Anda di halaman 1dari 68

Dalam Neraka Vietnam -bagian 719-720

Dalam Neraka Vietnam-bagian-719

Mereka kembali tenggelam dengan cerita ”masa lalu”. Saat tengah berbincang itu
MacKennedy berbisik kepada siBungsuMengatakan ada telepon untuknya.
“Telepon? dari siapa…?” pikir siBungsu heran.
Dia lalu pamit pada Ami lalu menuju ke telepon.
“Halo..siapa ini?”
“Bungsu-san…”
Dug!
Jantung siBungsu berdegup.
“M..Michiko…?”
Sepi beberapa saat. Di antara ke sepian itu si Bungsu mendengar suara isak Michiko di telepon.
“Kau baik-baik saja,Michiko-san…?”
Tak ada jawaban selain isak tangis.
“Kau dimana Michiko..?”
“Los Angeles…” jawab Michiko pelan setelah lama terdiam.
“Michiko-san…..terimakasih kau telah meminta suamimu menyelamatkan diriku. Aku berhutang budi
padamu dan pada Mackenzie, terimakasih..”
“Bungsu-san…”
“Ya…?”
Sepi.
Si Bungsu hanya mnedengar suara terisak tertahan Michiko.
“Michiko-san…”
Sepi.
“Bungsu-san..”
“Ya…?”
“Jaga dirimu baik-baik…”
“Kau juga,Michiko…”
Sepi.. lama.
Lalu siBungsu mendengar gagang telepon di letakkan. Hubungan telepon itu terputus. SiBungsu menarik
nafas, berusaha menenangkan hatinya yang terguncang. Kemudian berjalan ke westafel di toilet.
Mencuci mukanya, lalu kembali bergabung dengan Ami Florence, Le Duan, Laksamana Jones dan
Alfonso Rogers. Saat mereka bicara, seorang datang berbisik ke pada Ami. Mengatakan ada telepon.
“Dari siapa?” tanya Ami yang masih bergelantungan ke tangan siBungsu.
“Roxy Rogers,Mam…” ujar orang itu.
“Oh,Roxy!” ujar Ami sambil menoleh pada Alfonso Rogers, ayah Roxy.
Alfonso Rogers mengangguk sopan.
“Ada pesan untuk Roxy?” tanya Ami pada siBungsu.
“Sampaikan salam ku padanya…” ujar siBungsu.
Ami menuju ke tempat telepon dan mengangkat gagang telepon.
“Hai..Roxy…” sapa Ami memulai bicara.
“Sudah selesai penjemputan?”
“Ya..ya! Terimakasih..Anda dimana?”
“Los Angeles. Sudahkah kau sampaikan terimakasihku pada siBungsu?”
“Sudah. Tapi ayahmu lebih duluan menyampaikannya…”
“Dia baik-baik? Maksudku siBungsu?”
“Ya,dia baik-baik..”
“Ami…”
“Ya…?”
“Ada yang ingin bicara denganmu…”
“Oya,siapa?”
“Tanya saja namanya pada yang bersangkutan secara langsung…” jawab Roxy.
Ami Florence menanti dengan heran.
“Halo, Ami…”

Dalam Neraka Vietnam-bagian-720

Ami Florence mengerutkan kening. Dia mencoba mengingat, suara siapa di


seberang sana? Thi Binh? Tak mungkin.Yang pasti suara perempuan.
“Eh..ya.Ya, saya Ami Florence! Maaf, dengan siapa saya bicara?”
“Kita memang belum pernah bertemu. Namun cerita tentangmu banyak ku dengar dari Roxy. Suami saya
sekarang ada bersamamu dan ayah Roxy, Tuan Rogers…”
Ami menatap keliling. Melihat siBungsu, laksamana Lee, Alfonso Rogers, Eddie MacMahon, Jhon
MacKinlay dan abangnya sendiri Le Duan.
“Thomas MacKenzie, dia suami saya….” ujar suara di telepon mengejutkan Ami yang sedang memikir-
mikir siapa suami perempuan yang meneleponnya ini.
“Ooo..suami anda yang menjemput siBungsu dan tiga tawanan lainnya..”
“Ya, selain saya yang meminta, dia juga bertekad melakukan hal itu…”
“Si Bungsu dan suami anda bersahabat?”
“Tidak, saya yang pernah jadi sahabatnya…”
Ami tertegun.
“Maaf Anda…?”
“Michiko. Nama saya Michiko. Anda pasti belum pernah mendengar nama saya, Nona Ami…”
Dug!
Jantung Ami berdegup kencang, hampi saja telepon yang di pegangnya terjatuh mendengar nama itu.
“Michiko Matsuyama…” desisnya perlahan.
Dug!.
Kini justru jantung Michiko yyang berdegup kencang, saat Ami Florence menyebut namanya secara
lengkap, kendati terdengar amat perlahan.
“Anda…?”
“Ya, siBungsu sering bercerita tentang anda, Mam…”
Dug!
Kini telepon di tangan Michiko lah yang hampr jatuh, mendengar ucapan Ami Florence barusan.
“Dd..Dia..”
“Dia bercerita betapa dia dan anda saling mencintai, Mam. Dia mencari Anda Sampai Ke Dallas,
namun…”
Mereka sama-sama terdiam. Sampai akhirnya terdengar suara Michiko lirih.
“ Nasiblah yang memisahkan kami…”
“No,Mam! Bukan karena nasib.Nasib bisa di robah dengan usaha. Apapun yang terjadi sehabis usaha
dan doa manusia, namanya takdir. Bila sudah takdir, tak seorangpun manusia yang bisa merubahnya.
Apa yang terjadi diantara kalian adalah takdir, karena kalian sudah berusaha sekuat daya untuk dapat
bersama. Anda sendiri datang dari Jepang mencarinya ke Indonesia. Usaha yang amat luar biasa. Dia
mencari anda ke Dallas, namun takdir kalian berkata lain, Mam….”
Sepi.
“Apa.. apakah dia masih…”
“Dia tidak hanya masih ”mengingatmu” Mam! Dia justru masih mencintaimu! Namun dia orang yang
sangat tahu diri dan faham benar bahwa di antara kalian ada garis yang tak boleh dia langkahi. Dia
mencintaimu bukan karena hanya ingin memilikimu, tapi ingin membuatmu bahagia. Dia takkan menikah
kalau orang yang dinikahinya Sengsara bersamanya, kendati dia amat mencintai wanita itu. Dia ikut
bahagia, kalau wanita yang dia cintai bahagia, kendati bukan bersamanya…”
Sepi lagi.
“Anda mencintainya, Ami?”
Dug lagi!
Sepi sesaat, sampai akhirnya terdengar suara Ami.
“Yas, Mam…”
Sepi sampai terdengar suara Michiko perlahan.
“Dia mencintaimu, Ami…?”
Sepi.
Lalu terdengar suara Ami lirih.
“No,..Mam. Dia mencintaimu. Malam-malam terkadang dia menggigau menyebut namamu, dan tersentak
bangun…” jawab Ami dengan amat jujur dan dengan suara amat tersendat.
Sepi....
Michiko mendengar Ami Florence terisak. Ami Florence mendengar Michiko terisak. Kedua perempuan
yang di pisahkan ribuan kilo meter, dipisahkan laut dan benua. Kedua mereka masih sama-sama
memegang telepon dengan diam.
“Ami…”
“Yes, Mam…”
“Maukah kau menjaganya, untuk kebahagianmu dan demi aku…?”
“Mam..??”
“Ami, please…“
“Sepi amat menekan. Terdengar suara Michiko kembali memanggil.
“Ami…:”
“Yes, Mam…”
“I love you…”
“I love you too..Michiko-san!”
Saat bergabung kembali dalam kelompok si Bungsu dan yang lain-lain, meski dia tersenyum namun si
Bungsu melihat ada bekas air mata di pipi gadis itu.
“Michiko yang menelponmu, Ami?” tanya si Bungsu lembut.
Ami menatapnya.
“Tadi dia juga meneleponmu, Dear?”
SiBungsu mengangguk. Ami Florence tak dapat menahan harunya.Tanpa dapat di tahan dia terisak.
SiBungsu memeluknya. Dia menumpahkan tangisnya di pelukan lelaki dari indonesia itu.
“I love you. I love you…!” bisik Ami Florence dalam pelukan siBUNGSU.
-0 TAMAT 0-
Diposting oleh Irvo Oktaviandi di 16.56

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 718

Dalam Neraka Vietnam -bagian 718


Dalam Neraka Vietnam-bagian-718

Tak ada jawaban apapun dari bibir Ami Florence.Mereka masih bertatapan dalam
diam.Lalu… gadis itu menghambur memeluk si Bungsu,memeluknya erat-erat dalam isak tangis
bahagia.Mereka berpelukan dalam tatapan haru semua yang ada di helipad itu.
“Jangan lagi kau tinggalkan aku,Bungsu.Jangan lagi,please..!”ujar Ami dalam isak tangisnya.
Hari itu juga mereka di antar dengan helikopter dari USS Alamo ke sebuah hotel mewah di
Manila,ibukota filipina.Malam harinya mereka berkumpul di restoran hotel yang sengaja di pesan untuk
acara pertemuan malam itu.Pertemuan sebagai rasa syukur atas pembebasan dan ucapan terimakasih
kepada si Bungsu.Ketika mereka memegang gelas minuman,sementara Ami Florence bergayut di tangan
si Bungsu,seseorang menepuk pundak Ami.
“Sorry,aku pinjam orang ini sebentar…”ujar sebuah suara sambil meraih tangan si Bungsu sebelum Ami
Florence sempat menoleh.
“Thi-thi..!”seru Ami Florence dan si Bungsu hampir bersamaan tatkala mengetahui siapa yang berkata.
Gadis itu terpaksa melepaskan tangan si Bungsu,karena dia segera di peluk Ami Florence.Mereka
berpelukan saling melepaskan rindu.Habis itu Thi Binh merenggangkan pelukannya lalu kembali bicara.
“Boleh ku pinjam orang asing ini sebentar?”ujarnya sambil kembali memegang tangan si Bungsu.”Boleh
asal jangan kau bunuh dia..”ujar Ami Flerence.
Si Bungsu terpaksa menuruti Thi Binh tatkala gadis itu menariknya keluar dari lingkaran orang banyak
itu.Tapi dia hanya membawa si Bungsu”menghindar” beberapa langkah.
“Waw,cantiknya kau,Thi-thi…”ujar si Bungsu saat tegak berhadapan saling menatap.
“Aku sudah minta izin pada Ami…”ujar gadis itu,lalu tanpa memberi kesempatan pada si Bungsu untuk
memikirkan ucapannya,masih dalam tatapan semua yang hadir,termasuk Ami Florence,gadis itu
memeluknya,menciumnya.
Lama sekali.
Si Bungsu terengah ketika ciuman itu selesai.Orang-orang pada bertepuk, termasuk Ami!
“Aku akan tetap mencintaimu…”ujar Thi Binh tertahan.Lalu dia kembali memegang tangan si Bungsu
membawanya kembali ke lingkaran orang banyak.Dan”menyerahkan”kepada Ami Florence.Dia masih
memegang tangan si Bungsu,saat Ami memeluk lengan lelaki itu yang sebelah lagi.Yang hadir kembali
bertepuk tangan.
Diposting oleh Irvo Oktaviandi di 16.54
tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 716-717
Dalam Neraka Vietnam -bagian 716-717
Dalam Neraka Vietnam-bagian-716

Namun dalam rekaman selanjutnya, nampaknya hari telah siang, kelihatan sesosok
berlari di antara belantara dan sekilas-sekilas menjadi jelas saat dia melewati rawa yang tidak ditutupi
daun kayu.
“Itu si Bungsu…!” serua Ami.
“Ya, itu si Bungsu..! “ ujar Kolonel MacMahon.
Mereka yang di ruangan itu saling berpandangan.
“Peristiwa di padang lalang saat heli menjemput kami, dan kami dihujani tentara Vietkong dengan
tembakan, kini terulang lagi. Dia kembali menjadikan dirinya umpan perluru, demi membebaskan tiga
tawanan lainnya. Oh Tuhan…!” ujar Kolonel MacMahon dengan suara bergetar.
Ami Florence tak mampu menahan isak tangisnya.
“Selamatkan dia, tolong selamatkan dia, please….” ujarnya.
“Ya… kita semua hadir di sini karena ingin menyelamatkannya. Karena tidak hanya kita, Amerika
berhutang amat besar padanya…” ujar multi-milyuner Alfonso Rogers.
“Tidak hanya kita, tiga atau empat tentara Vietkong itu sendiri, seorang di antaranya berpangkat kolonel,
yang ditolong oleh si Bungsu, diam-diam menginginkan kebebasannya. Itu informasi yang disampaikan
Dragon…” ujar Le Duan.
Laksamana Billi Yones Lee, Komandan USS Alamo kemudian bicara.
“Well, baiklah! Berbeda dengan operasi pencarian MIA atau operasi penyelamatan lainnya selama ini
yang dilakukan Amerika, tetapi jika terjadi sesuatu Amerika akan mengatakan ‘tidak tahu!’ Kemarin pagi
saya diinformaskan akan kedatangan Tuan-tuan di bawah koordinasi Tuan Rogers. Setelah itu dari
Pentagon ada perintah langsung dari Kepala Staf Panglima Gabungan, jemput si Bungsu, Amerika akan
menghadapi apapun risiko politiknya. Apapun! Saya yakin, perintah dan sikap Amerika seperti itu hanya
di mungkinan karena tekanan Tuan-Tuan dan Anda, Lady. Terutama Tuan Alfonso Rogers dan Kolonel
MacMahon dan Jhon McKinlay…”
“Anda terlalu merendah, Laksamana. Saya berada di Pentagon ketika Anda membentak-bentak seorang
jenderal di sana. Menyuruh mereka memasang telinga saat Anda menceritakan apa yang dilakukan si
Bungsu untuk membebaskan 17 tentara Amerika, dan menghancurkan beberapa boat perang Vietkong
menyelamatkan Ami Florence dan Le Duan…” ujar Alfonso Rogers memotong.
Laksamana itu tersipu.
“Ya, apa yang dilakukan orang asing itu belum tentu mampu dilakukan satu kompi pasukan kita yang
amat tangguh sekalipun. Di atas segalanya, kesediaannya menjadikan dirinya umpan peluru untuk
menyelamatkan heli dan para tawanan Amerika, membuat saya tak tidur berhari-hari. Dia sendirian di
padang lalang itu, ditembaki dan ditangkap…” ujarnya.
Semua tertunduk mengingat peristiwa tersebut. Lalu Laksamana itu menyambung.
“Kita sudah sediakan tiga heli tempur. Sebuah untuk mengambil mereka di dekat air terjun itu, dua buah
untuk mengawal. Perintahnya amat jelas, bawa mereka pulang, terutama si Bungsu, apapun
risikonya….!”
“Saya telah mendapatkan persetujuan Pentagon untuk memiloti heli penjemputan….” ujar Thomas
MacKenzie, suami Michiko yang mantan pilot udara Perang Dunia II itu.
“Ya, saya sudah diberitahu. Terimakasih, kami memang amat membutuhkan pilot yang berpengalaman.
Dua pilot lain siap mengawal Anda…” ujar Laksamana Lee.
“Saya ikut heli yang menjemput…?” tiba-tiba Ami Florence menyela.
“Maaf, Lady. Kali ini usulan Anda terpaksa saya tolak. Demi kesuksesan operasi yang harus amat cepat
ini. Dia tiap heli, selain pilot masing-masing hanya ada dua penembak yang menjaga di mitraliur. Satu di
kiri, satu di kanan. Oke, masukkan koordinat wilayah air mancur itu ke komputer di tiap heli. Sekarang
jam tiga, ada waktu sekitar empat jam mencapai tempat itu. Anda hanya bisa memakai lampu sorot
setelah dekat air terjun itu, MacKenzie. Waktu untuk Tuan mempersiapkan diri ada lima menit,
McKenzie….”
“Yes, Sir!” ujar veteran Perang Dunia II itu, sambil bergegas keluar menuju heli yang menanti dalam
keadaan mesin sudah dihidupkan.
Mereka menatap keberangkatan tiga helikopter itu dari anjungan komando. Menatapnya hingga jauh,
hingga hanya kelihatan seperti seekor burung kecil, kemudian seperti titik. Saat ketiga heli itu lenyap di
kaki langit, Ami dikejutkan oleh ucapan letnan di komputer tadi.
“Mam, ada yang ingin bicara padamu di telpon….”
“Saya?”
“Siapa?”
“Nona Roxy….”
Ami menoleh pada Alfonso Rogers, ayah gadis yang ingin bicara melalui telepon dengannya. Lelaki tua
itu tersenyum.
“Hallo, Roxy..” sapanya setelah memegang telpon.
“Hai, Ami. Senang dapat lagi bicara dengan Anda. Saya diberitahu ayah, Anda akan bertemu dengannya
di USS Alamo….”
“Ya, Ayahmu ada di sini sekarang. Anda dimana, Roxy?”
“New York. Sudah berangkat penjemputan untuk si Bungsu…?”
Ami tertegun. Dia menatap pada ayah Roxy yang sedang ngobrol perlahan dengan Laksamana Lee.
“Anda sudah tahu adanya operasi penjemputan itu…?”
“Saya mendesak Ayah untuk mempergunakan pengaruhnya. Kita semua berhutang nyawa padanya,
kan? Sudah berangkat yang menjemput si Bungsu, Ami…?”
“Y..Ya! Sudah….”
“Kita doakan bersama mudah-mudahan tak ada halangan. Apalagi Thomas MacKenzie yang menjemput
adalah pilot pesawat tempur yang amat bisa diandalkan….”
“Ya, kita bersama mendoakan.. Roxy….”
ADALAH Cowie pertama tersentak bangun dari tidurnya yang nyenyak karena mendengar suara aneh di
antara suara air terjun. Dia membangunkan kawan-kawannya yang bergelimpang di dalam goa di balik
air terjun itu.
“Suara heli…!” bisik si Bungsu.
Mereka bangkit dan bergegas ke tabir air terjun yang menutup goa persembunyian mereka. Tiba-tiba
sorot lampu heli menerangi air terjun itu. Lalu lampu sorot itu dimatikan. Kemudian dihidupkan. Mati,
hidup lagi terputus-putus.
“Morse! Itu heli Amerika menjemput kita…!” seru Kopral Jock Graham setelah mengartikan kerdipan
lampu yang dipergunakan seperti morse bagi kapal-kapal di laut.
Mereka keluar dari balik air terjun itu, di bawah sorot lampu heli menuruni bukit batu tersebut dengan
cepat. Heli itu mengapung rendah di hamparan pasir lebar di tepi sungai di bawah air terjun itu. Mereka
berempat berlarian ke sana. Letnan Cowie yang Negro itu pertama sampai di dekat heli. Namun dia tak
segera naik, dia menunggu yang lain. Yang pertama naik adalah Kopral Jock Graham, kemudian Sersan
Tim Smith, kemudian si Bungsu. Baru dia menyusul.
“Lengkap! Go.. go.. go…!!” seru sersan penjaga mitraliur di bagian kanan setelah semuanya naik.
Seiring dengan melambungnya heli itu dengan cepat ke atas, terdengar suara.
“Hallo, Bungsu. Welcome home…!”
Si Bungsu kaget mendegar panggilan itu. Dia menoleh ke arah orang yang menyapanya, yang tak lain
dari pilot heli itu. Meski dia memakai helm pilot, namun si Bungsu mengenalnya dengan baik.
“MacKenzie…” seru si Bungsu sambil mengulurkan tangan, disambut dengan salaman yang kukuh dan
hangat oleh suami Michiko itu.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-717


Kemudian mereka menumpahkan perhatian pada pelarian itu. Sebab, sesaat setelah mereka
bersalaman, mereka mendengar tembakan dan melihat perluru seperti kembang api menyembur-
nyembur dari dua heli yang lain ke arah depan mereka. Saat itu keempat pelarian itu baru menyadari
bahwa selain heli yang mereka naiki masih ada dua heli lain yang mengawal.
“Sir, ada empat pesawat tempur memburu kita…” ujar co-pilot yang mendampingi MacKenzie.
“Yap, kita layani!” ujar MacKenzie sambil membuat manuver tajam ke kanan menghindari terkaman
peluru yang amat jelas kelihatan datangnya dalam kegelapan malam.
Tak jelas apa jenis pesawat yang memburu mereka. Tapi kini ketiga heli itu saling sama-sama
menyerang, menghindar dan melindungi. Mereka tak lagi memper dulikan kemana arah mereka. Yang
penting mereka menghindar, atau balas menembak sambil terbang berputar atau melambung ke kiri, ke
kanan, berbalik ke belakang. Sampai suatu saat sebuah ledakan dan bola api besar terlihat di samping
kanan mereka.
“Cobra kena, hancur…!” ujar co-pilot MacKenzie.
Namun pada saat yang bersamaan, dua buah pesawat tempur yang sedang menyembur-nyemburkan
peluru ke arah mereka, yang berada di bahagian depan kiri dan kanan mereka, terlihat menjadi bola api.
Yang satu ditembak MacKenzie, yang satu lagi ditembak heli pengawal yang tersisa. MacKenzie
menembak sambil meliuk-liukkan terbang helinya.
“Shit, kita kena…!” ujar MacKenzie setelah terasa sebuah guncangan kecil.
“Ya, kita kena…!” seru copilot.
Sekilas keempat pelarian itu melihat asap putih menyembur dari bahagian bawah hidung heli. Namun
setelah itu tak ada serangan apapun. Kedua pesawat Vietkong yang tersisa lenyap dari udara.
“Mereka menghindar karena tadi kita bertempur di atas wilayah Kamboja…” ujar MacKenzie.
“Kita juga harus menghindar, Sir…” ujar copilot.
“Tenang, Panglima AU-nya junior saya waktu di West Point…” ujar MacKenzie.
Belum habis ucapannya di radio terdengar perintah untuk menjelaskan identitas mereka dari pesawat
Angkatan Udara Kamboja. Hanya selang beberapa saat, dua pesawat pemburu Kamboja sudah berada
di bahagian kiri kanan mereka. MacKenzie menjelaskan mereka AU Amerika, dan sebelum dialog
berlanjut dia langsung saja menyapa Panglima AU Kamboja, sambil menjelaskan siapa dirinya dan posisi
rumitnya saat ini karena pesawatnya kena tembak. Hal itu dia lakukan karena dia yakin Panglima itu
sedang memonitor pembicaraan antar-pilot pesawat tempur yang sedang di udara itu.
Hal itu dipastikan, karena negara manapun yang dimasuki pesawat tempur asing tanpa konfirmasi pasti
dilaporkan langsung kepada Panglima AU-nya. Panglima AU Kamboja yang empat tingkat di bawahnya
saat di West Point, kalang kabut dan membuat rencana kilat untuk membantu. Dia memberi petunjuk
agar MacKenzie mendaratkan pesawatnya di sebuah bekas lapangan Angkatan Udara negara yang
bernama asli Kampuchea itu. Dia segera mengirim teknisi dan mobil tangki bahan bakar. Kerja kilat
sepuluh teknisi dan mengisi bahan bakar itu selesai menjelang subuh.
Saat kedua heli itu kembali mengudara, tiga pesawat tempur Kamboja mengiringi seolah-olah “mengusir”
heli Amerika itu dari wilayahnya. Dalam waktu singkat lima pesawat itu lenyap dalam kabut subuh. Heli
itu terlebih dahulu digiring ke arah selatan, ke arah Teluk Siam. Setiba di atas Laut Cina Selatan lalu
melambung ke kiri, ke arah Philipina. Di perairan internasional baru kedua heli itu “dilepas”, namun tetap
diawasi kalau-kalau disergap pesawat tempur Vietkong. Setelah dirasa aman, barulah pesawat tempur
kamboja balik ke pangkalannya. Usailah skenario yang “dirancang” Panglima AU Kamboja itu dengan
Thomas MacKenzie, senior yang dia hormati saat di Akademi Militer Amerika dulu.
Ketika mereka turun di helipad, tempat pendaratan heli di USS Alamo, mereka benar-benar disambut
dengan upacara yang istimewa. Si Bungsu heran, karena orang-orang yang dia kenal ada di kapal
perang itu. Ada Alfonso Roger, multimilyuner yang “membayarnya” untuk mencari anaknya Roxy Rogers.
Ada Jhon McKinlay, pahlawan Hamburger Hill teman Alfonso. Ada Kolonel Eddie MacMahon, perwira
SEAL yang dia bebaskan bersama Roxy. Ada Le Duan dan… Ami Florence!
“Hai, Ami. Senang bertemu kembali denganmu…” ujar si Bungsu saat mereka tegak bertatapan dalam
jarak sedepa.
Diposting oleh Irvo Oktaviandi di 16.53
tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 714-715
Dalam Neraka Vietnam -bagian 714-715
Dalam Neraka Vietnam-bagian-714

“Buktinya,perempuan-perempuan yang pernah saya cintai,menikah dengan lelaki


lain,atau meninggal dunia…”
“Itu bukan karena kutukan,tapi karena engkau gentayangan terus ke segala penjuru.Tidak menetap di
suatu tempat.Kalau mengembara terus-terusan,jangankan menikah,untuk memakai celana pun kau tak
sempat…”ujar Cowie kesal,di iringi tawa terkekeh Jock Graham.
Tapi setelah itu mereka terdiam.Yang terdengar hanya curahan air terjun dan dengkur Smith.Sampai
akhirnya Cowie bertanya sebelum menguap lebar.
“Saya heran,meski kau katakan kesini untuk membebaskan Roxy rogers,lalu terlibat berperang,tapi apa
urusannya dengan hidupmu kawan..?”
Ya,usahanya membebaskan tawanan dan terlibat peperangan,apa urusannya dengan hidup nya?Si
Bungsu terdiam sesaat,lama baru dia menjawab.
“Paling tidak,saya ke Vietnam ini menolong seorang ayah untuk menemukan kembali putrinya.Engkau
sendiri,untuk apa kau berperang di Vietnam ini,Cowie…?Cowie terkejut dengan serangan’balik’si
Bungsu.
“Untuk negeri saya Amerika…”
“Apakah Vietnam menyerang negeri kalian..?”Cowie terdiam beberapa saat.
“Kami membela Vietnam Selatan atas jajahan Vietnam Utara…”
“Berhasilkah pembelaan kalian itu,Cowie…?”
Cowie tak menjawab,karena dia tahu Bungsu tak butuh jawaban dari pertanyaan itu,dunia juga
tahu.Jangankan untuk”membela Vietnam Selatan”seperti yang di koar-koarkan,justru Amerika yang di
bikin terbirit-birit oleh negeri yang katanya ‘sangat terbelakang’ ini.Kekalahan tidak hanya
memalukan,tetapi juga harus di bayar mahal dengan ribuan korban,yang semuanya hampir generasi
muda Amerika,yang terenggut di berbagai kota di Dalam Neraka Vietnam ini.
Sebagian lagi pulang ke Amerika dengan membawa cacat tubuh atau cacat mental permanen.Si Bungsu
yang juga mengantuk memang tidak memerlukan jawaban Cowie atas ‘serangan balik‘nya tadi.Dalam
keheningan malam yang makin larut akhirnya mereka tertidur di dalam goa di balik air terjun.
Hari itu ada sesuatu yang tidak biasa di kapal perang USS Alamo yang sedang buang jangkar di lepas
pantai salah satu pulau milik Philipana,tapi posisinya cukup dekat ke natuna,kalimantan dan pantai
bagian selatan vietnam selatan.Sebagian besar pasukan sedang naik ke darat.Di kapal itu hanya ada
beberapa orang perwira,lawak radar dan komputer serta komandan kapal Laksamana Billy Jones
Lee.Menjelang tengah hari sebuah heli mendarat di helipad kapal itu,dan Laksaman Lee langsung
menyambut orang-orang yang sedang turun dari heli itu.
Mereka langsung ke ruang komando dimana terdapat komputer canggih dan layar kaca bening
berukuran 2×2 meter dengan tampilan peta wilayah Vietnam selatan.Sesaat setelah tamu-tamu itu
berada diruangan komando,dalam posisi sama-sama berdiri,Laksamana Lee saling memperkenalkan
tamunya.
“Senang bertemu dengan tuan-tuan dan anda,Lady.Baik,walau sudah ada yang sudah saling kenal,saya
kenalkan Lady ini adalah Ami Florence,mata-mata Amerika Di Vietnam selatan yang banyak sekali
jasanya kepada Amerika,ini Abang nya Tuan Le Duan.sama seperti adiknya,adalah mata-mata
amerika.Ini Tuan Alfonso rogers,donatur yang banyak menyumbang angkatan laut Amerika,termasuk
Kapal USS Alamo dimana kini kita sedang berada.Ini Tuan McKinlay,kolonel perang Veteran dan
pahlawan dari Hamburger Hill,dia kehilangan sebelah kaki di sana.Ini tuan eddie macmahon,kolonel
SEAL yang di bebaskan seoarang indonesia bersama Roxy,putri Tuan Alfonso.Ini Tuan Thomas
Mackenzie,mantan pilot tempur perang dunia II.Nah,lengkap sudah.
Kita semua berkumpul disini karena sangat berkepentingan atas keselamatan seorang
Indonesia,bernama Bungsu.Dia masuk ke Vietnam sekitar enam bulan yang lalu.Semula atas permintaan
tuan Rogers yang minta di carikan putrinya,roxy Rogers yang hilang di Vietnam sekitar tiga tahun yang
lalu.Sebelum dia mencari Roxy,dia terlebih dahulu menyelamatkan Ami Florence dan Lee
Duan,menghancurkan tiga speedboat perang Vietnam,kemudian mencari dan membebaskan 15 tawanan
Amerika,lima wanita Amerika,dan sepuluh lelaki.Termasuk Roxy dan MacMahon..”ujar Lee.
Tiba-tiba Alfonso Rogers maju selangkah lalu bicara.
“Maaf,ada yang harus saya katakan tentang orang ini,saya memang membayar nya dengan sangat
mahal,asal putri saya bisa bebas.Itu sudah saya lakukan dua tiga tim tapi semuanya gagal.Namun orang
ini,tak satu dolarpun uang saya dia terima.Bahkan tiket pesawat yang saya berikan melalui
Yoshua,sahabatnya yang orang Indian.Saat melibas anggota Ku Klux klan,tidak dia pakai.Saya tidak tahu
harus menyampaikan terimakasih saya…”

Dalam Neraka Vietnam-bagian-715


Semua orang terdiam mendengar penjelasan itu.Seorang letnan wanita bagian komputer datang
membawakan minuman.Masing-masing mereka memegang gelas Coca Cola,Anggur atau Lemon.Lalu
terdengar lagi Laksaman Lee bicara.
“Dengan satu atau lain sebab orang itu kini berada dalam Neraka Vietnam yang apinya masih menyala
besar.Tidak hanya Tuan-tuan dan Anda Ami,yang menginginkan lelaki itu di bebaskan,saya juga.Apapun
caranya!sudah berbulan-bulan ini kita kehilangan kontak dengannya,sejak dia mengalihkan serangan
yang di tujukan ke heli yang di naiki Kolonel MacMahon,Roxy dan kawan-kawan.Sekarang silahkan
Ami…”
Ami Florence maju,meletakkan gelasnya di meja kecil.Mendekati kaca bening 2×2 meter dimata
tergambar peta Vietnam Selatan itu.Lalu bicara.
“Lewat jalur informasi yang rumit,saya mendapat info dari’dragon’ di daratn Vietnam.Si Bungsu terakhir
berada di desa ini..”ujar Ami sambil menunjuk sebuah titik dekat sebuah sungai di peta di kaca bening
tersebut.lalu dia melanjutkan.
“Dia menyebuhkan kanker paru stadium empat kolone yang menjadi komandan garnizun Vietkong.Dia
juga menyelamatkan nyawa sersan Lok Ma,pencari jejak handal vietkong,saat memburu rombongan
Roxy dan macmahon.Namun keadaan berubah drastis saat Politbiro komunis di kota Da Nang yang
mengirm tentara pasukan dan milisi PKI.Si Bungsu di sekap di sebuah lobang tanah bersama tiga tentara
Amerika yang sudah lebih awal di sekap.Beberapa minggu di tahan,mereka bisa melarikan diri.Di buru
satu peleton tentara,namun tak pernah tertangkap.Jejak mereka lenyap di rawa di daerah ini,namun Lok
Ma menduga mereka menuju arah barat,ke arah heli yang pernah mwenjemput roxy dan
macMahon…”ujar Ami Florence sambil menunjuk peta.
“Mereka memburu sesuai petunjuk Lok Ma?”tanya MacKenzie suami Michiko.
“Tidak…”
“Kenapa?”
“Dia bersama kolonel yang di obat si Bungsu kanker parunya,mencari jalan mengabarkan hal itu pada
pihak Amerika.Mereka berdua merasa berhutang nyawa pada si Bungsu.Dragon mendapatkan bocoran
itu,dan mengirimkan kabar pada kami…”ujar Ami.
Mereka saling bertukar pandang.Mereka semua mempunyai kaitan langsung maupun tidak dengan si
Bungsu.
“Well.anak saya meminta saya melakukakan apa saja menjemput lelaki itu.Lebih dari pada itu,setelah
anak saya dia bebaskan.Saya bersedia bertukar nyawa dengan dia…”ujar ALfonso Rogers.
“Jika Amerika merasa tak berhutang apapun padanya,saya dengan empat belas anak buah saya yang di
sekap selama tiga tahun,takkan pernah bisa membayar hutang atas apa yang dia lakukan buat
membebaskan kami…”ujar Kolonel macMahon.
“Oke,sekarang kita mari ke komputer besar itu.Letnan anda tunjukan apa yang anda peroleh dari satelit
mata-mata…”ujar Laksaman lee pada perwira wanita yang tadi membawakan minuman.
“Yes,Sir….”Lalu mereka mengambil posisi di belakang perwira itu,yang telah menghidupkan
komputernya.
“Kami berhasil dan menelusuri dan menemukan wilayah yang informasinya di peroleh nona Ami Florence
dari Dragon dengan memakai pencitraan satelit mata-mata Amerika.Satelit hanya bisa melacak jika di
lokasi itu ada panas yang di picu oleh pembakaran Amunisi.Konkritnya jika di tempat itu terjadi tembak
menembak.Satelit menemukan dan merekamnya.Satelit merekam terjadinya pertempuran sepeleton
pasukan dengan satu orang.Satelit juga menemukan tiga orang lainnya bergerak ke barat,menjauh areal
tembak-menembak.Informasi dari Dragon tampaknya sesuai dengan di lapangan.Si Bungsu dan tiga
tentara Amerika lainnya lari di kejar pasukan Vietkong.Satelit juga berhasil melacak keempat pelarian itu
kini berada di sini,sekitar iar terjun ini…”papar letnan wanita itu sambil menunjuk layar komputer.
Semua mereka yang di ruangan itu mempelototi layar komputer tersebut.
“Apakah ini di rekam?”tanya Ami.
“Maksudnya..?”
“Kalau di rekam tolong di rewind ke saat pertempuran.Saya ingin menegathui siapa yang menahan
tentara Vietkong itu…”ujar Ami.
Letnan bagian komputer USS Alamo itu menoleh kearah Laksamana Lee,Laksamana itu mengangguk.
“Yes,Mam…!”ujarnya pada Ami Florence.
Letnan itu menekan tombol di komputer,lalu memutar ulang video itu.Malam terlalu gelap,apalagi di
dalam belantara.Tidak ada manusia yang kelihatan hanya kilat-kilatan peluru.
Diposting oleh Irvo Oktaviandi di 16.52
tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 711-712-713
Dalam Neraka Vietnam -bagian 711-712-
713
Dalam Neraka Vietnam-bagian-711

Sebenarnya, kalau pun dia membawa senjata, belum tentu apa yang dia ucapkan
akan terjadi. Bahwa dia akan menembak mati lelaki yang menyerongi isterinya itu. Sebab, saat dia
menangkap basah kedua orang itu, Smith tak sempat menghajar lelaki yang meniduri isterinya di kamar
hotel tersebut. Dia hanya tertegak mematung. Dia tak yakin bahwa isterinya akan berselingkuh seperti
itu. Dia masih tegak mematung di pintu kamar yang jebol dia tendang sampai polisi militer datang. Dia,
isterinya dan lelaki teman sekantor isterinya itu dibawa ke kantor polisi militer.
Dari pengakuan isteri dan teman kencannya itu kepada polisi militer, terungkap bahwa perbuatan tak
senonoh itu sudah mereka lakukan tiga kali seminggu selama dua tahun. Hampir selama Smith berada di
kancah perang Vietnam. Mendengar pengakuan kedua orang itu, Smith merasa sangat terpukul. Ketika
dia menyabung nyawa di medan perang, dalam belantara yang amat ganas di Vietnam, isterinya hampir
setiap malam menyerahkan tubuh dan kehormatannya pada lelaki lain. Saat dia dihujani peluru, atau
sedang diburu tentara Vietnam, isterinya ternyata tengah mengumbar nafsu. Ketika dia berada di antara
mayat rekan-rekannya yang bertumbangan satu demi satu, di Amerika isterinya sedang bermandi
keringat mendengus-dengus dalam dekapan lelaki lain. Padahal, kemana pun dia pergi, foto mereka
bertiga, dia-isteri-anaknya, selalu setia dalam dompetnya
. Hampir setiap hari dia melihat foto tersebut dengan sepenuh rindu. Siapa menduga, pada saat-saat
seperti itu, isterinya ternyata menikmati hari-harinya dengan gejolak birahi tak terkendali. Smith merasa
dunianya benar-benar tenggelam. Dia tak mampu berkata sepatahpun. Bahkan ketika polisi militer
bertanya apakah dia akan menuntut atau tidak, dia hanya menunduk lemah. Kemudian berdiri. Menatap
sesaat pada lelaki yang telah ratusan kali menyebadani isterinya itu. Lelaki itu menunduk. Tak berani
menatapnya. Kemudian ditatapnya isterinya yang sedang menangis terisak-isak. Hanya sesaat dia tatap.
Kemudian dia melangkah keluar. Tawaran polisi militer untuk mengantarkannya pulang ditolaknya. Dia
pulang naik taksi. Di rumah dikemasinya pakaiannya dan pakaian anak lelakinya yang berusia tiga tahun.
Kemudian dia pergi. Dia pulang ke rumah orang tuanya. Dititipkannya anaknya itu di sana. Ketika ibu dan
ayahnya bertanya apa yang terjadi, dia hanya menarik nafas. Menatap penuh perasaan hiba kepada
anaknya. Kemudian menjawab pertanyaan si ibu sekadarnya, bahwa perkawinannya sudah berakhir. Dia
tak menceritakan sepatah pun apa yang telah dilakukan isterinya. Kemudian dia menghabisi hari-harinya
di bar. Minum sampai mabuk, tidur di jalanan. Suatu malam dia dirampok segerombolan pemuda. Ada
tujuh orang jumlahnya. Ketika dia tak mau menyerahkan dompet, jam dan cincin kawin yang masih dia
pakai, ketujuh pemuda itu menghajarnya sampai babak belur. Aneh, kendati dia bisa melawan, namun
dia tak melawan sedikit pun. Sebagai tentara aktif yang baru seminggu dari medan perang Vietnam, dia
masih memiliki naluri seperti hewan liar dan kemampuan tarung individual yang tak bisa dikatakan
rendah. Namun Smith seperti membiarkan dirinya dihajar. Hidung, mulut dan matanya berdarah. Semua
uang, jam dan cincinya disikat. Dia sadar di rumah sakit.
Sekeluar dari rumah sakit, dia ke markas minta cutinya diakhiri dan segera minta dikirim kembali ke
Vietnam. Dia bertemu dengan PL Cowie, yang saat itu masih berpangkat sersan dan menjabat
komandan regunya. Mereka bertemu di markas sehari sebelum diberangkatkan kembali ke Vietnam.
Ketika Cowie bertanya apa yang terjadi, Smith hanya menatap kosong, seperti orang yang tak punya
semangat untuk hidup. Kemudian dia meninggalkan Cowie. Cowie mendengar apa yang menimpa Smith
dari perawat di rumah sakit. Esoknya Cowie mendatangi rumah Smith. Namun di rumah itu yang ada
hanya isteri Smith yang sedang duduk menangis. Dan perempuan itu, yang kesadarannya datang sangat
terlambat, mengatakan bahwa dia sudah berpisah dengan Smith. Hanya itu. Dia tak bercerita apa
penyebabnya.
Ketika Cowie datang ke markas, dia mendapat kabar bahwa paginya Smith sudah berangkat ke Vietnam,
bersama pasukan yang mendapat giliran tugas di sana. Sersan Negro itu menemui dua anak buahnya
yang sama-sama masih dalam cuti dengannya. Dia ceritakan apa yang dialami Smith. Kemudian mereka
mulai mencari dimana peristiwa itu terjadi. Tak begitu sulit bagi mereka menemukan gerombolan tujuh
anak-anak muda berusia antara dua puluh sampai tiga puluhan itu. Seorang anak muda yang menjadi
saksi mata saat perampokan itu memberitahu mereka pada suatu malam, bahwa ketujuh anak muda itu
berada di sebuah bar. Mereka masuk duluan ke bar yang penuh oleh pengunjung itu. Tak lama kemudian
anak muda yang jadi saksi itu, memberi isyarat dengan sudut mata ke sebuah meja.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-712


