IMPERFECTION
By : Shunou
mewakili.
Shinji
perlu
karena
tidak
cukup
memakai
ketika
adiknya
untuk
frasa
mulai
Mahiro
dan
rengekannya
justru
tidak
segera
merasa dia harus berterima kasih kepada sang ayah karena telah
mewariskan gen superiornya. Tidak banyak campur tangan dari pihak
ibunya, kalau enggan disebut tidak ada sama sekali.
"Aku tidak merajuk!" Mahiro membentak. Mata hitamnya melebar
dalam upayanya melotot untuk menunjukkan maksud ketegasannya.
Kalau Shinji tidak paham, dia akan heran dari mana sifat pemurung
dan masam itu berasal. Ibunya adalah wanita paling ceria dan paling
murah senyum yang pernah Shinji kenal dan dia sendiri punya sifat
jenaka, jarang bersikap serius. Barangkali dalam kasus pihak keluarga
ayahnya, sifat-sifat trivial semacam itu juga merupakan bawaan
walaupun sejauh ini Shinji hanya mendapatinya dari sang-seharusnyaayah dan kakek.
Di usia mereka yang hampir dewasa ini Shinji tidak lagi heran kalau
sang ibu selalu berkata Mahiro sangat mirip ayah mereka tetapi tidak
pernah mengatakan Shinji mirip ayah. Sewaktu dia masih kecil, Shinji
heran sekali. Sedikit kecewa juga. Pasalnya dari segi wajah dan
postur, Shinji tidak sedikit pun berbeda, bahkan dari model rambutnya
(yang sejak kecil tidak berubah atau tepatnya tidak bisa diubah,
mengingat sifat liar bawaan rambutnya) justru semakin lama semakin
mirip sang ayah. Sekarang Shinji sudah paham dan setuju sekali
dengan ibunya.
Kalau ada satu hal yang tidak Shinji warisi dari pihak ayahnya adalah
air muka serius alami, sifat pemuram dan penyendirinyajangan
keberadaan kita atau tidak, hubungan darah kita tidak bisa kau
bantah."
Keduanya kemudian saling terlibat dalam kontes adu tatap, samasama tidak mau mengalahsatu sifat yang, sayangnya, dimiliki
keduanya dengan kadar sama besar.
Haruno Sakura yang sedari tadi diam mengamati adu mulut dua
putranya, mendesah. Beban berat itu serasa kembali ditimpakan ke
atas bahunya dan dadanya kembali sesak. Dia menutup mata dan
menarik napas panjang, mencoba mengisi paru-parunya dengan
jumlah oksigen yang dibutuhkan, tetapi sebanyak apa pun dia
menghirup, dadanya tidak lepas dari rasa sesak yang sudah akrab itu.
Dengan satu langkah tegas, Sakura maju dan memosisikan diri di
antara dua putranya. "Hentikan ini semua," ucapnya tegas. Dia bukan
wanita kuat seperti yang banyak orang kira, tetapi Sakura tidak pernah
berhenti berusaha untuk tetap kuat. Dia harus kuat, setidaknya di
depan dua putranya. "Kita sudah menyelesaikan perdebatan ini
kemarin." Sakura bergantian menatap dua putranya yang kompak
menampilkan ekspresi bersalah dan penyesalan. "Ibu ingin kalian
mendapat pendidikan yang lebih baik, Ibu ingin benar-benar
menerapkan ilmu yang susah payah Ibu pelajari, dan dua hal itu bisa
kita capai dalam satu kesempatan. Pindah ke Tokyo." Tatapannya
tegas, mencari-cari bantahan yang mungkin mereka ajukan, tetapi
kedua putranya akhirnya memutuskan untuk menelan kembali setiap
argumen mereka.
"Aku tidak paham desain rumah, tapi jelas penthouse ini dijual terlalu
murah."
Shinji ikut mengamini komentar Mahiro yang juga turut mengamati
seisi rumah. "Jangan-jangan penthouse ini berhantu."
Mahiro memutar mata. "Mungkin ini tempat pembunuhan," imbuhnya
mencoba berkelakar.
