuk dengan sebilah pisau yang amat runcing dan tajam. Darah yang
mengalir dari leher babi itu ditampung dengan sebuah tong kayu yang cukup besar. Darah tersebut
dicampur dengan semacam asam sehingga mengental mirip hati. Darah beku yang digoreng atau
dibakar merupakan makanan yang luar biasa nikmatnya bagi orang-orang Vietnam.
“Bisa minta air yang agak panas?” ujar si Bungsu pada Lok Ma, saat mereka akan masuk ke pondoknya
bersama Kapten Bhun Dhuang.
Lok Ma segera mengambil baskom tempat si Bungsu meremas ramuan obat tadi. Kemudian memanggil
seorang wanita. Menyuruh bersihkan baskom tersebut dan mengisi nya dengan air panas. Ketika wanita
itu kembali dengan air panas, dia menatap si Bungsu.
“Assalamualaikum…” sapa wanita itu perlahan.
Si Bungsu, Lok Ma dan Bhun Dhuang menatap pada wanita itu. Jika kedua Vietnam itu menatap dengan
heran, si Bungsu justru terkejut.
“Wa’alaikummussalam…” ujar si Bungsu perlahan, sambil menatap hampir tak percaya pada wanita itu.
“Ana anta Islam…” ujar wanita separoh baya itu dalam bahasa Arab yang ala kadarnya.
Si Bungsu ternganga. Dia menoleh pada Lok Ma.
“Suruh dia masuk dan duduk. Tanyakan padanya darimana di tahu saya seorang Islam…” ujar si Bungsu
dalam bahasa Inggris pada Lok Ma.
Sersan itu menyuruh si wanita masuk dan duduk di tikar bambu di depan si Bungsu dan Bhun Dhuang.
Dengan takut-takut dia mendekat, namun tetap berdiri. Dia baru duduk dengan amat sopan setelah
Kapten Bhun Dhuang ikut menyuruh dia duduk. Lok Ma kemudian menanyakan darimana dia tahu si
Bungsu seorang Islam.
“Saya melihatnya ketika dia sembahyang Asyhar setelah mandi sore tadi di tepi sungai…” ujar wanita itu,
yang diteruskan oleh Lok Ma kepada si Bungsu.
“Sampeyan tiang Jawi…?” tiba-tiba wanita itu kembali mengejutkan si Bungsu, tatkala dia bertanya dalam
bahasa Jawa apakah si Bungsu orang Jawa.
Tentu saja Lok Ma dan Bhun Dhuang tak faham apa arti pertanyaan wanita tersebut. Si Bungsu sampai
dibuat ternganga. Buat sesaat dia tak bisa bicara sepatah pun.
“Ibu dari Jawa?’ ujarnya dalam bahasa Indonesia.
Dalam Neraka Vietnam-bagian-674
Kali ini wanita itu yang ternganga.
“Ja… uwa… ya, Ja uwa…” ujarnya mencoba mengeja.
Si Bungsu menoleh pada Lok Ma, kemudian dia berkata.
“Ibu ini nampaknya turunan dari Jawa, salah satu pulau di Indonesia. Tolong tanyakan padanya, tentang
asal usulnya, juga tentang keluarganya di sini. Barangkali ayah atau ibunya berasal dari Indonesia…”ujar
si Bungsu.
Namun sebelum Lok ma menanyai wanita itu, si Bungsu teringat, bahwa dia harus mengobati tangan
Kapten Bhun Dhuang. Dia minta maaf pada si kapten, dan menyuruh Lok Ma mengundurkan
pertanyaannya. Namun Kapten itu menyuruh agar pembicaraan itu dilanjutkan, sementara dia
membersihkan tangannya dengan air suam-suam kuku yang tadi dibawakan wanita tersebut. Lok Ma lalu
menyampaikan pertanyaan si Bungsu kepada wanita itu. Dan bertuturlah wanita tersebut. Kakeknya
adalah seorang pelaut yang lahir dari perkawinan campuran, ibu Madura dan ayah Jawa.