Di sana ada tujuh anak muda berambut panjang dan pakaian semaunya, bersama empat cewek yang
nyaris tanpa pakaian. Cowie dan ke dua anak buahnya mendatangi meja itu. “Halo….” sapa Cowie. Ke
tujuh anah muda itu melihat yang menyapa mereka seorang Negro berambut pendek. Kemudian ada dua
lelaki kulit putih yang juga berambut pendek. “Niger, apa maumu…?” ujar salah seorang yang bertubuh
kekar. Salah seorang anak buah Cowie berpangkat kopral hampir saja memulai menghajar lelaki itu.
Namun Cowie memberi isyarat untuk jangan memulai dulu
. “Kami mencari seorang rekan. Kabarnya kalian pernah bertemu dengan dia seminggu yang lalu…” ujar
Cowie. “He Niger! Enyah segera dari sini, aku tak tahan baumu yang busuk. Kau pergi atau kuhancurkan
hidungmu…” ujar anak muda itu petentengan. Kemudian seusai bicara, dengan brutal dia mengecup
dada montok cewek di pangkuannya. Demikian bernaf sunya dia, sehingga ketika mulutnya beranjak dari
dada wanita itu, di pangkal dada yang putih dan membukit tersebut kelihatan warna merah ke hitam-
hitaman. Cowie mengambil sesuatu dari kantong bajunya. Kemudian mengeluarkan foto Smith
berpakaian dinas ukuran 4 x 6. “Kalian mengenal teman kami ini?” ujar Cowie menyodorkan foto itu ke
meja. Si lelaki kekar, tanpa menatap foto itu segera saja menancapkan sebuah pisau besar ke foto yang
baru beberapa detik diletakkan Cowie di meja. Dan itu adalah awal keributan. Lelaki itu jelas lebih besar
dari Cowie. Namun tangan kiri Cowie segera menjambak rambutnya. Lalu tangan kanannya menghajar
mulut dan hidung lelaki itu dengan pukulan berkali-kali. Enam bajingan lainnya belum sempat berdiri,
ketika mereka disikat habis-habisan oleh teman Cowie.
Bar itu segera berubah menjadi kancah baku tinju antara sesama pengunjung. Akhirnya sepuluh polisi
militer datang. Tentu saja mereka segera mengenal Cowie. Karena Cowie memang dikenal secara luas
di antara tentara di kota itu. Cowie menceritakan secara singkat kenapa keributan itu terjadi. Ke tujuh
pemuda itu, yang semuanya sudah babak belur, digelandang ke kamp polisi militer.
Pada si lelaki kekar yang hidungnya remuk dan giginya copot tiga buah dihajar Cowie, ditemukan dompet
dan jam Smith. Mereka lalu dihajar habis-habisan oleh polisi militer. Kemudian semua bajingan tengik itu
dijebloskan ke sel tentara. Setelah masa cutinya habis dan kembali bertugas ke Vietnam, Cowie tak
bercerita apapun pada Smith. Kedua teman Smith yang ikut menghajar ketujuh orang itulah yang
bercerita. Semula tak ada reaksi apapun dari Smith. Dia berubah jadi sangat pendiam. Namun ketika
nyawanya diselamatkan Cowie dari ledakan granat dalam suatu pertempuran, Smith akhirnya tunduk. Dia
mendatangi komandannya itu menyampaikan terimakasih.
Kisah tentang isteri Smith itu dituturkan Cowie pada larut malam, tatkala Smith sedang tidur
mendengkur. Si Bungsu menarik nafas panjang mendengar cerita tersebut. Jock Graham yang ikut
mendengar cerita itu hanya termangu. Perang Vietnam memang tidak hanya merobek-robek negeri dan
bangsa Vietnam. Perang dahsyat itu juga menimbulkan berbagai krisis di Amerika. Baik di pemerintahan,
maupun di kalangan rakyatnya. Di kalangan pemerintahan bukannya rahasia lagi, kalau tak semua
mereka yang di Gedung Putih setuju Amerika terlibat dalam perang di Vietnam. Di kalangan rakyatnya,
terutama di kalangan para prajurit yang dikirim ke Vietnam, berbagai masalah juga timbul. Masalah
hancurnya rumah tangga ratusan prajurit, sebagaimana dialami Smith, adalah persoalan yang tak mudah
dicarikan jalan keluarnya. Belum lagi soal pengangguran. Sebahagian besar tentara yang dikirim ke
Vietnam adalah anak-anak muda yang terkena wajib militer.
Persoalan timbul setelah mereka kembali dari Vietnam, kemudian masa dinas wajib militernya berakhir.
Amat sedikit sekali jumlah wajib militer yang bisa diterima menjadi tentara reguler setelah masa wajib
dinasnya usai. Mereka yang selamat keluar dari perang Vietnam umumnya mengalami sindroma pasca
perang. Kekerasan di medan perang dalam bentuk sikap “dibunuh atau membunuh” dalam menghadapi
ancaman, menyebabkan mereka tak segera bisa menerima perlakuan tak adil di tengah masyarakat.
Para bekas wajib militer ini sebahagian menjadi penganggur, sebahagian menjadi buruh kasar,
sebahagian mencoba berusaha apa saja. Sebahagian lagi justru ada yang menjadi bandit.
Namun secara umum, para veteran Perang Vietnam menganggap mereka diperlakukan pemerintah
dengan sikap ‘habis manis sepah dibuang’. Untuk memperlihatkan bahwa Amerika adalah negara
superkuat, polisi dunia dan berbagai simbol kehebatan lainnya, pemerintah mewajibkan seluruh pemuda
yang sudah dewasa untuk mengikuti wajib militer. Sebelum diterjunkan ke medan perang mereka
diindoktrinasi. Kepada mereka ditanamkan keyakinan bahwa Vietnam Utara yang mereka perangi adalah
komunis yang bukan hanya musuh Amerika, tetapi juga musuh dunia. Itu berarti tentara Amerika tidak
hanya menyelamatkan Amerika, tetapi sekaligus menjadi pahlawan bagi bangsa-bangsa sedunia.
Belasan ribu tentara Amerika terbunuh dalam perang panjang yang amat kejam dan keji itu. Sebahagian
besar di antaranya adalah anak-anak muda berusia tujuh belasan sampai 20-an tahun. Sebahagian lagi
pulang membawa cacat tubuh permanen, yang takkan bisa baik seumur hidup, betapapun canggih dan
tingginya ilmu dan teknologi Amerika.
Mereka, termasuk sebahagian lagi yang selamat fisik namun pulang dengan tekanan mental,
mendapatkan diri mereka tak dihargai sama sekali. Baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah yang
semula menyanjung-nyanjung mereka. Mereka benar-benar merasa diperlakukan sebagai tebu, yang
habis manis sepah dibuang. Lama keadaan menjadi sunyi di dalam goa di balik air terjun itu, usai Cowie
menuturkan apa yang dialami Smith. Si Bungsu menatap air terjun yang seperti selendang yang seolah-
olah menjadi tirai menutupi pintu goa di mana kini mereka berbaring. Goa itu terasa panas, karena Cowie
membawa bara api unggun yang sore tadi mereka buat di luar sana. Bara api itu kemudian mereka
tambah dengan dahan-dahan kering. Lama-lama kayu itu ikut terbakar.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-713


Dengan cara seperti itu, goa itu tidak hanya menjadi terasa hangat tetapi juga tak bernyamuk. Di bara
yang menyala itu Smith dan Jock Graham membakar daging rusa. Kendati sudah dua hari mereka
makan daging rusa yang ditimpuk si Bungsu itu, ternyata masih saja banyak yang tersisa. Selain itu,
Cowie menebang tiga batang pisang emas yang buahnya sudah masak. Kemudian mengumpulkan
sekitar sepuluh buah durian besar-besar. Sebelum tidur mereka duduk atau berbaring di sekeliling api
unggun. Bercerita sambil mengunyah daging rusa panggang.
Kemudian memakan cuci mulut berupa pisang atau durian. Jika memerlukan air minum, mereka
melangkah ke air terjun. Lalu mengangakan mulut lebar-lebar. Dalam waktu beberapa detik air jernih dan
bersih akan masuk satu atau dua drum ke dalam perut mereka. Waw, nikmatnya bukan main!
Bagi mereka tak ada lagi soal akan kena penyakit disentri atau menceret karena minum air mentah.
Tubuh mereka sudah kebal terhadap hal seperti itu. Ketika berada di lobang sekapan maut itu dulu,
sekali dua mereka sempat meminum air bercampur lumpur, kotoran dan bekas mayat menga pung.Jika
sekarang mereka meminum air terjun yang mengalir dari pengunungan, tentu saja air itu bersih bukan
main, dibanding yang mereka minum di lobang penyekapan dulu. Begitulah mereka melewatkan hari-hari
di “sorga” dekat air terjun itu.
Suatu hari, malam sudah agak larut. Smith masih terdengar dengkurnya. Jock Graham, Cowie dan si
Bungsu masih terlibat dalam pembicaraan berbagai hal. Namun yang banyak bicara adalah Cowie dan si
Bungsu. Jock Graham lebih banyak berbaring mendengarkan.
“Engkau sudah punya isteri, Bungsu…?” tiba-tiba kesunyian dipecahkan oleh pertanyaan Cowie.
Si Bungsu yang tengah menatap tirai air terjun sekitar lima depa dari tempat mereka berbaring agak
terkejut mendengar pertanyaan itu. Padahal sudah dia jelaskan kemarin atau dua hari yang lalu.
“Belum…” jawab si Bungsu perlahan setelah berdiam diri beberapa saat.
“Dengan kemahiran beladiri yang amat tangguh seperti engkau, kawan, apa sebenarnya yang kau
cari…?” tanya Cowie pelahan.
Lama si Bungsu tak bisa menjawab pertanyaan Cowie. Sebab pertanyaan seperti itu tak pernah dia
fikirkan sebelumnya. Dan kini, tatkala ada yang bertanya dia sungguh-sungguh tak bisa menjawab. Ya,
apa yang dia cari? Dengan atau tanpa ilmu beladiri, apa yang dia cari dengan meng habiskan waktu dan
umur berkelana dari satu ke tempat yang lain, dari sebuah negara ke negara lain? Bayangan Reno
Bulan, bekas tunangannya yang kini menjadi isteri Sutan Pilihan, yang sebelumnya hidup sebagai tukang
salung, kini bertoko kain batik di Bukittinggi, datang membayang.
Mei-mei yang meninggal diperkosa Jepang di Bukittinggi, sesaat sebelum mereka menikah. Salma, orang
yang dia kasihi yang kemudian menjadi isteri Overste Nurdin sahabatnya. Hanako, adik Kenji yang
menjadi menantu Tokugawa, bekas kepala Yakuza Tokyo. Michiko yang dia cari sampai ke Dallas dan
ternyata menikah dengan Thomas MacKenzie. Angela, polisi Dallas yang membantunya membalas
dendam pada geng iblis Ku Klux Klan. Ami Florence, mata-mata Amerika di Kota Da Nang. Thi Binh,
gadis desa yang cantik dan Roxy Rogers, anak milyarder Alfonso Rogers yang dia bebaskan dari goa di
bukit cadas Vitenam. Semua melintas seperti berlarian dalam fikirannya.
“Awalnya saya hanya mencari orang yang pembunuh keluarga saya…”
“Untuk membalas dendam?”
“Ya….”
“Kau berhasil?”
“Ya dan tidak…”
“Kenapa ya, kenapa tidak?”
“Ya, karena dia saya kalahkan dalam pertarungan samurai. Tidak, karena meski dia saya kalahkan tapi
dia tidak saya cederai sedikit pun. Namun hanya beberapa saat setelah saya tinggalkan, dia bunuh diri.
Di Jepang disebut seppuku, harakiri….”
“Setelah itu..?”
“Setelah itu… di sinilah saya sekarang….”
“Pernah menikah sebelum atau sesudahnya…?”
“Tidak….”
“Kenapa…?”
“Karena mungkin ada kutukan atas diri saya….”
“Apa penyebab kutukan itu?”
“Sewaktu masih amat remaja, saya melemparkan cincin pertunangan di depan keluarga tunangan
saya….”
“Jangan percaya soal tahayul, tak ada kutukan begitu….”
Diposting oleh Irvo Oktaviandi di 16.50
tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 709-710
Dalam Neraka Vietnam -bagian 709-710
Dalam Neraka Vietnam-bagian-709

Si Bungsu memperlihatkan kepada Smith dua buah batu yang besar hampir sebesar jempol
jari kaki.
“Untuk apa itu?”
“Pengganti senapan….”
Smith sudah hampir mengatakan orang di depannya itu gila. Namun ketika tiba-tiba dia teringat selama
dua hari ini si Bungsu ‘menangkap’ ikan hanya dengan lemparan batu, dia mengurungkan niatnya
mengatakan si Bungsu gila.
“Anda juga bisa menangkap rusa dengan batu?”
“Saya tak yakin, tapi tak ada salahnya dicoba bukan?”
“Pantat kurap! Cobalah, saya ingin melihat…” rutuk Smith.
Si Bungsu mengangkat kepalanya perlahan. Smith ikut-ikutan mengangkat kepala. Di hadapan mereka
kesepuluh ekor rusa itu kelihatan memamah rumput dengan lahap. Untung arah angin tidak datang dari
arah mereka berada maupun dari arah air terjun. Kalau itu yang terjadi, rusa-rusa yang penciumannya
amat tajam itu pasti sudah pada melarikan diri, karena mencium bau manusia, bau yang tak lazim bagi
mereka.
Tiba-tiba si Bungsu bangkit. Rusa-rusa itu terkejut dan menoleh. Binatang itu tertegak. Mungkin merasa
aneh melihat makhluk yang tak pernah mereka lihat seumur hidup. Namun hanya dua atau tiga detik
mereka tertegun. Dengan lengking pendek rusa jantan yang paling besar sebagai peringatan adanya
bahaya, semua rusa itu tiba-tiba melompat cepat melarikan diri. Namun salah seekor, yang nampaknya
masih berusia sekitar dua tahun, tiba-tiba terdongak. Lalu jatuh. Lenyap dalam palunan rumput tebal
tersebut. Rusa yang lain dalam waktu singkat berhasil melintasi padang rumput luas itu. Kemudian
lenyap ke dalam belantara lebat di belakang sana.
Si Bungsu, diikuti Smith memeriksa dan mendapati rusa itu sudah mati. Tengkoraknya, sedikit di bawah
telinga, kelihatan remuk. Bahagian itulah yang dihantam oleh lemparan si Bungsu. Smith mendecak dan
menggelengkan kepala. Sukar baginya memahami bagaimana si Bungsu yang selalu dia maki dengan
kata-kata ‘pantat kurap’ atau ‘induk sipilis’ ini bisa memiliki kemahiran seperti itu. Menangkap ikan dan
rusa hanya dengan lemparan batu. Rusa itu kemudian mereka seret ke dekat air terjun. Cowie dan Jock
Graham ternganga mendengar cerita bagaimana si Bungsu “menembak” rusa tersebut.
“Hati-hati dengan orang ini. Dia bukan manusia. Dia dukun. Mana ada manusia yang bisa menangkap
ikan dan rusa hanya dengan lemparan batu. Pantat kurap dan induk sipilis ini dukun yang berbahaya…”
rutuk Smith panjang pendek sambil menguliti rusa itu bersama Jock Graham dengan bayonet.
Si Bungsu hanya tersenyum mendengar dendang dan rutuk Tim Smith. Saat Jock dan Smith
mengerjakan rusa itu, Cowie beranjak ke tepi hutan. Mengumpulkan kayu-kayu kering sebanyak mungkin
untuk membuaut api unggun guna memanggang rusatersebut. Sore itu mereka pesta pora menikmati
panggang daging rusa. Kepada ketiga tentara Amerika itu si Bungsu menunjukkan jenis daun kayu yang
dia jadikan sebagai pengganti garam saat membakar ikan kemarin. Dia juga menunjukkan pada mereka
jenis-jenis daun dan lumut, yang bisa diramu secara sederhana untuk obat malaria. Dengan takaran yang
berbeda, bahagian tumbuhan itu bisa pula diramu menjadi obat luka yang manjur.
Ketika malam turun, dan kebetulan bulan sabit muncul di langit yang bersih, mereka membuat api
unggun di tepi sungai itu sambil berbaring di pasir yang putih bersih. Tempat itu demikian tenang. Berada
di tempat amat tenang dengan suara desah air terjun itu, orang sudah mengalami atau paling tidak
melihat puing neraka perang Vietnam, takkan percaya bahwa ada tempat seperti itu di Vietnam. Negeri
yang selama belasan tahun dicabik-cabik oleh perang yang kekejamannya tiada tara.
Kekejaman perang Vietnam tercatat dalam sejarah peperangan mana pun yang pernah dikenal umat
manusia di permukaan bumi ini. Kekejaman balatentara Jepang saat perang Pacific jadi tidak berati
dibanding kekejaman perang Vietnam. Tempat mereka berada sekarang seolah-olah berada di negeri
lain, yang jauh sekali dari negeri yang bernama Vietnam.
“Kenapa engkau tak ikut dengan heli tempur yang menjemput Kolonel MacMahon?” tiba-tiba saja Cowie
mengajukan pertanyaan pada si Bungsu, saat mereka berbaring di dekat api unggun di pasir putih di tepi
sungai tersebut.
Pertanyaan yang sejak awal sudah mengusik perasaan Cowie. Si Bungsu tak segera menjawab. Sambil
menelentang dia menatap bulan sabit di langit yang bersih. Jock Graham dan Smith merobah posisi
tidurnya. Jika sebelumnya mereka menelentang kini pada memiringkan tubuh menghadap ke arah si
Bungsu. Mereka memang ingin tahu, kenapa lelaki Indonesia itu bertemu dengan MacMahon di tempat
kolonel itu disekap. Dan kenapa dia tak ikut pergi atau tak ikut dibawa bersama helikopter tersebut.
“Ada puluhan tentara Vietnam saat itu…” ujar si Bungsu perlahan.
“Mengepung heli tersebut?” ujar Cowie.
“Ya. Sekaligus menembakinya….”
“Engkau bersama MacMahon saat itu?”
“Persisnya tidak. Setelah MacMahon dan beberapa tentara Amerika lainnya saya bebaskan dari tempat
penyekapan, kami membagi kelompok menjadi tiga bahagian.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-710


Dua kelompok kemudian bergabung setelah kami membumi hanguskan kamp tentara Vietnam. Saya
memilih tinggal di belakang, menahan dua regu Vietnam yang memburu kami. Ketika saya berhasil
menahan para pengejar dan tiba di tempat penjemputan, saya lihat keadaan amat kritis. Kalau heli itu
tidak berangkat segera, mereka semua akan terbunuh. Saya yang masih berada belasan meter dari heli
itu, mencoba mengalihkan serangan tentara Vietnam dari heli dengan menembaki tentara Vietnam
tersebut.
Heli itu, berikut MacMahon dan beberapa tentara Amerika berhasil lolos. Dan saya tertangkap. Itulah
sebabnya kita bertemu…” ujar si Bungsu menuturkan secara sederhana kenapa dia kini berada di antara
ke tiga tawanan Amerika itu. “Engkau pernah belajar taktik perang, kawan…?” tanya Cowie. Si Bungsu
tersenyum. “Saya hanya belajar membunuh dan menyelamatkan diri dari orang yang ingin membunuh
saya, Cowie…” ujar si Bungsu. Sepi setelah itu. Tak ada yang berkata, bahkan tak seorang pun di antara
ke empat orang itu yang bergerak. Masing-masing tenggelam dalam fikiran mereka sendiri. “Sudah
berapa banyak orang yang kau bunuh, kawan?” tiba-tiba Smith yang induk carut itu bertanya perlahan. Si
Bungsu menarik nafas. Cowie tersenyum mendengar si kepala hampir botak yang induk carut itu
memanggil si Bungsu dengan sebutan ‘kawan’. Padahal biasanya dia memanggil dengan ‘pantat kurap’
atau induk sipilis.
Dia merasa senang, sikap dan ketangguhan si Bungsu ternyata berhasil menundukkan perilaku anak
buahnya yang isi kepalanya ibarat tong segala carut itu. “Berapa orang yang sudah kau bunuh dalam
peperangan di Vietnam ini, Smith…?” si Bungsu balik bertanya, dengan suara yang juga perlahan. Smith
menelentangkan tubuhnya. Menatap awan tipis yang bergerak perlahan melewati bulan sabit di atas
sana. Terdengar dia menarik nafas panjang dan berat, seperti keluhan. “Barangkali delapan sampai dua
belas orang…” jawab Tim Smith perlahan, sembari membayangkan beberapa perang di mana dia
menembak mati tentara Vietnam. “Sudah berapa orang yang kau bunuh, Bungsu?” kembali Smith
bertanya karena si Bungsu masih berdiam diri. “Saya rasa takkan kurang seratus orang, Smith…” jawab
si Bungsu dengan suara seperti menggigil. Jawaban itu tak hanya membuat Smith dan Jock Graham
yang terkejut.
Melainkan juga Letnan PL Cowie. Ketiga orang itu duduk dan menatap ke arah si Bungsu yang tengah
memandangi langit dan bulan sabit. Mereka tak merasa perlu bertanya apakah si Bungsu bergurau
dengan jawabannya itu. Mereka yakin, jawaban itu adalah jawaban yang penuh kejujuran. Mereka juga
tak menangkap sedikit pun nada bangga dalam ucapan lelaki itu. Cowie malah seperti mendengar suara
lelaki itu seperti sebuah tangisan. “Oh my God…!” desis Cowie dan Smith hampir bersamaan. Si Bungsu
ikut duduk.
Kemudian memeluk kedua lututnya. “Ya, jumlah orang yang kubunuh demikian banyak, kawan. Sehingga
aku tak lagi bisa menghitung. Akhirnya aku sendiri tak tahu, apakah aku membunuh benar-benar dengan
alasan membela diri, atau membunuh sudah merupakan candu bagiku. Itulah sebabnya keempat tentara
Vietnam yang menggiringku dari lobang penyekapan dan ke dua orang yang menjaga di pondok dekat
lobang kita disekap, dan beberapa lagi di hutan yang memburu kita, tak seorang pun yang mati.
Mereka hanya sekedar kubuat lumpuh…” tutur si Bungsu perlahan sambil matanya menatap kosong ke
lidah api yang menjilat kayu unggun, sekitar dua meter dari tempat mereka duduk. “Engkau membunuh
musuhmu dengan senjata api?” Yang bertanya ini adalah Jock Graham, yang tak tahan untuk tidak
mengetahui lebih banyak tentang orang Indonesia yang berhasil mengeluarkan mereka dari lobang
jahanam tahanan Vietnam itu. “Sebagian besar tidak….” “Dengan tangan?” “Dengan samurai….”
“Samurai…?” tanya Jock Graham dengan perasaan heran. Cowie dan Smith juga kembali menatap pada
si Bungsu dengan perasaan semakin heran. “Ya, Jock. Barangkali saya adalah satu dari sedikit sekali
orang yang amat mahir menggunakan samurai. Bahkan dibanding dengan orang-orang Jepang yang
paling mahir sekali pun. Baik samurai panjang, maupun samurai-samurai kecil yang dilemparkan dari
jarak belasan meter…” ujar si Bungsu sambil melemparkan segenggam pasir ke air sungai yang mengalir
perlahan. Ketiga tentara Amerika itu terdiam.
Mereka percaya pada semua yang diucapkan orang Indonesia ini. Kendati mereka tak tahu bagaimana
orang ini mempergunakan samurai itu. Mereka hanya membayangkan beberapa film samurai Jepang
yang pernah mereka tonton. Misalnya film Zato Ichi, yang pernah cukup laris di Amerika sebelum mereka
terjun ke perang Vietnam. “Engkau punya isteri dan anak…?” Pertanyaan ini Cowie yang mengajukan.
Si Bungsu menggeleng. “Saya punya isteri dan dua anak. Wanita keduanya. Yang besar sekarang sudah
berumur tiga belas tahun. Yang kecil enam tahun. Mereka tinggal di Chicago…” ujar Cowie perlahan.
“Saya juga punya isteri, dulu, ketika empat tahun yang lalu saya cuti dan pulang ke Illionis, isteri saya
ternyata berselingkuh dengan teman sekantornya. Dia bekerja di sebuah biro perjalanan. Saya sudah
tiga hari di rumah, ketika saya datang ke sebuah hotel untuk mengantar titipan salah seorang teman yang
tak cuti karena mendapat hukuman. Saat itulah saya melihat isteri saya datang dengan seorang lelaki,
kemudian masuk ke sebuah kamar yang sudah mereka pesan. Buat sesaat saya tertegun. Kemudian
pintu kamar mereka saya tendang hingga jebol. Mereka, yang sama-sama sudah telanjang bulat dan
sedang bergumul di karpet, menatap saya seperti melihat setan…” Yang bercerita ini adalah Tim Smith.
Dia berhenti sejenak dengan nafas sesak. Cerita itu tentu saja baru bagi si Bungsu dan Jock Graham.
Jock Graham memang baru mengenal Smith setelah dijebloskan bersama si Bungsu di lobang yang
sudah dihuni duluan oleh Cowie dan Smith. Mereka berlainan pasukan. Namun bagi Cowie, cerita Smith
itu memang sudah dia dengar langsung dari anak buahnya itu. Lalu terdengar Smith menyambung
ceritanya. “Sialnya ada peraturan, bahwa tentara yang pulang cuti tidak dibolehkan membawa senjata.
Kalau saja saya membawa senjata, keduanya pasti sudah tak ada lagi sekarang….”
Diposting oleh Irvo Oktaviandi di 16.48

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 706-707-708


Dalam Neraka Vietnam -bagian 706-707-
708
Dalam Neraka Vietnam-bagian-706

Kini keempat mereka sudah berkumpul. Ketika ditanya mengapa secepat itu dia bisa
menyusul, si Bungsu bercerita ala kadarnya. Semula, beberapa saat setelah dia menyuruh ketiga orang
itu melarikan diri arah ke barat, dia bertahan di balik sebuah pohon besar yang tumbang. Dari sana dia
menembaki tentara Vietnam, untuk mengalihkan perhatian mereka. Saat akan pergi dari kayu besar
tempat dia bertahan itu, tiba-tiba saja perutnya memilin-milin. Kalau saja sabut dimasukkan ke perutnya
yang memilin-milin itu, hampir bisa dipastikan akan dihasilkan tali yang alot, saking kuatnya perutnya
memilin. Di antara tembakan yang dar…dor… der… darrrr…. dia teringat baru saja memakan buah
rukam yang ranum. Rukam yang batangnya penuh duri itu buahnya persis buah anggur.
Hanya bedanya, jika anggur manis, maka rasa buah rukam berbaur antara sepat, asam dan manis. Yang
paling mendominasi di antara ketiga rasa itu tentu saja sepat dan asam. Manisnya hanya sedikit, sekedar
pelepas tanya. Karena lapar, apalagi semasa di Gunung Sago dulu buah rukam adalah menu
makanannya setiap hari, maka dia segera saja memetik belasan buah tersebut. Sambil berlindung dari
incaran tentara Vietnam, dia menikmati buah rukam itu. Eh, akibat terlalu banyak makan buah rukam
perutnya menjadi memilin-milin. Dia sudah akan melangkah ke batang kayu besar tempat dia berlindung.
Namun pilin perutnya sungguh kalera. Tak mau kompromi. Perutnya seolah-olah berpihak pada tentara
Vietnam. Apa boleh buat, sambil membalas tembakan dua kali ke sembarang tempat. Dia lalu melorotkan
celana. Lalu mencongkong. Ketika ada balasan tembakan. Dia merunduk di balik batang tumbang itu.
Diangkatnya bedilnya ke atas kayu, sambil menunduk dua tiga kali. Kemudian kedua bedil yang sudah
habis pelurunya itu dia sandarkan ke kayu besar tersebut. Lalu dia pergi ke sungai kecil itu, cebok di
sana.
Di antara cecaran tembakan dari tentara Vietnam, dia kembali memakai celananya. Lalu, dalam
kegelapan tersebut dia naik ke kayu besar yang tumbang itu. Dengan amat mudah dia berjalan ke
bahagian ujung. Di sana ada sebuah pohon besar, dengan beberapa akar besar menjulai ke bawah.
Ditariknya akar itu, dia memejamkan mata. Lalu tiba-tiba dengan bergantung di akar besar itu, tubuhnya
melayang ke arah barat, melewati sela-sela batang kayu yang tumbuh rapat sekali di belantara tersebut.
Beberapa orang tentara Vietnam mendengar suara mendesis di atas kepala mereka. “Kelelawar atau
enggang…” bisik hati mereka.
Padahal, kalau saja hari sedikit terang, mereka mungkin akan ternganga. Sebab suara mendesis itu
bukan enggang, apalagi kelelawar. Yang melintas di atas batok kepala mereka justru salah seorang dari
empat pelarian yang mereka buru! Si Bungsu mirip tarzan yang berayun dari pohon ke pohon dengan
mempergunakan akar, yang lazimnya disebut sebagai akar angin. Kendati hanya sekali bisa
memanfaatkan akar kayu itu, namun akar kayu itu telah membawanya keluar dari kepungan tersebut. Dia
meninggalkan kepungan dengan sekaligus mening galkan seungguk “induk kentut” yang esoknya
membuat komandan Vietnam yang melakukan pengepungan menjadi murka.
Dengan pengalamannya selama bertahun-tahun hidup di belantara Gunung Sago, dia tahu kapan
ayunan akar kayu itu akan berhenti. Ketika ayunan akar itu dia rasa melemah, tangan kirinya masih
memegang akar itu agar tubuhnya tak jatuh seperti goni buruk ke tanah. Sementara tangan kanannya
menggapai ke sisi, mencari dahan atau pohon yang bisa dipegang. Tangannya menangkap dahan yang
lumayan besar. Tubuhnya bertahan di sana. Untuk sesaat tubuhnya masih berada di dahan yang baru
dia pegang. Lalu akar pohon yang baru dia pergunakan untuk meloloskan diri itu dia ikatkan ke dahan di
mana tangan kanannya kini berpegang. Dengan demikian, akar itu tak kembali ke tempat awal. Hal itu
perlu, sebab kalau akar itu kembali ke tempat semula, pencari jejak andal yang biasanya dimiliki tiap
pasukan Vietnam, dengan mudah bisa melacak bagaimana dan kemana dia meloloskan diri. Dalam
kegelapan dia naik dan menelungkup di dahan yang besarnya sebesar betis lekaki dewasa tersebut.
Bertahan dengan diam dan memusatkan konsentrasi. Dia mendengar tentara yang gelisah diserang
nyamuk jauh di utara sana. Jarak antara dia dengan tentara terdekat dia perkirakan sekitar dua puluh
meter. Itu berarti ayunan akar kayu itu sudah mengantarnya ketempat lain sejauh lebih kurang tiga puluh
meter, kemudian dia mencari jalan untuk segera turun. Setelah itu mulai melangkah meninggalkan
tempat tersebut. Dalam waktu tak begitu lama dia berhasil menemukan tempat di mana dia
meninggalkan Cowie, Jock dan Smith. Dia bisa menemukan setiap jejak yang di tinggalkan ketiga orang
tersebut. Menjelang siang dia memanjat sebuah pohon besar dan tinggi. Dari pohon itu dia memandang
ke arah dari mana dia datang. Melihat kalau-kalau tentara Vietnam itu menyusul. Ada sekitar satu jam dia
di pohon besar dan rindang itu, namun tak ada gerakan apapun yang dia lihat.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-707


Tentara Vietnam memang meneruskan pemburuan nya. Namun mereka terpaksa bergerak amat lambat,
karena sulit menemukan jejak para pelarian. Kesulitan itu muncul karena sebahagian besar hutan itu
adalah hutan dengan rawa yang dalam. Jejak yang ditinggalkan pelarian dapat dilihat dengan jelas.
Namun untuk memburu orang-orang itu di dalam rawa, yang kadang-kadang kedalamannya mencapai
setinggi kepala itu, menyebabkan gerak maju mereka sangat lamban. Hardik dan berang si letnan, agar
pasukan bergerak cepat tak ada gunanya.
Cowie Smith dan Jock Graham tertawa terkekeh-kekeh mendengar penuturan si Bungsu. Terutama saat
si Bungsu menceritakan betapa dia terpaksa membalas tembakan tentara Vietnam sambil jongkok
berlindung sekaligus terberak-berak di balik kayu besar, akibat perutnya memilin-milin karena
kebanyakan memakan buah rukam tersebut.
Mereka memutuskan untuk beristirahat satu atau dua hari di goa di balik air terjun itu guna memulihkan
tenaga yang benar-benar berada di bawah titik nol akibat dikurung sekian lama di lobang berair busuk
tersebut. Mereka tak usah takut kelaparan. Tak lama setelah mereka bertemu, si Bungsu memungut
beberapa kerikil. Kemudian tegak di tepi sungai yang airnya amat jernih itu. Menatap ikan-ikan besar
berlalu lalang seperti di dalam akuarium saja. Ketiga tentara Amerika itu tak faham apa yang akan
diperbuat si Bungsu dengan batu-batu kerikil sebesar ibu jari tersebut.
Sampai suatu saat si Bungsu melemparkan batunya ke air. Tak lama kemudian, dua depa ke bahagian
hilir, mereka melihat seekor ikan baung sebesar betis lelaki dewasa mengapung dengan kepala pecah.
Sekali lagi si Bungsu melemparkan batu kerikil di tangannya. Namun lemparan itu nampaknya luput. Dia
melempar sekali lagi, dan kali ini yang mengapung adalah seekor ikan lele yang besarnya yang sama
dengan ikan baung pertama. Ketiga tentara Amerika itu ternganga melihat keahlian yang belum pernah
mereka temukan seumur hidup itu.
Bagaimana mungkin orang memiliki keahlian dan tenaga yang demikian besar. Yang kekuatan
lemparannya tetap tak berkurang setelah menembus air, dan mampu mengenai serta membunuh seekor
ikan?
“Pukimak! Pantat orang ini pasti berkurap banyak. Kalau tak berkurap dia takkan punya kepandaian
demikian tinggi…” ujar Smith menyumpah panjang pendek.
Sumpah-serapahnya yang tak berketentuan itu tidak hanya membuat Cowie dan Jock yang tertawa, tapi
juga si Bungsu. Si Bungsu membuka celananya. Kemudian menungging ke arah Smith. Lalu terjun ke air
diiringi tawa Cowie dan Jock Graham.
“Banyak kurap di pantatnya, Smith…?” ujar Cowie yang sampai berair matanya karena tertawa melihat
Smith ditunggingi si Bungsu.
“Tidak hanya kurap, tapi juga sipilis. Orang ini rupanya kena induk sipilis…” ujar Smith yang merasa
jengkel ditunggingi oleh si Bungsu.
Si Bungsu yang sudah berenang dan melempar bajunya ke pasir, tak dapat menahan tawanya. Dia
mengacungkan jari tengahnya ke arah Smith. Sebuah tindakan yang bagi orang Amerika dianggap
memaki dengan kasar. Smith tetap saja masih menggerutu dia memunguti dua ekor ikan yang terbunuh
oleh lemparan si Bungsu. Kemudian melempar kannya kepada Jock Graham.
“Hei koki pantat kurap, masak ikan ini! Jenderalmu ini sudah lapar….” ujarnya kepada Jock Graham.
“Jenderal emaknya sipilis…” ujar Jock Graham sambil memunguti ikan tersebut.
“Bukan aku yang induk sipilis. Itu si Bungsu itu. Saya lihat pantatnya tadi penuh ulat. Kita jangan ikut-ikut
mandi di sungai ini. Sungai ini sudah tertular virus sipilis…” ujar Tim Smith.
Usai berkata begitu, Smith melangkah ke arah dua buah durian yang tadi mereka ambil. Lalu
membelahnya dengan bayonet. Lalu memakan isinya dengan lahap. Atas pertanyaan Cowie, si Bungsu
memastikan tentara Vietnam yang memburu mereka takkan sampai kemari.
“Saya dua kali mengintai mereka. Terakhir mereka kehilangan jejak setelah melewati rawa besar dan
dalam yang kalian lewati itu. Untung rawa itu airnya mengalir, sehingga jejak yang kalian tinggalkan
lenyap bersama arus. Dua orang pencari jejak di pasukan itu kebingungan menentukan ke mana harus
melanjutkan pengejaran. Jika mereka tak menemukan jejak kalian di seberang rawa, untuk memutuskan
kembali ke jejak awal di rawa dangkal sebelum kalian memasuki rawa dalam itu, mereka memerlukan
paling tidak waktu empat atau lima hari…” tutur si Bungsu.
Persoalan muncul ketika membakar ikan tersebut. dengan apa ikan itu dibakar. Mereka tak punya korel
api. Cowie mencoba menghidupkan api dengan menggesekkan dengan kuat buah buah batu.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-708