"Shinji. Mahiro," tukas sang ibu sambil berkacak pinggang, kemudian
menghela napas. Tingkah putra-putranya memang terkadang tidak
bisa diprediksi. Satu menit mereka bisa kompak layaknya saudara
yang sangat dekat, menit berikutnya mereka bisa saling mengincar
leher masing-masing. "Ibu juga heran. Paman Sai yang mengurus
semuanya. Katanya, penthouse ini dirancang sendiri oleh pemilik
lamanya, tapi dia harus pindah mendadak dan ingin penthouse ini
cepat terjual."
"Aa."
"Kalian tidak ingin lihat kamar kalian?" Sakura tersenyum ketika
menangkap kilat senang di mata Shinji dan Mahiro. "Ada dua kamar
di atas. Pilih yang kalian suka asal jangan sampai berkelahi. Bawa
juga koper-koper kalian." Dengan kelincahan serupa bocah lima tahun
yang terlalu banyak makan permen, Shinji dan Mahiro segera
menerjang tangga dan saling berebut naik untuk sampai lebih dulu.
"Shinji! Mahiro!" Hanya dengan teriakan sang ibu, keduanya
yang
nantinya
akan
selalu
kekurangan
orang.
Dia
sibuk
tidak
ada
pengaruhnyabersama
belasan
halaman buku tua manual kekawin, dan bibi baik hati yang rasarasanya terlalu baik kalau disandingkan dengan paman mesumnya.
Mahiro juga jarang meributkan perihal kehadiran seorang ayah, tidak
seperti Shinji.
Bukannya dia tidak butuh ayah. Mahiro butuh sekali, sama seperti
anak-anak lain. Dia masih sering iri tiap kali melihat teman-temannya
sesumbar
mengenai
berbagai
hal
mengenai
ayah
mereka,
karuan. Ugh,
gerutunya
yang
dalam
jelas-jelas
hati,
bukan
gemas
poin
Paman Kakashi berkata, "ayahmu itu pria yang baik. Tidak banyak
bicara, sedikit keras hati, dan kaku, tapi dia tetap pria yang baik. Dia
punya kakak laki-laki jenius yang unggul di setiap bidang yang dia
tekuni. Ayah kalian sewaktu masih kecil selalu mengidolakannya, tapi
kemudian, sosok idola itu berubah menjadi dinding yang menjulang
tinggi sekali di depannya; yang mati-matian dia kejar dan dia panjat,
tapi usahanya tidak pernah cukup untuk membuatnya bisa melihat
pemandangan di baliknya. Kegagalan dan ketidakpuasan terus
menggerogotinya. Ayah kalian tumbuh sebagai pemuda yang pahit,
ambisius, tapi diam-diam kesepian karena tidak lagi bisa menjadi adik
bagi
kakaknya,
juga
tidak
bisa
memerankan
anak
yang
cinta bisa menjadi dalih keputusan ibunya untuk pergi. Dari sang ibu,
Mahiro
mengenal
cinta
yang
tidak
sepenuhnya
membawa
bau sake,
sangat
kuat
sampai
membuat
Shinji
mengernyitkan
kening
dalam-dalam.
"Uchihahmmm, dare
dakke?"
Shinji menghela napas. Shinji kecil mulai meragukan kenekatannya
siang ini untuk menemui sang nenek yang bisa kapan saja menjelma
menjadi nenek sihir paling galak. "Sasuke."
"Aa, ya. Uchiha Sasuke. Cinta bertepuk sebelah tangan Sakura."
Nenek Tsunade kemudian terkekeh panjang, semakin lama semakin
lirih, hingga akhirnya tertelungkup di atas meja kerjanya yang juga
turut berbau sake.
Nama itu bagaikan mantra pemikat yang sangat kuat bagi Shinji. Dia
ratusan kali mengulang nama itu dalam benak setiap harinya. Sasuke.
Sasuke. Sasuke. Uchiha Sasuke. Bagai mantra; bagai oase bagi
jiwanya yang kering. Uchiha Sasuke. Uchiha Sasuke. Kini dia tahu
nama ayahnya. Kini dia punya satu nama yang bisa dia panggil di
setiap doa dan mimpinya.
Minggu depannya, Shinji mengetahui wajah Uchiha Sasuke.
Walaupun puluhan kali ibunya menyuruhnya berkaca setiap kali
Shinji maupun Mahiro meminta foto ayahnya, Shinji tidak puas.