Sekitar tujuh puluh tahun yang lalu, kakek buyutnya itu merantau ke Thailand. Kemudian berdagang ke
Vietnam Selatan, yang juga beberapa pedagang asal Indonesia dan Malaya. Di Vietnam ini lelaki itu
tertarik pada seorang gadis setempat dari keluarga muslim. Mereka menikah dan menetap di Vietnam.
Pasangan ini melahirkan dua anak lelaki dan seorang anak perempuan. Dia adalah anak perempuan itu.
Dia tak bisa berbahasa Indonesia karena ayahnya jarang sekali berbahasa Indonesia. Apalagi ayahnya
sudah meninggal sekitar lima belas tahun yang silam.
Dia hanya hafal beberapa potong bahasa Jawa yang pernah diajarkan ayahnya ketika dia masih berusia
belasan tahun. Namun karena tak pernah dipergunakan lagi, bahasa itu berangsur-angsur lenyap dari
ingatannya. Si Bungsu menyalami wanita itu, setelah ceritanya dalam bahasa Vietnam itu diterjemahkan
Lok ma ke dalam bahasa Inggris. Wanita berusia separoh baya itu menyambut uluran tangan si Bungsu
dengan mata berkaca-kaca. Sambil meramu obat, mereka lalu terlibat pembicaraan yang diterjemahkan
oleh Lok Ma. Lok Ma menjadi penerjemah untuk kedua orang itu.
Jika wanita itu yang bicara Lok Ma menerjemahkan bahasa Vietnam itu untuk si Bungsu ke dalam
bahasa Inggeris. Sebaliknya si Bungsu yang bicara dalam bahasa Inggeris kemudian diterjemahkan
untuk wanita itu oleh Lok Ma ke dalam bahasa Vietnam.
“Menurut kakek saya, Kota Jawa itu besar sekali, penduduknya juga amat ramai…” ujar wanita tersebut.
“Jawa itu nama pulau, Bu. Ada ratusan kota di sana. Jawa itu bahagian dari negeri yang bernama
Indonesia. Ada ribuan pulau besar kecil di negeri itu….”
“Tuan juga berasal dari Jawa?”
“Tidak. Saya dari pulau Sumatera.…”
“Jauh dari Jawa?”
“Tidak juga….”
“Tuan pernah ke Jawa?”
“Pernah, ke Jakarta….”
“Jauh Kakarta itu dari Jawa?”
“Jakarta itu ibukota Indonesia, seperti Saigon ibukota Vietnam Selatan dulu. Jakarta itu terletak di Pulau
Jawa…” ujar si Bungsu sambil mengoleskan ramuannya yang sudah selesai dibuat ke pergelangan
tangan dan buku-buku jari Kapten Bhun Dhuang.
“Ada berapa keluarga muslim di kampung ini…?”
“Ada lima keluarga.…”
“Berapa keluarga di sini semuanya?”
“Kira-kira lima puluh keluarga….”
“Saya bahagia sekali bisa bertemu dengan orang seagama dan dengan orang yang sekampung dengan
ayah saya. Saya ingin sekali datang ke Jawa. Mungkin suatu hari kelak, saya akan datang ke sana
bersama anak-anak saya…” ujar wanita itu dengan mata berlinang.
Lalu dia membungkukkan badan, memberi hormat. Kemudian minta izin meninggalkan pondok itu. Si
Bungsu berdiri, menyalami wanita tersebut. Dia mengantarkannya ke pintu.
“Saya doakan niat Ibu untuk datang ke Jawa disampaikan Tuhan. Saya senang di sini bisa bertemu
dengan keturunan orang Indonesia…” ujar si Bungsu.
Si Bungsu lama berdiri di pintu. Menatap wanita itu berbaur dengan penduduk lainnya di halaman rumah
besar di ujung sana. Dari kejauhan dia lihat wanita itu dikerubungi beberapa wanita dan anak-anak.