Namun api tak kunjung menyala.Pukulan dan gesekan batu itu tak
menimbulkan percik api sedikitpun.Si Bungsu memilih sebuah dahan yang
sudah sangat kering.Lalu mengambil serat batang pisang,serat batang pisang
itu dia belah sehingga membentuk sebuah tali.Kayu kering itu dia lobangi
sedikit dengan bayonet.Kemudian sebuah dahan yang lebih kecil dia
runcingkan.
Dahan runcing itu dia lilitkan beberapa kali lilitan dengan serat batang pisang
tersebut.Kayu yang dia lobangi dia letakkan di pasir.Kemudian kayu runcing
sebesar pena itu dia masukkan ke lobang kecil di kayu itu.Dia suruh Cowie
memegang kayu yang di pasir.Smith dia suruh mencari rumput kering dan
meletakkannya di sekitar lobang kayu tersebut.Ujung kayu yang dia runcingkan
dia suruh tekan oleh Jock.Lalu tali serat pisang yang melilit kayu runcing itu,dia
tarik ke kiri dan ke kanan.Kayu itu terputar sedikit.Dia tarik lagi ke kiri dan ke
kanan,makin lama putaran kayu itu makin laju.
Mula-mula gesekan kayu yang runcing di lobang itu menimbulkan asap.Si
Bungsu semakin mempercepat tarikan di kedua ujung tali pisang
tersebut.Percik api mulai memakan rumput kering itu.Smith sampai berteriak
saking kagumnya,lalu menambahkan rumput kering dengan jumlah banyak
dan Jock Graham meletakkan beberapa ranting kecil.
Si Bungsu menarik nafas.Dia teringat ketika membuat apai dengan cara yang
sama ketika di tepi rawa bersama Thi Binh,Duc Thio dan Han Doi.Kini api
menyala besar karena kayu-kayu kering di tambah terus oleh Jock Graham dan
Smith.Di api yangg menyala itu mereka membakar ikan.Harum nya ikan bakar
itu sangat kuat.Si Bungsu lalu berjalan ke dalam hutan takjauh dari sungai
itu.Dia memilih beberapa daun.Kemudian dia remas di sungai.Air remasan itu
dia tetskan ke ikan yang sedang di bakar api unggun.
“Hei,apa itu mariyuana?”asal Smith asal nyerocos.
Si Bungsu tak menyahut.
“Hei,kau akan meracuni kami ya..”ujar Smith.
Si Bungsu masih tak menyahut,dia tetap memeras daun itu dan
meneteskannya ke ikan yang di bakar.
“Hei,itu pasti racun,kau pasti mata-mata Vietnam yang pura-pura baik sama
kami,lalu sekarang kamu meracuni kami,begitu ya..”gerutu Smith.
Cowie dan Jock graham terkekeh mendengar kicauan Smith.Si Bungsu mau tak
mau,ikut nyengir.Tentara yang satu memang tak bisa bernafas sebelum
mengusilin orang.
“Daun itu mengandung zat garam…”ketika duduk dekat Cowie.
Apa yang di katakan si Bungsu dapat mereka rasakan ketika memakan ikan
bakar tersebut.Rasanya nikmat sekali,rasanya tak hambar seperti tanpa garam.
“Ikan bakar ini enak bukan karena daun itu,tapi karea kencing.Kau kencingi
ikan itu tadi ya,Jock..”kata Smith yang kembali kumat,sifat usilnya.
“Tapi enak kan air kencing ku,..”ujar Jock,membalas olokan Smith.
“Enak kepalamu…!”ujar Smith.
Si Bungsu harus mengakui,kehadiran Smith di dalam lobang penyekapan itu
cukup membuat suasana meriah.Bagi ketiga tawanan Amerika itu,itulah
makanan ternikmat yang mereka rasakan sejak setahun berada dalam lobang
itu.Tak heran begitu makan selesai mereka segera tertidur bermandi kan
cahaya matahari.Mereka tidur pulas sekali.
Hari kedua si Bungsu melihat jejak rusa tak jauh dari tempat itu.Dia membawa
Smith berburu.Tempat itu mereka datangi dengan berenang perlahan di
sungai,beru kemudian merayap ke darat.
“Hei,apa-apaan ini,rusanya entah ada-entah ..”protes Smith terhenti ketika
melihat isyarat si Bungsu yang berada di depan.
Smith merayap cepat,dan tiba dekat padang dia melongok dan dia
tertegun,melihat tak jauh di depannya terlihat tak kurang sepuluh ekor rusa
sedang merumput.
“Ya Tuhan,apakah tempat ini kebun binatang..?”desisnya.
“Tempat ini tak pernah di tempuh manusia.Makanya mereka datang mencari
makan kesini siang hari.Di tempat yang sudah di tempuh manusia,biasanya
rusa mencari makan malam hari…”bisik si Bungsu.
“Sialan,mengapa kita tak membawa senapan….!”rutuk Smith.
Diposting oleh Irvo Oktaviandi di 16.45

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 704-705


Dalam Neraka Vietnam -bagian 704-705
Dalam Neraka Vietnam-bagian-704

Letnan itu memutuskan meneruskan pengejaran. Dia tahu, pengejaran harus dia lakukan.
Sebab dia sudah mendengar perintah komandannya, sebelum berhasil menangkap ke empat pelarian itu
mereka tak dibolehkan pulang ke markas!
Letnan Cowie memutuskan istirahat di balik sebuah jeram air terjun. Belantara yang sudah mereka lewati
sepanjang dua hari dua malam ini nampaknya benar-benar belum pernah disentuh kaki manusia. Dia
dengan teguh menuruti petunjuk si Bungsu, agar menjaga arah pelarian, tetap menuju ke arah barat.
Kendati medan yang harus mereka tempuh semakin berat, namun dia tetap mengarahkan jalan ke arah
matahari terbenam. Di hari ketiga, menjelang tengah hari mereka sudah meninggalkan belantara yang
datar dan berawa. Dari kejauhan mereka melihat bukit-bukit yang menjulang.
Ketika menemui sebuah sungai yang cukup besar dan berair jernih, mereka mengikuti alur sungai itu ke
arah hulu. Semakin jauh ke hulu semakin sulit medan yang harus mereka tempuh. Mendaki bukit batu
cadas terjal dan menuruni tebing curam. Namun mereka semua yakin, apa yang diucapkan lelaki
Indonesia itu tentang helikopter tempur yang menjemput Kolonel MacMahon. Helikopter itu datang dan
pergi ke arah barat, ke arah perbatasan Kamboja.
Lewat tengah hari, mereka tiba-tiba menemukan sebuah air terjun dua tingkat yang selain tinggi dan
terjal, juga sangat indah. Di bahagian bawah, di mana air terjun itu terhempas, tercipta sebuah danau
selebar lapangan bola volli. Di seluruh tepinya adalah hamparan pasir putih yang landai. Sedikit bahagian
yang terjal dan berbatu-batu besar ada di bahagian air itu menghujam dari ketinggian sekitar lima puluh
meter. Di bahagian itu pula tercipta pelangi yang melengkung dari sisi kanan ke sisi kiri. Seolah-olah
sebuah jembatan yang terbuat dari selendang. Sungguh-sungguh teramat indah.
Baik di danau kecil tempat air itu menghujam maupun di sungai yang dalamnya hanya sekitar dua meter,
yang mengalirkan air yang amat jernih ke arah danau berpelangi itu, terlihat dengan jelas ikan-ikan mulai
dari sebesar telapak tangan sampai sebesar paha lelaki dewasa hilir mudik. Jumlahnya ratusan!
“Ya Tuhan, saya hampir tak yakin bahwa ada tempat yang begini indah di tengah belantara yang belum
pernah ditempuh manusia ini…” desis Cowie sembari menatap dengan mulut separuh ternganga ke arah
air terjun tersebut.
Lalu ketiga mereka, termasuk Jock Graham yang demamnya sudah benar-benar sembuh, segera
mencebur ke sungai dengan dasar pasir yang amat putih itu. Minum air tawar sepuas hati mereka,
sembari mencoba menangkap ikan yang kelihatannya seperti jinak-jinak merpati. Smith yang gagal
menangkap ikan, segera kumat lagi penyakit bercarut-carut dan sumpah serapahnya. Semua sumpah
serapah yang sudah beberapa hari istirahat dari mulutnya, kini berham buran. Dimakinya ikan-ikan
sebesar betis yang lepas dan lepas lagi, padahal sudah tersentuh oleh tangannya.
Makian dan sumpah serapahnya sungguh teramat lengkap. Mulai dari ikan berpantat kurap, ikan kena
sipilis, ikan pukimak, ikan impoten, ikan panau, ikan mirip beruk, monyet-gorila. Hampir delapan tahun
bertugas bersama Smith, Cowie tahu makian anak buahnya itu hanya asbun, asal bunyi. Kegembiraan
yang sangat, bebas dari buruan dan berada di tempat yang seolah-olah sebuah sudut sorga di atas dunia
ini, menyebabkan mereka semua melupakan segala rasa penat dan rasa takut. Apalagi di bahagian
kanan air terjun itu ada hutan pisang emas dan beberapa pohon durian yang buahnya sedang ranum.
Tuhan nampaknya memang melimpahi sepenggal wilayah jauh di tengah belantara Vietnam Selatan itu
dengan rahmat yang amat luar biasa. Sebagai tentara yang sudah malang melintang dalam berbagai
medan tempur, yang sudah menjelajahi banyak sekali wilayah, Cowie yakin di balik tirai air terjun itu pasti
ada tempat yang aman untuk berteduh. Dia segera melangkah ke sana. Dari sisi sebelah timur dia
menyelinap di antara air terjun dengan dinding batu.
Benar!
Di belakang air terjun itu ada sebuah goa berbentuk ruangan sekitar tiga kali tiga meter. Lantainya
memang tak begitu datar, namun tempat itu merupakan tempat yang luar biasa indah dan nyaman untuk
tempat tinggal. Ruangan di balik air terjun itu tak kelihatan dari luar. Tertutup oleh curahan air terjun yang
tak putus-putusnya, yang lebarnya sekitar enam meter. Namun dari dalam goa kecil itu pemandangan
bisa menembus air terjun tersebut. Semua yang ada di bahagian depan, hamparan pasir empat meter di
kiri dan empat meter di kanan sungai kecil tersebut, sejauh lima puluh meter ke hilir sungai kelihatan
dengan jelas.
Menemukan sorga di tengah belantara itu, ketiga pelarian tentara Amerika tersebut benar-benar
bergembira, memekik-mekik seperti kanak-kanak yang mendapat permainan baru.
“Saya akan membangun istana di sini. Akan cari cewek Vietnam untuk isteri…” ujar Smith.
“Saya akan jadi nelayan. Ikan-ikan ini akan saya kembangbiakan, untuk dijual ke Washington…” ujar
Jock Graham.
“Kalau begitu saya akan menjadi eksportir pisang dan durian. Saya akan menjual pisang dan durian ini ke
New York dan Hollywood. Agar bintang-bintang film Hollywood tak berkurap pantatnya. Hei, Cowie!
Apakah ada bintang Hollywood yang tak berkurap pantatnya…?”
Cowie yang sedang berbaring di pasir putih itu hanya tersenyum. Namun semua kegembiraan itu lenyap
tiba-tiba, menguap seperti kabut pagi disergap terik matahari. Begitu Tim Smith usai dengan sumpah
serapahnya, tiga tembakan menghajar sekitar tempat mereka. Cowie sampai terlambung saking
kagetnya, Tim Smith ternganga dan menggigil di dalam air. Durian di mulutnya sampai terlompat keluar.
Jock Graham yang sedang menyusun-nyusun kayu kering untuk perapian membakar ikan, langsung
melompat ke balik pohon pisang, tak jauh dari tempatnya tadi menyusun kayu perapian.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-705


Smith tak berani bergerak dari dalam air. Kepalanya saja yang nongol di permukaan air. Matanya liar
menatap ke kiri dan kanan. Dia merasa tak ada gunanya lari ke darat, sudah terlambat. Jika dia bangkit,
dia akan menjadi sasaran tembak. Cowie berlindung di balik sebatang kayu, tak jauh dari Jock Graham.
Suasana tiba-tiba dicekam sepi yang mencekik. Cowie merasa heran, arah tembakan itu rasanya berasal
dari goa di balik air terjun. Yaitu tempat di mana mereka meninggalkan dua buah bedil rampasan yang
mereka bawa dalam pelarian selama dua hari ini. Tiba-tiba terdengar sebuah suara dari arah air terjun
tersebut.
“Hallo…..”
Semua masih terdiam karena terguncang oleh ketakutan yang sangat tiba-tiba. Lalu… di balik tirai air itu,
kelihatan seseorang muncul memegang bedil. Begitu melihat orang yang baru menembak mereka itu,
yang tak lain dari si Bungsu, terdengar makian Tim Smith bertubi-tubi.
“Pukimak! Sundal! Sipilis! Monyet kurap! Pantat kurap….!”
Cowie dan Jock Graham juga menyumpah panjang pendek. Namun Cowie segera sadar, apa yang
dilakukan orang itu adalah peringatan halus pada mereka. Bahwa adalah suatu pekerjaan sia-sia berada
di hutan liar ini tanpa bedil. Apalagi meninggalkan bedil di tempat yang jauh dari mereka. Mereka berdiri
dan berjalan menyongsong si Bungsu dengan senyum lebar karena lega. Tidak demikian halnya dengan
Smith. Dia menyelam, kemudian muncul dengan sengenggam pasir. Pasir itu dia lemparkan ke arah si
Bungsu. Berkali-kali dia lakukan hal itu, sambil mulutnya tetap saja bercarut panjang pendek.
Bahkan, dia tetap saja melempari si Bungsu dengan pasir, tatkala Cowie dan Jock Graham memeluk si
Bungsu. Ketiga orang tersebut dibuatnya mandi pasir. Tapi akhirnya dia juga tak mau ketinggalan. Dia
melompati ketiga orang yang tengah berpelukan itu. Kendati tubuhnya kurus kerempeng, namun akibat
terpaan loncatan tersebut semua mereka jatuh saling tindih dan berguling-guling di pasir putih dan landai
tersebut, diiringi gelak tawa berderai. Sungguh ini pertemuan yang luar biasa. Mereka tak menyangka
akan bisa disusul dan ditemukan si Bungsu secepat itu.
Namun, sebagaimana sudah dijanjikan si Bungsu, dia akan segera menyusul dan menemukan mereka,
hal itu bisa dibuktikan kini. Baik Cowie, Smith maupun Jock Graham tak bisa lain dari pada mengakui
bahwa orang Indonesia yang sepintas kelihatan “biasa-biasa saja” ini sesungguhnya adalah seorang
yang amat luar biasa. Mereka bisa lolos tanpa hadangan sedikit pun dari puluhan tentara Vietnam malam
itu benar-benar berkat keahlian orang Indonesia ini mengecoh para pemburu tersebut. Ketika baru
berangkat, mereka mendengar tembakan sahut bersahut di belakang mereka.
Cowie mengajak kedua temannya untuk berdoa bagi keselamatan lelaki dari Indonesia itu. Sesaat
mereka berhenti dalam kegelapan. Kemudian membaca doa untuk keselamatan orang yang menolong
mereka itu, yang kini sedang dihujani tembakan, dan menutup doa dengan tangan mereka membuat
tanda salib di kening dada masing-masing. Setelah itu tanpa menoleh lagi, mereka segera merunduk-
runduk. Menghindar dari tempat itu secepat dan sejauh mungkin!
Diposting oleh Irvo Oktaviandi di 16.43
tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 702-703
Dalam Neraka Vietnam -bagian 702-703
Dalam Neraka Vietnam-bagian 702

Mereka berfikir, daripada orang yang mereka buru lolos, atau malah balas menembak,
sehingga nyawa mereka pula yang terancam, lebih baik membunuh saja keempat pelarian itu! Usai
rentetan tembakan yang panjang itu tiba-tiba suasana menjadi sepi! Mereka menunggu. Tak ada reaksi
atau balasan apapun dari keempat pelarian tersebut. Usah kan balasan tembakan, gerakan saja pun tak
terlihat dari arah sekitar bedil tersebut. Kedua bedil itu sudah terpental ketika kena hajaran peluru.
Mereka lalu menyergap dengan bedil terhunus ke tempat itu.
Dan…
Mereka semua, sekitar dua belas tentara Vietnam yang merangsek maju ke dekat pohon tumbang itu,
pada tertegak kaku!
Si Komandan,yang memperhatikan dari jarak sekitar dua puluh depa, menatap dengan tegang ke arah
anak buahnya tersebut. Dia menjadi agak heran juga, melihat belasan anak buahnya itu tiba-tiba tertegak
diam di seberang pohon besar yang tumbang itu. Dia memberi isyarat kepada anak buahnya,
menanyakan apakah keadaan aman. Anak buahnya yang tak berada dekat pohon tumbang itu memberi
isyarat aman.
Si letnan segera melangkah ke lokasi yang sudah dikepung belasan prajuritnya. Dia faham sudah, ke
empat pelarian itu sudah jadi mayat. Tak apalah. Yang penting perburuan yang melelahkan ini selesai
sudah. Walau pun dia tak bisa mewujudkan niatnya, tak apalah. Yang jelas dia bisa kembali dengan
membawa kepala ke empat pelarian itu. Kepalanya saja! Bikin apa membawa-bawa tubuh mereka.
Menambah-nambah beban saja. Bukankah komandan mereka sudah memerintahkan agar membawa
kepala para pelarian itu ke markas?
Si letnan pun sampai ke tempat tersebut. Dia melompat naik ke kayu besar yang tumbang itu. Dari sana
dia menatap ke bawah, ke arah tempat yang sudah dikerumuni belasan pasukannya. Dan, sebagaimana
anak buahnya, dia juga ikut tertegun tatkala melihat tempat yang dikepung itu. Kecuali dua buah bedil
yang sudah sompeng popornya dimakan peluru, tak ada siapa pun di sana! Jangankan empat pelarian
yang mereka buru, kentut pelarian itu pun tak lagi terlihat! Dia hampir tak mempercayai penglihatannya.
Di tempat itu memang ada belasan selongsong peluru, dan bekas orang tiarap.
Memang tak ada kentut, tapi yang membuat sakit hati si komandan adalah ketika melihat di antara bekas
belasan selongsong peluru itu, orang yang mereka buru ternyata meninggalkan embahnya kentut.
Sungguh mati, di sana mereka melihat seonggok tahi manusia! Benar-benar tahi manusia! Dan onggokan
tahi itu ternyata sudah cerai berai oleh hajaran peluru anak buahnya. Ooo, sakitnya hati si letnan. Ooo
remuk redam jantungnya terasa. Dulu dia dikhianati pacarnya. Sakiiiiit.. sekali. Tapi, apa yang dia lihat
sekarang, sakitnya seribu eh.. sejuta kali lebih sakit dari dikhianati pacarnya dulu.
Sakiiiit sekali!
Dengan muka sebentar merah dan sebentar hijau, lalu sebentar kebiru-biruan, si letnan menatap hilir
mudik. Ke arah pangkal kayu besar itu, kemudian ke arah ujungnya. Berharap di salah satu tempat yang
dia lihat ada kepala atau telinga salah seorang pelarian tersebut. Agak seorang jadilah. Tapi, dia
memang lagi sial.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-703


Apa yang sudah dia bayangkan, pulang membawa empat kepala pelarian itu, habis terbenam dalam tahi
yang sudah kocar-kacir oleh peluru anak buahnya. Tak ada seorang pun pelarian itu di sana.
Bahkan jejaknya, kecuali tahi dan selongsong peluru itu, lenyap seperti ditelan hantu rimba. Tubuh si
letnan menggigil. Mungkin menahan marah, mungkin menahan malu. Matanya melirik ke kanan, ada air
mengalir sedalam lebih kurang setengah meter dengan lebar aliran satu meter. Dia menyumpah dalam
hatinya. Orang yang mereka buru itu nampaknya sengaja meninggalkan “induk kentut”nya. Sebab,
lazimnya orang akan buang air besar di air yang mengalir. Sekalian bisa membersihkan dirinya usai
buang hajat. Tapi orang ini nampaknya sengaja buang air di darat.
Agak jauh dari air yang mengalir, dengan maksud mempermalukan para pemburunya. Oo sakitnya hulu
jantung si letnan.
“Buru mereka….!!” hardiknya dengan muka merah padam.
Salah seorang pasukannya, seorang berpangkat sersan yang ahli pencari jejak, menghampirinya. Bicara
perlahan. Letnan itu mendelik. Bicara beberapa patah. Si sersan memberikan penjelasan, sambil
menunjuk ke satu arah. Si letnan menoleh ke arah yang ditunjuk. Puluhan anak buahnya menanti.
“Apakah waang tidak salah?” hardiknya berang.
“Tidak, Let! Saya sudah periksa semua penjuru dengan sangat teliti. Jejak orang itu hilang di batang
besar ini. Hanya ada dua kemungkinan kenapa hal itu bisa terjadi. Pertama punya sayap, sehingga bisa
terbang….”
Ucapannya terhenti karena sebuah tempelengan dari letnan itu mendarat di pipinya. Bibir sersan pencari
jejak tersebut pecah dan darah merembes perlahan. Dia dianggap berolok-olok dalam situasi gawat dan
memalukan itu, dengan mengatakan ada manusia bersayap dan bisa terbang. Si sersan memahami
kekeliruannya. Dia mengambil sikap sempurna. Kemudian meminta maaf, lalu melanjutkan penjelasan
“Saya bisa memastikan yang berada di sini malam tadi hanya seorang di antara empat pelarian itu,
Letnan. Dia sengaja memancing kita memburu dirinya, sehingga tiga temannya yang lain punya
kesempatan lolos dari pengejaran. Dan orang yang seorang ini adalah orang yang sangat mengenal
belantara. Demikian mahirnya dia, sehingga kami tak bisa melihat sebuah tempat pun di sini, bekas yang
diinjaknya, kecuali tempat dia bertahan, kemudian buang air besar itu….”
Si sersan mengakhiri penjelasannya. Letnan tersebut menoleh kepada seorang kopral, anggota pencari
jejak yang satunya lagi. Di pasukannya itu memang ada dua pencari jejak. Namun yang amat mahir
adalah si sersan yang barusan melapor. Si kopral mengangguk, membenarkan uraian sersan tadi.
“Kalian tak menemukan jejaknya sedikit pun…?”
“Jejaknya tidak, Letnan. Tapi saya bisa menduga, dia kembali ke tempat awal di mana kita pertama
membuat formasi berbanjar untuk mengejar mereka senja kemarin. Di sana dia berpisah dengan teman-
temannya. Dia sengaja memancing kita dengan membawa dua bedil dan peluru yang memadai,
sehingga kita menyangka mereka masih tetap empat orang. Pada saat kita mengejarnya ke arah ini,
teman-temannya punya kesempatan melarikan diri ke arah yang berlawanan.
Saya rasa mereka sudah sangat jauh. Mengenai orang yang tadi malam bertahan di sini, melihat ke
mahirannya memancing kita kemari, dan kemahirannya mengenal setiap lekuk liku belantara ini, saya
rasa sudah hampir mencapai ketiga orang lainnya itu. Dengan kemahirannya dia pasti bisa berjalan
dengan cepat sekali dalam belantara lebat ini…” ujar si sersan mengkhiri penjelasannya.
Bukan main sakitnya hati si letnan. Bukan mendengar uraian pencari jejak tersebut. Melainkan pada
kebodohan dirinya, yang mudah saja dikecoh. Tadi pun, sebelum si sersan bertutur, dia sudah menduga-
duga seperti itu. Namun dalam hal mencari jejak di belantara, dia memang mengandalkan si sersan. Kini
dia benar-benar tak tahu apa yang harus dia lakukan. Bagaimana mungkin dia bisa kembali ke markas
mereka? Kembali dengan membawa cerita bahwa di akhir pengepungan mereka hanya berhasil
menemukan seungguk induk kentut?
Diposting oleh Irvo Oktaviandi di 16.41

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 699-700-701


Dalam Neraka Vietnam 699-700-701
Dalam Neraka Vietnam 699

Si Bungsu menggenggam tangan Cowie. Demikian juga tangan Smith dan Jock Graham, yang dalam
gelap gulita itu juga mengulurkan tangan pada si Bungsu.
“Cowie, setelah ini dengan atau tanpa saya, saya yakin engkau bisa membawa teman-temanmu keluar
dengan selamat dari neraka ini. Kalian adalah orang-orang hebat dan tangguh. Jika kalian bergerak,
usahakan agar bergerak ke arah barat. Ke arah barat Cowie, karena arah itu menuju ke
perbatasan Kamboja. Beberapa bulan yang lalu, saya melihat helikopter tempur Amerika yang
menjemput Kolonel MacMahon bergerak ke arah itu. Barangkali di sana ada gugus tugas pasukan
Amerika. Ingat, ke arah barat, Cowie….!”
“Tunggu, bagaimana kami tahu bahwa yang menembak pertama adalah engkau, sehingga kami yakin
bahwa tembakan setelah itu merupakan tembakan balasan dari tentara Vietnam? Bisa saja merekalah
yang pertama kali menembakmu…” ujar Cowie.
Si Bungsu terdiam. Benar juga ucapan orang ini, fikirnya.
“Baik, tembakan pertama akan saya arahkan ke tempat kalian ini. Kemudian baru ke arah mereka. Nah
kawan, saya pergi.…”
Si Bungsu lalu bergerak cepat. Baik Cowie maupun Jock Graham dan Smith, nyaris tak mendengar suara
apapun ketika lelaki itu menjauh dari mereka. Padahal lelaki itu bergerak di antara belukar yang amat
lebat. Dia bergerak seolah-olah tak menyentuh sehelai daun pun. Cowie menarik nafas panjang.
“Lelaki yang luar biasa. Hanya saya tak mengerti, untuk apa dia berada di Vietnam ini….”
Tak ada yang mengomentari ucapannya. Malam terasa merangkak amat perlahan dalam belantara yang
ditelan kegelapan kental itu. Ada suara burung hantu di kejauhan. Ada suara desir angin di pucuk-pucuk
pohon, jauh di ketinggian belantara. Sesekali ada bunyi kepak sayap kelelawar, yang terbang melintas
dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Dalam kegelapan yang mencekam tersebut terdengar Tim
Smith yang memiliki banyak sekali perbendaharaan sumpah serapah dan carut marut itu, berkata
perlahan. Perkataan yang seolah-olah ditujukan pada dirinya sendiri.
“Saya tak faham ucapannya. Orang itu sungguh penuh misteri. Dia mengatakan melihathelikopter
tempur menjemput Kolonel MacMahon dari arah perbatasan Kamboja. Dia tentu berada di sana ketika
MacMahon dijemput helikopter tersebut. Mengapa dia ada di sana? Kalau dia berada di pihak Amerika,
dia tentu pergi meninggalkan Vietnam bersama MacMahon. Ternyata dia tak pergi. Itu berarti dia berada
di pihak Vietnam. Tetapi, jika dia di pihak Vietnam kenapa dia disekap bersama kita dalam neraka
berlumpur itu?”
Tak segera ada yang mengomentari ucapan Smith. Cowie bertanya pada Jock Graham.
“Engkau datang bersamanya Jock. Apakah engkau tahu kenapa dia ditangkap Vietnam?”
“Saya bertemu dengan dia ketika sudah di atas truk yang akan mengangkut kami ke tempat kalian.
Selama di truk tak ada pembicaraan. Mata kami saja ditutup dengan kain….”
Cowie dan Smith mendengar jawaban Jock Graham yang singkat itu dengan berdiam diri, sampai tiba-
tiba mereka mendengar suara tembakan. Dan peluru tembakan pertama itu mereka dengar menghantam
sebuah dahan kayu di atas mereka. Detik berikutnya mereka dengar tembakan beruntun, tapi mereka
bisa menandai bahwa tembakan beruntun itu berasal dari bedil yang sama dengan suara tembakan
pertama tadi,Lalu sepi…

Dalam Neraka Vietnam-700


Hanya sesaat, lalu terdengar tembakan balasan dari belasan bedil yang lain. Demikian ramainya, seolah-
solah akan merobek belantara tersebut.
“Kita pergi, sekarang…!” ujar Cowie sambil bangkit memapah Jock Graham.
“Saya bisa berjalan. Kondisi saya sudah jauh lebih baik…” ujar Jock Graham yang memang merasakan
kondisinya tubuhnya lebih memadai setelah menelan dedaunan yang diberikan si Bungsu.
“Kalau begitu kita pergi. Jangan terpisah terlalu jauh. Go! Go….!” bisik Cowie.
Dengan merunduk dia menyelusup diiringi Jock dan Smith di bahagian belakang sekali. Mereka keluar
dari belukar lebat tempat mereka bersembunyi sejak senja tadi. Dari belakang mereka masih terus
mendengar tembakan beruntun. Kemudian disusul tembakan balasan satu-satu. Tidaklah diperlukan
pengalaman perang yang berlebihan untuk mengetahui bahwa tembakan dari belasan bedil itu
berlawanan arah dengan tempat mereka. Artinya, si Bungsu telah mengatur posisi mengalihkan
perhatian tentara Vietnam ke arah yang berlawanan dari ke tiga tentara Amerika yang melarikan diri itu.
Ketiga tentara Amerika tersebut tahu bahwa tembakan salvo, tembakan satu-satu dari dua bedil yang
dibawa si Bungsu ganti berganti, adalah upaya orang Indonesia itu untuk mengecoh tentara Vietnam.
Dengan tembakan salvo dari dua bedil tersebut, ada dua hal yang difahami Cowie. Pertama, orang-orang
Vietnam tersebut tahu bahwa tembakan salvo itu dalam upaya para pelarian menghemat peluru. Kedua,
dua bedil itu memberikan kesan, bahwa ke empat orang tersebut masih berkelompok. Dugaan Cowie
itulah yang memang termakan oleh komandan pasukan Vietnam tersebut.
Dia memang menduga ke empat pelarian tersebut masih mengelompok. Cowie mendengar tembakan
salvo si Bungsu mau pun tembakan balasan dari lima sampai enam bedil orang-orang Vietnam itu secara
bergantian, semakin lama semakin jauh dari posisi mereka. Cowie tahu, hal itu disebabkan dua hal.
Pertama, mereka memang sedang bergerak menjauhi tempat mereka terkepung tadi. Kedua, si Bungsu
berhasil memancing tentara Vietnam tersebut memburu dirinya yang semakin ke arah timur. Ke arah
yang berlawanan dengan arah larinya Cowie dan dua temannya.
Si Bungsu sebenarnya dengan mudah bisa berputar dan tiba-tiba berada di belakang salah seorang para
pemburunya. Dia mengenal belantara seperti mengenal garis di telapak tangannya. Namun dia tak
melakukan hal itu. Karena tujuannya hanya ingin memperjauh jarak antara tentara Vietnam ini dengan
Cowie, Smith dan Jock Graham. Tujuannya bukan untuk membunuh. Kemudian beberapa tembakan
balasan menghajar kayu besar tempatnya berlindung, si Bungsu memekik. Kemudian diam.
“Mereka kena…!” desis komandan regu Vietnam kepada sersan di sebelahnya.
“Sudah dua yang kena…” ujar sersan tersebut.
Sebab tadi dia juga mendengar pekik kesakitan dalam kecamuk tembakan.
“Tinggal dua lagi. Saya yakin dua orang yang kena tembak itu segera mati. Kondisi mereka sudah amat
buruk saat di lobang penyekapan…” ujar si komandan.
Melalui perintah beranting, dari mulut ke mulut, dia menyuruh cek berapa pasukannya yang tertembak.
Tak berapa lama, pesan beranting itu sampai kembali kepada si komandan. Ada dua anak buahnya yang
tak diketahui nasibnya dan sembilan orang mereka yang tertembak. Namun sembilan yang tertembak itu
nampaknya bernasib baik. Tak seorang pun yang mati.
“Siapa kedua orang yang tak bertemu itu?” tanya si komandan.
Sersan yang berada di sebelahnya menyebut dua nama. Tak seorang pun di antara mereka yang tahu,
bahwa kedua teman mereka itu tergeletak lumpuh kena totok.Pengejaran dan pengepungan ini amat
melelahkan. Ke empat tentara Amerika yang mereka buru seperti tahu saja di mana posisi mereka.
Tembakan ke empat orang itu hampir bisa dipastikan selalu memakan korban.
Si komandan melihat jam tangannya. kegelapan yang mencekam yang angka-angka dan jarumnya
memakai radium, yang menyebabkan angka dan jarum jam tersebut bersinar hijau dalam kegelapan.
Semakin gelap hari, semakin jelas cahaya yang dipancarkan radium pada angka dan jarum jam
tersebut.“Sudah pukul empat lewat…” ujarnya.
Dia lalu kembali memberi perintah beranting untuk memperkecil jepitan pengepungan dengan sistem
tapal kuda. Dia memerintahkan ada yang ditangkap hidup-hidup untuk diinterogasi. Kini tugas utama
adalah memperkecil jepitan kepungan, kemudian tunggu matahari terbit. Baru disergap. Menjelang itu,
bertahan sambil berjaga agar tak ada yang lolos. Bisik berisi perintah itu diteruskan si sersan secara
berantai. Orang pertama yang mendengar pesan itu segera merayap atau berjalan membungkuk-
bungkuk lima atau enam depan ke sampingnya, sampai bertemu dengan temannya yang lain.
Lalu menyampaikan pesan si komandan. Saat pesan kedua bergerak ke kanan atau ke kiri untuk
menyampaikan pesan pada orang berikutnya, yang menyampaikan pesan pertama kembali ke posisi
semula.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-701


Demikian cara menyampaikan pesan beranting dalam pertempuran dimana
tak ada radio atau isyarat lain yang bisa di lihat.Ketika si komandan merasa
isyaratnya sampai kesayap kiri maupun ke sayap kanan,dia melakukan uji coba
untuk mengetahui apakah buruan mereka masih berada di titika sasaran yang
mereka perkirakan.Dia memuntahkan beberapa tembakan ke arah yang
mereka perkirakan.Dia memuntahkan beberapa tembakan ke arah yang
mereka perkirakan itu.
Kemudian mereka menanti.Tak berapa lama,dua tembakan balasan terdengar
menggema.Dan si komandan bercarut marut dengan wajah pucat,karena salah
satu peluru nyaris menyambar pipinya.Tapi dia merasa lega.Orang yang
mereka buru masih berada di depan sana.
“Sebentar lagi!Tunggulah sebentar lagi!Begitu cahaya pagi turun kau ku
bekuk.Dan kau harus menjilat pantatku.Harus!Jika tidak,akan ku sayat daging
pipi,paha dan betismu.Akan ku patahkan jari kakak dan jari tanganmu satu
persatu.Akan ku cabuti gigimu satu demi satu…”desis si komandan dengan
kebencian memenuhi hampir seluruh pembuluh darahnya.
Betapa dia takkan dendam,dia sudah bisa menebak hukuman atau paling
tidak cemooh yang akan dia terima sekembalinya ke markas besok.Memburu
empat pelarian yang kurus kerempeng,sakit-sakitan dan kelaparan,ada
sembilan anak buahnya yang luka tertembak.Yang dua lagi mungkin sudah
mati,cemooh semakin tak bisa di bayangkan.Masih untung kalau dia hanya
mendapat cemooh bisa-bisa turun pangkat dan tak di beri jabatan apapun.Dia
bersandar di pohon besar sambil memejamkan mata.
Dia yakin buruan mereka takkan lolos.Dia yakin anak buahnya sudah
melakukan kepungan yang ketat.Tak mudah orang bisa meloloskan diri.Dia
yakin itu,karena mereka sudah sangat terlatih bertempur,mengepung dan
menjebak tentara Amerika dalam pertempuran belantara begini.Baik siang
maupun malam hari.Sudah belasan kali mereka melewati peperangan di
belantara seperti ini.Malah kali ini sebenarnya sungguh sebuah pertempuran
yang sangat ringan.
Biasanya,dalam setiap pertempuran mereka selalu di hujani peluru mortir
atau peluru senapan mesin.Lagi pula,biasanya musuh mereka jumlahnya
selalu lebih banyak!kini,yang mereka hadapi hanya empat orang.Itupun
keadaannya hanya compang-camping.Usahkan mortir ataupun senapan mesin
senapan semi otomatis yang mereka miliki pun nampaknya sudah kehabisan
peluru.Itu di buktikan dari beberapa kali tembakan balasan yang terdengar
dari orang yang mereka kejar.Malah ketika dia perintahkan pasukannya tidak
menembak,tetap tak ada tembakan balasan.
Waktu merangkak perlahan.S komandan tersentak saat si sersan mencowel
bahunya.Rupanya dia tertidur.Sayup-sayup terdengar kokok ayam hutan.Dia
melihat jam tangannya.Sudah pukul lima lewat,namun hutan itu masih sangat
gelap.Di menoleh kearah di mana pelarian itu di duga sudah mereka’kunci’.Tak
ada yang kelihatan,masih sangat gelap.Di luar belantara cahaya sudah cukup
terang.Dia mengambil sebuah ranting kecil.Mematahkannya jadi dua
potong,masing-masing sepanjang dua jengkal.Yang satu di bagikan kepada
sersan yang di kiri,satunya kepada yang kanan.
Tanpa sepatah katapun,karena sudah memahami yang di inginkan sang
komandan,kedua sersan itu merayap.Yang kiri ke arah kiri,yang kanan ke arah
kanan.Setelah merayap beberapa jauh mereka bertemu dengan teman
mereka,mereka serahkan ranting tersebut.Seperti meneruskan pesan lisan
berantai sebelumnya,terutama saat terkepung maupun mengepung.Saling
membangunkan dan atau untuk mengontrol.
Mengontrol apakah jumlah personel masih lengkap atau tidak.Memakan
waktu hanya setengah jam,kedua ranting oitu kebali ke tangan sang
komandan.Si letnan mengambil penples air di pinggangnya.Dia memang sudah
menyuruh bagian dapur untuk selalu mengisi penplesnya itu dengan kopi yang
di beri gula sedikit.Di teguk kopi itu dengan nikmat.Kedua sersan yang ada di
kiri kanan nya berbuat hal yang sama.
Hari sudah pukul enam lewat saat sang komandan memberi perintah dengan
suara tembakan,untuk memulai penyerangan ke arah pelarian yang sejak
semalam sudah mereka”kunci”.Hanya beberapa detik setelah tembakan
pertama si letnan,kesunyian belantara itu di robek oleh dengan suara-suara
letusan bedil.Dalam cahaya pagi yang sudah mulai terang-terang
tanah,mereka melihat tempat yang di jadikan pelarian tentara Amerika itu
adalah sebuah pohon besar yang tumbang melintang panjang.
Bukan main,rupanya mereka mendapat tempat perlindungan yang kokoh.Si
letnan membari perintah agar pasukannya yang berda di belakang pohon
tersebut segera merengsek maju,sementara dia dan belasan tentara lainnya
melindungi dari tempat mereka,demikian cara denikian tak ada lagi celah bagi
pelarian itu untuk lolos.Dari arah kiri dan kanan delapan tentara Vietnam itu
merengsek maju ke tempat perlindungan tentara Amerika tersebut.
Saat kedelapan tentara itu mendapatkan posisi yang baik,ganti ujung lainnya
yang maju dan mereka pula yang melindungi.Karena belantara sudah cukup
terang,dengan cepat mereka bisa maju.Dala tiga kali bergerak tiap ujung yang
menjepit itu,mereka kini sampai ke dekat pohon itu.Salah satu tentara yang
meju itu melihat sebuah ujung bedil di balik pohon besar itu.
Tentu saja dia tahu kalau di ujung pangkal bedil itu pasti ada orangnya.Dengan
gerakan yng cepat dia melangkah kearah kanan sambil melepaskan tembakan
gencar ke arah semak ujung pangkal bedil itu.Mereka juga bergerak cepat
dengan menghujani tembakan ke arah persembunyian pelarian itu,tapi
mereka lupa pesan komandannya tadi malam kalau salah satu dari pelarian
itu harus di biarkan hidup.
tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 697-698
Dalam Neraka Vietnam -bagian 697-698
Dalam Neraka Vietnam-bagian-697

Maka kini, mereka benar-benar hanya menyerahkan nasib dan nyawa mereka
pada ketajaman pendengaran masing-masing.
Hutan itu, dalam radius hanya sekitar lima ratus meter persegi, dipenuhi tak kurang dari 40 manusia.
Mereka adalah tiga puluhan tentara Vietnam yang terbagi dalam dua regu, serta empat pelarian yang
kurus kerempeng dan kelaparan. Hanya karena malam dan belantara itu amat lebat saja mereka tak
saling melihat antara satu dengan yang lain.
Setelah cukup lama menanti, namun tak ada tanda-tanda gerakan apapun dari pelarian tersebut, kedua
komandan regu tentara Vietnam itu sepakat mengambil insiatif untuk menggeledah saja belantara itu.
Mereka berani mengambil inisiatif karena mereka lebih banyak dan kondisi tubuh mereka tentu saja lebih
baik di banding kondisi tubuh orang yang mereka buru.
Kedua regu tentara itu segera membentuk formasi bersaf. Dengan formasi seperti itu mereka mulai
begerak maju. Jarak seorang tentara dengan yang lain hanya sekitar lima depa. Maju selangkah demi
selangkah, sambil tiap sebentar berhenti, mendengarkan kalau-kalau ada gerakan lain di sekitarnya.
Tentu saja tak seorang pun yang mengetahui, bahwa di antara ke empat pelarian yang sedang mereka
buru itu adalah ‘pangeran belantara’! Seorang yang benar-benar hafal bentuk dan struktur rimba raya.
Seorang yang bisa berlari cepat di belantara lebat, kendati dalam suasana gelap gulita.
Seorang yang bisa membedakan apakah sebuah daun bergoyang karena angin atau karena sebab yang
lain. Seorang yang bisa membedakan bau kayu atau daun yang sudah disentuh manusia dengan bau
daun kayu yang belum disentuh apa pun. Tak seorang pun di antara tentara Vietnam itu yang tahu,
bahwa ada orang dengan kualifikasi seperti itu di antara ke empat pelarian yang sedang mereka buru itu.
Kalau saja mereka tahu, bahwa setiap saat, setiap detik, orang itu tiba-tiba bisa berada sejengkal di
depan hidung mereka, tanpa diketahui dari mana datangnya, mereka takkan gegabah merancah hutan
tersebut.
Namun bagi beberapa tentara Vietnam yang bernasib malang, waktu sudah terlambat. Seorang prajurit di
bahagian kanan, ketika merunduk-runduk melewati sebuah dahan besar, tiba-tiba seutas tali menjerat
lehernya. Dia ingin berteriak, tapi teriakannya tersangkut di tenggorokan yang dijerat semakin ketat oleh
tali kasar itu. Dia berusaha menarik pelatuk bedilnya, namun jarinya tak bisa dia gerakkan. Tubuhnya
telah dibuat lumpuh!

