Anda di halaman 1dari 197

WE START WITH THE

IMPERFECTION
By : Shunou

Haruno Shinji menghela napas panjang dan berat, merasa separuh


usianya melayang dan lenyap begitu saja ke udara. Kalau terus begini,
Shinji jadi tidak yakin dia bisa hidup sampai tua. Usianya baru tujuh
belas lewat beberapa bulan, tetapi dia lebih sering merasa setua
kakeknya (itupun kalau dia bisa berkata punya satu). Tujuh belas
dibanding sedikit melewati batas enam puluh. Dekat. Cukup dekat.
Lebih-lebih kalau pendekat utamanya tak lain dan tak bukan adalah
adik kecilnya yang sekali waktu manis, tetapi di banyak waktu lain
lebih sering menjengkelkan dan menyebalkan.
Tunggu, bukannya dua hal itu sama saja? Sayangnya bagi Shinji
ungkapan

menjengkelkan atau menyebalkan

mewakili.

Shinji

menjengkelkan dan menyebalkan

perlu
karena

tidak

cukup

memakai
ketika

adiknya

untuk
frasa
mulai

bersikap menjengkelkan, dia akan jadi sangat menyebalkan. Tidak


begitu masuk logika, tetapi Shinji menolak memikirkannya sekarang.
Ada hal penting yang perlu dia pikirkan baik-baik karena keadaannya
sangat mendesak.
Apalagi kalau bukan karena tingkah sang adik, Haruno Mahiro yang
mulai memasang wajah mirip induk yang sedang sibuk bertelur sambil

mengeluarkan aura mengancamnya. Kalau sudah begini, yang kena


imbasnya tak lain dan tak bukan adalah sang kakak. Beruntung bagi
Mahiro karena sang kakak masih sayang kepadanya (entah melalui
metode perhitungan yang bagaimana) sehingga Shinji tidak sampai
mencekiknya di tempat. Setidaknya tidak dalam lima menit ke depan.
Tergantung apakah Mahiro masih ngotot bersikap menjengkelkan atau
tidak.
"Mahiro," panggilnya dengan hembusan napas berat. Seingatnya dia
punya adik kembar (yang walaupun bukan kembar identik, tetapi
memiliki wajah luar biasa mirip satu sama lain) yang lahir lima belas
menit sesudahnya dan bukannya adik usia lima tahun yang rewel
merengek minta permen kapas dengan wajah penuh ingus. Keadaan
bandara di sekitar mereka untungnya tidak begitu ramai, kalau tidak
pasti Shinji akan malu sekali.
Haruno Mahiro menatap kakaknya dengan tajam dan ekspresi wajah
keras. "Jangan bicara kepadaku." Suaranya dibuat tajam dan kasar
dengan intonasi nada do-do yang kering.
Lagi-lagi Shinji hanya bisa menghela napas. Di saat-saat seperti ini,
kenapa sang ibu yang merupakan satu-satunya pihak yang bisa
menghentikan

Mahiro

dan

rengekannya

justru

tidak

segera

menunjukkan diri. "Berhenti merajuk begitu." Shinji berkata dengan


suara lelah. Kalau bukan karena gennya yang bagus, barangkali
sekarang Shinji sudah menumbuhkan satu, dua atau lima puluh helai
uban di rambut hitam legamnya. Di beberapa situasi konyol, Shinji

merasa dia harus berterima kasih kepada sang ayah karena telah
mewariskan gen superiornya. Tidak banyak campur tangan dari pihak
ibunya, kalau enggan disebut tidak ada sama sekali.
"Aku tidak merajuk!" Mahiro membentak. Mata hitamnya melebar
dalam upayanya melotot untuk menunjukkan maksud ketegasannya.
Kalau Shinji tidak paham, dia akan heran dari mana sifat pemurung
dan masam itu berasal. Ibunya adalah wanita paling ceria dan paling
murah senyum yang pernah Shinji kenal dan dia sendiri punya sifat
jenaka, jarang bersikap serius. Barangkali dalam kasus pihak keluarga
ayahnya, sifat-sifat trivial semacam itu juga merupakan bawaan
walaupun sejauh ini Shinji hanya mendapatinya dari sang-seharusnyaayah dan kakek.
Di usia mereka yang hampir dewasa ini Shinji tidak lagi heran kalau
sang ibu selalu berkata Mahiro sangat mirip ayah mereka tetapi tidak
pernah mengatakan Shinji mirip ayah. Sewaktu dia masih kecil, Shinji
heran sekali. Sedikit kecewa juga. Pasalnya dari segi wajah dan
postur, Shinji tidak sedikit pun berbeda, bahkan dari model rambutnya
(yang sejak kecil tidak berubah atau tepatnya tidak bisa diubah,
mengingat sifat liar bawaan rambutnya) justru semakin lama semakin
mirip sang ayah. Sekarang Shinji sudah paham dan setuju sekali
dengan ibunya.
Kalau ada satu hal yang tidak Shinji warisi dari pihak ayahnya adalah
air muka serius alami, sifat pemuram dan penyendirinyajangan

lupakan juga kecenderungan Shinji yang suka menjadi pusat perhatian


dan sangat menikmatinya, terutama kalau perhatian itu datang dari
lawan jenis. Di setiap hari Valentine dia selalu mendapat lebih banyak
cokelat daripada sang adik. Selain karena Mahiro yang selalu
menakuti para gadis supaya jauh-jauh darinya (Shinji yakin adiknya
itu sebenarnya punya alergi terhadap lawan jenis), Shinji juga
terhitung lebih ramah dan murah senyumwalaupun sebenarnya
senyumnya adalah tipikal senyum pangeran yang membuat para gadis
tidak berada lebih dekat dari dua meter darinya. Meskipun untuk
urusan wanita Shinji dan Mahiro banyak berbeda, satu hal yang pasti
dan mereka sepakati adalah sang ibu menduduki posisi tertinggi,
terdahulu dari wanita mana pun. Shinji juga berharap hal yang sama
juga berlaku bagi sang ayah, entah kapan itu bisa terjadi.
Kembali ke persoalan Haruno Mahiro yang merajuk.
"Kalau begitu, bagaimana kau menyebut tingkahmu sekarang ini yang
kekanakan, cemberut, tidak mau bicara, menolak makan, dan
mengancam putus sekolah? Kau sudah terlalu tua untuk bertingkah
seperti remaja puber yang terombang-ambing karena masalah jati diri,
Adik. Kita sudah sepakat pindah. Ini demi Ibu juga." Shinji balas
menggerutu. "Dari mana sih kau dapat sifat M seperti ini?" tanyanya
setengah berkelakar. Nadanya kering.
Haruno Mahiro, seperti eksprektasi sang kakak, langsung membeliak.
"Kau mau berkelahi, Shinji?"

Shinji memutar mata malas-malasan. Sepertinya hipotesis Shinji yang


menyatakan bahwa otak Mahiro lebih banyak disusun oleh otot dan
bukannya saraf akan segera terbukti benar. Mahiro suka sekali
mengajak berkelahi, dan sepertinya bagi dirinya itu adalah metode
tercepat untuk menuntaskan masalah dan membuang frustasinya yang
menimbun. "Aku sudah lama bertanya-tanya kau itu sebenarnya punya
masalah pendengaran atau memang otakmu yang tidak benar," gerutu
Shinji dengan dengusan.
Sekali lagi Mahiro membeliak dan tampak amat dekat dari kehilangan
kendali motoriknya. Genggaman tangannya sampai memutih. Namun
dengan pertahanan diri absolut terakhirnya, Mahiro mendengus marah
dan akhirnya memilih untuk menempatkan diri di sudut terjauh kursi
tunggu bandara.
Diam-diam si kakak menyeringai geli. Shinji tahu betul apa dan
bagaimana caranya untuk membuat adik satu-satunya geram layaknya
kucing disiram air. Dalam satu tekan, Mahiro bisa meledak-ledak
bagaikan petasan seperti ibu mereka, padahal Mahiro punya
sifat stoic dan impasif ayahnya. Dan sebagai kakak yang merasa telah
memanjakan sang adik terlalu sering, Shinji suka mencari kesenangan
dengan membuat Mahiro marah. Kalau sudah ketahuan ibunya, Shinji
hanya akan berdalih sambil menuduh ibunya yang sudah menurunkan
sifat jahil dan antiknya kepadanya.
"Kalian menunggu lama? Antrian mini marketnya panjang sekali."

Shinji dan Mahiro kompak mengangkat wajah dan menoleh ke sumber


suara, mendapati Haruno Sakura datang dengan peluh dan wajah
bosan. Di tangannya sudah ada kantung plastik berisi belanjaan.
"Aku 'kan sudah bilang biar aku dan Mahiro saja yang beli," Shinji
segera bangkit dari kursinya dan mengambil alih kantung plastik
berisi beberapa keperluan rumah yang tertinggal. Dia lirik isi kantung
putih tersebut dan mendapati tiga sikat gigi, pasta gigi, sabun mandi
cair, dan beberapa makanan ringan kesukaannya dan Mahiro.
Sang ibu mengibaskan rambut merah jambunya yang hanya diikat
sederhana ke balik bahu. "Kau dan Mahiro? Ibu tidak ingin menerima
surat permintaan ganti rugi gara-gara perkelahian kalian." Sang ibu,
Haruno Sakura, memicingkan mata menatap dua putranya secara
bergantian.
Shinji menyeringai, kemudian mengulurkan kantung plastik yang
dipegangnya kepada Mahiro. Di tangannya sendiri sudah ada pocky
cokelat yang separuh jalan hendak dibuka. "Aku atau Mahiro kalau
begitu," koreksinya.
Haruno Sakura menghembuskan napas keras-keras dari mulut,
kemudian memutar bola mata dengan ekspresi yang-benar-saja-nya.
"Mahiro hanya akan membeli barang-barang aneh yang tidak kita
butuhkan," katanya yang dibalas gerutuan protes dari Mahiro, "dan
kau akan menghabiskan setidaknya setengah jam di sana hanya untuk
merayu gadis-gadis cantik."

Mahiro tertawa mengejek. Shinji meringis masam.


"Seseorang perlu bertanggung jawab terhadap wajah ini," gurau Shinji
dengan sarkasme yang sudah bagaikan trademarknya. Kalau ada hal
lain yang perlu orang gunakan untuk membedakan Haruno Shinji
dengan Haruno Mahiro selain sikap flamboyan dan jumlah gadis yang
menguntit, akal jenaka adalah salah satunya. Shinji dan Mahiro lebih
mudah dibedakan ketika mereka bicara. Sang kakak suka bicara
sambil menyelipkan gurauan jenakanya yang padat sarkasme di segala
kesempatan dengan menggunakan suaranya yang lebih halus dan
bernada, membuat lawan bicaranya merasa jengkel bahkan ketika
Shinji bicara dengan bahasanya yang sopan. Sang adik lebih banyak
diam di depan orang lain, tetapi ketika dia bicara dia lebih suka
membuat kalimatnya sesingkat dan sepadat mungkin ala pebisnis
dengan suaranya yang satu nada lebih berat dari kakaknya.
"Huh, itu cuma dalihmu, womanizer," ejek Mahiro dengan suara
rendahnya.
"Ouch." Sang kakak menumpukan beban berat tubuhnya ke sebelah
kaki, kemudian mengulas senyum menggoda kepada adiknya. "Aku
lebih suka istilah philanderer, little brother. Dan tidak sepertimu, aku
hanya mengapresiasi apa yang kupunya," balasnya tenang.
"Cih. Kau bangga dengan pria seperti itu?" sentak Mahiro dengan
nada suara mulai meningkat.

"Kau benar-benar harus menghentikan kebiasaan membolak-balik


kata-kataku. Aku tidak pernah bilang begitu. Aku bilang aku
menghargai apa yang kupunya. Kau juga harus cepat-cepat berhenti
menyangkal, Adik," balas Shinji dengan nada suaranya yang tajam.
Nada jahil dan main-mainnya hilang, digantikan suara tegas dan
ekspresi keras yang jarang ditampakkan. Kalau sudah memasang
ekspresi seperti itu orang yang pintar akan segera mundur, tetapi
bagaimana pun juga Mahiro memang tetap Mahiro.
"Kau kira aku tidak tahu? Kau menyetujui rencana kepindahan ini
karena kau ingin bertemu dengannya 'kan? Kau ingin kita punya
keluarga utuh! Kau menginginkannya menjadi ayahmu!" Mahiro
menuding dengan telunjuknya dan kini sudah berdiri dari bangkunya
dan sepenuhnya menantang Shinji.
Haruno Shinji jarang tersulut emosi, tetapi ketika dia marah dia juga
bisa berubah layaknya petasan yang tidak akan berhenti terbakar
sampai sumbunya habis tersulut. Otot-otot lehernya membesar dan
kepalan tangannya berubah putih karena usahanya menahan diri. Dia
sangat tidak ingin membuat adegan di tengah keramaian. "Ya, aku
ingin bertemu dengannya. Ya, aku ingin punya keluarga utuh. Ya, aku
ingin dia menjadi ayahku, menjadi ayahmu, menjadi suami ibuku dan
ibumu." Shinji mendesis tajam. Kepalanya condong ke depan,
mengintimidasi adiknya dengan tatapan tajam yang jarang dia
tunjukkan. "Tidak peduli apa yang dulu terjadi dan bagaimana
semuanya sekarang, dia tetap ayah kita. Tidak peduli dia mengetahui

keberadaan kita atau tidak, hubungan darah kita tidak bisa kau
bantah."
Keduanya kemudian saling terlibat dalam kontes adu tatap, samasama tidak mau mengalahsatu sifat yang, sayangnya, dimiliki
keduanya dengan kadar sama besar.
Haruno Sakura yang sedari tadi diam mengamati adu mulut dua
putranya, mendesah. Beban berat itu serasa kembali ditimpakan ke
atas bahunya dan dadanya kembali sesak. Dia menutup mata dan
menarik napas panjang, mencoba mengisi paru-parunya dengan
jumlah oksigen yang dibutuhkan, tetapi sebanyak apa pun dia
menghirup, dadanya tidak lepas dari rasa sesak yang sudah akrab itu.
Dengan satu langkah tegas, Sakura maju dan memosisikan diri di
antara dua putranya. "Hentikan ini semua," ucapnya tegas. Dia bukan
wanita kuat seperti yang banyak orang kira, tetapi Sakura tidak pernah
berhenti berusaha untuk tetap kuat. Dia harus kuat, setidaknya di
depan dua putranya. "Kita sudah menyelesaikan perdebatan ini
kemarin." Sakura bergantian menatap dua putranya yang kompak
menampilkan ekspresi bersalah dan penyesalan. "Ibu ingin kalian
mendapat pendidikan yang lebih baik, Ibu ingin benar-benar
menerapkan ilmu yang susah payah Ibu pelajari, dan dua hal itu bisa
kita capai dalam satu kesempatan. Pindah ke Tokyo." Tatapannya
tegas, mencari-cari bantahan yang mungkin mereka ajukan, tetapi
kedua putranya akhirnya memutuskan untuk menelan kembali setiap
argumen mereka.

Keduanya kompak menjawab 'hn'.


"Kita akan hidup seperti biasa. Kalaupun kita nanti akan bertemu
dengan ayah kalian, atau siapa pun yang mengenali kalian, biarkan
saja. Kita tidak akan lari darinya, tapi kita juga tidak akan
mengejarnya." Tatapan tegas di mata Sakura luntur ketika bergantian
menatap putra-putranya. "Bukankah kalian percaya kepada takdir?"
Keduanya mengangguk samar.
"Aku tidak akan lari, kalau itu memang takdir." Mahiro mengulang.
"Dan tidak akan mulai mengejarnya," Shinji menyambung.
.
Rumah baru mereka adalah sebuah penthouse dua lantai di salah satu
wilayah pemukiman kelas menengah Tsukiji, dirancang dengan
konsep minimalis yang memanfaatkan seluruh ruang yang mungkin.
Seluruh perabotnya dibuat dari kayu berpelitur hitam mengilat dengan
model tegas dan sederhana. Ada ruang keluarga yang merangkap
ruang tamu dan ruang bersantai, dapur, dan ruang makan untuk empat
orang yang dipisahkan dengan meja counter panjang atau lemari
rendah, memberikan kesan luas terhadap lantai tersebut. Dua kamar
tidur ada di lantai dua, dua lainnya di lantai dasar dengan salah
satunya sebagai kamar tidur utama. Kamar mandinya hanya satu,
berada di sudut dekat tangga di lantai satu. Bagian balkon di lantai

satu dirancang untuk ruang berkebun dengan pembatas besi yang


tinggi dan kokoh.
Tangga kayu yang mengarah ke lantai dua berada di sisi kiri pintu
masuk dekat genkan, punya fungsi ganda sebagai laci penyimpanan
sepatu. Ruang kosong di bawah tangga ditujukan sebagai tempat
penyimpanan. Perabot kamar tidur mereka cukup standar, berisi
ranjang double, meja kerja, dan lemari pakaian. Dinding-dinding
ruangan dicat dengan warna broken white. Tirai-tirai jendela kacanya
berwarna merah marun.
Untuk ukuran sebuah rumah baru, keluarga Haruno merasa tidak perlu
melakukan perombakan. Sejauh ini, sama sekali tidak ada bagian yang
mengecewakan.
"Ini sempurna." Shinji masih belum bisa terlepas dari kekagumannya
sejak menginjakkan kaki di rumah barunya lima belas menit lalu.
Koper-koper mereka tergeletak begitu saja di genkan dalam kondisi
terabaikan. Dia sangat menyukai arsitektur dan punya banyak
wawasan mengenai berbagai desain rumah, tetapi penthouse mereka
benar-benar indah. Sederhana, tetapi sempurna. "Ibu yakin kita tidak
salah rumah?"
Sakura, yang baru menurunkan belanjaannya di meja makan,
mengulum senyum. "Tentu saja tidak," jawabnya santai seraya
memasukkan barang-barang belanjanya ke lemari pendingin.

"Aku tidak paham desain rumah, tapi jelas penthouse ini dijual terlalu
murah."
Shinji ikut mengamini komentar Mahiro yang juga turut mengamati
seisi rumah. "Jangan-jangan penthouse ini berhantu."
Mahiro memutar mata. "Mungkin ini tempat pembunuhan," imbuhnya
mencoba berkelakar.
"Shinji. Mahiro," tukas sang ibu sambil berkacak pinggang, kemudian
menghela napas. Tingkah putra-putranya memang terkadang tidak
bisa diprediksi. Satu menit mereka bisa kompak layaknya saudara
yang sangat dekat, menit berikutnya mereka bisa saling mengincar
leher masing-masing. "Ibu juga heran. Paman Sai yang mengurus
semuanya. Katanya, penthouse ini dirancang sendiri oleh pemilik
lamanya, tapi dia harus pindah mendadak dan ingin penthouse ini
cepat terjual."
"Aa."
"Kalian tidak ingin lihat kamar kalian?" Sakura tersenyum ketika
menangkap kilat senang di mata Shinji dan Mahiro. "Ada dua kamar
di atas. Pilih yang kalian suka asal jangan sampai berkelahi. Bawa
juga koper-koper kalian." Dengan kelincahan serupa bocah lima tahun
yang terlalu banyak makan permen, Shinji dan Mahiro segera
menerjang tangga dan saling berebut naik untuk sampai lebih dulu.
"Shinji! Mahiro!" Hanya dengan teriakan sang ibu, keduanya

menghentikan aksi perebutan mereka dan bisa sampai di lantai dua


tanpa lebam-lebam. "Turun sebelum makan malam!"
"Ha'i!"
Ditinggal sendiri di lantai dasar penthouse untuk menikmati keindahan
rumah barunya, Sakura beralih memandang meja makan berkursi
empat

yang

nantinya

akan

selalu

kekurangan

orang.

Dia

membayangkan sesosok pria yang selalu hadir dalam benaknya


sedang menikmati makan malam bersama dua putra yang akan tiada
henti bertukar makian satu sama lain. Dua putra yang bagaikan dua
bentuk dirinya yang berbedayang bertemperamen panas dan yang
suka bermain-main. Mereka akan jadi keluarga yang sempurna
walaupun mungkin tidak akan terjadi.
Namun setidaknya, keluarga kecil mereka selalu ada dalam benak
Haruno Sakura.
.
Haruno Mahiro tumbuh besar bersama ibu single parent yang sibuk
bekerja menghidupi dua putra sekaligus di usia muda, nenek galak
yang lebih suka mendedikasikan waktunyabaik yang senggang
maupun

sibuk

tidak

ada

pengaruhnyabersama

belasan

botol sake daripada menggeluti tumpukan pekerjaannya yang setinggi


Fuji, paman dengan pembawaan luar biasa santai yang seolah tidak
punya pekerjaan yang lebih penting daripada membolak-balik

halaman buku tua manual kekawin, dan bibi baik hati yang rasarasanya terlalu baik kalau disandingkan dengan paman mesumnya.
Mahiro juga jarang meributkan perihal kehadiran seorang ayah, tidak
seperti Shinji.
Bukannya dia tidak butuh ayah. Mahiro butuh sekali, sama seperti
anak-anak lain. Dia masih sering iri tiap kali melihat teman-temannya
sesumbar

mengenai

berbagai

hal

mengenai

ayah

mereka,

memamerkan acara jalan-jalan keluarga mereka yang seru, atau


sekadar menceritakan keseharian keluarga normal mereka. Mahiro
masih ingin memiliki seorang ayah, bahkan sampai usia akhir
remajanya ini. Namun, Mahiro lebih tahu dari Shinji bahwa figur ayah
yang kakaknya inginkan itu akan semakin membuat ibu mereka sedih.
Yang Mahiro inginkan adalah kebahagiaan sang ibu.
Mahiro ingat sekali cerita pamannya mengenai sang ayah ketika dia
baru delapan tahun. Mahiro saat itu sedang main sendiri karena Shinji
ngotot ingin menyelesaikan tugas menggambarnya sebelum ibu
mereka pulang. Mahiro sedang memainkan, mungkin tepatnya
menghancurkan, rubik empat kali empat yang baru kemarin Shinji
selesaikan. Mahiro serius sekali (untuk ukuran bocah delapan tahun)
memutar-mutar bagian rubik warna-warni sampai warnanya tercampur
tak

karuan. Ugh,

memegang puzzle kubus

gerutunya
yang

dalam
jelas-jelas

hati,
bukan

gemas
poin

positifnya, bagaimana Shinji melakukannya kemarin? Tidak peduli


sisi mana atau putaran ke arah mana, Mahiro bahkan tidak bisa

menyelesaikan satu sisi. Dia bertanya-tanya apakah nanti Shinji akan


marah kepadanya.
Kemudian Paman Kakashi, yang entah sejak kapan sudah berdiri
menjulang di depannya, terkekeh dengan suaranya yang selalu
terdengar mencurigakan. Suara tipe-tipe penculik anak, Mahiro selalu
beranggapan demikian. Suara kekehan Kakashi mengagetkannya,
membuat bocah itu membeliak lebar dan terkesiap. Rubiknya jatuh ke
lantai.
"Paman!" serunya, lebih condong ke arah kaget sebenarnya. Dia
pungut rubik yang sedang ditekuninya sambil memperhatikan sang
paman mengambil duduk di sebelahnya. Mahiro suka sekali kalau
bermain ditemani pamannya, lebih suka lagi kalau Paman Kakashi
datang bersama Bibi Rin karena bibinya selalu membawakan
banyak cookies kayu manis yang dia suka.
"Halo, Mahiro." Satu hal yang tidak Mahiro suka adalah kebiasaan
pamannya mengacak-acak rambutnya yang mudah berantakan.
Sepanjang siang itu, mereka mengobrol di sela usaha sia-sia Mahiro
mengembalikan kondisi rubik itu ke keadaan semula (seriusan, kalau
tidak berhasil juga, ide bongkar-pasangnya patut dicoba) dan Paman
Kakashi yang tetap seru bersama buku manualnya nomor dua. Tibatiba, entah bagaimana dan dimulai dari apa, percakapan mereka tertuju
pada topik yang baru Kakashi yang berani menjamahnya. Sang ayah.

Paman Kakashi berkata, "ayahmu itu pria yang baik. Tidak banyak
bicara, sedikit keras hati, dan kaku, tapi dia tetap pria yang baik. Dia
punya kakak laki-laki jenius yang unggul di setiap bidang yang dia
tekuni. Ayah kalian sewaktu masih kecil selalu mengidolakannya, tapi
kemudian, sosok idola itu berubah menjadi dinding yang menjulang
tinggi sekali di depannya; yang mati-matian dia kejar dan dia panjat,
tapi usahanya tidak pernah cukup untuk membuatnya bisa melihat
pemandangan di baliknya. Kegagalan dan ketidakpuasan terus
menggerogotinya. Ayah kalian tumbuh sebagai pemuda yang pahit,
ambisius, tapi diam-diam kesepian karena tidak lagi bisa menjadi adik
bagi

kakaknya,

juga

tidak

bisa

memerankan

anak

yang

membanggakan bagi ayahnya. Kemudian, ayahmu bertemu ibumu. Ini


bukan masalah cinta, Mahiro. Ayahmu dulu tidak berpikir dia
mencintai ibumu, tapi ibumu lah yang membuka matanya untuk
melihat ke arah lain, untuk berhenti mengukur tingginya dinding itu,
untuk memilih apa yang benar-benar diinginkannya. Dan jadilah
ayahmu yang sekarang. Arsitek muda yang sukses membangun
perusahaan konstruksinya sendiri."
Kemudian Mahiro bertanya dengan segenap kepolosan yang bisa
bocah delapan tahun kerahkan, "tapi kenapa Ibu pergi dari Ayah?"
Sifat unggul Mahiro yang sudah tampak sejak kecil adalah daya
tanggapnya. Terkadang Mahiro menanyakan pertanyaan paling
fundamental atau pertanyaan-pertanyaan yang terdengar tidak penting
tetapi kemudian jawabannya begitu filosofis. Mahiro punya pikiran
tajam yang membuatnya memiliki pemikiran lebih maju dari anak-

anak seusianya, meskipun sepertinya emosinya tidak banyak


dikendalikan pikirannya. Mahiro begitu impulsif dan transparan, tidak
seperti kakaknya yang butuh ditatap dua kali untuk dimengerti
niatnya. "Ayah tidak mencintai Ibu, tapi Ibu tetap punya cinta yang
cukup untuk mengompensasi bagian Ayah." Belum lagi kapasitas
bicaranya yang luar biasa luas. Mahiro sudah paham banyak istilah
asing dan kata-kata sulit.
"Kehidupan orang dewasa tidak berjalan semudah itu, Mahiro."
"Lalu bagaimana?" Mahiro selalu menuntut jawaban hingga
memuaskannya.
Paman Kakashi menjawab dengan suara lembut dan sorot mata
kebapakan yang janggal di matanya, "karena cinta ibumu terlalu besar
untuk membiarkannya tetap bersama ayahmu."
"Aku tidak paham." Mahiro mencebik, matanya memanas karena
dadanya yang sesak. "Aku tidak mengerti," bisiknya parau.
Tenggorokannya sakit bahkan hanya untuk bicara.
Paman Kakashi kemudian mengelus kepala Mahiro dengan tangan
besarnya yang hangat. "Nanti, nanti kau pasti mengerti."
Mahiro tidak tahu kapan dia bisa mengerti. Sekarang dia sudah tujuh
belas tahun dan dia masih belum memahami kenapa ibunya
meninggalkan ayahnya ketika dengan usia kandungannya masih
terlalu muda untuk disadari orang lain. Dia tidak mengerti bagaimana

cinta bisa menjadi dalih keputusan ibunya untuk pergi. Dari sang ibu,
Mahiro

mengenal

cinta

yang

tidak

sepenuhnya

membawa

kebahagiaan. Ibunya memang bahagia sekarang, tetapi tidak satu pun


kebahagiaan itu berasal dari cinta pria yang menjadi ayah bagi dua
putranya.
Mahiro tumbuh dengan kesadaran tinggi terhadap kebahagiaan
ibunya. Dia bisa memahami Sakura lebih baik dari memahami dirinya
sendiri, tahu hal-hal apa yang akan membuat ibunya senang atau yang
akan membuatnya sedih. Mahiro sadar bahwa kini ibunya tidak lagi
sanggup menatap Shinji maupun dirinya lama-lama. Kemiripan
keduanya dengan sang ayah bahkan membuat Mahiro sendiri ngeri.
Karena itu, sehari sebelum sekolah dimulai Mahiro menyeret Shinji ke
salon terdekat, mengecat rambut hitam mereka menjadi sewarna
merah tembaga, dan menutup iris hitam mereka dengan lensa palsu
hijau.
Mahiro bersumpah tidak akan membiarkan ibunya bersedih.
.
Haruno Shinji baru berusia sembilan tahun ketika dia mengetahui
nama ayahnya setelah mengorek informasi dari neneknya yang tengah
mabuk siang-siang.
"Sasuke" Nenek Tsunade mengeluarkan suara sendawa panjang.
Napasnya

bau sake,

sangat

kuat

sampai

membuat

Shinji

mengernyitkan

kening

dalam-dalam.

"Uchihahmmm, dare

dakke?"
Shinji menghela napas. Shinji kecil mulai meragukan kenekatannya
siang ini untuk menemui sang nenek yang bisa kapan saja menjelma
menjadi nenek sihir paling galak. "Sasuke."
"Aa, ya. Uchiha Sasuke. Cinta bertepuk sebelah tangan Sakura."
Nenek Tsunade kemudian terkekeh panjang, semakin lama semakin
lirih, hingga akhirnya tertelungkup di atas meja kerjanya yang juga
turut berbau sake.
Nama itu bagaikan mantra pemikat yang sangat kuat bagi Shinji. Dia
ratusan kali mengulang nama itu dalam benak setiap harinya. Sasuke.
Sasuke. Sasuke. Uchiha Sasuke. Bagai mantra; bagai oase bagi
jiwanya yang kering. Uchiha Sasuke. Uchiha Sasuke. Kini dia tahu
nama ayahnya. Kini dia punya satu nama yang bisa dia panggil di
setiap doa dan mimpinya.
Minggu depannya, Shinji mengetahui wajah Uchiha Sasuke.
Walaupun puluhan kali ibunya menyuruhnya berkaca setiap kali
Shinji maupun Mahiro meminta foto ayahnya, Shinji tidak puas.
Shinji

menemukan

satu

foto close

up Uchiha

Sasuke

bersetelan tuxedo hitam sedang menghadiri sebuah pesta entah kapan


dan entah dimana dari mesin pencari kilat. Di layar monitor komputer
yang dia gunakan, Shinji menyentuh wajah sang ayah untuk pertama
kali, menyusuri kontur datar wajahnya, kemudian membandingkannya

dengan wajahnya sendiri. Dia kemudian bertanya-tanya dari segi


mana wajahnya dikata mirip sang ayah dan apakah kalau sudah
dewasa nanti dia juga bisa setampan dan segagah ayahnya.
Diam-diam, Shinji selalu mengidolakan sosok ayah yang dia kenal
hanya dari satu-dua kalimat yang tak sengaja menyisip keluar dari
mulut rapat nenek Tsunade setiap kali dia mabuk dan dari berita-berita
yang mengabarkan kesuksesannya. Kadang-kadang, Shinji senang
karena ayahnya orang terkenal. Dia jadi lebih mudah mencari
informasi mengenai ayahnya. Namun terkadang (dan porsinya lebih
mendominasi), Shinji kesal karena lebih banyak orang yang mengenal
ayahnya dan lebih banyak orang yang dikenal ayahnya ketimbang
putranya. Shinji tahu dia harus menahan diri, menunggu hingga dia
lebih besar supaya bisa bertemu dengan ayahnya. Dia bisa saja pergi
ke Tokyo seorang diri, toh dia hafal jalur kereta dari Akita ke Tokyo.
Dia sudah lancar membaca kanji dan pandai berhitung hingga empat
digit. Namun Shinji tidak ingin pergi tanpa Mahiro dan Ibu, jadi dia
terus menahan diri.
Segera, nama dan foto tidak lagi mampu memuaskan dahaganya. Dan
Haruno Shinji menjadi lebih kering dari yang sudah-sudah.
Shinji paham dan sadar bahwa Mahiro mengira dia tidak mengetahui
perihal masa lalu sang ibu dengan ayah mereka. Nenek Tsunade
kadang bisa membocorkan banyak hal kalau Shinji pandai-pandai
mencari celah. Shinji tahu kalau ibunya sangat mencintai ayahnya,
tetapi mereka tidak bisa bersama. Shinji juga paham kenapa. Cinta

bukan lagi konsepsi asing bagi Shinji yang sensitif. Namun, semua itu
tidak pernah membuat dahaga Shinji berkurang dan terlupakan
selayaknya Mahiro. Shinji menginginkan kehadiran ayahnya dalam
kehidupannya yang belum lengkap. Shinji menginginkan pujian dan
ucapan selamat dari sang ayah setiap kali dia juara kelas atau
memenangkan lomba dan pertandingan olahraga. Shinji ingin pergi ke
festival sambil digendong ayahnya di bahu. Shinji ingin mengikuti
jejak ayahnya belajar arsitektur. Lebih dari yang manapun, Shinji
ingin ayahnya mengenal dirinya.
Namun, berita yang datang mendadak beberapa pekan setelah
kepindahan mereka ke Tokyo berhasil menguburkan bayang-bayang
indah keluarga impiannya.
Hari itu, Shinji melepaskan keinginan terpendamnya dengan suka rela.
.
Judul beritanya terkesan melebih-lebihkan.
Begitu pendapat Shinji dan Mahiro kompak ketika mereka membaca
berita tersebut dalam dua kesempatan berbeda.
Shinji membacanya dari koran berlangganan di pagi yang damai di
awal bulan Maret. Beritanya memang tidak diletakkan di halaman
depan, tetapi berita yang menggembor-gemborkan kabar percintaan
terkini arsitek tersukses Jepang itu tetap saja menyita banyak tempat
di laman entertainment. Untuk standar seorang pebisnis, nama Uchiha

Sasuke setenar selebriti. Shinji tidak heran juga sebenarnya. Ayahnya


mendapat julukan most wanted bachelor meskipun usianya sudah
nyaris kepala empat bukan hanya karena marga besar Uchiha yang
disandangnya. Di usianya yang hampir tiga puluh delapan, Uchiha
Sasuke masih setampan dan segagah saat dia masih berusia dua
puluhan. Belum lagi perusahaan konstruksi yang dia bangun sendiri
semakin mengukuhkan posisinya di dunia bisnis.
Berita kedekatannya dengan seorang wanita cantik dengan rambut
merah blonde itu tentu jadi pemberitaan luar biasa besar. Beberapa
foto hasil kerja paparazzi yang memperlihatkan kedekatan mereka
berdua dalam berbagai kesempatan dipajang besar-besar di halaman
koran. Shinji kontan sesak padahal setahunya dia tidak punya sejarah
penyakit asma atau gangguan pernapasan lain. Dan Shinji tahu, kalau
ibunya sampai melihat berita ini, barangkali tidak akan ada yang
tersisa dari serpihan kecil hatinya yang carut-marut. Karenanya, koran
pagi hari itu tidak pernah sampai ke tangan Sakura.
Mahiro membaca berita yang sama dari artikel di salah satu majalah
bisnis elektronik langganannya. Berita utama majalah mingguan edisi
minggu kedua Maret tersebut rasa-rasanya tidak cocok berada di sana.
Majalah tersebut harusnya membahas berbagai perkembangan bisnis
Jepang, bukannya gosip keluarga. Belum lagi judulnya yang terlalu
melebih-lebihkan isi berita yang ternyata hanya berupa berbagai
macam asumsi penggosip. Kalau topik utamanya bukan Uchiha
Sasuke, yang tak lain dan tak bukan adalah arsitek terkemuka

sekaligus pemilik tiga puluh persen saham Uchiha Company, lengkap


disertai dengan emblem Uchiha sebagai latar, Mahiro bakal enggan
membacanya. Dan bagaimana pun juga, Haruno Mahiro pernah
memimpikan suatu saat dia akan menyandang nama Uchiha dan status
anak tidak sahnya terlepas.
Beritanya dimuat dalam dua halaman penuh, lengkap dengan beberapa
foto yang pastinya hasil kerja paparazzi dan komentar mengenai
kedekatan sang most wanted bachelor edisi majalah Rogue dengan
seorang wanita yang hingga beberapa hari lalu belum banyak
diketahui eksistensinya. Mahiro tidak henti-hentinya mendengus,
menyumpahkan serapah di setiap komentar tak berdasar selama dia
membacanya. Beruntung ibunya tidak punya banyak waktu luang
untuk sekadar mengikuti berita atau gosip selebriti. Untuk sesaat,
Mahiro bisa bernapas lega.
Namun dua minggu kemudian, surat kabar memberitakan telah adanya
pertunangan rahasia antara Uchiha Sasuke dengan wanita berambut
blonde merah yang berasal dari keluarga rekan bisnis Uchiha,
Uzumaki Karin.
Berita besar-besaran itu tidak bisa Shinji serta Mahiro cegah sampai
ke telinga ibunya, dan mereka harus rela menyaksikan Haruno Sakura
tergelincir dalam sakitnya tanpa bisa melakukan apa pun.
.
"Kenapa dengan rambut kalian?"