Shinji
menemukan
satu
foto close
up Uchiha
Sasuke
bukan lagi konsepsi asing bagi Shinji yang sensitif. Namun, semua itu
tidak pernah membuat dahaga Shinji berkurang dan terlupakan
selayaknya Mahiro. Shinji menginginkan kehadiran ayahnya dalam
kehidupannya yang belum lengkap. Shinji menginginkan pujian dan
ucapan selamat dari sang ayah setiap kali dia juara kelas atau
memenangkan lomba dan pertandingan olahraga. Shinji ingin pergi ke
festival sambil digendong ayahnya di bahu. Shinji ingin mengikuti
jejak ayahnya belajar arsitektur. Lebih dari yang manapun, Shinji
ingin ayahnya mengenal dirinya.
Namun, berita yang datang mendadak beberapa pekan setelah
kepindahan mereka ke Tokyo berhasil menguburkan bayang-bayang
indah keluarga impiannya.
Hari itu, Shinji melepaskan keinginan terpendamnya dengan suka rela.
.
Judul beritanya terkesan melebih-lebihkan.
Begitu pendapat Shinji dan Mahiro kompak ketika mereka membaca
berita tersebut dalam dua kesempatan berbeda.
Shinji membacanya dari koran berlangganan di pagi yang damai di
awal bulan Maret. Beritanya memang tidak diletakkan di halaman
depan, tetapi berita yang menggembor-gemborkan kabar percintaan
terkini arsitek tersukses Jepang itu tetap saja menyita banyak tempat
di laman entertainment. Untuk standar seorang pebisnis, nama Uchiha
Haruno Shinji dan Haruno Mahiro saling tatap, menyuarakan hal yang
kurang lebih serupa dari mata jade kembar mereka. Keduanya enggan
bicara, hanya saling melemparkan tanggung jawab untuk memberi
penjelasan yang masuk akal kepada sang ibu.
"Mahiro? Shinji?" Haruno Sakura memicingkan mata curiga sambil
sekali lagi mencermati model dan warna rambut dua putranya yang
berubah drastis secara bergantian. Rambut sehitam eboni itu kini
berkilat semerah tembaga. Mata hitam mereka juga disamarkan
dengan warna jade. Hanya model rambut mereka saja yang tidak
disamakan. Rambut Shinji yang lebih panjang ditata jatuh ke depan
dahi sedangkan rambut Mahiro yang lebih pendek ditata liar ke sana
ke mari. Sakura berani bertaruh mereka menghabiskan banyak gel
rambut hanya untuk mengatur rambut mereka.
"Hanya ingin ganti penampilan," jawab Mahiro buru-buru begitu
mendapati tatapan mengerikan ibunya tanpa ampun ditujukan
kepadanya.
"Memulai lembar hidup baru," imbuh Shinji menimpali, membuatnya
mendapat sodokan tajam di rusuk dan desisan frustasi Mahiro dari
sampingnya.
"Nani sore?" Tanpa disangka-sangka, Haruno Sakura mendendangkan
tawanya yang renyah.untuk pertama kalinya dalam seminggu yang
terasa berat bagi kembar Haruno itu. "Kenapa harus meniru gaya
rambut Paman Gaara dan Paman Sai?"
Mendengar suara tawa sang ibu, Shinji dan Mahiro mau tak mau ikut
tersenyum lega. Setelah mendengar berita tak terhindarkan mengenai
rencana pertunangan Uchiha Sasuke dengan Uzumaki Karin, ibu
mereka secara nyata kehilangan sinar dan senyumnya. Namun, pagi
ini mereka berdua bisa membuat sang ibu tertawa. Dua anak kembar
itu sampai kesulitan mendeskripsikan kelegaan yang membanjir dalam
diri mereka begitu mendengar suara tawa Sakura. "Ibu 'kan tahu kami
mengidolakan Paman Gaara dan Paman Sai." Biarpun mereka harus
berdandan macam badut, mereka rela-rela saja asal bisa membuat ibu
mereka tertawa seperti tadi.
Sakura mengulas senyum misterius yang menandakan dia tak sedikit
pun memercayai dalih putra-putranya, tetapi kemudian memutuskan
untuk tidak berkomentar lebih jauh. Anak laki-laki memang harus
diberi kebebasan lebih. "Cepat sarapan. Biar Ibu antar kalian sekolah."
Digiringnya dua putra kesayangannya ke meja makan, layaknya induk
menggiring anak ayamnya.
