Anda di halaman 1dari 15

Parfait | Hiromi Kawakami | Granta

Minami berusia tujuh tahun saat itu.

Dulu ia anak yang pemalu. Selalu melipat origami dengan jari-jarinya yang kurus. Bunga morning
glory. Alat musik organ. Burung parakeet. Dan tempat persembahan kecil. Ia membuat segala
macam benda, kemudian diam-diam menyimpannya dalam kotak berlapis kertas Chiyogami
berwarna ceria. Aku masih sangat muda ketika ia lahir.

Ketika Minami tujuh tahun, aku masih berusia dua-puluhan, dan kadang aku membencinya.
Hatiku terasa sakit setelah mengalami perasaan tidak menyenangkan seperti itu, dan aku akan
memeluk Minami lebih erat lagi. Itulah masa mudaku, ditambah lagi Minami begitu rapuh dan
tak berdaya selayaknya bayi, yang malah mendatangkan rasa tidak sukaku. Setiap kali aku
memeluknya erat, ia selalu saja diam dan diam. Minami tidak banyak bicara saat ia masih kecil.

Kala itu aku sedang jatuh cinta.

Lagipula, cinta itu apa? Orang yang aku cintai bernama Nishino—usianya dua belas tahun lebih
tua dariku. Aku sudah tidur dengannya berkali-kali.

Pertama kali Nishino memelukku, aku diam-diam membiarkannya, sama seperti yang dilakukan
Minami saat aku memeluknya. Kubiarkan ia memelukku, tanpa bertanya-tanya apakah itu cinta
atau nafsu belaka atau apapun itu. Setiap kali kulihat Nishino, Aku akan meringkuk lebih dekat
dengannya, tetapi bagi Nishono, perasaannya selalu sama, apapun yang terjadi.

Sesungguhnya, cinta itu apa? Semua orang memiliki hak untuk jatuh cinta, tetapi tidak hak untuk
dicintai. Aku jatuh cinta pada Nishino, tapi bukan berarti ia harus jatuh cinta padaku. Aku paham,
tapi yang sangat menyakitkan adalah bahwa perasaanku pada Nishino tidak memengaruhi
perasaannya padaku. Terlepas dari sakit yang kurasakan, aku malah semakin dan semakin
merindukannya.

*
Nishino pernah menelepon sekali saat suamiku sedang di rumah. Suamiku tidak berkata apa-apa,
ia hanya menyerahkan gagang telepon kepadaku. Lalu ia bergumam, ‘Seseorang dari perusahaan
asuransi.’

Setelah mengambil telepon dari suamiku, aku membisikkan tanggapan singkat: ‘Ya.’ ‘Benar.’
‘Tidak.’ ‘Baiklah kalau begitu.’ Aku mendengarkan suara Nishino di ujung telepon, sedang
berpura-pura berbicara dengan nada seorang sales asuransi, dengan sengaja menambahkan jeda
saat ia mengatakan hal-hal seperti, “aku ingin bercinta denganmu sekarang juga,’ sementara aku
berpikir, ‘aku bahkan mungkin tidak menyukai orang ini, sungguh.’

Suamiku ada di sampingku, diam-diam memeriksa beberapa dokumen, ketika aku menerima
telepon dari Nishino. Suamiku mungkin sudah tahu segalanya atau malah tidak sama sekali.
Selama kurang lebih tiga tahun sejak pertama kali aku bertemu dengan Nishino dan jatuh cinta
padanya, hingga ketika ia secara perlahan mulai menjaga jarak, dan akhirnya panggilan telepon
pun berhenti, suamiku tidak pernah menanyakan apapun.

Sembari menatap tengkuk suamiku, aku mengulangi kata-kata yang sama: ‘Ya.’ ‘Benar.’ ‘Begitu.’
Nishino bercengkerama selama beberapa saat lalu tiba-tiba menutup telepon. Nishino selalu
menjadi orang yang mengakhiri telepon kami. Aku mungkin tidak menyukainya, tapi aku pernah
jatuh cinta padanya.

Terkadang Minami ikut denganku menemui Nishino. Ia akan meminta aku membawanya.