Haruno Shinji dan Haruno Mahiro saling tatap, menyuarakan hal yang
kurang lebih serupa dari mata jade kembar mereka. Keduanya enggan
bicara, hanya saling melemparkan tanggung jawab untuk memberi
penjelasan yang masuk akal kepada sang ibu.
"Mahiro? Shinji?" Haruno Sakura memicingkan mata curiga sambil
sekali lagi mencermati model dan warna rambut dua putranya yang
berubah drastis secara bergantian. Rambut sehitam eboni itu kini
berkilat semerah tembaga. Mata hitam mereka juga disamarkan
dengan warna jade. Hanya model rambut mereka saja yang tidak
disamakan. Rambut Shinji yang lebih panjang ditata jatuh ke depan
dahi sedangkan rambut Mahiro yang lebih pendek ditata liar ke sana
ke mari. Sakura berani bertaruh mereka menghabiskan banyak gel
rambut hanya untuk mengatur rambut mereka.
"Hanya ingin ganti penampilan," jawab Mahiro buru-buru begitu
mendapati tatapan mengerikan ibunya tanpa ampun ditujukan
kepadanya.
"Memulai lembar hidup baru," imbuh Shinji menimpali, membuatnya
mendapat sodokan tajam di rusuk dan desisan frustasi Mahiro dari
sampingnya.
"Nani sore?" Tanpa disangka-sangka, Haruno Sakura mendendangkan
tawanya yang renyah.untuk pertama kalinya dalam seminggu yang
terasa berat bagi kembar Haruno itu. "Kenapa harus meniru gaya
rambut Paman Gaara dan Paman Sai?"

Mendengar suara tawa sang ibu, Shinji dan Mahiro mau tak mau ikut
tersenyum lega. Setelah mendengar berita tak terhindarkan mengenai
rencana pertunangan Uchiha Sasuke dengan Uzumaki Karin, ibu
mereka secara nyata kehilangan sinar dan senyumnya. Namun, pagi
ini mereka berdua bisa membuat sang ibu tertawa. Dua anak kembar
itu sampai kesulitan mendeskripsikan kelegaan yang membanjir dalam
diri mereka begitu mendengar suara tawa Sakura. "Ibu 'kan tahu kami
mengidolakan Paman Gaara dan Paman Sai." Biarpun mereka harus
berdandan macam badut, mereka rela-rela saja asal bisa membuat ibu
mereka tertawa seperti tadi.
Sakura mengulas senyum misterius yang menandakan dia tak sedikit
pun memercayai dalih putra-putranya, tetapi kemudian memutuskan
untuk tidak berkomentar lebih jauh. Anak laki-laki memang harus
diberi kebebasan lebih. "Cepat sarapan. Biar Ibu antar kalian sekolah."
Digiringnya dua putra kesayangannya ke meja makan, layaknya induk
menggiring anak ayamnya.
"Ibu tidak ada shift pagi?" tanya Mahiro dari balik bahunya, menatap
sang ibu yang hanya sedikit lebih tinggi dari dagunya.
"Ini hari pertama kalian sekolah. Mana mungkin Ibu mengambil shift,"
jawab Sakura dengan senyum, membuat Mahiro memutar bola mata
jengah.
"Ibu kira kami anak sekolah dasar?" komentar Shinji turut merasa
jengah. "Kami sudah tujuh belas tahun."

Haruno Sakura berdecak tak sabar. "Kalian tumbuh terlalu cepat. Ibu
rindu bayi-bayi manis Ibu yang selalu mengekor tidak mau lepas."
Shinji membekap mulutnya dengan punggung tangan, merasakan
sensasi panas yang menjalar hingga leher. Di sampingnya, daun
telinga Mahiro sudah memerah dan sesekali bergerak-gerak.
"Aw, lihat bayi siapa yang sedang malu-malu," goda ibu mereka
semakin menjadi-jadi.
Sepasang kembaran Shinji dan Mahiro hanya bisa diam sambil matimatian berusaha meredam rona merah di wajah masing-masing.
.
Sekolah baru Shinji dan Mahiro adalah sebuah akademi yang lengkap
dari tingkat shougaku hingga koukou yang diasuh oleh yayasan yang
sama dengan yayasan rumah sakit internasional tempat ibunya bekerja
sekarang. Toujou Gakuen.
Gedung masing-masing tingkat sekolah dipisahkan oleh taman-taman,
lapangan olahraga, dan pagar kawat rendah. Gedung untuk sekolah
tingkat atas berada di sisi barat kompleks akademi, terdiri dari lima
gedung yang dihubungkan dengan strutur terbuka mirip jembatan
penyebrangan.
Gedung pertama yang merupakan gedung tiga lantai adalah gedung
kantor, dimana di sana dapat ditemukan kantor guru, kantor kepala
sekolah, kantor bagian administrasi dan keuangan, perpustakaan, dan

ruang persiapan. Gedung kedua adalah gymnasium, lengkap dengan


lapangan basket dan voli indoor. Gedung ketiga dengan empat lantai
merupakan gedung bagi kelas-kelas jurusan ilmu alam, dilengkapi
dengan

berbagai

laboratorium

untuk

menunjang

kegiatan

pembelajaran. Gedung keempat merupakan gedung untuk kelas ilmu


sosial dengan tiga lantai. Gedung terakhir adalah untuk mereka yang
memilih kelas bahasa.
Di sekolah ternama tersebut Shinji dan Mahiro akan menghabiskan
masa remaja mereka. Di sekolah itu juga dulu ayah dan ibunya, dan
masa lalu mereka dimulai. Akan banyak tempat-tempat penuh
kenangan di sana.
"Hilangkan dulu wajah cemberutmu itu, Adik." Shinji tiba-tiba
memecah keheningan. Mereka berdua sedang berjalan bersisian
menuju gedung sekolah mereka setelah turun dari mobil. Kehadiran
dua kepala merah mengilat itu tak luput dari perhatian banyak orang
di sana, lebih-lebih dengan hobi tebar-tebar senyum Shinji yang tak
kenal situasi kondisi.
Mendengar suara Shinji membuat Mahiro semakin memperdalam
kerutan di keningnya. Sang kakak di sampingnya hanya bisa menghela
napas. "Hentikan dulu hobi tebar-tebar pesonamu, Kakak sial."
Haruno Shinji yang sedang melihat-lihat sekeliling sambil sesekali
melemparkan senyum kepada gadis mana pun yang lewat di sekitar

mereka segera berdecak kepada sang adik. "Lihat, mereka jadi takuttakut gara-gara wajah masammu itu."
Mahiro semakin memasamkan wajahnya hanya untuk membuat
kakaknya semakin sebal. "Kita masih harus ke kantor guru. Aku tidak
punya waktu untuk bersabar dengan sikapmu." Tanpa tedeng aling,
Mahiro menyambar lengan Shinji dan menariknya berjalan lebih cepat
memasuki gedung paling depan di kompleks koukou, gedung kantor.
"Jasku bisa kusut, Mahiro," protes Shinji seraya berusaha melepaskan
lengannya dari cengkeraman tangan Mahiro.
"Barangkali dengan begini kau bakal berhenti mengedip sekali dalam
dua detik tiap melihat makhluk apa saja yang kebetulan memakai
rok," desis Mahiro tajam. Cengkeramannya justru semakin dikuatkan
dan langkahnya semakin dipercepat.
Berjalan susah payah di samping adiknya, Shinji hanya menghela
napas. Dia tidak lagi protes dan membiarkan dirinya ditarik Mahiro ke
kantor guru. Untuk urusan tenaga, Shinji harus mengaku kalah.
"Ojamashimasu," keduanya kompak mengucapkan salam ketika
membuka pintu kantor guru yang mereka cari-cari. Mahiro segera
melepaskan cengkeramannya dan Shinji segera membenahi jas
sekolahnya yang kusut di bagian lengan.
"Apa kalian Haruno bersaudara?" Seorang guru pria berusia di awal
lima puluh yang semula duduk di kursi di barisan tengah ruangan

berdiri dan bertanya, membuat dua Haruno yang sedang dibicarakan


segera menoleh ke sumber suara.
"Ha'i, Sensei."
"Haruno Mahiro," panggilnya sambil bolak balik memandangi dua
kertas di tangannya dengan dua Haruno yang baru datang. Tak salah
lagi sedang berusaha mencocokkan foto di lembar informasi yang dia
pegang dengan wajah salah satu Haruno, atau barangkali mencari
perbedaan di antara keduanya selain model rambut dan kacamata yang
Shinji kenakan.
Melihat kebingungan guru barunya, Mahiro segera unjuk diri.
"Ah, Haruno Shinji bisa menemui Morino-sensei di sana," Guru
berwajah ramah tersebut menunjuk sudut ruangan, dimana seorang
guru yang memasang tampang seram sedang bersedekap dengan
tangan memegang kertas pemukulseolah dirinya dan pemukul itu
adalah bagian tak terpisahkan dan merupakan pemandangan sangat
natural. "Beliau adalah wali kelasmu."
"Ha'i" Haruno sulung langsung ciut. Shinji setengah hati melangkah
menuju sudut ruangan, tak luput menangkap seringai zama-miro yang
dilemparkan Mahiro kepadanya. Kenapa juga pagi-pagi begini dia
harus bertemu dengan sensei berwajah galak?
"Nah, Mahiro-kun, selamat datang di Toujou Gakuen. Aku adalah
Umino Iruka, wali kelasmu selama satu tahun ke depan. Semoga kau

betah dan cepat mendapat teman baru. Kau tidak ada kesulitan
beradaptasi dengan lingkungan Tokyo, 'kan? Kudengar, banyak hal
berbeda di Akita dan di Tokyo."
"Ha'i. Tidak banyak kendala berarti selama tinggal di sini, Sensei."
"Yokatta na."
Lain dengan Mahiro yang beruntung disapa oleh guru baik hati, Shinji
justru sedang sial. Begitu sampai di depan sang guru baru, dia ditatap
dari bawah ke atas. Pandangan tajam guru barunya terhenti di rambut
merah Shinji. "Peraturan pertama, Haruno Shinji." Shinji menciut,
lebih ciut dari semula. "dilarang mengecat rambut!" Dan PLAK.
Kertas pemukul itu mendarat dengan suara mantap ke kepala Shinji.
"Ha'i, Sensei" Haruno Shinji menunduk dalam-dalam. Entah kenapa
keberuntungannya pelan-pelan hilang semenjak datang ke Tokyo.
.
Tidak seperti saudara kembar kebanyakan, duo ShinjiMahiro tidak
pernah punya masalah kalau harus dipisahkan. Keduanya justru
senang-senang saja karena terbebas dari satu sama lain. Sang kakak
lega karena bisa lebih bebas melancarkan pesonanya karena wajah
masam yang biasanya bersamanya hilang sudah. Sang adik lega
karena bisa terbebas dari kuntitan gadis-gadis yang terbujuk rayu
pesona murahan kakaknya. Frekuensi pertengkaran mereka juga
menurun secara signifikan.

Memilih dua jurusan studi yang berbeda membuat mereka dipisahkan


lapangan dan taman satu sama lain. Shinji di kelas ilmu alam
sedangkan Mahiro di kelas sosialnya. Dua Haruno tersebut memang
hanya mirip dari segi wajah. Baik sifat, bakat, hobi, kesukaan,
maupun kebiasaan mereka tidak pernah sama.
Sulung Haruno dikenal sebagai pribadi yang lebih santai dan suka
bermain-main. Dia diberkahi ingatan fotografis dan bakat seni
mengalir dalam darahnya. Yang dia sukai (selain ibu dan gadis-gadis)
adalah segala hal yang berhubungan arsitektur dan permainan warna.
Bungsu Haruno punya sifat yang kurang lebih mirip ayahnya: serius,
sedikit kaku, dan canggung kalau sudah berhadapan dengan orang
lain, terutama lawan jenis. Dia tidak punya ingatan fotografis seperti
kakaknya, tetapi daya tangkap permasalahannya lebih unggul,
membuatnya dengan cepat memahami hal apa pun yang dia pelajari.
Dia mencintai angka. Dia suka pelajaran berhitung, suka mengutakatik deretan angka, dan ingin menekuni dunia bisnis. Dengan dua
bakat dan minat yang berbeda itu, keduanya memilih jalur kelas yang
juga berbeda di koukou.
Di kelas barunya, Shinji langsung menjadi buah bibir para gadis
karena keramahan yang dia tunjukkanmasih dengan senyum
pangerannya yang alami. Di lain pihak, Mahiro langsung tergabung ke
dalam kelompok para murid lelaki. Sikap masamnya yang ditujukan
kepada para gadis dengan efektif memblok serangan fangirl apa pun
yang bakal diterimanya.

Sungguh

dua

pribadi

yang

berbeda.

Dan

sepertinya

kadar

keberuntungan mereka mulai bergerak ke satu sisi, menjadikan satu


Haruno lebih beruntung dari Haruno yang lain.
.
Baiklah.
Keberuntungan Haruno Shinji memang memudar. Pagi-pagi bertemu
dengan sensei galak dan mendapat amukannya masih belum apa-apa
kalau dibandingkan dengan situasi sekarang ini. Situasi yang bakal
dengan senang hati Shinji kategorikan mimpi buruk.
Yap. Ini pasti hanya mimpi buruk. Pasti. Pasti. Pasti.
Shinji menarik napas panjang, kemudian menghelanya pelan-pelan
lewat mulut. Pelan sekali. Dia harap debaran jantungnya bisa
memelan karena sekarang dadanya sakit sekali. Dia coba sekali lagi
memantrai diri: ini hanya mimpi buruk. Namun sayangnya, suara
lantang yang menusuk-nusuk telinganya tanpa ampun itu tak kunjung
pergi.
"Namamu Haruno? Benar-benar Haruno? Ditulis dengan kanji musim
semi dan pedesaan? Begitu? Bisa kau sebutkan namamu, nama ayah
dan ibumu? Apakah Haruno itu nama dari pihak ibumu?"
Shinji memejamkan mata dan memaki dalam hati. Bagaimana dia bisa
jatuh ke dalam situasi semacam ini?

Oh ya. Ketika dia baru keluar dari ruang administrasi untuk


menyelesaikan beberapa hal mengenai data diri dan adiknya,
kemudian seorang karyawan meneriakkan namanya keras-keras di
koridor gara-gara buku tertinggal. Siapa yang tahu ternyata di sekitar
sana ada seorang pria yang mengenal nama Haruno lebih baik dari
telapak tangannya sendiri?
Sempurna. Mahiro pasti akan mengamuk kalau Shinji tidak pintarpintar mengelak.
Dibukanya matanya dan mempersiapkan dirinya untuk apa pun yang
akan datang kepadanya. "Haruno ditulis dengan kanji haru untuk jauh,
seperti harubaru, dan no dari tanah lapang. Itu nama pihak ayah saya.
Permisi." Shinji menjawab cepat, kemudian berbalik dan berjalan ke
arah berlawanan, memutuskan untuk mengambil jalan memutar
taman, meninggalkan pria bermata biru jernih yang sepertinya seusia
ibunya.
Ini hari pertamanya sekolah dan dia sudah bertemu seseorang yang
mengenal ibunya? Demi Tuhan. Shinji mengerang dalam hati. Dia
kira Tokyo itu luas. Bukannya kata orang menyembunyikan daun
sebaiknya di hutan?
Sepertinya mengikuti paksaan Mahiro untuk mengecat rambut dan
memakai lensa kontak adalah keputusan yang tepat. Kalau tidak,
barangkali paman yang tadi itu pasti sudah bertanya 'kau ada

hubungan apa dengan Uchiha Sasuke? Kau mirip sekali'. Shinji


tentunya tidak ingin itu sampai terjadi.
Begitu berbelok ke koridor yang mengarah ke gedung kelas-kelas,
Shinji mempercepat langkah. Kalau biasanya dia sudah akan tebar
senyum ke sana ke mari, tetapi sekarang kondisi sedang darurat. Dia
harus buru-buru menemukan Mahiro di kelasnyaatau dimana pun
dia berada di jam istirahat siang inidan memberitakan peristiwa
terbaru yang dia alami.
"Mahiro!" Shinji menemukan sang adik hendak masuk ke kelasnya
sambil membawa buku yang dibuka lebar di depan wajahnya. Mahiro
benar-benar menyalin sempurna kebiasaan paman mereka berjalan
sambil membaca (atau membaca sambil berjalan? Shinji tidak benarbenar paham).
Haruno Mahiro mengangkat arah pandangan matanya dari buku yang
sedang dia tekuni. Tangan kanannya tenggelam di saku celana, gaya
santainya sehari-hari. "Shinji."
Duo Haruno pendatang baru di Toujou Gakuen itu mendapat perhatian
dari banyak murid lain. Selain karena kemiripan keduanya yang luar
biasa, wajah mereka juga patut diapresiasi. Tak jarang beberapa murid
perempuan terang-terangan mengamati keduanya dengan antusias dari
kepala hingga sepatu.
"Aku perlu bicara."

Mahiro menaikkan sebelah alis pertanda bingung karena kedatangan


Shinji yang tiba-tiba ke gedung kelasnya, tetapi memilih untuk tidak
berkomentar. Sosok Shinji dalam balutan seragam jas kelabu dengan
dasi hijau tampak mencolok di tengah kerumunan murid berdasi
merah. Jarang-jarang Shinji bersikap serius dan mengabaikan
perhatian gadis-gadis di sekitarnya, jadi ketika kakaknya sedang
serius, Mahiro akan turut bersikap serius. Keduanya kemudian
berjalan bersisiansekali lagi menyedot perhatian banyak gadisdan
berbelok ke arah jembatan yang menghubungkan gedung kelas sosial
dengan kelas bahasa, mengambil tempat di tepi jembatan penghubung
yang lebih sepi dari koridor kelas.
"Ada apa?"
"Aku bertemu seorang pria yang mengenal Ibu. Nama keluarga
Haruno, tepatnya."
Mahiro menunjukkan ekspresi kekagetan sekilas sebelum kembali
menata ekspresi tenang dan kalemnya. "Haruno itu marga yang
umum. Tidak terlalu mengejutkan kalau orang mengenalnya."
Shinji menggeleng. Dia yakin betul kalau pria tadi merujuk kepada
ibu mereka "Wanita dengan nama keluarga Haruno. Haru dari musim
semi dan no dari pedesaan. Ibu kita."
"Kau yakin?" tanya Mahiro heran. Keningnya berkerut samar. "Atau
kau saja yang terlalu paranoid?"

Dengan desahan panjang, Shinji kembali menggeleng. "Aku tidak


akan terlalu memikirkannya kalau pria itu tidak terlihat begituputus
asa saat menanyaiku. Seolah-olah dia sudah lama mencari wanita
bermarga Haruno."
Mahiro mengalihkan pandangan ke kejauhan. Dia menimbangnimbang berbagai kemungkinan dalam kepalanya. "Bagaimana
reaksimu tadi?"
"Aku berbohong soal kanji nama dan Haruno dari pihak ayah."
Si adik mengangguk-angguk paham. "Kukira penampilan kita sudah
berbeda."
"Aa, tapi dia bertanya karena seorang karyawan memanggil namaku.
Kurasa dia tidak mengenali wajah kita. Lagipula, kalaupun wajah kita
yang menjadi penciri, dia tidak akan menyebut nama Haruno."
Mahiro mengangguk setuju. Seringai tipis muncul di sudut wajahnya.
"Mungkin kita malah dipanggil Uchiha," katanya dengan nada kental
sarkasme kering.
Shinji mengamati reaksi adiknya dari sudut mata. Aneh. Mahiro justru
mendapati situasi mereka patut ditertawakan. Terkadang, Mahiro
punya pandangan yang ekstrim mengenai sesuatu. "Hn. Mungkin
Paman Kakashi bisa membantu," ujarnya dengan nada terkendali.
.

Ucapkan terima kasih pada ingatan fotografis dan tangan artistik


Shinji, dalam lima belas menit mereka sudah mendapatkan satu
gambar sketsa kasar seorang pria, lengkap pakaian yang dikenakannya
sewaktu bertemu dengan Shinji.
Berdiri di belakang Shinji yang sedang menyelesaikan sentuhan akhir
sketsanya, Kakashi memandang gambar tersebut dengan pandangan
tak terbaca. Matanya masih tampak malas-malasan, tetapi bagi orang
yang cukup mengenalnya akan tampak ketegangan yang nyaris tak
kentara di sudut dalam matanya. "Aah"
"Kau kenal pria itu?" tanya Mahiro segera setelah menyadari respon
Kakashi. Matanya menelisik wajah pamannya dengan ketajamannya.
Dengan sikap santai dan nyaris-tak-bersemangatnya, Hatake Kakashi
hanya menawarkan senyuman yang membuat sudut-sudut matanya
berkerut dalam.
Haruno Mahiro memicingkan mata dan Shinji menengok dari balik
bahu dengan mata penuh antusias.
"Paman kenal pria ini?"
Bukannya menjawab pertanyaan dua remaja yang sudah dia asuh dari
bayi,

Kakashi

justru

mengacak-acak

rambut

Shinji

sambil

mengomentari gambarnya. "Gambarmu semakin bagus, Shinji-kun.


Kau sering berlatih dengan Paman Sai lagi?"

Kali ini, Shinji ikut memicingkan mata. "Tiap kali Paman


memanggilku dengan kun, pasti ada yang tidak beres."
Kakashi segera menutup mulut, kemudian buru-buru menampilkan
senyum polosnyasenyum terlalu polosnya. "Ara?"
Shinji memutar bola mata, Mahiro mendengus.
"Bilang saja, Paman," tukas Mahiro tak sabar.
"Kalian mungkin tidak akan tenang begitu mendengarnya," Kakashi
mencoba memperingatkan.
"Paman tahu sendiri kami ini keras kepala, jadi bicara sajalah," potong
Shinji. Pensil gambar yang dia pakai diputar-putar di sela-sela jemari
panjangnya yang ramping.
Kakashi

memang

yang

paling

tahu

sampai

sejauh

mana

kekeraskepalaan dua putra baptisnya. Kalau sudah menginginkan


sesuatu, hanya ada sedikit hal yang bisa menghentikan mereka dan
sejauh ini, Kakashi bukan salah satunya. "Hm, bagaimana aku
menyampaikannya" Kakashi melipat tangan di depan dada,
memasang postur berpikirnya. "Bisa dibilang, pria itu sudah seperti
kakak bagi Sakura. Dia juga sahabat baik ayah kalian. Namanya
Uzumaki Naruto."
"UzumakiNaruto?" ulang Mahiro. Keningnya berkerut. "Dimana
aku pernah mendengarnya?" Dia bertukar pandang dengan kakaknya.
"Mungkin ibumu pernah menceritakannya kepada kalian?"

Mahiro menggeleng yakin. Ibunya tidak pernah buka mulut mengenai


kehidupan masa kecilnya hingga sebelum dia pindah ke Akita. Mahiro
dan Shinji hanya tahu beberapa hal, itu pun karena mereka memaksa
bertanya kepada Paman Kakashi, Gaara, atau Sai, dan sesekali dari
Tsunade yang sedang mabuk berat. "Ibu tidak pernah bercerita kepada
kami. Paman tahu sendiri."
"Aa" Kakashi tertawa gugup. Dia usap-usap tengkuknya sambil
memutar otak.
Di

depannya,

Shinji

duduk

dengan

kekalemannya

yang

mengkhawatirkan. Wajahnya kosong dari segala macam ekspresi.


"UzumakiKarin. Kalau yang itu, kau kenal, Mahiro?" Shinji
menengadah memandang adiknya yang masih berwajah bingung.
Suaranya sejelas air terjun, membuat Mahiro gemetar ngeri.
Senyumnya hampa.
Ketika akhirnya pemahaman itu terendap dalam diri Mahiro, bungsu
Haruno tersebut terbelalak. "Aano onna"
"Seikai." Shinji mengangguk membenarkan. "Tunangan ayah tercinta
kitaatau setidaknya, begitu beritanya," ujarnya dengan nada gelayut
main-main dalam suaranya.
Sayangnya, selera humor Mahiro berbeda dari sang kakak.
Ekspresinya justru berubah kaku dan pandangan matanya mengeras.
Kalau kekuatan pandangan bisa diwujudkan dalam rupa fisik,
barangkali meja di depan Shinji sudah remuk redam.

"Siapa yang sangka kita hidup di dunia yang sempit sekali?" Putra
sulung Sakura mengedipkan sebelah mata kepada adiknya yang
sedang bermuka seram. "Apa dua orang ini punya hubungan keluarga,
Paman?"
Merasa usaha pura-pura tidak tahunya akan sia-sia, Kakashi menghela
napas. "Semacam kerabat jauh dari pihak ibu Naruto."
"Lihat, little brother, takdir sedang menggigit bokong kita."
.
Haruno Sakura kali pertama bertemu dengan Uchiha Sasuke ketika dia
berusia lima belas tahun, sedang mengikuti ujian masuk ke Toujou
Gakuen, akademi tempat kedua putranya juga bersekolah sekarang.
Uchiha Sasuke adalah murid di akademi tersebut, berada satu tingkat
di atas Sakura. Kehadiran Uchiha Sasuke dalam kehidupan Sakura
tidak lepas dari peran Uzumaki Naruto, pemuda yang mengklaim
dirinya sebagai kakak Sakura dan juga sahabat sepanjang masa
Sasuke. Mereka bertiga mulai menghabiskan waktu bersama. Jalanjalan, camping, nonton bioskop, lari pagi, sampai acara belajar dan
mengerjakan tugas bersama. Kedekatan mereka serasa tidak
terpisahkan. Namun, baik Sakura maupun Sasuke menyadari bahwa
kedekatan mereka hanya akan terjadi karena kehadiran Naruto yang
berperan bagai lem kuat untuk keduanya.
Satu perasaan yang sama-sama Sakura dan Sasuke rasakan terhadap
satu sama lain adalah rasa hormat. Sakura menghormati Sasuke karena

melihat pribadinya yang kuat dan pekerja keras bahkan di usianya


yang masih remaja walaupun dia berasal dari keluarga kaya raya. Rasa
hormat yang Sasuke tujukan kepada Sakura berasal dari pemahaman
mendalam mengenai kondisi masa kecil Sakura yang tidak beruntung.
Kehilangan kedua orang tuanya sekaligus di usia tujuh tahun sama
sekali bukan hal mudah, belum lagi adanya efek samping kecelakaan
yang membuat Sakura tidak lagi memiliki memori di hari-hari
terakhirnya bersama kedua orang tua yang tidak akan pernah bisa dia
jumpai lagi. Kepergian orang terkasih telah membuat lubang
mendalam, tetapi mengetahui bahwa dia tidak bisa mengenang mereka
membuat kesedihan itu menjadi jauh lebih sulit untuk ditahan.
Meskipun begitu, Sakura tetap tumbuh sebagai gadis yang kuat dan
baik hati.
Pada satu titik krusial dalam masa remajanya, setelah beberapa lama
dia mengenal Sasuke, Sakura telah menumbuhkan satu perasaan baru
bernama kekaguman. Semakin hari dia mengenal Sasuke, semakin dia
memahaminya dan semakin besar rasa kagum yang dia rasakan.
Sakura mengagumi segala hal mengenai Uchiha Sasuke. Latar
belakang keluarganya yang merupakan salah satu klan terpandang
adalah salah satunya, tetapi pribadi Sasuke adalah alasan terkuatnya.
Sakura mengagumi setiap upaya keras yang Sasuke lakukan untuk
membanggakan kedua orang tuanya, terutama sang ayah. Sakura
mengagumi setiap upaya pembuktian dirinya. Sakura mengagumi
setiap pengorbanan yang Sasuke lakukan. Bahkan Sakura mengagumi
setiap kegagalannya, yang tidak pernah membuat pemuda itu berhenti.

Namun, lambat laun Sakura menyadari adanya kepahitan mendalam


yang Sasuke rasakan. Setiap kegagalan yang dia rasakan, setiap
gelengan tidak puas yang dia terima, setiap kenyataan bahwa sang
kakak masih selalu satu langkah, kalau tidak beberapa langkah, lebih
baik darinya selalu mengantarkan Sasuke selangkah lebih dekat
menuju keputusasaannya. Dan di usia tujuh belas tahun, Sakura tidak
lagi menemukan diri Sasuke yang pertama kali dikenalnya; yang
bersinar, yang penuh semangat dan gairah. Kini pemuda itu sudah
berubah menjadi pemuda yang pahit, tidak lagi memiliki sinar mata
kagum tiap kali melihat dunia, dan yang dia punya hanya ambisi untuk
mengalahkan kakaknya. Dia telah lupa cara berbahagia. Dia tidak
paham cara mencinta.
Rasa kagum itu berubah menjadi rasa belas kasih dan keinginan kuat
untuk melepaskan Sasuke dari jeruji dan borgol apa pun yang
membelenggunya. Sakura telah melakukan segala cara, menjadi apa
saja yang Sasuke butuhkan, kapan saja, dimana saja. Dan di usianya
yang ke sembilan belas, di malam dimana Sasuke sekali lagi
dikalahkan oleh keputusasaannya, Sakura tetap di sampingnya. Sakura
terus mendampinginya, membimbing dan memberinya kekuatan dan
keberanian untuk melangkah keluar dari bayang-bayang kesuksesan
kakaknya. Sakura yang mengajak Sasuke untuk menilik ada dunia lain
yang tidak berada di balik dinding tinggi kakaknya. Sakura yang
mengajari Sasuke ada banyak hal yang bisa dia raih. Sakura yang
memberinya cinta tak bersyarat. Sakura memberinya banyak, tanpa
mendapat gantinya.

Ketika enam minggu kemudian Sakura menyadari kehamilannya, satu


hal yang ada dalam benaknya adalah dia tidak akan menjadi satu hal
yang akan menghancurkan masa depan Sasuke. Sakura tidak akan
menempatkan dirinya di posisi antara. Sasuke baru saja berhasil
bangkit dan meninggalkan keputusasaannya, beralih mengejar
keinginan terpendamnya sebagai seorang arsitek, dan memulai lembar
baru. Dan dengan pikiran semacam itu dalam benak, Sakura
mengemasi barang-barangnya dan menghilang tanpa jejak dari Tokyo,
meninggalkan seluruh dirinya dan cintanya.
Calon ibu muda tersebut beruntung memiliki Tsunade, wanita yang
mengasuhnya, yang tidak pernah mempertanyakan keputusannya.
Hatake Kakashi, rekan kerja mendiang ayahnya dulu, dan istrinya,
Hatake Rin, ikut mendampingi Sakura di masa-masa terberatnya dan
bersama-sama mereka memulai kehidupan baru di Akita, jauh dari
babak lama kehidupan Haruno Sakura.
Satu hal yang tidak pernah Sakura sangka adalah cinta yang tanpa
sadar telah tumbuh dalam dirinya justru berubah menjadi satu bentuk
cinta yang tak kunjung padam. Cintanya bertambah besar seiring
dengan usia kandungannya yang semakin tua. Dan kalau besarnya
cinta itu belum cukup, kehadiran dua putra sekaligus semakin
memantapkan kehadiran cinta itu dalam diri Haruno Sakura, sang ibu
muda. Yang bisa dia rasakan hanya cinta dan cinta dan cinta.
Dua putranya lahir di bulan November ketika jalanan dilapisi
dedaunan merah keemasan. Mereka lahir berjarak lima belas menit.

Keduanya bukan kembar identik walaupun siapa pun yang melihat


mereka tidak akan percaya karena wajah mereka berdua sangat
miripwajah yang sepenuhnya mereka warisi dari sang ayah tanpa
sedikit pun campur tangan bagian Sakura. Mereka punya dua plasenta
berbeda dan tipe darah yang juga berbeda. Yang lahir pertama
memiliki darah tipe B dan dia beri nama Shinji sedangkan adiknya
berdarah A dan bernama Mahiro. Nama mereka ditulis dengan dua
kanji. Kanji pertama nama ditulis dengan kanji serupa yang berarti
kebenaran. Kata ji dari nama Shinji ditulis dengan kanji untuk michi,
jalan. Kanji hiro pada nama Mahiro berasal dari kata tazuneru yang
artinya mencari. Sakura bisa memberi mereka nama yang seperti apa
pun bagusnya, tetapi mereka tetap akan mewarisi nama keluarganya,
Haruno, beserta status tidak sahnya. Sakura benar-benar menyesali hal
tersebut. Dia tidak bisa mengubahnya karena status keabsahan mereka
hanya bisa diganti begitu sang ayah mengakui mereka.
Menyaksikan kedua putranya tumbuh besar, Sakura menyadari satu
hal: keduanya merupakan dua sisi yang berlainan. Mereka serupa sang
ayah, tetapi kini menapaki jalan yang benar-benar berbeda darinya.
Shinji dan Mahiro tidak pernah memiliki satu keinginan yang sama.
Mulai dari model pakaian sampai hal paling rumit seperti cita-cita,
mereka berbeda. Keduanya juga memiliki kepribadian yang saling
bertolak belakang. Bagi Sakura, Shinji dan Mahiro adalah sosok
Uchiha Sasuke yang lainsosok-sosok Sasuke yang mungkin
terbentuk jika pria itu tumbuh besar dari lingkungan keluarga yang

berbeda. Namun yang terpenting, Shinji dan Mahiro adalah simbol


keberanian ayahnya. Sakura yakin itu.
Ada masa-masa dimana Sakura berharap keduanya bisa mewarisi
nama sang ayah, melepaskan status mereka sebagai anak tidak sah.
Namun sekali lagi, Haruno Sakura tidak akan menjadi penghalang
bagi masa depan dan kebahagiaan yang mungkin bisa Sasuke raih. Dia
tidak akan menjadi satu faktor yang merusak hidup pria yang
dicintainya.
Kedua putranya akan memahaminya.
.
"Apa-apaan rambutmu?"
Shinji yang baru keluar dari kamarnya, lengkap dengan jas
sekolahnya, menoleh. "Uh?"
"Kau apakan rambutmu?" ulangnya Mahiro dengan mata memicing
dan suara tajam. "Kenapa kau menghapus catnya?"
Sambil membenahi kerah kemejanya yang berantakan, Shinji
menyentuh ujung rambutnya yang masih lembab. "Aku terancam kena
detensi

kalau

tidak

menghapusnya.

Morino-sensei sudah

mengancamku dari dua minggu lalu."


Mendapat jawaban yang tidak berbobot (menurutnya) itu, Mahiro
melangkah maju kemudian mencengkeram kerah kemeja kakaknya

dan mendorongnya hingga membentur dinding. "Jangan beri aku


jawaban sampah semacam itu!"
Si kakak mendesis ketika kepalanya terbentur dinding yang keras
tanpa

ampun.

Matanya

yang

terbebas

dari

warna jade palsu

membeliak. Dia cengkeram balik kerah kemeja adiknya dan


menggoyangkannya kuat-kuat. "Kau yang harus berhenti bicara
sampah, Mahiro."
"Kau mau menghancurkannya sekarang?" tuntut Mahiro dengan nada
mengancam. Dia tidak lagi suka menggunakan adu pukul untuk
menyelesaikan perselisihannya dengan Shinji, tetapi pagi ini ide
tersebut terdengar sangat menggoda.
"Memangnya apa yang akan kuhancurkan? Penyamaran kita?" Shinji
mendorong Mahiro kuat-kuat hingga cengkeraman ke kerahnya
terlepas dan meninggalkan bekas renggutan kusut di sana. "Ini bodoh,
Mahiro!"
"Kebodohan ini juga yang membuatmu tetap tidak dikenali! Dan lihat
apa yang akan kau lakukan dengan itu semua!"
"Jangan bawa-bawa pembicaraan itu lagi! Kita berdua tahu niat
awalmu hanya untuk mengubah penampilan kita supaya Ibu tidak
teringat Ayah setiap melihat kita. Jangan mengira aku tidak tahu!"
Shinji membentak keras, membuat Mahiro terdiam. "Aku tahu apa
yang kau pikirkan. Jangan menganggapku bodoh dan merasa bisa
membohongiku dengan dalih bodoh semacam penyamaran. Aku tahu

sebenarnya kau tidak peduli dengan apa yang orang katakan. Aku tahu
yang kau inginkan hanya kebahagiaan Ibu. Kau bahkan tidak akan
peduli kalau salah satu Uchiha mendatangimu." Shinji menghela
napas berat. "Memangnya kau pikir aku tidak peduli? Memangnya kau
pikir dengan cat rambut dan lensa kontak bisa membuat Ibu lebih
bahagia dari sekarang?" tuntutnya. Ketika Mahiro enggan menjawab,
dia berteriak. "Memangnya kau tahu apa yang bisa membuat Ibu
bahagia?!" Shinji tertawa mencemooh. "Hadapi saja, little brother.
Kau cuma takut. Kau takut berhadapan dengan siapa sebenarnya
dirimu."
Di hadapannya, Mahiro menundukkan kepala. Rambutnya yang belum
ditata dengan gel jatuh menutupi pandangannya. Melihatnya membuat
Shinji mengendurkan otot-ototnya yang tegang.
"Aku lelah. Aku sudah lelah berbohong. Aku ingin lepas dari
kebohongan, seperti apa yang Ibu harapkan dari kita melalui nama
yang dia berikan."
"Tidak hanya kau yang ingin begitu," ujar Mahiro lirih. Ada nada
kekalahan dalam caranya bicara.
"Tidak, tapi kurasa kau masih enggan berhenti," balas Shinji dengan
suara lebih halus.
"Berita itu sudah menghancurkan Ibu padahal aku bersumpah tidak
akan membiarkan Ibu sedih."

Dengan langkah tanpa suara, Shinji maju selangkah. Dia tepuk-tepuk


bahu adiknya dengan afeksi yang jarang dia tunjukan secara verbal.
"Memang, tapi bukan berarti kita tidak akan bersama Ibu," katanya
pelan. "Mereka bisa katakan apa pun tentang kita, tapi kita tetap anak
Ibu. Tidak akan ada yang berubah."
Mahiro kembali terdiam dengan kepala tetap tertunduk. Otot-otot
bahunya terasa lebih rileks di bawah sentuhan Shinji. Kerut dalam di
dahinya juga perlahan turut menghilang.
"Anak-anak, ada apa ini? Kenapa kalian belum sarapan?" Dua
bersaudara itu serempak menoleh ke arah tangga, mendapati ibu
mereka berdiri di anak tangga teratas dengan mengenakan pakaiannya
semalam. Wajahnya menampakkan lelah, tetapi tetap saja dia terlihat
luar biasa cantik di mata kedua putranya. Dia baru pulang
dari shift malamnya di rumah sakit dan hanya punya waktu enam jam
untuk beristirahat sebelum memulai kembali shift siangnya. "Kalian
bertengkar lagi?"
Shinji segera berbalik penuh, menawarkan senyum miringnya. "Tentu
saja tidak. Kenapa Ibu berpikir begitu?"
Memutar bola mata, Sakura mendekap tangan di depan dada. "Oh,
ayolah. Ibu kira kita sudah melewati masa pura-pura tidak tahu."
"Masa sih?" elak Shinji.