"Ibu tidak ada shift pagi?" tanya Mahiro dari balik bahunya, menatap
sang ibu yang hanya sedikit lebih tinggi dari dagunya.
"Ini hari pertama kalian sekolah. Mana mungkin Ibu mengambil shift,"
jawab Sakura dengan senyum, membuat Mahiro memutar bola mata
jengah.
"Ibu kira kami anak sekolah dasar?" komentar Shinji turut merasa
jengah. "Kami sudah tujuh belas tahun."
Haruno Sakura berdecak tak sabar. "Kalian tumbuh terlalu cepat. Ibu
rindu bayi-bayi manis Ibu yang selalu mengekor tidak mau lepas."
Shinji membekap mulutnya dengan punggung tangan, merasakan
sensasi panas yang menjalar hingga leher. Di sampingnya, daun
telinga Mahiro sudah memerah dan sesekali bergerak-gerak.
"Aw, lihat bayi siapa yang sedang malu-malu," goda ibu mereka
semakin menjadi-jadi.
Sepasang kembaran Shinji dan Mahiro hanya bisa diam sambil matimatian berusaha meredam rona merah di wajah masing-masing.
.
Sekolah baru Shinji dan Mahiro adalah sebuah akademi yang lengkap
dari tingkat shougaku hingga koukou yang diasuh oleh yayasan yang
sama dengan yayasan rumah sakit internasional tempat ibunya bekerja
sekarang. Toujou Gakuen.
Gedung masing-masing tingkat sekolah dipisahkan oleh taman-taman,
lapangan olahraga, dan pagar kawat rendah. Gedung untuk sekolah
tingkat atas berada di sisi barat kompleks akademi, terdiri dari lima
gedung yang dihubungkan dengan strutur terbuka mirip jembatan
penyebrangan.
Gedung pertama yang merupakan gedung tiga lantai adalah gedung
kantor, dimana di sana dapat ditemukan kantor guru, kantor kepala
sekolah, kantor bagian administrasi dan keuangan, perpustakaan, dan
berbagai
laboratorium
untuk
menunjang
kegiatan
mereka segera berdecak kepada sang adik. "Lihat, mereka jadi takuttakut gara-gara wajah masammu itu."
Mahiro semakin memasamkan wajahnya hanya untuk membuat
kakaknya semakin sebal. "Kita masih harus ke kantor guru. Aku tidak
punya waktu untuk bersabar dengan sikapmu." Tanpa tedeng aling,
Mahiro menyambar lengan Shinji dan menariknya berjalan lebih cepat
memasuki gedung paling depan di kompleks koukou, gedung kantor.
"Jasku bisa kusut, Mahiro," protes Shinji seraya berusaha melepaskan
lengannya dari cengkeraman tangan Mahiro.
"Barangkali dengan begini kau bakal berhenti mengedip sekali dalam
dua detik tiap melihat makhluk apa saja yang kebetulan memakai
rok," desis Mahiro tajam. Cengkeramannya justru semakin dikuatkan
dan langkahnya semakin dipercepat.
Berjalan susah payah di samping adiknya, Shinji hanya menghela
napas. Dia tidak lagi protes dan membiarkan dirinya ditarik Mahiro ke
kantor guru. Untuk urusan tenaga, Shinji harus mengaku kalah.
"Ojamashimasu," keduanya kompak mengucapkan salam ketika
membuka pintu kantor guru yang mereka cari-cari. Mahiro segera
melepaskan cengkeramannya dan Shinji segera membenahi jas
sekolahnya yang kusut di bagian lengan.
"Apa kalian Haruno bersaudara?" Seorang guru pria berusia di awal
lima puluh yang semula duduk di kursi di barisan tengah ruangan
betah dan cepat mendapat teman baru. Kau tidak ada kesulitan
beradaptasi dengan lingkungan Tokyo, 'kan? Kudengar, banyak hal
berbeda di Akita dan di Tokyo."
"Ha'i. Tidak banyak kendala berarti selama tinggal di sini, Sensei."
"Yokatta na."
Lain dengan Mahiro yang beruntung disapa oleh guru baik hati, Shinji
justru sedang sial. Begitu sampai di depan sang guru baru, dia ditatap
dari bawah ke atas. Pandangan tajam guru barunya terhenti di rambut
merah Shinji. "Peraturan pertama, Haruno Shinji." Shinji menciut,
lebih ciut dari semula. "dilarang mengecat rambut!" Dan PLAK.