‘Gadis kecil itu hebat,’ ia sering berkata. Nishino belum menikah. Ia pasti sudah empat-puluhan
saat itu. Meskipun tujuh tahun lebih tua dari suamiku, Nishino tidak memiliki sifat sedikit luwes,
percaya diri seperti suamiku. Nishino selalu terlihat tidak nyaman di sekitar orang lain, meski ia
tampak cukup baik dalam pekerjaannya—aku ingat begitu terkejut, saat kali pertama kami
bertemu, oleh gelar pada kartu nama yang ia berikan padaku.
Nishino akan selalu memberikan hadiah kecil untuk Minami. ‘Buka saja,’ Nishino mengingatkan,
dan Minami akan membukanya, tanpa sepatah kata. Kertasnya berbunyi srek ketika jari-jarinya
yang kecil membuka ikatan pita merah.

Stand kuas kaligrafi halus bertahtakan kerang merah muda. Penindih kertas berbentuk anjing.
Roti selai kacang yang ditaburi biji opium. Kotak musik berukuran tidak lebih besar dari telapak
tangannya. Minami menatap hadiah-hadiahnya, ekspresinya tidak menunjukkan perubahan
apapun, dan kemudian dengan sedikit membungkuk ia akan berkata dengan lembut. ‘Terima
kasih.’

Sejak awal, Minami tidak pernah menanyakan apapun tentang Nishino. Ia hanya memegang
tanganku, ia di sampingku seperti bayangan. Haruskah aku khawatir Minami akan mengatakan
sesuatu ke suamiku? Apakah sebagian dari diriku berharap ia secara tak sengaja membiarkan
suamiku tahu?

Saat Minami ikut denganku, Nishino dan aku tidak melakukan kontak fisik. Sebagai gantinya, kami
akan pergi ke restoran yang memiliki teras, dan sebelum Minami dapat mengatakan sepatah
katapun ia akan memesan strawberry parfait untuknya, dan kopi panas untuk dirinya sendiri dan
aku. Jika saat itu bukan musim stroberi, ia akan memesan banana parfait.

‘Chocolate parfait itu tidak baik!’, Nishino menyatakan, menarik suku kata terakhir ‘parfait,’
sehingga terdengar seperti ‘par-fay-ee.’ Minami mengangguk samar, begitu juga aku.

Saat kami mengangguk, aku mencuri padang ke arah Minami, yang melihat ke arahku. Pada bola
matanya yang putih pucat, pupilnya membulat dan tertuju padaku. Aku mengangkat alisku
sedikit, dan Minami tersenyum tipis, alisnya ikut terangkat.

Minami tidak pernah menghabiskan parfaitnya. Namun Nishino memesan strawberry parfait
atau banana parfait setiap saat.
‘Minami, dear, tadi memesan par-fay-ee, bukan?’ katanya, nada yang sedikit lebih tinggi dari
biasanya merayap dalam suaranya sembari menatap wajah Minami yang tertunduk.

Setelah meninggalkan restoran, kami bertiga akan selalu mengelilingi jalan setapak melalui
taman sebanyak dua putaran. Kemudian kami akan menuju ke stasiun kereta, di mana kami
berpisah di gerbang tiket. Nishino membeli tiket untuk kami. Ia akan memberikan tiket ke tangan
kami, tiket dewasa untukku dan tiket anak-anak untuk Minami.

Setelah tiket kami dilubangi, aku akan menoleh ke belakang melihat Nishino menyeringai dan
melambai kepada kami dari sisi lain gerbang tiket. Minami tidak, ia langsung menuju tangga yang
terbentang di depan kami. Nishino melambai padaku, ia melambai pada Minami, dan ia
melambai ke ruang di antara kami.

‘Pak Nishino pria yang aneh ya, Ibu?’ Minami mengatakan ini padaku saat musim semi ketika ia
berusia lima belas tahun.

Terakhir kali aku menemui Nishino, saat musim dingin. Minami masih berusia sepuluh tahun di
musim saat ia dan aku putus. Saat itu, aku tak menjelaskan ke Minami bahwa Nishino dan aku
tidak akan bertemu lagi, dan sejak saat itu aku tidak pernah menyebut namanya sama sekali.