"Oh, anak-anak Ibu yang manis," Sakura melangkah mendekat sambil


mengulum senyum. Dia tepuk-tepuk pipi Shinji dan Mahiro lembut
bergantian. "Yaah, karena kalian sudah selesai berkelahi, Ibu tidak
akan ganti mengomel." Dia raih tangan Mahiro dan menggenggamnya
erat. Sejenak dia pandangi putra bungsunya dengan tatapan yang tidak
terbaca. "Kau sudah boleh menghapus cat rambutmu, Mahiro. Ibu
sudah tidak apa-apa."
Mendengar ucapan sang ibu, Mahiro serta-merta mengangkat wajah.
Matanya terbelelak. Dia membuka mulut untuk bicara, tetapi suaranya
hilang entah kemana.
"Ibu tahu, Sayang. Ibu tahu," ujar Sakura dengan nada lembut
keibuannya. "Sudah tidak apa-apa." Dia acak-acak rambut Mahiro.
Di depannya, Shinji tersenyum kepada sang adik yang masih terpana.
"Nah, sudah 'kan? Kau mandi lagi sana, hapus cat rambutmu. Aku
masih punya sisanya di kamar mandi."
"Hmm, lagipula Ibu tidak ingin ditelpon dua sensei sekaligus garagara rambut merah kalian." Dia sikut rusuk putra sulungnya mainmain.
Shinji mengerang. "Pak tua itu"
"Nah, Mahiro akan mandi, Shinji yang akan membuat sarapan, dan
Ibu akan bersiap mengantar kalian."
"Ibu tidak lelah?" tanya Mahiro khawatir.

"Hanya sedikit, tapi Ibu ingin bertemu dengan Paman Gaara


mumpung paman kalian sedang di sini."
"Paman di sini?" tanya Shinji dengan gemerlap antusias di matanya.
"Iya. Paman Gaara sedang ada urusan dengan kepala sekolah kalian,
jadi sekalian saja Ibu bertemu di sana. Cepat bergerak kalau tidak mau
terlambat."
.
Memiliki dua putra di usia muda dan merawat mereka seorang diri
memang bukan hal biasa, tetapi berjalan di keramaian ditemani
mereka yang bagaikan bayangan cerminan masing-masing lebih tidak
biasa lagi. Belum lagi mendapat tatapan aneh dari orang-orang di
sekitarnya.
Karena Toujou Gakuen tidak menyediakan tempat parkir untuk tamu,
Sakura terpaksa memarkir mobilnya di lokasi parkir umum yang
berjarak satu blok dari kompleks akademi. Bayangkan saja bagaimana
rasanya berjalan di Senin yang sibuk di wilayah perkantoran dan
persekolahan terpadat di Tsukiji. Belum lagi euforia perihal
berita most wanted bachelor itu belum juga mereda padahal sudah
hampir sebulan berlalu. Dan jangan lupakan sikap dua putranya yang
seakrab air dan minyak. Shinji tak henti-hentinya menggoda si adik
dan Mahiro tak henti-hentinya termakan ucapan si kakak. Keduanya
benar-benar menarik perhatian yang sesungguhnya tak diinginkan.

"Bu, aku ingin kopi."


"Di rumah saja, Mahiro."
"Tapi di dekat sini ada kafe yang kopinya enak sekali."
"Uh huh, Ibu pasti suka," imbuh Shinji menyemangati.
Kalau sudah sama-sama ingin, dua kembar bersaudara itu jadi luar
biasa kompak.
Merasa aksi bujukan keduanya tidak akan berhenti sampai mereka
benar-benar mendapat secangkir kopi yang menjadi perkara, Sakura
akhirnya menyerah dan mengikuti kedua putranya yang mengambil
alih memimpin jalan. "Baiklah."
Kafe kopi yang mereka maksud adalah kafe kecil dekat sudut blok.
Beruntung pagi itu kafe tidak terlalu dipenuhi pengunjung. Kalau
tidak mereka benar-benar bisa terlambat.
"Pesankan kopi ekstra susu tanpa gula untukku, Shinji."
Sang kakak menatap adiknya sinis. "Berterima kasihlah karena pagi
ini aku ingin jadi anak penurut kesayangan Ibu, little brother. Ayo,
Bu."
Shinji segera menggiring ibunya memasuki kafe, meninggalkan tas
sekolahnya bersama Mahiro yang memilih duduk di bangku depan
kafe.

"Ibu mau yang mana? Kusarankan Americano," ujar Shinji kepada


ibunya begitu mereka sampai di depan kasir.
"Hmm, baiklah. Terserah kau saja."
"Kotori-chan,"

panggil

Shinji

dengan

akrab

seraya

melirik nametag pegawai yang tersemat di dada kasir. Si kasir yang


usianya tidak lebih dari dua puluh tahun itu langsung tersipu-sipu
begitu Shinji mengedipkan mata kepadanya. "Dua Iced Americano
dan satu kopi hitam double," katanya dengan suara halus.
Di sampingnya, Sakura menghela napas. "Tadi Mahiro pesan kopi
ekstra susu, Shinji," tegur sang ibu sambil menggelengkan kepala.
Shinji hanya menyunggingkan senyum miringnya kepada sang ibu,
kemudian mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya. Setelah
menerima pesanannya, satu kedipan nakal tak lupa dia berikan kepada
kasir yang malang. Begitu keduanya keluar kafe, Mahiro sudah
menunggu dengan tak sabar.
"Mana punyaku?"
Dengan seringai jahil yang gagal disadari Mahiro, Shinji mengulurkan
gelas plastik berwarna cokelat gelap tersebut kepada adiknya yang
sudah menunggu dengan antusias. Tanpa curiga, Mahiro menyedotnya
dalam-dalam dan seketika terbatuk merasakan rasa pahit yang kental
di lidahnya. Shinji tertawa terbahak-bahak, mengundang perhatian
banyak orang yang sudah memperhatikan mereka sedari awal.

"Shinji!" teriak Mahiro kesal. Cairan kopi pahitnya menetes dari


sudut-sudut bibir. Wajahnya mengernyit karena tidak terbiasa dengan
rasa pahitnya. Baik Shinji maupun Mahiro memang mewarisi gigi
manis ibu mereka.
"Adik tidak boleh main perintah kakaknya, little brother," tukas Shinji
dengan seringai mengejek.
Mahiro memicingkan mata sebal, tetapi memutuskan untuk tidak
berkomentar begitu melihat wajah tegas ibunya kembali terpasang.
"Sudah selesai bermain-mainnya? Kalian benar-benar akan terlambat
sekarang."
Kemudian, tanpa banyak bicara ketiganya kembali melanjutkan
langkah menuju akademi yang ada di seberang jalan. Untungnya
kompleks koukou memiliki gerbang masuk sendiri sehingga mereka
tidak perlu memutar jalan untuk mencapai gerbang utama. Hanya
dengan satu kali penyeberangan mereka sudah bisa mencapai gedung
sekolah.
"Ibu sudah menghubungi Paman Gaara?" tanya Shinji sambil
mengamati sekeliling. Ketiganya berjalan terus hingga memasuki
gedung utama yang merupakan gedung pusat kantor sekolah.
Sakura yang sedang mengeluarkan ponselnya dari saku roknya
memberi anggukan. "Di koridor depan."

"Aku perlu ke toilet. Rasa pahit kopinya masih terasa sekali," keluh
Mahiro pelan, kemudian berbelok masuk ke toilet tanpa benar-benar
menunggu jawaban.
"Ya sudah. Kalau nanti Ibu dan kakakmu sudah tidak di sini, kau
langsung ke kelas saja."
Mahiro mengangguk patuh dan menghilang di balik pintu kayu toilet.
"Ah, rambut merahnya mudah sekali dikenali," ujar Shinji dengan
senyum kecil ketika melihat punggung Gaara di sisi kiri koridor.
Pamannya itu sedang berbincang-bincang dengan seseorang yang
tampak antusias sekali. "Paman Gaara!"
Sabaku Gaara menoleh ke belakang, kemudian tersenyum tipis ketika
melihat Shinji dan Sakura. Dia melambai sebentar, mengisyaratkan
keduanya mendekat. Shinji langsung berlari menghampiri, tetapi
kemudian langkahnya terhenti ketika mengetahui siapa yang sedang
mengobrol dengan pamannya tadi.
"Siapa, Gaara?"
Siapa lagi kalau bukan Uzumaki Naruto.
Shinji terdiam kaku. Dia berusaha mengalihkan fokusnya ke apa saja
selain sosok pria blonde di depannya. Nah, kalau sudah begini kemana
perginya lubang terdekat menuju Wonderland? Shinji berharap lantai
di bawahnya ini terbuka dan menyedotnya masuk supaya dia tidak
harus bertemu dengan pria tersebut. Sepertinya dia juga harus

membawa serta ibunya yang masih belum menyadari situasi mereka.


Begitu tatapannya bertemu dengan pria Uzumaki tersebut, Shinji
langsung tahu ada perbedaan dalam pandangan matanya. Sepasang
mata biru jernih itu terbelalak lebar. Mulutnya membuka-menutup
tanpa ada suara berarti yang keluar.
"Gaara, kau mendadak sekali ke mari. Untung saja shiftku masih
fleksibel."
"Sakura," sapa Gaara. Gaara sendiri mengenal wanita tersebut karena
dia pernah menjadi pasien Sakura yang sedang kuliah praktik akibat
kasus keracunan makanan, dulu sebelum Shinji dan Mahiro lahir.
Keduanya kemudian menjadi teman mengobrol yang sangat cocok dan
Gaara menjadi figur paman bagi dua putra Sakura. Namun, Gaara
tidak pernah mengetahui masa lalu Sakura sebelum dia pindah ke
Akita. Dia memilih untuk tidak mengusiknya karena Sakura sendiri
tidak tampak berencana memberinya penjelasan. Karena itulah dia
juga tidak tahu menahu mengenai hubungan Sakura dan Naruto, salah
satu rekan bisnis yang dia kenal beberapa tahun silam.
Begitu Sakura berhenti di sisi putranya, barulah dia menyadari alasan
gelagat aneh Shinji. Matanya ikut membesar, memandangi sosok pria
yang hampir dua puluh tahun ini tidak pernah dia jumpai. Pria yang
kini turut memandanginya bagai melihat sosok hantuatau sesosok
wanita yang baru bangkit dari kubur. Yang mana pun masih bisa
mendeskripsikan rona pucat yang menyapu wajah Naruto.

"Sasakurachan?"
"Naruto"
Shinji bergerak-gerak gelisah, tiba-tiba merasa gerah padahal musim
semi belum juga separuh jalan. Ketika sudut matanya menangkap
sosok Mahiro, keringat dinginnya bertambah.
Uzumaki Naruto kembali memindahkan fokusnya kepada Shinji, dan
ketertegunan yang tadi sempat tertunda kembali membuatnya
terbengong. "Sasuketeme?"
Cepat-cepat Shinji menguasai diri. Dia keluarkan senyum miringnya.
"Halo, Paman Naruto," sapanya mulus. Dia ulurkan tangan ke
belakang, meraih Mahiro yang berdiri belakangnya. "Haruno Shinji,"
ucapnya seraya menunjuk dirinya. "Dan yang ini Haruno Mahiro,"
kali ini jemarinya menuding sang adik yang masih bingung. "Salam
kenal."
Di hadapan tiga Haruno, Uzumaki Naruto megap-megap mirip ikan
tersedak. Wajahnya membiru gara-gara dia lupa bernapas. Tiba-tiba
Gaara

menepuk

bahunya,

mencairkan

suasana

yang

begitu

menegangkan. "Anak-anak harus cepat ke kelas. Kita bisa mengobrol


sambil sarapan, bukan begitu, Sakura, Naruto?"
Sakura yang masih terbawa kekagetannya hanya bisa mengangguk
keras-keras. Matanya belum lepas dari Naruto.

"Kalau begitu, aku dan Mahiro ke kelas dulu. Sampai jumpa, PamanPaman sekalian." Dia cium kening ibunya sekilas, melambaikan
tangan, kemudian segera menarik adiknya menuju gedung kelas
mereka masing-masing. Sikapnya terlihat luar biasa santai dan tenang.
Namun bagi orang yang benar-benar mengenalnya, mereka dapat
membaca beberapa gelagat yang menunjukkan bahwa dia sebenarnya
sedang sangat gugup. Semakin Shinji merasa gugup, semakin jelas
sikap tenang dan main-main yang dia tunjukkan. Sulung Haruno
memang lebih sulit dibaca ketimbang sang bungsu yang sedari tadi
hanya bisa mematung.
Begitu dua putranya hilang dari pandangan, Sakura mengulum
senyumnya yang ragu-ragu kepada sahabat baiknya. "Lama tidak
jumpa, Naruto."
"Sakura-chan!" pekik Naruto dengan matanya yang sudah berkacakaca. Tak memedulikan sekitar, dia menghambur memeluk sosok adik
perempuan yang selalu dirindunya.
.
Ketika petang itu ibunya pulang, dua tamu ikut bertandang ke rumah
yang baru dua bulan ini mereka tempati.
"Ini rumahmu sekarang, Sakura-chan?" tanya Naruto dengan
kekagetan yang jelas terdengar dari suaranya. Di belakangnya, Gaara
baru saja menggantung jaketnya di gantungan dekat genkan.

Terkadang usia memang tidak bisa menjamin kedewasaan seseorang.


Di usianya yang sudah mendekati kepala empat pun Uzumaki Naruto
masih bisa bersikap kekanakan dengan suaranya yang lantang dan
kepolosan yang tiada duanya. Mata birunya membesar, menjelajah
seisi penthouse dua lantai tersebut dengan takjub. Mulutnya terbuka
dan tertutup.
"Hmm. Sai yang mencarikannya untukku," jawab Sakura seraya
berjalan menuju ruang tengah.
Nama Sai memang tidak lagi asing bagi Naruto. Pria itu merupakan
pelukis tersohor yang banyak melakukan pameran dan kebanyakan
pamerannya

diadakan

di ballroom hotel

yang

Naruto

miliki.

Keduanya juga sudah menjadi teman akrab walaupun hingga kini


Naruto belum terbiasa menghadapi mulut tajam Sai yang tak kenal
ampun. Dia masih sering termakan ucapan Sai yang sedikit-sedikit
menyindir atau mengoloknya sinis (walaupun dengan niat canda, tetap
saja sakit terlanjur ditorehkan). Naruto paham Sai tidak ada maksud
buruk, tetapi lidah tajam tetap saja tajam. "Dunia ini memang sempit
sekali," desahnya.
"Kenapa memangnya, Naruto?" tanya Sakura bingung seraya
merebahkan punggung di loveseat yang ada di sana. Rasa lelah
setelah shift siangnya langsung terasa begitu punggungnya menyentuh
sofa yang empuk.

Dengan

seringai

lebar

di

wajah,

Naruto

menjawab,

"ini penthouse milik Sasuke." Mata birunya gemerlap oleh kilau


mengkhawatirkan.
Sakura, dan dua putranya yang baru turun dari kamar mereka setelah
membersihkan diri, tertegun kompak.
"Sasuke-teme merancang rumah ini, benar-benar membangunnya dari
awal. Semua perabot di sini juga dia sendiri yang mendesain
langsung."
Sakura buru-buru bangun dari sofa nyamannya. "Maaf?" Suaranya
terdengar parau dan ketat. Wajahnya tampak seolah dia sedang
kesakitan.
Naruto mengangguk-angguk, tampak tidak terpengaruh oleh ekspresi
ganji Sakura dan kedua putranya, kemudian mengambil tempat di
lengan loveseat yang

Sakura

tempati.

Dia

amati

sekali

lagi

sekelilingnya. "Sasuke baru sempat tinggal di sini tiga bulan, lalu ayah
dan ibunya menyuruhnya pulang. Kesehatan Paman Fugaku mulai
mengkhawatirkan. Karena Itachi sedang sibuk mengurus proses
pembukaan kantor cabang baru di Malaysia setahun belakangan ini,
akhirnya Sasuke yang didesak-desak pulang."
Ketiga Haruno tersebut terdiam. Sakura termenung di sofa dua
orangnya, mengamati pola melingkar karpet tebal di bawah kakinya
sedangkan dua putranya yang duduk dengan tak nyaman di anak
tangga sedang berusaha mengalihkan pikiran. Siapa yang sangka

takdir sudah menggigit mereka sedari awal? Sosok Uchiha Sasuke


ternyata sudah sedekat ini dengan mereka. Mereka dekat di momenmomen tak terduga.
"Bagaimana sekolah kalian, Shinji, Mahiro?" tanya Gaara segera
mengalihkan pembicaraan ketika merasa atmosfer rumah itu menjadi
lebih berat.
"Aa. Sejauh ini masih lancar-lancar saja, Paman," jawab Mahiro,
tersentak dari kelumit pikirannya.
"Tapi hari ini lebih baik dari biasanya," imbuh Shinji dengan seulas
kecil senyum gelinya kala teringat ekspresi teman-teman sekelasnya
yang luar biasa tak ternilai. Seluruh teman sekelasnya kaget melihat
perubahan penampilan Shinji yang jadi luar biasa mirip Sasuke. Tak
ada yang berani bicara hingga sensei datang untuk mengecek presensi
dan tidak ada yang berani mengungkitnya di depan Shinji. Morinosensei hanya mengomentari rambut barunya, dan jika pria tersebut
turut menyadari kemiripan Shinji dengan mantan muridnya dulu, dia
memilih untuk tidak berkomentar.
"Memangnya ada apa?" tanya Naruto antusias. Dia belum bisa lepas
sepenuhnya dari fase terpananya saat melihat Shinji dan Mahiro yang
luar biasa mirip Sasuke-teme (kali ini Shinji lebih mirip karena
rambutnya dibiarkan begitu saja, liar mirip buntut ayam). Orang asing
pasti bakal mengira Shinji itu Sasuke yang baru mendapat perawatan
botox terkini sehingga setiap kerut usianya secara misterius hilang

atau mungkin tersambar petir karena tiba-tiba punya sifat santai dan
main-main, bahkan penggoda.
"Terima kasih kepada wajah populer ini," jawab Shinji bergurau
seraya menunjuk wajahnya. Matanya yang dibingkai kacamata
menyipit karena senyumnya. "Tidak ada yang berhenti melihatku,
bahkan mereka sudah berani terang-terangan."
Mahiro mendengus. "Wah, itu 'kan favoritmu sekali," ujarnya sinis.
"Ayah kalian juga sering kesulitan gara-gara wajah itu," komentar
Naruto dengan riang. Matanya menyipit karena senyumnya yang
lebar.
Mendengarnya, Shinji tertawa. "Hanya adikku ini yang kesulitan,"
balas Shinji seraya menyodok rusuk Mahiro.
"Sou ka?" Naruto ganti mengamati Mahiro yang sedang berwajah
cemberut, kemudian menunduk memandang Sakura yang masih diam.
"Mahiro mirip sekali dengan teme, Sakura-chan."
"Uh huh," jawab Sakura tak fokus. Tangannya memilin helai
rambutnya yang terlepas dari sanggul kecilnya tanpa sadar.
"Sepertinya besok aku punya berita yang harus ditunggu-tunggu."
Shinji berujar. Dia berdiri, kembali menuruni anak tangga, dan
melangkah menuju dapur dengan senyum miring di wajah.
.

Haruno Shinji punya kemampuan bicara dan membaca orang dengan


sangat baik. Sifat bentukannya itu membuat banyak orang
menganggapnya licik. Licin seperti belut. Tentu saja sifat satu itu
bukan hasil turunan langsung ayah atau ibu, melainkan bentuk
kebalikan dari Mahiro, atau barangkali mekanisme perlawanan
terhadap sifat adiknya yang lebih kaku. Kalau Mahiro adalah sisi
panasnya, Shinji adalah sisi dinginnya. Keduanya bagaikan dua ujung
yang berseberangan dan kontras. Hal tersebut tercipta tak lepas dari
pengaruh masa kecil mereka. Dan sifat impulsif bawaan Mahiro juga
barangkali turut ambil peran sebagai katalisator.
Ketika mereka masih kecil, sekitar tujuh hingga sepuluh tahun, temanteman mereka sering mengolok-olok status mereka sebagai anak tidak
sah. Fakta itu bukan lagi rahasia mengingat mereka tidak punya ayah
dan masih memakai nama keluarga pihak ibu. Anak kecil terkadang
bisa bermulut lebih tajam dari pedang. Dan yang lebih mengerikan,
semua itu diucapkan tanpa mereka sadari. Di setiap perseteruan itu,
Mahiro cenderung melawan setiap olokan teman-temannya dengan
sikap kerasnya. Tak jarang dia terlibat adu pukul yang membuatnya
berakhir dengan lebaman dan luka berdarah. Kalau sudah begitu,
Shinji yang harus berada di posisi antara untuk menyelesaikan
pertikaian mereka. Shinji harus pandai-pandai bicara dan bercanda
untuk memadamkan pertengkaran konyol itu. Juga harus kuat-kuat
memendam kemarahannya sendiri di balik setiap senyum yang dia
tampilkan.

Karena itu, ketika Shinji dewasa, cara bicaranya adalah bisa derik
yang manis. Dia suka membuat ucapan-ucapannya bermakna ganda
yang membuat orang sulit menerjemahkan dirinya. Dari sifatnya yang
relatif lebih ramah dari Mahiro maupun ayahnya, orang-orang tetap
saja terhalang dinding tinggi yang memisahkan mereka dengan Shinji.
Dia

pemuda

yang

mudah

didekati,

tetapi

hampir

mustahil

memahaminya. Rasa-rasanya, tiap kali bicara dengan Shinji, orang


harus siap untuk menerjemahkan ucapannya ke dalam makna lain,
karena terkadang apa yang dia ucapkan justru kebalikan dari apa yang
dia pikirkan atau rasakan. Dan barangkali karena itulah hingga satu
minggu ini tidak ada seorang pun yang berani secara langsung
mengomentari kemiripannya.
Namun, yang benar-benar punya kemampuan mengendalikan orang
lain dan mengarahkan mereka untuk kepentingan sendiri adalah
Mahiro dan otak bisnisnya yang tajam. Ketika Mahiro benar-benar
menginginkannya, dia bisa mengumpulkan pengikut yang loyal (yang
masih sering membuat Shinji sampai ngeri). Seperti sekarang ini.
Dalam waktu singkat, Haruno Mahiro menjadi pusat kelompok para
murid lelaki kelas sosial Toujou Gakuen. Kalau bukan karena reputasi
tinggi akademi mereka sebagai sekolah ternama, orang-orang akan
mengira Mahiro sedang membentuk geng liar, dan bukannya
sekumpulan pemuda remaja yang mengekor karena menghormatinya.
Dan sejauh yang Shinji tahu, Mahiro juga tidak kesulitan menampik
fakta kemiripan mereka dengan arsitek dan pebisnis terpandang itu.

Melihat tujuh pemuda berjalan dalam kerumunan dengan satu titik


pusat tidak henti-hentinya membuat Shinji merasa terintimidasi.
Adiknya benar-benar punya kharisma yang tak banyak orang miliki.
"Shinji."
"Ramai seperti biasanya, little brother," sapa Shinji balik sambil
memandangi kerumunan kecil di depannya.
Mahiro, dengan gaya stoic dan wajah impasif andalannya, hanya
mengangkat bahu dan berlagak cuek. "Harusnya aku yang bilang
begitu."
Shinji melirik kerumunan kecil di belakangnya, mengikuti arah
pandangan Mahiro. Perbedaan besar yang paling kentara di antara
mereka adalah kerumunan kecilnya terdiri dari banyak gadis yang
antusias mengikutinya sedangkan Mahiro berada di pusat fokus
kerumunan para pemuda. Sambil tertawa kering yang terkesan
dipaksakan, Shinji menggaruk pipinya. "Sebenarnya aku ingin minta
tolong soal yang itu." Ah, betapa Shinji enggan meminta bantuan
Mahiro. Biasanya, diikuti banyak gadis adalah salah satu hiburannya,
tetapi berhubung hari ini Shinji tidak tenang dan merasa sesuatu akan
terjadi (intuisinya terkadang kuat di saat yang tidak tepat), dia ingin
sedikit ketenangan dan kesendiriandua hal itu jarang datang
bersamanya.
Sang adik mengangkat sebelah alisnya, menilai-nilai arti ekspresi
Shinji, kemudian hanya dengan isyarat kepala beberapa temannya

menggiring sekawanan gadis yang bagai singa kelaparan itu pergi.


Begitu mereka menghilang dari pandangan, Shinji menghela napas
lega dan kembali memfokuskan diri ke arah adiknya.
"Kau kenapa?"
Shinji hanya bisa menggeleng sambil menghela napas lagi. "Rasanya
ada sesuatu yang mengganjal," jawabnya ragu.
Merasa sama bingungnya dengan sang kakak, Mahiro mengerutkan
kening. "Kuharap itu bukan apa-apa," ucapnya hati-hati.
Si sulung Haruno menyeringai, kemudian memutuskan untuk
membelokkan topik pembicaraan mereka. "Tadi Ibu menghubungiku,
memintaku membawa pulang mobilnya."
"Ada

apa

memangnya?"

tanya

Mahiro

heran.

Ibunya

mendapat shift pagi hari itu, jadi seharusnya dia sudah akan pulang
sore nanti.
"Ada pasien yang masuk, butuh perawatan intensif," jawabnya. "Kau
mau ikut atau langsung pulang?"
"Hn."
Apa pun yang berkenaan dengan sang ibu, Shinji akan langsung
mengartikan silabel rancu Mahiro sebagai persetujuan.
.

Toujou International Hospital hanya berjarak empat blok dari Toujou


Gakuen. Keduanya berada di bawah asuhan yayasan yang sama.
Hampir seluruh anak-anak karyawan rumah sakitnya bersekolah di
Toujou Gakuen. Beberapa beasiswa belajar kedokteran ditawarkan
kepada murid-muridnya yang berprestasi dan nantinya bisa bekerja
sebagai dokter maupun perawat di sana. Haruno Sakura bekerja di
Toujou International Hospital sebagai dokter spesialis bedah anak.
Prodigi dalam bidang kedokteran bedah tersebut mendapat tawaran
bekerja langsung oleh direktur rumah sakit, suatu peristiwa yang
jarang terjadi di Toujou. Namun, mengingat siapa wali yang
mendidiknya tanpa ampun, tidak perlu lagi terheran-heran. Di sana
Sakura langsung menjabat sebagai wakil kepala departemen bedah
anak. Beruntung baginya karena situasi kerja di rumah sakit tersebut
sangat kondusif. Setiap karyawannya menghargai kemampuan
individu, bukan hanya permasalahan senioritas.
Tak heran pula kalau Sakura sudah langsung diserahi pasien VVIP di
dua bulan pertama dia bekerja. Bukan karena penyakit yang
dideritanya, melainkan karena status keluarga si pasien yang
merupakan keluarga penyumbang dana terbesar bagi yayasan Toujou.
Terkadang, hal-hal semacam kekuasaan uang memang belum bisa
sepenuhnya diabaikan. Bahkan untuk urusan nyawa sekalipun.
Sakura sudah punya dua jadwal operasi besar minggu ini yang
membutuhkan fokus penuhnya, tetapi dia justru dibebani satu pasien
intensif lagi. Berurusan dengan bedah anak tidak bisa main-main.

Operasi sederhana bisa menjadi bencana jika dia tidak baik-baik


memahami kondisi pasiennya. Komplikasi sangat mudah terjadi dan
dia harus siap kapan saja.
Coba kita lihat apa penyakitnya
Sakura membolak-balik lembar pemeriksaan pasien yang sedang dia
pegang sambil berjalan menuju ruang periksanya. Pemeriksaan
sederhana yang dilakukan oleh dokter residen menunjukkan adanya
masalah dengan usus buntu. Kasusnya sendiri baru tergolong kasus
sedang dan bisa dialihkan kepada dokter residen sekalipun, tetapi
mengingat siapa orang tua dan kekuasaan di baliknya, pasien satu ini
langsung dilemparkan kepada dokter senior sekaliber Sakura. Dia jadi
ragu apakah kasus ini bisa ditimpakan kepada rekan dokternya yang
lain.
Omong-omong, dia bahkan belum tahu siapa pasien ciliknya selain
penyakit yang didera.
Usia sepuluh tahun. Perempuan. Nagisa.
Tungguapa tadi nama depannya?
"UchihaNagisa-chan?"

sapa

Sakura

setengah

tergagap.

Pandangannya masih tertuju ke arah papan jalannya ketika dia


membuka pintu ruang periksa.
"Iya, Dokter!"

Mendengar suara riang tinggi khas gadis kecil, Sakura segera


mengangkat pandangan ke arah gadis yang sedang duduk di ranjang
periksa. Seulas senyum yang sudah siap di bibirnya gugur seketika
ketika melihat siapa pasien dan siapa yang sedang menemaninya.
Masih dengan sikapnya yang tenang dan wajah impasif, Uchiha
Sasuke duduk bersama Nagisa di ranjang pemeriksaan sambil
mengusap-usap kepala gadis itu, tampak berusaha menenangkannya.
Sepasang mata hitamnya memandang tajam kepada Sakura.
Demi Tuhan. Pria itu tidak berubah sejak terakhir kali Sakura
melihatnya. Posturnya masih segagah dulu, pembawaannya masih
sekalem dulu. Usia hanya menawarkan kematangan kepadanya. Selain
kerutan samar di sudut-sudut matanya, tidak banyak hal lain yang
mencirikan usia sebenarnya. Pria itu tidak berubah banyak dari Uchiha
Sasuke yang masih berumur dua puluh tahun. Dan sekali lagi, jantung
Sakura yang malang dipaksa bekerja lebih keras dan lebih cepat dari
yang pernah tujuh belas tahun terakhir lakukan.
"Dokter?"
Sampaikan rasa terima kasihnya kepada pasien ciliknya yang manis.
Panggilan Nagisa kepadanya berhasil menyentak Sakura dari zona
terpukaunya dan mengaktifkan kembali mode dokter profesionalnya.
"Halo, Nagisa-chan," sapa Sakura sekali lagi. Kali ini dengan
suaranya yang halus dan riang. Senyumnya kembali terbentuk.
Dengan langkah mantap dan tegas, dia melangkah mendekati ranjang.

Diabaikannya sentakan jantungnya yang berdentam-dentam kuat di


rongga dadanya.
"Halo, Dokter," sapa Nagisa balik. Senyumnya luar biasa lebar untuk
ukuran anak yang sedang sakit.
Sakura mengangguk, senyum dokternya masih terpasang. "Salam
kenal, Nagisa-chan. Dokter Haruno ini yang akan merawatmu.
Semoga tidak terlalu lama, ya?"
Sekali lagi Nagisa tersenyum dan mengangguk.
"Jadi, bagaimana perutmu? Masih sakit seperti tadi?" tanya Sakura
sambil mengamati wajah Nagisa, mencoba mencari-cari tanda rasa
sakit dari ekspresi wajahnya. Selain tubuhnya yang terlalu kurus untuk
ukuran anak kecil, tidak ada masalah lain.
"Uun." Nagisa menggeleng mantap.
Sakura mengangguk-angguk seraya menuliskan catatan tambahan ke
laporan pemeriksaan Nagisa. Rasanya, bobot di bawah normal dan
kurang asupan gizi perlu ditambahkan untuk rangkaian perawatan ke
depan. Dokter itu sukses dibuat heran. Berasal dari keluarga kaya pun,
Nagisa terlihat sekurus anak-anak yang kurang beruntung. Tanpa
sadar dia geleng-geleng kepaladan tertangkap perhatian Sasuke
yang terus menatapnya bagai elang mengawasi mangsa.
"Ada apa?" tanya suara berat itu.

Sakura terkesiap, mendongak, dan langsung bertatapan dengan


sepasang mata Sasuke. "Oh, tidak ada apa-apa. Kondisi Nagisachan tidak seburuk itu."
Merasa tidak puas dengan jawaban tersebut, Uchiha Sasuke
mengerutkan kening. Matanya memicing. "Ada sesuatu yang kau
pikirkan saat melihat Nagisa."
Tanpa sadar, Sakura memutar bola matasatu kebiasaan lama yang
tidak lagi terpakai tiap kali menanggapi sikap Sasuke yang suka
mengorek hal-hal yang tertangkap perhatiannya. Terkadang, satu dua
hal mengenai sikap dan kebiasaan tidak banyak berubah, tidak peduli
setua apa mereka. "Kau benar-benar ingin tahu, Sasuke?" Sekali lagi
tanpa disadarinya, Sakura bicara dengan keakraban yang penuh rasa
nostalgia.
Jika Sasuke menyadarinya, pria itu tidak menunjukkannya. Wajahnya
tetap tenang. "Kalau itu memang menyangkut keponakanku."
"Tidak ada maksud menyinggung, tapi keponakanmu yang manis ini
berat badannya di bawah standar normal. Kau yakin dia diberi makan
tiga kali sehari dengan gizi lengkap?" Sakura melipat tangan di depan
dada, melemparkan tatapan menantang yang berkata beri-akupenjelasan-masuk-akal-tentang-ini-Uchiha.
Kebiasaan lama memang benar-benar sulit dihilangkan. Menerima
tatapan seperti itu membuat nyali Uchiha Sasuke, arsitek tersohor dan
pewaris Uchiha Company, seciut bocah sekolah dasar yang ketahuan

membolos oleh guru konseling paling galak. Pria itu hanya bisa
mengalihkan pandangan karena rasa setengah malu setengah khawatir.
Bibirnya tertutup rapat.
Di tempatnya berdiri, Sakura mengetukkan kakinya yang berasal
sepatu bersol datar ke lantai ruangan. Tatapannya tak kunjung lepas
dari Sasuke. "Aku baru tahu motif garis seprai lebih menarik daripada
pertanyaanku tadi."
Uchiha Sasuke menghela napas pasrah. "Nagisa memang rewel
makan. Kau tahu sendiri."
Untuk sekejap, Sakura merasa takut. Apakah pria di hadapannya ini
sedang merujuk pada pengalamannya mengasuh Shinji dan Mahiro?
Tentunya, Sasuke tidak tahu, 'kan? Namun, buru-buru dia tepis pikiran
konyol itu. Tentu saja Sasuke berkata seperti itu karena memahami
tuntutan pekerjaannya sebagai dokter yang berurusan hampir 24/7
dengan anak kecil. "Shiru ka," ujarnya dengan nada bosan. "Kami
akan lakukan sesuatu selama Nagisa dirawat."
"Yoroshiku," jawab Sasuke dengan helaan napas.
"Nee, nee,"
"Ada apa, Nagisa-chan?" tanya Sakura. Perhatiannya sukses terambil.
Nagisa, yang sedari tadi mengawasi dua orang dewasa di depannya
dengan matanya yang selalu ingin tahu, menyela. Kepalanya miring
ke samping dan keningnya berkerut ketika dia sedang berpikir. Sasuke

yang melihatnya diam-diam mendesah. Dia tahu arti ekspresi itu. Satu
pertanda pasti Nagisa akan menjadi sangat ngotot.
"Paman dan Dokter cantik sudah kenal lama?"
Yap. Tepat sekali.
Sasuke mengerutkan kening. Sakura merona mendengar pujian polos
gadis kecil itu. "Kenapa kau berpikir begitu, Nagisa-chan?"
"Karena Dokter cantik bisa memarahi Paman," jawabnya polos. "Dan
Paman jadi mirip Mauro-kun saat dimarahi Sensei karena bandel."
Sakura menaikkan alisnya tinggi-tinggi. Sasuke berdecak. "Paman
tidak begitu," bantah Sasuke langsung seketika. Bisa-bisanya dia
disamakan dengan anak sekolah dasar.
Namun rupanya, Sakura punya ide lain. "Ara?" Senyum geli
tersungging di sudut bibirnya. "Paman Sasuke memang nakal, tapi
Nagisa-chan tidak perlu khawatir." Nagisa berseri-seri. Sasuke
memicing. "Paman Sasuke yang nakal ini akan mengurus segala
keperluan Nagisa-chan selama dirawat di sini." Sakura kemudian
beralih menatap Sasuke. Ekspresi mode dokternya kembali terpasang.
"Urusan

administrasi

bisa

diselesaikan

di

bagian

internal.