Nampaknya dia bercerita tentang pertemuan mereka sebentar ini. Kemudian bersama Lok Ma yang tadi
menjadi juru bahasanya dia kembali masuk ke pondok. Melihat tangan si kapten yang sudah dia olesi
ramuan obat.
“Terimakasih, kawan, ramuan obatmu manjur sekali…” ujar Kapten Bhun Dhuang ketika melihat si
Bungsu masuk bersama Lok Ma.
Si Bungsu memeriksa kedua kepalan tangan perwira tersebut. Bengkaknya sudah jauh menyusut. Warna
merah kehitam-hitaman yang tadi terlihat dari pergelangan tangan sampai ke batas siku, kini sudah
lenyap sama sekali. Kedua pergelangan tangan yang retak dan membengkak sebesar telur ayam, kini
sudah hilang bengkaknya. Si Bungsu lalu meminta perban kepada Lok Ma. Lalu membalut kedua tangan
si kapten mulai dari pergelangan tangannya ampai ke ujung lima jarinya.
“Maaf, untuk sementara bila lapar Anda terpaksa disuapkan. Tapi, jika obat ini manjur besok pagi Anda
bisa memegang sendok. Hanya saya kurang yakin…” ujar si Bungsu.
“Bila Anda kurang yakin saya justru sangat yakin…” ujar si kapten sambil tersenyum.
Namun besok yang diucapkan si Bungsu merupakan hari yang tak pernah terbayangkan sedikitpun, baik
oleh si Bungsu maupun oleh semua tentara Vietnam yang bermarkas di kampung tersebut. Subuh sekali,
tatkala malam perayaan Hari Raya Tet baru saja usai, dan hampir semua penduduk serta tentara pada
bergelimpangan tidur karena kenyang dan lelah menari, dua peleton pasukan khusus tentara Vietnam,
ditambah tiga perwira dari korp polisi militer, yang dikirim langsung dari Kota Ben Hoa, menyelusup
masuk.
Tanpa banyak bicara mereka mengambil alih tawanan. Termasuk si Bungsu, yang karena lelah sedang
tidur lelap. Dia tersentak bangun ketika merasa ada yang menindih tubuhnya yang sedang menelungkup.
Dia tak sempat bergerak banyak karena dua orang ternyata sudah menginjak tengkuk dan pinggangnya.
Lalu dia merasa tangannya kembali diikat ke sebuah kayu pendek yang disandangkan ke bahunya. Nasib
seperti siang kemarin ternyata kembali terulang. Sebuah kayu diletakkan di bahunya. Kedua tangannya
diikat ke kayu sebesar lengan lelaki dewasa itu.
Subuh belum bersambut dengan pagi, pasukan khusus itu kemudian menggelandang tawanannya. Si
Bungsu baru tahu, ternyata masih ada tiga orang tentara Amerika yang disekap di desa tersebut. Dia tak
tahu di mana mereka disekap.
Kemudian seorang lelaki tua, pimpinan desa itu maju. Dia bicara kepada si komandan. Si Komandan
mendengar pembicaraan pimpinan desa itu dengan seksama. Kemudian dia mengangguk. Lalu bicara
pada masyarakat dan belasan tentara yang ada di depan rumah besar itu.
Semua mereka bertepuk tangan usai si komandan berbicara. Di dalam rumah, kepada si Bungsu si
overste bercerita, besok kebetulan Hari Raya Tet. Salah satu hari raya besar di antara belasan hari raya
orang Vietnam tiap tahunnya. Penduduk ingin merayakannya dengan mengadakan hiburan sambil
makan-makan bersama. Selain seluruh ikan yang baru diperoleh itu, juga akan dipanggang dua ekor babi
sumbangan penduduk.
“Tuan suka babi…?” tanya overste tersebut.
Si Bungsu menggeleng.
“Saya seorang muslim…” ujarnya menjelaskan.