Sekarang kalau dipikir-pikir, ketika aku masih bersama Nishino, ada saat-saat di mana Minami
benar-benar tertawa terbahak-bahak di hadapannya. Ketika ia menyadari aku menatapnya saat
ia tertawa, ia berhenti, tampak sadar diri. Lalu ia bersin pelan beberapa kali.

Pada musim semi itu, ketika Minami berusia lima belas tahun, aku hampir tidak pernah
memikirkan Nishino lagi. Mendengar nama Nishino keluar dari bibir Minami memicu serangkaian
emosi dalam diriku. Rasanya seperti ada yang menusuk perutku hingga berlubang dan udaranya
bocor keluar.

*
‘Ibu, Ibu dan Pak Nishino dulu sepasang kekasih ya?’ tanya Minami, menatap lurus ke mataku.

Aku pernah memikirkannya, tapi aku tak tahu lagi. Bahkan ketika aku dan Nishino masih sering
bertemu, aku tidak yakin. Aku tidak tahu lagi apakah aku dan Nishino pernah saling mencintai,
atau apakah aku sungguh mencintainya, aku malah ragu seseorang yang bernama Nishino benar-
benar ada.

‘Ketika ia memanggilku ‘Minami, dear,’ rasanya ada cat tebal pada telapak tanganku yang tidak
bisa kubersihkan, seberapa keras pun aku mencoba,’ gumam Minami pelan, seperti saat ia
sedang bernyanyi.

Selama setahun terakhir ini, Minami mengalami lonjakan pertumbuhan. Lengan dan kakinya
terus bertambah panjang. Minami tampaknya terdiri dari sel-sel yang sepenuhnya baru—
metabolismenya tinggi sekali, seolah-olah sel tubuhnya berganti seluruhnya hanya dalam
beberapa hari.

‘Masalahnya, setiap kali setelah menemui Pak Nishino, selalu ada jejak yang tertinggal.’

‘Jejak?’

‘Semacam jejak melankolis, sesuatu yang pahit’

‘Minami, kenapa kita tidak pergi membeli par-fay-ee, untuk mengenang masa lalu?’ saranku,
meniru cara Nishino menarik suku kata terakhir.

Minami tertawa. ‘Aku jadi ingin tahu bagaimana kabar Pak Nishino.’

‘Aku yakin ia baik-baik saja.’

‘Aku menyukai penindih kertas berbentuk anjing darinya.’

Lama setelah Nishino dan aku putus, Minami masih menyimpan penindih kertas perak berbentuk
anjing pemberian Nishino. Ia menamakannya Koro, dan seringkali ia menggosoknya dengan
bubuk semir hingga mengkilap.
‘Dan roti selai kacang dengan biji opiumnya, enak sekali.’

Nishino pandai memberi hadiah. Bagiku pun demikian, meski ia hanya memberiku hadiah sekali.
Sebuah lonceng perak kecil. Menggantung di tanganku, membentuk cincin.

‘Mulai sekarang, aku ingin kau memakainya,’ kata Nishino sambil tersenyum. ‘Maka aku akan
selalu tahu di mana kau berada, Natsumi.’

Dan begitu kau tahu, apa yang akan kau lakukan? Harusnya aku mengatakannya. Apa kau akan
berlari, seperti tikus memanggil kucing?

Tidak, ini agar aku bisa menangkapmu, Natsumi—jadi kau tidak akan bisa kabur. Selama aku tahu
keberadaanmu, kau tidak bisa meninggalkanku.

Kata-kata Nishino membuatku sedikit tersipu.

Kali lain aku menemui Nishino, aku mengenakan lonceng itu pada rantai di pergelangan
tanganku. Selagi Nishino bercinta denganku, loncengnya berdenting pelan sepanjang waktu. Aku
tidak akan membiarkanmu pergi, kata Nishino.

Aku ingin tahu apa yang terjadi pada lonceng kecil itu. Saat mengingat pelukan Nishino, sesaat
aku dihantam oleh kesedihan, namun aku tak dapat mengingat bagaimana aku jatuh cinta
padanya.