Informasinya bisa didapat dari meja resepsionis. Begitu urusan


administrasi selesai, kami akan segera menjadwalkan operasi."
Suaranya lugas dan tandas, tidak menyisakan tempat untuk tambahan

percakapan. Begitu Sakura berbalik dan melangkah keluar, wajahnya


kosong.
Yang tidak dia ketahui adalah wajah pria yang dia tinggalkan juga
serupa dirinya. Kosong bagai cerminan satu sama lain.
Terkadang, beberapa hal lebih mudah daripada berlaku semua baikbaik saja.
.
"Uchiha-san?" panggil suara itu.
Langkah Shinji terhenti mendengarnya. Bahunya menegang saat
merasakan seorang wanita berdiri di arah belakangnyayang tak
salah lagi, tadi memanggilnya.
"Uchiha-san? Maaf telah membuat Anda menunggu."
Dengan gerakan kaku, Shinji berbalik dan langsung bertemu pandang
dengan wanita perawat berseragam biru yang tengah tersenyum
sambil mendekap papan jalan di depan dada. "Oh," responnya dengan
tertegun. Otaknya lambat memproses situasi ganjil di depannya dan
dia kesulitan menampilkan ekspresi yang layak.
Perawat dengan label nama Suzuki tersebut memamerkan senyum
cerahnya, tidak menunjukkan tanda-tanda dirinya menyadari gelagat
kaku pemuda di depannya. "Mari saya tunjukkan jalan. Nagisasansudah sudah dipindahkan ke bangsal anak." Perawat tersebut
tersenyum sekali lagi, kemudian berbalik dan mengisyaratkan Shinji

yang dia sangka sebagai Uchiha untuk mengikutinya ke bagian sayap


timur rumah sakit dimana bangsal anak berada.
Berjalan dua langkah di belakang pemandunya, Shinji menyimpulkan
senyum setengah geli setengah sinis di sudut bibirnya. Padahal
sebelum datang ke rumah sakit, Shinji nyaris menghabiskan separuh
gel penata rambutnya hanya untuk menurunkan bagian-bagian rambut
hitamnya yang mencuat liar di bagian belakang kepala. Poni
rambutnya ditata jatuh menutupi dahi. Menurut ibunya, model rambut
seperti itu membuatnya mirip Paman Sai. Kacamata minusnya
kembali bertugas seperti biasa dan tidak mampu menyembunyikan
warna hitam iris matanya seperti lensa kontak hijaunya. Pakaiannya
juga tidak aneh-aneh, hanya jeans cokelat dan kemeja ungu gelap
bermotif garis tipis putih. Lengan kemejanya digulung hingga sebatas
siku dan dua kancing teratasnya dibiarkan terbuka. (Kalau dia bertemu
Sakura, pasti ibunya akan berkomentar pakaiannya tidak rapi, tetapi
Shinji ngotot itu adalah gaya berpakaiannya.)
Well, pikirnya, dan di sini kukira penampilan kami sudah tidak terlalu
mencolok. Mungkin ayahnya memang sudah berhenti menua dan
wajahnya tidak berubah sejak menginjak usia akhir remaja, atau justru
Shinji yang berwajah tua. Dalam situasi mana pun, Shinji tentu saja
lebih memilih dalih pertama. Atau keberuntungannya mulai berjalan
ke garis minus. Dia jadi bertanya-tanya apakah adiknya yang sedang
menunggu di tempat parkir mobil sedang sebal karena disuruh
menunggu.

Pikiran-pikiran melanturnya terhenti ketika perawat bermarga Suzuki


tersebut berbalik dan kembali tersenyum kepada Shinji. "Dokter
Haruno menjadwalkan operasi esok lusa, setelah itu Nagisa-sanakan
mendapat perawatan lanjutan untuk masalah berat badan dan asupan
gizinya."
Wanita muda tersebut sepertinya sama sekali tidak menyadari
perubahan air muka dan aura Shinji. Yang tadinya terasa
menyenangkan kini berubah masam, apalagi ketika mengetahui siapa
pun Nagisa ini ditangani langsung oleh ibunya. Apakah sang ibu
sudah bertemu ayahnya? Shinji jadi cemas luar biasa.
"Nagisa-san ada di dalam. Silakan masuk." Si wanita perawat dengan
riangnya berbalik, sama sekali tidak menyadari kesalahan konyolnya.
Tanpa sepengetahuan Shinji, perawat tersebut kemudian berpapasan
dengan Uchiha yang sesungguhnya (dan dia syok luar biasa
sedangkan Uchiha Sasuke hanya menaikkan alis tinggi tanpa bicara)
di belokan menuju area resepsionis yang ada di bagian tengah
kompleks rumah sakit. Kemudian dalam perjalanannya menuju lantai
empat, dia menggunakan lift dan bertemu dengan sosok lain yang juga
mirip Uchihakali ini tidak ada keramahan pada auranya seperti yang
dia rasakan dari sosok pertama, melainkan hanya wajah yang
memberengut.
Ditinggalkan sendiri di depan salah satu kamar rawat (yang tak salah
lagi adalah ruang VIP), Haruno Shinji hanya bisa tepekur. Dia baca
berkali-kali nomor kamar dan penghuni sementaranya. C.2.34 dengan

penghuni Uchiha Nagisa. Dia miringkan kepala ke kanan dan ke kiri,


mencoba memutuskan apakah dia harus masuk atau cepat-cepat pergi
sebelum ayahnya datang. Namun, keingintahuan selalu memenangkan
pertempuran batin Shinji melawan logikanya. Dia tahu benar apa yang
bakal terjadi dan bisa mengira-ngira reaksi Mahiro nanti kalau
mendengarnya, tetapi godaan untuk masuk dan menjamah seujung
bagian kehidupan Uchiha Sasuke terlalu besar untuk bisa dia tolak.
Haruno Mahiro dan amukannya bisa dia atasi nanti. Semudah
biasanya. Begitu putusnya.
Dan kini setelah keinginan pribadinya lagi-lagi menang, Shinji
memutar pegangan pintu dan mendorongnya hingga terbuka. Ruangan
rawat

anak

yang

dihiasi

banyak

lukisan

dinding

segera

menyambutnya. Di sudut ruangan, tempat dimana ranjang berada,


seorang gadis kecil berusia sekitar sembilan atau sepuluh tahun
sedang duduk seorang diri. Punggungnya menghadap Shinji.
Melihatnya, Shinji bertanya-tanya apa hubungan gadis berambut
hitam panjang itu dengan Uchiha Sasuke. Belum sempat Shinji selesai
menyusun berbagai kemungkinan dalam benaknya, si gadis sudah
lebih dulu berbalik. Mata hitam besarnya menatap Shinji.
"Ojichan"
Ah, keponakan. Mungkinkah gadis kecil itu putri Uchiha Itachi,
paman Shinji? Jadi, gadis itu adalah sepupunya?

"janakutte." Sepasang mata hitamnya menyipit ketika sekali lagi dia


memperhatikan sosok Shinji dari ujung kepala hingga ujung kaki,
terus begitu berkali-kali. "Dare?"
Mendapati cara bicara yang terkesan tidak sopan bagi gadis kecil
sepertinya, Shinji menaikkan alisnya tinggi. "Itu bukan cara yang baik
untuk bicara dengan orang yang lebih tua" siapa namanya tadi? Ah,
"Nagisa-chan."
Rona kemerahan segera mewarnai wajah kekanakannya, tetapi cepat
hilang ketika menyadari satu keganjilan dari kalimat Shinji. "Dari
mana kau tahu namaku? Dan kenapa kau ada di sini? Kau mau
menculikku?" tanya Nagisa beruntun, wajahnya sudah tampak takut
dan seolah siap lari kapan saja.
Shinji tersenyum mendengus. "Namamu tertulis jelas di depan pintu.
Aku ke mari karena seorang perawat yang mengantarku. Dan tidak,
aku tidak berniat menculikmu. Kecuali kau gadis manis, barangkali
aku akan mempertimbangkannya."
Ketakutannya perlahan memudar dan digantikan ekspresi tak berminat
di wajahnya. "Lalu, apa yang mau kau lakukan di sini?" tanyanya
santai sambil kembali menekuni buku cerita yang tadi sedang
dibacanya.
Shinji tersenyum tipis dan mengangkat bahu. "Aku tidak tahu.
Mungkin aku akan pergi setelah menyapamu."

"Baiklah, kau sudah menyapaku dan sekarang kau bisa pergi."


Shinji mati-matian menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Dia
sedikit takjub juga mendapati sifat gadis kecil itu yang tidak seperti
gadis-gadis

seusianya.

"Ha'i, ha'i."

Enggan

menguji

keberuntungannya lebih jauh, Shinji berbalik. Kedua tangannya


tenggelam di dalam saku celananya dan dengan santai dia keluar dari
ruangan tersebut, tetapi Nagisa kemudian menghentikannya.
"Tunggu! Aku masih punya satu pertanyaan."
Shinji tidak berbalik, hanya menoleh dari atas bahunya. "Hm?"
"Kenapa kau mirip sekali dengan pamanku?"
Ada gemerlap yang lewat sekilas di kedua matanya dan seringai jahil
di sudut bibirnya. "Doppelganger."
"Nani?!" Nagisa memberengut. "Kau kira aku percaya? Katakan
kepadaku siapa kau sebenarnya!"
Shinji sudah memutuskan lebih baik dia pergi sekarang daripada
meladeni keingintahuan gadis cilik itu. Biasanya dia suka anak kecil,
terutama yang lawan jenis dan punya sifat manis dan bukannya asam
seperti Uchiha Nagisa satu ini. Suara langkah kaki yang mendekat di
koridor rumah sakit yang sepi segera menghentikan gerakan Shinji.
Shinji kembali memandang depan dan tertegun.
Seorang perawat yang berdiri di depannya terkesiap kaget.
Pandangannya berpindah-pindah cepat dari Shinji ke pria yang berdiri

di belakangnya. Ekspresi yang terekam jelas dari sepasang mata


kecokelatannya tidak lagi bisa disalahartikan. Kemiripan dua pria
tersebut tidak terbantahkan.
Ini dia Uchiha Sasuke.
Haruno Shinji mengerang dalam hati. Mati-matian dia coba menata
ekspresinya supaya tetap tenang dan datar seperti cerminan di
depannya.

Kalau

sudah

begini,

Shinji

kadang

iri

dengan

sifat stoicbawaan Mahiro.


Sekarang setelah melihatnya secara langsung, Shinji jadi paham
kenapa sewaktu kecil ibu dan pamannya selalu menyuruhnya menatap
cermin setiap kali dia dan adiknya menanyakan perihal sang ayah
biologis (walaupun dalam kasus normal, Mahiro selalu berpura-pura
tidak mau tahu. Tipikal tsundere. Shinji sudah maklum). Shinji sama
sekali tidak tahu ada kasus dimana seorang anak mewarisi
seluruh copy genetik dari satu pihak orang tua saja sehingga terlihat
luar biasa mirip, tetapi dalam kasus Shinji dan Mahiro, mereka
menyalin sempurna gen ayah mereka. Dari warna hitam rambut dan
mata, kelakuan liar rambut, tinggi, perawakan, hingga hal-hal kecil
seperti gerakan alis yang ekspresif.
Pasangan ayah dan anak itu saling tatap, tidak lebih dari beberapa
detik, tetapi Shinji merasa nyawanya sudah mengempis banyak.
Untungnya, sepupunya memutuskan untuk bersikap manis dan segera
menginterupsi.

"Paman!"
Uchiha Sasuke mengalihkan tatapannya kepada Nagisa yang heboh
berlari ke arahnya. Menyadari ada celah bagi Shinji untuk pergi,
pemuda itu melangkah ke samping dan membiarkan Sasuke lewat.
Kemudian, dengan langkah tanpa suara dia beranjak pergi, tidak
menghiraukan wanita perawat yang masih berdiri terpaku di koridor.
Tentu saja rencana kaburnya akan berhasil, tetapi dia lupa kalau adik
tersayangnya punya kecenderungan mengacaukan setiap rencananya
di saat-saat paling krusial. Baru dua langkah Shinji pergi, ponselnya
berbunyi. Cukup nyaring untuk menarik perhatian Uchiha Sasuke dan
Uchiha Nagisa kembali kepadanya. Shinji memaki-maki dengan suara
rendah sambil mengangkat telpon.
"Kau dimana, Shinji!"
Shinji mengernyit mendengar suara teriakan Mahiro dari ponselnya.
"Kau itu di rumah sakit, bodoh, jangan berteriak," desis Shinji luar
biasa kesal. Tidak salah lagi, Sasuke pasti sudah mendengar suara
Mahiro.
"Kau membuatku menunggu! Kau kemana saja HAH?!"
Kali ini Shinji membawa ponselnya jauh-jauh dari telinganya yang
malang.
"Mahiro! Apa yang Ibu bilang dengan menjaga volume bicara di
rumah sakit?!"

Lalu terdengar suara rintihan memilukan Mahiro.


Sepertinya karena tidak betah menunggu, adik kecilnya memutuskan
untuk ikut mencari dan justru lebih dulu menemukan sang ibu. Shinji
menghela napas, kemudian menyudahi pembicaraan telepon yang
sudah jelas menarik perhatian orang lain, terutama ayahnya. Dengan
gerakan kaku dan gugup, Shinji berbalik dan memasang senyumnya
kepada dua Uchiha. "Maaf sudah me"
"Kau siapa?"
Lagi-lagi Shinji memaki, tetapi kali ini hanya berani dia lakukan
dalam hati. Akhirnya dia tahu dari mana kebiasaan memotong
omongan orang tanpa tedeng aling-aling dan suara bertipe rendah
Mahiro berasal.
"Dia bilang dia doppelgangermu, Paman." Nagisa yang berdiri di
dekat kaki Sasuke menarik-narik kain celananya.
Sasuke menunduk menatap keponakannya dengan sebelah alis
terangkat.
"Tadi kau bilang kau tidak percaya doppelganger, Nagisa-chan," kata
Shinji menyela dengan senyum geli di sudut bibir, yang membuatnya
mendapat tatapan sebal dari Nagisa. Shinji memang selicin belut.
"Sekarang aku juga masih tidak percaya!" bantah Nagisa keras kepala.
Pipinya kembali merona.

"Aa, sayang sekali. Aku tidak bohong." Shinji tersenyum, kemudian


mengulurkan sebatang permen cokelat yang dia keluarkan melalui trik
sulap sederhana kepada Nagisa. Gadis cilik itu segera melompat untuk
menerimanya dengan wajah cerah. "Mungkin kita akan bertemu lagi
suatu hari, Uchiha Sasuke-san." Shinji mengulas senyum tipis. "Orang
bilang, bertemu dengan doppelgangermu adalah pertanda buruk."
terlebih, kalau kau punya dua doppelgangger. Shinji membungkukkan
badan sejenak, kemudian meninggalkan ruang rawat Nagisa dengan
senyum kalemnya. "Sore jaa."
Tidak dia sadari arah pandangan ayahnya yang terus mengikutinya
sampai dia menghilang di belokan koridor.
.
Sosok Haruno Sakura merupakan bagian permanen dalam hidup
Uchiha Sasuke. Paling tidak, sampai delapan belas tahun lalu.
Semenjak mengenalnya, tak sehari pun terlewat tanpa dirinya. Ketika
mereka tidak bertemu, komunikasi melalui telpon atau surat atau kartu
pos yang selalu menghubungkan mereka. Kalau bukan karena
kehadiran tetap Naruto bersama mereka, barangkali berbagai gosip
karena kedekatan mereka sudah tersebar luas. Gosip-gosip itu yang
membuat Sakura tidak punya banyak teman perempuan. Seingatnya,
hanya tiga orang yang dekat dengan Sakura. Ino, Hinata, dan Tenten.
Gosip itu juga yang membuat Sakura tidak pernah didekati lawan
jenis, atau barangkali tidak ada yang berani mengingat keberadaan
Sasuke yang nyaris konstan di sekitarnya.

Karena itu, suatu hari Sasuke memutuskan untuk menjauh. Dia ingin
memberi kesempatan kepada teman-temannya yang lain (yang dia
ketahui punya perasaan khusus kepada Sakura) untuk maju. Namun,
tak ada yang berhasil. Sasuke terus menjauh, tetapi Sakura terus
mendekat. Belum ada seminggu, Sasuke memutuskan dia lelah dan
membiarkan rutinitas bertiga mereka kembali dimulai. Waktu itu,
Sakura terus memberi dan Sasuke terus menerima. Dan Sasuke hanya
diam membiarkannya.
Peran Sakura dalam kehidupan Sasuke sangat besar, lebih dari yang
dia sadari dulunya. Sosoknya sudah menjadi satu faktor tetap
tersendiri hingga terkadang Sasuke lupa akan keberadaan dan
pengaruhnya. Sasuke tidak pernah menyadari, dia tidak pernah
berpikir bagaimana seandainya konstanta itu tiba-tiba hilang dari
kehidupannya.
Dan hal tersebut terjadi, delapan belas tahun lalu. Sakura menghilang.
Sakura pergi dari kehidupannya, dari kehidupan Naruto dan temantemannya. Sakura pergi dari kehidupannya sendiri. Dan Sasuke tidak
punya cara untuk menemukannya. Atau mungkin tepatnya, Sasuke
tidak punya alasan untuk menemukannya.
Dulu Sasuke memercayai bahwa Sakura hanyalah satu titik dari untai
panjang kehidupan fananya. Orang-orang datang dan pergi, dan tidak
ada yang bisa mencegahnya. Kemudian, Sasuke memutuskan bahwa
Sakura adalah salah satu di antaranya. Dia datang, dan sekarang

memutuskan pergi. Peran apa pun yang dilakoninya selesai sudah.


Sasuke melepasnya.
Namun, yang tidak Sasuke sangka-sangka adalah bekas kehilangan itu
lebih besar dari bekas lain yang tersisa dalam dirinya akibat kepergian
banyak orang dari kehidupannya. Sasuke tidak mengerti kenapa rasa
kehilangan yang dia rasakan kali ini jauh lebih mendalam dari rasarasa lain yang pernah dia rasakan. Sasuke tidak mengerti kenapa rasa
itu terus ada, bahkan ketika dia tidak lagi mampu mengingat suaranya,
atau

caranya

tersenyum

kepadanya.

Sasuke

tidak

mampu

memahaminya. Kemudian, sahabatnya datang membawa jawaban.


Katanya, itu cinta.
Mulanya Sasuke tidak percaya. Cinta merupakan satu kosa kata paling
ganjil dalam hidupnya. Ambisi, tujuan, kekalahan, dan kekecewaan
barangkali lebih bermakna ketimbang satu kata semanis cinta. Sasuke
tidak memercayai adanya perasaan semulia itu dalam dirinya.
Terlebih, Sasuke tidak memercayai dirinya bisa memilikinya. Sasuke
tidak meyakini dirinya bisa mencintai seseorang, tetapi barangkali dia
memang salah. Dia memang tidak banyak mengenal cinta, tetapi
sepertinya fungsi itu tidak lantas lenyap dari dirinya. Barangkali
kemampuan tersebut tertidur jauh di dalam dirinya, dan sebelum
Sasuke menyadarinya, Sakura keburu pergi.
Ketika akhirnya pemahaman itu mengendap dalam dirinya, maknanya
menyusup jauh ke dalam jiwanya, dan Sasuke sadar. Naruto benar.

Namun,

sekali

lagi

Sasuke

tidak

berbuat

apa-apa.

Sasuke

mencintainya, tetapi Sakura memutuskan untuk pergi darinya. Dan dia


telah melepasnya pergi.
Kalau begitu, biarlah. Barangkali sejak awal arti pertemuan mereka
hanya sebatas ini. Barangkali Sakura memang seharusnya tidak lebih
dari satu sosok paling berharga dalam hidupnya. Sakura telah
mengubahnya dan Sasuke berterima kasih karenanya.
Sayangnya, jawaban itu sama sekali tidak bisa menjadi dalih kenapa
hingga di usianya yang ke tiga puluh delapan ini dia tidak juga
menikah. Mungkin tepatnya, baru akan menikah. Dengan seorang
wanita pilihan orang tuanya yang tidak mampu menghidupkan
kembali kemampuan mencintanya.
.
Keluarga Haruno menghabiskan banyak waktu bersama Naruto. Pria
itu sering mengunjungi rumah sakit Toujou untuk sekadar berbincang
dengan Sakura. Tentunya ketika dokter tersebut tidak sedang bertugas.
Dia juga sering mengantar-jemput dua putra Sasuke ke sekolah.
Ketiganya kemudian menjadi luar biasa dekat. Bakat alami Naruto
yang membuatnya mudah disukai orang juga rupanya memengaruhi
kedua remaja tersebut, bahkan melawan Mahiro yang pada dasarnya
tidak memiliki sifat dasar ramah dan supel. Namun sekali lagi, Naruto
adalah pria yang bertahan menjadi sahabat baik Sasuke yang dikenal
jauh lebih dingin dan tak bersahabat selama hampir tiga dekade. Jadi,

rasanya Mahiro bukan satu pengecualian juga di sini. Naruto juga


akhirnya mengetahui bahwa Shinji adalah pemuda yang beberapa
minggu lalu bertemu dengannya, walaupun saat itu penampilannya
luar biasa berbeda. Dan dengan Naruto yang seperti biasa, dengan
mudah dia melupakan pertemuan mereka yang tidak terduga tersebut.
Naruto paham dua remaja tersebut merasa perlu menyembunyikan
identitas mereka, baik sebagai putra Uchiha Sasuke maupun putra
Haruno Sakura.
Ketika sore itu Naruto sekali lagi menjemput keduanya, baik Shinji
maupun Mahiro tidak bisa menahan lagi keingintahuan mereka.
Bukannya mereka tidak senang diantar-jemput dan mengenal paman
baru, tetapi lama-lama Naruto jadi mengingatkan mereka kepada
Paman Kakashi yang sejauh ini belum pernah memperlihatkan
gelagat businessmannya.
"Paman tidak ada pekerjaan?" tanya Shinji tiba-tiba begitu dia duduk
di sebelah Naruto yang mengemudikan mobilnya menuju rumah sakit
Toujou.
"Uh?" Naruto hanya angkat alis sambil terus memerhatikan jalan.
"Waktu luang Paman sepertinya banyak sekali. Setiap hari bisa
menjemput kami," ucapnya memperjelas. Adiknya duduk di kursi
belakang, walaupun tampak sedang tekun membaca buku, tetap
memperhatikan perbincangan dua orang di depannya.

Tanpa diduga-duga, Naruto justru tertawa lepas. Suara tawanya yang


renyah memantul-mantul di dalam mobil. Namun, pria itu memilih
untuk tidak memuaskan keheranan putra sahabatnya.
"Paman tidak punya keluarga sendiri?" Kali ini Mahiro yang bertanya.
"Kenapa kau berpikir begitu?" tanya Naruto sambil melirik Mahiro
dari pantulan cermin di atasnya.
Mahiro, masih dengan konsentrasi diarahkan ke bukunya, mengangkat
bahu. "Kalaupun pekerjaan Paman tidak sebanyak itu, atau memang
sengaja ditinggalkan secara tidak bertanggungjawab" Naruto
meringis di bagian itu. "Harusnya Paman juga tidak selalu bersama
kami. Itu kalau Paman memang punya keluarga sendiri."
"Tentu saja punya. Paman punya istri dan seorang anak laki-laki.
Namanya Kai. Dia baru dua belas tahun."
"Kai?" Shinji mengangkat sebelah alis ke arah pamannya. "Kai seperti
pada shake?"
Mahiro di belakangnya mendengus, kemudian memutar bola mata.
"Mana mungkin Paman Naruto menamai anaknya sendiri salmon?"
Sebelum Naruto sempat berkomentar setuju, Mahiro buru-buru
menambahkan. "Kurasa itu kai untuk kerang. Bukan begitu, Paman?"
Uzumaki Naruto menggeram dengan kening berkerut dalam. "Paman
tidak menamai putra Paman dengan salmon atau kerang," tukasnya,
membuat kedua remaja itu menyeringai. "Itu kai dari sekai, oke?"

Sekali lagi Naruto mengembalikan fokusnya ke jalan di depannya,


mengabaikan seringai Shinji yang semakin lebar.
"Dunia? Jadi, Kai ini dunia Paman?"
"Seikai." Naruto menyeringai puas. "Dia sudah mendominasi seluruh
dunia Paman bahkan sebelum dia lahir." Ada kebanggaan dan rasa
sayang membuncah yang tidak salah lagi terdengar dari suaranya.
Mata sewarna kristal birunya melihat kejauhan seolah tengah
memandang satu sosok imajiner yang tidak tampak oleh siapa pun
kecuali dirinya sendiri.
Di sampingnya, Shinji mengulas senyum halus. Dadanya sesak
melihat sosok seorang ayah dari diri pamannya. Dia jadi bertanyatanya apakah suatu hari nanti ayahnya sendiri akan menyebut
namanya dan adiknya dengan rasa membuncah yang sama. Namun,
lebih dari itu Shinji kembali mempertanyakan apakah mungkin
ayahnya mengenal mereka. Rupanya Mahiro juga merasakan perasaan
mutual itu. Sama seperti kakaknya, dia juga membayangkan
datangnya hari itu di atas lembar-lembar buku yang tengah terbuka di
hadapannya. Seolah dia bisa melukisnya di sana dan melihatnya kapan
saja. Sayangnya, Mahiro tidak punya bakat gambar sang kakak.
"Kapan-kapan Paman akan mengajaknya mengunjungi kalian. Dia
suka sepak bola," kata Naruto bersemangat. Bila pria itu menyadari
atmosfer melankolis di dalam mobilnya, dia tidak menunjukkan
gelagat terpengaruh olehnya.

Nada suaranya yang riang membuat Shinji dan Mahiro menyeringai.


Belum lagi keduanya membalas, dering ponsel terdengar. Naruto
buru-buru memasang earphone dan menjawab telpon masuk tanpa
memeriksa siapa penerimanya.
"Moshi-moshi?"
"Naruto." Suara bertipe berat dari seberang sambungan membuat
Naruto menegang sedetikyang untungnya lolos dari mata tajam dua
penumpangnya.
"Ada apa?" tanya Naruto. Dengan hati-hati dia berusaha untuk tidak
menyebutkan nama penelponnya.
"Hari ini Nagisa sudah bisa keluar dari rumah sakit. Aku ada rapat
mendadak di perusahaan. Kau bisa menjemputnya?"
Yang dimaksud perusahaan pasti adalah yang milik keluarganya.
Karena kesehatan ayahnya yang mulai menurun, bungsu Uchiha itu
juga harus menangani urusan perusahaan ayahnya. Untungnya dia
punya orang-orang terpercaya untuk menjalankan perusahaannya
sendiri selama dia mendedikasikan waktu menjaga perusahaan
ayahnya tetap berjalan. "Oh, tentu, tentu. Aku harus mengantarnya
kemana nanti? Rumah orang tuamu?"
"Hn. Kutitipkan dia kepadamu."
"Tentu."

Telpon di seberang mematikan sambungannya lebih dulu. Sambil


melepas earphonenya, Naruto melirik Shinji dan Mahiro bergantian.
Nah, sekarang bagaimana enaknya? Mengantar mereka dulu ke rumah
(yang artinya membatalkan janji jalan-jalannya bersama mereka dan
Sakura) atau malah mengajak satu Uchiha bersama? Naruto sekarang
malah bingung sendiri.
Shinji yang menyadari perubahan ekspresi pamannya memutuskan
untuk bertanya. "Ada apa, Paman?"
"Oh? Tidak ada apa-apa," jawab Naruto, cepat-cepat kembali menata
ekspresinya. Kalau menurut Sakura, Haruno satu ini (demi Tuhan,
Naruto ingin berani menyebut mereka Uchiha karena dia jauh lebih
suka itu) tajam membaca orang dan mencium kebohongan.
Dan betul saja. Sama sekali tidak termakan jawaban bohong Naruto,
Shinji terus menekan. "Apa Ayah yang tadi menelpon?"
Mendengarnya turut membuat Mahiro mengalihkan fokusnya dari
buku yang sedang dia tekuni. Dia memandangi Shinji dari belakang,
juga reaksi Paman Naruto yang mirip kucing tersedak dari cermin di
atas kepalanya.
"Dari mana kau tahu?" tanya Naruto setengah histeris. Pria itu merasa
bisa kapan saja kehabisan udara.
Shinji hanya tersenyum miring, kemudian menjawab ringan.
"Sebenarnya yang tadi itu cuma candaan."

Berada di balik kemudi, Naruto merengut dalam. "Ha-ha."


"Ha-ha, tentu," kata Shinji dengan senyum geli. Dia biarkan Naruto
berkonsentrasi ke jalan sejenak. "Jadi, apa yang tadi ada hubungannya
dengan kami?"
"Kalau aku tidak paham lebih baik, aku akan mengira kalian terlalu
percaya diri."
"Paman terus melirik ke arah Shinji atau ke arahku begitu menjawab
telpon,

sadar

atau

mempertimbangkan

tidak.
dua

Dan

keputusan

sekarang,

Paman

yang

sama-sama

sedang
tidak

menyenangkan," Mahiro menimpali dari belakang.


Naruto jadi teringat cerita Sakura mengenai dua putranya belakangan
ini. Dua remaja kontras itu kalau sudah bersatu padu, menghindar
adalah pekerjaan yang nyaris mustahil. Kalau mencoba maju, akan
berhadapan dengan Shinji. Mencoba mundur, hanya akan dihadang
Mahiro. Kalau sudah menginginkan sesuatu, akan mereka dapatkan.
Dari jalan depan seperti konfrontasi langsung, atau jalan belakang
dengan manipulasi dan ancaman. Dari berbagai ceritanya, Naruto bisa
menarik kesimpulan bahwa Sakura pun kesulitan menghindar.
Untungnya, dua putranya tidak pernah meminta yang aneh-aneh.
Belum. Dan merasa dia tidak akan mendapatkan hasil memuaskan dari
upaya menghindar, Naruto memutuskan untuk menyerah bahkan
sebelum mencoba melawan. Apa yang Uchiha inginkan, mereka
dapatkan. Sebagai Uchiha asli, hal itupun tidak luput dari mereka.

"Aku harus menjemput Nagisa di rumah sakit. Sepupu kalian," ucap


Naruto setengah hati.
"Aa. Nagisa-chan sudah sehat sekarang?" tanya Shinji, teringat
pertemuan singkatnya dengan sepupu ciliknya beberapa minggu lalu.
Shinji bisa merasakan tatapan menusuk adiknya dari kursi belakang,
juga suara dalamnya yang tiba-tiba terdengar berbahaya. "Kau
mengenalnya?"
"Tidak juga. Hanya sempat mengunjunginya sekali."
"Apa?" Baik Naruto maupun Mahiro sama-sama terkejut.
Shinji memang suka sekali menggoda orang. "Sepupu kita itu manis
sekali lho, Mahiro."
"Kapan kau bertemu dengannya, Shinji?" tanya Naruto. Dia sudah
membelokkan mobil memasuki halaman depan rumah sakit Toujou
dan menuju lokasi parkir.
Shinji terdiam, menunggu Naruto menepikan mobil dan mematikan
mesin. "Sepertinya dia pasien intensif yang harus dirawat Ibu."
Mahiro dan Naruto kompak terbelalak.
"Aku bertemu dengannya karena seorang perawat salah mengenaliku
sebagai Ayah." Shinji angkat bahu tenang, bicara seolah apa yang
dikatakannya tidak lebih penting dari komentar mengenai cuara cerah.
"Omong-omong, aku juga bertemu Ayah," dia kemudian terkekeh,

kontras dengan ekspresi horor di wajah Mahiro dan Paman Naruto.


Shinji memutuskan untuk tidak memedulikannya dan memilah-milah
kejutan yang akan dia ucapkan. "Kalau mengamati sikap ganjil Ibu
hari itu, kutebak Ibu juga sudah bertemu Ayah. Dengar-dengar, Paman
Itachi sedang di Hokkaido 'kan?" Naruto mengangguk tanpa sadar
dengan wajah terbengong. "Pasti Ayah yang mengantar Nagisa dan
menemaninya di sana. Dan mengingat Ibu adalah dokter yang
menangani Nagisa, pasti hingga detik ini Ibu sudah lebih dari sekali
bertemu Ayah."
Mahiro yang duduk di kursi belakang terdiam. Tangannya diremasremas di sisi tubuh. Ekspresinya kosong dan bahunya tegang. Dia
masih belum menemukan suaranya. Dia juga tidak tahu harus bicara
apa begitu suaranya kembali.
"Tapi Ibu baik-baik saja. Dan hanya itu yang penting. Jadi Paman
tidak perlu khawatir. Kami tidak keberatan bertemu sepupu kami, atau
Uchiha manapun. Benar 'kan, Adik?"
Shinji mengawasi adiknya mengatur napas. Ada ketegangan yang
perlahan-lahan menguap seiring dengan setiap napas yang dia hela.
Setelah beberapa saat, Mahiro akhirnya mengangguk. "Hn."
.
Menyaksikan wajah manis, gembira, dan menggemaskan berubah
menjadi horor luar biasa begitu melihat Shinji dan Mahiro mengekor
di belakang Naruto benar-benar pengalaman tak terlupakan. Shinji

langsung meledak dalam tawanya, kali ini tidak terlalu kontras dengan
sikap sang adik yang sedang menyeringaimendapati suasana
dimana mereka berada sama lucunya dengan yang Shinji rasakan,
tetapi memilih untuk mengapresiasinya dengan sedikit lebih
terkendali.
Naruto yang berdiri di antara ketiga Uchiha hanya bisa menatap
Uchiha paling muda di ruangan itu dengan rasa kasihan. Sedikit
banyak Naruto paham bagaimana perasaan Nagisa dan menebak
pikiran carut-marut apa saja yang terlintas dalam kepala kecilnya. Dia
sendiri juga kaget luar biasa waktu pertama kali bertemu dengan
Shinji dan Mahiro. Lebih condong horor, malah. Mungkin di
pertemuan pertamanya Shinji belum banyak mempengaruhinya dan
dengan cepat dia melupakannya. Belum lagi waktu itu kemiripan
Shinji dengan Sasuke tersamarkan oleh rambut merah dan mata hijau.
Namun hari ini, dihadapkan kepada dua sosok yang mengingatkan
orang terhadap Uchiha tertentu dari sudut mana pun tentu bukan
pengalaman biasa. Air muka Uchiha Nagisa berganti-ganti dengan
cepat dalam kurun waktu kurang dari sepuluh detik.
Butuh dua menit penuh bagi Shinji untuk meredakan ledakan tawanya.
Ketika akhirnya dia berhasil menenangkan diri, sudut-sudut matanya
telah basah oleh air mata. Tangannya memegang perut yang terasa
kram akibat reaksi berlebihannya. Sekarang dia justru merintih sambil
terbatuk-batuk.

"Sudah selesai tertawanya, Shinji?" tanya Mahiro sinis. Wajahnya


tampak begitu puas ketika mengamati saudaranya kesakitan dari sudut
mata.
"Sisiapa kalian?!" Uchiha Nagisa berteriak histeris. Dia kembali lari
menuju ranjangnya yang sudah ditata rapi, melompat ke atasnya, dan
menyembunyikan diri di bawah selimut.
"Jangan bergerak tiba-tiba begitu, Nagisa-chan. Bagaimana kalau
bekas jahitannya terbuka lagi?" pekik Naruto khawatir.
Untuk sesaat, Nagisa melupakan kekagetannya. "Sudah kering,
Paman!" Ketika Mahiro memutuskan untuk bicara (di saat yang luar
biasa tidak tepat dengan nada suara yang mirip Ayah), Nagisa kembali
mengingat rasa takutnya. Kali ini datang dalam banjir besar. "Siapa
mereka, Paman!"
"Nagisa-chan, tenang dulu!" pinta Naruto mencoba meredakan
ketakutan gadis cilik itu, tetapi tentunya tanpa hasil memuaskan.
Nagisa sudah akan berteriak histeris lagi ketika pintu kamarnya
terbuka dan menampakkan dokter cantik yang selama tiga minggu ini
merawatnya. "Dokter!" Tiba-tiba dia sudah melompat turun lagi dan
berlari ke arah pintu. Gerakannnya begitu lincah untuk ukuran gadis
sepuluh tahun yang baru sembuh dari sakitnya.
"Ada apa, Nagisa?"

Shinji dan Mahiro menoleh, serempak berseru tanpa benar-benar


menyadarinya. "Ibu!"
Haruno Sakura mengangkat pandangannya dari Nagisa yang sedang
memeluk erat perutnya dengan wajah luar biasa takut. "Shinji?
Mahiro? Apa yang kalian lakukan di sini?" Keningnya sendiri
berkerut heran. Pandangannya berpindah-pindah dari kedua putranya
kepada Nagisa yang masih tak mau melepas pelukannya.
"Ibu?!" Nagisa kembali memekik. Kali ini pandangannya berpindah
cepat dari dua pemuda yang luar biasa mirip pamannya ke dokter yang
sedang dia peluk perutnya. "Dokter kenal mereka?" tanyanya dengan
suara kental rasa takut.
Dengan sifat keibuannya yang alami, Sakura mengelus puncak kepala
Nagisa untuk menenangkannya. Perlahan tetapi pasti raut takut di
wajah gadis itu memudar. "Tentu saja. Kalian sudah berkenalan?"
Nagisa menggeleng kuat-kuat. "Tapi kenapa mereka mirip Paman
Sasuke?"
Ouch. "Hmm" Tiba-tiba Sakura merasakan desakan kuat untuk
memandang langit-langit ruangan ketimbang membalas tatapan heran
dan bertanya Nagisa yang diarahkan kepadanya seorang. "Masa?"
Bahkan Sakura sendiri merasa reaksinya luar biasa payah.
Nagisa mengangguk mantap. Keningnya berkerut dan wajahnya luar
biasa serius untuk ukuran gadis kecil.

Shinji menyimpulkan senyum, kemudian berjongkok di depan Nagisa,


membuat sepupunya mundur dan bersembunyi di balik tubuh ibunya.
"Bagaimana kalau kita berkenalan dulu?" Dengan wajah curiga,
penasaran, sekaligus takut, Nagisa memandangi Shinji yang kini
sejajar pandangan matanya. "Namaku Shinji, dan yang di belakang itu
adikku, Mahiro. Salam kenal, Nagisa-chan." Dengan senyum di sudut
bibir, Shinji mengelus puncak kepala Nagisa yang menyembul takuttakut.
Walaupun rasa penasaran dan curiga masih kuat dia rasakan, Nagisa
memilih untuk diam. Tangannya meremas erat jas dokter Sakura. Dia
mengangguk dan balik memperkenalkan diri. "Uchiha Nagisa. Salam
kenal."
Shinji dan Mahiro kompak tersenyum.
Menyaksikan interaksi tiga bersaudara tersebut membuat Sakura tidak
bisa menghentikan senyumnya. Seandainya ada kemungkinan
ketiganya saling memperkenalkan diri sebagai saudara sepupu
Sakura segera menghentikan bayangan tersebut dari pikirannya dan
beralih menatap Naruto. "Kau yang menjemput Nagisa, Naruto?"
Naruto mengangguk, kemudian beranjak menuju meja dimana Nagisa
meletakkan tas bepergiannya yang berisi pakaian gantinya selama
dirawat di rumah sakit.
"Nah, kau sudah siap pulang, Nagisa?" tanya Sakura sambil mencolek
pipi Nagisa lembut.