“Oo, moslem. Islam… ya agama Islam melarang makan babi…” ujar overste itu mengingat pelajarannya
di Akademi Militer.
“Siang tadi Tuan mengatakan saya menderita penyakit paru-paru yang sudah berat. Dari mana Tuan
tahu?”
“Dari wajah dan warna ludah Anda, Overste…” jawab si Bungsu perlahan sambil menatap wajah letnan
kolonel itu.
Overste itu menatap si Bungsu beberapa saat, tanpa berkata sepatah pun. Kemudian menunduk. Dan
tiba-tiba matanya basah. Dia berusaha menghapusnya. Seperti tak ingin dilihat menangis di depan orang.
Namun betapapun dia tak mampu menahan agar matanya tak basah.
“Saya telah membunuh anak-anak saya yang paling saya cintai dengan menularkan penyakit celaka ini.
Usia mereka masih terlalu muda untuk mampu bertahan…” ujarnya perlahan dengan suara terdengar
bergetar.
“Saya ikut berduka…” ujar si Bungsu perlahan.
“Saya sudah berobat kemana-mana. Tetapi, rokok, minuman keras, heroin dan perang celaka ini tidak
hanya menghancurkan hidup saya, juga anak-anak saya yang tertular…” ujar si overste.
“Saya pernah belajar membuat ramuan obat, tatkala saya sendirian selama dua tahun dalam belantara di
kampung saya. Semula ramuan obat itu saya buat asal-asalan, untuk mempertahankan hidup. Namun
setelah mencoba berbagai jenis daun, kulit, akar, getah kayu rumput dan lumut yang ternyata berkhasiat
untuk obat. Lalu ketika saya di Amerika, seorang Indian menambah banyak sekali pengetahuan saya
tentang ramuan obat dari lumut, rumput, akar, daun dan getah beberapa jenis kayu lagi. Jika Anda mau
mencoba Overste, di sungai tadi saya telah mengumpulkan lumut yang baik sekali untuk obat, berikut
beberapa jenis rumput dan daun kayu….”
“Berapa lama ramuan itu bisa se…” pertanyaan overste itu terhenti oleh sedakan batuk yang mula-mula
ringan.
Namun batuknya makin lama makin keras dan membuat dia sulit bernafas. Si Bungsu tahu, jika siang
hari orang yang menderita penyakit seperti overste ini takkan begitu merasakan penyakit yang
menggerogotinya. Sebab siang hari udara panas. Namun begitu malam mulai turun, seperti sekarang,
penyakit itu kambuh. Makin dingin hari, makin dahsyat serangannya.
“Saya akan kembali ke pondok saya, akan saya buatkan ramuan itu segera…” ujar si Bungsu sambil
berdiri
Overste itu hanya mampu mengangguk, sementara batuknya kemudian menyerang berkali-kali. Lok Ma
yang ada dalam rumah itu segera membantu komandannya. Mengambilkan sebaskom air panas dari
periuk di tungku, kemudian sebuah handuk kecil yang bersih. Di luar rumah, si Bungsu melihat kesibukan
penduduk dan tentara mempersiapkan segala sesuatu untuk merayakan Hari Raya Tet malam nanti.
Mereka membuat dua perapian untuk membakar ikan dan babi. Kemudian sebuah lagi untuk menanak
nasi. Melihat si Bungsu muncul, beberapa lelaki datang menyalaminya.
Beberapa wanita saling berbisik. Para tentara menatapnya dengan diam. Dia masuk ke pondoknya.
Mengambil lumut dan beberapa jenis daun yang dia bungkus dengan daun pisang senja tadi. Di daun
pisang itu bahan-bahan tersebut dia remas menjadi satu. Saat dia keluar kebetulan Lok Ma datang.