Aku mengatakan pada Minami, ‘Nishino bilang saat kamu dewasa nanti, ia ingin berkencan
denganmu.’

‘Lucu sekali!’ teriak Minami.

‘Seperti itulah dia.’

‘Seorang mesum, maksud Ibu?’


‘Ia berbuat sesuka hati.’

‘Ia konyol.’ Suara Minami melembut saat mengatakannya. Ia bahkan mungkin tidak menyadari
betapa manis suaranya.

‘Minami, apa ada seseorang yang kau sukai?’

‘Tidak,’ refleks ia menjawab dan berdiri. Ekspresi menyangkal terpancar di wajahnya, dengan
langkah panjang ia menaiki tangga, dua anak tangga sekaligus, lalu membanting pintu kamarnya.

Aku bertanya-tanya seperti apa rupa Nishino bagi Minami dulu. Saat menaiki tangga, tubuh
Minami menguarkan aroma sakarin yang khas untuk gadis seusianya. Untuk pertama kalinya
setelah sekian lama, aku begitu ingin mendengar suara Nishino. Perasaan yang timbul pada
Minami yang berusia lima belas tahun tentu berbeda dari rasa tidak suka yang muncul ketika ia
berusia tujuh tahun, meski sama tidak menyenangkannya.

Minami sekarang dua puluh lima tahun.

Ia pasti sudah mengalami beberapa kisah cinta. Tapi Minami tidak pernah menceritakannya.
Seperti halnya melipat origami diam-diam saat masih kecil, ia juga diam-diam jatuh cinta.

Sudah lima belas tahun sejak Nishino dan aku putus. Baru sekarang, setelah sekian lama waktu
berlalu, akhirnya aku bisa mengingat Nishino dengan jelas.

Hari-hari ini—cukup sering—aku dikejutkan oleh ingatan akan suaranya atau tubuhnya, atau
sesuatu yang ia katakan. Sesering seolah bersama seseorang, begitu sering terjadi, terpikir olehku
bahwa Nishino mungkin sudah tidak ada lagi.

Kalau dipikir-pikir, ‘Saat aku mati’ adalah hal yang akan Nishino katakan. Ia akan mengatakannya
dengan sedikit nada sabar. Kadang-kadang aku terkejut menyadari bahwa Minami sekarang
hampir seumuran aku ketika berkencan dengan Nishino.
Dulu, Nishino terkadang berkata, ‘Sebenarnya aku ingin menikah.’

Aku akan menanggapi, ‘Jika ingin, kenapa tidak kau lakukan?’

‘Maukah kau menikah denganku, Natsumi?’ tanya Nishino.

Tahu ia tidak sedang serius, aku selalu menggelengkan kepala.

‘Ayolah, kau tidak seru!’ Nishino akan berkata riang, dan dadaku terasa sesak. Aku pura-pura
tidak menyadarinya, tapi dulu saat mengencani Nishino, bayangan banyak wanita lain selalu
mengintai. Mungkin karena inilah ia bisa bicara jahil tentang pernikahan padaku.

‘Natsumi, saat aku mati, aku akan datang kepadamu,’ ia pernah berkata.

‘Apa?’

‘Saat aku mati nanti, aku ingin berada di sisimu.’

‘Aku yakin kamu mengatakan ini ke semua wanita,’ jawabku usil.

Dengan tatapan serius yang tidak biasa, Nishino berkata, ‘Tidak.’

‘Ibu, ada seseorang di taman,’ seru Minami.

Hari ini hari Jumat, tapi Minami libur dan berada di rumah sejak pagi. Seringkali, Minami
mengambil cuti dari pekerjaannya tanpa alasan. Kutanya ada apa, dan ia hanya akan tersenyum,
tanpa mengatakan sepatah kata.

Aku punya firasat itu adalah Nishino.

Aku baru saja merebus beberapa labu, dan aroma kaldu yang manis menyebar ke seluruh dapur.
Kulkas tua berdengung berisik.
Aku tetap di tempatku, berdiri di depan wastafel. ‘Minami, coba lihat siapa itu,’ kataku.