Reaksi gadis cilik tersebut yang berupa gelengan dan wajah


memberengut membuat empat orang di sana mengerutkan kening.
"Aku masih ingin di sini," rengeknya.
"Masih ada yang sakit?"
Lagi-lagi Nagisa menggeleng.
"Lalu kenapa tidak ingin pulang?" tanya Sakura lembut.
"Aku masih ingin bersama Dokter!" Dengan kepolosan murni anak
sepuluh tahun, Nagisa memeluk pinggang Sakura sekuat yang dia
bisa. Wajahnya disembunyikan di balik jas dokter yang Sakura
kenakan.
Dengan gerakan halus dan lembut, Sakura melepaskan diri dari
pelukan Nagisa yang ternyata cukup kuat. Dia kemudian ikut
merendahkan diri di depan Nagisa. "Kita bisa bertemu kapan-kapan.
Dokter tidak mau bertemu Nagisa di rumah sakit lagi karena itu
artinya, Nagisa sedang sakit."
Walaupun wajahnya masih merajuk, Nagisa akhirnya mengangguk.
"Baiklah"
"Ayo kita pulang, Nagisa-chan. Kakek dan Nenek pasti sudah
kangen." Naruto melangkah mendekat. Di tangannya sudah ada tas
kecil milik Nagisa yang berisi beberapa barangnya selama dirawat di
rumah sakit.
"Tapi aku ingin digendong."

"Baiklah. Paman siap!"


"Tapi aku tidak ingin digendong Paman!"
"Lalu siapa yang harus menggendongmu, Nagisa-chan?"
Tanpa diduga, Nagisa menunjuk Mahiro yang berdiri tak jauh di
depannya. "Mahiro."
Yang sedang ditunjuk mengangkat alis. "Kau terlalu besar untuk
digendong," tolaknya mentah-mentah. Nagisa langsung mencebik dan
Shinji menyikutnya keras-keras. "Baiklah, tapi hanya sampai mobil,"
ujarnya buru-buru menambahkan sambil meringis sakit. Kedua
tangannya dimasukkan ke dalam saku celana seragam musim
panasnya yang berwarna abu-abu. Dasi merah yang dia kenakan
bersama kemeja putih berlengan pendek sudah ditarik longgar.
Nagisa mengangguk setuju. "Kalau sudah turun, aku mau Shinji yang
menggendongku."
"Jadi aku harus ikut pulang bersamamu?" tanya Shinji menunduk
memandang sepupunya dengan kening berkerut.
Nagisa mengangguk lagi, luar biasa semangat. "Dokter juga."
Ketiga Haruno dan satu Uzumaki saling tatap khawatir.
"Mereka tidak bisa ikut, Nagisa-chan. Mereka harus pulang," bujuk
Naruto sambil berusaha menyembunyikan kekhawatirannya.

"Sebentar saja. Aku ingin mengenalkan Kakek, Nenek, dan Paman."


Kening putihnya berkerut dalam. Wajahnya mulai merajuk lagi.
"Dokter masih punya beberapa pasien yang harus dirawat."
"Akan kutunggu!"
Dengan kompak, mereka mengerang dalam hati.
"Aku dan Mahiro sudah ada janji dengan teman-teman sekolah.
Sayang sekali."
"Batalkan!"
"Tidak bisa."
"Batalkan!"
"Tidak bisa dibatalkan, Nagisa," ulang Shinji dengan wajah serius.
"Kubilang batalkan!" Uchiha cilik itu justru berteriak, kembali
histeris.
Mahiro menggeram dalam. Wajahnya merengut tak setuju. "Rupanya
Uchiha satu ini terlalu dimanja."
Naruto hanya tertawa gugup sambil menggaruk pipinya. "Yah, dia
putri Itachi sih, putra favorit Paman Fugaku. Jadi dia dimanja sekali."
Shinji memilih untuk tidak berkomentar dan hanya melirik Naruto
dari ekor mata.

"Kami tidak bisa pergi, Nagi," tolak Mahiro sekali.


Nadanya yang serius membuat Nagisa kembali merajuk. "Kalau
begitu aku tidak mau pulang!"
"Ya sudah. Kau bisa tinggal di sini kalau mau," ucap Mahiro tegas
tanpa ampun. Bukannya dia tidak suka anak kecil, tetapi dia merasa
perlu memberi ketegasan dan batasan kepada sepupu yang baru
dikenalnya satu jam terakhir.
Merasa baru kali ini permintaannya ditolak mentah-mentah, Nagisa
mulai mengeluarkan senjata andalannya. Tangisan. Namun, Mahiro
tetap memasang wajah tidak peduli. Shinji berusaha mengalihkan
perhatiannya kepada apa pun selain Nagisa. Sakura sendiri hanya
menghela napas, tetapi tidak berbuat apa-apa untuk menenangkannya.
Ketiga Haruno itu memang paling tidak setuju dengan sikap
memanjakan. Hanya Naruto yang tampak luar biasa panik.
"Gomen, Naruto. Aku harus kembali memeriksa pasien. Tugas jagaku
masih satu jam lagi." Setelah melemparkan senyum permohonan maaf
kepada Naruto dan Nagisa, Sakura berlalu dengan papan jalan di
tangan. Suara ketukan sepatunya kemudian menghilang di balik pintu.
Tanpa peringatan, tangisan Nagisa menjadi dua kali lipat lebih keras.
"Paman, telpon Ayah atau siapa saja lah untuk menjemputnya," ujar
Shinji dengan wajah menyesal. Dia sebenarnya tidak tega melihat
Nagisa menangis pilu begitu, tetapi di satu sisi dia tidak bisa

mengiyakan permintaan gadis itu. Anak yang terbiasa dimanja begitu


akan

cenderung

meminta

lebih

begitu

mereka

mengiyakan

permintaannya. Kalau sudah sampai di rumah kakek neneknya, siapa


yang tahu permintaan macam apa yang akan Nagisa ajukan. Belum
lagi memikirkan ibunya. Shinji enggan mencari tahu sampai sebatas
mana ibunya bisa bertahan.
Dengan berat hati, Naruto mengangguk. Walaupun dia masih
mengharapkan dua sahabat baiknya bisa bersama, dia tahu dia tidak
bisa memaksa sekarang. Sakura jelas-jelas tidak siap, begitu juga
dengan kedua putranya. Dan di pihak lain, rencana pernikahan Sasuke
sedang panas-panasnya diperbincangkan oleh kedua belah pihak,
ditambah media yang mirip cacing kepanasan. Terlalu banyak
konsekuensi yang harus dia bayarkan hanya untuk menuruti keinginan
gadis kecil.
Naruto keluarkan ponselnya dari saku dalam jas yang dia kenakan dan
menekan tombol nomor tiga yang merupakan nomor speed dial untuk
Sasuke. Di dering keempat, Sasuke mengangkat.
"Sasuke? Gomen. Aku kesulitan membawa Nagisa pulang Iya, itu
suara tangis Nagisa Tidak, bukan begitu. Dia hanya akrab dengan
beberapa orang dan menolak pulang Iya. Dia ingin beberapa orang
ini ikut pulang bersamanya Tentu saja tidak bisa! Kau terlalu
memanjakannya!... Minta ibumu atau siapa saja yang bisa
menenangkannya Dia benar-benar tidak mau Baiklah, akan
kucoba, tapi kau harus cepat datang Oke."

"Bagaimana, Paman?"
"Sasuke yang akan datang, tapi itu pun baru satu atau dua jam lagi
paling cepat. Aku harus mencoba menghentikan tangisnya dulu."
Mahiro mengerutkan kening tak puas. "Itu terlalu lama."
Naruto hanya mengangkat bahu pasrah. Pandangan matanya
mengikuti Nagisa yang sedang berusaha naik ke ranjangnya dan
menenggelamkan diri di balik selimut. "Itu sudah yang paling cepat."
"Apa orang di rumahnya tidak ada yang bisa menjemput?" tanya
Shinji yang kini sudah duduk di tepi ranjang sambil berusaha
mengusap-usap (apa yang sepertinya) punggung Nagisa.
"Perjalanan dari Setagaya ke Tsukiji juga tidak bisa dikatakan cepat.
Apalagi di jam-jam pulang kantor begini," jawab Naruto sambil
mengecek jam tangannya yang menunjukkan hampir pukul lima.
Kedua bersaudara itu mengerutkan kening, saling bertukar pandang,
dan mengamati tubuh Nagisa yan naik-turun. Suara tangisnya sudah
berhenti, tetapi masih menyisakan sesenggukan memilukan.
Beberapa saat lamanya mereka terdiam, hingga akhirnya Mahiro
menghela napas panjang. "Ya sudah. Kita antar Nagi saja."
Naruto membeliak dan bergantian meminta penjelasan kepada dua
remaja itu.
Shinji mengangguk setuju. "Tidak apa-apa, Paman."

Naruto menelan ludah susah payah. "Kalian yakin? Tidak takut?


Sudah siap?"
Mendengarnya, Mahiro justru tersenyum mendengus. "Tentu saja.
Lagipula, Nenek Tsunade yang mengajarkan kami untuk terus saja
maju."
Shinji mengangguk sekali lagi, kemudian menyibukkan diri dengan
mencoba berbicara kepada Nagisa. "Ayo kita pulang. Dokter tidak
bisa ikut sekarang, tapi aku dan Mahiro akan mengantarmu pulang.
Bagaimana? Kau mau tidak?"
"Benarkah?" Jawaban Nagisa terdengar teredam dari dalam selimut.
Suaranya serak akibat menangis terlalu keras.
"Tentu. Sekarang keluarlah."
"Ugh" Sejurus kemudian, selimut itu terdorong ke segala arah dari
dalam. Lengan dan kaki kecilnya berusaha untuk mencari celah, tetapi
hanya gerutuan kesal yang terdengar. "Aku tidak bisa lepas!"
teriaknya dari dalam.
Shinji menghela napas, kemudian turun tangan membantu sepupunya
mencari jalan keluar. Keningnya berkerut dalam ketika dia berusaha
menjadi tepian selimut yang anehnya, menghilang entah kemana.
"Kulihat kau sudah menguasai jurus belitan selimut, Nagisa,"
komentarnya kering.

Butuh setidaknya lima menit untuk mengeluarkan gadis kecil itu dari
dalam selimut. Begitu terbebas, wajahnya luar biasa merah akibat sisa
tangis dan kelelahan. "Tadi itu panas sekali," katanya.
Mahiro melirik jengkel. "Itu 'kan salahmu sendiri," katanya sambil
menutup ponselnya sehabis menghubungi sang ibu. "Ayo. Ibu sudah
bilang oke."
.
Kediaman Uchiha yang mereka tuju berlokasi di Setagaya, distrik
dimana di sana akan banyak ditemukan rumah-rumah mewah dan
kawasan perumahan elit. Setagaya juga merupakan distrik dengan
populasi penduduk paling besar. Dan mengingat keluarga besar
Uchiha

merupakan

penguasa

bisnis

elektronik

Jepang,

tak

mengherankan lagi kalau kediaman mereka dibangun di atas tanah


seluas hampir satu hektar. Shinji dan Mahiro hanya bisa bertanyatanya, kiranya apa saja yang dibutuhkan klan besar itu sampai-sampai
merasa perlu membangun rumahnya di tanah seluas itu. Memasuki
gerbang utamanya, yang tampak di sekeliling hanya bangunanbangunan kayu bermodel tradisional dengan sentuhan modern di sanasini dan taman-taman asri.
"Ayo, ayo cepat turun!" Nagisa bergerak-gerak tak sabaran di
pangkuan Shinji. Mahiro duduk di sebelah Naruto, menggantikannya
karena si kecil itu ingin duduk bersama Shinji.

"Kau bisa turun sendiri 'kan, Manis?" tanya Shinji sambil membuka
pintu di sampingnya.
Nagisa memberengut kepada Shinji. "Tidak mau!"
"Hn, ya sudah. Kau kucilik saja," godanya. "Ayo, Paman. Kita pergi
saja lagi."
"Ayo turun!" rengek Nagisa panjang. Dia tarik-tarik kemeja Shinji
hingga kusut. Dasi hijaunya juga turut tertarik longgar akibat ulah
Nagisa.
Merasa tidak bisa membebaskan diri dari sepupu manjanya, Shinji
akhirnya mendesah. Dia rapatkan pelukannya dan melangkah keluar
dari mobil. Naruto dan adiknya segera menyusul keluar.
"Aku bisa bawa paksa Nagisa. Kalian tunggu saja di sini," bisik
Naruto kepada Mahiro.
Mahiro hanya menyeringai masam. "Aku ingin lihat Paman
mencobanya."
Tanpa berkomentar, Naruto segera mendekat ke arah Shinji yang
sedang menggendong Nagisa. Dalam gendongannya, gadis kecil itu
sibuk menceritakan tempat-tempat kesukaannya sambil sesekali
menunjuk ke sekeliling. "Nagisa-chan, ayo bersama Paman saja,"
bujuk Naruto dengan senyum lebarnya.

Gadis kecil yang biasanya sangat lengket kepadanya itu kini justru
terang-terangan mengabaikan Naruto dan tawarannya. "Tidak mau!"
tolaknya mantap.
"Shinji pasti capek menggendongmu. Kau 'kan sudah besar," Naruto
kembali berusaha membujuk sambil berusaha menarik Nagisa ke
gendongannya.
Dengan kekeraskepalaan yang sepertinya diwariskan turun-temurun,
Nagisa semakin merapatkan pelukannya ke leher Shinji.
"Sudah, tidak apa-apa, Paman," kata Shinji tenang kepada pamannya.
Dia ulas senyum miringnya. "Kalau tidak sekarang, barangkali kami
tidak akan punya nyali lagi."
Mahiro menyeringai mendengarnya. "Ibu sudah oke. Paman tidak
usah khawatir."
"Tapi tetap saja ini rasanya terlalu cepat," desah Naruto. Bahunya
turun. Dia merasa tidak berguna sekarang. Justru anak-anak remaja ini
harus maju seorang diri menemui keluarga besar yang tidak pernah
mengenalnya. Bukannya tidak mungkin reaksi keluarga Uchiha justru
negatif. Keduanya masih berstatus anak tidak sah dan Sasuke sebentar
lagi akan menikah dengan wanita yang menguntungkan perusahaan.
Naruto ingin melakukan sesuatu demi wanita yang sudah dia anggap
adik sendiri dan untuk kedua keponakan yang tidak dia ketahui
keberadaannya sekarang. Dia masih belum memahami alasan
kepergian Sakura dulu, juga kenapa dia memutuskan untuk

menyembunyikan keberadaan Shinji dan Mahiro. Apa pun itu, dia


yakin ini saatnya mereka bahagia. Dan jika kebahagiaan itu datang
dengan terus hidup tanpa sosok Sasuke, Naruto akan membantu
dengan sekuat tenaga. Namun hari ini, si kembar justru ingin
menabrak tembok Uchiha seorang diri. Naruto hanya bisa diam di tepi
dan menemani.
"Ini sudah delapan belas tahun, Paman. Hampir sembilan belas,
malah. Sudah tidak pantas kalau kami terus beralasan sembunyi."
Naruto hanya bisa terdiam sambil menatap Shinji dalam-dalam. Dia
kemudian menghela napas. "Baiklah kalau memang ini saatnya.
Kalian cemas?"
Kedua putra sahabatnya itu tersenyum miring. "Kurasa, kami sudah
siap lari pulang. Kami tegang sekali.
"Kalau begitu, lebih cepat lebih baik?" gumam Naruto sambil
mengulas senyum ragu.
"Tentu saja."
.
"Tadaima!"
Haruno Shinji dan Haruno Mahiro mundur dua langkah dengan
ekspresi kompak mengernyit. Uchiha Nagisa yang baru turun dari
gendongan Shinji sedang berdiri di ambang pintu rumah, baru saja

melepaskan sapaannya yang lebih mirip jeritan tujuh oktav. Naruto


yang berdiri paling belakang di antar mereka terkekeh.
"Kalau tidak teriak begitu, tidak akan ada yang dengar, kalian tahu?"
katanya, masih dengan kekehan.
Kedua pemuda itu kompak menghela napas, kemudian mengamati
sekeliling rumah. Keduanya masih belum bisa berhenti terpana
melihat (dan merasakan langsung) luasnya rumah yang lebih layak
dianggap istana itu. Dan sepanjang perjalanan dari gerbang utama ke
bagian tengah kompleks rumah, belum sekalipun mereka bertemu
dengan orang lain. Suasananya benar-benar hening. Mereka tidak akan
kaget kalau ada yang beranggapan kompleks rumah itu adalah
museum karena saking sepinya.
Pikiran melantur mereka terhenti ketika mendengar suara langkah kaki
terburu dari dalam rumah. Beberapa saat kemudian terdengar teriakan.
"Nagisa-chan!"
Lagi-lagi keduanya meringis. Naruto menepuk-nepuk punggung
mereka dari belakang, kemudian berbisik. "Selamat datang di rumah
Uchiha, Anak-anak."
"Nenek!"

Nagisa

melompat

maju

dengan

gegap

gempita,

meninggalkan dua Haruno dan Naruto terpaku di ambang pintu, dan


menghambur ke pelukan seorang wanita di awal enam puluhnya yang
sedang berlutut di depan pintu.

"Oh! Cucu Nenek sudah pulang."


Tak lama kemudian, terdengar suara beberapa langkah kaki lain
menyusul mendekat.
"Kakek!" Dari pelukan neneknya, Uchiha Mikoto, Nagisa berseru
riang. "Oh! Ayah! Kakak!"
"Memangnya kau sudah boleh teriak-teriak begitu, Nagisa?" Pria yang
tetap gagah di usia tuanya itu berdiri di tepi genkan, menunduk
memandang cucunya. Walaupun wajahnya kaku dan serius, ada binar
kebahagiaan yang tak salah lagi terpampang jelas dari matanya. Di
sebelahnya berdiri Uchiha Itachi, putra sulungnya, dan Uchiha
Shizuku, cucu pertamanyayang dia ketahui.
"Hm, aku tidak tahu," jawab Nagisa polos sambil melepaskan diri dari
pelukan neneknya. "Kira-kira aku sudah boleh berteriak, belum,
Shinji?" Tiba-tiba dia menoleh ke belakang, menatap Shinji dengan
sepasang mata hitamnya yang membulatseolah dia baru saja
menyadari keberadaan tiga orang lain di belakangnya.
"Aoh..." Shinji gelagapan. Cahaya yang datang dari arah
belakangnya membuat wajahnya berbayang. "Kurasa kau sudah sehat,
tapi berteriak seperti itu tidak sopan, Nagisa."
Uchiha Nagisa menunduk memandangi ujung-ujung sepatunya, dan
bergumam panjang. Sama sekali tidak dia sadari atmosfer keluarganya
yang berubah kaku. Seolah baru saja menyadari kehadiran tamu lain

malam itu, keluarga Uchiha serempak memandang tiga orang yang


berdiri di ambang pintu.
"Naruto? Siapa yang sedang bersamamu?" tanya Mikoto seraya
bangkit dari posisi berlututnya. Sama bingungnya dengan anggota
keluarganya yang lain, Mikoto hanya bisa bersabar menunggu
jawaban Naruto.
Pria itu sendiri tampak kebingungan. "U-uh Ada dua orang yang
ingin kukenalkan kepada Paman, Bibi, kau juga, Itachi."
Keluarga Uchiha itu diam menunggu kelanjutan kalimat Naruto.
Bahkan Nagisa yang sedari tadi heboh kini jadi luar biasa diam dan
hanya bolak-balik mengoper arah pandangannya.
Shinji dan Mahiro sendiri juga turut diam. Rasanya, keberanian dan
kemantapan yang mereka miliki tadi seolah baru saja menguap dengan
cepat. Kepala mereka tertunduk, mendapati posisi bebatuan yang
disemen di lantai genkan lebih menarik dari lukisan mana pun. Satusatunya hal yang bisa membedakan mereka dari sudut pandang
Uchiha hanyalah warna dasi yang berlainan. Keduanya bisa
merasakan tatapan-tatapan tajam yang diarahkan kepada mereka.
Kalau saja mungkin, keberanian mereka yang nyaris tidak ada itu
semakin menciut.
Uzumaki Naruto memandangi kedua keponakannya lebih dulu,
kemudian mulai mengumpulkan keberanian. Dua pemuda ini
memerlukan dirinya untuk bicara. Mereka memerlukan Naruto untuk

menjembatani keberadaan mereka sebagai Uchiha. Dia lantas


menghirup napas dalam-dalam dan mulai memperkenalkan Shinji dan
Mahiro. "Aku tahu ini kedengaran terlalu mengejutkan, atau bahkan
mustahil,

dan

sebenarnya

ini

bukan

tempatku

untuk

menyampaikannya kepada kalian. Paman, Bibi, Itachi, mereka Shinji


dan Mahiro." Karena dua objek perhatian itu masih tekun
menundukkan kepala, Naruto terpaksa menggunakan sedikit pembeda
yang ada untuk memperkenalkan mereka. "Yang berdasi merah adalah
yang bungsu, Mahiro. Dan yang hijau adalah Shinji. Mereka kembar
dan tahun ini akan berusia delapan belas tahun." Naruto beralih
mengamati berbagai rupa ekspresi Uchiha di hadapannya. Fugaku
masih dengan wajah pasifnya. Itachi tetap tenang walaupun tidak
salah lagi ada raut penasaran di wajahnya. Mikoto mengerutkan
kening bingung, merasa belum memahami alasan kenapa kedua
pemuda itu perlu dikenalkan kepada mereka. Shizuku terang-terangan
menampakkan rasa antusiasnya dari caranya memandang Shinji dan
Mahiro bergantian dari ujung kepala hingga kaki tidak terlewat sesenti
pun. Naruto berdehem, "beberapa waktu lalu aku bertemu dengan
mereka, dan aku langsung mengetahui siapa ayah mereka. Beri salam
kepada mereka, Shinji, Mahiro." Dari belakang, Naruto mendorong
lembut punggung kedua pemuda itu untuk masuk melewati ambang
pintu. Sinar lampu di atas genkan memperjelas sosok mereka.
Masih dengan kepala tertunduk, Shinji membekap mulutnya dengan
punggung tangansatu gestur yang dia lakukan secara tidak sadar
tiap kali dia berusaha menahan rasa malunya. "Salam kenal.

AkuShinji dan iniadikku, Mahiro," katanya terbata. Rona merah


di wajahnya merambat hingga leher.
Di sampingnya, Mahiro kehilangan ketenangannya hingga batas
minimal. Dia ikut tergagap ketika memperkenalkan diri. "Salam kenal,
Ka" Telinga kirinya berkedut tanpa sadar. "Kakek, Nenek, Paman."
Ketiga Uchiha tersebut terlihat sangat bingung. Namun, berbagai
kebingungan mereka tiba-tiba lenyap ketika Shinji dan Mahiro
mengangkat pandangan dari lantai, menampakkan dua wajah yang
berakar dari satu pemilik. Keduanya terlihat terlalu mirip dengan
Uchiha bungsu dalam keluarga mereka hingga tidak lagi bisa
dikatakan kebetulan.
Naruto merasa dia tidak perlu melanjutkan ucapannya. Dia yakin dua
wajah yang bagai cerminan masing-masing itu menjadi petunjuk
paling kuat.
Uchiha Fugaku terbelalak. Uchiha Mikoto terkesiap, tangannya
membekap mulut. Uchiha Itachi tertegun sejenak, kemudian
mengulum

senyumnya.

Uchiha

Shizuku

turut

kehilangan

ketenangannya dan berseru tanpa ampun, "Paman Sasuke! Ups,


maksudku kalian mirip sekali. Bagaimana bisa?"
Shinji dan Mahiro hanya sanggup balik memberi tatapan itupertanyaan-konyol kepada Shizuku.

"Yang satu ini," Shinji menuding Mahiro dengan ibu jarinya,


"pengagum terberat pamanmu. Jadi suatu hari dia memutuskan untuk
operasi plastik"
Omongan ngawur Shinji terabaikan oleh orang-orang dewasa di sana.
"Jadi maksudmu, mereka putra Sasuke, Naruto?" tanya Itachi dengan
senyum kecil di sudut bibir.
Naruto tampak gelisah. Berat tubuhnya berkali-kali dipindahkan dari
satu kaki ke kaki lain. "Yaaah, begitulah. Atau kau ingin mengklaim
mereka sebagai putramu, Itachi? Kalian butuh tes DNA atau
semacamnya?"
"Tidak. Kemiripan mereka sudah membuktikan banyak. Bukan begitu,
Ayah?" Itachi menoleh kepada Fugaku yang masih berdiri kaku
dengan wajah stoic.
"Bagaimanabagaimana mungkin ini terjadi?" Mikoto berujar lirih
dengan suara mengambang. Rasa kaget dan ketidakpercayaan itu
masih terus membayangi logikanya.
Shinji dan Mahiro sekali lagi menundukkan kepala. Perasaan tidak
diinginkan dan kekecewaan mulai bermunculan di dalam diri mereka.
Tentu saja. Apa yang sebenarnya mereka harapkan tadi? Kakek dan
nenek yang berlari memeluk mereka dengan suka cita? Paman yang
mengucapkan selamat datang kepada mereka? Kini semua itu
kedengaran konyol sekali. Mereka berdua tahu dengan jelas kehadiran

mereka petang ini tidak akan mudah diterima. Mereka belum


mengatakan siapa ibu mereka, dan kini setelah melihat reaksi keluarga
Uchiha ini, mereka jadi lega. Setidaknya, nama ibu mereka masih
tersamarkan (dan pikiran polos Nagisa juga sepertinya tidak
menyadari kepentingan informasi yang dimilikinya mengenai seorang
dokter berambut pink).
Naruto yang menyadari perubahan aura saudara kembar itu hanya bisa
diam-diam menghela napas panjang. Dia sendiri tidak banyak
berharap keluarga Sasuke akan menerima dengan tangan terbuka.
Kedatangan Shinji dan Mahiro punya potensi besar merusak
keseimbangan Uchiha, dan bisnis mereka tentunya. Dia yakin Sasuke
tidak akan lepas tanggung jawab begitu mengetahui keberadaan kedua
putranya, tetapi itu masih nanti dulu. Mereka harus berhadapan
dengan Uchiha Fugaku, pria keras yang lebih mengenal jajaran direksi
Uchiha Company daripada putra-putranya sendiri. Reaksi macam apa
yang nanti Fugaku berikan, Naruto tidak berani menduga-duga. Dia
hanya bisa berharap semoga yang terburuk tidak terjadi.
Untungnya, Uchiha Itachi tidak sepenuhnya mewarisi tangan besi
sang ayah. Dia tetap sehangat dan seramah biasanya, meskipun
penampilan dingin yang nyaris tak tergoyahkan itu seringkali sukses
menutupinya. Dengan mudah dia mengambil alih pembicaraan.
"Bagaimana dengan makan malam? Kedengaran lezat?"
.

Suasana makan malam keluarga Uchiha tidak bisa diungkapkan


dengan kata selain elegan. Dan mewahuntuk menambah kesan
mendalam di dalamnya. Meja panjang yang mampu memuat dua
puluh peserta makan itu hanya terisi separuh. Uchiha Fugaku duduk di
kepala meja. Sisi kanannya didiami oleh wanita-wanita Uchiha:
Mikoto, Hana (istri Itachi), Shizuku, dan Nagisa. Sisi kirinya
ditempati Itachi, Naruto, Mahiro, dan Shinji. Selama makan malam,
tidak sekali pun pembicaraan dibuat. Bahkan Naruto yang dikenal
banyak bicara kali ini dengan bijak memutuskan untuk mengunci
rapat mulutnya. Suasana tegang itu tidak luput dari Shinji dan Mahiro.
Makan malam mereka yang mewah terasa hambar akibat beban
ketegangan di udara.
Begitu makanan penutup dihidangkan, dua anggota keluarga baru itu
merasa luar biasa lega. Setidaknya penghujung acara makan malam
yang lebih tegang dari jurit malam itu mulai terlihat. Panna
cottalemon di hadapan mereka mulai terasa seenak makanan surga.
Namun, kenikmatan itu tidak berlangsung lama karena sang kepala
keluarga memutuskan untuk memulai pembicaraan di suapan keempat
makanan penutup mereka. Untungnya, baik Shizuku maupun Nagisa
sudah undur diri dari lebih cepat acara makan malam keluarga.
"Jadi" Suaranya yang berat, tegas, dan tajam itu serasa merambat ke
seluruh tulang, meminta perhatian siapa pun yang ada di ruang makan
tersebut, tak terkecuali Shinji dan Mahiro (yang baru saja kompak

memutuskan untuk pura-pura tuli, tetapi tidak terlalu berhasil dengan


upayanya). "Dimana kalian tinggal selama ini?"
Dua detik berlalu di antara Shinji dan Mahiro yang berebut
melemparkan tugas untuk menjawab pertanyaan kakek mereka.
Seperti biasa, Shinji lebih banyak kalah (barangkali karena Shinji
punya lebih banyak pikiran rasional dalam dirinya). "Kami lahir dan
besar di Akita," jawab Shinji dengan nada suara serius. Kalau saja
suasana kali ini tidak sama seriusnya, Mahiro pasti sudah tertawa
mendengar suara kakaknya. "Kami pindah ke Tokyo bulan Maret
lalu."
Uchiha Fugaku memicingkan mata dan menatap Shinji tajam-tajam.
"Untuk apa kalian pindah ke sini? Melakukan ini semua?"
Rahang Shinji mengatup rapat. Belum sempat dia menangkis tuduhan
kakeknya, Mahiro sudah meledak lebih dulu. "Memangnya kami
peduli dengan Uchiha!" Bungsu Haruno itu sudah akan berdiri dari
kursinya kalau saja Shinji tidak segera menahan bahunya kuat-kuat.
Keluar lagi kebiasaan lama Mahiro. Kalau dulu lawan Shinji hanya
anak-anak bandel seumurannya yang dengan mudah diakali, kali ini
justru raksasa bisnis Uchiha Fugaku. Dia jadi bertanya-tanya kira-kira
permainan katanya bisa sukses diterapkan untuk situasi kali ini atau
tidak. "Seperti yang adikku tersayang ini katakan, kepindahan kami
tidak ada hubungannya dengan keluarga ini."

"Lalu?" tuntut Fugaku, sama sekali tidak terpengaruh oleh ledakan


emosi Mahiro.
"Pekerjaan ibu kami."
"Apa pekerjaan ibu kalian?"
Setelah yakin Mahiro mampu menguasai diri, Shinji melepaskan
cengkeraman dari bahunya. Dia kemudian berbalik sepenuhnya
menatap Fugaku di kepala meja. "Malaikat penyelamat," jawabnya
sambil tersenyum manis. Nadanya tidak lagi serius, melainkan mainmain seperti dirinya yang biasa.
"Kau perlu lebih spesifik lagi," ucap Fugaku dengan suara semakin
direndahkan, yang terdengar mirip ancaman.
Reaksi semacam itu membuat Shinji semakin ingin main-main. Dia
memandang langit-langit tinggi ruangan, seolah tengah berpikir.
"Bidadari penyelamat, kalau begitu."
Harusnya, pemuda itu tahu lebih baik daripada menyiram minyak ke
dalam api.
"Nak, jangan main-main denganku."
Sikap santai dan main-main itu kemudian menguap ketika Shinji
mencondongkan tubuh ke meja. Kepalanya dimiringkan dan
pandangannya tak terbaca ketika dia menatap kakeknya tepat di kedua
mata. "Aku tidak main-main. Ibu kami memang benar-benar
bidadari."

Reaksi Uchiha Fugaku selanjutnya sungguh tak terduga. Pria itu


membanting lap makannya ke atas meja, berdiri dengan gerakan
kasar, kemudian tanpa bicara meninggalkan ruang makan. Anggota
makan malam yang tersisa di sana larut dalam keheningan sampai
akhirnya Uchiha Itachi mengagetkan semua orang di sana dengan
kekehan ringannya.
"Baru kali ini aku melihat ada yang berani melawan Ayah terangterangan begitu," gumam Itachi dengan senyum di sudut bibir kepada
ibunya, Mikoto, yang duduk di depannya.
Wanita tersebut turut mengulum senyum sambil melirik Shinji dan
Mahiro. "Selain fisik, Ibu tidak melihat ada jejak Sasuke pada diri
mereka."
"Pasti itu datang dari ibu mereka," komentar Hana, turut
memperhatikan dua keponakannya.
Tanpa

diduga-duga,

Haruno

Shinji

melorot

di

kursinya.

"Kinchoushita," keluhnya dengan gaya baru saja mengusap peluh di


kening.
"Setidaknya kau harus mempertahankan aksi beranimu itu sampai kita
pulang nanti, Kakak," cemooh Mahiro sambil menyesap air putihnya.
"Kau baru saja mengandaskan image kita."
"Aku tidak ingin mendengarnya dari kuso otouto yang seenaknya
melemparkan semua tanggung jawab kepadaku seorang," balas Shinji

cepat. Dia benahi lagi posisi duduknya. Panna cotta yang tadi
senikmat mengulum awan kini tidak lagi mengundang selera. Sayang
sekali. Padahal jarang-jarang dia bisa makan makanan sekelas restoran
bintang tiga itu.
"Kau sendiri yang mengklaim punya diplomasi lebih unggul," cemooh
Mahiro membalas.
"Itu karena aku punya adik yang menyimpan otaknya di dengkul dan
menolak memakainya."
"Kalian berdua" keluh Naruto dengan desah napas keras.
Itachi yang duduk di sampingnya tersenyum sambil memandangi dua
keponakannya yang masih seru adu mulut, sama sekali tidak
menyadari sekelilingnya. "Apakah mereka memang seperti ini?"
"Uh?" Naruto melirik Shinji dan Mahiro lebih dulu sebelum kembali
fokus ke makanan penutupnya. "Oh, bisa dibilang begitu. Mereka
seakrab air dan minyak, begitu kata ibu mereka."
"Jadi, mereka berdebat sepanjang waktu?"
Naruto mengangguk kepada Hana. "Dan karena hal-hal paling sepele,
tapi biasanya mereka cepat dilerai dan tidak ada yang membantah.
Mereka itu anak mama, penurut sekali." Di sampingnya, si kembar itu
masih seru berdebat, dan entah bagaimana perdebatan mereka beralih
ke perkara model rambut.
"Siapa ibu mereka?" tanya Mikoto dengan suara rendah.

Naruto hanya bisa memberi senyum penuh permohonan maaf kepada


Mikoto. "Sebaiknya, Bibi tanyakan saja kepada mereka."
Uchiha Mikoto tidak lagi memaksa.
"Mereka kembar identik?" tanya Hana penasaran. "Setahuku, keluarga
Uchiha tidak punya garis keturunan kembar identik. Apa pihak ibu
mereka punya anggota keluarga kembar identik?" Setahunya, kejadian
kembar identik merupakan kasus bawaan genetis keluarga. Melihat
kemiripan Shinji dan Mahiro yang luar biasa, tentunya tidak aneh
kalau dia berpikir keduanya merupakan saudara kembar identik.
"Hmm, aku tidak tahu, tapi setahuku mereka berdua ini bukan kembar
identik."

Ketiga

Uchiha

itu

tampak

terkejut

mendengarnya.

"Sepertinya mereka punya golongan darah berbeda. Hei, Shinji," dia


sikut Shinji yang duduk di sebelahnya.
"Ya, Paman?"
"Kalian ini kembar identik?"
Shinji menampilkan ekspresi wajah yang hanya bisa dikategorikan
sebagai tanda luar biasa enggan (yang hanya berbeda setipis helai
rambut dengan jijik) dan Mahiro juga tidak jauh-jauh dari itu. "Aku?
Identik dengannya? Tidak, terima kasih."
"Tapi kalian luar biasa mirip satu sama lain." Tampaknya, Uchiha
Hana menjadi luar biasa penasaran dengan misteri kemiripan
kembaran di hadapannya ini.

"Sampaikan terima kasih kami kepada Ayah," kata si sulung dengan


suara yang tidak terkesan tulus sama sekali.
"Jangan-jangan, kalian ini klon Sasuke?" Hana terkesiap mendengar
kalimatnya sendiri.
Uchiha Itachi hanya memutar bola mata. "Kau terlalu banyak
menonton film, Hana," ujarnya memperingatkan. Hana hanya
meringis mendengarnya.
"Mungkin karena keluarga Uchiha terlalu banyak melakukan
perkawinan kerabat dekat," jawab Mahiro di sela-sela argumentasinya
dengan Shinji yang mulai memasuki babak keentahlah.
"Bisa jadi. Lagipula, rata-rata setiap Uchiha punya kemiripan satu
sama lain," kata Hana menyetujui.
"Tapi, dilihat lebih seksama mereka punya sedikit perbedaan," kata
Mikoto sambil mengamati kedua cucunya bergantian. "Shinjikun punya tulang pipi lebih tinggi dan Mahiro-kun punya tulang mata
lebih dalam."
"Oh, itu karena aku selalu tersenyum dan adikku ini terlalu sering
cemberut, Nek!" Haruno Shinji tertawa dibarengi Naruto, membuat
Mahiro hanya bisa mencoba memecahkan gelas di hadapannya dengan
kekuatan mental saja.
Keceriaan itu terus berlanjut hingga mereka memutuskan untuk
pindah ke ruang keluarga (tentunya dengan sang kepala keluarga yang

entah sedang berada dimana). Shinji dan Mahiro tampak luar biasa
nyaman berada di tengah-tengah keluarga baru mereka. Atau
barangkali mereka sedang berusaha tampak nyaman dan tidak
memikirkan hal-hal selain berdebat. Terkadang, perdebatan di antara
keduanya bisa menjadi pengalih perhatian paling ampuh. Barangkali
itu adalah salah satu alasan kenapa mereka suka sekali berdebat.
Ketika jarum jam menunjukkan angka sembilan lewat sepuluh,
keceriaan mereka tertahan sejenak.
"Tadaima. Nagisa sudah pulang?"
Seluruh anggota keluaga Uchiha dan Naruto yang ada di ruang
keluarga menoleh ke sumber suara, mendapati Uchiha Sasuke yang
sedang melonggarkan dasinya dengan wajah lelah. Menyadari tatapan
dan keheningan itu, Sasuke mendongak, dan turut terdiam.
Pandangannya bertemu dengan Shinji, kemudian berpindah ke Mahiro
yang duduk di samping kakaknya. Dia masih belum bersuara, tetapi
tidak ada seorang pun di sana yang salah menerjemahkan arti tunggal
tatapan mata Sasuke sebagai kekagetan. Kekagetan yang luar biasa
besar. Kalau saja Sasuke bukan pendiam sampai ke tulang-tulang,
barangkali kini dia sudah berteriak histeris seolah baru saja melihat
hantu.atau dua doppelgangger sekaligus. Ketiganya hanya sanggup
saling tatap di detik-detik yang terasa bagai momen paling lambat bagi
mereka.
.