Dalam Neraka Vietnam-bagian-698


Ada yang mendengar suara bergedebuk agak lemah, disusul suara bergedebuk lebih keras. Kemudian
sepi. Tak seorang pun yang menyangka, suara gedebuk pertama adalah suara jatuhnya senapan dari
tangan kawan mereka yang lehernya kena jerat itu. Gedebuk kedua adalah suara jatuhnya tubuh si
tentara ke tanah beralaskan dedaunan kering. Si Bungsu lalu turun, mengambil bedil yang jatuh
tersebut. Kemudian berlutut di tanah. Lalu menembak ke arah kiri. Usai beberapa tembakan dia
melompat cepat beberapa meter ke belakang. Dan memutar ujung bedil dan menembak ke arah kanan.
Saat dia menembak kekiri terdengar pekikan-pekikan. Begitu juga saat dia menembak ke kanan. Hanya
sesaat setelah itu, semburan api dan rentetan peluru terdengar dari kiri dan kanan ke tempat dia
memuntahkan peluru.
Kemudian sepi!
Tembakan balasan dari belasan tentara Vietnam itu menerpa tempat kosong. Sebab begitu bedilnya usai
memuntahkan peluru, disusul pekikan tentara yang diterkam timah panas itu, si Bungsu segera bergerak
secepat yang bisa dia lakukan. Menghindar dari lokasi tersebut. Cowie dan Tim Smith mendengar
rentetan tembakan itu dengan tegang.
Namun hanya beberapa saat setelah tembakan balasan terdengar, dalam suasana sepi yang mencekam,
Cowie dan Tim Smith tiba-tiba dibuat sangat terkejut oleh suara yang hanya berjarak sedepa dari tempat
mereka. Mereka sudah siap menarik pelatuk bedil bersamaan, tatkala tiba-tiba mereka mendengar suara
si Bungsu berbisik.
“Jangan tembak, ini saya dan Jock….”
Mengetahui yang datang adalah si Bungsu, Cowie menarik nafas, Smith bercarut-carut. Dalam gelap
yang kental itu mereka mendengar erangan Jock Graham.
“Kenapa dia?” tanya Cowie.
“Demam… tapi sudah agak baikan….”
“Anda yang menembak tadi?”
“Ya….”
“Saya kira ada tiga atau empat orang mereka yang terbunuh….”
“Mereka hanya saya lumpuhkan. Jumlah mereka sangat banyak. Kita harus memecah rombongan…” ujar
si Bungsu.
“Maksudmu?”
“Anda bisa mencari jalan dalam gelap ini untuk menghindar sejauh mungkin. Letnah Cowie?”
“Jika tidak dikepung, barangkali bisa….”
“Baik. Saya akan mengalihkan perhatian mereka ke arah lain. Kalian larilah sejauh yang kalian bisa
hingga pagi tiba. Saya akan menyusul….”
“Sebaiknya saya tinggal berdua dengan Anda, sehingga yang meloloskan diri pertama adalah Smith
dengan membawa Jock. Atau yang tinggal Smith, saya membawa Jock…” bisik Cowie.
“Akan sulit bila hanya seorang yang memapah Jock. Memapah sambil mencari jalan dalam gelap bukan
pekerjaan yang mudah….”
“Tetapi, sendirian menghadapi puluhan Vietnam itu bukan juga pekerjaan yang mudah…” bisik Cowie.
“Cowie, hutan adalah rumahku. Aku hafal setiap lekuk likunya. Aku mustahil bisa bertempur frontal
dengan mereka. Aku hanya akan memancing perhatian mereka ke tempat lain, sehingga kalian bisa
melarikan diri sejauh mungkin…” bisik si Bungsu.
Akhirnya Cowie memahami penjelasan dan rencana si Bungsu.
“Untuk mengalihkan perhatian dan memancing mereka ke arah lain, saya memerlukan peluru lebih
banyak…” ujar si Bungsu.
Cowie lalu membuka magazin senjata Jock Graham. Kemudian dia membuka magazin senjata yang
ada padanya. Mengeluarkan separoh isinya. Begitu juga peluru di magazin senjatanya sendiri. Kemudian
diisikannya peluru tersebut ke magazin senjata Jock Graham. Ketika magazin itu penuh, masih ada
beberapa peluru lagi.
“Kemarikan magazin senjatamu. Masih ada beberapa peluru. Ini magazin yang sudah penuh…” ujar
Cowie sambil menyerahkan magazin yang sudah berisi penuh itu kepada si Bungsu.
Si Bungsu membuka magazin senjata di tangannya. Kemudian menyerahkan pada Cowie, sembari
menerima dan memasangkan magazin yang diserahkan Cowie ke senjata nya. Cowie memasukkan sisa
peluru di tanganya ke magazin yang diserahkan si Bungsu. Kemudian memberikan magazin yang juga
akhirnya menjadi penuh oleh peluru tersebut kepada orang Indonesia itu.
“Saya akan meninggalkan kalian. Saya mengetahui tempat mereka berada. Mereka membentuk formasi
lurus dalam jarak emat sampai lima depa. Saya akan menembaki mereka. Bergeraklah saat kalian
mendengar tembakan balasan dari mereka…” ujar si Bungsu.
Ketika dia akan bergerak meninggalkan tempat itu, terdengar Jock Graham berkata.
“Kawan, jika tidak engkau tolong, saya sudah terbunuh di luar sana, atau dilemparkan kembali ke lobang
jahanam itu. Terimakasih juga pada obatmu….”
“Jaga dirimu, Jock…” ujar si Bungsu.
Ketika dia akan pergi, Letnan PL Cowie memegang tangannya.
“Kawan, kami tidak tahu siapa engkau sebenarnya. Namun kami berhutang nyawa padamu. Kendati pun
pelarian ini gagal dan kami mati semua, namun keluarga kami, dan juga Amerika, berhutang padamu.
Saya tak tahu apakah kita masih akan bertemu atau tidak. Karenanya saya perlu menyampaikan,
terimakasih atas segala yang kau lakukan untuk kami, kawan….”
Diposting oleh Irvo Oktaviandi di 16.34
ikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 695-696
Dalam Neraka Vietnam -bagian 695-696
Dalam Neraka Vietnam-bagian-695

“Tetaplah bertahan, Jock. Saya akan buatkan obat untukmu…” ujar si Bungsu. Matanya coba
meneliti beberapa dedaunan dan lumut yang bisa dibuat ramuan obat.
Namun baru dua dari empat jenis daun yang harus diperoleh, pendengarannya yang amat tajam
mendengar bunyi langkah tak jauh di belakang mereka. Sementara Smith dan Cowie sudah terpisah dari
mereka oleh palunan hutan lebat tersebut. Cowie yang berjalan di bahagian depan sekali berhenti dan
menoleh ke belakang. Dia merasa ada sesuatu yang tak beres. Dia tidak melihat Jock Graham dan si
Bungsu.
“Jock…!!” serunya.
Tak ada sahutan apapun. Sepi sekali. Hanya suara binatang hutan terdengar di mana-mana.
“Bungsu….!!” serunya.
Tetap tak ada sahutan apapun. Sepi dan amat mencekam. Smith yang nafasnya sudah sesak bersandar
ke pohon besar. Matanya menatap jalan yang tadi mereka tempuh. Tak ada jalan sebenarnya, karena
yang mereka tempuh saat ini adalah belantara lebat yang belum pernah dijejak manusia. Perang
Vietnam-Amerika pun, yang berlangsung amat ganas dan bertahun-tahun, tak sampai menjamah daerah
ini. Smith maupun Cowie hanya melihat hutan belantara yang maha lebat dan angker. Apa yang terjadi
dengan Jock Graham dan si Bungsu?
Mengapa mereka tak menyahuti panggilan Cowie? Saat si Bungsu sedang memetik beberapa lembar
daun untuk obat Jock Graham, kemudian mendengar suara langkah tak jauh di belakangnya, dia
bergerak cepat ke tempat Jock Graham yang masih tegak bersandar seperti memeluk pohon besar itu.
Dia menotok bahagian belakang leher tentara Amerika tersebut. Totokan yang amat terlatih itu membuat
Jock Graham lumpuh. Si Bungsu memanggul tubuh yang sudah tak bertenaga itu. Kemudian dengan
cepat membawanya pergi dari sana.
Dia membawa tubuh kurus kerempeng itu ke bawah sebuah pohon yang besarnya sekitar tiga pelukan
lelaki dewasa. Letaknya sekitar dua puluh depa dari tempat Jock Graham tegak pertama. Urat kayu itu
berbentuk pipih dan besar-besar. Urat-uratnya yang muncul di atas tanah menyebabkan bahagian bawah
pohon besar itu memiliki sekat-sekat seperti kamar. Tiap urat pipih yang membentuk sekat itu bisa
setinggi tegak lelaki dewasa. Dia dudukkan tentara yang tak sadar diri itu di antara sekat tersebut, persis
saat salah satu regu Vietnam sampai ke tempat mereka tadi.
Belasan tentara Vietnam tersebut melihat bekas Jock Graham tegak. Namun setelah itu jejaknya hilang.
Tapi saat itu pula mereka mendengar suara orang memanggil sampai dua kali. Suara yang didengar
tentara Vietnam itu adalah suara Cowie yang memanggil Jock Graham dan si Bungsu. Pimpinan regu
memberi isyarat kepada anak buahnya dengan meletakkan telunjuk ke bibir. Kemudia dia membagi
formasi anak buahnya untuk menyergap orang yang hanya ke dengaran suaranya itu. Dia bagi anak
buahnya dalam dua sayap, kiri dan kanan.
Mereka memang tak bisa melihat siapapun, karena belantara dimana kini mereka berada demikian lebat.
Jarak pandang hanya bisa menembus antara tiga sampai empat meter. Selepas itu pandangan
terhambat oleh pohon besar dan belukar yang rapat sekali. Pemburuan itu semakin dipersulit oleh sore
yang sudah turun. Hutan yang sudah gelap itu dengan cepat menjadi semakin gelap. Mereka bergerak
perlahan, namun cepat, ke arah sumber suara memanggil tadi. Sementara itu, usai mendudukkan Jock
Graham si Bungsu menekan urat di belakang leher tentara tersebut. Jock Graham mengeluh saat
pertama sadar. Namun mulutnya dibekap oleh si Bungsu. Dia berbisik di telinga tentara itu.
“Dengar Jock! Belasan tentara Vietnam berada hanya beberapa langkah dari tempat kita. Engkau akan
cukup kuat untuk mengangkat bedil dan menembakkannya kalau keadaan terdesak. Saya akan
membuatkan obat untukmu. Tapi sebelum itu kita harus bisa lolos diri dari buruan Vietnam itu….”
Usai memberikan penjelasan si Bungsu menyerahkan kembali bedil rampasan dari tentara Vietnam yang
tadi nyaris lepas dari tangan Jock. Kemudia dia menotok dan mengurut dengan cepat beberapa urat di
pusat, kening dan punggung tentara itu. Dengan perasaan takjub Jock Graham merasakan kondisi
tubuhnya agak membaik.
“Terimakasih, kawan…” ujarnya perlahan.
“Jangan bergerak. Tetap duduk seperti ini, pasang telinga dan matamu. Saya akan melihat apa yang
masih bisa dilakukan. Maaf, saya belum sempat meramu obat untukmu. Tapi kunyah saja daun ini, telan
airnya. Agak pahit bercampur asin rasanya, tapi itu obat. Usahakan agar tak tertelan ampas daunnya…”
ujar si Bungsu dalam kalimat cepat, sembari menyumpalkan tiga lembar daun selebar telapak tangan ke
mulut Jock Graham, kemudian dia menyelinap dengan cepat meninggalkan tempat itu.
Jock Graham mengunyah daun yang disumbatkan lelaki dari Indonesia itu ke mulutnya. Daun itu kesat
sekali. Seperti kertas ampelas. Rasanya memang agak asin. Kalau saja bukan lelaki dari Indonesia itu
yang menyumbatkan daun sialan tersebut, sudah sejak tadi dia muntahkan. Tapi dia yakin, orang
Indonesia itu bukan sembarangan lelaki. Dia tidak hanya sekedar pandai meramu obat, juga tangguh luar
biasa. Buktinya adalah kemampuan lelaki itu melumpuhkan empat tentara Vietnam yang menggiringnya.
Dengan fikiran demikian dia meneruskan mengunyah daun rasa kentut tersebut. Kemudian menelan
airnya yang juga rasa kentut.
Air getah daun yang dia telan itu sebagaimana tadi dijelaskan si Bungsu, memang terasa agak asin dan
agak pahit. Dia ingin meludah, namun tiba-tiba di depannya telah berdiri seorang tentara Vietnam!
Tentara itu sebenarnya tak tahu bahwa di balik ceruk akar pohon yang besar-besar itu bersembunyi
orang yang mereka buru.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-696


Dia datang ke tempat itu untuk memeriksa belukar lebat tak jauh dari pohon besar tersebut. Namun
ketika dia melewati sebuah sisi akar kayu besar itu, tiba-tiba saja dia melihat seorang tawanan yang
mereka buru ada di sana. Duduk bersandar ke pohon di antara dua urat kayu pipih lebar dan tinggi,
sehingga tak kelihatan jika tidak berada di alur yang sama dengan celah urat kayu tersebut.
Orang itu dia pergoki sedang mengunyah-ngunyah. Namun pertemuan yang mendadak dan saling
menatap itu membuat dia kaget dan tertegun. Lupa pada bedil di tangannya. Begitu juga halnya dengan
Jock Graham. Kendati kedua mereka sama-sama memegang bedil yang sama-sama teracung ke arah
lawannya masing-masing, namun belum satu letusan pun yang terdengar. Telunjuk masing-masing tetap
dipelatuk bedil.
Jock Graham masih terus mengunyah daun kayu di mulutnya. Mengunyah perlahan, namun tak lagi
mampu menelan getah daun yang sudah terkumpul dalam mulutnya. Tapi kemudian, terjadi juga apa
yang harus terjadi. Jock Graham ternyata lebih duluan menyadari situasi berbahaya itu. Telunjuknya
bergerak.
“Klik….”Senjatanya macet!
Jock Graham menarik lagi pelatuk tersebut. tak ada bunyi sama sekali. Bedil buatan Cina yang dikenal
dengan nama Chung itu memang banyak mengundang celaka tentara yang memakainya. Suara ‘klik’
dari bedil pelarian tersebut membuat si Vietnam sadar. Telunjuknya segera bekerja. Namun tetap saja
tak ada sebuah letusan pun yang terdengar. Yang terjadi adalah mendeliknya mata si Vietnam tersebut.
Sesaat kemudian tubuhnya terjungkal ke depan. Jatuh tertelungkup sehasta di depan Jock Graham, yang
sedetik lalu sudah pasrah menunggu maut.
Sebelum hilang rasa kejutnya, tiba-tiba si Bungsu muncul. Tangannya memberi isyarat agar Jock
Graham jangan bersuara. Saat itu Jock Graham baru bisa kembali menelan getah daun kayu yang dia
kunyah. Kemudian daun yang sudah menjadi ampas itu dia ludahkan. Dia melihat ampas daun kayu itu
berwarna merah. Dia terkejut, apakah dia muntah darah? Dia meludah, ludahnya juga merah. Dia
menatap ke arah si Bungsu.
Si Bungsu menggeleng perlahan, sebagai isyarat agar dia tak khawatir. Kemudian mata si Bungsu
kembali menatap tajam ke belantara gelap di depannya. Suasana benar-benar sepi. Sore sudah
melakukan serah terima tugasnya menerangi bumi dengan senja. Gelap yang makin kental perlahan
merayap menerkam rimba tersebut. si Bungsu memang berharap agar malam cepat turun. Semakin
gelap hari semakin terlindung mereka dari pengejaran. Hal yang sama juga diinginkan Letnan PL Cowie
yang bersembunyi dalam sebuah palunan belukar lebat.
Tadi ketika usai dia memanggil Jock Graham dan si Bungsu, tiba-tiba telinganya yang memang sudah
terlatih dalam perang Vietnam yang bertahun-tahun, ternyata masih berfungsi dengan baik. Dia
mendengar suara belukar disibakkan dan daun kayu diinjak kaki manusia. Dia segera memberi isyarat
pada Smith untuk menghindar dengan cepat dari tempat itu. Dan latihan bagaimana bergerak
di belantara dengan tak banyak meninggalkan jejak juga masih mereka kuasai dengan baik. Itu sebab
pasukan Vietnam yang mahir melacak jejak dalam hutan sulit menemukan ke mana larinya buruan
mereka.
Apalagi cahaya gelap yang sudah turun makin mempersulit mereka meneliti bekas injakan kaki di
dedaunan. Senter bukannya tak bermanfaat dalam kondisi seperti itu. Namun mempergunakan senter
sama halnya dengan memberi tahu kepada musuh di mana awak berada. Dan itu artinya adalah bunuh
diri.
Diposting oleh Irvo Oktaviandi di 16.33

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 692-693-694


Dalam Neraka Vietnam -bagian 692-693-
694
Dalam Neraka Vietnam-bagiann-692

Namun, jika sial lagi datang ada-ada saja kesalahan yang dibuat. Saat berjudi itu, mereka
menyandarkan bedilnya ke dinding pondok. Tengah asyik memperhatikan kartu ceki di tangan, tiba-tiba
saja ada bayangan orang tegak di depan tangga pondok yang tingginya hanya semeter dari tanah.
Mereka menoleh, dan tiba-tiba muka mereka menjadi pucat. Mereka melihat di sana tegak tawanan yang
tadi baru ditarik ke atas dari lobang penyekapan. Kini lelaki itu tegak menodongkan bedil kepada mereka.
Bagaimana mungkin mereka bisa melakukan perlawanan, bedil mereka tersandar di dinding.
Bedil itu memang bisa diraih, tapi telunjuk lelaki yang menodong itu siaga di pelatuk. Buat sesaat mereka
menatap si Bungsu dengan melongo.
“Turun dan buka penutup lobang itu…” perintah si Bungsu.
Untuk sesaat mereka masih berdiam diri. Namun si Bungsu segera menukar bedil dengan tali plastik
besar itu. Sebelum kedua pengawal di pondok tersebut faham apa yang akan diperbuat si Bungsu,
tangan si Bungsu bergerak. Di tangannya, tali plastik itu berubah menjadi senjata yang tangguh. Entah
dengan cara bagaimana, kedua orang itu terpekik tatkala daun telinga mereka robek dan berdarah kena
sabet cambuk tali nilon tersebut. Salah seorang yang bertubuh kurus, memanfaatkan waktu yang sesaat
itu untuk menyambar bedil di kanannya.
Namun dia kalah cepat. Ujung cambut di tangan si Bungsu menghajar lengannya. Lengan baju kain
mereka yang berwarna hitam itu robek, dan daging lengannya juga ikut robek. Dia terpekik.
“Turun dan buka tutup lobang itu cepat…!” perintah si Bungsu.
Kini kedua orang Vietnam tersebut benar-benar tak berani untuk tidak mematuhi. Karena di tangan kiri
orang yang memerintah mereka teracung bedil dengan telunjuk di pelatuk. Mereka bergerak turun dari
pondok. Kemudian memindahkan kayu-kayu besar yang berfungsi sebagai penghimpit ‘pintu’ yang
menutup lobang. Usai itu mereka segera membuka salah satu bahagian yang berfungsi sebagai ‘jendela’
tempat memasukkan atau mengeluarkan tawanan. Ketika pintu lobang itu terbuka, dengan tangan kanan
menodongkan bedil, si Bungsu melemparkan tali nilon ke dalam lobang tersebut.
Cowie, Smith dan Jock Graham yang semula merasa heran kenapa tutup lobang tahanan mereka
dibuka, pada ternganga tatkala melihat ke atas. Di tepi lobang terlihat si Bungsu tengah menodongkan
bedil.
“Tarik mereka satu demi satu ke atas…” perintah si Bungsu.
Kedua Vietnam itu kelihatan berusaha mencari celah untuk melakukan perlawanan. Namun melihat
telunjuk kanan si Bungsu bergerak menarik pelatuk, mereka cepat-cepat memegang ujung tali. Lalu
menanti. Si Bungsu memberi isyarat pada Letnan PL Cowie. Letnan Negro itu segera menyambar ujung
tali. Lalu tubuhnya ditarik ke atas. Dengan cepat dia menerima salah sebuah senjata yang diberikan si
Bungsu. Senjata yang baru saja dirampas dari keempat tentara yang tadi menggiringnya. Kini Cowie
mengawasi kedua tentara Vietnam itu menarik Tim Smith.
Smith juga menerima sepucuk senjata. Kemudian dia bergerak ke bahagian kanan, berlutut di dekat
pohon kayu mengawasi jalan yang menuju ke arah kampung. Cowie memberi isyarat kepada Jock
Graham, yang segera menyambar tali tersebut. Dia segera ditarik ke atas. Di atas Graham juga
menerima sebuah bedil dari si Bungsu.
“Masukkan mereka ke lobang….” ujar si Bungsu kepada Cowie.
Cowie dan Jock Graham memerintahkan kedua Vietnam itu membuka sepatu dan celana mereka.
Kemudian dengan hanya berkolor dan berbaju, hampir secara bersamaan keduanya kena hantaman
pada tengkuk oleh popor bedil di tangan Cowie dan Smith. Entah mati entah hidup, yang jelas keduanya
tercebur dengan suara agak keras ke dalam air kuning berlumpur itu. Baik Cowie maupun Smith memang
tidak menembak kedua milisi itu, karena suara tembakan akan mengundang tentara yang ada di
perkampungan.
“Kita berangkat…” ujar si Bungsu.
“Kemana?” tanya Cowie sambil memakai sepatu dan pakaian salah seorang tentara Vietnam itu.
Si Bungsu menunjuk ke arah belantara lebat di bahagian utara lobang tempat mereka disekap. Bagi
Cowie, Smith dan Graham memang ke sana pilihan terbaik untuk lari. Mereka tak mungkin masuk ke
kampung. Hutan adalah tempat yang aman, meski untuk sementara. Bagi si Bungsu, hutan lebat itu
menjadi pilihan karena hutan merupakan ‘rumah’nya. Cowie mengambil semua peluru dan dua bedil
yang pemiliknya sudah terjun ke lobang penyekapan. Tanpa banyak membuang waktu, mereka segera
menuju ke arah belantara yang terlihat tak begitu jauh.
Yang tak mendapat jatah pakaian adalah Tim Smith. Dia hanya mendapat sepatu. Karena sepatu itu
kebesaran di kaki Jock Graham. Namun keempat mereka kini memiliki bedil dan peluru. Kendati jumlah
peluru yang mereka miliki tak mencukupi untuk bertempur lama, namun bagi seorang pelarian memiliki
bedil dan peluru merupakan sesuatu yang amat luar biasa harganya.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-693


Mereka baru saja bergerak sekitar seratus langkah, ketika tiba-tiba mereka mendengar suara ledakan
dari tempat yang baru saja mereka tinggalkan. Mereka terhenti, namun hanya sesaat. Kesadaran bahwa
ledakan itu mengundang kedatangan tentara Vietnam menyebabkan mereka segera bergerak cepat.
“Ledakan apa itu?” tanya Graham sambil melompati sebuah kayu besar yang melintang.
“Granat…” ujar Cowie, sambil melompati pula kayu tersebut.
Si Bungsu menyumpah dalam hatinya. Dia menyesal tidak menyuruh tentara Vietnam itu membuka
bajunya sebelum dimasukkan ke lobang penyekapan mengganti kan mereka. Dia teringat, kantong baju
salah seorang milisi Vietnam yang mereka ceburkan itu kelihatan menggem bung. Dia yakin, granat yang
ledakannya barusan mereka dengar berasal dari dari dalam kantong baju yang mengge lembung itu. Dia
tak curiga karena granat biasanya dicantelkan diikat pinggang. Tapi kenapa granat itu baru diledakkan
setelah keempat pelarian itu bergerak cukup jauh?
Milisi Vietnam yang kantongnya menggelembung yang dilihat si Bungsu, tak lama setelah diceburkan ke
lobang segera mengeluarkan granat dari kantong bajunya begitu keempat pelarian tersebut lenyap dari
pandangan mereka di atas lobang penyekapan itu. Dia sudah akan mencabut pin granat itu, namun
temannya yang seorang lagi segera mencegah.
“Jangan sekarang…” ujarnya.
“Kau mau bunuh diri? Mereka belum jauh. Begitu granat ini meledak, mereka akan kembali dan
menembak kita… ”ujarnya.
“Tapi, kita akan ditembak komandan kalau mereka sudah jauh dan berhasil meloloskan diri….”
“Belum tentu kita ditembak oleh bangsa sendiri. Sebab, empat tentara yang tadi menggiring mereka,
adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas lolosnya tawanan itu. Di bawah pengawalan mereka,
orang itu lolos…”
Yang memegang granat dapat memahami penjelasan temanya. Dia urungkan mencabut pin granat
tersebut. Lalu mereka sama-sama menanti. Menanti dengan cemas, apa hukuman yang akan mereka
terima, jika nanti mereka diadili. Setelah merasa keempat tawanan itu lari cukup jauh, granat tersebut lalu
dilemparkan ke atas dan meledak. Suara ledakan tersebut lalu membuat tentara yang berada di
kampung yang tak jauh dari penyekapan itu tersentak. Dalam waktu yang amat singkat lima belas tentara
segera memburu ke tempat tersebut lewat tiga jalur yang berbeda.
Regu pertama menuju ke lobang penyekapan itu dengan memutar dari kiri. Regu ke dua melambung dari
arah kanan. Regu ke tiga mendatangi tempat tersebut dari jalan setapak yang biasa dilewati. Regu
ketigalah yang menemukan ke empat teman-teman mereka pada tergeletak di jalan, tak berapa jauh dari
kampung. Ke empat mereka masih dalam keadaan pingsan. Malang melintang di jalan kecil di antara
hutan bambu tersebut. Komandan regu segera mengirim salah seorang anggotanya kembali ke markas
di kampung. Memberitahu apa yang mereka temukan.
Setelah itu, yang empat orang lagi segera melanjutkan perjalanan menuju ke lobang di mana selama ini
mereka menyekap tawanan perang tersebut. Regu pertama yang melambung dari arah kanan, segera
sampai ke bahagian belakang pondok pengawalan beberapa meter dari lobang penyekapan.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-694


Dari tempat mereka berada,sekitar sepuluh depa dari pondok,mereka melihat pondok pengawasan itu
kosong.Regu yang melambung dari arah kiri juga segera tiba.Dari jarak belasan meter mereka melihat
penutup lobang tempat penyekapan tawanan itu terbuka.
Baik regu yang di kanan maupun yang di kiri,segera mengirim tiga orang anggota masing-masing
mendekati lobang penyekapan.Ketiga orang itu merayap dalam hutan bambu tersebut,hampir tanpa
menimbulkan suara sedikitpun.Lalu akhirnya,mereka mendapatkan yang berada dalam lobang
penyekapan itu adalah dua milisi yang seharusnya d pondok berjaga.Kedua milisi itu segera bisa di tarik
naik.Sebab tali nilon yang biasa untuk menarik mayat tawanan yang mati,ternyata di bawa kabur oleh
para tawanan tersebut.
Letnan yang bertanggung jawab atas tawanan itu segera memerintahkan anak buahnya melacak kearah
larinya tawanan tersebut.Hanya di butuhkan beberapa saat,tiga orang yang di tugaskan melacak telah
datang melapor.
“Mereka ke arah hutan,jejak masih jelas…”lapor salah seorang dari yang bertiga itu.
Si letnan menatap kearah hutan dan bukit yang di tunjuk oleh anak buahnya.
“Mereka memasuki Neraka yang lebih berbahaya…”ujarnya.
Namun sebelum ke empat pelarian itu memasuki’Neraka yang lebih berbahaya’sebagaimana di ucapkan
sang komandan,yang pertama memasuki Neraka adalah ke empat orang Vietnam yang terkait dengan
empat pelarian itu.Neraka yang mereka tempati adalah Neraka yang biasa di tempati oleh para tawanan
tentara Amerika.Ke dua milisi yang berjudi ceki itu tetap tak boleh keluar dari lobang penyekapan
itu,mereka di tambah dengan empat tentara yang menggiring si Bungsu sampai perkampungan.
Komandaqn yang bermarkas di desa itu berpangkat mayor.Saking berangnya,muka sang mayor sampai
berubah-rubah seperti jadi-jadian.Sebentar merah padam,sebentar kemudian pucat,kemudian merah
padam lagi.Ke empat tentara yang di lumpuhkan si Bungsu itu di jebloskan saat mereka masih pening-
pening lalat.Mula-mula mereka dingkat teman-teman nya.Mereka menyangka akan di rawat di bangsal
kesehatan sebagaimana jika ada tentara yang sakit.Namun harapan itu sangat jauh panggang dari pada
api.Tubuh mereka di lempar kedalam lobang penyekapan.
Baru beberapa saat dalam lobang berair kuning kental itu,keenam tentara Vietnam itu muntah kayak.Bau
yang amat menusuk,bau bekas mayat dan bau kotoran manusia,yang bercampur aduk jadi satu
membuat perut mereka benar-benar mual dan tak mampu bernafas.Namun lobang itu sudah di
perintahkan si mayor untuk di tutup.Setelah itu si mayor memerintahkan seluruh tentara dan milisi di desa
itu untuk berkumpul di dekat lobang penyekapan itu.Ada sekitar tiga puluh tentara reguler,kemudian dua
puluh milisi berkumpul,sepuluh di antaranya wanita.
Si Mayor membagi kekuatan setengah kompi itu dalam tiga kelompok.Dua bagian harus menyisir
hutan,memburu tawanan dari dua arah,yang sebagian lagi hanya sekitar sepuluh orang,siaga di markas
mereka di desa itu.
“Jangan kalian pulang jika tidak membawa empat orang itu.Saya tak peduli apakah yang kalian bawa
pulang orangnya atau hanya kepalanya.Ingat itu,jangan pulang tanpa mereka..!!”hardik si mayor kepada
kedua kelompok itu.
Sementara di dalam lobang,dua dari enam orang yang di ‘cemplungkan’karena membiarkan tawanan itu
melarikan diri.Jatuh pingsan setelah isi perut mereka keluar semua.Namun si mayor tak peduli.Setelah
dua kelompok itu berangkat.Dia memerintahkan empat orang untuk menjaga di pondok pengawalan
itu.”Jangan ada yang berani memberi makan atau minum,dalam bentuk apapun tanpa perintah saya,jika
kalian langgar,kalian saya tembak…”tukas si mayor dengan suara serak saking menahan berangnya.
Tapi ke empat orang yang melarikan diri itu,ternyata memang menghadapi tantangan yang tak
kecil.Tantangan pertama yang harus mereka hadapi adalah kondisi fisik mereka sendiri.Yang pertama
ambruk sejak mereka keluar dari lobang itu adalah kopral Jack Graham.Kopral ini sama-sama di
pindahkan bersama si Bungsu dengan truk.Ternyata kondisinya sudah demikian buruk.Demam panas
menyerang pula.Si Bungsu yang posisinya paling belakang,melihat kopral itu memeluk sebatang pohon
besar dengan tubuh menggigil.
Bedil di tangan nya hampir jatuh,si Bungsu paham,kalau orang itu tak mungkin untuk terus berjalan.kalau
saja dia punya waktu untuk mengumpulkan dedaunan untuk ramuan.Ingatan itu segera menyadarkan si
Bungsu tentang apa yang harus dia lakukan.
Diposting oleh Irvo Oktaviandi di 16.32

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 690-691


Dalam Neraka Vietnam-bagian-690

“Hei, Negro…” ujar salah seorang di antara tentara yang tidak menodongkan bedil, yang
bersenjata pistol di pinggang, ke arah Cowie dalam bahasa Inggris.
Cowie menatap dengan diam ke atas.
“Sambut ini…” ujarnya sambil memperlihatkan sebuah gari.
Sebelum habis ucapannya dia sudah melemparkan belenggu terbuka itu, yang disambut oleh Cowie.
“Pasangkan pada kedua tangan orang itu…” ujar tentara tersebut sambil menunjuk pada si Bungsu.
Cowie segera berjalan dalam air kental itu ke arah si Bungsu. Dia faham benar tak ada gunanya
memperlambat melaksanakan perintah tentara Vietnam
tersebut, apalagi membantahnya. Cowie, dan siapapun tentara Amerika, yang pernah merasakan
tertangkap oleh Vietnam tahu benar bahwa terhadap
tawanan tentara Amerika tentara maupun milisi Vietnam tak memiliki kata iba, kasihan atau bentuk
timbang rasa apapun. Mereka dengan segala senang hati
akan menghamburkan peluru dengan sedikit alasan saja. Bahkan dengan alasan yang kadang-kadang
tak masuk akal.
Itulah sebabnya ketika tentara Vietnam itu melempar kan gari ke arahnya, Cowie segera menyambutnya.
Kemudian ketika diperintah untuk membelenggu si Bungsu, Cowie segera mendekati orang Indonesia itu,
untuk melaksanakan perintah yang diberikan kepadanya. Si Bungsu juga faham bahwa tentara Vietnam
tak suka dibantah. Maka ketika Cowie mendekatinya dengan belenggu di tangan, yang diperbuat si
Bungsu adalah menjulurkan kedua tangannya ke arah Cowie.
Dia bisa memahami dan bersyukur bahwa Cowie memasangkan pula gari itu dengan baik.
Sebab, jika misalnya belenggu itu tidak terkunci dengan benar, maka kemungkinan yang terjadi setelah
diperiksa di atas adalah si Bungsu langsung ditembak.
Atau yang ditembak justru Cowie. Bukannya hal yang mustahil pula bahwa yang ditembak bukan salah
seorang di antara mereka, melainkan kedua mereka
sekaligus. Mereka berusaha untuk tidak saling memandang ketika memasang belenggu itu, agar tidak
ditafsirkan sebagai memberi isyarat atau apapun yang
bisa diartikan sebagai usaha persiapan melarikan diri.
Usai belenggu dipasangkan, tali nilon sebesar empu jari kaki dilemparkan ke bawah. Tali tersebut adalah
tali nilon yang biasanya dipergunakan untuk menarik
mayat dari lobang sekapan itu ke atas.
“Ikat kedua pergelangan tangannya yang dibelenggu itu…” ujar tentara Vietnam yang melemparkan
belenggu ke pada Cowie.
Cowie kembali mengambil ujung tali nilon tersebut. Lalu membuat jeratan, sebagaimana beberapa hari
yang lalu dia juga membuat jeratan di ujung tali yang
sama, untuk di kalungkan ke leher Sersan Mike Clark yang sudah mati. Jerat itu kemudian dia kalungkan
ke tangan si Bungsu yang dibelenggu. Setelah itu tali plastik tersebut dia lilitkan di tengahnya. Ikatan
seperti itu mencegah tangan si Bungsu tidak terluka atau terlalu sakit ketika tubuh si Bungsu ditarik ke
atas.
“Tarik…!” ujar tentara Vietnam yang berpistol, begitu melihat Cowie selesai mengikat kedua pergelangan
tangan si Bungsu.
Tiga orang tentara Vietnam segera menarik dengan kasar tali tersebut. Tarikan kuat dan tiba-tiba itu
membuat tubuh si Bungsu terputar dan wajahnya
menghantam dinding lobang. Hal itu terjadi sebelum dia sempat mengantisipasi dengan menekankan
kakinya ke dinding. Benturan diikuti tarikan yang
menyebabkan wajahnya tergesek dengan keras ke dinding, mengakibatkan hidung dan kening si Bungsu
berdarah. Sesampai tubuhnya di atas dia segera
digelandang menuju ke perkampungan. Sementara dua tentara lainnya segera pula menutup lobang
tempat menyekap para tawanan tersebut.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-691


Si Bungsu tiba-tiba merasa tubuhnya dijalari rasa hangat yang alangkah nikmatnya. Hal itu disebabkan
cahaya matahari yang selama ini tak pernah
menyentuh tubuhnya, kini hal itu langsung dia rasakan. Dia terkejut tatkala sambil melangkah dia melihat
ke arah kakinya. Kakinya pucat bukan main. Selain
pucat juga berkerut karena lama didisekap dalam lobang tersebut. Barangkali sudah lebih dua bulan.
Selama itu pula tubuhnya terendam. Dia menjadi
semakin faham kenapa banyak tahanan yang mati perlahan dalam lobang sekapan itu.
Untunglah selama dalam penyekapan itu dia tetap menjaga kondisi dengan mengatur pernafasan,
kemudian melakukan gerakan-gerakan seperti senam.
Sehingga kendati kaki, pinggang dan tangannya mengkerut karena air, namun reaksi dan gerak
bahagian-bahagian tubuhnya tersebut tetap normal. Apalagi
kini tubuhnya mendapat cahaya panas matahari secara langsung. Keningnya berkerut tatkala terpandang
pada kedua pergelangan tangannya yang digari.
Lobang gari itu ternyata terlalu besar bagi tangannya yang sudah mengecil.
Bahkan jikapun tangannya dia kepalkan, dia yakin kepalan tangannya itu tetap saja bisa lolos dari lobang
gari tersebut. Rasa hiba terhadap dirinya, terhadap
tawanan yang masih disekap dalam lobang, berangsur-angsur berobah menjadi marah. Dengan sedikit
menggoyang tangan, gari di tangannya itu meluncur
turun. Gari yang di tangan kanannya saat meluncur ke bawah dia tahan dengan telapak tangan.
Digenggamnya erat-erat. Gari yang di tangan kiri terhenti di
punggung buku-buku jarinya yang dia kepalkan. Dia mempelajari situasi di mana dia kini berada.
Jalan yang mereka tempuh ternyata melintasi hutan bambu. Lalu dia mempelajari jumlah tentara Vietnam
yang menggiringnya. Hanya ada empat orang. Dua
milisi yang tadi menodongkan bedil ke lobang saat dia akan ditarik, ternyata petugas yang menjaga di
pondok dekat lobang penyekapan tersebut. Kini mereka
tetap tinggal di sana. Dua orang tentara, termasuk si komandan yang berpistol, berjalan di depannya.
Dua orang lagi di belakang.
Namun hatinya mulai bimbang. Masih tetap cepatkah reaksi tangan dan kakinya? Masih sekuat dulukah
pukulan dan tendangannya?
Dia mencoba mengepalkan tengannya kuat-kuat. Kepalan tangannya tetap terasa kuat dan kukuh. Urat-
urat darahnya mengencang dan darahnya terasa
berjalan normal. Langkahnya menjadi lambat saat dia terbatuk keras. Dia berjalan lagi, dan tiba-tiba
batuk keras dan panjang kembali menyergapnya.
Langkahnya terhenti. Dia sampai terbungkuk dengan tangan menahan dadanya dan terasa sakit akibat
batuk tersebut. Dua tentara yang di belakang dengan
bedil tetap ditodongkan, terhenti pada jarak sedepa. Saat itulah gari yang sudah lepas dari
pergelangannya dia hantamkan ke tentara terdekat.
Bersamaan dengan itu tangan kirinya menepis sekaligus merenggutkan ujung bedil tentara Vietnam
tersebut. Belenggu berwarna putih itu menghantam
bahagian belakang telinga si tentara. Dia rubuh pingsan bersamaan dengan berpindah tangannya bedil
yang dia todongkan ke tangan si Bungsu. Tentara yang
seorang lagi belum sempat mengetahui apapun, ketika dadanya dihantam popor bedilyang dihentakkan
oleh si Bungsu dari posisi berlutut.
Tentara itu mengeluh, matanya mendelik. Lalu dia jatuh berlutut dan terlentang di jalan. Kejadian itu amat
cepat, hanya dalam hitungan detik!
Saking cepatnya peristiwa itu terjadi menyebabkan dua tentara yang berjalan di depan, yang menoleh ke
belakang karena mendengar ada keluhan, tak segera
bisa menyadari apa sesungguhnya yang sedang dan telah terjadi. Sesaat mereka hanya tertegun.
Mereka tiba-tiba aja melihat tawanan yang mereka giring itu,
yang kini masih dalam posisi berlutut di kaki kirinya, sudah menodongkan ujung bedil kepada mereka.
Dalam gerakan yang amat cepat, orang itu sudah melakukan dua gebrakan yang langsung melumpuhkan
dua teman mereka berada di belakang. Padahal
kedua teman mereka itu mengawal dengan telunjuk siaga di pelatuk bedil. Sungguh-sungguh tak pernah
mereka bayangkan tawanan yang mereka giring ini
bisa bergerak secepat dan setangguh itu. Kini semuanya terlambat sudah.
“Taruh senjata kalian, di tanah. Letakkan perlahan. Saya sudah membunuh lebih dari seratus tentara,
karenanya jangan bunuh diri dengan mencoba
melakukan tindakan bodoh…” ujar si Bungsu perlahan dalam bahasa Inggris.
Kedua tentara itu tak memiliki pilihan lain. Tatapan mata dan kata-kata yang keluar dari bibir tawanan di
depan mereka menggambarkan sikap yang amat
profesional. Mereka menuruti perintah si Bungsu, meletakkan senjata di tanah. Dengan tangan kiri di
pelatuk bedil, tangan kanan si Bungsu meraih belenggu
yang tergeletak di tanah. Kemudian melemparkannya dengan kuat dan cepat ke arah si komandan. Gari
itu menetak kening si komandan, matanya juling.
Tanpa sempat mengeluh, tentara itu rubuh, pingsan! Yang seorang lagi ternganga dan menggigil.
Si Bungsu melangkah ke arahnya, kemudian tangannya bergerak. “Pletak!’ Si Bungsu mendaratkan ruas-
ruas jari tengahnya lewat sebuah pukulan melingkar ke
belakang telinga tentara yang tegak seperti kehilangan semangat itu. Pukulan tersebut menotok urat
darahnya dan membuat dia rubuh dalam keadaan
pingsan. Si Bungsu menyambar tali nilon sebesar empu jari kaki, yang tadi dipergunakan untuk menarik
dirinya dari dalam sekapan.
Dia bergerak cepat, merampas bedil dan sebuah pistol milik ke empat tentara itu. Kemudian kembali ke
lobang penyekapan.
Menjelang sampai ke tempat penyekapannya dia masuk ke hutan bambu. Dan mendekati pondok
penjagaan dari sisi kanan. Kedua milisi Vietnam itu ternyata
sedang berjudi dengan kartu ceki. Dinding pondok kecil itu hanya dibuat sekitar tujuh puluh lima
sentimeter. Dengan demikian, jikapun pengawal duduk, dia
masih bisa melihat langsung ke lobang penyekapan yang terletak sekitar empat meter dari pondok.
Selain itu, dengan dinding yang hanya separoh tersebut,
mereka yang dipondok juga bisa mengawasi seluruh penjuru sekitar pondok itu.