Kepada Lok Ma dia minta dicarikan air kelapa muda. Kemudian anak pisang. Dalam waktu yang tak
begitu lama bahan-bahan itu diantarkan Lok Ma kepadanya. Dia meminta sebuah baskom alumunium,
atau periuk kecil. Ramuan itu dia masukkan ke periuk kecil
Jika dia memiliki empat nyawa,maka sebenarnya kini empat nyawa nya itu telah
melayang di ujung kayu lelaki tangguh itu.Orang-orang pada berhenti bertepuk tangan,tatkala si Kapten
merapatkan kedua kakinya,berdiri lurus menatap si Bungsu.Kemudian membungkukkan badan,memberi
hormat sebagaimana layaknya karateka atau judoka bersikap kepada orang yang mereka hormati.Lalu
dia berbicara dengan bahasa Vietnam yang di tujukan pada si Bungsu.
“Anda benar-benar tangguh.Terimakasih anda sudah mengajar saya bagaimana seharusnya bersikap
satria.Terimakasih,anda telah mengampuni nyawa saya…”
Si Bungsu tertegun.Tak di sangka kapten itu akan berbuat dan berkata begitu.Dia balas sikap kapten itu
juga dengan tegak lurus,kemudian dengan tangan yang masih terikat di kayu itu,dia membungkukkan
badab membalas penghormatan yang di berika padanya.
Dengan kejujuran kemudian dia berkata dengan bahasa inggris,yang di terjemahkan lok Ma untuk si
kapten,dan untuk semua yang hadir di rumah tersebut.
“Andalah yang telah menyelamatkan nyawa saya.Ketika saya di gantung dengan kepala kebawah.Anda
bisa saja membunuh saya dengan peluru atau pisau.Namun hal itu tidak anda lakukan.terimakasih atas
kemurahan hati anda kapten…”
Kapten itu membalas penghormatan itu beberapa kali dan kemudian menghadap pada si overste yang
jadi komandannya.Bicara dalam bahasa Vietnam.Tak satupun ucapan si kapten di terjemahkan Lok
Ma.Overste itu menanyakan sesuatu.Kemudian overste itu bicara pada si Bungsu.
Tadi anda katakan,bahwa anda bisa menyembuhkan penyakit sipilis dengan ramuan hanya dalam
seminggu.Apakah anda masih mempunyai obat itu…”
“Tidak,tetapi saya bisa membuatnya dengan dedaunan yang ada disini…”
Overste itu kembali berbicara dengan si kapten.Kemudian kepada Lok Ma.sersan lok Ma akhirnya
mendekati si Bungsu.Memutus kedua tali yang mengikat tangannya,begitu juga yang menikat kakinya.
“Anda menjdai tamu kami,tuan.Sampai beberapa tentara sembuh,setelah itu kami akan mengantarkan
tuan ke da Nang atau hanoi..”ujar si overste,sembari
memberi perintah pada Lok Ma.
Yang pertama dilakukan si Bungsu adalah mandi di sungai sepuas-puasnya,di sungai besar dan deras
yang terletak tak jauh dari rumah besar tempat dia di interogasi tersebut.Untuk pergi kesungai dia di
kawal oleh dua orang tentara bersenjata.Lok Ma memberi dia sepasang pakaian,lengkap dengan
sepatu.Di sungai beberapa orang lelaki dan perempuan terlihat sedang mandi atau mencuci.Mereka
pada berhenti sebentar,menatap padanya dengan pandangan heran.Tapi begitu tertatap pada dua orang
tentara yang tegak menjaga,dengan bedil siap tembak di tebing,mereka dengan cepat mengalihkan
pandangan dari si Bungsu.Mereka melanjutkan mandi atau mencuci.Kendati sama-sama orang
Vietnam,namun penduduk demikian takut pada tentara.
Usai mandi,dari batu yang bermunculan di tepi sungai,si Bungsu memilih segenggam lumut yang warna
hijaunya sudah kehitam-hitaman kerena sudah belasan tahun ada disana.Kemudian di jalan kecil antara
sungai itu dan perkampungan kecil itu,dia memetik beberapa helai daun.Lumut dan pucuk-pucuk rimba
itu dia bungkus dengan daun pisang dan di bawa kebarak.Dia di tempatkan di sebuah barak kecil.