Secara resmi, ini adalah pertemuan pertama mereka sebagai ayah dan
anak, sekaligus acara bermobil pertama mereka. Harusnya momen kali
ini berada pada satu gambaran sempurna sebuah keluarga (walaupun
untuk kali ini sosok ibu sedang tidak diikutkan). Tidak harus ada gelak
tawa yang sampai bisa mengguncang badan mobil, tetapi setidaknya
atmosfer mobil yang baru tahun lalu Sasuke beli itu tidak seberat
gajah obesitas yang ditindihkan di atap mobil. Entah pendinginnya
yang tidak bekerja atau memang oksigen di dalam mobil tiba-tiba
berkurang. Ketegangan di antara mereka dengan cepat beranjak dari
siaga menuju ekstrim.
Uchiha Sasuke (yang pada dasarnya memang tidak banyak bicara)
memutuskan jalan raya di balik kaca kemudinya patut diberi perhatian
lebih dari biasanya. Dia sedang berusaha mengelem matanya kuatkuat ke jalan selama hampir satu jam ini, yang kini membuat matanya
lelah luar biasa. Rasa-rasanya kerja otot matanya malam ini lebih
berat daripada mengoreksi laporan keuangan bulanan Uchiha
Company dari berbagai divisi atau pekerjaan melelahkan apa pun
yang pernah dia lakoni selama tiga puluh delapan tahun dia hidup.
Dan tiba-tiba, tumpukan perjanjian kerja dan daftar suplai barang yang
harus ditelitinya terasa lebih menggiurkan ketimbang berada di situasi
ini. Rupanya Sasuke lebih menyedihkan dari yang dia bayangkan
semula. Dari ekor mata, dia lirik putra yang baru dia ketahui
keberadaannya beberapa jam lalu.

Seperti dirinya tadi, Mahiro juga tampak sedang berusaha mencari


objek pengamatan yang lebih menarik dari Sasuke yang duduk di
sebelahnya. Untuk beberapa saat, fokusnya tertuju pada pemandangan
di luar jendela sampingnya yang tampak buram karena kecepatan
melaju mobil. Tak bertahan lama, perhatiannya terambil oleh layar
berukuran tujuh inchi yang secara konsisten menampilkan peta jalan.
Dengan cepat dia mendapati garis-garis merah dan luasan hijau itu
tidak menarik, dan dia pun kembali fokus ke jalan di depannya.
Beberapa saat kemudian, Mahiro mendesah diam-diam. Dia merasa
gatal di sekujur tubuh akibat ketegangan yang terasa hingga di ujung
lidahnya. Betapa dia ingin seseorang, atau barangkali sesuatu
memecahkan keheningan yang menulikan ini. Bahkan ponselnya yang
disetel di volume tertinggi memutuskan untuk diam. Dan saudaranya
yang duduk di kursi belakang itu malah turut bungkam padahal
biasanya dia punya ribuan hal menyebalkan yang bisa diucapkan.
Merasakan hal yang serupa dengan sang adik, Shinji semakin merosot
di kursinya. Tidak banyak hal yang bisa mengalihkan perhatiannya
dari sosok pria yang selama ini dikaguminya dan yang kali ini
berjarak tidak lebih dari satu meter darinya, dan sedang mengendarai
mobil menuju rumah mereka (dalam konteks masa lampau dan masa
kini, tentunya). Benar-benar bukan situasi yang Shinji bayangkan.
Bukan berarti dia memimpikan pertemuan secara resmi antara dia
dengan sang ayah akan berlangsung seperti drama keluarga yang patut
ditangisi, tetapi setidaknya situasinya tidak akan secanggung
sekarang. Dalam tiga jam terakhir ketiganya bertemu, hanya beberapa

patah kata yang mampu mereka pertukarkan. Kalau bukan karena


Paman Itachi dan Nenek Mikoto yang menjembatani percakapan
mereka, barangkali tidak seorang pun dari ketiganya yang akan buka
mulut. Dan bagaikan dentang jam Cinderella, keluwesan itu langsung
lenyap begitu mereka bertiga memutuskan hari sudah terlalu malam
dan inilah saatnya pulang. Begitu gerbang megah kediaman Uchiha
hilang dari pandangan, ketiganya tak ubahnya manusia bisu atau robot
yang tidak diberi atribut berbicara. Shinji merasa dia bisa kehilangan
kewarasannya saking tegangnya.
Akhirnya perjalanan panjang itu hampir sampai di penghujung. Ketiga
lelaki itu kompak menghela napas (saling diam-diam) begitu mobil
berbelok di perempatan yang tidak lagi asing dan gedung apartemen
dua belas lantai itu terlihat di ujung jalan. Satu-satunya penthouse di
atasnya terlihat hidup, terasa lebih menyegarkan dari oase di gurun
mana pun. Namun tetap saja, ada sejumput ketakutan dan kecemasan
yang

kemudian

mulai

beranak-pinak

dengan

kecepatan

membahayakan di dalam diri mereka begitu Sasuke mematikan mesin


mobil di lokasi parkir bawah tanah apartemen. Setelah satu setengah
jam merasa ingin buru-buru keluar, kini ketiganya sepakat merasa
kaki-kaki mereka baru dipakukan ke lantai mobil. Enggan bergerak.
Seolah baru keluar dari kandang harimau dan langsung dihadapkan
pada kolam hiu lapar.
Setelah keheningan yang rasanya berjam-jam lamanya, Sasuke
akhirnya buka suara. "Naiklah. Ini sudah larut sekali."

Bagai baru saja tersentak dari hipnotis kuat, Shinji dan Mahiro
serempak menoleh ke arah sang ayah. "Uh, tentu," terdengar jawaban
gamang Shinji, diikuti dengan gerakan canggungnya membuka pintu
mobil sambil menenteng tas sekolahnya.
Mahiro yang masih tinggal di dalam mobil dengan ragu mulai
mengumpulkan tasnya yang dia taruh di dekat kaki. Dia lirik ayahnya
yang sedang memegang kemudi mobil seolah tengah memegang satusatunya penyelamat hidupnya. Dia mencoba susah payah menelan
ludah sebelum mengumpulkan keberanian untuk bicara. "Aybisakah
aku memanggilmu ayah?"
Pertanyaan itu membuat Sasuke terkejut. "Tentu saja," jawabnya
seolah baru saja mendengar pertanyaan paling konyol yang pernah
diajukan kepadanya. Dia hanya tidak menyangka, satu pertanyaan
pertama yang saling mereka pertukarkan justru mengenai panggilan
apa yang sebaiknya mereka gunakan. Kedua pemuda itu sangat tidak
familier dengan keberadaan seorang ayah seberapa besar pun hasrat
mereka untuk memilikinya. Dan Sasuke paham itu. Dia sendiri tidak
bisa mengklaim dirinya dekat dengan sosok sang ayah meskipun
seluruh hidupnya dihabiskan untuk mengenal Fugaku.
Wajah Mahiro memerah. "Terima kasih."
Tanpa diduga-duga, Sasuke tersenyum. "Itu bukan sesuatu yang perlu
mendapat ucapan terima kasihmu, Mahiro."

Pelan tetapi pasti, kehangatan yang baru (dan anehnya terasa begitu
akrab dan penuh kerinduan) mulai menyusup ke dalam dada Mahiro.
Dia suka mendengar namanya disebut dengan suara yang dalam itu.
Ada segumpal kebanggaan dalam dirinya. "Well, ini kali pertama aku
memanggil seseorang sebagai ayah. Aku tidak ingin"
"menyinggungku?" Sasuke memotong. "Tidak. Aku senang karena
tahu aku tetap menjadi sosok ayah pertama bagi kalian. Walaupun ini
sedikit terlambat." Ada setitik penyesalan yang tak sengaja terdengar
dari suaranya yang tenang, tetapi dengan baik berusaha dia cegah
untuk tidak memengaruhi ekspresi wajahnya.
"Apa Apa Ayah marah kepada Ibu?"
"Karena apa?"
Mahiro tampak ragu. Dia lirik Shinji yang sedang bersandar miring di
sisi mobil, kedua tangan dimasukkan saku celana, dan senyum tak
simetrisnya terpasang. Che. Kakaknya satu itu tampak luar biasa puas
melihatnya dari luar sana. "Karenaini semua. Soal keberadaan
kami."
Sasuke kembali memfokuskan diri ke arah depan. Keningnya
berkerut, seolah baru menyadari esensi pertanyaan putra bungsunya.
Jemarinya mengetuk-ngetuk roda kemudi dan untuk sejenak dia
tersedot ke dunianya sendiri. Ketika dia kembali menyadari
sekelilingnya, Sasuke menyunggingkan senyumnya yang tipis.
"Banyak yang harus kubicarakan dengan ibu kalian."

Untuk sesaat, Mahiro tampak luar biasa cemas. "Kumohon jangan


membenci Ibu. Ibu tidak pernah bermaksud buruk"
"Ayah tahu." Sasuke mengetuk kening putranya dengan dua jari,
seperti apa yang biasanya kakaknya sendiri lakukan kepadanya, dan
seketika ucapan melantur yang sudah siap di lidah Mahiro hilang
seketika. "Tidak usah khawatir. Ayo, kita temui ibu kalian."
Begitu keduanya keluar dari mobil, Shinji menyambut mereka dengan
senyumnya yang khas. Ada binar ganjil di matanya yang membuat
orang lain akan berpikir pemuda itu punya sesuatu yang dia
sembunyikanseolah dia tahu rahasia terbesar mereka. Ketiganya
kemudian berjalan menuju lift, yang untungnya tidak memakan waktu
lama dan dalam lima menit, mereka sudah sampai di lantai teratas
gedung

apartemen.

Untuk mencapai penthouse,

mereka harus

memakai tangga yang ada di ujung koridor lantai.


"Untuk sekalinya, aku senang bisa melihat adikku yang manis ini
berhenti memasang wajah cemberut," katanya dengan nada bermainmain. "Ups," imbuhnya cepat begitu Mahiro menusuknya dengan
tatapan tajam.
Berjalan di belakang ayahnya, Mahiro menggeram. "Kerja bagus, kuso
aniki, kulihat kau sudah tidak meringkuk ketakutan di sudut mobil."
Shinji menoleh dari atas bahunya dengan wajah menyeringai sambil
menekan bel pintu penthouse tanpa benar-benar menyadarinya. Gigi-

giginya yang rapi ditampakkan, seolah berusaha menakuti adiknya.


"Menghina diri sendiri itu bukan kebiasaan baik, aho otouto."
Dengan cepat Mahiro kehilangan ketenangannya. Dia sudah akan
melompat maju untuk mendorong kakaknya, tetapi Sasuke tiba-tiba
memosisikan diri di antara keduanya. Tangan kanannya terentang
untuk menahan bahu Mahiro dari depan. Tangan kirinya menahan
kepala Shinji yang beberapa senti lebih rendah darinya. Dia kemudian
menghela napas. "Kalian tidak bisa berhenti bertengkar?" gerutunya
lelah, tiba-tiba merasa usianya secara mistis mengganda.
"Shinji! Mahiro! Kenapa kalian baru pulang! Ini sudah hampir
tengah" Pintu rumah terbuka dengan sentakan keras, diiringi
teriakan sang penghuni rumah yang kemudian memelan hingga
menjadi gumaman. Sakura komat-kamit di depan pintu tanpa ada
suara yang mampu dia perdengarkan. Kekagetan tampak jelas dari
matanya yang memandang tiga tamu tengah malamnya tanpa
berkedip.
"Oh, Ibu!" Shinji buru-buru berbalik dan sejurus kemudian memeluk
sang ibu.
"Shinji?" Sepasang mata hijaunya yang tampak dari atas bahu
Shinji bergerak-gerak cepat merekam sosok Uchiha Sasuke yang
berdiri di hadapannya. Mahiro satu langkah di belakangnya.
Setelah Shinji melepaskan pelukannya dan Sakura sedikit demi sedikit
berhasil menguasai diri, barulah Sasuke bicara. "Sakura."

Dengan gerakan kaku dan canggung, wanita tersebut mundur


selangkah dari ambang pintu. "Masuklah," ucapnya mempersilahkan
dengan suara pelan.
Dengan sikap yang sama kakunya dengan Sakura, Sasuke mengikuti
Shinji masuk dan Mahiro di belakangnya segera menutup pintu dan
menguncinya rapat. Memasuki penthouse dua lantai yang tetap
tampak familier walaupun telah dia tinggalkan itu, Sasuke tidak bisa
menghentikan diri untuk tidak melihat sekeliling. Selain tambahan
beberapa perabot, vas bunga dan beberapa tanaman indoor, dan tak
luput juga sentuhan tangan wanita, secara keseluruhan tempat itu
masih sama seperti yang dia tinggalkan. Perabot aslinya tidak
dipindah

atau

diganti,

bahkan

tirai

marun

yang

langsung

menyambutnya dari pintu masuk itu masih terpasang. Sasuke jadi


bertanya-tanya apakah Sakura terlalu sibuk hingga tidak punya waktu
memperhatikan detail rumah barunya, ataukah
"Anak-anak suka setiap sudutnya, jadi kubiarkan seperti aslinya," kata
Sakura seolah baru saja membaca pikiran Sasuke.
Merasa bingung harus merespon seperti apa, pria itu akhirnya hanya
memberikan anggukan kecil. Dia berdiri menumpu pada satu kaki di
ambang genkan, merasa bingung harus apa dan bagaimana. Kedua
putranya sendiri sudah menghilang ke lantai atas menuju kamar
mereka masing-masing.

Sakura yang juga sama bingungnya bergerak-gerak gelisah di dekat


tangga. Beruntung baginya dia tidak sedang mengenakan pakaian
tidurnya yang lebih terbuka walaupun malam kali ini terasa lebih
gerah dari malam-malam sebelumnya. "Uh Kausudah makan
malam?" Sebenarnya pertanyaannya tadi sedikit konyol, mengingat
sekarang sudah hampir tengah malam. Namun, kalau membicarakan
relasi

Uchiha

Sasuke

dengan

makan

rutin,

Sakura

perlu

melakukan crosscheck berkala. Dan benar saja, pria itu menggeleng.


"Aku punya sedikit sisa makan malam tadi. Kau keberatan?"
Lagi-lagi pria itu hanya bisa menggeleng, kemudian mengikuti Sakura
menuju ruang makan yang merangkap dapur. Dia mengambil duduk di
salah satu kursi, dan lagi-lagi menyadari tidak satu pun yang berubah
dari perabot ruangan tersebut. Bahkan satu set meja makan dengan
empat kursi yang dia buat sendiri dari balok-balok kayu cherry itu
masih ada. Menyadarinya membuat Sasuke merasakan satu perasaan
hangat dalam dada. Pandangannya kemudian jatuh ke punggung
Sakura yang sedang berkutat di kompor, tengah mengaduk sesuatu di
pancinya. Dalam lima belas menit, semangkuk nasi hangat, sup ayam,
dan salad sayur (yang paling banyak warnai merah oleh tomat) tersaji
di hadapannya. Aroma hangat sup membuat air liurnya seolah diperas
banyak-banyak.
"Itadakimasu." Tanpa menunggu lama, Sasuke meraih sumpit dan
mulai menyantap makan malamnya yang luar biasa terlambat. Sakura
mengambil duduk di depannya dan hanya diam mengamati Sasuke

makan. Lagi-lagi ada perasaan hangat yang berkembang cepat dalam


dirinya. Asing, tetapi merasakannya membuat Sasuke merindu. Dia
baru menyadari seberapa lapar dirinya begitu nasinya dengan cepat
tersisa separuh dan Sakura memutuskan berkomentar.
"Kalau bukan karena aku tahu kau sedang kelaparan, aku pasti sudah
tersentuh melihat makanmu yang lahap sekali."
Sasuke mengangkat pandangan dari mangkuk supnya dan tatapannya
bingung ketika menghadap Sakura. "Makanannya enak."
Sakura mengulas senyum. Pipinya merona tipis. "Tidak usah memuji
begitu. Aku cukup sadar diri. Kemampuan memasakku hanya cukup
untuk membuat makanan tidak hangus dan tidak setawar air hujan."
Dengan

mulut

penuh,

Sasuke

memiringkan

kepala.

Begitu

makanannya tertelan, dia bertanya, "kenapa kau berpikir begitu?"


Sakura menumpukan dagunya ke tangan, kemudian memutar bola
mata. "Kau sendiri tahu aku tidak pintar memasak."
"Hn," katanya. "Tapi aku tetap paling suka masakanmu."
Mendengarnya, Haruno Sakura yang malang hanya bisa tersipu luar
biasa merah. Bagaimana bisa pria di depannya ini memuji dengan
wajah impasif begitu, Sakura tidak juga mengerti sampai sekarang.
Sakura sudah hendak buka mulut, tetapi niatnya urung ketika
mendengar suara dari arah tangga.
"Lihat siapa yang sedang malu-malu, little brother."

Sakura menoleh ke belakang dengan mata menyipit. Walaupun


pipinya masih merona, tatapannya tetap segarang biasanya. Shinji dan
Mahiro yang berurutan turun, dengan mengenakan kaus tanpa lengan
dan celana pendek, hanya menanggapinya dengan seringai.
"Ibu jangan galak-galak begitu," goda Shinji.
Mengikuti gerakan kedua putranya yang berjalan mendekat, Sakura
semakin menyipitkan mata penuh ancaman. "Itu harus, karena kalian
bandel sekali."
"Ouch." Mahiro memutar mata dengan wajahnya yang kosong emosi
sambil membuka pintu lemari es.
"Lihat, Ayah, masa putramu yang manis-manis ini dikata bandel?"
Shinji sendiri mengambil duduk di sebelah ayahnya yang masih
dengan tenang melanjutkan makan malamnya.
"Dengarkan saja apa kata ibu kalian."
Sakura tersenyum puas. Shinji memberengut. Mahiro menggerutu
sambil meminum susunya.
"Kenapa kalian belum tidur? Ini sudah lewat tengah malam."
Setelah mencuci gelasnya dan meletakannya di lemari gelas, Mahiro
kemudian menempati satu-satunya kursi yang tersisa. Dia melihat
sekeliling dan merasa puas tanpa sebab. Kini meja makan mereka
terisi penuh. Seperti yang sudah seharusnya. "Besok sudah tidak ada
kelas, hanya festival olah raga dan upacara penutupan."

"Bukannya seharusnya kalian justru istirahat? Kalian juga ikut, 'kan?"


Sambil bersandar di punggung kursi, Shinji mendekap tangan di dada.
Pandangannya tidak ditujukan kemana pun kecuali langit-langit
rumah. "Aku tidak suka berkeringat."
"Gunakan kesempatan itu untuk mendekati seorang gadis. Bukannya
kau suka tebar pesona?" tuntut sang ibu, yang kemudian mendapat
dengusan sebagai tanggapan.
Haruno Shinji sama sekali tidak setuju dengan ide itu. Bagaimana
mungkin seorang gadis bisa tertarik kepada seorang pemuda yang
kotor dan bau keringat (bukannya keringat Shinji bau, tentu saja tidak,
tetapi dia enggan merusak tatanan rambutnya), dia hanya tidak
percaya. Semua gadis suka lawan jenis yang berpenampilan rapi,
wangi, dan terdidik. Menghabiskan tenaga untuk menjadi kotor dan
bau sama sekali tidak perlu dilakukan. "Memangnya Ibu suka laki-laki
yang kotor dan bau keringat?" tantang setengah menuduh si sulung
dengan alis terangkat.
Sakura jadi kelabakan. "Tidak juga"
"Nah. Jadi buat apa aku ikut."
Haruno Sakura merengut di kursinya. "Kau sudah terdaftar 'kan? Jadi
kau harus ikut."
"Itu bisa diatur ulang," katanya menyepelekan sembari mengibaskan
tangan ke udara.

Merasa argumennya tidak akan digubris oleh si sulung, Sakura beralih


kepada putra bungsunya. "Dan kau, Mahiro? Cabang apa yang kau
ikuti?"
Mahiro terdiam sejenak sebelum menjawab. "Relay campuran dan
sepak bola."
"Kalian berdua ada di grup yang sama?" tanya Sasuke setelah
meletakkan mangkuk supnya yang kosong. Dia kemudian mendorong
mangkuk itu ke arah Sakura yang dengan mahir mengartikannya
sebagai permintaan tambah.
Mahiro menggeleng sambil mengawasi ibunya yang sedang berkutat
dengan panci sup. "Aku merah, dia hijau."
"Sesuai kelas kalian?" Setelah mengucapkan terima kasih kecil,
Sasuke kembali mengamati putranya. Karena dulunya dia juga
bersekolah di Toujou, dia jadi mengerti beberapa festival tahunan dan
kebiasaan di sana.
Kali ini Shinji yang menjawab dengan anggukan. "Ada regu biru juga.
Tahun ini festival besar, jadi lebih ramai. Cabang kegiatannya banyak
sekali," keluhnya.
Sasuke mengangguk membenarkan. "Cabang olah raga dicampur
dengan murid chuugaku juga, bukan?"
"Hmm. Ayah juga selalu ikut?" tanya Shinji.

Ayah dadakan dari dua putra itu mengangkat bahu sambil menyesap
kuah supnya. "Ayah sudah sekolah di sana dari shougaku."
"Ayah sudah pernah ikut semua cabang olah raga?" tanya Mahiro
antusias.
Sambil memandang langit-langit, Sasuke memutar otak. "Kecuali
pemandu sorak."
"Ayah kalian pemalu," imbuh Sakura, mengabaikan tatapan tajam
Sasuke yang ditujukan kepadanya.
"Nah, anikiyarou, dengarkan itu. Berbahagialah karena besok kau jadi
maskot regu hijau."
Shinji bersungut-sungut.
"Jadi, Shinji di regu pemandu sorak?" tanya Sakura memastikan.
Sepasang mata hijaunya berbinar oleh sinar yang tak salah lagi adalah
kenakalan.
"Dan basket," imbuh Mahiro dengan seringai. "Besok akan
kuambilkan foto yang banyak untukmu, Kakak."
"Tidak perlu!"
"Ha'i ha'i. Kalau begitu Ibu akan menonton besok."
"Ibu tidak ada shift?"
"Shift malam, tenang saja."

"Pergilah tidur. Besok Ayah yang mengantar kalian."


Kali ini, tanpa berpikir dua kali maupun jeda barang sedetik saja,
kedua saudara kembar itu bangkit dari kursi masing-masing dan
berjalan ke arah tangga menuju kamar.
"Ha-ha, Ibu senang sekali kalian jadi penurut."
Shinji dan Mahiro hanya tertawa tanpa memberikan sanggahan atau
elakan atau godaan mereka yang biasa.
Sakura mendengus sambil mengawasi kedua putranya menghilang ke
lantai dua, tidak benar-benar merasa kesal. "Oh, bawakan baju ganti
untuk Ayah kalian."
Setelah makan malam yang terlambat itu selesai dan Sasuke sudah
mengganti setelan baju kerjanya dengan baju rumahan, keduanya
kemudian saling terdiam di meja makan.
"Aku tidak pernah melihat mereka sesenang ini," kata Sakura tibatiba. Pandangan matanya tampak seperti sedang menerawang di
kejauhan.
"Hn."
"Apakah ucapan terima kasih cukup?"
"Sekarang aku tahu dari mana sifat Mahiro itu."
Sakura hanya bisa memandang pria di hadapannya dengan tatapan
bingung. "Maaf?"

"Tidak, bukan apa-apa." Dia menggelengkan kepala, menutup topik


pembicaraan mengenai kedua putra mereka. "Kita perlu bicara."
Di kursinya, Haruno Sakura merosot. Bahunya turun, tetapi tidak
sedikit pun ada keinginan untuk membelokkan arah permbicaraan.
Kedua putranya sudah maju terlebih dahulu, dan kini gilirannya.
Sakura menarik napas panjang, kemudian tersenyum. "Tentu. Aku
berhutang banyak penjelasan kepadamu."
.
Ketika pagi itu Uchiha Sasuke terbangun dari tidur tanpa mimpinya,
dia

menyadari

satu

hal.

Walaupun

matanya

masih

terasa

selengket super glue (yang menandakan tidurnya kurang dari tiga


jam), anehnya dia merasa luar biasa puas.
Tidak. Puas sama sekali belum bisa mulai mendeskripsikan apa yang
dia rasakan pagi ini.
Rasanya dia telah menyelesaikan satu puzzle paling sulit yang selalu
terbayang-bayang dalam benaknya dan rasa puas itu lebih besar dari
berbagai perasaan positif yang pernah dia rasakan selama delapan
belas tahun terakhir. Rasa puasnya bercampur kental dengan
bahagiayang belum dia ketahui dari mana asalnya.
Mungkin kopi pagi bisa membantunya berpikir lebih jernih.
Dengan mata setengah terbuka dan langkah setengah terhuyung,
Sasuke keluar dari kamarnya dan berjalan menuju dapur. Dia tidak

perlu melihat karena dia sudah sangat mengenal rumahnya. Belum


lagi aroma kopi yang menguar kuat dari arah dapur. Otot-otot kakinya
serasa dibangunkan sehingga langkahnya dua kali lebih cepat,
bermanuver bahkan tanpa perlu bimbingan penglihatannya.
Di atas meja makan sudah ada secangkir kopi hitam yang beraroma
luar biasa sedap. Tanpa berpikir, dia ambil cangkir tersebut dan
menyesap cairan hitam itu pelan-pelan. Kafeinnya tak membutuhkan
waktu lama untuk bereaksi. Otaknya mulai terbangun dari fase
tidurnya yang masih belum terpuaskan. Dia juga mulai menyadari
kondisi sekeliling. Samar-samar terdengar suara dengungan mesin
yang sepertinya adalah mesin cuci, tetapi Sasuke yakin dia tidak
punya mesin cuci di rumahnya. Dia tidak punya waktu untuk
menggunakannya, jadi selama ini dia selalu membawa cuciannya
ke laundry.
"Oh, kau sudah bangun?"
Suara wanita di pagi hari secara otomatis membuat katup
tenggorokannya terbuka. Sasuke langsung tersedak. Beruntung dia
tidak menumpahkan kopi paginya yang nikmat.
"Eh!" Kemudian terdengar suara langkah kaki terburu dan sesaat
kemudian tengkuknya dipijat hingga napasnya tidak lagi sakit. "Kau
baik-baik saja?"

Sasuke mengangguk sambil sesekali terbatuk. Begitu batuknya reda,


barulah dia menyadari siapa yang sedang berdiri di sampingnya.
"Sakura?"
"Ada apa?"
Uchiha Sasuke tertegun, kemudian berkedip berkali-kali. Apakah
matanya sedang mempermainkan dirinya? Ataukah dia melupakan
sesuatu akibat kurang tidur? Barangkali satu sesapan kopi bisa benarbenar membangunkannya.
"Sebentar lagi kemeja dan celana kerjamu kering. Untuk sementara,
pakai itu dulu ya?"
Sasuke menunduk memandang kaus yang dia kenakan. Kaus merah
dengan gambar tengkorak itu jelas bukan miliknya. Dia juga tidak
pernah punya celana kuning bermotif macan tutul begitu. Melihatnya
membuat

Sasuke

mengerutkan

kening.

Sejak

kapan sense berpakaiannya jadi seaneh ini?


Menyadari arti pandangan kaget Sasuke, Sakura mau tak mau hanya
bisa tertawa. "Itu baju Shinji. Terkadang dia memang punya selera
aneh."
Shinji? Shinji? Shinji dan Mahiro? Ah! Tiba-tiba semuanya cocok.
"Harusnya aku protes dari semalam," katanya begitu dia mampu
menguasai diri.

Sakura tersenyum mendengarnya, kemudian berbalik dan kembali


menekuni penggorengan yang sempat dia tinggalkan dalam keadaan
mati itu. "Kau ingin nasi atau roti saja?"
"Nasi."
Sambil memecah telur ke mangkuk porselin dan membumbuinya,
Sakura kembali tersenyum. Kebiasaannya tidak pernah berubah.
Sasuke selalu memilih nasi untuk sarapannya (itu kalau dia sempat
sarapan). Nasi dan sup. Dia suka makanannya sederhana dan
sayurannya dibiarkan mentah sebagai salad.
"Mana anak-anak?"
"Sedang berebut siapa yang harus memakai sepatu mana. Mereka
tidak suka pakaian matching satu sama lain."
Sasuke menggumam panjang, tidak benar-benar memperhatikan
karena fokusnya sudah tertuju pada koran pagi yang ada di meja.
Dengan kopi hitam dan koran, rasanya tidak ada yang bisa
mengalihkan perhatiannya. Kecuali, yah kecuali teriakan kesakitan
yang tiba-tiba terdengar sampai dapur. Tak salah lagi, itu suara Shinji.
Sakura juga tampaknya setuju karena detik berikutnya dia sudah
berteriak.
"Mahiro! Jangan pukul kakakmu!" teriak Sakura sambil memukul
penggorengannya keras-keras dengan spatulanya.

"Kenapa Ibu menuduhku? Bisa saja itu aku yang berteriak!" sahut
Mahiro dengan kekesalan yang jelas terselip dalam nada suaranya.
Sambil membalik bacon gorengnya, Sakura memutar bola mata.
"Ayah kalian saja bisa membedakan siapa yang tadi berteriak!"
Kemudian terdengar suara kekehan, diikuti dengan pintu yang
dibanting.
Begitu pertengkaran dua putra kembarnya berhenti, Sakura menghela
napas. "Tidak heran aku jadi cepat tua."
Tanpa mengalihkan fokus mata dari koran yang dia baca, sebelah alis
Sasuke terangkat. "Masa? Kau masih cantik," katanya dengan nada
luar biasa datar, membuat kalimatnya barusan tidak lebih antusias dari
komentar cuaca bagus.
"Eee? Apa aku baru saja mendengar Ayah menggoda Ibu?" Tiba-tiba
kepala Shinji muncul dari tangga. Senyumnya lima jari dan matanya
berbinar tiga puluh watt.
"Cepat pakai baju dan turun!" bentak sang ibu dengan wajah
memerah. Dengan tenaga sedikit berlebih, dia taruh piring
berisi bacon goreng di atas meja makan.
"Ibu cantik sekali kalau malu-malu begitu," godanya dan sejurus
kemudian menghilang, tetapi tidak sebelum mendengar komentar
setuju sang ayah yang masih fokus dengan korannya.

Keluarga kecil itu kemudian memulai sarapan bersama pertama


mereka. Sasuke sudah rapi dengan kemeja dan celananya yang baru
dicuci. Kedua putranya juga sudah memakai seragam PE dan setelan
jaket mereka yang berbeda warna sesuai kelas jurusan studi. Di dada
mereka tersemat pin dengan tiga bintang yang menunjukkan status
mereka sebagai murid paling senior di Toujou. Sakura sendiri masih
memakai baju rumahannya dan sedang mengambilkan nasi untuk
kedua putranya.
"Itadakimasu!"
Sarapan mereka tergolong sederhana, seperti sarapan-sarapan yang
Sakura

siapkan

biasanya.

Nasi

hangat,

sup

miso,

telur

kukus, bacon goreng, dan potongan tomat segar untuk Sasuke.


Melihat potongan buah segar tersebut di meja, Shinji dan Mahiro
kompak menaikkan alis. Sasuke yang melihatnya membalas dengan
gestur serupa.
"Mereka tidak terlalu suka tomat," kata Sakura menyela.
Sasuke memandang kedua putranya dengan tatapan ganjil untuk
sejenak,

sebelum

menyumpit

tomatnya

dan

terang-terangan

memamerkan kenikmatan tomat segar.


"Tidak, terima kasih," kata Shinji seraya menaikkan bingkai
kacamatanya yang turun.
"Silakan dinikmati," tolak Mahiro.

Uchiha Sasuke menggerutu. "Mereka memang anak-anakmu, Sakura."


Satu-satunya wanita di sana tertawa. "Tenang saja, mereka itu sangat
pilih-pilih soal makanan. Sama sepertimu. Dan oh!" Dia berdecak.
"Juga kebiasaan menghindari setiap topik yang tidak disukai. Jelas itu
bukan dariku."
Ketiga pria di sekeliling Sakura tiba-tiba kena serangan buta dan tuli
dadakan.
"Nah, 'kan. Apa kubilang."
"Hn!"
.
"Tidak, tidak, tidak. Kalian pikir Ibu akan membiarkan kalian berada
lebih dekat dari satu meter? Jangan bercanda. Salah satu harus duduk
di depan. Ibu tidak ingin mobil Ayah kalian harus dibawa ke kantor
polisi sebagai barang buktiatau tempat kejadian perkara karena
pertengkaran konyol kalian yang bahkan tidak layak diperdengarkan."
Haruno Sakura, dengan rok cokelat selutut dan kemeja merah jambu,
berdiri berkacak pinggang memandangi kedua putranya yang sudah
mengambil posisi di kedua sisi berlainan pintu belakang penumpang
mobil Sasuke.
Shinji memberi ibunya tatapan menelisik menggoda. "Memangnya Ibu
tidak ingin duduk di sebelah Ayah?" Shinji dengan ketajamannya
tentu tidak melewatkan perubahan di antara kedua orang tuanya yang

baru-baru ini reuni. Perubahannya memang tidak kentara (dan Shinji


hanya bisa membacanya dari gerak-gerik sang ibu karena berusaha
membaca Uchiha Sasuke sama sulitnya dengan membaca buku
melalui tembokalias butuh kemampuan supernatural, yang dalam
kasus ini Shinji tidak punya), tetapi jelas sesuatu telah terjadi tadi
malam. Hanya itu yang bisa menjelaskan kenapa pembawaan sang ibu
lebih bersemangat. Dan apa pun yang terjadi tampaknya berpihak
kepadanya dan Mahiro.
"Tidak, kalau itu bisa mencegah pertumpahan darah."
"Ouch. Kata-kata Ibu melukaiku." Shinji mendekap tangan di depan
dada dan memasang ekspresi kesakitan.
Sang ibu mendengus. "Sudah, cepat."
Melihat kedua putranya tidak ada yang bergerak dari posisi masingmasing, Sasuke menghela napas. Dia lirik jam tangan yang melingkari
pergelangan tangan kirinya dan mendesah lagi. "Janken. Yang
menang duduk bersama Ibu di belakang."
Dengan Shinji yang menang janken, keluarga kecil itu kemudian
mulai berkendara menuju Toujou Gakuen. Lalu lintas yang mulai
ramai karena semakin dekat dengan liburan musim panas membuat
perjalanan dua puluh menit molor menjadi tiga puluh menit. Dan
dengan Shinji dan Mahiro sebagai penumpang, kondisi tenang
tentunya tidak bisa diharapkan. Bahkan dengan topik sepele seperti
nomor ponsel siapa yang harus diganti karena rupanya kedua orang

tua mereka menggunakan jasa komunikasi yang berbeda. Terkadang


perdebatan mereka berbelok dari untung-rugi beberapa jenis jasa
penyedia komunikasi ke olok-olokan sampai pengalaman cinta
pertama Mahiro di kelas dua chuugaku.
"Kau dulu yang pertama kali minta 'kan? Karena, siapa namanya?
Kotori?"
Mahiro melirik tajam ke belakang, ke arah kakaknya yang duduk
diagonal darinya. "Memangnya kenapa?" bentaknya.
"Che! Sayang sekali dia lebih suka aku daripada kau," Shinji
mendengus sambil melipat tangan di dada.
"Itu karena kepercayaan dirimu terlalu besar! Kau mendekatinya
karena mengira dia menyukaimu!"
"Apa yang salah dengan kepercayaan diriku? Itu semua karena egomu
terlalu besar! Kau kira Kotori bisa suka kepadamu hanya dengan
jentikan jari? Oh, adikku yang manis."
Mahiro memutar tubuh dan merentangkan tangannya panjang-panjang
untuk meraih kakaknya. Wajahnya memerah karena malu dan marah.
Dari sampingnya, sang ayah mengulurkan tangan dan menarik kerah
jaket Mahiro hingga pemuda itu kembali terduduk di kursinya.
"Kita sedang menuju sekolah, Mahiro. Atau kau mau diantar ke kantor
polisi?"