Kertas pemukul itu mendarat dengan suara mantap ke kepala Shinji.
"Ha'i, Sensei" Haruno Shinji menunduk dalam-dalam. Entah kenapa
keberuntungannya pelan-pelan hilang semenjak datang ke Tokyo.
.
Tidak seperti saudara kembar kebanyakan, duo ShinjiMahiro tidak
pernah punya masalah kalau harus dipisahkan. Keduanya justru
senang-senang saja karena terbebas dari satu sama lain. Sang kakak
lega karena bisa lebih bebas melancarkan pesonanya karena wajah
masam yang biasanya bersamanya hilang sudah. Sang adik lega
karena bisa terbebas dari kuntitan gadis-gadis yang terbujuk rayu
pesona murahan kakaknya. Frekuensi pertengkaran mereka juga
menurun secara signifikan.
Sungguh
dua
pribadi
yang
berbeda.
Dan
sepertinya
kadar
Kakashi
justru
mengacak-acak
rambut
Shinji
sambil
memang
yang
paling
tahu
sampai
sejauh
mana
depannya,
Shinji
duduk
dengan
kekalemannya
yang
"Siapa yang sangka kita hidup di dunia yang sempit sekali?" Putra
sulung Sakura mengedipkan sebelah mata kepada adiknya yang
sedang bermuka seram. "Apa dua orang ini punya hubungan keluarga,
Paman?"
Merasa usaha pura-pura tidak tahunya akan sia-sia, Kakashi menghela
napas. "Semacam kerabat jauh dari pihak ibu Naruto."
"Lihat, little brother, takdir sedang menggigit bokong kita."
.
Haruno Sakura kali pertama bertemu dengan Uchiha Sasuke ketika dia
berusia lima belas tahun, sedang mengikuti ujian masuk ke Toujou
Gakuen, akademi tempat kedua putranya juga bersekolah sekarang.
Uchiha Sasuke adalah murid di akademi tersebut, berada satu tingkat
di atas Sakura. Kehadiran Uchiha Sasuke dalam kehidupan Sakura
tidak lepas dari peran Uzumaki Naruto, pemuda yang mengklaim
dirinya sebagai kakak Sakura dan juga sahabat sepanjang masa
Sasuke. Mereka bertiga mulai menghabiskan waktu bersama. Jalanjalan, camping, nonton bioskop, lari pagi, sampai acara belajar dan
mengerjakan tugas bersama. Kedekatan mereka serasa tidak
terpisahkan. Namun, baik Sakura maupun Sasuke menyadari bahwa
kedekatan mereka hanya akan terjadi karena kehadiran Naruto yang
berperan bagai lem kuat untuk keduanya.
Satu perasaan yang sama-sama Sakura dan Sasuke rasakan terhadap
satu sama lain adalah rasa hormat. Sakura menghormati Sasuke karena
kalau
tidak
menghapusnya.
Morino-sensei sudah
ampun.
Matanya
yang
terbebas
dari
sebenarnya kau tidak peduli dengan apa yang orang katakan. Aku tahu
yang kau inginkan hanya kebahagiaan Ibu. Kau bahkan tidak akan
peduli kalau salah satu Uchiha mendatangimu." Shinji menghela
napas berat. "Memangnya kau pikir aku tidak peduli? Memangnya kau
pikir dengan cat rambut dan lensa kontak bisa membuat Ibu lebih
bahagia dari sekarang?" tuntutnya. Ketika Mahiro enggan menjawab,
dia berteriak. "Memangnya kau tahu apa yang bisa membuat Ibu
bahagia?!" Shinji tertawa mencemooh. "Hadapi saja, little brother.
Kau cuma takut. Kau takut berhadapan dengan siapa sebenarnya
dirimu."
Di hadapannya, Mahiro menundukkan kepala. Rambutnya yang belum
ditata dengan gel jatuh menutupi pandangannya. Melihatnya membuat
Shinji mengendurkan otot-ototnya yang tegang.
"Aku lelah. Aku sudah lelah berbohong. Aku ingin lepas dari
kebohongan, seperti apa yang Ibu harapkan dari kita melalui nama
yang dia berikan."
"Tidak hanya kau yang ingin begitu," ujar Mahiro lirih. Ada nada
kekalahan dalam caranya bicara.