Ada selembar tikar yang dianyam dari bilah-bilah bambu dan sehelai selimut yang bergaris-garis,seperti
selimut yang lazim di pakai di rumah sakit.Bedanya, selimut itu sudah compang-camping.Dua orang
tentara mengantarkan nasi ransum dengan sedikit daging ikan.Si Bungsu jadi tahu kalau disini menu
utamanya adalah ikan.Saat makan,tentara yang mengantarkan makanan itu berbicara dengan
pelan,namu karena tentara itu memakai bahasa Vietnam,jadi dia tak mengerti apa yang dimaksud tentara
itu.
Tentara itu membuka baju,dan memperlihat kan lengan nya yang masih berbalut perban.Lalu si tentara
menunjuk bedil,menunjuk si Bungsu.Si Bungsu jadi mengerti kalau kedua tentara itu ikut dalam
pertempuran di padang lalang itu saat heli datang menjemput tawanan itu.Kedua tentara itu memberi
hormat dan mengulurkan tangan.Si Bungsu menatap mereka sejenak,kemudian menyambut uluran
tangan tersebut.
“Terimakasih anda tidak membunuh saya,kalau tidak ibu saya akan sangat sedih sekali.Saya anak
tunggal…”ujar tentara itu.
Si Bungsu hanya mengerti ucapan kata-kata terimakasihnya saja,karena dia pernah diajarkan oleh Ami
Florence.”Terima kasih kembali..”ujarnya dengan bahasa Vietnam.Setelah itu tentara yang satu nya lagi
yang mengulurkan tangan.
“Terimakasih…”katanya sambil membungkuk kan badan sampai dua kali.
Si Bungsu kemabli menjawab”terimakasih kembali’seperti yang pernah diajarkan Thi Binh. Sambil
membungkuk kan badan sambil duduk,kemudian kedua tentara itu meninggalkan pondok.Si Bungsu
yang tinggal sendiri,segera menyantap nasi dan ikan panggang tersebut dengan lahap.Nampaknya,
dimanapun,ikan segar yang dibakar dan di beri sedikit garam sangat nikmat.Kendati nasi nya dikit,karena
ikan bakarnya lumayan besar jadi perut nya kenyang juga,selesai makan dia mengamparkan selimut
bergaris itu diatas tikar bambu tersebut.
Kemudian membaringkan badan,sambil pikiran nya melayang pada tentara yang menahannya di barak
ini.Lewat ciri mata dan bintik di wajah tentara yang ada di rumah besar tadi juga dua tentara yang
mengantar nasi tadi,si Bungsu tahu mereka terkena penyakit Vietnam Rose,sebutan lain dari penyakit
sipilis. Dia bertekad untuk menolong mereka semampu nya.Akhirnya karena didera kelelahan dan
kekenyangan dia tertidur pulas sekali.
Hari sudah senja,ketika dia di bangunkan oleh Lok Ma.Dia datang dengan ditemanin seorang
prajurit,yang tetap siap sedia dengan bedil nya.Lok Ma mengatakan kalau overste ingin bertemu
dengannya malam nanti setelah makan malam.Lok Ma bercerita waktu berjalan ke sungai,kalau sembilan
tentara Amerika yang di tawan disini telah di pindahkan,termasuk tawanan yang di kandang babi di
sebelah kurungan si Bungsu.
“Balasan?saya hanya melihat sekitar lima orang.Dimana yang lain di tahan ?”
“Mereka dikurung di sungai di belakang kandang babi tersebut.Kurungan mereka jauh lebih
parah.Mereka berminggu-minggu di rendam sebatas leher.Makanan di masukan kedalam plastik
kemudian di ulurkan dengan tali.Mereka hanya menikmati di daratan ketika di interogasi….”tutur Lok Ma.