Mahiro masih terus menggeram kepada kakaknya, tetapi menahan diri


untuk tetap duduk di kursinya.
Di belakangnya, sang ibu mulai jengkel. Dia jewer telinga Shinji
keras-keras hingga wajahnya memerah dan dia memekik ampun. "Ibu
'kan sudah bilang jangan terus-terusan menggoda adikmu! Kau ini
pintar sekali membuat adikmu marah."
"Itaaaii! Ampun, Ibu!"
Di kursi depan, Mahiro menyeringai. "Zama miro!"
"Dan kau juga!" Sakura membentak kepada Mahiro setelah
melepaskan jewerannya di telinga Shinji yang malang. "Ini sudah
lebih dari tiga puluh kali kakakmu menggoda dengan topik ini, tapi
kau tetap saja terus termakan ucapannya!"
Mahiro mengerut di kursinya sedangkan Shinji berusaha tertawa
sambil menahan sakit di telinganya. Sasuke hanya menghela napas
diam-diam mendengarkan pertengkaran ibu dan anak yang begitu
kompak menggoda satu sama lain. Dia baru buka suara begitu
memarkirkan mobil di parkir utama kompleks akademi. Ternyata hak
istimewa Uchiha juga merambah hingga Toujou Gakuen. Sakura tidak
akan heran kalau semua Uchiha disekolahkan di Toujou.
"Naruto dan Itachi juga akan datang. Kalian pergilah dulu," katanya
menginformasikan seraya melepas sabuk pengamannya.
"Oh, kami juga ingin bertemu."

Sasuke mengangguk, kemudian turun dari mobil bersama-sama.


Sosok Uchiha Sasuke yang banyak diperbincangkan itu tentunya
secara cepat menarik perhatian banyak orang, terlebih hari ini Toujou
Gakuen dipadati para wali murid yang turut menyaksikan festival olah
raga. Belum lagi kehadiran dua pemuda yang tak akan salah dikenali
sebagai putranya dan seorang wanita yang berdiri tak pernah jauh dari
mereka. Bisik-bisik dan beberapa kali jepretan foto memang tak lagi
terhindarkan.
"Jangan bertengkar lagi!" hardik Sakura kepada kedua putranya
memperingatkan sambil sesekali melirik kanan-kiri ke arah belasan
pasang mata yang terang-terangan mengawasi mereka.
Shinji dan Mahiro kompak ber'hn' panjang. Jika mereka menyadari
tatapan dari sekitar mereka, keduanya tidak memperlihatkan gelagat
sadar atau jengah. Lagipula, Shinji suka menjadi pusat perhatian dan
Mahiro selalu bermuka batu untuk menunjukkan reaksi.
"Kalian terlalu sering bertengkar," kata Sasuke.
"Dengarkan ayah kalian."
"Memangnya Ayah tidak pernah bertengkar dengan Paman Itachi?"
tanya Shinji yang mengambil tempat di sebelah kanan Sasuke.
Sasuke menggeleng, tetapi Sakura lah yang menyumbang jawaban.
"Mereka saudara paling akur, tidak seperti kalian." Sambil menyikut
Mahiro main-main, Sakura tersenyum.

"Paman kalian kakak yang penyayang," imbuh Sasuke.


"Dengarkan itu, Kakak," Mahiro yang berjalan di depan mereka
bersama sang ibu menoleh ke belakang. Matanya mencemooh. "Kakak
yang penyayang."
"Tentu saja aku penyayang!" elak Shinji, merasa sedang ditusuk dari
tiga arah sekaligus. "Tapi dengan adik sepertimu? Hah!"
Mahiro memberengut. "Apa maksudnya itu?"
"Maksudnya? Coba dulu jadi adik manis yang penurut," Shinji balas
memberengut.
"Bermimpilah, Kakak."
"Harusnya aku yang bilang begitu, Adik."
Untungnya adu mulut mereka tak berlangsung lama karena panggilan
Naruto yang meneriakkan nama mereka dari seberang lapangan.
Sasuke hanya bisa menggeleng tak percaya menghadapi tingkah laku
sahabatnya yang tidak juga sirna dimakan usia.
"Wow! Senang melihat kalian di sini. Aku sudah rindu!"
"Kemarin kita bertemu, Paman."
"Oh, benarkah?" Pria yang kini memakai kaus kembar berwarna
oranye dengan seorang wanita dan bocah lelaki itu tertawa renyah,
membuat mata birunya terlihat semakin jernih. "Sakura-chan! Kau
pasti sudah kangen istriku, 'kan?"

Sakura berpaling dari kegiatannya mengamati kaus nyentrik Naruto


dengan hidung berkerut ke arah wanita pendiam yang sedang ditunjuk
Naruto. "Hinata!" pekiknya luar biasa senang. Tanpa memedulikan
keadaan sekelilingnya, Sakura melompat untuk memeluk Hinata yang
tampak kewalahan membalas semangatnya.
"Ibu, pelan-pelan. Bibi Hinata bisa tercekik," ujar Mahiro seraya
membantu Hinata melepaskan diri dari pelukan maut Sakura yang
kemudian diam-diam memberinya senyum terima kasih.
"Oh? Enak saja!"
Di sampingnya, Naruto mendesah. "Kenapa waktu kita bertemu aku
tidak dapat pelukan seperti itu, Sakura-chan," keluhnya dengan nada
yang hanya bisa disebut rengekan.
Uchiha Sasuke mendengus. "Kenapa harus memelukmu? Memelukku
saja tidak."
"Oh, Ibu dengar? Ayah minta dipeluk," koar Shinji bagai beo.
Sakura yang merona langsung menusuk rusuk Sasuke dengan sikunya,
membuat pria itu mengerang dan cepat-cepat berkelit. "Ayo cepat!
Upacara pembukaannya sudah akan dimulai!" hardik dokter tersebut
dengan wajah merah terang.
.
Uzumaki Naruto memandang satu bingkai foto yang baru dia pasang
di dinding dengan senyum luar biasa lebar. Ada kilau kepuasan dari

caranya memandang pada objek tak hidup tersebut. Batinnya pun turut
bersorak dan mengamini.
Di depannya, sebuah foto ukuran 4R yang diamankan dalam bingkai
kayu putih sederhana semakin menambah kehangatan penthouse dua
lantai tersebut. Fotonya sederhana, diambil oleh dirinya sendiri yang
amatir memegang kamera di acara terakhir festival olahraga Toujou
sebelum upacara penutupan. Foto empat orang yang menempati posisi
khusus dalam hidup seorang Naruto.
Dalam foto itu, Shinji tengah tertawa sambil memegang piala bergilir
yang menandakan kemenangan tim hijau sebagai juara umum festival
olahraga tahunan. Dia sedang memeluk ibunya, Sakura yang sedang
menahan senyum, dari belakang dan dagunya bertumpu di puncak
kepala Sakura. Di sampingnya, Mahiro tengah memasang wajah kusut
(tak salah lagi pasti sedang jengkel karena godaan Shinji yang tiada
henti) dan Sasuke sedang mengacak-acak rambutnya.
Naruto tidak pernah melihat foto keluarga paling sempurna seperti
foto yang dia ambil ini.
Di foto itu juga, beberapa orang yang ikut tertangkap kamera tanpa
sengaja sedang memperlihatkan ketertarikan khusus kepada keluarga
dengan dua putra itu. Sebagian penasaran, heran, sebagian ada yang
ikut tersenyum ketika memandang keluarga dalam fokus foto tersebut.
Naruto tidak bisa menyalahkan mereka. Rasa penasaran dan
keheranan itu bukan lagi hal baru, mengingat privasi Uchiha Sasuke

bahkan lebih rahasia dari seorang presiden. Dan tiba-tiba muncul di


depan umum bersama seorang wanita dan dua putra tentunya bukan
hal biasa, lebih-lebih kalau mengingat ada pemberitaan mengenai
pertunangannya dengan wanita lain, yang tak lain adalah sepupu
jauhnya. Mengingatnya membuat Naruto kembali mendesah panjang.
Namun tetap saja, sosok mereka adalah penggambaran keluarga
sempurna. Tidak ada seorang pun yang akan salah melihat
kebahagiaan yang terpancar dari masing-masing anggota keluarganya.
Bahkan Uchiha Sasuke yang sulit dibaca pun tampak bahagia.
"Sedang apa, Paman?" tanya Mahiro tiba-tiba ketika dia sedang
menuruni tangga dan melihat Naruto tengah berdiri di dekat dinding
ruang makan.
Sejenak Naruto menoleh ke samping sebelum kembali menekuni foto
dalam pigura tersebut. "Kau suka foto ini, Mahiro?"
Mahiro yang tadi baru turun dari kamarnya segera mendekat kepada
Naruto yang sedang berdiri di dekat dinding kosong di ruang makan.
Matanya mengikuti arah pandangan Naruto, dan sekejab kemudian
dadanya menghangat. "Hn."
"Apa menurutmu aku bisa menggantung lebih banyak foto seperti ini
di sini?"
Tanpa melepaskan perhatiannya dari foto keluarga tersebut, Mahiro
tersenyum sangsi. "Ibu enggan percaya."

"Kenapa begitu?"
Seolah dia baru saja mendengar pertanyaan paling konyol, Mahiro
mengangkat bahu, masih dengan senyum sangsinya yang tadi. "Paman
juga yang paling tahu Ibu selalu menomorduakan dirinya sendiri. Itu
juga yang membuatnya menyembunyikan kami dari Ayah." Kedua
tangannya yang tersembunyi di dalam saku celana pendeknya terkepal
rapat. "Dan Ibu masih percaya kalau Ayah akan lebih bahagia tanpa
Ibu."
Memahami benar apa yang Mahiro katakan dan juga setuju
dengannya, Naruto kembali fokus ke foto di depannya. "Ibumu tidak
akan bilang begitu kalau saja dia tahu seperti apa jadinya Sasuke dulu
ketika dia pergi." Naruto merasakan punggungnya merinding kala
mengingat memori di masa-masa awal kepergian Sakura. Dia ingat
betul seperti apa jadinya sahabatnya itu. Sasuke kembali menutup diri,
bahkan lebih dari yang sudah-sudah. Dia mendedikasikan setiap
waktunya untuk menyelesaikan dua cabang studi yang diambilnya
bersamaan, arsitektur dan manajemen bisnis. Dan setiap harinya
serasa hanyalah sebuah ulangan dari hari kemarin. Dia bagaikan robot
hidup yang dengan patuh mengikuti arus kehidupan tanpa sedikit pun
keengganan. "Apa ibumu khawatir mengenai Karin?"
"Mungkin itu salah satunya. Mungkin juga mengenai keluarga Ayah."
Naruto mendengus keras-keras mendengarnya. "Nonsense." Dia
melipat tangan di depan dada. "Nenekmu bahkan lebih menyayangi

Sakura ketimbang menantunya. Nenek kalian juga sangat terpukul


ketika ibu kalian tiba-tiba hilang ditelan bumi begitu. Dan kakek
kalian, meskipun bukan pria paling hangat yang kalian ketahui, dia
tidak akan membuang darah dagingnya sendiri. Kalian sudah diterima
sebagai Uchiha begitu kalian menginjakkan kaki di rumah mereka."
"Jadi, seharusnya tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan?"
Kali ini, Naruto meresponnya dengan tawa renyah lebih dulu.
"Kecuali kekeraskepalaan ibumu, Mahiro. Semoga beruntung untuk
itu."
Mahiro

memberengut

dalam-dalam,

tahu

benar

bahwa

kekeraskepalaan ibunya bisa memecahkan batu gunung sekalipun.


Jika Sakura sudah merasa benar dan mantap dengan keputusannya,
akan ada pekerjaan nyaris mustahil yang harus Mahiro selesaikan.
Pemuda itu tidak begitu menantikannya.
"Tapi semua orang juga tahu Sasuke adalah kelemahannya. Bicaralah
dengan ayahmu."
Percakapan mereka terhenti ketika mendengar pintu depan terbuka
dan terdengar suara Kai yang sedang bersemangat dan Shinji yang
sesekali menyahuti.
"Kurasa Paman Sai tidak akan keberatan."
"Benarkah?" Bahkan dari suaranya saja, orang bisa mengetahui Kai
sedang berseri-seri.

Shinji yang masuk sambil membawa plastik putih mengangguk


mantap. "Tentu. Kau pelukis berbakat. Paman Sai tidak punya alasan
menolak."
"Oh, kalian sudah selesai berbelanja?" tegur Naruto, kemudian
mengambil alih plastik belanja yang dibawa putranya. "Mana Ibu dan
Bibi?"
"Ada di belakang kami."
Dan benar saja, tak lama kemudian pintu rumah kembali terbuka, kali
ini menampakkan Hinata dan Sakura yang sedang semangat
mengobrol (Sakura bicara tanpa henti dan Hinata yang sesekali
menanggapi). Di belakang mereka kemudian muncul Sasuke yang
sedang membawa plastik belanja paling besar.
"Kalian baru merampok supermarket?"
Sasuke

memberengut

menghempaskan

(dalam

gaya

bawaannya

"Separuhnya ramenmu, dobe,"

katanya

pria

ke
masam.

dewasa)
meja
"Sakura

sambil
makan.
ngotot

menambah persediaan ramen instannya untukmu."


Kontras dengan bujangan Uchiha tersebut, Naruto berseri-seri. "Oh!
Aku selalu tahu kau mencintaiku, teme!" Upayanya memberi Sasuke
pelukan besar gagal karena pria tersebut sudah berkelit lebih dulu.
Yang benar saja, Sasuke semakin mahir menghindari perwujudan
kasih sayangnya.

Sakura yang tadi langsung masuk kamarnya kini kembali bergabung


di ruang makan, kali ini sudah mengenakan setelan kemeja dan rok
selutut beige, dan di tangannya sudah ada tas kerja dan jas putihnya.
"Kau sudah mau berangkat, Sakura-chan?"
"Uun," wanita tersebut menggeleng. "Aku masih sempat makan
malam, tenang saja." Dia kemudian bergegas mengeluarkan peralatan
makan tambahan dari kabinet di atas bak cuci piring dan
membawanya ke ruang tengah. Dengan jumlah peserta makan malam
yang dua kali lipat lebih banyak dari biasanya, makan di ruang makan
tentunya bukan pilihan. Hinata kemudian bergerak cepat membantu
dengan membuka bungkusan makanan yang mereka beli.
"Ibu memesankan ayam madu untukku?" tanya Mahiro yang
kemudian ditanggapi dengan anggukan cepat.
"Ada di plastik yang tadi dibawa Shinji."
Sambil memandangi kakaknya dengan tatapan waswas, Mahiro segera
membongkar kotak yang ada di dalam plastik tersebut. "Ibu, ini ayam
lada hitam," keluhnya (dengan nada suara sangat dekat hingga bisa
dikategorikan rengekan, tetapi Uchiha tidak merengek).
Dengan bingung, Sakura ikut mengecek isi kotak karton tersebut.
Ketika mendapati satu porsi utuh masakan ayam lada hitam dan
bukannya ayam madu favorit Mahiro, Sakura hanya bisa berdecak dan
segera memandang putranya yang jadi tersangka. "Shinji, Ibu ingat

betul Mahiro minta dipesankan ayam madu dan Ibu tahu kau tidak
lupa."
Shinji yang datang sambil membawa gelas-gelas hanya menyeringai.
"Porsinya cukup untuk dua orang, dan Mahiro tidak suka makan
makanan dengan menu yang sama berturut, pesanannya harus habis
dalam sekali makan. Dan karena yang suka ayam madu hanya adikku
tersayang ini, kuputuskan untuk memesan favoritku saja. Kita bisa
makan berdua, Adik," katanya sembari mengedipkan sebelah mata.
Sama sekali tidak termakan kata-kata manis Shinji, Mahiro
memicingkan mata. "Kau juga tahu aku tidak suka ayam lada hitam."
"Tapi aku suka."
"Dan kenapa aku harus mengalah demi seleramu?"
"Karena aku kakaknya," Shinji menaikkan alis tinggi-tinggi.
Dan sebelum Mahiro bereaksi terhadap ulah kakaknya, ayahnya lebih
dulu menengahi. Dia tepuk-tepuk kepala putranya yang sedang
bermuka masam. "Jangan bertengkar." Suaranya memang dibuat
setenang biasanya, tetapi baik Mahiro maupun Shinji tidak
melewatkan peringatan keras di sana. "Lain kali kita makan di luar,
kau bisa memesan apa pun yang kau mau. Untuk kakakmu juga,"
katanya kepada Mahiro.
Mahiro tampak puas mendengarnya dan Shinji ganti bermuka masam
tetapi memutuskan untuk tidak kembali menyulut.

Naruto yang diam memperhatikan interaksi ayah dan anak yang baru
saling kenal beberapa hari itu hanya bisa tersenyum sepuluh jari. "Kau
sudah pintar jadi ayah, teme!" serunya luar biasa senang.
Sasuke, dengan sifat kalemnya, hanya membalas dengan sepasang alis
yang terangkat tinggi. "Kurasa karena pengalaman dengan Shizuku,
Nagisa, dan Kai," jawabnya singkat. "Menurutmu aku sudah
menangani mereka dengan baik?" tanyanya yang ditujukan kepada
Sakura.
Si wanita dalam tanya kemudian mengangguk. "Mereka lebih mudah
diatur, terima kasih kepadamu."
"Mereka anak papa rupanya, Sakura-chan!"
Sakura memberengut dan memilih untuk mulai menyantap makan
malamnya. Diam-diam dia mendesah. Bayi-bayinya kini memang bayi
papa. Bukannya Sakura tidak suka atau apa, toh kedua putranya patut
bermanja-manja kepada sang ayah, tetapi Sakura jadi tidak bisa
mengenyahkan perasaan bersalah yang beberapa hari ini berusaha dia
tekan dan dia abaikan dengan cara menyimpannya di sudut jauh
batinnya. Melihat interaksi ayah dan anak paling natural seperti itu
membuat Sakura kembali berpikir apakah keputusannya dulu benarbenar tepat. Dia memang memikirkan kebahagiaan dan masa depan
Sasuke, tetapi apakah dia memang tahu apa yang bisa membuat
Sasuke bahagia? Sakura telah terang-terangan merebut tahun-tahun
Sasuke sebagai seorang ayah, dan pria itu hingga detik ini tidak

pernah mempertanyakannya. Mereka beruntung karena kini mereka


bisa bersama, tetapi bagaimana jika mereka tidak panjang umur atau
justru tidak ditakdirkan bertemu? Rasa-rasanya Sakura tidak bisa
menanggung beban rasa bersalah jika dia tidak bisa mempertemukan
tiga pria paling berarti dalam kehidupannya itu.
Rasa bersalah dan ketakutan itu terus membayang, terasa hingga
lidahnya, dan membuat sup kepiting favoritnya terasa hambar.
Wajahnya pasti tampak konyol karena Shinji kemudian memisahkan
diri dari percakapan dengan sang ayah dan adik untuk menanyai
kondisinya.
"Ibu baik-baik saja?" tanyanya halus.
Putranya satu itu memang yang paling pintar membaca orang.
Perubahan air muka sedikit saja tidak akan lolos dengan mudah dari
mata elangnya. Terkadang, di situasi semacam ini, Sakura
mengeluhkan perseptifitas tajamnya. "Tentu, memangnya kenapa?"
Shinji memandanginya dengan jenis tatapan tak percaya. "Ibu
memasang wajah konyol tadi," katanya.
"Terima kasih karena sudah mengatakan Ibu punya wajah konyol,"
dengus Sakura sambil kembali menggigit daging kepitingnya dengan
tenaga berlebihan.
Shinji mendesah keras. "Bukan begitu. Maksudku jenis wajah yang
Ibu buat setiap kali ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ibu."

"Oh ya? Yang seperti apa?" tantangnya, tidak memedulikan Sasuke


dan

Mahiro

yang

sudah

berhenti

berbincang

hanya

untuk

memperhatikan perdebatannya dengan Shinji.


"Seperti sedang memikirkan sesuatu yang benar-benar menjijikkan,
tapi sesekali mendesah panjang. Ibu sedang menyesal? Atau merasa
bersalah?"
Oke, entah Shinji yang terlalu mahir mengartikan ekspresinya ataukah
dua hal itu memang tertulis besar-besar di dahinya, Sakura tidak mau
memikirkannya dulu. Perkara yang perlu diperhatikannya adalah
bagaimana keluar dari belit Shinji. "Shift malam bukan favorit Ibu."
"Ha-ha," kata kedua putranya kompak, pertanda tak seorang pun dari
mereka yang memercayai dalih sang ibu.
Tanpa mengindahkan berbagai jenis tatapan yang diajukan kepadanya,
Sakura buru-buru menghabiskan makan malamnya yang anehnya
terasa semakin hambar. Sayang sekali. Dia kecewa luar biasa. Jarangjarang dia punya kesempatan makan sup favoritnya. Malam ini justru
rasanya hambar. Begitu mangkuknya tandas, dia buru-buru bangkit.
"Aku harus pergi."
Anehnya, Sasuke juga memutuskan untuk bangkit dari sofa tempatnya
duduk. Makan malamnya juga sudah bersih. "Biar kuantar."
"Uh?"

"Awww," Shinji dan Naruto serempak menggoda, tetapi kemudian


cepat terhenti begitu disuguhi tatapan tajam Sasuke.
Merasa tidak punya alasan kuat untuk menolak (dan kalaupun dia
punya, Sasuke tidak akan mundur begitu saja), dengan setengah hati
dia mengangguk, kemudian mengikuti Sasuke keluar dari rumah
setelah mengucapkan selamat malam kepada tamu-tamu dan kedua
putranya.
"Jaga sikap kalian!"
.
Perjalanan dua puluh menit menuju rumah sakit Toujou berlangsung
hening, setidaknya di paruh menit pertama. Tidak terlalu mengagetkan
bagi Sakura yang terbiasa ditemani kebisingan kedua putranya yang
begitu mendedikasikan diri untuk saling mengolok di setiap
kesempatan, justru sedikit melegakan. Keheningan yang dipancarkan
pria di sampingnya itu menenangkan sekaligus membuatnya waswas.
Walaupun Sakura mengerti sebagian besar jalan pikiran Sasuke, dulu
tetaplah dulu. Hampir dua dekade tanpa sosoknya di sekitarnya
membuat Sakura tidak lagi yakin dengan apa yang diyakininya. Dia
tidak lagi bisa mengklaim mengenal baik pria yang tidak seharipun
lepas dari pikirannya.
Dengan pemikiran itu juga, sekali lagi Sakura mempertanyakan
dirinya.

Juga

kredibilitasnya

sebagai

orang

yang

telah

mendeklarasikan diri selalu mengutamakan kepentingan Uchiha

Sasuke lebih dulu dari kepentingan orang lain. Pemikirannya itu


membuatnya bertahan pada keputusannya untuk pergi, belasan tahun
silam, tetapi itu hanya mengantarkannya hingga saat ini. Dan kini,
dihadapkan kepada sosok pria matang, dewasa, mandiri, dan sukses
yang sangat bukan Uchiha Sasuke delapan belas tahun lalu membuat
Sakura merasa awas, lemah, dan goyah.
Bagaimana jika sebenarnya dia telah salah memilih?
Memilih antara pergi dan tinggal dulunya terentang sejauh langitbumi, berada di ujung dunia utara-selatan, sejelas hitam-putih. Namun
kini, ada warna kelabu di antaranya, ada jembatan panjang yang
menghubungkan dua ujung utara-selatan, dan dia menyadari bahkan
langit dan bumi telah bertemu di satu titik jauh.
Keyakinannya goyah, mengizinkan perasaan bernama kecemasan dan
kebimbangan tumbuh di dalam dirinya.
Sakura bermaksud menyimpan dalam-dalam keresahannya, tetapi dia
tahu botol penyimpanannya akan habis pada waktunya. Dan jika itu
sampai terjadi di fase penyangkalannya, Tuhan tahu Sakura tidak akan
bertahan. Lagipula, bukankah ibu walinya sendiri yang selalu
mendorongnya untuk maju lebih dulu menghadapi tantangan?
Perlawanan terkadang bentuk tersolid dari sebuah pertahanan.
Oleh karena itu, di paruh kedua keheningan yang perlahan tetapi pasti
telah berubah menjadi ketegangan yang kental, Sakura memutuskan
untuk memecahnya.

"Sasuke-kun," panggilnya tanpa bisa menghentikan kebiasaan


lamanya memanggil Sasuke dengan sebutan kun di setiap kali
mereka berdua saja.
Sasuke yang menyadari ada nada ganjil dalam suara Sakura menoleh
sekilas sebelum kembali memperhatikan jalan, cukup untuk
menunjukkan kepada Sakura dia telah mendapatkan perhatiannya.
"Apakah ini semua tidak mengganggumu?"
"Apa maksudmu?" tanyanya balik karena tidak berhasil menangkap
maksud pertanyaan Sakura.
"Dengan kehadiran kami yang tiba-tiba. Aku yakin sejauh ini hidupmu
baik-baik saja dan kami datang bagai badai di musim semi."
Uchiha Sasuke mengerutkan kening, tatapan masih terfokus ke jalan
di depannya yang cukup ramai. "Memangnya kenapa kalau terlalu
tiba-tiba?"
"Aku yakin aku telah merusak banyak hal dalam hidupmu," jawab
Sakura dengan suara lemah. Tangannya meremas jas dokternya kuatkuat, tak salah lagi akan meninggalkan bekas kusut yang kentara.
"Aku takjub dengan keyakinanmu pada hal-hal yang bahkan aku
sendiri tidak ketahui," tanggap Sasuke dengan nada yang dibiarkan
datar. Dia memutar kemudi dan mobil pun berbelok ke kanan.
Sakura menanggapinya dengan bahu terangkat. "Aku lebih banyak
memperhatikan hal-hal lain daripada kau, Sasuke-kun."

"Itu memang tidak kuragukan." Dengan gerakan halus, Sasuke


menginjak rem mobil sehingga mobil yang dia kendarai memelan
perlahan hingga akhirnya berhenti di bahu jalan. "Kau selalu
melakukan apa yang kau pikir baik untukku. Sejak awal kau selalu
memperlakukanku seperti anak kecil, membuat keputusan untukku
bahkan sebelum aku mengetahui apa yang harus diputuskan. Aku
tidak pernah meragukanmu karena aku lebih dulu sudah meragukan
diriku sendiri, tapi sejak awal kau tidak pernah bertanya apa yang
sebenarnya kuinginkan. Atau kau memang sudah bertanya dan hanya
aku di sini yang tidak ingat pernah menjawabnya, Sakura?" Sasuke
memandanginya dalam-dalam dengan tatapan yang sulit diartikan, dan
Sakura hanya bisa terdiam sambil berjuang mengumpulkan napas. Dia
terlihat seolah sedang menunggu jawaban Sakura, tetapi setelah lima
menit penuh Sakura hanya bisa megap-megap tanpa daya, pria itu
akhirnya menyerah. Dia menghela napas dan menyandarkan diri di
kursi, masih dengan tatapan yang lekat tertuju kepada wanita yang
menghuni kursi penumpangnya. "Kita sudah sampai." Ada nada final
dalam suara.
Menyadari Sasuke telah menutup pembicaraan mereka dari caranya
bicara dan berekspresi, mau tak mau Sakura harus turun dari mobil
dan memulai pekerjaannya malam ini. Begitu dia menapakkan kaki
keluar dari mobil Sasuke, dia tahu ada kekecewaan besar yang
keduanya sama-sama rasakan, tetapi sama-sama enggan mereka
bicarakan.

.
Ketika

subuh

itu

setelah shift malam

Haruno
yang

Sakura

kembali

melelahkan,

Uzumaki

ke

rumahnya

Naruto

dan

keluarganya sudah tidak ada. Barangkali mereka pamit pulang setelah


makan malam, Sakura tidak tahu. Yang kemudian dia sadari adalah
televisi di ruang tengah sedang menyala (atau barangkali masih
menyala semalaman). Dia mengerutkan kening sembari memasuki
dapurnya dan mengambil gelas dari rak, kemudian menuangkan jus
jeruk dingin untuk dirinya sendiri. Keletihannya tidak menghilang
begitu saja dengan segelas jus segar, tetapi paling tidak dia bisa
menjaga matanya tetap terbuka untuk beberapa jam ke depan.
Lagipula, kurang tidur bukan satu hal baru baginya. Sejak masih
menempuh pendidikan dokter pun dia harus tetap terjaga hingga dini
hari untuk mengejar ketertinggalannya di kelas karena fokusnya
kadang pecah ketika putra-putranya rewel. Dan lagi, dia sudah sempat
tidur tiga jam sehabis shift malamnya berakhir jam satu dini hari dan
tugas jaganya digantikan dokter lain yang mengambil shift empat.
Setelah menyuci gelas dan menempatkannya kembali di tempat
semula, Sakura bermaksud menuju kamarnya untuk membersihkan
diri, tetapi melihat tiga sosok yang tidak asing lagi tengah tertidur
pulas dalam posisi yang sebetulnya kurang nyaman, Sakura terhenti di
ambang ruang tengah. Shinji tertidur di sofa panjang dalam posisi
tengkurap. Kepalanya miring dan Sakura yakin begitu bangun nanti
dia

akan

mengeluhkan

otot

lehernya

yang

nyeri.

Sasuke

menempati loveseat dan tidur pulas. Kakinya yang lebih panjang dari
panjang loveseat menggantung bebas. Melihatnya tidur seperti itu
kembali mengingatkan Sakura ke satu malam tertentu yang dia
habiskan hanya untuk memandangi Sasuke tidur (wajahnya sertamerta memerah ketika memori dari malam di delapan belas tahun
silam kembali menguasainya). Buru-buru dia menyibukkan pikiran
dengan mencari sosok putra bungsunya, yang rupanya berpikir lantai
adalah tempat yang tepat untuk tidur. Putranya satu itu tidur terlentang
dengan tangan dan kaki terentang lebar. Di tangannya, remote televisi
digenggam lemah.
Betapa dia memimpikan momen-momen seperti ini, apalagi jika
Shinji dan Mahiro masih belum sebesar ini. Dengan begitu, kedua
putranya tidak akan kehilangan momen ayah-anak yang tidak
tergantikan. Sayangnya sekarang sudah sedikit terlambat untuk
mewujudkannya. Shinji dan Mahiro sudah sebesar ayah mereka,
dengan ego dan rasa malu yang juga sama besarnya. Dan Sakura
kembali mempertanyakan dirinya.
Setelah sekali lagi mengedarkan pandangan ke arah tiga pria yang
paling dicintainya, Sakura segera bergegas masuk ke kamarnya dan
mengambil tiga selimut tipis. Musim panas memang tetap saja musim
panas, tetapi bukan berarti mereka tidak akan terserang flu karena
tidur di luar seperti itu. Setelah menyelimuti ketiganya satu per satu
dan mematikan televisi, Sakura kembali ke kamarnya untuk
mengambil pakaian rumahan dan kemudian mandi cepat. Dia

berusaha untuk tidak membuat banyak suara. Walaupun baik Sasuke


maupun kedua putranya tipe yang tidur lelap, dia tetap tidak ingin
menyebabkan kegaduhan. Pasti ketiganya menghabiskan waktu
hingga tengah malam (atau lebih) untuk mengobrol. Untuk kali ini,
Sakura sama sekali tidak keberatan.
Setelah merasa lebih segar dan bersih, Sakura kemudian menyibukkan
diri di dapur. Kegiatan rumahan seperti memasak dan bersih-bersih
adalah satu hal yang selalu dia nikmati. Dengan begitu dia
merasabisa memerankan posisinya sebagai ibu dengan lebih baik.
Sakura sadar dia tidak bisa memberi cinta yang lengkap untuk kedua
putranya, dan dia tahu betul betapa Shinji dan Mahiro kesepian
karenanya (walaupun tentunya neraka harus membeku dan babi bisa
terbang lebih dulu supaya mereka mengakuinya, yang artinya sama
halnya dengan mustahil). Sakura berusaha menyisakan waktunya
sebagai seorang ibu dengan pekerjaan yang menuntut waktunya 24/7.
Di waktu-waktu senggang seperti itu, Sakura selalu memasakkan
makanan

untuk

kedua

putranya,

terkadang

sedikit

kejutan

dengancookies atau pie. (Dan sekali lagi, Sakura hanya bisa membuat
yang paling sederhana dari yang sederhana. Bakat belajarnya hanya
terbatas untuk urusan tubuh manusia dan pengobatannya, sayangnya.)
Dan pagi ini, dengan semangat yang barangkali menyaingi matahari
musim panas, Sakura merasa satu pie kayu manis akan cukup sedap
untuk membangunkan ketiga pangeran tidurnya.

Satu

setengah

jam

kemudian,

setelah

Sakura

mengeluarkan

loyang pienya dari oven dan sarapan sederhana sudah siap di meja
makan, suara pertama yang terdengar adalah gerutuan Shinji.
"Kurasa aku sudah mematahkan leherku" erangnya sambil malasmalasan bangun. Matanya masih terpejam rapat ketika dia membaui
udara. "Kayu manis"
Dari ambang dapur, Sakura hanya bisa tertawa. "Lehermu belum
patah, Shinji, dan Ibu baru membuat pie kayu manis untukmu. Ayo
bangun."
Bagaikan mantra, Shinji langsung membuka mata dan memandangi
sang ibu dengan mata lapar. "Mana punyaku?"
"Segera setelah kau cuci muka dan sikat gigi, ah, bangunkan juga
Ayah dan Mahiro," katanya, kemudian mulai menyibukkan diri
dengan kopi dan jusnya.
Dengan setengah hati Shinji bangkit dari sofa dan menendang kaki
adiknya yang terjulur dekat tempatnya. "Ayo bangun, Adik." Setelah
puas dengan reaksi Mahiro, dia kemudian berpindah untuk
membangunkan ayahnya, kali ini cukup dengan tepukan pelan di
tangan. "Ayah" panggilnya dan Sasuke langsung terbangun.
"Bau apa ini?" tanyanya dengan suara parau khas orang bangun tidur.
Dengan seringai, Shinji menjawab. "Pie kayu manis."

Seolah mendapat mantra yang sama seperti Shinji tadi, Sasuke


bergegas bangun dan berniat melangkah menuju dapur. Belum lagi dia
mengeksekusi niat luhurnya, Shinji sudah keburu menarik bajunya
dari belakang.
"Ibu bilang cuci muka dan sikat gigi dulu, Ayah."
Sambil mendengus, Sasuke bermanuver menuju kamar mandi yang
sudah dengan segenap hati dia hafal letaknya. Kamar mandinya dia
rancang luas dengan area mandi dan wastafel dipisahkan oleh lemari
penyimpanan. Di gelas plastik yang ada di dekat cermin, sudah ada
empat sikat gigi berbeda warnayang dengan seketika membuat
dadanya menghangat. Sudah berapa lama dia ingin melihat
pemandangan pagi seperti ini? Terbangun oleh aroma nikmat sarapan,
kamar mandi yang selalu basah karena dipakai bergantian, dan sikat
gigi yang tidak lagi sendiri. Dulu rasanya konyol ketika dia tinggal
di penthouse ini. Seorang bujangan tinggal di penthouse yang lebih
layak untuk satu keluarga kecil terdengar ganjil karena waktu dia
memulai pembangunan penthouse ini, dia sama sekali tidak berpikiran
mengenai keluarganya sendiri. Dia hanya membangun rumah impian
yang dia rancang dulu sekali, ketika dia masih di bangku kuliah.
Model rumahnya ini merupakan gaya arsitektur pertamanya, dan tidak
ada duanya dari puluhan rancangan rumah dan bangunan yang sudah
dia buat sampai detik ini. Inspirasinya datang di malam yang amat
menentukan, delapan belas tahun silam.

Begitu dia keluar dari kamar mandi, satu pemandangan yang telah dia
sadari menjadi satu hal paling natural dalam hidupnya adalah
menyaksikan kedua putranya berdebat. Kali ini karena berebut siapa
yang bisa memakai kamar mandi lebih dulu. Sambil menghela napas,
Sasuke menggerutu. "Pakai bersama saja."
Walaupun masih dengan wajah saling bermusuhan, keduanya
kemudian masuk bersama sambil sesekali bertukar olokan. Sasuke
hanya bisa menghela napas. Diam-diam dia jadi bertanya-tanya
apakah mereka benar-benar saudara satu darah dan bukannya dua
orang yang telah bersumpah akan terus bermusuhan. Dan benar saja,
pergulatan pagi mereka tidak berhenti begitu saja setelah perebutan
kamar mandi terselesaikan. Tema olok-olokan mereka justru
bercabang ke topik yang berbeda sama sekali dari permasalahan
kamar mandi. Sasuke yang merasa tidak tahu harus bagaimana
memutuskan untuk diam dan menikmati kopi paginya, satu isyarat
bahwa dia menyerahkan kuasa sepenuhnya kepada Sakura.
"Kapan sih kalian tidak bertengkar?" Sakura berkacak pinggang
dengan ekspresi tegas di wajahnya. "Ibu mulai berpikir kalian tidak
layak mendapat pie."
Mahiro terkesiap. Shinji langsung melancarkan senyum memesonanya
tanpa cacat. "Apa aku sudah memuji Ibu cantik pagi ini?"
Ekspresi keras di wajah Sakura perlahan mengendur. "Tidak perlu. Ibu
lebih senang kalau kalian berhenti bertengkar saja."

Shinji memberengut begitu menyadari upayanya mengalihkan


perhatian sang ibu gagal. Dengan wajah sepahit pemuda patah hati,
Shinji mengambil duduk di sebelah ayahnya dan menyesap jus jeruk
yang

telah

disediakan

untuknya.

Rasa

masam

itu

segera

membangkitkan selera makannya.


"Kalian ada rencana apa hari ini?" tanya Sakura membuka percakapan
di sela-sela sarapan pagi mereka.
"Tidak ada," jawab Mahiro.
"Dan kau, Shinji?"
Shinji mengunyah nasinya lamat-lamat sembari berpikir. Kencan?
Kalau

tidak

mengajaknya

salah
keluar,

sih

ada

tetapi

beberapa mail gadis-gadis

sepertinya

pagi

ini

dia

yang
sedang

tidak mooddikelilingi para gadis. "Tidak ada juga."