"Tidak, tapi kurasa kau masih enggan berhenti," balas Shinji dengan
suara lebih halus.
"Berita itu sudah menghancurkan Ibu padahal aku bersumpah tidak
akan membiarkan Ibu sedih."
panggil
Shinji
dengan
akrab
seraya
"Aku perlu ke toilet. Rasa pahit kopinya masih terasa sekali," keluh
Mahiro pelan, kemudian berbelok masuk ke toilet tanpa benar-benar
menunggu jawaban.
"Ya sudah. Kalau nanti Ibu dan kakakmu sudah tidak di sini, kau
langsung ke kelas saja."
Mahiro mengangguk patuh dan menghilang di balik pintu kayu toilet.
"Ah, rambut merahnya mudah sekali dikenali," ujar Shinji dengan
senyum kecil ketika melihat punggung Gaara di sisi kiri koridor.
Pamannya itu sedang berbincang-bincang dengan seseorang yang
tampak antusias sekali. "Paman Gaara!"
Sabaku Gaara menoleh ke belakang, kemudian tersenyum tipis ketika
melihat Shinji dan Sakura. Dia melambai sebentar, mengisyaratkan
keduanya mendekat. Shinji langsung berlari menghampiri, tetapi
kemudian langkahnya terhenti ketika mengetahui siapa yang sedang
mengobrol dengan pamannya tadi.
"Siapa, Gaara?"
Siapa lagi kalau bukan Uzumaki Naruto.
Shinji terdiam kaku. Dia berusaha mengalihkan fokusnya ke apa saja
selain sosok pria blonde di depannya. Nah, kalau sudah begini kemana
perginya lubang terdekat menuju Wonderland? Shinji berharap lantai
di bawahnya ini terbuka dan menyedotnya masuk supaya dia tidak
harus bertemu dengan pria tersebut. Sepertinya dia juga harus
"Sasakurachan?"
"Naruto"
Shinji bergerak-gerak gelisah, tiba-tiba merasa gerah padahal musim
semi belum juga separuh jalan. Ketika sudut matanya menangkap
sosok Mahiro, keringat dinginnya bertambah.
Uzumaki Naruto kembali memindahkan fokusnya kepada Shinji, dan
ketertegunan yang tadi sempat tertunda kembali membuatnya
terbengong. "Sasuketeme?"
Cepat-cepat Shinji menguasai diri. Dia keluarkan senyum miringnya.
"Halo, Paman Naruto," sapanya mulus. Dia ulurkan tangan ke
belakang, meraih Mahiro yang berdiri belakangnya. "Haruno Shinji,"
ucapnya seraya menunjuk dirinya. "Dan yang ini Haruno Mahiro,"
kali ini jemarinya menuding sang adik yang masih bingung. "Salam
kenal."
Di hadapan tiga Haruno, Uzumaki Naruto megap-megap mirip ikan
tersedak. Wajahnya membiru gara-gara dia lupa bernapas. Tiba-tiba
Gaara
menepuk
bahunya,
mencairkan
suasana
yang
begitu
"Kalau begitu, aku dan Mahiro ke kelas dulu. Sampai jumpa, PamanPaman sekalian." Dia cium kening ibunya sekilas, melambaikan
tangan, kemudian segera menarik adiknya menuju gedung kelas
mereka masing-masing. Sikapnya terlihat luar biasa santai dan tenang.
Namun bagi orang yang benar-benar mengenalnya, mereka dapat
membaca beberapa gelagat yang menunjukkan bahwa dia sebenarnya
sedang sangat gugup. Semakin Shinji merasa gugup, semakin jelas
sikap tenang dan main-main yang dia tunjukkan. Sulung Haruno
memang lebih sulit dibaca ketimbang sang bungsu yang sedari tadi
hanya bisa mematung.
Begitu dua putranya hilang dari pandangan, Sakura mengulum
senyumnya yang ragu-ragu kepada sahabat baiknya. "Lama tidak
jumpa, Naruto."
"Sakura-chan!" pekik Naruto dengan matanya yang sudah berkacakaca. Tak memedulikan sekitar, dia menghambur memeluk sosok adik
perempuan yang selalu dirindunya.
.
Ketika petang itu ibunya pulang, dua tamu ikut bertandang ke rumah
yang baru dua bulan ini mereka tempati.