Pintu berkisi menuju taman terbuka. Sesaat kemudian, aku mendengar derap sandal kayu di atas
batu hampar. Sebentar saja suara langkah kakinya berhenti. Angin berhembus, rerumputan
berdesir.

Kemudian semua suara berhenti.

‘Ibu, kemarilah,’ panggil Minami dari taman.

Saat suara Minami terdengar, kulkas mulai berdengung lagi.

‘Aku tidak keluar,’ jawabku perlahan melalui jendela dapur.

Aku memandangi taman melalui kisi-kisi jendela.

Sosok seseorang yang tampak seperti Nishino sedang duduk di rerumputan lebat.

Lingkungan di luar bayangan ini terlihat jelas. Ia sedang duduk di tengah rerumputan tebal, nyaris
menyatu di dalamnya. Minami sedang berjongkok, saat ia menatap wajah siapapun itu.

Ia sedang duduk tegak dan jangkung. Ketika Nishino masih hidup, ia sedikit lebih gelisah. Ia
tampak seolah tidak terbiasa dengan udara di sekitarnya—ia akan mengedipkan matanya dan
menyisir rambutnya ke belakang.

‘Air…’ Minami bertanya. ‘Anda ingin minum air?’

Bayangan itu sedikit mengangguk.

Meski bayangan Minami dan Nishino agak jauh dariku yang sedang berada di dapur, entah
bagaimana aku bisa melihat jelas gerakan keduanya.

Aku menyalakan keran dan mengisi gelas kaca dengan air. Kemudian aku berjalan hingga pintu
berkisi, berhati-hati saat berjalan agar tidak menumpahkan segelas penuh air.
Minami menungguku, berdiri di atas batu hampar.

‘Ada apa, Ibu?’ Minami bertanya.

‘Kau tidak tahu?’ aku menjawab dengan suara rendah.

‘Apakah itu Pak Nishino?’

‘Itu pasti dia.’

‘Apa dia sudah mati?’

‘Ya, mungkin.’

Minami dan aku saling memandang dengan tenang. Lonceng angin bergemerincing. Di tengah
rerumputan, Nishino bergerak.

‘Apa tidak mengapa jika bukan Ibu yang memberikannya?’ Minami bertanya sembari mengambil
segelas air dariku.

‘Aku ingin kau yang memberikannya untukku.’

‘Tapi…’

‘Berikan saja padanya.’

Minami mengatupkan bibirnya, menurunkan sudut mulutnya, dan dengan gaya berjalan cuek ia
kembali ke tempat Nishino berada. Air dalam gelas membentuk riak, sedikit tumpah. Ia
memberikan gelas itu kepada Nishino dan berjongkok di sampingnya. Nishino menerima gelas itu
sopan dengan kedua tangannya dan dengan hati-hati menghabiskan airnya.

‘Dia mau lagi.’ Sembari menyerahkan gelas kosong, Minami tampak memelototiku. ‘Kenapa
bukan Ibu saja yang membawakannya?’
Capung kecil beterbangan di rerumputan. Mereka melesat di antara tanaman foxtail dan
smartweed. Nishino duduk, melihat ke arahku. Mulutnya bergerak tapi aku tak bisa mendengar
apa yang ia katakan. Aku beranjak ke dapur untuk mengisi gelas lagi.

‘Ibu, kenapa Pak Nishino di sini?’ tanya Minami. Aku terdiam, dan hanya menggelengkan kepala.

Setelah menghabiskan gelas keduanya, Nishino berbaring di atas tanah. Minami mengambil kursi
lipat tua dari gudang dan meletakkannya di sebelah Nishino, melepaskan sandalnya sembari
duduk. Sesekali ia dan Nishino bertukar cerita.

‘Aku bertanya mengapa dia di sini, tapi dia tidak menjawab.’ Minami berkata dari kursi lipatnya
dengan helaan napas, menoleh ke arahku.

‘Dia bilang dia akan datang,’ jawabku enteng, sembari duduk di beranda.