Jawaban Mahiro sedikit banyak sudah bisa diprediksi, tetapi Shinji?
Sakura menolak percaya begitu saja. "Tidak ada kencan?" tanyanya
bernada curiga.
Dengan sifat flamboyannya seperti biasa, dengan tangkas Shinji
mengelak. "Ibu jangan cemburu begitu. Shinji tetap paling mencintai
Ibu."
Mendesah putus asa, Sakura kembali menikmati sarapannya.
Kemudian dia tiba-tiba teringat sesuatu. "Atau barangkali ke rumah
ayah kalian?"

Baik Shinji dan Mahiro sama-sama mendongak. "Ibu, ini rumah


Ayah."
"Ibu sudah membelinya, jadi secara hukum ini rumah Ibu!"
sanggahnya seketika dengan nada defensif.
Mahiro memutar bola mata. "Maksud Ibu, kediaman Uchiha?"
Sakura membenarkan dengan anggukan kecil. "Kalian ingin ke sana?
Tidak apa-apa, Sasuke?"
"Tak masalah," jawabnya singkat.
"Kami bermasalah." Dua suara berbeda nada itu menyahut bersama,
membuat Sakura dan Sasuke memandang mereka bingung sekaligus
takjub. "Kami tidak punya alasan ke sana."
"Kalian punya kakek, nenek, paman, bibi, dan dua sepupu. Ibu
rasa itu alasan yang cukup untuk berkunjung."
"Kami sudah pernah ke sana. Dan kalau Ibu ingin kami ke sana lagi,
Ibu juga harus ikut."
Air muka Sakura serta-merta mendung. "Sepertinya Ibu benar. Kalian
memang tidak pantas mendapat pie."
"AAH!"
.

Bagaimana ini semua bermula, Haruno Sakura tidak lagi yakin. Hari
ini dia memang tidak perlu pergi ke rumah sakit kecuali jika ada
keadaan darurat, tetapi bukan berarti dia jadi rela-rela saja diboyong
ke Setagaya. Sakura merasa dikhianati oleh kedua putranya.
"Ayolah, Bu, jangan merajuk terus," rayu Shinji tak kenal henti. "Kita
sudah terlanjur sampai."
"Bagaimana kalau Ibu punya pasien gawat darurat?"
Kali ini Mahiro memutuskan untuk membantu kakaknya. Hanya satu
kali ini saja. "Ini jatah libur bulanan Ibu, jadi kemungkinan Ibu
dipanggil untuk menangani pasien gawat darurat hanya tujuh persen.
Ibu cuma ingin menghindar."
"Kenapa kalian jadi kompak sekali?!" pekiknya frustasi menghadapi
kedua putranya sekaligus.
Shinji menaikkan alis tinggi. "Ibu sendiri yang selalu komplain kalau
kami bertengkar."
"Dan hari ini kami memutuskan untuk berdamai dan menjadi saudara
sesungguhnya," imbuh Mahiro sambil mengangguk-angguk.
"Mulai besok saja!"
"Ibu mulai tidak masuk akal."
"Itu ada di daftar paling bawah dari apa yang perlu Ibu pedulikan."

"Kalian ingin terus berdiri di sini seharian?" Sasuke menyela dengan


desah napas tak sabar. Kenapa Sakura merasa perlu dia bertindak tak
masuk akal sekarang, Sasuke tidak paham. Tidak ada yang perlu
wanita itu khawatirkan sebenarnya. Sasuke sudah menyelesaikan
pembicaraannya dengan Fugaku dan Mikoto, dan yang mereka
inginkan hanyalah obrolan singkat dengan wanita dalam topik hangat
ini. Mereka sudah lama tidak bertemu Sakura. "Bawa Ibu kalian
masuk."
Kedua putranya langsung tangkas menjalankan perintahnya. Mahiro
segera merenggut tas yang dibawa Sakura sedangkan Shinji dengan
keahlian yang Sasuke tidak ketahui darimana asalnya membelitkan
tangan ke perut sang ibu dari belakang, sukses memerangkap wanita
kecil itu ke dalam pelukannya. Sakura yang sekali lagi merasa
dikhianati hanya bisa pasrah. Dia tidak tahu sama sekali mengenai
persetujuan apa yang telah sampai pada tahap sepakat antara ayah dan
anak yang terjadi semalam itu.
Berbeda dengan kedatangan pertama mereka, musim panas ini
sepertinya turut membawa keceriaan ke dalam rumah Uchiha. Bahkan
dari ambang pintunya, Shinji dan Mahiro sudah bisa mendengar gegap
gempita dan semangat musim panas, yang tak salah lagi berasal dari
Uchiha paling muda. Seruan Nagisa semakin bertambah ketika
melihat pamannya datang, diikuti dengan dokter cantik yang sudah
merawatnya dan dua pemuda yang baru-baru ini dia ketahui sebagai
sepupu.

"Paman! DokBibi!" Uchiha Nagisa, kalau saja mungkin, semakin


bertambah berseri-seri ketika dia melompat ke pelukan Sakura.
"Apa kabar, Nagisa-chan?" tanyanya riang. Tangannya meremas
lengan Nagisa. "Hmm, bagus. Berat badanmu sudah bertambah,"
komentarnya.
Nagisa tersenyum lebar. "Aku makan dengan rajin!" klaimnya, yang
kemudian mendapat tanggapan berupa tawa kecil dari sang kakak.
Uchiha Shizuku berdiri beberapa langkah di belakang adiknya
mengenakan gaun musim panas rumahan. Dengan sopan, dia
membungkuk rendah di hadapan kedua paman dan bibinya. "Selamat
datang, Paman, Bibi."
"Dimana ayahmu?" tanya Sasuke setelah mengangguk membalas
homat Shizuku.
Ketika gadis empat belas tahun itu kembali menegakkan tubuh,
terlihat ekspresi cemas dan tidak yakinnya. Sambil sesekali melirik
pintu geser di sampingnya, Shizuku kembali menunduk. "Ayah dan
yang lain sedang menemui tamu di ruang minum teh, Paman." Bahkan
tutur katanya sopan tak bercela. Barangkali memang begini sikap
setiap wanita dari keluarga klan tradisional.
Menyadari kegugupan keponakannya, Sasuke hanya bisa bertanyatanya. Tamu mana kiranya yang bisa membuat Shizuku yang biasanya

kalem ini terlihat waspada? "Siapa?" tanyanya akhirnya sambil


melangkah mendekat.
"KerabatPaman Naruto."
Ayah dua putra itu mengangguk paham, kemudian menoleh ke
belakang, mengisyaratkan Sakura dan kedua putra mereka untuk
mengikutinya. Shizuku mundur selangkah dengan patuh, kemudian
mengamit tangan adiknya dan mengikuti Sasuke memasuki ruangan
yang biasa mereka gunakan untuk minum teh.
"Sasuke-kun!"
Perhatian keempat orang itu langsung tertuju ke tengah ruangan,
tepatnya kepada sosok wanita berkacamata dengan rambut merah
blondenya yang kini tengah melambai antusias, untuk sekalinya
melupakan tata krama yang dipegang erat keluarga Uchiha. Begitu dia
bertatapan dengan Sakura, mata di balik lensanya menyipit dan
ekspresi wajahnya sekarang hanya bisa dikategorikan sebagai wajah
tak suka.
Haruno Sakura mundur dengan gelisah hingga punggungnya
membentur dada Shinji. Pemuda itu kemudian menunduk hingga
mulutnya sejajar telinga sang ibu, dan berbisik. "Biar Ayah yang
mengurusnya," katanya menenangkan, dan langsung bisa dia rasakan
postur tubuh ibunya kembali rileks. Dia jelas tidak memperhitungkan
kemungkinan wanita bernama Uzumaki Karin itu juga sedang berada
di kediaman Uchiha, lebih-lebih dengan suasana hati masam begitu

melihat ibunya. Barangkali kerja para pemburu berita itu juga


mempengaruhinya. Pemberitaan mengenai Uchiha Sasuke yang
tertangkap basah kamera sedang menghabiskan waktu seharian
bersama seorang wanita dan dua pelajar koukou Toujou Gakuen di
festival olahraganya tentunya tidak berakhir damai. Bahkan efeknya
lebih menggemparkan dari pemberitaan mengenai pertunangan Sasuke
dengan Karin. Shinji sendiri tidak ambil pusing. Dia senang-senang
saja walaupun beberapa media memilih memberitakan kabar
menyimpang, tetapi intinya hanya satu: Uchiha Sasuke bersama istri
(tidak peduli apakah ada tambahan simpanan, rahasia, atau sekadar
wanita masa lalu) dan kedua putranya. Poin penting di sini sudah
terpampang jelas. Mereka adalah keluarga.
Menanggapi seruan bahagia (yang semakin lama semakin terdengar
berlebihan), Sasuke mengangguk. "Karin."
Bagai buaya kelaparan, Uzumaki Karin langsung melompat
dari tatami dan bergelayut ke lengan Sasuke. Tingkahnya yang lebih
mirip gadis remaja yang sedang berusaha menarik perhatian pujaan
hatinya itu membuat Mahiro mulas. Barangkali untuk persoalan
persaingan antarwanita, usia tidak lagi dipermasalahkan. Tiga puluh
dua pun dengan cepat berubah enam belas.
"Sasuke-kun kemana saja? Kenapa tidak mengunjungiku? Aku ingin
berlibur mumpung sedang musim panas!"

Sebagai putra yang overprotective kepada sang ibu, Shinji dan Mahiro
segera menggiring Sakura melewati Karin (dan dengan sengaja
menyenggolnya keras-keras), dan segera bertemu pandang dengan
keluarga inti Uchiha.
"Sakura-chan!"
Tidak ada yang lebih kaget daripada Sakura sendiri ketika Nyonya
Uchiha itu memeluknya dengan kekuatan meremukkan tulang. Belum
lagi ketika beberapa saat kemudian terdengar isak tangis memilukan.
Sakura cemas luar biasa.
"Oh, putriku!" desahnya di sela isak tangis.
Dalam pelukan erat Uchiha Mikoto, Sakura pelan-pelan kembali rileks
dan mulai membalas pelukan wanita yang selalu mengisi posisi
seorang ibu baginya. Baru dengan satu pelukan, dan Sakura
merasakan rasa rindu luar biasa terhadap sosok wanita yang selalu
menyayanginya lebih dari menyayangi putra-putranya sendiri.
"Kemana saja kau, Sayang?"
Sakura tertawa. Bukan karena merasa situasi mereka lucu, tetapi lebih
karena Sakura tidak tahu lagi harus bereaksi seperti apa. Dia hanya
bisa membalas pelukan Mikoto sama eratnya, sekaligus menyalurkan
rasa rindu dan penyesalannya. "Banyak yang terjadi, Mikoto-san,"
jawabnya dengan suara parau. Dia sendiri tidak menyadari air mata
yang mulai menitik dari sepasang matanya.

"Ya, ya. Banyak sekali yang sudah terjadi tanpamu." Mikoto


kemudian melepas pelukannya dan memandang wanita pertama yang
dia anggap putri sendiri dengan mata haru. "Oh, ternyata putriku ini
kejam sekali. Meninggalkanku begitu saja."
"Gomenasai, Mikoto-san," bisiknya.
Momen haru itu segera terputus begitu suara Karin yang bernada
tinggi terdengar. "Siapa dia, Sasuke-kun?" Tidak perlu menjadi orang
yang ahli untuk mendengar nada kasar dari cara Karin bicara. Lebihlebih dengan tatapan tak suka yang tidak sedikit pun ditutup-tutupi.
"Jadi dia yang disebut-sebut wanita simpananmu?"
Uchiha Sasuke jarang kehilangan ketenangannya. Lebih jarang lagi
menyakiti wanita. Namun, wanita yang lengket bagai lem ke sisinya
ini telah menekan tombol yang salah dalam dirinya. Sebelum dia
sadari, dia telah mendorong Karin menjauh keras-keras darinya dan
menatapnya dengan tatapan yang rasa-rasanya akan mampu
membekukan magma. Ketika dia bicara, suara tanpa nada dan
emosinya telah meninggi dan kemarahan seolah menetes-netes bagai
bisa di setiap silabelnya. "Kau perlu berhati-hati menggunakan
lidahmu lain kali, Uzumaki."
Kemarahan Uchiha Sasuke yang stoic tentunya bukan hal yang biasa
orang hadapi, lebih-lebih bagi Uzumaki Karin yang hanya baru-baru
ini mengenalnya. Wanita malang itu kini memucat sambil memeluk
dirinya sendiri di sisi tembok. Bola matanya membeliak. Namun,

keberanian (atau kebodohan) untuk menyulut Sasuke memang perlu


diapresiasi. "Tapi Sasuke-kun! Aku tunanganmu!"
"Tidak perlu khawatir. Begitu kau pulang nanti, pertunangan kita
sudah dibatalkan." Suaranya kering bagai es.
Karin terkesiap, kemudian melemparkan tatapan menuntut kepada
kepala klan yang sedang duduk santai menikmati tehnya. "Fugakusan!

Kau

tidak

bisa

membiarkan

Sasuke-kun membatalkan

pertunangan kami!"
Dengan kekaleman yang sudah terlatih bertahun-tahun, Fugaku hanya
memberi wanita itu lirikan. "Putraku bisa melakukan apa pun yang dia
mau."
"Tapi kontrak perusahaan"
"Itu pun bisa dibatalkan," katanya tajam, memotong bantahan Karin
seketika. Sejak awal tujuannya menikahkan Karin dengan putranya
memang hanya karena perusahaan. Dia pribadi tidak menyukai wanita
tersebut.
"Oh! Kami akan menggugat kalian Uchiha!" bentaknya.
Mendengar ancaman (yang sebenarnya tidak terlalu berarti baginya),
Uchiha Fugaku bangkit dari posisi duduknya. Dia kemudian menoleh
untuk menatap Karin sepenuhnya dengan matanya yang tajam dan
tanpa ampun. "Aku ingin lihat kau mencobanya, Nona."

Dengan wajah luar biasa merah oleh amarah dan malu, Karin segera
berbalik dan menghilang di balik pintu. Suasana di ruangan itu pun
secara nyata terasa lebih ringan. Tidak sampai sang kepala klan
memutuskan untuk kembali bicara.
"Nah, apa yang kita punya di sini?" Tatapan tajamnya yang penuh
pertimbangan diarahkan kepada Sakura yang sedang berdiri bersisian
dengan Mikoto. "Apa kau benar ibu dari kedua cucuku?" Ketika
Sakura menjawabnya dengan anggukan gugup, Fugaku menaikkan
sepasang alis hitamnya. "Tapi tidak sedikit pun mereka mirip
denganmu."
Duh! Sudah cukup banyak orang yang meragukannya. "Ya, saya sadar
sekali, Fugaku-san." Kalimat bertata bahasa sopan itu justru keluar
dengan ketajaman yang mirip olokan.
Dan bukannya marah atau tersinggung, Fugaku justru semakin dalam
memandang Sakura. Ada binar ganji di matanya, seperti Sasuke yang
sedang merencanakan sesuatu yang tidak boleh Sakura ketahui, atau
ketika Shinji tahu satu rahasia orang dan berniat memeras mereka
dengan itu.
"Fugaku-kun, bagaimana dengan keluarga Uzumaki nantinya?" tanya
Mikoto memecah kontak mata panas Fugaku dan Sakura.
"Semuanya bisa diatur ulang, Miko."
"Bagaimana jika mereka benar-benar mengajukan tuntutan?"

Fugaku segera beralih menatap cucunya, Mahiro, yang baru saja


menyampaikan keraguannya. Wajahnya stoic dan tatapannya datar
ketika dia menjawab dengan suara tajam dan tegas. "Kau tidak pernah
memegang kuasa." Dia berdecak, tetapi tidak ada caci maki dalam
dirinya, hanya sekadar penekanan maksudnya. "Satu hal yang datang
bersama darah penguasa adalah kau bisa melakukan apa pun yang kau
inginkan. Uzumaki hanya batu bagi kita, para Uchiha."
Sama sekali tidak terkesan dengan kesombongan yang terang-terangan
ditunjukkan sang kakek, Mahiro menyipitkan mata. "Uzumaki punya
Hyuuga di belakang mereka. Itu batu yang luar biasa besar."
Uchiha Fugaku mendengus, kemudian berbalik. "Kau benar-benar
meremehkan darahmu sendiri. Ikut aku kalau kau ingin tahu sejauh
mana Uchiha berkuasa."
.
"Iigeru?" Shinji berusaha keras mengeja lima huruf alfabet yang
terpasang besar-besar di gerbang depan bangunan setinggi sepuluh
lantai tersebut ke dalam katakana. "Iiguru?" cobanya lagi tak
yakin. Keningnya berkerut dan kepalanya miring ke samping. Baru
kali ini dia kesulitan membaca. Tiba-tiba Shinji merasa baru saja
disihir hingga menjadi bocah lima tahun, atau setidaknya kemampuan
membacanya tidak lebih baik dari balita. Ini selalu jadi masalah tiap
kali Shinji mencoba membaca nama perusahaan konstruksi sang ayah
di berita. Dan tampaknya, masalah yang sama juga tidak hanya Shinji

yang alami mengingat di berita mana pun nama perusahaan Uchiha


Sasuke selalu ditulis dalam huruf latinnya.
Eagel.
Bagaimana

harusnya

Shinji

membacanya?

Itu

terlihat

seperti eager yang salah tulis, tetapi dia yakin tadi ayahnya
mengucapkannya seperti eagle.
"Bagaimana cara membacanya?"
Di sampingnya, Uchiha Sasuke mendongak mengikuti arah tatapan
kedua putranya. "Di antara keduanya."
Shinji tak jadi berkomentar.
"Apa maksudnya?" ganti Mahiro yang bertanya.
Sasuke untuk sejenak terdiam, menimbang-nimbang jawabannya.
"Permainan kata-kata."
Shinji dan Mahiro bersama-sama memandangi sang ayah seolah pria
tiga puluh delapan tahun itu baru saja menumbuhkan satu kepala lagi,
atau tiga. "Pun?"
Uchiha Sasuke mengangguk, merasa logikanya tidak secacat yang dia
perkirakan.
Mahiro mengatur air mukanya sedatar mungkin. "Yeah, memang
kedengaran seperti permainan kata-kata."

"Dassee."
Bahkan kedua putra kebanggaannya tidak sepakat dengan maksud
permainan kata-katanya, malah mengatai nama perusahaannya payah.
Ayah dua anak itu hanya bisa menatap kedua putranya kesal tanpa
bisa berkomentar. "Tunggu saja sampai Ayah mengubah surat wasiat."
Kedua putranya hanya kompak menyeringai.
Begitu ketiganya memasuki lobi depan kantor, para karyawan di sana
tidak satu pun yang tidak menyempatkan diri menengok ke arah ketiga
Uchiha tersebut. Mereka memang sudah membaca atau melihat berita,
tetapi baru kali ini menyaksikan secara langsung bos mereka yang
tiba-tiba muncul di media bersama wanita dan dua putra remaja yang
dilihat dari sudut mana pun mewarisi fisiknya. Dan itu artinya, sudah
ada jaminan kesegaran daun-daun muda tiga atau empat tahun
mendatang (mengingat Uchiha Sasuke sudah resmi didepak dari
barisan most wanted bachelor). Apalagi satu dari keduanya sudah
dikenal luas punya sifat flamboyan. Seolah mereka baru saja
menyaksikan dua wujud alter Uchiha Sasuke.
Dan pemberitaan mengenai pewaris baru Uchiha Company tentunya
juga tidak kalah semarak. Beberapa waktu lalu, Uchiha Fugaku telah
mengumumkan kepada media bahwa dua puluh persen saham Uchiha
Company yang berada di bawah namanya akan diserahkan kepada
Uchiha Mahiro begitu cucunya itu telah memasuki masa dewasa. Dan
dengan tambahan sepuluh persen saham milik sang ayah, Uchiha

Mahiro secara tidak langsung akan menjadi pemegang saham terbesar


Uchiha Companyyang nantinya akan mengantarkan dirinya sebagai
presiden direktur raksasa Uchiha. Tidak ada yang menyangkal bahwa
Uchiha Mahiro sejauh ini adalah cucu favorit Uchiha Fugaku, tetapi
lebih dari itu, Mahiro memang mewarisi mental bisnis yang tidak
dimiliki kakaknya dan ketajamannya mampu berdiri sejajar dengan
Uchiha Itachi, jenius bisnis bertangan dingin yang telah mengantarkan
Uchiha Company memasuki kejayaan babak duanya. Sementara sang
kakak, Uchiha Shinji, telah mendapat kesepakatan publik akan
mewarisi Eagel sepenuhnya, perusahaan konstruksi yang dibangun
Uchiha Sasuke sendiri. Walaupun namanya belum menguasai pasar
konstruksi nasional, tidak seperti Uchiha Company yang telah
mengunci posisi sebagai raja elektronik, prospek ke depannya sangat
bagus. Belum lagi dengan bakat mengerikan dan kemampuan
diplomasi Shinji yang sedari hijau sudah terlihat.
"Kau bisa datang ke sini kapan saja. Perpustakaan ada di lantai
delapan."
Shinji mengangguk-angguk antusias sambil sesekali mengedipkan
mata kepada wanita karyawan yang kebetulan tertangkap basah
sedang memperhatikan mereka. Bagaimana caranya Shinji membagi
kerja otak antara mendengarkan penjelasan singkat Sasuke di sana-sini
sambil tidak luput mengabsen satu per satu karyawan perusahaan yang
memakai rok, Sasuke benar-benar tidak habis pikir. Barangkali
menggoda para wanita sudah menjadi satu refleks tersendiri baginya.

"Bagaimana kakakmu mendapat sifat seperti itu?"


Uchiha Mahiro mendengus sambil buang muka. Itu juga dia sangat
ingin tahu. Ibunya hanya terhitung ramah dan murah senyum.
Ayahnya justru mantan antisosial. Barangkali kombinasi demikian
bisa menghasilkan karakter kompleks semacam Shinji? "Saa?
Barangkali dia hanya mengidap depresi genetik."
Uchiha Shinji tanpa ampun memukul kepala adiknya dari belakang.
"Begitu caramu memuji kakak sendiri, Mahiro?"
"Che." Dia usap-usap kepalanya yang baru saja kena kekerasan rumah
tangga sang kakak. "Harus kuperingatkan supaya Ayah tidak sampai
kaget kalau besok-besok ada wanita yang mengaku mengandung
cucumu."
Wajah Shinji kontan diwarnai belasan rona merah. Di sampingnya,
Sasuke memandangi putra bungsunya dengan tatapan tak terartikan.
"Tenang saja. Ibumu sudah memastikan kakakmu tidak punya nyali
begitu. Lagipula, kudengar gadis pujaannya ditinggal tanpa kabar di
Akita. Kau kenal?"
Sepasang mata hitam Mahiro bercahaya oleh rasa geli. "Oh maksud
Ayah, Mitsuki?" Dia kemudian menoleh ke arah kakaknya dan
mendapati Uchiha Shinji yang sedang merona luar biasa hingga ke
telinga. Jarang-jarang dia mendapati sang kakak terbata-bata begitu.
"Aku tidak yakin Mitsuki akan betah dengan womanizer ini. Sayang

sekali, padahal Ibu sudah sayang kepadanya. Atau sebaiknya kutikung


saja? Dia lumayan juga, hanya sedikit kurang seksi."
"Oi!" Shinji menggerutu tiada henti, mengabaikan seringai geli dari
sang ayah dan adik yang sepakat menggodanya.
.
"Mereka mirip sekali denganmu."
Baru kali ini Haruno Sakura mendengar pernyataan semacam itu,
lebih-lebih dari Uchiha Sasuke sendiri. Selama ini, siapa pun yang
mengenal dia dan Sasuke selalu mengomentari kemiripan ketiga lelaki
itu dan tak sekali pun ada komentar mengenai kemiripan mereka
dengan Sakura. Mendengar komentar semacam itu dari orang yang tak
lain adalah ayah dua putranya, Sakura mau tak mau merasa sangsi.
"Oh ya? Dan selama tujuh belas tahun ini aku selalu berpikir mereka
mirip sekali denganmu. Terlalu mirip, bahkan."
Uchiha Sasuke mengulas senyum miringnya tipis di sudut bibir.
"Secara fisik, ya. Kemiripan kami hanya berlaku kalau mereka lebih
diam dariini."
Di sampingnya, Sakura menyeringai geli. Matanya mengikuti arah
pandangan Sasuke yang sedang menatap lekat-lekat dua putra mereka
yang kini tengah bersitegang memperebutkan sesuatuentahlah.
Sakura merasa apa pun yang mereka perebutkan sebenarnya terlalu
sepele dan tidak layak dijadikan bahan argumentasi. Namun, Shinji

tetap saja Shinji dan Mahiro bagaimana pun juga tetap Mahiro. Dan
apa pun yang bersangkutan dengan keduanya tidak bisa dianggap
sepele. Sakura sudah belajar banyak (terkadang melalui metode paling
keras) bahwa dia tidak bisa menganggap sepele hal-hal yang
sebenarnyasepele. Kedua putranya telah membuktikan diri mereka
bisa mengubah perdebatan sepele menjadi perdebatan paling seru dan
panas, bahkan mengalahkan jalannya sidang kasus kriminal berdarah.
"Anggap saja kau punyadua sosok dirimu yang lain. Seandainya
memang ada dunia beta dimana kau sedikit playboy dan womanizer,
Shinji benar-benar wakil yang tepat."
Sasuke menanggapi ucapan Sakura dengan seringainya sendiri. "Dan
Mahiro? Bagaimana kau menjelaskannya?"
"Hmm" Sakura termenung sambil mengalihkan fokus penuhnya
kepada Mahiro yang kini sedang berusaha merebut remote televisi.
(Demi

Tuhan,

jangan

katakan

mereka

sedang

berebut

memilihchannel televisi.) "Mungkin" Sakura mengerutkan kening.


"Versi dirimu yang sedikit pemarah, penuntut, dan manipulatif."
"Sedikit?"

Sasuke

mengangkat

sebelah

alis,

memutar

tubuh

menghadap Sakura. Arti pandangannya seolah menyuruh Sakura


untuk membantahnya, tetapi tahu benar kalau wanita itu tidak bisa
balas berargumen.
"YahSedikitSedikit-sedikit pemarah, penuntut, dan manipulatif.
Puas?" Wanita dua anak itu memasang wajah tersinggung main-main.

Lebih dari siapa pun, Sakura tahu benar kata 'sedikit' tidak adil untuk
dipakai dalam konteks putra keduanya.
Di sampingnya, Sasuke menyeringai puas. Tatapannya kembali
ditujukan kepada dua putranya (yang masih belum menghentikan
perdebatan

tak

bermakna

mereka).

"Pola

emosi

mereka

mengingatkanku kepadamu. Keterusterangan mereka, kesungguhan


hati mereka, kepercayaan diri mereka, ketegaran mereka, hingga cara
mereka memandang dunia, semua itu darimu. Mereka tidak punya
kecanggunganku, keragu-raguanku, ketakutanku, kegelisahanku, dan
yang paling penting mereka tidak punya kepahitan hidupku.
Semuanya terima kasih kepadamu. Karenamu, mereka bisa menjadi
seperti ini. Karenamu, mereka tidak tumbuh menjadi sosok yang
serupa diriku yang dulu. Karenamu, satu kali ini aku bisa memberikan
apa yang tidak bisa kakakku berikan kepada Ayah. Penerus laki-laki,"
Sasuke mengulas senyum hambarnya. "Tapi itu pun tidak lagi penting.
Aku sudah lama berhenti mencari pengakuan Ayah. Laki-laki atau
perempuan, sama sekali tidak jadi soal. Karenamu juga, aku bisa
menjadi ayah bagi dua putra yang sempurna. Dan untuk itu semua,
terima kasih pun tidak lagi bermakna banyak."
Kalau pandangan memang bisa membunuh, rasa-rasanya Sakura bisa
saja mati saat itu juga. Ketajaman dan intensitas perasaan yang Sasuke
tunjukan dari sepasang mata kelamnya berhasil merenggut napasnya.
Jantungnya baru saja melewatkan satu detak krusialnya. Dadanya
seolah

dipompa

dan

kini

menggelembung

besar,

siap

menerbangkannya. Ratusan kupu-kupu mengepak seolah baru saja


dilepaskan ke perutnya, perlahan-lahan merayap naik hingga ke
tenggorokannya dan menyumbat jalur pernapasannya. Matanya
memanas dan pandangannya mulai mengabur oleh air mata yang
terbentuk di sana. Tenggorokannya mulai mengeluarkan suara-suara
aneh, mirip cicitan hewan atau suara tercekik, dan Sakura buru-buru
membekap mulut. Ketika dia berkedip, pandangannya kembali jelas,
tetapi pipinya basah. "Jangan" Wajahnya berubah layaknya orang
tengah menahan sakit. "Jangan berterima kasih kepadaku," ucapnya
dengan suara parau yang sarat air mata. Bahu rapuhnya berguncang.
Samar-samar, dia sadari kedua putranya telah berhenti bertikai. "Aku
tidak melakukan apa pun untukmu. Yang ada, aku justru
membohongimu, mengambil hakmu untuk bertemu dengan putraputramu selama hampir delapan belas tahun, tidak memberimu
kesempatan untuk menjadi bagian dari hidup mereka. Harusnya, aku
minta maaf." Mata jernihnya berurai air mata, pipinya basah, dan
napasnya

tinggal

satu-dua.

Sakura

masih

membekap

mulut,

menjadikan suaranya yang parau menjadi nyaris tidak terdengar.


"Mungkin memang benar. Aku tidak punya kesempatan menggendong
putra-putraku, menyaksikan mereka tumbuh, mengajari mereka halhal yang hanya seorang ayah yang bisa ajarkan, menghabiskan banyak
waktu untuk momen putra dan ayahnya," ucap Sasuke pelan. Suaranya
yang rendah terdengar mendayu penuh pengertian, seolah dia tanpa
sadar berusaha menenangkan Sakura tanpa menyentuhnya. "Tapi aku
tidak akan menukar ini semua dengan yang lain, bahkan tidak

walaupun kita punya kesempatan untuk mengulang ini semua. Aku


akan tetap memilih kehidupan yang ini. Delapan belas tahun ini
memang sangat berat dan aku menyesali setiap hari dimana kau tidak
bersamaku, tapi itu tidak lagi penting karena sekarang kau di sini,
bersama Shinji dan Mahiro. Aku yang dulu tidak akan punya
keberanian mencintaimu beginidan tidak ada yang lebih sempurna
dari itu."
Sakura membenamkan wajahnya ke telapak tangannya dan menangis
di sana. Dia terus terisak, menyesali setiap hari dimana dia tidak
bersama pria yang dicintainya dan yang mencintainya sama besar,
memutar berbagai kemungkinan dari banyak 'jika' dan 'bagaimana'
untuk setiap momen yang terlewat dan yang tidak akan kembali
terulang, dan kembali menyesalinya. Rasa bersalah dan penyesalan itu
begitu dominan dalam dirinya hingga dia tidak merasakan ada dua
tangan yang melingkarinya, membawanya ke tempat teraman di dunia,
dan mengusir pergi kesedihannya. Ketika rasa bersalah dan
penyesalan itu mulai berkurang dan dia menyadari dirinya sedang
berada di dalam pelukan pria yang dicintainya, Sakura kembali
menangis. Kali ini dengan setiap janji untuk hari-hari kedepan
mereka.
.
"Ini konyol sekali. Luar biasa konyol."
"Itu karena kau paling tidak suka memakai setelan jas."

Mahiro memutar bola mata, tidak memedulikan bantahan kakaknya


dan terus memberengut. "Ralat, Kakak. Setelan jas dengan mawar di
saku dada. Ini benar-benar konyol."
Haruno Shinji, yang telah resmi menyandang nama Uchiha Shinji,
menyeringai. "Bunga adalah bagian dari hidup, otouto. Kau harus
lebih banyak mengapresiasinya."
Uchiha Mahiro mengeluarkan suara mirip gerutuan dari dalam
tenggorokan. Wajahnya masam dan tangannya gatal ingin menarik
longgar dasi merah darahnyadan membuang sekuntum mawar
merah yang tersemat di saku dada jas hitamnya.
Melihat tingkat kemasaman wajah adiknya yang semakin menjadijadi, Shinji hanya bisa menghela napas. "Ya sudah, habiskan saja
kerutan di wajahmu sekarang asal nanti kau tersenyum," ucapnya
seraya berbalik, menuju ruangan berpintu kayu cokelat. Dia menengok
ke dalam dan mendapati ruang ganti ayahnya kosong. Dia kembali
berbalik menatap adiknya. "Ayah dimana?"
Mahiro mengangkat bahu, tetapi kemudian menunjuk koridor sebelah
dengan isyarat kepala. "Sepertinya sedang menemui Ibu."
Shinji mengerut tak suka mendengarnya. Dia kemudian berjalan
menuju tempat dimana ibunya sedang mempersiapkan diriyang
tentunya butuh waktu jauh lebih lama dari mereka semua. Mahiro
mengekor di belakangnya. Begitu mereka berada cukup dekat dengan
ruangan yang dituju, keduanya bisa melihat ayahnya berdiri di

ambang pintu dalam setelan tuxedo putihnya dan sedang dihadang


oleh ayah wali mereka.
"Kau tidak boleh masuk dulu, Sasuke," cegah Kakashi sambil
merentangkan tangan, menghalangi jalan.
Sasuke berdecak tak sabar. "Sebaiknya kau minggir, Kakashi."
Kakashi ikut berdecak, tetapi dengan nada menggurui layaknya
seorang guru sedang mengomentari kenakalan murid bandelnya. "Itu
tidak baik, Sasuke-kun."
"Memangnya kenapa? Toh Sakura sudah selesai bersiap-siap," paksa
Sasuke.
"Kau bisa melihatnya nanti di altar, Sasuke-kun," Hatake Rin
melongokkan kepala dari atas bahu suaminya sambil tersenyum
hangat.
"Terlalu lama," potong Sasuke keras kepala. "Sekarang atau nanti juga
sama saja."
"Shinji, Mahiro, coba kalian bawa pergi ayah yang keras kepala ini,"
keluh Kakashi begitu dia melihat kedua putra baptisnya datang.
Shinji dan Mahiro saling pandang. "Memangnya Ayah sedang apa?"
tanya Mahiro sambil berjalan mendekat.
"Ayah kalian memaksa ingin melihat ibu kalian," jawab Rin dengan
nada mengeluh yang senada dengan sang suami.

Kedua Uchiha muda itu ikut merengutkan kening. "Ayah tahu itu
tidak boleh, 'kan?" protes Shinji, yang sejurus kemudian mendapat
jatah tatapan tajam Sasuke.
"Nanti Ayah bisa melihat Ibu. Tadi juga sudah bertemu 'kan," Mahiro
ikut bicara.
"Nah, dengarkan anak-anakmu, Sasuke-kun," imbuh Kakashi merasa
di atas angin.
"Memang

apa

salahnya?"

paksa

Sasuke,

masih

dengan

kekeraskepalaannya yang tersohor sekali. Keningnya berkerut dalam.


Dari balik bahu Kakashi, bisa dia lihat puncak kepala merah muda
Sakura.
Si wanita yang sedang dibicarakan kemudian berjinjit dan bertemu
pandang dengan Sasuke. "Ada apa?" tanyanya.
Rin yang berdiri di depan Sakura berbalik dan tersenyum. "Sasuke
ingin melihatmu."
"Oh! Tentu saja tidak boleh!" seru Sakura seketika, membuat semua
orang di sana kecuali Sasuke menyeringai setuju.
"Kenapa kau ikut-ikut mereka?" tuntut Sasuke. Kalau orang tidak
mengenal Uchiha Sasuke lebih baik, suaranya pasti terdengar mirip
anak kecil merajuk. Namun sekali lagi, Uchiha tidak merajuk.
"Itu tradisinya, Sasuke. Nanti kita juga bisa bertemu." Sakura
memiringkan kepala ke samping lewat bawah lengan Kakashi dan kini

sepenuhnya menatap Sasuke dari balik kain tulle putih gading yang
menutupi wajahnya.
Mendapat alasan yang lagi-lagi sama untuk keempat kalinya, Sasuke
memicingkan mata. "Siapa peduli dengan tradisi? Memangnya apa
yang akan terjadi?"
"Orang bilang itu tanda kesialan," jawab Kakashi sambil melipat
tangan di depan dada.
"Karena apa? Melihat wajah istri sendiri?" Sasuke melempar
pandangan tajamnya kepada Kakashi.
"Maaf sekali Uchiha, calon istri," koreksinya, membuat Sasuke
semakin berwajah masam. "Kau bisa melihat wajah Sakura kalau nanti
dia sudah jadi istrimu, setelah kalian bertukar sumpah."
Uchiha Sasuke melipat tangan di depan dada, meremukkan mawar
merah yang tersemat di saku dadanya. Wajahnya bebas dari berbagai
emosi dan dia menatap Kakashi dengan tenang. Sepasang alisnya
terangkat. "Aku sudah lihat semua yang bisa dilihat, jadi apa gunanya
tradisi itu?"
Haruno Sakura terdiam dengan mata terbelalak lebar dan wajah
diwarnai berbagai rupa rona merah. Dua putranya, Uchiha Shinji dan
Uchiha Mahiro menyeringai lebar dengan wajah yang terlihat geli
sekaligus malu.

"Nah, nah, nah, Sasuke-kun, jangan frontal begitu kalau tidak mau
istrimu masuk rumah sakit nantinya," hardik Kakashi dengan tawanya.
"Tak masalah. Nanti aku sendiri yang akan mengantarnya. Mungkin
karena kram dan kesulitan berjalan."
Haruno Sakura, yang akan segera menjadi Uchiha Sakura, hanya bisa
mati-matian mencoba untuk tidak pingsan di hari besarnya. [ ]

Anda mungkin juga menyukai