“Kemana mereka dipindahkan?”tanya si Bungsu.
Namun begitu pertanyaan itu di ucapkan,dia segera sadar kalau tak ada jawaban dari pertanyaan itu.
“Tidak ada yang mengetahui,kapan para tawanan di pindahkan dan kemana mereka akan di
pindahkan.Hanya komandan yang tahu.Perintah pemindahan di berikan secara lisan pada seseorang…”
Si Bungsu hanya mendengar tentang penuturan pemindahan tawanan Amerika itu dengan
diam.Beberapa lelaki dan wanita terlihat di hulu maupun di hilir sungai.
Dia jawara saat masih menjadi mahasiswa akademi militer Vietnam Utara.
Kalau kini ada orang yang demikian besar mulut sanggup mengalahkan kapten itu, sungguh akan
menjadi mimpi buruk yang takkan pernah dilupakan oleh si penantang. Jika dia menyatakan mampu
mengalahkan si kapten dengan tangan dan kaki terikat, peristiwa ini tak hanya akan menjadi sekedar
mimpi buruk, tetapi suatu tindakan bunuh diri. Atau apakah orang ini sengaja ingin bunuh diri karena tak
tahan menderita selama di tahanan, dan lebih tak tahan lagi menghadapi siksaan di hari-hari berikutnya?
Jika itu yang dia inginkan, maka keinginannya itu pasti bisa dia dapat dalam waktu takkan kurang dari
lima menit. Cara dia membuat si kapten menjadi lahar amarah, memang jalan tersingkat menuju
kematian. Kapten Bunh Dhuang yang amarahnya sudah sampai ke ubun-ubun, tak ingin membuang
waktu sedikit pun. Sebenarnya, jika dapat dia ingin lelaki yang kini dalam posisi terikat kedua tangannya
itu dia telan dengan rambut-rambutnya sekalian. Demikian marah dan bencinya dia pada lelaki tersebut.
Usahanya untuk membunuh lelaki tersebut sebenarnya sudah dia lakukan dengan dua tendangan ketika
si lelaki terikat dengan kepala ke bawah.
Tendangan pertama menghajar dadanya, yang menyebabkan lelaki itu muntah darah. Dia ingin saat itu
lelaki yang sudah mengobrak-abrik markas mereka itu tidak hanya sekedar muntah darah. Dia berharap
yang dimuntahkannya adalah jantung, hati dan parunya sekaligus! Mampus sekalian. Karena tendangan
pertama ke dada hanya menyebabkan muntah darah, dia menendang lagi untuk kali kedua, dengan
sepenuh kekuatan dan keahlian menendang yang dia miliki. Dengan tendangan kedua itu dia berharap
otak lelaki tersebut berhamburan.
Dia ingat pada suatu hari yang amat kritis, di mana dia berserobok dengan seekor harimau yang akan
menerkamnya. Dia tendang kepala harimau besar itu sekuat tenaga dan secepat kemampuannya.
Akibatnya harimau itu mati dengan mulut, hidung dan telinga bersemburan darah. Itu bukan mengada-
ngada. Kapten Bunh Dhuang memang memiliki keahlian beladiri yang nyaris tak ada tandingannya dalam
pasukan Vietnam. Kini dia berhadapan kembali dengan lelaki yang hanya koma setelah dia tendang dua
kali tempo hari.
Mereka tegak berhadapan. Dia lihat lelaki itu tegak menyamping padanya. He… he… dia coba-coba
memasang kuda-kuda, pikir si kapten yang merasa geli melihat usaha lelaki kurus itu. Matanya menatap
kepada para perwira dan prajurit yang berada dalam ruangan berukuran sekitar 7 x 7 meter persegi itu.
Tiba-tiba saja timbul niatnya untuk memberikan tontonan yang menarik, sekaligus mendemonstrasikan
kemahiran beladirinya. Dia akan malu juga kalau orang ini mati, sementara tangan dan kakinya terikat.