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 688-689


Dalam Neraka Vietnam -bagian 688-689
Dalam Neraka Vietnam-bagian-688

“Ayo kita cari lagi. Saya masih cukup banyak kantong seperti ini, yang sudah kita buang dan terbenam
jauh di bawah lumpur…” bisik Cowie.
Ke tiga tentara Amerika itu kembali menyelam. Begitu juga si Bungsu. Yang pertama dia lakukan adalah
menggulung kantong plastik itu sehingga menjadi gulungan kecil. Kemudian dia letakkan baik-baik di tepi
dinding di dasar lobang. Ditimbunnya dengan dua kepal lumpur agar jangan mengapung ke permukaan.
Lalu tangannya menggerayang lagi mengaduk-aduk lumpur. Beberapa kali mereka saling berbenturan
kepala di dalam air kental tersebut, atau tangan mereka saling beradu saat mengaduk-aduk lumpur.
Ketika satu demi satu mereka muncul lagi dengan nafas tersengal-sengal, di tangan Cowie ada tiga
kantong plastik. Smith mendapat enam, Graham dua buah dan si Bungsu lima. Mereka pada bersandar
terlebih dahulu di dinding lobang. Mengatur pernafasan. Namun tak seorang pun yang mengangkat
kantong plastik yang mereka dapat kepermukaan. Mereka memegang kantong-kantong plastik tersebut
di dalam air.
Semua mereka merasa perlu waspada. Kendati mereka yakin takkan ada seorang pun tentara atau milisi
Vietnam yang akan mencoba melihat dari atas. Namun harapan untuk bebas yang tiba-tiba demikian
besar membersit, membuat mereka berhati-hati. Mereka tak ingin ada Vietnam yang melihat bahwa
mereka tengah mengumpulkan kantong plastik tersebut.
Sore sudah turun saat mereka menyelesaikan pekerjaan menyambung-nyambung tali dari kantong
plastik itu. Kini mereka memiliki tali sepanjang lebih kurang lima depa. Cowie memberi isyarat agar
menyembunyikan saja tali itu di dalam air. Tak usah dicoba menarik-narik untuk menguji kekuatannya.
Cowie, dan mereka semua sepakat, agar bersikap lebih hati-hati. Jangan sampai ada mata yang
mengintai apa yang mereka lakukan di dalam lobang ini. Fikiran dan kecurigaan seperti itu tak pernah
muncul selama ini. Fikiran itu baru muncul setelah mereka memiliki alat untuk melarikan diri.
Cahaya sore yang merah, membias ke dalam lobang di mana mereka berada. Ke tiga tentara Amerika
itu, Letnan PL Cowie, Sersan Tim Smith dan Kopral Jock Graham, tiba-tiba saja seperti orang yang baru
bangkit dari kubur. Wajah mereka membiaskan harapan untuk bebas amat besar. Berbeda dari saat
sebelum tali plastik itu mereka buat.
Dimana wajah dan mata mereka kelihatan murung dan tak bercahaya. Kini, wajah mereka memang tetap
pucat, namun ada rona dan harapan yang membersit di sana. Ketika gelap sudah meraup semua lobang
tersebut, Cowie dan si Bungsu segera mengatur ujicoba kekuatan tali plastik yang mereka buat. Wajah
mereka membiaskan harapan hidup yang amat besar. Berbeda dari saat sebelum tali plastik itu mereka
buat. Dimana wajah dan mata mereka tetap kelihatan murung dan tak bercahaya. Kini, wajah mereka
memang tetap pucat, namun ada rona dan harapan yang membersit di sana.
Ketiga gelap sudah meraup semua lobang tersebut, Cowie dan si Bungsu segera mengatur uji coba
kekuatan tali plastik yang mereka buat. Si Bungsu menyelam di tempat yang sudah dia beri tanda di
mana dia menyimpan tali plastik yang lima depa itu. Tangannya mengaiskan lumpur yang dia jadikan
sebagai pemberat, agar tali itu tidak mengapung. Setelah muncul dan tegak di sisi Cowie, dia
menyerahkan ujung yang satu kepada letnan tersebut. Sementara ujung yang satu lagi tetap dia pegang.
“Saya dengan Smith, Anda dengan Graham…” bisik Cowie.
“Oke….” ujar si Bungsu.
Kedua orang yang disebut Cowie, Smith dan Graham, yang juga tegak di dekat mereka, segera berbagi
tegak. Smith mengikuti langkah Cowie ke dinding yang berseberangan dengan tempat tegak si Bungsu.
Sementara Graham mendekatkan tegaknya ke dekat si Bungsu. Kini tali plastik itu mereka regang. Si
Bungsu dan Graham di ujung yang satu, sementara Cowie dan Smith di ujung lainnya.
“Siap….?” bisik si Bungsu.
“Yap…!” jawab Cowie.
Keempat mereka memegang masing-masing ujung tali itu kuat-kuat ketika si Bungsu menghitung mundur
dari tiga, dua, satu dan nol. Pada hitungan nol, mereka menarik tali itu sekuat mungkin. Namun yang
terjadi bukannya tali yang putus, tapi Cowie dan Smith di ujung sana tertarik kuat ke depan. Mereka
berdua sampai kehilangan keseimbangan dan kelelep di air.
“Pantat kurap….” sumpah Smith diiringi sederet panjang makin lain.
Rupanya dia tak bisa menahan tarikan kuat si Bungsu dan Graham, beberapa teguk air kental tertelan
olehnya. Untuk beberapa saat dia kelam kabut menyemburkan air bekas mayat teman-temannya itu.
Cowie tertawa, Graham tertawa. Smith akhirnya ikut tertawa. Cowie segera sadar, tenaga mereka amat
tak berimbang dibanding tenaga orang Indonesia itu. Soalnya dia dan Smith memang sudah tak punya
tenaga sedikit pun. Habis terhisap selama dalam lobang sekapan dengan makan amat minim selama
lebih dari dua tahun. Sementara si Bungsu masih segar bugar.
Si Bungsu juga menyadari perbedaan antara tenaga yang dia miliki dibanding tenaga ketiga teman satu
tahanannya tersebut. Dia faham, bertahun-tahun di dalam sekapan, dengan makanan dan minum yang
amat kurang, menyebabkan tubuh para tawanan menjadi seperti mayat hidup. Benar-benar hanya tinggal
tulang belulang dibalut kulit. Dia sendiri tak yakin bisa bertahan hidup jika ditahan selama itu.
Mereka lalu kembali mengulangi percobaan dalam gelap gulita itu. Kali ini, si Bungsu tegak sendirian,
sementara Cowie, Smith dan Graham bergabung jadi satu di ujung yang lain.
“Siap?” bisik si Bungsu.
“Yap…” ujar Cowie.
Si Bungsu kembali mengulang menghitung mundur. Pada saat dia menyebut angka nol, mereka semua
mengerahkan tenaga. Menarik sekuat daya ujung tali pada bahagian masing-masing. Hanya beberapa
saat, tiba-tiba semua mereka merasakan tali itu putus dan mereka pada tersandar dengan agak keras ke
dinding di belakangnya. Nafas ketiga tentara Amerika itu pada memburu.
“Cowie….?” bisik si Bungsu.
“Ya….”
“Putus?”
“Ya….”
“Periksa bahagian ujung yang putus itu…..”
Cowie menghela tali plastik tersebut. Menggulungnya perlahan sampai ujung yang putus itu tiba di
tangannya. Demikian juga si Bungsu.
“Bungsu….” bisik Cowie.
“Ya…?”
“Tak ada serpihan bekas putus di ujung tali ini….”
“Ya, di ujung ini juga tidak…” jawab si Bungsu.
“Kalau demikian, tali ini tidak putus. Melainkan terlepas sambungannya…” ujar Cowie.
“Ya, menurut saya juga begitu…” jawab si Bungsu.
“Kita uji lagi?” tanya Cowie.
“Ya, kecuali kita ingin tetap berada di dalam lobang celaka ini selama-lamanya…” ujar si Bungsu sambil
melangkah di dalam air, mendekati tempat Cowie dan kawan-kawannya.

tikamsamurai,Dalam Neraka Vietnam-bagian-689


“Kami sudah cukup lama di sini. Kalau ada yang harus tinggal lebih lama, lebih baik kau saja. Sebab
pengalamanmu berada di dalam lobang seperti ini harus diperdalam. Makin lama engkau berada di sini
makin banyak yang bisa kau pelajari…..” ujar Cowie, disambut tawa cekikikan Smith.
“Sebaiknya Smith atau Graham saja yang diperpanjang masa tugasnya di lobang ini, jangan saya. Saya
orang asing, bukan orang Amerika. Jadi tak ada manfaatnya bagi Vietnam….” ujar si Bungsu membalas
guyonan Cowie.
Smith bercarut marut diiringi tawa. Senang juga hatinya mendengar senda gurau orang Indonesia ini.
Mereka lalu menyambung lagi ujung tali yang ikatannya terlepas itu. Kemudian pengujian kembali
dilakukan dengan menarik sekuat mungkin. Beberapa kali mencoba, tali itu memang kenyal dan alot
sekali. Tak bisa putus meski ditarik kuat-kuat oleh empat lelaki dewasa. Mereka kini benar-benar punya
harapan untuk bisa membebaskan diri. Mereka tak tahu bagaimana caranya. Belum pula pernah
merencanakan apapun. Jadi mereka sebenarnya tak tahu, apa yang akan mereka lakukan.
Bisa melarikan diri memang menjadi idaman setiap tawanan. Namun risikonya adalah nyawa. Kendati
belum ada rencana apapun, belum tahu kapan saatnya melarikan diri, namun memiliki tali yang amat
kukuh dengan panjang sekitar lima depa itu benar-benar memberi dorongan semangat pada mereka.
Hidup bebas di luar merupakan bayangan yang amat indah.
“Besok kita uji dengan bergantung di tali ini…” bisik si Bungsu yang bersandar di sisi Cowie.
“Saya yakin, engkau bisa membawa kami keluar dari lobang ini, Bungsu…” ujar Cowie perlahan,
didengar dengan diam oleh Smith dan Graham.
“Saya tidak melihat bagaimana caranya. Lobang ini terlalu tinggi untuk dilompati. Kita tak memiliki senjata
apapun…” ujar si Bungsu.
Kendati dia berkata perlahan, namun karena mereka berempat tegak berdekatan, semua bisa
mendengar percakapan perlahan itu dengan cukup jelas.
“Engkau sudah memulainya kawan. Gagasan membuat tali dari kantong plastik itu tak pernah terfikirkan
oleh kami sebelumnya. Kini engkau ternyata melihat hal itu. Kita tunggu saat yang tepat serta
merencanakannya sebaik mungkin…” ujar Cowie.
Kemudian mereka lebih banyak berdiam diri. Tak lama setelah itu, si Bungsu memisahkan diri dari
kelompok tersebut. Dia pergi ke bahagian lain dari dinding itu. Kemudian orang-orang hanya mendengar
suara air bersibak. Cukup lama.
“Hei, kau belajar berenang?” tanya Smith perlahan, diiringi suara tawanya separoh terkekeh.
Tak ada jawaban dari si Bungsu. Suara air berkecipak itu tetap saja mereka dengar berkepanjangan.
Akhirnya ketiga tentara itu hanya mendengar dengan diam. Mereka memang tak dapat melihat apapun di
dalam lobang itu jika gelap sudah turun. Mungkin ada sekitar tiga atau empat jam suara air berkecipak itu
mereka dengar. Setelah itu mereka dengar tarikan nafas, lalu sepi. Mereka lalu tertidur dalam pulas.
Paginya semua pada tersentak terbangun mendengar carut marut Smith. Cowie yang membuka mata
duluan menatap ke arah Smith, lalu Graham.
Smith ternyata sedang melototkan matanya ke arah si Bungsu. Cowie dan Graham ikut memandang ke
arah yang dipandang Smith. Dan mereka juga ikut melotot seperti Smith. Betapa mereka takkan melotot,
kalau di seberang sana, mereka melihat lelaki asal Indonesia itu tidur menyandarkan diri. Tapi yang
membuat mereka melotot bukannya tidur si Bungsu, melainkan batas air yang terlihat di tubuh lelaki itu.
Jika di tentang mereka ketinggian air tetap saja sebatas pangkal leher, di tentang si Bungsu air ternyata
hanya sebatas perutnya!
Tidaklah mungkin air di ruangan yang sama, dengan kedalaman lobang yang sama, bisa dangkal di
suatu tempat dan dalam sangat di tempat yang lain. Mungkin atau tak mungkin, bukti yang kini mereka
saksikan dengan mata kepala sendiri memang begitu. Ketiga mereka lalu perlahan ke arah tempat si
Bungsu, yang masih saja tidur pulas. Smithlah yang pertama terhenti langkahnya. Langkahnya terhenti
karena tiba-tiba saja tubuhnya kejeblos ketempat yang lebih dalam. Kepalanya tiba-tiba lenyap dari
permukaan air. Dia kaget dan sempat kelelep sebelum akhirnya menggerapai mundur.
“Setan… pantat kurap! Apa-apaan ini?” rutuk Smith begitu kembali berdiri di tempat yang datar.
Si Bungsu terbangun. Dia membuka mata dan segera tertawa sambil menatap kepada tiga teman-
temannya yang kurus kerempeng itu. Ketiga mereka kini berada di tengah lobang, sekitar dua meter dari
tempatnya.
“Hai…” ujarnya sambil tersenyum.
Ketiga tentara Amerika itu masih melongo menatapnya, yang seolah-olah berada di atas air. Si Bungsu
menggapaikan tangannya ke depan, ke bahagian bawah tempat duduk tersebut. Lalu memperagakannya
pada ketiga tentara Amerika itu. Mereka masih terlongo, sebab yang diperagakan si Bungsu hanyalah
sekepal lumpur. Cowie yang pertama menyadari kenapa orang Indonesia itu kini seolah-olah berada di
ketinggian. Hal itu berkaitan erat dengan apa yang dilakukan orang Indonesia itu tadi malam. Dia
memang berada di posisi lebih tinggi dibanding posisi mereka kini.
Tadi malam, kecipak air yang mereka dengar selama berjam-jam itu adalah akibat lelaki dari Indonesia ini
bekerja keras. Menyelam mengumpulkan lumpur. Lalu menumpuknya di salah satu dinding tahanan.
Berjam-jam melakukan penumpukan, tentu saja lumpur itu makin lama makin tinggi. Dan kini, dia tak
perlu berdiri lagi. Pekerjaannya malam tadi menghasilkan sebuah ‘kursi’ yang terdiri dari unggukan
lumpur. Di kursi itulah dia kini duduk, sehingga air seolah-olah sebatas perutnya. Ketiga tentara Amerika
itu kemudian berdatangan ke ‘kursi’ si Bungsu.
Lalu mereka menjadi seperti anak-anak yang mendapat permainan baru. Bergantian naik ke ‘kursi’
lumpur tersebut. Sersan Tim Smith kemudian tak mau kalah. Dia segera melangkah ke sisi dinding yang
lain. Kemudian menyelam. Lalu dari kedalaman air itu dia meraup lumpur dengan tangannya.
Mengungguk lumpur sedikit demi sedikit ke tepi dinding. Dia juga ingin membuat sebuah ‘kursi’ untuk
tempatnya duduk. Malah kalau bisa, dia ingin membuat tempat tidur. Dengan demikian dia tak usah lagi
harus berdiri. Dia berharap bisa berbaring-baring di tempat tidurnya yang baru itu. Cowie dan Kopral Jock
Graham hanya menatap dengan diam.
Namun lewat tengah hari, mereka dikejutkan dengan dibukanya penutup lobang tersebut. Empat tentara
Vietnam dan dua milisi berjejer di atas dengan bedil ditodongkan ke bawah.
tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 685-686-687
Dalam Neraka Vietnam -bagian 685-686-
687
Dalam Neraka Vietnam-bagian-685

Smith kalau berjalan pasti tak lurus. Tulang kering kaki kanannya patah dihajar, juga dengan popor bedil.
Kini memang sudah sembuh, tapi tulang keringnya itu bertaut secara tak benar. Kalau dia berjalan,
jalannya tak normal. Setelah si Bungsu berada di hari kelima di dalam kurungan itu, barulah orang
Vietnam memberi mereka makanan. Makanan berupa sisa yang terdiri dari rebus ubi kayu, keladi dan
ikan asin itu dimasukkan ke dalam sejenis kambut. Kemudian dilempar begitu saja ke dalam lobang
penyekapan tersebut. Cowie yang pangkatnya memang tertinggi, mengatur agar semua mereka tidak
berebutan.
Sebab pengalaman sudah mengajarkan, ketika bulan-bulan pertama disekap, sebahagian dari mereka
babak belur saling pukul karena berebut makanan, yang selain tak memenuhi syarat, jumlahnya pun
amat sedikit.
“Makanlah, karena mana tahu ini adalah makanan terakhir bagi salah seorang di antara kita…” ujar
Cowie.
Mereka makan dengan diam tapi dengan cepat. Hanya beberapa saat, makanan yang menjadi bahagian
masing-masing itu habis. Smith malah menjilati tangannya, merasakan nikmatnya rasa asin ikan yang
tertinggal di jari-jarinya. Kemudian mereka meminum air yang dikirim bersama makanan itu. Air mentah,
tapi jernih, barangkali air sungai atau air sumur, yang dibungkus dengan kantong plastik. Cowie memberi
jatah air dua teguk seorang, kemudian tempat air digantung pada sebuah ranting yang ditancapkan di
dinding tanah napal itu.
Tak ada yang membantah aturan yang ditetapkan Cowie, karena aturan itu amat mereka perlukan.
Mereka tak mungkin meminum air setinggi dada dalam lobang dimana mereka disekap. Selain airnya
kuning dan kental karena lumpur, air itu juga sudah kotor dan bau sekali. Maklum, di lobang tersebut
sudah lebih dari enam atau tujuh orang yang mati. Setiap ada yang mati, mayatnya tak segera diangkat
orang Vietnam. Ada yang sehari, ada yang dua hari, malah seperti mayat terakhir baru pada hari ketiga
diangkat. Namun makanan yang mereka terima itu ternyata tak bisa menolong Sersan Mike Clark.
Kondisi sersan itu sudah demikian buruknya sebelum dipindahkan ke lobang laknat ini. Kondisi
kesehatannya yang buruk itu diperburuk oleh bau mayat selama tiga hari di dalam lobang 4 x 4 meter itu.
Tak lama setelah usai makan, dia diserang demam. Nampaknya dia terkena tularan kawannya dua
minggu yang lalu. Dia menggigil dan mengigau. Tiap sebentar tubuhnya melorot dan terbenam ke dalam
air. Cowie sudah berkali-kali menyangga badan temannya itu agar tak terbenam. Si Bungsu menyesal
kehabisan ramuan tradisionalnya.
Kalau saja dia mendapat sedikit dedaunan atau lumut yang cocok untuk obat, dia yakin dia bisa
menolong Mike Clark. Namun dalam kondisi seperti sekarang kemana dia harus mencari dedaunan atau
lumut? Tubuh sersan itu dipegangi Jock Graham. Mereka tak berusaha berteriak meminta bantuan
kepada dua penjaga yang ada di atas. Teriakan atau panggilan dalam bentuk apa pun takkan pernah
diacuhkan. Memanggil atau berteriak hanya akan menghabis-habiskan tenaga. Mereka sudah berkali-kali
mengalami hal seperti itu.
Berkali-kali pula yang sakit di dalam lobang penyekapan ini harus menyerahkan nyawa mereka benar-
benar pada takdir Tuhan. Hanya ada satu di antara dua kemungkinan yang harus mereka tunggu.
Sembuh dengan sendirinya, atau mati. Untuk kemungkinan pertama, bukannya tak ada. Baik Cowie
maupun Tim Smith pernah menderita demam berhari-hari. Namun karena demam mereka stadiumnya
masih rendah, akhirnya mereka sembuh sendiri. Tetapi sebahagian besar lainnya, demam memang
mengantar mereka ke pintu kubur.
Sersan Mike Clark sudah benar-benar tak sadar pada dirinya. Tubuhnya menggigil terguncang-guncang.
Setiap satu jam mereka bergiliran memegang tubuh sersan itu agar tak tenggelam. Dan menjelang larut
malam, hanya sekitar enam jam setelah mereka mendapat jatah makanan, tubuh sersan itu sudah tak
bergerak.
Kebetulan saat itu yang mendapat giliran untuk memegangi tubuh sersan tersebut adalah si Bungsu dan
Tim Smith. Si Bungsu memegangi Clark pada bahagian kepala dan punggung, sementara Smith
memegangi bahagian pinggul dan paha.
Dengan kedua tangan berada di bahagian bawah tubuh yang ditelentangkan itulah mereka menjaga agar
si sakit tidak tenggelam. Sebenarnya, dengan bantuan air menahan tubuh orang agar tak tenggelam
tidaklah begitu berat. Apalagi semua mereka di dalam lobang itu, kecuali si Bungsu, badannya pada
kurus kerempeng. Kalau saja dinaikkan ke timbangan, beratnya rata-rata mungkin hanya sekitar 40an
kilogram. Dengan tubuh di atas 175 cm, berat badan sekian membuat mereka seperti kerangka hidup.
Menjelang larut malam itu, si Bungsu merasa tak ada gerakan apapun lagi pada tubuh Clark.
Perlahan tangannya yang memegang kepala Clark, meraba nadi di leher sersan itu. Tak ada gerakan, tak
ada denyut sehalus apa pun. Dia tak perlu meraba atau mendengarkan degup jantung sersan itu untuk
memastikan apakah dia benar-benar sudah mati atau masih hidup. Tidak, dia sudah belasan kali
menghadapi orang yang berada dalam keadaan sakratul maut. Dari pengalaman itu dia sangat yakin
sersan ini sudah mati. Dan dia yakin, bagi mereka yang sudah bertahun dalam sekapan ini, kematian
merupakan anugerah, dibanding harus mati setelah menderita dalam waktu yang amat panjang.
Si Bungsu kembali meluruskan badannya bersandar ke dinding. Dia menoleh ke arah Smith. Tak ada
yang kelihatan, kendati jarak antara mereka berdua hanya sehasta. Kegelapan yang kental
menyebabkan suasana di dalam lobang itu tenggelam dalam kelam yang tak terbayangkan.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-686


Namun dia tahu Smith masih tegak di sisinya, juga bersandar ke dinding. Suara nafas lelaki itu dia
dengar teratur. Dia juga tahu Smith sedang tidur. Hampir dua tahun disekap seperti ini, membuat tentara
Amerika itu benar-benar terlatih dan tahu bagaimana tidur dalam segala kondisi.
Pendengarannya yang tajam juga menangkap dengkur perlahan Letnan Cowie dan Kopral Jock Graham.
Perlahan dia berbisik, memanggil Smith yang tegak di sisinya.
“Smith….”
“Ya….” jawab Smith, juga berbisik tanpa membuka mata.
“Orang ini sudah mati….”
Tak ada jawaban. Dari kegelapan di atas sana sayup-sayup terdengar suara burung malam.
“Apa…?”
“Clark sudah mati….”
Smith menarik nafas panjang.
“Kau yakin?”
“Ya…”
Tak ada jawaban dari Smith. Yang dia lakukan, justru melepaskan pegangan kedua tangannya di paha
Mike Clark yang tubuhnya mengapung di permukaan air.
“Lepaskan saja…” ujar Smith perlahan sambil menggeliat.
Saat si Bungsu melepaskan pegangannya pada punggung bahagian atas tubuh Clark, juga pegangan di
bahagian kepala. Smith masih menggeliat panjang. Dia meregangkan kedua tangannya yang hampir
kesemutan tinggi-tinggi ke atas. Lalu dia melemaskan jari-jarinya. Menarik jari itu bergantian satu demi
satu, sehingga buku-buku jarinya memperdengarkan bunyi gemeletuk. Kemudian dia menguap panjang
dan menegakkan tubuhnya yang bersandar hampir sepanjang malam. Lalu memutar badan bahagian
atasnya, melemaskah pinggang dan otot-ototnya yang semua terasa kaku.
Si Bungsu juga melakukan hal yang sama. Meluruskan tegak dari posisi bersandar. Menggeliat dengan
meregangkan kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas. Lalu memutar tubuh bahagian atasnya ke kiri, ke
kanan dan sedikit membungkuk. Mereka jelas tak bisa membungkuk benar, karena air di dalam lobang
itu tingginya hampir mencapai leher mereka masing-masing. Dalam kegelapan yang kental tersebut,
mayat Clark yang mengapung perlahan ke bahagian tengah lobang penyekapan itu, tak kelihatan sama
sekali.
Bagi orang-orang di atas sana, bahkan bagi hampir separuh rakyat Amerika; perang Vietnam sudah
berbulan-bulan usai. Namun bagi mereka yang berada dalam lobang penyekapan ini, dan bagi ratusan
tawanan perang Amerika yang dinyatakan sebagai MIA, yang disekap di puluhan tempat rahasia, perang
Vietnam benar-benar belum selesai. Memang tak ada peluru berdesingan atau bom yang menggelegar.
Karena mereka yang tertawan dan disekap memang tak memiliki senjata dalam bentuk yang paling purba
sekalipun. Tetapi, dalam peperangan ada kata-kata yang dihafal hampir seluruh prajurit yang maju ke
medan tempur. Kata-kata nasehat sekaligus peringatan itu bermula dari saat latihan.
“Lebih baik bermandi keringat dalam latihan, daripada bermandi darah dalam pertempuran”. Kemudian
jika mereka benar-benar sudah berada di medan tempur, ada kata-kata. “Peperangan hanyalah latihan.
Menjadi tawanan musuh adalah pertempuran sesungguhnya”. Hanya bagi mereka yang pernah ditawan
Vietnam, yang sangat memahami kebenaran kata-kata peringatan itu. Sebagaimana halnya dialami oleh
mereka yang kini berada dalam lobang penyekapan bersama si Bungsu, yang disekap di wilayah
Vietnam yang mereka tak ketahui di mana lokasinya.
Mendengar ada suara perlahan, Cowie yang juga sedang tidur berdiri, segera terbangun. Membuka mata
atau tidak, dalam sergapan gelap seperti sekarang, bagi mereka sama saja. Yang kelihatan hanya hitam
kelam. Bahkan mereka juga takkan melihat jari-jari mereka sendiri, kendati mereka meletakkan jari jari
tangannya persis di depan mata.
“Smith…” imbau Cowie perlahan.
“Yes, Sir….”
“Clark mati?”
“Yes, Sir! Si Bungsu memastikan hal itu….”
“Bungsu….”
“Ya, Letnan….”
“Sudah berapa lama dia mati?”
“Sekitar sepuluh menit yang lalu, Letnan….”
Letnan Cowie, dan juga Kopral Jock Graham yang ikut terbangun dalam kegelapan yang kental itu,
termenung.
“Bungsu…” ujar Cowie perlahan, setelah mereka lama saling berdiam diri dalam kegelapan tersebut.
“Ya, Letnan….”
“Terimakasih, Anda telah ikut bersusah-susah memegangi Sersan Clark.…”
Si Bungsu menarik nafas panjang. Dia merasa tak perlu mengomentari ucapan terimakasih Cowie.
Fikirannya melayang, sampai kapan mereka berada dalam sekapan ini? Sampai nyawa mereka tercabut
satu demi satu, seperti Clark dan yang mati pertama karena malaria itu? Dia tidak ingat sudah berapa
belas hari dia berada di dalam lobang sekapan maut ini. Dia tak pernah menghitung. Tetapi ada juga
pelajaran yang dia peroleh dari Cowie dan Smith, bagaimana cara melepaskan lelah dalam air berlumpur
tersebut. Jika penat berdiri atau bersandar di dalam air yang hampir mencapai dada itu, mereka lalu
mengapungkan diri.
Menelentang atau menelungkup di air. Karena airnya kental, berat jenis air itu lebih besar dari berat jenis
air sungai yang jernih. Dengan berat jenis air yang lebih besar itu tubuh mereka yang memang sudah
kurus dengan mudah mengapung lebih lama dibanding jika mereka mengapungkan diri di sungai. Jika
ada yang melihat ke dalam lobang itu pada saat mereka “istirahat” di atas air, ke empat lelaki tersebut
akan nampak seperti mayat yang berapungan di air. Mayat Clark ternyata lebih baik nasibnya dari mayat-
mayat sebelumnya yang mati dalam lobang tersebut.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-687


Sekitar pukul sepuluh esoknya,dua milisi vietnam datang mengantar makanan untuk mereka.Seperti
biasa,jatah mereka tetap saja nasi sisa dan sedikit basi.Di Tambah ikan asin dan rebus umbi keladi,lalu
air minum yang di bungkus plastik.Cowie yang sedikit-sedikit bisa berbahasa Vietnam,memberi tahu
kedua milisi itu tentang kematian Clark.Karena sudah tiga hari tidak ada yang melihat ke lobang itu,Cowie
mengatakan sudah tiga hari dia meninggal.
Kedua Vietnam itu menatap kepada mayat Clark.Kemudian menghilang,tanpa sepatah katapun.Tak lama
setelah mereka selesai makan jatah mereka,kedua milisi tadi datang lagi berama tiga orang tentara.
“Telentangkan dia..”ujar seorang tentara Vietnam itu dalam bahasa Inggris yang cukup baik.
Cowie menuruti perintah itu.Ketiga tentara di atas,yang tegak sambil menodongkan bedil,memperhatikan
wajah Clark.Mayat itu memang sudah kaku.Mulutnya ternganga,kedua tangannya kaku dan
membengkok keatas.Salah seorang dari tentara itu melemparkan tali nilon sebesar empat jari kaki.
“Ikatkan tali itu di bagian lehernya…” ujar si tentara.
Keempat orang didalam lobang itu mengerti,kalau itu sikap berjaga jaga,kalau -kalau tentara itu hanya
pura-pura mati.Cowie membuat jeratan di ujung tali itu,kemudian mengalungkan nya ke leher sersan
Mike Clark.Ketiga tentara yang di atas menarik tubuh Clark sampai setengah lobang.kemudian
membiarkannya tergantung sambil di perhatikan dengan seksama,apakah tubuh yang di gantung itu ada
sedikit gerakan.
Tentu saja tubuh itu tak bergerak,karena Clark memang sudah meninggal dari malam kemaren.Setelah
beberapa lama memperhatikan,kalau mulut dan tangan mayat itu tak bergerak sedikitpun,barulah tentara
yang bisa berbahasa inggris itu memerintahkan untuk menarik mayat itu sampai keatas.Setelah itu
peristiwa yang rutin kembali mereka saksikan.Loteng bambu diatas kembali di tutup.Tiga kayu pemberat
sebesar tiga kali tubuh manusia kembali di himpitkan di atasnya.Lalu semak dan dedaunan kembali di
timbunkan.
Kemudian mereka kembali di cekam suasana sunyi.Si Bungsu menatap air yang seperti biasa disisakan
Cowie untuk cadangan.Air itu berada di kantong plastik berbentuk tas kresek berwarna hitam.Sejak dia
berada di dalam tahanan ini,entah sudah berapa belas hari,kalau dia tak salah sudah empat kali
pengiriman makanan disertai minuman dengan tas plastik tersebut.Jika isinya sudah habis,tas itu dia
buang begitu saja ke air,kemudian tenggelam perlahan dan lenyap.Sekali lagi si Bungsu menatap tas
plastik yang tergantung di dinding dekat Cowie.
Disangkutkan di ranting yang di tancapkan ke tanah dinding lobang tersebut.Tas yang masih
menggelembung di bagian bawahnya.Tak ada air yang menetes,karena pori plastik itu demikian
rapatnya.
“Apakah mereka selalu mengirimkan makanan dan minuman dengan tas plastik itu?”tanya si Bungsu
pada Cowie dari tempatnya bersandar.
Letnan PL Cowie yang tadi sedang menengadah keatas,mengalihkan tatapanya kepada si
Bungsu.Kemudian mengalihkan pandangannya pada tas plastik yang tergantung di dinding itu.Lalu
menatap kembali pada si Bungsu,kemudian mengangguk.
“Mengapa..?”
Si Bungsu menggeleng.Namun dengan kakinya dia meraba-raba dasar lobang di sekitar tempatnya
tegak.Tak begitu lama meraba-raba,hanya berapa kali mencungkil lumpur,jarinya tersentuh pada sebuah
kantong kresek itu.Dengan jari-jari kakinya dia jepit plastik itu,kemudian mengangkatnya ke
atas,kemudian tangannya masuk ke lumpur meraih plastik itu,lalu dia perhatikan plastik itu dengan
seksama.
Di genggam dan di luruskannya sehingga membentuk sebuah tali yang panjangnya sekitar dua setengah
jengkal.Lalu dia pegang kedua ujung nya,di tariknya perlahan.Dia tahu’tali’dari kantong plastik itu cukup
kuat dan alot.Takkan putus ditarik.Namun dia tetap ingin mencoba.Ingin membuktikan sekuat apa’tali’
itu.Ternyata liat sekali.ditariknya dengan kuat,tetap tak putus.Cowie yang dari tadi memperhatikan,tiba-
tiba tersadar.Dia faham benar apa yang dipikirkan si Bungsu.
“Anda benar…”desis Cowie sembari menatap dengan mata melotot ke arah’tali’plastik yang tengah di
tarik sekuat tenaga oleh si Bungsu.
Kopral Jock Graham dan sersan Tim Smith juga terbelalak setelah mendengar ucapan Cowie,kemudian
menatap kepada tali yang ada di tangan si Bungsu.
“Kumpulkan semua kantong plastik yang ada dalam lobang ini….”bisik Cowie kepada sersan dan kopral
itu.
Dalam beberapa detik,ketiga tentara itu,yang sudah kering kerempeng tersebut segera saja lenyap dari
pandangan si Bungsu.Mereka menyelam dan tangan mereka gentayangan ke segala
penjuru.Mengundak-ngundak lumpur di dasar lobang tempat penyekapan mereka,berusaha
mendapatkan kantong plastik yang pernah mereka terima sebagai tempat minum.Dalam waktu singkat
ketiganya segera mendapatkan empat belas kantong plastik.mereka membersihkannya dari
lumpur.Kemudian meluruskannya sehingga membentuk sebuah tali.
Sambil membersihkan kantong-kantong plastik itu,sesekali Cowie memandang ke atas.Seperti khawatir
kalau-kalau tentara Vietnam yang mengintai apa yang sedang mereka kerjakan.Cowie menyumpahi
kebodohan mereka,kenapa tak dari dahulu mereka punya pikiran bahwa kantong plasti itu di sambung-
sambung menjadi tali.Mereka bekerja dengan diam.Tiap kantong yang mereka luruskan,mereka buhul di
tengah nya.Kemudian mereka sambung-sambungkan.Tiba-tiba saja di tangan mereka kini terdapat tali
yang kukuh dan liat.
Panjangnya sekitar tiga meter lebih.Mereka saling bertukar tatapan satu dengan yang lainnya.Kemudian
ke bambu-bambu yang melintang jauh di atas mereka.Mata mereka pada berbinar.Untuk pertama kali
selama bertahun-tahun,mereka menjadi gemetar dan gugup.Gemetar dan gugup membayangkan
kemungkinan mereka bisa keluar dan melarikan diri dari lobang sekapan dan Dalam Neraka Vietnam ini!