Mata Nishino terpejam ketika ia berbaring di sana, dan ia bersenandung. Kerinduan yang dulu
kurasakan untuknya kembali hadir. Nishino punya banyak uban di pelipisnya, dan ada kerutan di
sekitar mata dan mulutnya. Itu adalah wajah seorang pria berusia lebih dari lima puluh tahun.

‘Nishino,’ seruku untuk pertama kalinya.

Nishino terus bersenandung. Kedengarannya seperti lagu rakyat, ‘Song of The Seashore.’ Di
sebelahnya, Minami bernyanyi, ‘If I wandered along the seashore tomorrow –‘

Dari beranda tempat aku duduk, aku ikut bernyanyi lembut.

If I wandered along the seashore tomorrow, I would remember things from long ago.

‘Nishino, lagu ini cocok untukmu,’ seruku, kali ini berusaha terdengar seriang mungkin. Nishino
perlahan duduk. He-heh-heh, ia terkekeh.

‘Natsumi, aku di sini,’ Nishino berbicara dengan suara jelas sembari memberikan isyarat.

‘Ya, kau di sini,’ kataku, mengabaikan isyaratnya dan berdiri di tempatku berada.
‘Aku sudah berjanji. Karena aku berjanji padamu, Natsumi.’

Nishino terdengar seperti dirinya sendiri. Suaranya memiliki nada sedikit sabar yang khas.

Minami memasang ekspresi takjub sembari duduk di atas kursi lipatnya, memeluk lututnya.

‘Apakah kau pernah punya seorang anak perempuan?’ tanyaku dari jauh.

‘Aku tidak pernah menikah.’

Capung dan kupu-kupu beterbangan saat ini. Beberapa diantaranya bahkan hinggap di bahu atau
lengan Minami. Angin sepoi-sepoi menggerakkan lonceng angin.

‘Minami, dear, kau sangat cantik sekarang,’ mata Nishino menyipit dengan kasih sayang. ‘Aku tak
bisa memenuhi janjiku mengajakmu kencan.’

‘Aku tidak pernah mengiyakan!’ Minami mengerucutkan bibirnya.

‘Aku tidak akan mengajakmu kencan dengan par-fay-ee, itu akan menjadi kencan yang lebih
dewasa.’ Seperti biasa, ia menarik kata par-fay-ee.

‘Pak Nishino, aku tidak pernah menyukai parfait,’ kata Minami usil.

‘Aku tahu.’ Nishino mengulurkan tangannya dan menepuk lengan telanjang Minami dengan
lembut. Capung dan kupu-kupu yang hinggap padanya menyebar sekaligus.

‘Nishino.’ Aku memanggil namanya dengan lembut, dan ia kembali duduk tegak, mengulurkan
tangannya ke arahku.

‘Kemari, Natsumi.’ Ia menatapku dengan mata besar dan bulat.

Tidak, aku di sini saja. Aku tidak perlu ke sana,’ jawabku pelan.

‘Kemarilah, Natsumi. Aku kesepian.’


‘Aku juga kesepian.’

‘Minami, dear, kau tidak kelihatan seperti ibumu. Kau sangat cantik, Minami, dear, tapi ibumu,
Natsumi, suatu kecantikan,’ kata Nishino, nada suaranya berubah.

Itu persis seperti Nishino. Minami tertawa sendiri. Aku memiliki mata ayahku, hidung ibuku, dan
mulut nenekku, Minami bergumam.

Ibu, berhentilah buang-buang waktu dan kemari –Pak Nishino mungkin akan segera pergi. Daun
hydrangea yang rimbun berdesir bersamaan dengan suara Minami. Tanpa alas kaki, aku
melangkah ke taman. Kerikil menempel di telapak kakiku. Buah beri di rerumputan liar
menyerempet betisku.

‘Apa suamimu baik-baik saja?’ tanya Nishino, duduk dengan tumit terselip rapi di bawahnya.

‘Setiap hari rasanya damai dan tenang.’

‘Apa lagi yang kurang?’ Saat Nishino mengucapkan kata-kata ini, Minami bersin. Ia datang jauh-
jauh ke sini setelah mati dan kalian berdua hanya berbasa-basi? katanya sambil terus bersin
hingga tiga kali berturut-turut.