Dia pasti akan dicemooh memukuli orang yang dalam keadaan terikat.
“Buka ikatannya…” ujar si kapten kepada Lok Ma.
“Jangan, engkau takkan mampu menyentuh ujung bajuku sedikit pun, kalau ikatan ini dibuka, kapten…”
potong si Bungsu sebelum Lok Ma sempat berdiri.
Ucapan si Bungsu itu, yang jelas-jelas mempermalukan dan sekaligus menganggap dirinya remeh,
membuat amarah si kapten benar-benar sampai di batas. Tanpa membuang waktu lagi dia mengirimkan
sebuah pukulan lurus ke telinga lelaki yang sejak tadi menyombong terus itu. Si Bungsu tetap tegak
dengan posisi agak menyamping. Pukulan yang lurus mengarah ke wajahnya itu dia biarkan mendekat.
Dan dalam jarak yang sudah diperhitungkan, dia mengibaskan kayu yang melintang tempat kedua
tangannya terikat. Terdengar suara berdetak.
Kapten Bunh Dhuang meringis. Kepalan tangannya yang memukul, persis di buku-buku jari, kena
kibasan sudut kayu sebesar lengan yang tersandang di bahu lelaki tersebut. Ketika dia lihat dua buku
jarinya, yaitu buku jari tengah dan buku jari telunjuk, kelihatan terkelupas dan darah meleleh dari sana!
Orang-orang pada terbelalak diam. Si kapten kembali melancarkan dua pukulan beruntun yang amat
cepat. Namun hanya dengan merobah posisi kakinya sedikit, kedua pukulan itu lagi-lagi dikibas dan kena
hantam, oleh kayu yang melintang di bahu si Bungsu!
Kini kedua buku tangan si kapten terkelupas dan berdarah. Kapten itu menggeram. Tetapi kekuatannya
memang luar biasa. Kendati buku-buku kedua tangannya sudah terkelupas dan berlumuran darah,
dengan pekik penuh marah dia kembali melakukan serangan cepat dan berkali-kali. Kaki si Bungsu
seperti mencengkam tanah. Bergeser sedikit ke kiri dan ke kanan. Sementara kayu sebesar lengan, yang
panjangnya sekitar sedepa, yang melintang di bahunya dengan efektif sekali dia pergunakan untuk
menangkis.
Tidak hanya menangkis, bahkan balik menyerang kedua kepalan si kapten yang datang seperti baling-
baling ke arah wajah, kepala dan bahunya. Kayu itu seperti bermata dan bernyawa, yang bisa memapas
setiap pukulan si kapten. Belasan kali Kapten Bunh Dhuang menyerang dengan bentakan-bentakan
keras, dan belasan kali pula serangannya tidak hanya tak satu pun pukulannya yang berhasil “menyentuh
ujung baju” si Bungsu, malahan kedua tangannya yang memukul tetap saja kena sabet kayu di bahu
lelaki itu. Sampai suatu ketika, terdengar suaranya demikian keras.
Orang tak tahu apakah suaranya masih bentakan atau pekikan. Jika pekik, orang juga tak tahu persis
apakah pekik marah sembari melancarkan serangan dengan jurus maut, atau pekik itu karena kesakitan.
Bentuk pekik keras Bhun Dhuang baru menjadi jelas tatkala dia terlompat mundur beberapa langkah.
Orang-orang pada merinding melihat kedua kepalan tangan si kapten, yang besarnya nyaris sebesar
buah kelapa kuning, benar-benar berlumur darah. Tidak hanya itu, bulu tengkuk mereka merinding
melihat kedua pergelangan tangan kapten tersebut terkulai. Pada masing-masing pergelangannya
kelihatan sebuah bengkak merah kebiru-biruan sebesar telur bebek. Yang membuat mereka hampir tak
bisa mempercayai penglihatan mereka adalah posisi lelaki dari Indonesia yang kedua tangannya terikat
itu.