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 683-684


Dalam Neraka Vietnam -bagian 683-684
Dalam Neraka Vietnam-bagian-683

Sambil melangkahi tiap anak jenjang, matanya melotot ke dada wanita tersebut. Dia masih menahan diri.
Tapi pikirannya merayap kemana-mana. Bukan, bukan kemana-mana. Pikirannya merayap hanya ke
satu tempat, yaitu ke balik baju wanita itu. Kesela dadanya yang ranum dan sekal. Nafasnya memburu
ketika dia sampai di bawah. Perempuan itu lalu naik. Si milisi menoleh ke belakang.
Dan… ampun, ketika perempuan itu naik, pinggulnya yang besar membayang jelas. Terbungkus oleh
celana hitamnya yang ketat. Tubuhnya agak kurus. Namun dada dan pinggulnya yang amat sintal
membuat lutut lelaki yang melihat goyah gemertak. Senyum dan tatap matanya amat mengundang selera
buruk lelaki. Itulah yang terjadi begitu dia menaiki anak tangga di pondok pengawalan tersebut. Dia baru
saja akan menghenyakkan pinggulnya di lantai beralas tikar, ketika anggota milisi yang baru turun itu
tiba-tiba saja sudah berada di sisinya.
“Ada apa?” ujarnya kaget sambil menatap ke arah milisi tinggi kurus bermata juling yang tegak di
depannya.
Perang panjang sering membuat manusia kehilangan akal sehat. Dan akal sehat itulah yang hilang dari
tempurung kepala anggota milisi kurus tinggi di pondok penjagaan itu. Dia langsung saja menyergap
wanita itu. Si wanita yang kaget bukan main, berusaha berontak dan berteriak. Namun teriaknya
tersumbat di tenggorokan. Mulut milisi kurus itu sudah menyumpal mulut si wanita dengan rakus.
Berontaknya hanya berupa gelinjang tanpa daya, karena si kurus sudah dikuasai nafsu. Satu-satunya
harapan adalah dua milisi lelaki yang kini berada di bawah pondok.
Yang satu adalah yang sama-sama datang dengannya ke pondok ini untuk menggantikan tugas
penjagaan. Yang satu lagi adalah teman si kurus, yang akan mereka gantikan. Namun reaksi kedua lelaki
itu justru bertolak belakang dengan yang diinginkan si wanita. Kedua mereka justru mengawasi jalan
setapak ke arah kampung. Melihat kalau-kalau ada yang datang. Tentu saja takkan ada yang datang.
Tempat penyekapan itu terletak di tengah pepohonan dan hutan bambu. Jarak ke perkampungan ada
sekitar 500 meter. Memekik kuat pun si wanita tetap takkan terdengar ke kampung. Apalagi pekiknya
tertahan di tenggorokan.
Angin bertiup kencang. Atap penutup lobang penyekapan di depan pondok itu terkuak-kuak. Cahaya
terang menerobos masuk ke lobang itu. Bau busuk segera menerobos ke atas. Para milisi tersebut
segera pada menutup hidung mereka dengan kain. Salah seorang segera melemparkan tali yang tadi dia
sandang di bahunya. Si wanita yang masih berpeluh hanya menatap dari tempat duduknya di atas
pondok. Dia seperti kehabisan tenaga untuk bergerak.
“Ikat mayat itu dengan tali ini…” ujar pimpinan milisi Vietnam itu dalam bahasa Inggris.
Kendati bahasa Inggrisnya tak begitu baik, namun mereka yang berada dalam lobang sekapan itu faham
apa yang disuruh. Letnan PL Cowie maju dan mengikatkan tali sebesar empu jari kaki itu ke pinggang
mayat yang sudah tiga hari mengapung di dalam lobang itu. Tali itu segera ditarik. Masih untung mayat
itu belum berulat. Udara dingin di dalam lobang tersebut membuat mayat itu tak cepat menjadi rusak.
Lalu di bawah todongan bedil salah seorang milisi, dua milisi lain segera menarik mayat itu ke atas.
Diperlukan kerja yang cukup menguras tenaga untuk menarik mayat gembung itu.
Si wanita yang masih duduk tersandar menutup hidungnya dan membuang pandangannya ke tempat
lain. Betapapun sudah seringnya dia ikut dalam pertempuran dan menyak sikan mayat bergelimpangan,
namun melihat mayat gembung yang baru saja diangkat itu tetap saja membuat perutnya mual. Setelah
mayat diangkat, bambu-bambu kembali ditutupkan ke lobang tersebut. Kemudian semak-semak
ditimbunkan kembali di atasnya. Setelah itu, mayat tersebut mereka bawa kearah hutan. Dan dikubur di
sebuah lubang dangkal. Lalu ketiga milisi itu kembali ke perkampungan.
Kini di pondok penjagaan wanita itu hanya tinggal bersama seorang milisi lelaki. Di dalam lobang
penyekapan, kelima lelaki yang terkurung di sana bisa agak bernafas lega. Kendati bau bangkai masih
saja memenuhi lobang tersebut. Mereka bersandar dengan diam. Air dalam lobang itu nampaknya agak
menyusut. Jika semula sebatas dada, kini sudah turun sedikit. Namun masalah mereka untuk bertahan
hidup tidak hanya harus berjuang melawan lapar, tapi harus mampu berdiri terus menerus. Tidak satu
pun batang atau ranting yang bisa dijadikan tempat berpegang.
Satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah bersandar ke dinding. Penat bersandar mereka berjalan
di dalam air berlumpur itu. Si Bungsu menjadi faham cerita Cowie, bahwa sebahagian dari tentara
Amerika yang ditawan dalam lobang ini mati karena tak kuat berdiri. Mereka terbenam dan mati lemas.
Ini adalah cara menyiksa yang luar biasa. Tentara Vietnam tak perlu rugi sebutir pelurupun untuk
membunuh tawanannya. Satu persatu tawanan mati karena lapar, gila atau sakit, kemudian terbenam.
Mereka harus berjuang untuk bisa tetap tegak, dengan kaki yang makin melemah.
Semakin lama mereka mampu bertahan untuk berdiri, makin lama pula mereka bisa bertahan hidup.
Siapa pun yang berada dalam lobang penyekapan itu pasti takkan pernah membayangkan apa yang
mereka hadapi kini. Yaitu kala mereka hidup di kota di Amerika sana, saat mereka masih belum
mendaftar menjadi tentara. Saat sebahagian dari mereka masih mengisi hidupnya dengan masuk bar
keluar bar. Masuk nightclub yang satu ke nightclub yang lain. Menenggak bir atau wisky, melahap
lezatnya hamburger atau sandwich, berjoget dan kemudian main perempuan.
Kini, dalam lobang neraka segi empat berair kuning dan berbau bangkai ini, mereka kembali mendengar
cekikikan perempuan. Mereka pada memasang telinga. Suara cekikikan itu suara siapa lagi, kalau bukan
suara milisi wanita bertubuh agak kurus tapi berdada dan berpinggul bahenol, yang bisa membuat mata
lelaki jadi juling dan lemas kelelep itu. Dia memang sedang terlibat pembicaraan dengan teman lelakinya
yang sama-sama menjaga di pondok pengawalan tersebut. Penempatan pengawalan di pondok itu
nampaknya hanya sebagai sikap berjaga-jaga.
Lobang itu memang tak perlu diawasi benar. Sebab, hampir bisa dipastikan orang yang disekap di
dalamnya, takkan bisa melarikan diri. Tapi begitulah, namanya saja tawanan perang. Kan aneh kalau tak
ada yang menjaga tempat mereka ditawan. Itulah sebabnya setiap 12 jam pengawalan ditukar.
Perempuan itu sedang berada dalam posisi berbaring menelungkup di lantai pondok. Di bahagian depan,
agak ke samping kanan, duduk temannya yang lelaki. Sesekali memandang ke arah timbunan semak
belukar yang menutupi lobang penyekapan. Namun matanya lebih sering menatap bongkol pinggul
perempuan yang menelungkup itu.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-684

Atau ke dadanya yang seakan-akan mau pecah karena tertekan ke lantai.


Nampaknya si lelaki sedang membicarakan peristiwa tadi, yang membuat wanita itu terpekik-pekik. Si
wanita nampaknya memang centil, atau katakanlah dia termasuk wanita jongkek. Sebab tiap sebentar,
bila ada yang agak lucu atau yang tak dapat dia komentari, tangannya mencubit paha lelaki tersebut.
Akan halnya lelaki, yang masih berusaha bertahan duduk, nampaknya berprinsip “Bukan kaba
sambarang kaba, kaba dibao mantiko muncak. Bukan saba sambarang saba, saba mananti kutiko
rancak”.
Dan saat kutiko rancak itu tiba, yaitu saat darahnya sudah naik ke ubun-ubun, dia menjerembabkan diri
ke atas tubuh perempuan jongkek yang sok-sok mene lungkup itu. Perempuan itu terpekik kecil. Bukan
pekik terkejut apalagi pekik marah. Dari pekiknya saja orang pasti bisa menebak dia memang jongkek.
Sebab pekiknya hanya perlahan, diiringi erangan, entah apa yang dierangkannya. Pokoknya dia
mengerang. Si lelaki yang juga bertubuh agak kurus, segera membuat pekerjaan tangan. Maksudnya
tangannya bekerja ke bawah, ke atas. Meraba meremas.
Dan si perempuan nampaknya memang mengharap kan semua yang diperbuat si lelaki. Dia
menelentangkan diri. Kemudian dia pula yang mendahului membuka baju si lelaki.
“Suara seperti itu pasti suara poyok…” ujar Tim Smith menggerendeng.
Ke empat lelaki lain dalam lobang sekapan itu hanya berdiam diri. Dari atas sana makin jelas terdengar
suara wanita dan lelaki. Mengerang, mendesah. Makin lama makin keras, makin lama makin cepat.
Kemudian suara pekik panjang perempuan, kemudian suara pekik panjang lelaki. Lalu diam.
“Ayo main tebak-tebakan. Kenapa mereka memekik?” tiba-tiba kesunyian di dalam lubang itu dipecahkan
oleh suara Tim Smith, sersan yang rambutnya hampir botak dan tukang carut itu.
Pertanyaan yang dia lontarkan mau tak mau membuat semua yang ada dalam lobang itu nyengir. Jarang
sekali mereka bisa tersenyum. Hal itu disebabkan tak satupun yang bisa dianggap lucu, atau tak satupun
bisa menghibur hati mereka selama berada dalam lobang terkutuk itu. Namun ucapan yang dilontarkan
Tim Smith sebentar ini, ajakan untuk main tebak-tebakan kenapa kedua orang di atas sana memekik-
mekik, benar-benar memaksa mereka untuk tersenyum.
Meski senyum yang lebih tepat disebut nyengir. Sebab, betapapun bentuk senyum yang tergurat di wajah
orang-orang seperti mereka, yang kelihatan adalah guratan muram. Segala bentuk ekspresi, termasuk
ekspresi marah, menjadi berbeda tampilnya di wajah, karena dirobah oleh ketegangan dan derita selama
bertahun di dalam penyekapan.
“Ayo, siapa bisa menerka. Kenapa mereka memekik?” kembali Smith melontarkan pertanyaan.
Tak ada yang menjawab, selain senyum tergurat di wajah setiap orang dalam lobang itu, termasuk si
Bungsu. Sampai akhirnya Kopral Jock Graham, petugas bahagian radio yang sama-sama diangkut
dengan truk bersama si Bungsu, memberikan jawaban.
“Mereka dicekik hantu…” ujarnya.
Jawaban itu membuat senyum semakin lebar di wajah kelima lelaki tersebut.
“Mereka bukan dicekik hantu, tapi pekik menyindir. Kau yang disindirnya, Smith…” ujar Sersan Mike
Clark.
Mereka tersenyum lagi. Smith yang semula tertegun, tiba-tiba terkekeh.
“Bukan, bukan aku yang mereka sindir dengan pekiknya itu. Mereka menyindir kita semua…” ujar Smith.
Mereka kemudian pada tertawa. Tetapi setelah itu, hari-hari mereka lalui dengan kesunyian dan derita
panjang. Memang tak ada penyiksaan dalam bentuk pemukulan. Tapi apa yang mereka alami dalam
lobang itu tak kalah dahsyatnya dari penyiksaan dalam bentuk sepak dan terjang. Akan halnya sepak,
terjang atau cabut kuku, itu mereka alami di tahun pertama mereka tertangkap. Cowie misalnya, giginya
copot dua buah akibat dihajar popor senapan.

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 681-682


Dalam Neraka Vietnam-bagian 681-682
Dalam Neraka Vietnam-bagian-681
“Maksud anda…?”
“Alfonso Rogers,Ayah Roxy,bersedia membayar saya berapa saja.Asal anak gadisnya bisa di cari dan di
bebaskan..”
“Lalu…”
“Ya,sekarang uang bayarannya tak mungkin lagi saya minta.Anak itu sudah bebas,sedangkan saya di
sini.Di antara mayat hiup dan mayat beneran.Kecuali kita bisa membuka Bank di lobang ini,dan ayah
gadis itu bisa mengirimkan uang itu kesini…”ujar si Bungsu sambil tersenyum.
Si rambut hampir botak kembali memaki-maki.Namun Letnan Cowie dan yang lainnya hanya nyengir
mendengar guyonan orang Indonesia ini.
“Barangkali anda bisa menolong kami keluar dari lobang berair ini Bungsu.Saya sudah tak peduli mati
hari ini atau esok.Tapi,kalau mati saya memang akan protes dikuburkan dalam lobang ini..”ujar Cowie
sambil meludah.
“Hei,hei,hei!Apakah aku tak salah dengar,bahwa engkau mempercayai orang berkulit berwarna ini akan
membebaskan kita?”ujar si rambut hampir botak.
“Jangan dengarkan omomgannya.Jika ada orang yang tak di caci makinya mungkin ibu bapaknya,tapi
aku juga kurang yakin akal hal itu…”
Ucapan si Letnan belum berakhir.Sersan Tim Smith yang berambut hampi botak itu
menerjangnya.Namun gerakan kakinya seperti film yang di putar lambat,slow motion kata orang.Letnan
Cowie mengibaskan kaki kurus yang terangkat di air secara perlahan itu.Tim Smith segera
terjengkang.Tubuhnya tak tenggelam karena cowie dengan cepat meraih leher bajunya yang compang-
camping itu.
“Fuck you!Fuck..Fuck..!!!”maki Tim Smith bercarut-carut.
Dan ujung carutnya adalah batuk yang terkaing-kaing.Lidahnya sampai terjulur dan liurnya meleleh oleh
batuk terkaing-kaing panjang itu.Si Bungsu baru benar-benar merasakan sebagian Dalam Neraka
Vietnam.Selama tiga hari dia di dalam lobang itu tak sebutir nasipun atau sepotong makanan apapun
yang di berikan tentara Vietnam kepada mereka.Namun yang benar-benar membuat mereka kehabisan
tenaga adalah bau mayat.Mayat tentara Amerika yang kepalanya di popor waktu pertama kali datang di
pinggir lobang ini tak pernah di angkat.
Mayat itu sudah menggembung besar.Baunya minta ampun.Dua tentara yang sama di campakkan ke
lobang itu berkali-kali jatuh pingsanNamun letnan Cowie dan sersan Tim Smith berusaha agar dua orang
yang sebentar pingsan itu tak tenggelam.Sebab,jika itu terjadi di pastikan dalam satu menit orang itu
akan mati.Kedua orang itu,Cowie dan Smith,nampaknya sudah agak imun dengan bau mayat.Mereka
memang ikut menderita dengan bau mayat itu tapi tak sampai pingsan.
Dalam waktu tiga hari dalam keadaan tak makan dan minum itu,si Bungsu jadi tahu azab apa yang
dialami Cowie,Smith dan teman-temannya.Mereka di beri makan apabila orang Vietnam itu merasa perlu
untuk memberi.Kadang-kadang sekali sehari,kadang-kadang sampai dua atau tiga hari baru di beri
makan.Makananya pun makanan yang sudah agak basi atau makanan yang sudah akan di buang.Benar-
benar tak ada gunanya memikirkan konvensi perang tentang hak-hak tawanan perang.
Bahkan ketika bau busuk sudah tak tertahankan,Cowie mengingatkan tak ada gunanya memanggil
penjaga.Teriakan memerlukan tenaga.Teriakan menguras energi.Tak ada gunanya,sekalipun sampai ke
langit mereka berteriak,takkan ada yang peduli.Lebih baik menyimpan tenaga agar tak lebih
menderita.satu-satunya harapan mereka mengisi perut adalah ketika hujan.Dengan membuka baju dan
menambung air hujan,mereka peras langsung ke mulut.
Air perasan baju itu,alangkah nikmatnya,untuk mengisi perut mereka juga memakan cecak yang jatuh ke
lobang tersebut.
“Apapun yang jatuh dari atas,cecak,lipan,keong,katak dan ular sekalipun pernah kami makan ketika ada
ular sebasar tangan jatuh kesini,habis kami santap.Hal itu kami lakukan semata-mata demi
pempertahankan hidup..”ujar Cowie perlahan.
“Saya punya firasat.Dan saya selalu yakin pada firasat saya,karena seringkali terbukti benar,bahwa
siapaun diri anda Tuan,kami berharap anda bisa membantu kami keluar
dari Dalam lubang Neraka ini..”ujar Cowie sambil menatap si Bungsu.
Kali ini Tim Smith yang tukang carut-carut dan induk cemooh itu,tak mengeluarkan kata
sepatahpun.Semula dia menatap pada komandan kompinya yang bernama PL Cowie itu dengan tatapan
heran mendengar ucapan yang sungguh-sungguh itu.Ketika dia lihat Cowie menatap lelaki asing itu,dia
jadi sadar kalau lelaki itu bukan kroco sebagaimana yang dia duga. Cowie tak pernah memuji jika
sesuatu yang dia yakini dan tak pantas di puji.Cowie juga tak pernah berharap,jika firasatnya
mengatakan kalau tak ada harapan.
Lalu dia juga ikut menatap si Bungsu.Si Bungsu hanya berdiam diri.Sesekali menggaruk paha,perut dan
punggungnya yang gatal.Tiba-tiba Smith ingat sesuatu.Dia teringat perkataan Smith,Dua,tiga hari lalu
yang di ucapkan nya berkali-kali.
“Ini orang yang kau sebutkan itu letnan?”ujar Smith perlahan.
Cowie menatap pada Smith beberapa saat.Kemudian mengangguk.Si Bungsu dan kedua tentara lainnya
hanya berdiam diri,tak mengerti apa yang di bicarakan kedua orang tersebut.
“Tapi…tapi saya tak melihatnya membawa samurai..”sambil mempelototi si Bungsu.
Mendengar ucapan itu,si Bungsu lah yang tersentak.Dia menatap pada Smith,kemudian pada
Cowie.Smith kembali bicara.
“Cowie adalah,maaf,maksud saya,sebagaimana orang Amerika keturunan negro lainya,nenek moyang
Cowie berasal dari afrika.Beberapa di antaranya masih mewarisi naluri,firasat atau pengetahuan
metafisik,semacam ilmu dari dunia ghaib.Pasukan kami beberapa kali selamat karena firasat leluhurnya
itu.Dan kami masuk ke lobang Neraka ini karena komandan kami tak mengikuti saran nya.Nah,beberapa
kali Cowie berkata,bahwa dia melihat sebuah bayangan orang asia,berpedang samurai,yang akan
datang membebaskan kami.Setahu saya,bangsa yang memakai samurai hanya bangsa
Jepang..Tapi..menurut dia sebentar ini,anda lah yang beberapa kali dia lihat dalam bayangan metafisik
itu.Apakah anda membawa samurai..?”ujar Smith.
Lama si Bungsu terpana mendengar cerita tim Smith.Dia menatap PL Cowie,negro kurus berbibir tebal
dan berambut kribo itu juga menatapnya.si Bungsu segera menyakini cerita Tim Smith kalau ada
seseuatu yang lain pada diri negro yang satu ini.Nalurinya membisikkan itu.Sebaliknya,sejak awal-awal
kedatangan si Bungsu,Cowie sudah merasakan bahwa lelaki itu bukan sembarang orang.Si Bungsu tiba-
tiba teringat pada Thi Binh.Gadis itu juga pernah melihatnya dalam mimpi.Mimipi itu,menurut penuturan
thi Binh,datang berkali-kali saat dia di perkosa dan di paksa menjadi budak nafsu di barak pasukan
Vietnam.
Kini ternyata mengalami hal yang sama.Bedanya,jika Thi Binh melalui mimpi,Cowie melihatnya dalam
bayangan Metafisik.Semaca halusinasi dan bayang samar,saat orang tertentu berkonsentrasi dan
menghubungkan diri dengan alam ghaib.
“Anda pernh memiliki samurai ?”desak Smith.
Si Bungsu menatap pada Cowie.Cowie juga tengah menatap padanya dengan tajam.Demikian juga
Smith dan kedua orang lainnya.Akhirnya si Bungsu mengangguk.Ketiga tentara itu pada terpana.
“Oh,my god..!Anda akan mempergunakannya?”ujar Smith dengan suara bergetar.
Si Bungsu tak segera menjawab.Namun di depan Cowie tak seharusnya dia menutup-nutupi siapa
dirinya.Lelaki ini memiliki pandangan yang menembus ruang dan waktu.Yang dalam ilmu pengetahuan di
sebut alam metafisik,yang di warisi dia dari leluhurnya dari belatara Afrika sana.
“Anda mahir memergunakan samurai?”kembali smith bertanya.
Keempat tentara dalam lobang itu kembali di ingatkan kembali pada keaadaan mereka saat ini.Mereka
juga menatap keliling,kemudian keatas.Ke Bambu yang silang menyilang yang di jadikan penutup
lubang.Jerajak bambu yang di jadikan penutup lubang itu sebesar paha lelaki dewasa hanya sekitar
empat meter di atas mereka.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-682


Namun karena kukuhnya dan karena kondisi mereka seperti sekarang, tanpa alat apapun untuk bisa
dipakai melarikan diri, atap bambu yang tingginya hanya empat meter itu terasa berada jauh di atas langit
sana.
Kelima mereka hampir serentak memandang ke atas. Karena saat itu sayup-sayup mereka mendengar
pekik wanita. Namun yang terlihat tetap saja bambu
bersilang-silang empat segi, daun pepohonan yang ditimbunkan ke bambu itu, yang berfungsi
sebagai kamuflase sekaligus atap lobang tempat mereka
disekap. Tak ada satu pun yang terlihat. Yang sampai ke tempat mereka hanya suara pekik dan erangan
perempuan. Suara pekik dan erangan itu memang
berasal dari mulut seorang wanita, datang dari pondok penjagaan sekitar tiga depa dari mulut lobang
tempat menyekap tawanan perang tersebut.
Karena dekatnya jarak antara mulut lobang dengan pondok itulah makanya mereka yang berada di
dalam lobang tersebut tidak hanya mendengar pekik si
wanita, tetapi juga erangannya. Bahkan sayup-sayup mereka menangkap suara nafas yang tersengal-
sengal. Nafas memburu seperti berlari kencang yang
keluar dari mulut lelaki, yang juga keluar dari mulut wanita. Mereka menatap nanap ke atas dengan mata
hampir melotot. Seolah-olah ingin mengetahui apa
sebenarnya yang tengah terjadi di atas sana. Di atas sana, di pondok penjagaan itu, memang sedang
terjadi sesuatu.
Milisi Vietnam, yaitu orang-orang sipil yang menjalani wajib militer, tidak hanya dikenakan pada kaum
pria. Juga dikenakan kepada wanita. Itu pun tidak hanya
kepada mereka yang dewasa, yang masih kanak-kanak pun demikian. Soalnya, sebelum pecah menjadi
Vietnam Utara dan Selatan, negeri ini sudah menjalani
peperangan yang sangat panjang. Sudah sejak zaman negeri ini dijajah Perancis selama 100 tahun.
Dalam perang yang amat panjang untuk merdeka, yang
meremukkan hampir seluruh sendi kehidupan Vietnam itu, negeri tersebut sudah mengorbankan ratusan
ribu, jika tidak jutaan orang.
Itulah sebabnya hampir semua penduduk, lelaki wanita, tua maupun muda, dihimbau untuk angkat
senjata melawan penjajahan, atau siapa saja yang
mencoba mengekspansi negeri mereka. Yang terakhir, dalam upaya menyatukan negeri itu di bawah
kekuasaan komunis, mereka berusaha merebut kembali
Vietnam Selatan yang dibeking habis-habisan oleh Amerika. Namun mereka, orang-orang utara, yang
sebelum dan semasa penjajahan Perancis sebenarnya
bersatu dengan selatan, kini tidak hanya berhasil menyatukan kembali selatan dengan utara, tetapi juga
mengusir tentara Amerika.
Mengusir tentara dari negara paling super dan paling ditakuti, karena memiliki peralatan perang paling
canggih di dunia. Jika akhir peperangan itu
mendatangkan rasa bangga yang luar biasa bagi rakyat Vietnam Utara yang komunis, karena berhasil
mengalahkan tentara dari negara terkuat di dunia, maka
bagi Amerika akhir perang Vietnam adalah sebuah aib besar, yang takkan mungkin terhapus dengan
apapun sepanjang zaman. Wanita Vietnam yang ikut
memanggul senapan tugasnya sama saja dengan pria. Dalam perang selama puluhan tahun, mereka
sudah tertempa dengan berbagai kondisi.
Hari itu, saat kelima tawanan di dalam lobang sekapan mendengar suara jerit dan erang, adalah saat
aplusan untuk menjaga lobang penyekapan tersebut.
Saat si Bungsu pertama tiba, yang menjaga adalah dua milisi pria, maka kini yang menggantikan adalah
seorang milisi wanita dan seorang milisi pria. Para
milisi ini berpakaian hitam-hitam, semuanya tanpa tanda pangkat. Perang, sebagaimana terjadi di
belahan bumi manapun, ternyata tidak hanya
mendatangkan bencana secara fisik kepada negeri tempat terjadinya perang, tetapi juga memporak-
porandakan moral dan nilai-nilai.
Yang paling menderita adalah para wanita. Ya musuh, ya orang kampung sendiri, asal dia ikut berperang
tiba-tiba saja fi’ilnya berubah menjadi beringas. Kaum
wanitalah yang senantiasa paling banyak menjadi korban kebuasan perang. Kebuasan tentara
penyerang, maupun tentara pihak bertahan.
Begitulah kebuasan sebuah perang. Kebuasan yang tak mengenal batas moral dan agama. Tak
mengenal batas buruk dan baik. Bila keberingasan dan nafsu
sudah memanjat ke ubun-ubun, semua batas pun runtuh.
Dua milisi yang tegak berjaga di bawah pondok itu pun bersiap turun, manakala melihat penggantinya
sudah tiba. Saat keduanya akan turun, tiba-tiba yang
seorang matanya terpandang pada dada wanita milisi yang akan menggantikannya. Padahal baju
seragam tentara berwarna hitam yang dikenakan wanita itu
buahnya terkancing semua. Namun karena dada wanita itu memang demikian ranum dan sekal, ada
celah terbuka di antara dua kancing bajunya. Dari celah
baju yang tersingkap tak sampai seukuran kelingking itu, dia mengintip pangkal dada wanita tersebut.
Putih dan memabukkan dan mengirimkan sentakan ke
ubun-ubun.
Anggota milisi yang akan turun itu mendagut liurnya. Lalu dengan kaki separoh menggigil menuruni tiga
buah anak tangga pondok tersebut.

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 678-679-680


Dalam Neraka Vietnam-bagian 678-679-
680
Dalam Neraka Vietnam-bagian-678

“Hei orang asing, itu kali terakhir aku menolongmu. Setelah itu kau harus menolong
dirimu sendiri. Sudah dua hari kau kupegangi agar tak mampus lemas…” ujar tentara itu menyumpah.
Si Bungsu memperkuat tegaknya di dalam air. Kemudian dia mengangguk, lalu jambakan pada
rambutnya dilepaskan. Tubuhnya masih doyong dan jatuh berlutut, kepalanya segera tenggelam. Dia
cepat menyesuaikan diri. Sesaat kepalanya muncul, dia kembali terbatuk. Kedua tentara Amerika yang
sudah hampir dua hari memegangi ketiga orang itu hanya menatapnya dengan diam. Si Bungsu dengan
susah payah melangkah di dalam air kuning kental yang hampir setinggi leher dan lumpurnya ternyata
tebal sekali di dasar kurungan tersebut. Kemudian dia bersandar ke dinding tanah.
Cahaya matahari siang yang menerobos masuk dari celah dedaunan kering, yang selintas kelihatan
hanya seperti timbunan sampah yang menutup bahagian atas kurungan itu, membantu si Bungsu
mengenali ‘rumah baru-‘nya tersebut. Sambil bersandar dia mengurut beberapa urat di tengkuknya.
Kemudian di perutnya. Dalam waktu tak begitu lama, semua rasa sakit akibat hantaman popor itu lenyap.
Kemudian dia menoleh pada mayat yang mengapung tertelungkup hanya semeter dari tempatnya tegak.
Dia segera tahu, mayat itu adalah mayat tentara yang kena malaria tropikana itu.
Kemudian matanya menatap kepada dua tentara yang masih terkulai yang dipegang oleh dua temannya.
Dia tahu, kedua tentara itu adalah yang sama-sama diangkut dengannya dengan truk. Dia juga tahu,
kedua mereka pingsan akibat pukulan popor senapan di belakang kepalanya, seperti yang dia terima
sebelum jatuh ke lobang ini. Si Bungsu melangkah ke arah mereka. Di bawah tatapan kedua tentara itu
dia mengurut perlahan urat di belakang tengkuk dan pada bahagian tertentu dekat pusar kedua tentara
yang masih pingsan tersebut.
Tak lama kemudian kedua tentara yang pingsan itu terdengar mengerang. Kemudian nafas mereka mulai
normal. Kemudian membuka mata. Kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Kedua tentara yang tadi
memegang mereka menyumpah dan menatap heran pada si Bungsu.
“Pantat kurap! He.. orang asing, apakah kamu punya ilmu sihir makanya bisa membuat orang sembuh
secepat itu?” ujar yang rambutnya hampir botak.
“Terimakasih, kawan. Kalian sudah menyelamatkan nyawa saya dan orang-orang ini dengan memegang
kami agar tak mati terbenam selama….. berapa lama tadi kau katakan?” ujar si Bungsu.
“Pantat kur….”
Sumpah serapahnya terhenti karena disikut temannya yang seorang lagi.
“Hei…. Hei..! Kenapa kau main sikut. Karena kau letnan dan aku sersan, he? Tak kau lihat keanehan
yang dia lakukan? Hanya dengan menjilat tengkuk dan pusat si kerempeng yang berdua ini, dia bisa
membuat mereka bangkit dari liang kubur. Tak kau lihat keanehan itu…?”
Si rambut hampir botak itu benar-benar mencerocos seenak udelnya. Mengatakan si Bungsu menjilat
tengkuk dan pusar kedua orang itu. Padahal yang dilakukan si Bungsu adalah mengurut dengan jari-
jarinya. Kemudian dia mengatakan kedua orang yang baru ditolong si Bungsu itu sebagai dua orang yang
‘kurus kerempeng’. Seolah-olah tubuhnya gemuk benar, padahal hanya tinggal tulang belulang. Si letnan,
seorang Negro dengan bibir tebal dan rambut benar-benar kribo saking lamanya tak bertemu tukang
pangkas, yang menyikut si sersan hampir botak itu, tersenyum mendengar cerocos kawannya.
“Hai, kawan Anda bisa bahasa Inggris?” tanya letnan Negro tersebut dengan sikap sopan.
Si Bungsu mengangguk. Kemudian menatap jerajak bambu yang di atasnya ditimbuni sampah, jauh di
atas kepala mereka. Saat itu seekor cecak jatuh dari sela-sela timbunan dedaunan tersebut. Belum
sampai sedetik tubuh cecak kecil itu terhempas ke air, si Bungsu dibuat terkejut oleh apa yang dilakukan
kedua tentara tersebut. Mereka hampir serentak, melompat ke arah jatuhnya cecak tadi dengan tangan
terulur dan jari-jari terkembang siap menangkap cecak, itu. Ternyata si hampir botak lebih cepat. Si
Bungsu dapat melihat dengan jelas tangan kanan sersan itu menyambar cecak yang baru jatuh itu.
Namun si hampir botak tak segera berdiri. Dia justru langsung menyelam. Si letnan menarik nafas,
kemudian melangkah lagi ke dinding. Lalu matanya menatap ke atas, ke arah bambu yang menjadi atap
lobang seperti mengharapkan sesuatu jatuh lagi dari atas sana. Saat itulah si hampir botak timbul lagi
dari menyelam. Si Bungsu merasa mual tatkala melihat ujung ekor cecak itu masih tersembul sedikit di
antara bibir si hampir botak. Ekor cecak itu masih bergerak-gerak. Namun dengan cepat lidah si hampir
botak terjulur keluar, mulutnya ternganga sedikit, dan ekor cecak itu lenyap!
Kemudian kelihatan si hampir botak menelan dengan luar biasa nikmatnya. Si letnan, dan dua tentara
yang tadi datang bersama si Bungsu hanya melihat dengan diam. Malah selera mereka seperti ikut
terangsang melihat si hampir botak itu menikmati cecak sebesar telunjuk tersebut. Si Bungsu menahan
rasa mualnya dengan menatap dinding kurungan yang seluruhnya terdiri dari tanah napal.
Nampaknya lumpur yang ada di bawah kaki mereka sengaja dimasukkan, begitu juga airnya. Sebab air
yang kedalamannya hampir mencapai leher mereka itu, kuning dan bau sekali.
Hal itu tentu berbeda kalau air ini berasal dari dalam tanah. Saat itu si sersan yang tadi bertanya apakah
si Bungsu bisa berbahasa Inggris kembali bersuara.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-679


“Saya tahu bangsa Amerika berasal dari berbagai suku bangsa. Anda dari tentara reguler atau wajib
militer?” tanya letnan tersebut.Si Bungsu menatap letnan itu beberapa saat. Kemudian menatap sersan
yang hampir botak kepalanya itu. Lalu dua tentara lainnya, yang sama-sama diangkut bersama dia
dengan truk. Keempat orang itu, semuanya berpakaian loreng yang sudah kehilangan bentuk, lusuh dan
robek hampir di seluruh tempat, menatapnya dengan diam.
“Tidak, saya bukan dari ketentaraan Amerika…” jawab si Bungsu perlahan.
Si Letnan dan ketiga tentara lainnya terdiam sembari menatap si Bungsu beberapa saat.
“Well, kalau begitu Anda tentu bertugas sebagai mata-mata bayaran?” tanya si letnan, namun ucapannya
segera disambar si kepala hampir botak.
“Sudah kukatakan tadi, dia tukang sihir.…”
Namun si letnan dan kedua tentara yang lainnya tak ambil peduli dengan ucapan si sersan. Begitu juga si
Bungsu.
“Saya orang Indonesia. Saya tidak berkerja untuk dinas rahasia mana pun, termasuk yang tadi Anda
sebutkan…” ujar si Bungsu perlahan.
“Pantat kudis! Kalau begitu dia ini mata-mata Vietnam, yang sengaja diselusupkan.…”
Ucapannya terhenti lagi oleh tepukan tangan si letnan di tengkuknya.
“Pantat! Kau tak percaya dia mata-mata Vietnam? Dia sudah mengatakan tidak bekerja untuk Amerika,
lalu untuk siapa lagi dia bekerja, kalau bukan untuk Vietnam? Dia mengatakan orang In…. apa itu tadi?
Mana ada negara yang dia sebutkan tadi…” ujar si sersan, yang seumur hidup memang tidak pernah
mendengar ada negara bernama Indonesia.
Si Bungsu kembali memperhatikan lobang besar tempat mereka dikurung, kemudian menatap ke atas.
Dari semua yang dia perhatikan, dia yakin siapapun yang disekap di lobang ini, termasuk dirinya, takkan
bisa melarikan diri tanpa bantuan orang yang berada di atas sana. Dia yakin, kalaupun mereka bisa
mencapai bambu yang menutup lobang ini, misalnya dengan cara yang satu berdiri di bahu yang lain,
agaknya tiga atau empat orang sambung bersambung, pintu bambu itu takkan bisa mereka buka. Dari
bawah kelihatan tiga kayu sebesar manusia gemuk, dibelintangkan di “atap” bambu.
“Di mana Indonesia itu? Salah satu negara di Afrika atau Asia Tengah?” ujar si letnan yang seumur hidup
juga belum pernah mendengar nama Indonesia.
“Antara Singapura dengan Australia…” ujar si Bungsu.
“Oo… sebelah mana Bali…?” tanya si letnan.
Si Bungsu balas menatap si letnan.
“Anda pernah ke Bali…?”
“Tidak, tapi negara itu kabarnya indah sekali. Sebuah sorga di laut Pacific, kata orang…” ujar letnan
tersebut.
Si Bungsu menarik nafas. Bagi dia, yang hampir setahun berada di Amerika, menjelajahi belasan kota di
sana, antara lain New York, Dallas, Los Angeles, Washington DC dan San Fransisco, ucapan si letnan
bukanlah hal yang aneh. Sebagian besar orang yang dia kenal di Amerika memang tak pernah mengenal
nama Indonesia. Sebagian kecil di antaranya hanya mengenal nama Bali. Bahkan beberapa di antara
yang dia kenal justru pernah datang ke Bali. Tapi sebahagian dari mereka yang pernah ke Bali juga tak
tahu bahwa Bali itu hanyalah sebuah pulau yang amat kecil di negara bernama Indonesia.
Dia tak tahu kenapa kejanggalan seperti itu, tak dikenalnya nama Indonesia oleh kebanyakan orang
Amerika, bisa terjadi.
“Bali itu adalah bahagian dari Indonesia…” ujar si Bungsu perlahan sambil jari-jari kaki kanannya
menggaruk betis kaki kirinya di dalam air, yang terasa gatal sekali.
Matanya kembali menatap loteng bambu di atas sana.
“Ingin mencoba lari…?” ujar si Letnan.
Si Bungsu menatapnya.
“Kami sudah lebih dari setahun di sini, kau lihat dinding itu?” ujar si letnan sambil menunjuk ke dinding
yang berada di sebelah kanannya.
Si Bungsu menoleh ke arah yang ditunjuk letnan tersebut. Dinding itu, setinggi yang bisa dijangkau
tangan, penuh goresan pendek-pendek. Nampaknya tiap sembilan goresan pendek ditutup dengan
sebuah garis menyilang. Goresan menyilang di dinding itu menjadikan tiap satu ikat goresan tersebut
genap sepuluh. Ada puluhan ikat goresanmemenuhi dua dinding tanah napal tersebut.
“Satu goresan adalah satu hari. Kami berhenti pada goresan ke lima ratus. Semula pada setiap goresan
kami memiliki harapan untuk bebas. Baik dibebaskan teman, dibebaskan karena perang usai dan
kesepakatan penukaran tawanan perang diperoleh antara Amerika dan Vietkong, atau bebas karena
melarikan diri. Namun, barangkali sudah beberapa bulan yang lalu kami berhenti menggores. Tak ada
gunanya membuat goresan lagi. Kami berhenti berharap. Dahulu jumlah kami tujuh orang. Lihat dinding
itu, ada tujuh nama di sana. Yang lima yang diberi tanda sudah mati di lobang ini. Yang terakhir mati
adalah Sersan Matley, barangkali dua bulan yang lalu…” tutur si letnan perlahan.
Keadaan menjadi sunyi saat si Bungsu menatap ke arah tujuh nama di dinding tersebut. Menatap lima
tanda di ujung lima nama. Dari dua nama yang tertoreh di sana, yang belum diberi tanda, si Bungsu
menjadi tahu nama kedua orang yang masih hidup ini. Sebab di akhir tiap nama mereka dicantum kan
pangkat yang bersangkutan. Si letnan ternyata bernama PL Cowie. Dia tak tahu apa kepanjangan PL
tersebut. Kalau Cowie pasti nama klan atau nama ayah. Sementara si sersan yang rambutnya hampir
habis, sehingga kepalanya hampir botak, yang kalau bicara suka menyumpah dan memaki, bernama Tim
Smith.
“Well, kalian yang berdua, apa pangkat kalian dan dari kesatuan mana kalian?” ujar si letnan kepada dua
tentara Amerika yang datang bersama si Bungsu.
“Yes, Sir. Sersan Mike Clark dari Divisi Enam Kompi Senjata Bantuan, pasukan infrantri…” ujar yang
seorang.
“Kopral Jock Graham dari Divisi Enam Kompi Senjata Bantuan, bahagian radio…” ujar yang seorang
lagi.
“Dan Anda, Tuan?” ujar Letnan Cowie pada si Bungsu.
“Saya orang sipil, nama saya Bungsu….”
Semua mata menatap ke arahnya.
“Maaf, saya sangat yakin Anda bukan mata-mata untuk siapa pun. Namun, sebohong apapun cerita yang
akan Anda sampaikan, harap beritahu kami, kenapa Anda sampai ikut ditawan dan disekap bersama
kami…” ujar Cowie.
“Anda dari pasukan SEAL?” tanya si Bungsu kepada letnan jangkung itu.
Letnan itu menatap ke arahnya. Begitu juga yang lain.
“Kenapa Anda menebak seperti itu?”