‘Terima kasih sudah datang,’ kataku sembari mendekat pada Nishino, dan mengusap pipiku ke
pipinya.

‘Janji adalah janji!’

‘Aku tidak tahu kau bersungguh-sungguh.’

‘Tidak untuk tubuhku, tapi selalu untuk hatiku.’

‘Kau tidak berubah sedikit pun, ya? Kataku sembari mencubit pipinya. Nishino tampak seperti
akan menangis, tapi tidak.
‘Aku ingin dimakamkan di taman ini,’ kata Nishino tulus.

‘Tidak mungkin,’ gumam Minami tersenyum.

‘Dia benar – tidak mungkin,’ aku sepakat.

Sudah cukup, Nishino, kukatakan dalam hati. Aku senang kau ada di sini.

‘Kalau begitu, setidaknya buatkan aku sebuah nisan.’ Nada suara Nishino terdengar seperti ketika
ia memesan parfait, bertahun-tahun yang lalu.

‘Sebuat nisan?’ Minami mengulang tampak terkejut.

‘Sebuah nisan seperti untuk ikan mas, itu akan menyenangkan.’

Aku menatap wajah Nishino. Ekspresinya seperti yang sering ia tampakkan saat masih hidup,
seperti anak kecil yang dimarahi ibunya.

‘Baiklah,’ jawabku, dan Nishino memelukku lembut.

Nishino berada di taman sampai tepat sebelum matahari terbenam.

Aku kembali ke dapur dan menyiapkan makan malam. Minami tetap berada di samping Nishino
sepanjang waktu. Saat aku membuang minyak goreng, aku mendengar tangisan Minami.

Ia pasti sudah pergi, pikirku.

Sesaat kemudian Minami muncul di dapur, pandangannya tertuju ke lantai sembari bergumam,
‘Dia telah pergi.’

Ya, ia telah pergi, kataku pada diri sendiri. Aku mencari satu set penjepit di bagian belakang laci.
Kukeluarkan kotak kayu besar berisi kotak-kotak kecil mie somen, memilih satu kotak yang lebih
kecil, dan menggunakan penjepit untuk mencabut paku di keempat sudutnya. Aku membongkar
kotak itu dan meletakkan papan persegi panjang terkecil di atas meja. Aku mengambil set
kaligrafi yang digunakan Minami di sekolah menengah, dan di atas meja aku mencelup tinta, lalu
dengan kuas tebal kutuliskan, ‘Di sini terbaring Nishino.’

Aku keluar ke taman dan di samping nisan ikan mas dan kucing kami, aku menancapkan papan
itu ke tanah.

Dulu aku benar-benar mencintaimu, Nishino, kataku seperti berdoa, kusatukan kedua telapak
tanganku sembari berjongkok di depan nisan. Minami berjongkok di sampingku.

Kami tetap diam, mata kami tertutup dan tangan kami dalam posisi berdoa. Kemudian kami
berdua saling memandang.

Kapan-kapan kita keluar menikmati par-fay-ee. Kataku pada Minami sembari berdiri perlahan.
Minami mengangguk, tanpa sepatah kata.

Capung dan kupu-kupu juga telah meninggalkan taman. Dari kejauhan, aku bisa mendengar
denting lonceng.

Hiromi Kawakami

Lahir pada tahun 1958 di Tokyo, HIROMI KAWAKAMI adalah salah satu novelis kontemporer
terkenal di Jepang. Ia adalah penerima Pascal Short Story Prize untuk Penulis Baru dan
Akutagawa Prize. Novelnya Drowning memenangkan Ito Sei Literature Award dan Jory Bungoku
Sho (Penghargaan untuk Penulis Wanita) pada tahun 2000. Novelnya Manazuru memenangkan
Japan-U.S. Friendship Commission Prize pada tahun 2011. Strange Weather in Tokyo (Sensei no
kaban) memenangkan penghargaan Tanizaki pada tahun 2001 dan masuk dalam nominasi Man
Asian Literary Prize dan Independent Foreign Fiction Prize pada tahun 2014.

Anda mungkin juga menyukai