Dalam Neraka Vietnam-bagian-680

“Hanya firasat. Saya pernah bertemu beberapa anggota SEAL, dan Anda punya ciri seperti mereka…”
ujar si Bungsu perlahan.
Keempat tentara Amerika itu menatap ke arahnya.
“Siapa anggota SEAL yang Anda kenal?” tanya si letnan.
Si Bungsu ganti menatap letnan itu dengan tajam. Dia haqqul yakin, Cowie adalah anggota SEAL yang
terkenal itu. Lalu berkata perlahan.
“MacMahon….”
“Kolonel MacMahon?
Si Bungsu mengangguk, letnan tersebut tertegun. Begitu juga yang lain.
“Anda mengenal Kolonel MacMahon…?”
“Ya….”
“Di mana?”
“Di tempat dia disekap bersama tentara Amerika yang lain, di sebuah goa di bukit batu di daerah selatan.
Tapi sekarang mereka sudah bebas.…”
“Kolonel MacMahon bebas?”
“Ya….!”
“Pertukaran tawanan perang?”
Si Bungsu menggeleng.
“Melarikan diri?”
Si Bungsu mengangguk.
“Anda ada di sana saat dia melarikan diri…?”
Si Bungsu menarik nafas. Menatap sesaat kepada ke empat tentara Amerika yang tubuh mereka sudah
mirip jailangkung karena kurusnya itu.
“Ya… saya di sana.…” jawab si Bungsu perlahan.
Ke empat tawanan kurus seperti jailangkung itu tertegun.
“Anda juga ikut tertawan dengannya?” ujar Letnan Cowie dengan penuh keingintahuan.
“Tidak…”
Untuk sesaat letnan Negro berbibir tebal dan berambut kribo karena tak pernah bertemu tukang pangkas
itu menatap si Bungsu. Kemudian dia berkata
perlahan.
“Jika demikian. Anda pastilah salah seorang dari orang-orang yang membebaskan Kolonel MacMahon…”
ujar Cowie perlahan.
Jari-jari kaki kiri si Bungsu ganti menggaruk betis kanannya di dalam air yang menjadi gatal pula.
Kemudian tangannya menggaruk paha, lalu dada. Lalu
punggung. Sekujur tubuhnya terasa gatal. Si rambut hampir botak tertawa terkekeh melihat si Bungsu
menggaruk kiri kanan, atas bawah.
“Anda salah seorang yang membebaskan Kolonel MacMahon?” kembali Letnan Cowie bertanya.
Si Bungsu akhirnya mengangguk perlahan. Kendati ada sedikit kesalahan dalam perkiraan tersebut. Dia
bukan ‘salah seorang’ dari yang membebaskan
MacMahon. Dia adalah satu-satunya orang yang membebaskan perwira tersebut bersama belasan yang
lain. Tapi tak ada gunanya menjelaskan hal itu dalam
kurungan dengan air berlendir seperti yang mereka huni sekarang.
“Lalu Anda tak berhasil melarikan diri dan tertangkap?” ujar Cowie.
Si Bungsu kembali mengangguk.
“Fuck! Orang ini ternyata bisu. Dia hanya bisa mengangguk dan menggeleng…” Sersan Tim Smith,
tentara yang rambutnya hampir botak itu, memaki sambil
terkekeh.
Letnan Cowie menarik nafas panjang, tetapi matanya menatap tajam pada si Bungsu.
“Maaf, tadi Anda mengatakan bukan tentara mana pun. Saya yakin itu. Saya juga yakin Anda bukan
mata-mata pihak mana pun. Namun kenapa Anda berada
bersama pasukan yang membebaskan MacMahon? Anda penunjuk jalan bagi pasukan pembebas itu…?”
ujar Cowie.
“Tidak, saya datang ke sana karena harus membebaskan seseorang. Kebetulan di tempat dia ditawan
ada MacMahon dan tawanan lainnya. Membebaskan
seorang tawanan atau tujuh belas, saya rasa sama saja.…”
“Maksudnya, Anda membebaskan ketujuh belas tawanan itu sendiri?” ujar Cowie.
Tidak hanya Letnan Cowie yang sangat ingin tahu jawaban orang Indonesia ini, tapi juga ketiga tawanan
lainnya. Mereka menatap si Bungsu nanap-nanap.
“Tidak, kami berempat….”
“Tiga lainnya adalah pasukan Amerika?”
“Tidak, tiga lainnya adalah orang Vietnam….”
“Tentara semua?”
“Hanya satu. Itu pun bekas tentara. Yang dua lagi penduduk sipil. Yang satu seorang lelaki tua, sekitar 55
tahun. Yang seorang lagi anaknya, seorang gadis
berusia sekitar 15 tahun….”
Terdengar umpat, sumpah dan gerutuan dari si hampir botak dan dua tentara lainnya.
“Siapa yang Anda cari untuk dibebaskan itu?” ujar Cowie.
“Roxy.…”
“Oh Tuhan, Roxy Roger maksud Anda?”
“Ya….”
“Anda dibayar ayahnya untuk mencari dan membebaskan cewek itu?”
“Rencananya ya….”
tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 675-676-677
Dalam Neraka Vietnam-bagian 675-676-
677
Dalam Neraka Vietnam-bagian-675

Namun melihat tubuh mereka,dia menduga mereka di sekap dalam kerangkeng


dalam air.Atau mereka di sekap dalam rawa atau di dalam sungai.Itu dapat dilihat di kaki mereka yang
pucat dan berkerut.Ada kudis dan lintah di beberapa bagian kaki mereka.Mata mereka amat
cekung,wajahnya amat pucat.
Tentara dan penduduk desa yang tersentak bangun oleh kedatangan pasukan khusus itu,hanya tegak
termangu melihat para tawanan diikat,kemudian di gelandang di bawah todongan bedil
bersangkur.Beberapa orang diantaranya termasuk si Bungsu,tanpa sebab yang jelas di hajar dengan
popor senjata.Overste yang jadi komandan pasukan di desa itu,mendapat penjelasan pendek dari salah
seorang polisi militer itu yang berpangkat kapten.Si Overste yang sebenarnya keberatan si Bungsu di
bawa.
Tapi dia terpaksa berdiam diri melihat ketiga polisi militer itu,berikut mayor yang mengomandani pasukan
khusus itu,menatap padanya dengan tajam.Baik dari cara polisi militer itu berbicara pada overste,juga
sikap overste yang hanya berdiam diri,dapat di tebak bahwa pasukan khusus yang datang ini membawa
wewenang dari politbiro partai komunis dan dengan kekuasaan yang tak bisa di bantah siapapun.Dalam
sebuah negara yang kacau,juga di sebuah negara otoriter,hukum dan kekuasaan di tentukan oleh ujung
bedil.Fakta itu tak bisa di bantahkan.
Bukanlah hal yang aneh,di kalangan sesama tentara juga terjadi persaingan dan pamer
kekuasaan.Namun,di negara manapun dan dalam kondisi apapun,perang atau damai,polisi militer dan
pasukan khusus tetap saja merupakan pasukan yang amat di segani.Bahkan dalam keadaan tertentu,di
takuti oleh tentara,apapun pangkatnya.Si Overste terpaksa berdiam diri,karena menurut komandan polisi
militer yang datang,perintah pemindahan tawanan perintah langsung dari komite sentral partai komunis
Vietnam yang berkedudukan di hanoi,ibukota Vietnam.
Laporan tentang lolos nya tawanan Amerika dan terbantainya pasukan yang menjaganya,berikut kolonel
yang menjadi komandannya,ternyata sudah tersebar luas di Vietnam.Dan laporan yang di sampaikan ke
Hanoi memang tidak di sebut-sebut nama si Bungsu sebagai penyebab lolosnya tentara Amerika,salah
seorangnya berpangkat kolonel dari SEAL.Yang disebut menyebabkan lolosnya tentara Amerika dan
infiltrasi dari beberapa helikopter tempur yang canggih.
Kendati yang menyerang hanya satu heli,itu sudah cukup bagi mereka untuk ‘memperbanyak’jumlah he;li
yang menyerang.Para jendral Vietnam tentu takkan bisa menerima kalau yang menyapu bersih satu
pasukan hanya 17 orang pelarian dan satu orang sipil yang belum pernah latihan militer.Pemalsuan
berita itu sudah di mulai dari tingkat paling bawah.dan hal itu tentu menyelamatkan si Bungsu,paling tidak
untuk sementara.Dia hanya di kenal salah seorang mata-mata yang ikut dalam penyerangan oleh
helikopter Amerika yang di sebut sampai enam buah.Polisi militer itu bukan pm biasa.Mereka di rekrut
dari kader pilihan partai komunis.Mereka tidak memakai helm putih,sebagaimana jamak di negara
lain.Tanda mereka sebagai polisi militer adalah ban merah yang di ikat di lengan kanan bertuliskan
aksara Vietnam.
Mereka bukan tentara biasa,mereka adalah pilihan dari komite partai sentral.Tentara tak bisa melakukan
apapun tanpa persetujuan partai.Anggaran untuk partai juga di tentukan oleh partai.Dan siapa-siap yang
naik pangkat juga di tentukan partai.Kekuasaan tertinggi berada di tangan partai,bukan di tangan
presiden atau panglima-panglima tentara.Partai komunis dimanapun di dunia,mengontrol semua yang
berlaku di negara bersangkutan.Baik pemerintahan militer,politik,sosial kemasyarakatan,juga seni dan
budaya.
Semua sistem harus mendukung,membesarkan partai.Karena itu,polisi militer itu selain di benci juga di
takuti tentara reguler yang bukan berasal dari partai.Kendati mereka sama-sama komunis.Pimpinan
komunis di hanoi nampaknya kuatir,tentara Amerika melakukan operasi besar-besaran memebebaskan
tentara mereka ysng di tawan di Dalam Neraka Vietnam.Dari laporan mengenai helikopter Amerika
datang dari arah barat dan kembali kearah itu,para petinggi militer segera bisa menebak.
Bahwa pasukan rahasia Amerika,mungkin dalam unit-unit kecil,membuat markas tersembunyi di
Kamboja.Oleh karena itu para tawanan di pindahkan ke tempa rahasia yang berdekatan dengan
perbatasan kamboja,agar sesegera nya di pindahkan dari arah itu.Mereka harus di pindahkan ketempat
rahasia di wilayah yang cukup jauh dari lokasi semula.
Partai mengerahkan pasukan khusus yang terpercaya untuk mengambil an membawa para tawanan ke
berbagai tempat.Kemudian meyekap mereka di tempat-tempat yang sudah di tentukan.Para tawanan itu
tidak pernah di beritakan penangkapan mereka apalagi identitas mereka.Itu sebabnya disebut (Missing In
action) MIApersonel yang hilang di peperangan.Bagi vietnam, semakin lama mereka menahanan tentara
Amerika,yang mereka tawan dalam peperangan semakin baik.
Karena tawanan itu bisa menjdai alat penekan bagi mereka di setiap perundingan.Amerika sendiri tak
bisa menekan Vietnam,bahwa mereka tak punya bukti kalau para tentaranya di tawan Vietnam.Jadi
pasukan khusus yang erusaha sekuat tenaga mencari MIA itu bertindak secara individu-individu.Hanya
tentu sangat di rahasiakan.Ada dua alisan kenapa Amerika masih mempertahankan dan membiayai unit-
unit kecil untuk membebaskan MIA di Vietnam.
Pertama,karena masalah harga diri.Amatlah memalukan bagi negara sehebat Amerika ternyata
meninggalkan ribuan tentaranya di peperangan di belantara Vietnam tanpa mengetahui bagaimana nasib
mereka.Kedua,karena desakan keluarga tentara-tentara yang hilang itu.yang didukung belasan
organisasi anti perang di Amerika.Mereka menuduh Amerika ikut campur urusan negara lain dengan
mengorbankan ribuan anak-anak muda Amerika yang tak berdosa.Ikut campurnya Amerika di berbagai
pertempuran di berbagai belahn bumi,tak seluruh rakyat Amerika yang mendukung.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-676

Ada berbagai lapisan kelompok masyarakat, umumnya intelektual, yang menganggap


campur tangan Amerika di negara lain adalah tindakan yang sudah kelewat batas. Ambisi pemerintah
Amerika untuk menjadi polisi dunia, menyebabkan mereka ditentang oleh segolongan rakyatnya sendiri.
Mengirim pasukan ke negara lain, yang sudah tentu memerlukan biaya yang amat tinggi, tidak hanya
menghamburkan uang untuk hal-hal yang tidak jelas, tetapi sekaligus juga mengorbankan nyawa anak-
anak muda Amerika.
Sebagian dari mereka yang dikirim ke medan perang adalah anak-anak muda yang harus ikut dalam
program wajib militer. Dengan dukungan Undang-Undang, program ini memang sudah dilakanakan sejak
meletusnya Perang Dunia II. Dan sejak itu pula, sudah ratusan ribu pemuda Amerika gugur. Hancur
bersama pesawatnya yang tertembak di udara, berkeping oleh ranjau, remuk ditembaki artileri, hilang di
belantara, atau terkubur di lautan.
Si Bungsu dan ketiga tentara Amerika yang kini berada di bawah kekuasaan pasukan khusus dan Polisi
Militer Vietnam itu benar-benar tak pernah membayangkan nasib buruk yang tengah menanti mereka.
Dalam posisi kedua tangan terikat ke kayu yang disandangkan ke bahu, mata mereka ditutup dengan
kain tebal ketika akan meninggalkan kampung tersebut. Selain itu, kaki mereka dirantai dan dihubungkan
antara yang satu dengan yang lain. Membawa tawanan dengan cara seperti itu sudah menunjukkan
bahwa tawanan tersebut tidak saja dinilai penting, tetapi juga berbahaya.
Mereka digelandang naik sebuah truk tua buatan Rusia. Di truk itu, rantai yang mengikat kaki mereka
dikuncikan ke beberapa gelang yang sengaja dibuat dan ditempelkan pada dinding truk dengan mur dan
baut yang menembus dinding truk itu. Gelang itu terbuat dari besi sebesar ibu jari. Mereka disuruh tiarap.
Lalu truk itu berjalan. Suara mesinnya ribut bukan main. Jalan yang ditempuh luar biasa rusaknya.
Selama dalam perjalanan yang alangkah lama dan jauhnya, melewati jalan tanah berlumpur, keempat
tawanan yang tiarap di lantai truk dengan mata tertutup itu sengsara bukan main.
Truk tua buatan Rusia tersebut tidak hanya oleng dan terguncang-guncang, tetapi juga terlambung-
lambung. Ada kesan bahwa truk ini dilarikan dengan kencang untuk mengejar waktu yang sudah
ditetapkan. Beberapa kali kedua truk itu terpaksa berhenti karena terperosok ke dalam lumpur. Ke empat
tawanan tetap dijaga di atas truk dalam keadaan tertelungkup. Sesekali seorang tentara memeriksa tutup
mata mereka. Truk yang terpuruk itu kemudian ditarik mem pergunakan wing baja, yang memang
tersedia pada hampir semua truk perang.
Kawat baja yang panjangnya sekitar dua puluh meter, yang digulungkan pada sebuah silinder besi di
bahagian depan truk, direntang ulur dengan menghidupkan mesin. Ujungnya yang dipasang kait besi
besar dililitkan ke pohon terdekat. Lalu mesin dihidupkan untuk menggulung kembali kawat baja tersebur.
Kawat yang diikatkan ke pohon itu menjadi tegang, dan putaran mesin yang menggulung kawat itu
menyebabkan truk tertarik keluar dari lumpur, yang terkadang dalamnya membenamkan seluruh roda-
roda besar truk tersebut.
Dengan kedua tangan masih terikat ke kayu di bahu, dengan mata tertutup dan kaki terantai satu sama
lain, yang dikuncikan lagi ke cincin besi di dinding truk, bagi si Bungsu maupun ketiga tawanan Amerika
itu benar-benar tak ada kemungkinan untuk melarikan diri. Ketiga tentara Amerika tersebut nampaknya
benar-benar parah. Yang seorang, yang lintah masih lekat di pahanya, nampaknya dalam kondisi paling
buruk. Dia diserang demam malaria tropikana. Yang dua lagi, kendati tubuh mereka sudah seperti
mayat hidup, kurus dan pucat, namun tidak separah yang diserang malaria itu.
Celana dan baju loreng yang mereka kenakan sudah benar-benar compang-camping. Ketiganya tidak
mamakai sepatu. Kudis menggerogoti sebahagian besar tubuh mereka, terutama sebatas dada ke
bawah. Pada batas dada ke atas kentara sekali bedanya. Bahagian dada ke bawah pucat dan keriput,
bahagian dada ke atas agak mendingan. Batas dan keriput itu tercipta karena selama berbulan-bulan
mereka direndam dalam kurungan yang dibuat di dalam sungai atau rawa yang airnya bercampur lumpur.
Tempat menyekap tawanan Amerika dengan kondisi seperti itu merupakan hal yang lazim bagi Vietnam.
Jumlahnya bisa puluhan, mungkin ratusan buah di seluruh Vietnam. Selain siksaan yang nyaris tak bisa
dibayangkan, kurungan model itu jelas dimaksudkan untuk meruntuhkan moral tentara yang mereka
tawan. Ketiga tentara Amerika itu nampaknya sudah menyerahkan nasib mereka bulat-bulat ke tangan
takdir. Hampir sehari penuh tersiksa di atas truk, akhirnya konvoi yang hanya terdiri dari dua truk
bermuatan penuh oleh pasukan khusus Vietnam itu berhenti di suatu desa kecil dan terpencil. Si Bungsu
mendengar suara kokok ayam. Kemudian mendengar suara orang bicara.
Suara tentara melompat turun dari truk. Kemudian suara langkah mendekat. Lalu ada pembicaraan
dalam bahasa Vietnam, yang tentu saja tak dimengerti baik oleh si Bungsu maupun oleh ketiga tawanan
Amerika itu. Kemudian mereka mendengar perintah untuk turun dalam bahasa Inggris yang cukup baik,
diiringi sentakan keras pada kaki mereka. Karena kaki-kaki mereka saling dihubungkan dengan rantai,
hanya dengan amat susah payah mereka baru bisa turun dari truk tersebut. Kain yang diikatkan erat-erat
penutup mata mereka sesampai di bawah kembali diperiksa.
Kemudian tentara Vietnam itu kembali menggiring ke empat tawanan tersebut dengan mendorong-
dorong tubuh mereka. Ada sekitar sepuluh menit berjalan dengan saling terantuk-antuk, baru mereka
disuruh berhenti. Si Bungsu mendengar ada suara riak air di bawah. Dari arah riak air itu dia mendengar
ada suara nafas manusia. Rantai di kaki mereka dibuka. Tapi sebelum mereka sempat berfikir apapun,
kepala mereka dihantam dengan popor bedil. Si Bungsu adalah yang pertama kali menerima hantaman
itu. Persis di bahagian belakang kepalanya.
Dia tak sempat berbuat apapun. Usahkan berbuat sesuatu, merasakan sakit kena hantam popor senjata
itu pun dia hampir tak sempat. Hanya amat sesaat, sekitar dua atau tiga detik. Rasa sakit yang amat
sangat itu sudah lenyap bersamaan dengan lenyapnya semua rasa apapun, saat tubuhnya jatuh dan
tercebur ke dalam air berlumpur. Saat itu semua menjadi gelap gulita baginya. Setelah dia, berturut-turut
ketiga tawanan Amerika lainnya mendapat giliran. Setelah keempat mereka tercebur, dua orang tentara
milisi menutup pintu kurungan yang terbuat dari batang-batang bambu.
Milisi adalah pasukan yang direkrut dari kader partai komunis di desa-desa dan tidak memiliki seragam
militer kecuali bedil. Usai pintu kurungan itu ditutup, seperti menutup sebuah peti, tiga batang kayu
berdiameter hampir satu meter digelindingkan ke atas pintu bambu itu. Jarak kayu yang satu dengan
yang lain diatur sedemikian rupa. Sehingga tak mungkin ditolak dari bawah. Sebenarnya, tanpa kayu
besar itu pun sudah hampir mustahil bagi yang terkurung di lobang itu untuk keluar. Keempat sisi dinding
kurungan itu bukannya terbuat dari bambu melainkan tanah.
Kurungan ini nampaknya dibuat lain dari yang lain. Di sebidang tanah tanah keras dibuat lobang empat
persegi, sedalam empat kali empat meter. Bahagian atasnya tiga per empat dilantai dengan bambu
hampir sebesar betis lelaki dewasa. Yang seperempat lagi dibuat sebagai pintu yang bisa dibuka dan
ditutup. Tawanan dilemparkan begitu saja ke dalam lobang 4 x 4 m itu. Dengan kedalaman 4 meter,
dengan air bercampur lumpur sebatas dada, adalah mustahil bagi orang untuk ‘terbang’ agar bisa bebas.
Namun bagi Vietnam berjaga-jaga itu tentu saja amat perlu.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-677


Makanya di atas bambu-bambu yang diikat dengan kukuh itu, yang berfungsi sebagai ‘atap’ kurungan,
masih dipalang lagi dengan tiga batang kayu besar. Lobang yang berfungsi sebagai kurungan itu di
dalamnya sudah berisi dua tawanan, tentu saja juga tentara Amerika. Kedua tentara itulah yang
kemudian berusaha menolong agar empat tawanan yang baru saja dilemparkan masuk ke lobang itu
tidak langsung mati terbenam. Mereka segera berusaha agar bahagian kepala para pendatang baru itu
tetap mengapung agar bisa bernafas.
Mereka diupayakan bisa duduk dan disandarkan ke dinding. Namun salah seorang di antaranya, yaitu
yang kena demam malaria tropikana, ternyata sudah tak tertolong lagi. Hantaman popor bedil di
kepalanya mengakhiri derita panjang yang dia alami.
“Hei, orang ini sudah mati…” ujar tentara yang berusaha memberikan pertolongan.
Namun pasukan khusus Vietnam yang berada di atas hanya menatap dengan diam dengan tatapan
dingin.
“Orang ini sudah mati, tolong angkat dan kuburkan dia…” ujar si tentara kurus yang tadi berusaha
memberikan pertolongan.
Usahkan pertolongan, sepatah jawaban pun tak terdengar. Mereka justru meninggalkan tempat itu,
dengan sikap tak peduli. Kini di sana hanya tinggal dua orang milisi yang tadi menutupkan pintu kurungan
tersebut. Kedua mereka juga menatap dengan tatapan dingin. Kemudian beranjak, mengambil dedaunan
yang sudah agak mengering. Dedaunan itu ditimbunkan ke atas pintu kurungan. Nampaknya hal itu
disengaja, agar orang menyangka bahwa di daerah itu hanya semak belukar. Usai menutup lobang besar
itu dengan dedaunan, kedua milisi itu naik ke sebuah pondok kecil.
Pondok itu berada sekitar lima meter dari lobang penyekapan. Pondok sengaja dibuat agak tinggi,
khusus untuk tempat mengawasi lobang di mana para tawanan disekap. Di pondok kecil tersebut ada
sebuah bren, sejenis senapan mesin ringan dengan peluru berantai. Dengan kurungan hanya
beberapa meter dari pondok penjagaan, ditambah dua penjaga yang siaga dengan bedil, ditambah
sebuah senapan mesin ringan, kalaupun yang dikurung di dalam lobang besar itu adalah semut, maka
semut itu pun takkan mungkin bisa meloloskan diri.
Kedua tawanan Amerika yang kedatangan empat ‘tamu’ baru itu saling menatap dalam diam. Yang
memegang tentara yang mati tersebut akhirnya melepaskan mayat di tangannya. Kemudian mereka
berdua dengan susah payah membuka ikatan tangan ke tiga orang yang masih hidup. Mereka berdua
nampaknya tak begitu kaget. Hal-hal luar biasa sudah menjadi bahagian dari kehidupan mereka. Malah
sebenarnya di dalam hati mereka merasa gembira dengan datangnya tawanan baru. Sudah beberapa
bulan ini mereka hanya berdua di kurungan tersebut. Kini ada tambahan teman baru.
Paling tidak mereka kini memiliki tambahan teman bicara. Kedua orang itu, yang kondisi tubuhnya juga
sudah demikian buruk, harus berusaha sekuat tenaga agar ketiga orang yang baru diterjun bebaskan ke
tempat mereka itu tidak mati lemas, terbenam dalam air berlumpur tersebut. Begitulah, dengan
menyandarkan ketiga orang tersebut ke dinding lobang, dengan menekan dadanya sehingga kepalanya
tidak terbenam ke air dan lumpur, mereka bisa memperlambat datangnya elmaut. Si Bungsu siuman
pertama. Itu karena dialah yang paling sehat tubuhnya.
Yang satu jelas sudah mati, sementara yang dua lagi sudah demikian lenyai. Dia membuka mata karena
merasa sangat kedinginan. Yang pertama dia rasakan selain rasa dingin, adalah kepalanya yang
berdenyut-denyut. Kemudian rasa lapar luar biasa. Kemudian rasa tekanan pada dadanya. Saat matanya
terbuka kepalanya masih tunduk terkulai. Dia melihat sebuah tangan pucat dan berbulu menahan
dadanya. Ketika dia membuka mata dan menolehkan kepala ke arah pangkal tangan yang menahan
dadanya itu, dia segera menampak sebuah wajah berjambang lebat.
Rambutnya gondrong, wajahnya pucat dan kotor sekali. Dari pakaian lorengnya yang sudah menguning
karena lumpur, dia tahu orang ini adalah tawanan Amerika. Dia terbatuk tiba-tiba. Masih ada sisa air di
dadanya saat dia jatuh tercebur.
“Hei, selamat datang di neraka…” ujar orang yang dia tatap sambil melepaskan pegangan tangannya di
dada si Bungsu.
Begitu tekanan tangannya dia lepas, tubuh si Bungsu tiba-tiba melorot masuk ke air. Tentara itu
menjambak rambut si Bungsu, persis sebelum hidungnya masuk ke air.

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 673-674


Dalam Neraka Vietnam-bagian 673-674
Dalam Neraka Vietnam-bagian-673

“Saya tidak tahu, apakah obat yang Anda pakai di balik perban itu cukup manjur atau tidak. Jika Anda tak
keberatan, saya punya ramuan di pondok…” ujar si Bungsu.
Kapten itu menatap kedua tangannya yang berbalut perban mirip orang akan bertanding tinju.
“Saya berminat juga mencoba obat Anda, dokter…” ujar Bhun Dhuang, sambil mengikuti si Bungsu dan
Lok Ma ke pondoknya.
Di luar, di halaman yang cukup luas untuk berkumpul seratus orang, yang merupakan alun-alun di desa
tersebut, orang semakin sibuk mempersiapkan tempat perayaan Hari Raya Tet. Tentara bekerja
membuat meja panjang dan kursi darurat. Karena desa itu memang berada jauh di tengah hutan
belantara, dengan mudah mereka mendapatkan pohon-pohon yang diperlukan untuk dijadikan tiang meja
dan kursi. Untuk alas tempat duduk dan daun meja, mereka memotong bambu, yang disusun menjadi
bidang luas. Beberapa lelaki kelihatan tengah membersihkan dua ekor babi.
Kedua hewan itu dibunuh dengan terlebih dahulu mengikat kedua kakinya. Lalu digantung dengan kepala
menghadap ke bawah. Lehernya ditusuk dengan sebilah pisau yang amat runcing dan tajam. Darah yang
mengalir dari leher babi itu ditampung dengan sebuah tong kayu yang cukup besar. Darah tersebut
dicampur dengan semacam asam sehingga mengental mirip hati. Darah beku yang digoreng atau
dibakar merupakan makanan yang luar biasa nikmatnya bagi orang-orang Vietnam.
“Bisa minta air yang agak panas?” ujar si Bungsu pada Lok Ma, saat mereka akan masuk ke pondoknya
bersama Kapten Bhun Dhuang.
Lok Ma segera mengambil baskom tempat si Bungsu meremas ramuan obat tadi. Kemudian memanggil
seorang wanita. Menyuruh bersihkan baskom tersebut dan mengisi nya dengan air panas. Ketika wanita
itu kembali dengan air panas, dia menatap si Bungsu.
“Assalamualaikum…” sapa wanita itu perlahan.
Si Bungsu, Lok Ma dan Bhun Dhuang menatap pada wanita itu. Jika kedua Vietnam itu menatap dengan
heran, si Bungsu justru terkejut.
“Wa’alaikummussalam…” ujar si Bungsu perlahan, sambil menatap hampir tak percaya pada wanita itu.
“Ana anta Islam…” ujar wanita separoh baya itu dalam bahasa Arab yang ala kadarnya.
Si Bungsu ternganga. Dia menoleh pada Lok Ma.
“Suruh dia masuk dan duduk. Tanyakan padanya darimana di tahu saya seorang Islam…” ujar si Bungsu
dalam bahasa Inggris pada Lok Ma.
Sersan itu menyuruh si wanita masuk dan duduk di tikar bambu di depan si Bungsu dan Bhun Dhuang.
Dengan takut-takut dia mendekat, namun tetap berdiri. Dia baru duduk dengan amat sopan setelah
Kapten Bhun Dhuang ikut menyuruh dia duduk. Lok Ma kemudian menanyakan darimana dia tahu si
Bungsu seorang Islam.
“Saya melihatnya ketika dia sembahyang Asyhar setelah mandi sore tadi di tepi sungai…” ujar wanita itu,
yang diteruskan oleh Lok Ma kepada si Bungsu.
“Sampeyan tiang Jawi…?” tiba-tiba wanita itu kembali mengejutkan si Bungsu, tatkala dia bertanya dalam
bahasa Jawa apakah si Bungsu orang Jawa.
Tentu saja Lok Ma dan Bhun Dhuang tak faham apa arti pertanyaan wanita tersebut. Si Bungsu sampai
dibuat ternganga. Buat sesaat dia tak bisa bicara sepatah pun.
“Ibu dari Jawa?’ ujarnya dalam bahasa Indonesia.
Dalam Neraka Vietnam-bagian-674
Kali ini wanita itu yang ternganga.
“Ja… uwa… ya, Ja uwa…” ujarnya mencoba mengeja.
Si Bungsu menoleh pada Lok Ma, kemudian dia berkata.
“Ibu ini nampaknya turunan dari Jawa, salah satu pulau di Indonesia. Tolong tanyakan padanya, tentang
asal usulnya, juga tentang keluarganya di sini. Barangkali ayah atau ibunya berasal dari Indonesia…”ujar
si Bungsu.
Namun sebelum Lok ma menanyai wanita itu, si Bungsu teringat, bahwa dia harus mengobati tangan
Kapten Bhun Dhuang. Dia minta maaf pada si kapten, dan menyuruh Lok Ma mengundurkan
pertanyaannya. Namun Kapten itu menyuruh agar pembicaraan itu dilanjutkan, sementara dia
membersihkan tangannya dengan air suam-suam kuku yang tadi dibawakan wanita tersebut. Lok Ma lalu
menyampaikan pertanyaan si Bungsu kepada wanita itu. Dan bertuturlah wanita tersebut. Kakeknya
adalah seorang pelaut yang lahir dari perkawinan campuran, ibu Madura dan ayah Jawa.
Sekitar tujuh puluh tahun yang lalu, kakek buyutnya itu merantau ke Thailand. Kemudian berdagang ke
Vietnam Selatan, yang juga beberapa pedagang asal Indonesia dan Malaya. Di Vietnam ini lelaki itu
tertarik pada seorang gadis setempat dari keluarga muslim. Mereka menikah dan menetap di Vietnam.
Pasangan ini melahirkan dua anak lelaki dan seorang anak perempuan. Dia adalah anak perempuan itu.
Dia tak bisa berbahasa Indonesia karena ayahnya jarang sekali berbahasa Indonesia. Apalagi ayahnya
sudah meninggal sekitar lima belas tahun yang silam.
Dia hanya hafal beberapa potong bahasa Jawa yang pernah diajarkan ayahnya ketika dia masih berusia
belasan tahun. Namun karena tak pernah dipergunakan lagi, bahasa itu berangsur-angsur lenyap dari
ingatannya. Si Bungsu menyalami wanita itu, setelah ceritanya dalam bahasa Vietnam itu diterjemahkan
Lok ma ke dalam bahasa Inggris. Wanita berusia separoh baya itu menyambut uluran tangan si Bungsu
dengan mata berkaca-kaca. Sambil meramu obat, mereka lalu terlibat pembicaraan yang diterjemahkan
oleh Lok Ma. Lok Ma menjadi penerjemah untuk kedua orang itu.
Jika wanita itu yang bicara Lok Ma menerjemahkan bahasa Vietnam itu untuk si Bungsu ke dalam
bahasa Inggeris. Sebaliknya si Bungsu yang bicara dalam bahasa Inggeris kemudian diterjemahkan
untuk wanita itu oleh Lok Ma ke dalam bahasa Vietnam.
“Menurut kakek saya, Kota Jawa itu besar sekali, penduduknya juga amat ramai…” ujar wanita tersebut.
“Jawa itu nama pulau, Bu. Ada ratusan kota di sana. Jawa itu bahagian dari negeri yang bernama
Indonesia. Ada ribuan pulau besar kecil di negeri itu….”
“Tuan juga berasal dari Jawa?”
“Tidak. Saya dari pulau Sumatera.…”
“Jauh dari Jawa?”
“Tidak juga….”
“Tuan pernah ke Jawa?”
“Pernah, ke Jakarta….”
“Jauh Kakarta itu dari Jawa?”
“Jakarta itu ibukota Indonesia, seperti Saigon ibukota Vietnam Selatan dulu. Jakarta itu terletak di Pulau
Jawa…” ujar si Bungsu sambil mengoleskan ramuannya yang sudah selesai dibuat ke pergelangan
tangan dan buku-buku jari Kapten Bhun Dhuang.
“Ada berapa keluarga muslim di kampung ini…?”
“Ada lima keluarga.…”
“Berapa keluarga di sini semuanya?”
“Kira-kira lima puluh keluarga….”
“Saya bahagia sekali bisa bertemu dengan orang seagama dan dengan orang yang sekampung dengan
ayah saya. Saya ingin sekali datang ke Jawa. Mungkin suatu hari kelak, saya akan datang ke sana
bersama anak-anak saya…” ujar wanita itu dengan mata berlinang.
Lalu dia membungkukkan badan, memberi hormat. Kemudian minta izin meninggalkan pondok itu. Si
Bungsu berdiri, menyalami wanita tersebut. Dia mengantarkannya ke pintu.
“Saya doakan niat Ibu untuk datang ke Jawa disampaikan Tuhan. Saya senang di sini bisa bertemu
dengan keturunan orang Indonesia…” ujar si Bungsu.
Si Bungsu lama berdiri di pintu. Menatap wanita itu berbaur dengan penduduk lainnya di halaman rumah
besar di ujung sana. Dari kejauhan dia lihat wanita itu dikerubungi beberapa wanita dan anak-anak.
Nampaknya dia bercerita tentang pertemuan mereka sebentar ini. Kemudian bersama Lok Ma yang tadi
menjadi juru bahasanya dia kembali masuk ke pondok. Melihat tangan si kapten yang sudah dia olesi
ramuan obat.
“Terimakasih, kawan, ramuan obatmu manjur sekali…” ujar Kapten Bhun Dhuang ketika melihat si
Bungsu masuk bersama Lok Ma.
Si Bungsu memeriksa kedua kepalan tangan perwira tersebut. Bengkaknya sudah jauh menyusut. Warna
merah kehitam-hitaman yang tadi terlihat dari pergelangan tangan sampai ke batas siku, kini sudah
lenyap sama sekali. Kedua pergelangan tangan yang retak dan membengkak sebesar telur ayam, kini
sudah hilang bengkaknya. Si Bungsu lalu meminta perban kepada Lok Ma. Lalu membalut kedua tangan
si kapten mulai dari pergelangan tangannya ampai ke ujung lima jarinya.
“Maaf, untuk sementara bila lapar Anda terpaksa disuapkan. Tapi, jika obat ini manjur besok pagi Anda
bisa memegang sendok. Hanya saya kurang yakin…” ujar si Bungsu.
“Bila Anda kurang yakin saya justru sangat yakin…” ujar si kapten sambil tersenyum.
Namun besok yang diucapkan si Bungsu merupakan hari yang tak pernah terbayangkan sedikitpun, baik
oleh si Bungsu maupun oleh semua tentara Vietnam yang bermarkas di kampung tersebut. Subuh sekali,
tatkala malam perayaan Hari Raya Tet baru saja usai, dan hampir semua penduduk serta tentara pada
bergelimpangan tidur karena kenyang dan lelah menari, dua peleton pasukan khusus tentara Vietnam,
ditambah tiga perwira dari korp polisi militer, yang dikirim langsung dari Kota Ben Hoa, menyelusup
masuk.
Tanpa banyak bicara mereka mengambil alih tawanan. Termasuk si Bungsu, yang karena lelah sedang
tidur lelap. Dia tersentak bangun ketika merasa ada yang menindih tubuhnya yang sedang menelungkup.
Dia tak sempat bergerak banyak karena dua orang ternyata sudah menginjak tengkuk dan pinggangnya.
Lalu dia merasa tangannya kembali diikat ke sebuah kayu pendek yang disandangkan ke bahunya. Nasib
seperti siang kemarin ternyata kembali terulang. Sebuah kayu diletakkan di bahunya. Kedua tangannya
diikat ke kayu sebesar lengan lelaki dewasa itu.
Subuh belum bersambut dengan pagi, pasukan khusus itu kemudian menggelandang tawanannya. Si
Bungsu baru tahu, ternyata masih ada tiga orang tentara Amerika yang disekap di desa tersebut. Dia tak
tahu di mana mereka disekap.

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 671-672


Dalam Neraka Vietnam-bagian 671-672
Dalam Neraka Vietnam-bagian-671

Kemudian seorang lelaki tua, pimpinan desa itu maju. Dia bicara kepada si komandan. Si Komandan
mendengar pembicaraan pimpinan desa itu dengan seksama. Kemudian dia mengangguk. Lalu bicara
pada masyarakat dan belasan tentara yang ada di depan rumah besar itu.
Semua mereka bertepuk tangan usai si komandan berbicara. Di dalam rumah, kepada si Bungsu si
overste bercerita, besok kebetulan Hari Raya Tet. Salah satu hari raya besar di antara belasan hari raya
orang Vietnam tiap tahunnya. Penduduk ingin merayakannya dengan mengadakan hiburan sambil
makan-makan bersama. Selain seluruh ikan yang baru diperoleh itu, juga akan dipanggang dua ekor babi
sumbangan penduduk.
“Tuan suka babi…?” tanya overste tersebut.
Si Bungsu menggeleng.
“Saya seorang muslim…” ujarnya menjelaskan.
“Oo, moslem. Islam… ya agama Islam melarang makan babi…” ujar overste itu mengingat pelajarannya
di Akademi Militer.
“Siang tadi Tuan mengatakan saya menderita penyakit paru-paru yang sudah berat. Dari mana Tuan
tahu?”
“Dari wajah dan warna ludah Anda, Overste…” jawab si Bungsu perlahan sambil menatap wajah letnan
kolonel itu.
Overste itu menatap si Bungsu beberapa saat, tanpa berkata sepatah pun. Kemudian menunduk. Dan
tiba-tiba matanya basah. Dia berusaha menghapusnya. Seperti tak ingin dilihat menangis di depan orang.
Namun betapapun dia tak mampu menahan agar matanya tak basah.
“Saya telah membunuh anak-anak saya yang paling saya cintai dengan menularkan penyakit celaka ini.
Usia mereka masih terlalu muda untuk mampu bertahan…” ujarnya perlahan dengan suara terdengar
bergetar.
“Saya ikut berduka…” ujar si Bungsu perlahan.
“Saya sudah berobat kemana-mana. Tetapi, rokok, minuman keras, heroin dan perang celaka ini tidak
hanya menghancurkan hidup saya, juga anak-anak saya yang tertular…” ujar si overste.
“Saya pernah belajar membuat ramuan obat, tatkala saya sendirian selama dua tahun dalam belantara di
kampung saya. Semula ramuan obat itu saya buat asal-asalan, untuk mempertahankan hidup. Namun
setelah mencoba berbagai jenis daun, kulit, akar, getah kayu rumput dan lumut yang ternyata berkhasiat
untuk obat. Lalu ketika saya di Amerika, seorang Indian menambah banyak sekali pengetahuan saya
tentang ramuan obat dari lumut, rumput, akar, daun dan getah beberapa jenis kayu lagi. Jika Anda mau
mencoba Overste, di sungai tadi saya telah mengumpulkan lumut yang baik sekali untuk obat, berikut
beberapa jenis rumput dan daun kayu….”
“Berapa lama ramuan itu bisa se…” pertanyaan overste itu terhenti oleh sedakan batuk yang mula-mula
ringan.
Namun batuknya makin lama makin keras dan membuat dia sulit bernafas. Si Bungsu tahu, jika siang
hari orang yang menderita penyakit seperti overste ini takkan begitu merasakan penyakit yang
menggerogotinya. Sebab siang hari udara panas. Namun begitu malam mulai turun, seperti sekarang,
penyakit itu kambuh. Makin dingin hari, makin dahsyat serangannya.
“Saya akan kembali ke pondok saya, akan saya buatkan ramuan itu segera…” ujar si Bungsu sambil
berdiri
Overste itu hanya mampu mengangguk, sementara batuknya kemudian menyerang berkali-kali. Lok Ma
yang ada dalam rumah itu segera membantu komandannya. Mengambilkan sebaskom air panas dari
periuk di tungku, kemudian sebuah handuk kecil yang bersih. Di luar rumah, si Bungsu melihat kesibukan
penduduk dan tentara mempersiapkan segala sesuatu untuk merayakan Hari Raya Tet malam nanti.
Mereka membuat dua perapian untuk membakar ikan dan babi. Kemudian sebuah lagi untuk menanak
nasi. Melihat si Bungsu muncul, beberapa lelaki datang menyalaminya.
Beberapa wanita saling berbisik. Para tentara menatapnya dengan diam. Dia masuk ke pondoknya.
Mengambil lumut dan beberapa jenis daun yang dia bungkus dengan daun pisang senja tadi. Di daun
pisang itu bahan-bahan tersebut dia remas menjadi satu. Saat dia keluar kebetulan Lok Ma datang.
Kepada Lok Ma dia minta dicarikan air kelapa muda. Kemudian anak pisang. Dalam waktu yang tak
begitu lama bahan-bahan itu diantarkan Lok Ma kepadanya. Dia meminta sebuah baskom alumunium,
atau periuk kecil. Ramuan itu dia masukkan ke periuk kecil

Dalam Neraka Vietnam-bagian-672


Bersama anak pisang yang dicencang halus, ramuan itu dia rebus dengan air kelapa, sampai airnya
tinggal sedikit sekali. Ramuan yang sudah direbus itu diletak kannya ke selimut rombeng yang diberikan
Lok Ma untuk selimut tidurnya. Karena dia merebus ramuan itu di luar pondok, banyak penduduk dan
tentara yang melihat apa yang dia lakukan.
“Sekarang carikan sebuah mangkuk…” ujarnya pada Lok Ma, sembari menyisihkan umbut anak pisang
ke sebuah piring.
Lok Ma bicara pada seorang gadis. Gadis itu segera berlari-lari kecil ke rumahnya. Kemudian datang lagi
membawa sebuah mangkuk porselen yang sudah sumbing di beberapa tempat. Si Bungsu meremas
ramuan itu, memasukkan pati remasannya ke dalam mangkuk porselen. Hasilnya didapat hampir
semangkuk penuh.
“Mari kita ke komandanmu. Mudah-mudahan ramuan ini tepat campurannya…” ujar si Bungsu pada Lok
Ma.
Ketika mereka masuk ke rumah besar berlantai tanah yang dijadikan sebagai markas tentara itu, si
overste ternyata sudah terbaring lemah. Tubuhnya memanas, wajahnya pucat. Dia ditunggui oleh Kapten
Bhun Dhuang, yang duduk di sebuah kursi di dekat pembaringannya.
“Dua bulan yang lalu, ketika saya di Da Nang, dokter mengatakan nyawa saya hanya bisa bertahan
selama lima bulan. Menurut dia, paru-paru saya sudah tak berfungsi…” tutur overste itu ketika si Bungsu
dan Lok Ma duduk di sisi pembaringannya.
“Dia mengatakan apa penyakit Tuan, Overste…?” tanya si Bungsu.
“Seperti yang Tuan katakan, paru-paru….”
“Maaf, paru-paru Tuan digerogoti kanker, Overste…” ujar si Bungsu perlahan.
Overste itu, si kapten dan Lok Ma, tertegun dan pada menatap si Bungsu.
“Maaf, saya hanya ingin Tuan mengetahui apa penyakit yang menggerogoti Tuan, Overste…” sambung
si Bungsu.
“Apakah Anda seorang dokter?” tanya si overste.
Si Bungsu menggeleng.
“Lalu bagaimana Anda bisa menebak bahwa penyakit saya adalah kanker…?”
“Guratan hijau halus di mata Tuan, kuku Tuan yang juga menghijau, kendati amat samar-samar, adalah
tanda yang amat jelas bahwa paru-paru Tuan diserang kanker. Saya belajar tentang itu dari Indian tua di
Amerika, sebagaimana pernah saya ceritakan pada Tuan…” tutur si Bungsu, seraya meminta Lok Ma
menyediakan segelas air putih.
“Kapten Bhun, kamu yang memimpin perayaan Tet di luar. Saya tak mungkin bisa berdiri…” ujar overste
itu dengan suara mulai menggigil.
“Pertama Tuan harus memakan habis anak pisang ini. Kemudian Tuan minum cairan ini setengah gelas.
Obat ini hanya untuk tiga hari. Namun untuk melihat apakah ramuannya tepat atau tidak. Tuan tidak perlu
menunggu sampai tiga hari. Reaksi pertama setelah Tuan memakan habis rebusan anak pisang dan
meminum cairan ini, panas tubuh Tuan akan turun. Lalu Tuan akan tertidur. Jika Tuan merasa lebih
segar saat bangun berarti obat ini bisa diharap menyembuhkan penyakit Tuan. Sembuhnya bisa
berbulan-bulan, namun asal Tuan bisa istirahat total, nyawa Tuan ada harapan bisa tertolong…” tutur si
Bungsu perlahan.
Overste itu tersenyum lemah. Mungkin karena memang makan atau tak makan obat itu sama saja
baginya, dia pasrah saja. Dikunyahnya rebus anak pisang itu. Mula-mula dia meringis, merasakan betapa
tak sedap dan kelatnya rebus anak pisang itu. Karena susah menelannya, beberapa kali dia dorong
untuk meneguk sedikit cairan di dalam gelas tersebut. Tiap meneguk cairan itu dia kembali meringis.
“Saya rasa yang Anda berikan ini bukan obat, tapi racun…” rutuk overste itu dengan muka masam,
sembari terus mengunyah dan menelan sisa rebus anak pisang di mulutnya.
“Racun yang kadarnya di atas cianyda sedikit…” ujar si Bungsu, yang disambut dengan senyum si
overste, juga Sersan Lok Ma dan Kapten Bunh Dhuang.
Setelah itu perwira tersebut kembali berbaring. Beberapa kali dia menguap. Lok Ma meraba tangan
Overste itu.
“Panasnya turun drastis…” ujar Lok Ma takjub.
Kapten Bhun Dhuang ikut-ikutan meraba tangan si Overste, dan dengan heran dia menatap pada si
Bungsu.
“Obat Anda amat manjur. Cepat sekali…” ujarnya.
“Masih harus kita buktikan beberapa jam lagi, apakah dia bisa bangun atau langsung mati…” ujar si
Bungsu, yang kembali disambut dengan senyum masam oleh overste yang sudah mulai mengantuk itu.
Mereka lalu meninggalkan perwira itu sendirian di kamarnya. Si Bungsu diantarkan Lok Ma ke
pondoknya. Namun ketika akan keluar dari rumah besar itu, si Bungsu menoleh pada Kapten Bhun
Dhuang. Dia lihat kedua tangan kapten itu, mulai dari pergelangan hingga seluruh jari-jarinya dibalut
dengan perban.
“Maaf saya sudah mencederai Anda, Kapten…” ujarnya.
Si Kapten menjawabnya dengan senyum.
tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 668-669-670
Dalam Neraka Vietnam-bagian 668-669-
670
Dalam Neraka Vietnam -bagian-668

Jika dia memiliki empat nyawa,maka sebenarnya kini empat nyawa nya itu telah
melayang di ujung kayu lelaki tangguh itu.Orang-orang pada berhenti bertepuk tangan,tatkala si Kapten
merapatkan kedua kakinya,berdiri lurus menatap si Bungsu.Kemudian membungkukkan badan,memberi
hormat sebagaimana layaknya karateka atau judoka bersikap kepada orang yang mereka hormati.Lalu
dia berbicara dengan bahasa Vietnam yang di tujukan pada si Bungsu.
“Anda benar-benar tangguh.Terimakasih anda sudah mengajar saya bagaimana seharusnya bersikap
satria.Terimakasih,anda telah mengampuni nyawa saya…”
Si Bungsu tertegun.Tak di sangka kapten itu akan berbuat dan berkata begitu.Dia balas sikap kapten itu
juga dengan tegak lurus,kemudian dengan tangan yang masih terikat di kayu itu,dia membungkukkan
badab membalas penghormatan yang di berika padanya.
Dengan kejujuran kemudian dia berkata dengan bahasa inggris,yang di terjemahkan lok Ma untuk si
kapten,dan untuk semua yang hadir di rumah tersebut.
“Andalah yang telah menyelamatkan nyawa saya.Ketika saya di gantung dengan kepala kebawah.Anda
bisa saja membunuh saya dengan peluru atau pisau.Namun hal itu tidak anda lakukan.terimakasih atas
kemurahan hati anda kapten…”
Kapten itu membalas penghormatan itu beberapa kali dan kemudian menghadap pada si overste yang
jadi komandannya.Bicara dalam bahasa Vietnam.Tak satupun ucapan si kapten di terjemahkan Lok
Ma.Overste itu menanyakan sesuatu.Kemudian overste itu bicara pada si Bungsu.
Tadi anda katakan,bahwa anda bisa menyembuhkan penyakit sipilis dengan ramuan hanya dalam
seminggu.Apakah anda masih mempunyai obat itu…”
“Tidak,tetapi saya bisa membuatnya dengan dedaunan yang ada disini…”
Overste itu kembali berbicara dengan si kapten.Kemudian kepada Lok Ma.sersan lok Ma akhirnya
mendekati si Bungsu.Memutus kedua tali yang mengikat tangannya,begitu juga yang menikat kakinya.
“Anda menjdai tamu kami,tuan.Sampai beberapa tentara sembuh,setelah itu kami akan mengantarkan
tuan ke da Nang atau hanoi..”ujar si overste,sembari
memberi perintah pada Lok Ma.
Yang pertama dilakukan si Bungsu adalah mandi di sungai sepuas-puasnya,di sungai besar dan deras
yang terletak tak jauh dari rumah besar tempat dia di interogasi tersebut.Untuk pergi kesungai dia di
kawal oleh dua orang tentara bersenjata.Lok Ma memberi dia sepasang pakaian,lengkap dengan
sepatu.Di sungai beberapa orang lelaki dan perempuan terlihat sedang mandi atau mencuci.Mereka
pada berhenti sebentar,menatap padanya dengan pandangan heran.Tapi begitu tertatap pada dua orang
tentara yang tegak menjaga,dengan bedil siap tembak di tebing,mereka dengan cepat mengalihkan
pandangan dari si Bungsu.Mereka melanjutkan mandi atau mencuci.Kendati sama-sama orang
Vietnam,namun penduduk demikian takut pada tentara.
Usai mandi,dari batu yang bermunculan di tepi sungai,si Bungsu memilih segenggam lumut yang warna
hijaunya sudah kehitam-hitaman kerena sudah belasan tahun ada disana.Kemudian di jalan kecil antara
sungai itu dan perkampungan kecil itu,dia memetik beberapa helai daun.Lumut dan pucuk-pucuk rimba
itu dia bungkus dengan daun pisang dan di bawa kebarak.Dia di tempatkan di sebuah barak kecil.
Ada selembar tikar yang dianyam dari bilah-bilah bambu dan sehelai selimut yang bergaris-garis,seperti
selimut yang lazim di pakai di rumah sakit.Bedanya, selimut itu sudah compang-camping.Dua orang
tentara mengantarkan nasi ransum dengan sedikit daging ikan.Si Bungsu jadi tahu kalau disini menu
utamanya adalah ikan.Saat makan,tentara yang mengantarkan makanan itu berbicara dengan
pelan,namu karena tentara itu memakai bahasa Vietnam,jadi dia tak mengerti apa yang dimaksud tentara
itu.
Tentara itu membuka baju,dan memperlihat kan lengan nya yang masih berbalut perban.Lalu si tentara
menunjuk bedil,menunjuk si Bungsu.Si Bungsu jadi mengerti kalau kedua tentara itu ikut dalam
pertempuran di padang lalang itu saat heli datang menjemput tawanan itu.Kedua tentara itu memberi
hormat dan mengulurkan tangan.Si Bungsu menatap mereka sejenak,kemudian menyambut uluran
tangan tersebut.
“Terimakasih anda tidak membunuh saya,kalau tidak ibu saya akan sangat sedih sekali.Saya anak
tunggal…”ujar tentara itu.
Si Bungsu hanya mengerti ucapan kata-kata terimakasihnya saja,karena dia pernah diajarkan oleh Ami
Florence.”Terima kasih kembali..”ujarnya dengan bahasa Vietnam.Setelah itu tentara yang satu nya lagi
yang mengulurkan tangan.
“Terimakasih…”katanya sambil membungkuk kan badan sampai dua kali.
Si Bungsu kemabli menjawab”terimakasih kembali’seperti yang pernah diajarkan Thi Binh. Sambil
membungkuk kan badan sambil duduk,kemudian kedua tentara itu meninggalkan pondok.Si Bungsu
yang tinggal sendiri,segera menyantap nasi dan ikan panggang tersebut dengan lahap.Nampaknya,
dimanapun,ikan segar yang dibakar dan di beri sedikit garam sangat nikmat.Kendati nasi nya dikit,karena
ikan bakarnya lumayan besar jadi perut nya kenyang juga,selesai makan dia mengamparkan selimut
bergaris itu diatas tikar bambu tersebut.
Kemudian membaringkan badan,sambil pikiran nya melayang pada tentara yang menahannya di barak
ini.Lewat ciri mata dan bintik di wajah tentara yang ada di rumah besar tadi juga dua tentara yang
mengantar nasi tadi,si Bungsu tahu mereka terkena penyakit Vietnam Rose,sebutan lain dari penyakit
sipilis. Dia bertekad untuk menolong mereka semampu nya.Akhirnya karena didera kelelahan dan
kekenyangan dia tertidur pulas sekali.
Hari sudah senja,ketika dia di bangunkan oleh Lok Ma.Dia datang dengan ditemanin seorang
prajurit,yang tetap siap sedia dengan bedil nya.Lok Ma mengatakan kalau overste ingin bertemu
dengannya malam nanti setelah makan malam.Lok Ma bercerita waktu berjalan ke sungai,kalau sembilan
tentara Amerika yang di tawan disini telah di pindahkan,termasuk tawanan yang di kandang babi di
sebelah kurungan si Bungsu.
“Balasan?saya hanya melihat sekitar lima orang.Dimana yang lain di tahan ?”
“Mereka dikurung di sungai di belakang kandang babi tersebut.Kurungan mereka jauh lebih
parah.Mereka berminggu-minggu di rendam sebatas leher.Makanan di masukan kedalam plastik
kemudian di ulurkan dengan tali.Mereka hanya menikmati di daratan ketika di interogasi….”tutur Lok Ma.
“Kemana mereka dipindahkan?”tanya si Bungsu.
Namun begitu pertanyaan itu di ucapkan,dia segera sadar kalau tak ada jawaban dari pertanyaan itu.
“Tidak ada yang mengetahui,kapan para tawanan di pindahkan dan kemana mereka akan di
pindahkan.Hanya komandan yang tahu.Perintah pemindahan di berikan secara lisan pada seseorang…”
Si Bungsu hanya mendengar tentang penuturan pemindahan tawanan Amerika itu dengan
diam.Beberapa lelaki dan wanita terlihat di hulu maupun di hilir sungai.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-669


Sungai cukup besar, airnya amat jernih.“Apakah penduduk di sini suka ikan sungai?” tanya si
Bungsu pada Lok Ma, yang bersama prajurit berbedil itu mengawasinya dari atas tebing.
“Ikan memang makanan utama mereka bersama nasi. Babi biasanya dijual kepada tentara. Atau di bawa
ke desa terdekat, biasanya dua sampai tiga hari perjalanan, untuk dijual. Dibawa pakai gerobak dua atau
tiga ekor….”
“Dengan apa mereka menangkap ikan?”
“Biasanya dengan kail….”
“Anda keberatan kalau saya memberi beberapa ekor ikan segar kepada mereka?” tanya si Bungsu
sambil menunjuk pada beberapa wanita dan anak-anak sekitar dua puluh meter di hilir tempatnya.
Lok Ma menatap ke hilir. Beberapa wanita berada di sana. Sesekali mencuri pandang ke arah si Bungsu
maupun ke arah Lok Ma.
“Mereka akan senang sekali. Tapi bagaimana engkau memperoleh ikan segar itu?” ujar sersan tersebut
sambil menatap pada si Bungsu yang berendam dalam air setinggi dada.
Si Bungsu menyelam. Hanya beberapa detik, kemudian dia muncul lagi. Dia memperagakan beberapa
butir batu sebesar ibu jari kepada Lok Ma.
“Pernah belajar menangkap ikan dengan batu-batu seperti ini…?”
Lok Ma menggeleng.
“Apa bisa?” ujarnya.
“Bisa…!”
Lok Ma menoleh pada prajurit yang menemaninya. Kemudian bicara dalam bahasa Vietnam.
Menceritakan bahwa si Bungsu bisa menangkap ikan dengan batu-batu di tangannya itu. Si prajurit
menatap ke arah si Bungsu dengan tatapan tak percaya. Si Bungsu berdiri dan menatap tajam ke air
jernih di sekitarnya. Batu-batu kecil itu dia pindahkan ke tangan kirinya. Hanya sebuah yang berada di
tangan kanannya. Tiba-tiba dia menyambitkan batu tersebut ke air sekitar dua depa di depannya. Si
Bungsu menanti, Lok Ma dan prajurit berbedil itu juga menanti.
“Tak ada yang kena…” ujar si Bungsu sambil tetap mengawasi air di sekitarnya.
Beberapa saat kemudian dia kembali menyambitkan batu ke arah hilir.
“Kena! Suruh mereka yang di hilir itu mengambilnya…” ujar si Bungsu ke arah Lok Ma.
Lok Ma menatap dengan diam ke air. Tak ada apapun yang terlihat. Namun hanya beberapa detik
kemudian, dia melihat seekor ikan sebesar betisnya mengapung dengan perut ke atas.
“Hei, ambil ikan itu! Itu ada ikan yang baru kena lempar batu. Ikan itu untuk kalian, ambil… ambil…!” seru
Lok Ma.
Para wanita di hilir hanya termangu, tak mengerti. Sementara itu si Bungsu kembali menyambitkan
beberapa batu lagi ke air. Para wanita itu baru ribut dan berceburan ke air setelah melihat dua tiga ekor
ikan mengapung di permukaan sungai. Mereka berebut memunguti ikan yang kepalanya pada pecah itu.
Lok Ma ternganga, ketika wanita-wanita itu dengan tertawa mengangkat ikan-ikan yang berhasil mereka
kumpulkan. Besarnya tak kurang dari sebesar betis lelaki dewasa.
Beberapa lelaki dan wanita yang berada belasan meter di bahagian hulu segera berenang ke hilir.
Mereka sampai ke tempat si Bungsu. Si Bungsu kembali menyelam memunguti beberapa batu. Lalu
tangannya menyambit dan menyambit lagi. Enam, sampai tujuh ekor ikan sebesar lengan maupun betis
pada mati dan berapungan. Penduduk memunguti ikan tersebut.
“Hei, bisa kupinjam pisaumu?” ujar si Bungsu mengejutkan Lok Ma.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-670


Tanpa pikir panjang Lok Ma mencabut pisau di pinggangnya. Kemudian melemparkannya kepada si
Bungsu. Si Bungsu menyambut pisau itu. Lalu kembali memperhatikan sungai di sekitarnya. Beberapa
saat kemudian dia menyelam. Semua pada terdiam. Namun dari atas tebing, baik Lok Ma maupun
prajurit berbedil itu dapat melihat bayang-bayang tubuh si Bungsu di dalam air sungai yang jernih
tersebut. Mereka menatap dengan diam dan penuh tanda tanya, apa yang akan dilakukan lelaki tersebut
dengan pisau tajam itu.
Cukup lama Lok Ma melihat si Bungsu menyelam hilir mudik di dalam air. Suatu saat tubuhnya nampak
berdiam diri dengan berpegangan pada sebuah batu besar di dalam sungai. Kemudian tiba-tiba tubuh
lelaki tersebut meluncur ke hilir dengan cepat. Tak lama kemudian kepalanya muncul, kedua tangannya
terangkat. Lok Ma yang semula duduk mencangkung, sampai tertegak tatkala melihat di kedua tangan
lelaki tersebut terpegang seekor ikan yang besarnya tak kurang dari paha lelaki dewasa, pisau
komando tentara Amerika milik Lok Ma tertancap di bahagian dada ikan tersebut!
“Wuaw…!” seru Lok Ma.
“Wuaw…..!” seru prajurit yang memegang bedil di sampingnya.
Penduduk menatap lelaki asing itu dengan tercengang. Usahkan melihat, mendengar saja mereka belum
pernah. Tentang orang yang mampu menangkap ikan hanya dengan lemparan batu atau menyelam
dengan pisau. Apa yang mereka lihat senja ini adalah suatu hal yang amat menakjubkan.
“Apakah komandanmu suka ikan sungai?” tanya si Bungsu tatkala berjalan pulang dari sungai.
“Dia tak begitu suka ikan. Dia suka daging babi. Tapi semua tentara di sini menyukai ikan. Kita bisa pesta
ikan bakar malam ini…” ujar Lok Ma.
Beberapa wanita yang tadi berada di hilir, kemudian berpapasan dengan mereka di jalan menuju
kampung, pada mengangguk dengan hormat sembari mengucapkan terimakasih pada si Bungsu. Si
Bungsu membalas ucapan terimakasih yang sangat dia hafal itu dengan ucapan “terimakasih kembali”
sembari membungkukkan badan. Wanita-wanita itu tertawa bergumam senang mendengar balasan
terimakasih mereka yang diucapkan lelaki asing tersebut dalam bahasa ibu mereka. Beberapa lelaki
kampung pada berbisik, kemudian mengangguk kepada si Bungsu.
Mereka, terutama kanak-kanak, pada berbaris mengikuti Lok Ma, si Bungsu dan prajurit yang membawa
ikan sebesar paha itu. Ikan itu diikat dengan tali moncongnya lewat insangnya. Kemudian sebuah kayu
panjang sedepa diambil dari tepi sungai. Dengan kayu itu, ikan besar tersebut dipikul oleh Lok Ma dan si
prajurit. Cara aneh yang dilakukan si Bungsu menangkap ikan di sungai tersebut segera diketahui seisi
kampung. Mereka ramai-ramai ke depan rumah besar yang dijadikan markas komandan tentara di desa
ini. Sebelas ikan sebesar betis yang dibawa oleh para wanita dibawa ke markas tersebut.
Si overste yang mendengar ramai-ramai segera keluar. Dia terheran-heran melihat semua penduduk
berkumpul di depan markasnya. Dan semakin heran melihat ikan demikian banyak dan yang seekor
alangkah besarnya. Lok Ma segera menceritakan bagaimana ikan-ikan itu didapat.

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 666-667


Dalam Neraka Vietnam-bagian 666-667
Dalam Neraka Vietnam-bagian-666

Dia jawara saat masih menjadi mahasiswa akademi militer Vietnam Utara.
Kalau kini ada orang yang demikian besar mulut sanggup mengalahkan kapten itu, sungguh akan
menjadi mimpi buruk yang takkan pernah dilupakan oleh si penantang. Jika dia menyatakan mampu
mengalahkan si kapten dengan tangan dan kaki terikat, peristiwa ini tak hanya akan menjadi sekedar
mimpi buruk, tetapi suatu tindakan bunuh diri. Atau apakah orang ini sengaja ingin bunuh diri karena tak
tahan menderita selama di tahanan, dan lebih tak tahan lagi menghadapi siksaan di hari-hari berikutnya?
Jika itu yang dia inginkan, maka keinginannya itu pasti bisa dia dapat dalam waktu takkan kurang dari
lima menit. Cara dia membuat si kapten menjadi lahar amarah, memang jalan tersingkat menuju
kematian. Kapten Bunh Dhuang yang amarahnya sudah sampai ke ubun-ubun, tak ingin membuang
waktu sedikit pun. Sebenarnya, jika dapat dia ingin lelaki yang kini dalam posisi terikat kedua tangannya
itu dia telan dengan rambut-rambutnya sekalian. Demikian marah dan bencinya dia pada lelaki tersebut.
Usahanya untuk membunuh lelaki tersebut sebenarnya sudah dia lakukan dengan dua tendangan ketika
si lelaki terikat dengan kepala ke bawah.
Tendangan pertama menghajar dadanya, yang menyebabkan lelaki itu muntah darah. Dia ingin saat itu
lelaki yang sudah mengobrak-abrik markas mereka itu tidak hanya sekedar muntah darah. Dia berharap
yang dimuntahkannya adalah jantung, hati dan parunya sekaligus! Mampus sekalian. Karena tendangan
pertama ke dada hanya menyebabkan muntah darah, dia menendang lagi untuk kali kedua, dengan
sepenuh kekuatan dan keahlian menendang yang dia miliki. Dengan tendangan kedua itu dia berharap
otak lelaki tersebut berhamburan.
Dia ingat pada suatu hari yang amat kritis, di mana dia berserobok dengan seekor harimau yang akan
menerkamnya. Dia tendang kepala harimau besar itu sekuat tenaga dan secepat kemampuannya.
Akibatnya harimau itu mati dengan mulut, hidung dan telinga bersemburan darah. Itu bukan mengada-
ngada. Kapten Bunh Dhuang memang memiliki keahlian beladiri yang nyaris tak ada tandingannya dalam
pasukan Vietnam. Kini dia berhadapan kembali dengan lelaki yang hanya koma setelah dia tendang dua
kali tempo hari.
Mereka tegak berhadapan. Dia lihat lelaki itu tegak menyamping padanya. He… he… dia coba-coba
memasang kuda-kuda, pikir si kapten yang merasa geli melihat usaha lelaki kurus itu. Matanya menatap
kepada para perwira dan prajurit yang berada dalam ruangan berukuran sekitar 7 x 7 meter persegi itu.
Tiba-tiba saja timbul niatnya untuk memberikan tontonan yang menarik, sekaligus mendemonstrasikan
kemahiran beladirinya. Dia akan malu juga kalau orang ini mati, sementara tangan dan kakinya terikat.
Dia pasti akan dicemooh memukuli orang yang dalam keadaan terikat.
“Buka ikatannya…” ujar si kapten kepada Lok Ma.
“Jangan, engkau takkan mampu menyentuh ujung bajuku sedikit pun, kalau ikatan ini dibuka, kapten…”
potong si Bungsu sebelum Lok Ma sempat berdiri.
Ucapan si Bungsu itu, yang jelas-jelas mempermalukan dan sekaligus menganggap dirinya remeh,
membuat amarah si kapten benar-benar sampai di batas. Tanpa membuang waktu lagi dia mengirimkan
sebuah pukulan lurus ke telinga lelaki yang sejak tadi menyombong terus itu. Si Bungsu tetap tegak
dengan posisi agak menyamping. Pukulan yang lurus mengarah ke wajahnya itu dia biarkan mendekat.
Dan dalam jarak yang sudah diperhitungkan, dia mengibaskan kayu yang melintang tempat kedua
tangannya terikat. Terdengar suara berdetak.
Kapten Bunh Dhuang meringis. Kepalan tangannya yang memukul, persis di buku-buku jari, kena
kibasan sudut kayu sebesar lengan yang tersandang di bahu lelaki tersebut. Ketika dia lihat dua buku
jarinya, yaitu buku jari tengah dan buku jari telunjuk, kelihatan terkelupas dan darah meleleh dari sana!
Orang-orang pada terbelalak diam. Si kapten kembali melancarkan dua pukulan beruntun yang amat
cepat. Namun hanya dengan merobah posisi kakinya sedikit, kedua pukulan itu lagi-lagi dikibas dan kena
hantam, oleh kayu yang melintang di bahu si Bungsu!
Kini kedua buku tangan si kapten terkelupas dan berdarah. Kapten itu menggeram. Tetapi kekuatannya
memang luar biasa. Kendati buku-buku kedua tangannya sudah terkelupas dan berlumuran darah,
dengan pekik penuh marah dia kembali melakukan serangan cepat dan berkali-kali. Kaki si Bungsu
seperti mencengkam tanah. Bergeser sedikit ke kiri dan ke kanan. Sementara kayu sebesar lengan, yang
panjangnya sekitar sedepa, yang melintang di bahunya dengan efektif sekali dia pergunakan untuk
menangkis.
Tidak hanya menangkis, bahkan balik menyerang kedua kepalan si kapten yang datang seperti baling-
baling ke arah wajah, kepala dan bahunya. Kayu itu seperti bermata dan bernyawa, yang bisa memapas
setiap pukulan si kapten. Belasan kali Kapten Bunh Dhuang menyerang dengan bentakan-bentakan
keras, dan belasan kali pula serangannya tidak hanya tak satu pun pukulannya yang berhasil “menyentuh
ujung baju” si Bungsu, malahan kedua tangannya yang memukul tetap saja kena sabet kayu di bahu
lelaki itu. Sampai suatu ketika, terdengar suaranya demikian keras.
Orang tak tahu apakah suaranya masih bentakan atau pekikan. Jika pekik, orang juga tak tahu persis
apakah pekik marah sembari melancarkan serangan dengan jurus maut, atau pekik itu karena kesakitan.
Bentuk pekik keras Bhun Dhuang baru menjadi jelas tatkala dia terlompat mundur beberapa langkah.
Orang-orang pada merinding melihat kedua kepalan tangan si kapten, yang besarnya nyaris sebesar
buah kelapa kuning, benar-benar berlumur darah. Tidak hanya itu, bulu tengkuk mereka merinding
melihat kedua pergelangan tangan kapten tersebut terkulai. Pada masing-masing pergelangannya
kelihatan sebuah bengkak merah kebiru-biruan sebesar telur bebek. Yang membuat mereka hampir tak
bisa mempercayai penglihatan mereka adalah posisi lelaki dari Indonesia yang kedua tangannya terikat
itu.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-666


Diserang demikian dahsyat dari segala penjuru, tubuhnya ternyata tak pernah bergeser dari tempat
berdirinya semula, di dekat kursi yang remuk kena tendang si kapten. Bekas jejak kakinya di lantai tanah
memperlihatkan bahwa dia hanya menggeser tegak di radius setengah meter.
Sekeras apapun si kapten berusaha mendesaknya, paling-paling dia hanya menggeser kaki kanan ke
samping, kemudian meliukkan atau memiringkan badan sebagai jurus mengelak yang amat tangguh.
Begitu pukulan si kapten hampir menerpa wajahnya, kayu sebesar lengan yang di bahunya memapas
pukulan itu dengan keras. Setiap tangkisan atau papasan ujung kanan atau ujung kiri kayu itu, hampir
bisa dipastikan selalu menghantam dua tempat secara persis. Jika tidak buku-buku jari yang terkepal,
pastilah pergelangan tangannya.
Pekik keras terakhir ternyata disebabkan rasa sakit yang luar biasa, tatkala si Bungsu menghantam
secara keras dan telak kedua pergelangan tangan si kapten. Menyebabkan persendian kedua
pergelangan tangan itu retak dan lepas!
Hanya sesaat kapten Bunh Dhuang yang tubuhnya seperti gorilla itu tertegun. Saat berikutnya dia
menyerang. Barangkali semula dia merasa tak perlu memakai kaki, dengan kedua kepala tangannya
yang seperti martil itu, menurut dia, dia bisa meremukkan wajah dan rusuk lelaki dari Indonesia ini.
Namun ternyata selain memang tidak bisa menyentuh tubuh lelaki tersebut sedikit pun, kedua tangannya
justru dibuat lumpuh. Kini, kendati terlambat, dia menyerang dengan tendangan yang amat terlatih dan
dengan kekuatan penuh. Namun orang yang dia hadapi benar-benar tidaklah takabur ketika mengatakan
bahwa kapten itu “takkan pernah mampu menyentuh ujung bajunya sekalipun”. Kini ucapannya yang
semula terdengar takabur itu dibuktikan orang itu. Ketika kaki kanan si kapten baru saja terangkat
beberapa jari dari tanah, sebelum digerakkan ke depan dalam bentuk sebuah tendangan yang amat
keras, tubuh si Bungsu berputar dua kali.
Tiba-tiba saja ujung kanan kayu tempat tngannya diikat, menempel di tenggorokan si kapten. Kapten itu
dengan terkejut membatalkan tendangannya. Dia menelan ludah dengan susah payah. Ujung kayu itu
tidak disodokkan, hanya ditempelkan begitu saja persis ke jakunnya. Dia tidak tahu bagaimana orang ini
bergerak dengan cepat dan menempelkan ujung kayu itu ke lehernya tanpa dapat dia ketahui sedikit pun!
Ada beberapa saat mereka saling menatap. Kemudian si Bungsu memutar tegak, dan ujung kayu itu
lepas dari leher di bawah dagu si kapten.
Dia membelakang bulat kepada si kapten. Dan kapten itu tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut.
Sebuah tendangan menyamping dia arahkan ke tengkuk lelaki yang membelakanginya itu. Semua orang
seperti terhenti bernafas. Namun hanya selisih sekian detik si Bungsu memiringkan tegak dan kakinya
bergeser mendekat si kapten. Tendangan maut itu lewat hanya dalam ukuran sejari dari hidung si
Bungsu. Namun karena tubuhnya sudah mendekat ke arah si kapten, ketika tendangannya ditarik kaki
kapten itu tersangkut di bahu si Bungsu.
Pada saat yang sama, ketika sebelah kaki si kapten tersangkut di bahu kanan si Bungsu ujung kayunya
menohok persis di bawah hidung si kapten. Ujung kayu itu tertempel di bibirnya. Tiap kepalanya
mencoba miring ujung kayu itu tak pernah lepas. Lengket seolah-olah ada lem di sana. Si kapten tak bisa
menggerakkan kepalanya terlalu jauh, karena sebelah kakinya masih tertahan di bahu si Bungsu. Dia
hanya berdiri dengan kaki kiri. Terjingkat-jingkat seperti orang bodoh. Lalu detik berikutnya, si Bungsu
melepaskan tekanan ujung kayu itu dari bawah hidung si kapten.
Pada detik yang hampir bersamaan dia membungkuk. Kaki kanan kapten itu terbebas. Namun dalam
gerakan yang amat cepat, ujung kiri-kanan kayu di bahu si Bungsu secara bergantian ‘menetak’ dengan
cepat beberapa tempat di tubuh si kapten. Mula-mula menusuk persis ke hulu hati di dadanya. Kemudian
dia berputar, ujung kayu itu menetak pelipis kanan. Lalu dia berputar lagi, ganti kini ujung yang satu lagi
menetak tengkuk. Sekali putar lagi, ujung yang satu menetak pelipis kiri. Lalu si Bungsu menggeser
kakinya dengan amat cepat. Kini dia tegak dengan kaki dan tubuh lurus dua depa di hadapan si kapten.
Semua orang, termasuk si kapten dan semua perwira yang menyaksikan peristiwa itu, dibuat tak
bergerak sedikit pun. Semua orang tahu, sebuah tusukan ujung kayu ke hulu hati dan tiga tetakan ke
pelipis kiri dan kanan serta ke tengkuk si kapten, jika dilakukan dengan kekuatan penuh, tidak hanya
ditempelkan sedikit seperti yang terjadi, pasti sudah mencabut nyawa si kapten. Semua mereka tahu itu.
Orang ini ternyata melakukan demonstrasi beladiri yang luar biasa hebatnya.
Si Bungsu tegak dengan diam, dengan sikap yag amat tenang. Tak ada ekspresi kelelahan mau pun
kesommbongan sedikitpun. Gerakannya yang demikian cepat sejak menangkis pukulan si kapten sampai
gerakan terakhir, seperti tak meninggalkan bekas lelah sedikit pun pada dirinya. Sementara si kapten
tegak dengan nafas memburu. Mereka berdua saling menatap. Akhirnya overste yang menjadi
komandan di pasukan itulah yang memecahkan kesunyian dengan bertepuk tangan. Diikuti para perwira,
kemudian oleh semua tentara Vietnam yang ada di rumah besar itu.
Mereka benar-benar belum pernah menyaksikan pertarungan dengan ketangguhan individu demikian
hebat. Si kapten, untuk pertama kali dalam hidupnya, merasa benar-benar merasa ditaklukkan. Pada
tusukan pertama saja, tatkala ujung kayu itu ditusukkan ke hulu jantungnya, lelaki itu sudah bisa
membunuhnya. Ujung kayu itu tidak hanya menyentuh sebuah titik kematian di tubuh si kapten, tetapi
empat titik dalam jarak waktu yang hanya hitungan detik.

Anda mungkin juga menyukai