"Ini rumahmu sekarang, Sakura-chan?" tanya Naruto dengan
kekagetan yang jelas terdengar dari suaranya. Di belakangnya, Gaara
baru saja menggantung jaketnya di gantungan dekat genkan.
diadakan
di ballroom hotel
yang
Naruto
miliki.
Dengan
seringai
lebar
di
wajah,
Naruto
menjawab,
Sakura
tempati.
Dia
amati
sekali
lagi
sekelilingnya. "Sasuke baru sempat tinggal di sini tiga bulan, lalu ayah
dan ibunya menyuruhnya pulang. Kesehatan Paman Fugaku mulai
mengkhawatirkan. Karena Itachi sedang sibuk mengurus proses
pembukaan kantor cabang baru di Malaysia setahun belakangan ini,
akhirnya Sasuke yang didesak-desak pulang."
Ketiga Haruno tersebut terdiam. Sakura termenung di sofa dua
orangnya, mengamati pola melingkar karpet tebal di bawah kakinya
sedangkan dua putranya yang duduk dengan tak nyaman di anak
tangga sedang berusaha mengalihkan pikiran. Siapa yang sangka
atau mungkin tersambar petir karena tiba-tiba punya sifat santai dan
main-main, bahkan penggoda.
"Terima kasih kepada wajah populer ini," jawab Shinji bergurau
seraya menunjuk wajahnya. Matanya yang dibingkai kacamata
menyipit karena senyumnya. "Tidak ada yang berhenti melihatku,
bahkan mereka sudah berani terang-terangan."
Mahiro mendengus. "Wah, itu 'kan favoritmu sekali," ujarnya sinis.
"Ayah kalian juga sering kesulitan gara-gara wajah itu," komentar
Naruto dengan riang. Matanya menyipit karena senyumnya yang
lebar.
Mendengarnya, Shinji tertawa. "Hanya adikku ini yang kesulitan,"
balas Shinji seraya menyodok rusuk Mahiro.
"Sou ka?" Naruto ganti mengamati Mahiro yang sedang berwajah
cemberut, kemudian menunduk memandang Sakura yang masih diam.
"Mahiro mirip sekali dengan teme, Sakura-chan."
"Uh huh," jawab Sakura tak fokus. Tangannya memilin helai
rambutnya yang terlepas dari sanggul kecilnya tanpa sadar.
"Sepertinya besok aku punya berita yang harus ditunggu-tunggu."
Shinji berujar. Dia berdiri, kembali menuruni anak tangga, dan
melangkah menuju dapur dengan senyum miring di wajah.
.
Karena itu, ketika Shinji dewasa, cara bicaranya adalah bisa derik
yang manis. Dia suka membuat ucapan-ucapannya bermakna ganda
yang membuat orang sulit menerjemahkan dirinya. Dari sifatnya yang
relatif lebih ramah dari Mahiro maupun ayahnya, orang-orang tetap
saja terhalang dinding tinggi yang memisahkan mereka dengan Shinji.
Dia
pemuda
yang
mudah
didekati,
tetapi
hampir
mustahil
apa
memangnya?"
tanya
Mahiro
heran.
Ibunya
mendapat shift pagi hari itu, jadi seharusnya dia sudah akan pulang
sore nanti.
"Ada pasien yang masuk, butuh perawatan intensif," jawabnya. "Kau
mau ikut atau langsung pulang?"
"Hn."
Apa pun yang berkenaan dengan sang ibu, Shinji akan langsung
mengartikan silabel rancu Mahiro sebagai persetujuan.
.
sapa
Sakura
setengah
tergagap.
membolos oleh guru konseling paling galak. Pria itu hanya bisa
mengalihkan pandangan karena rasa setengah malu setengah khawatir.
Bibirnya tertutup rapat.
Di tempatnya berdiri, Sakura mengetukkan kakinya yang berasal
sepatu bersol datar ke lantai ruangan. Tatapannya tak kunjung lepas
dari Sasuke. "Aku baru tahu motif garis seprai lebih menarik daripada
pertanyaanku tadi."
Uchiha Sasuke menghela napas pasrah. "Nagisa memang rewel
makan. Kau tahu sendiri."
Untuk sekejap, Sakura merasa takut. Apakah pria di hadapannya ini
sedang merujuk pada pengalamannya mengasuh Shinji dan Mahiro?
Tentunya, Sasuke tidak tahu, 'kan? Namun, buru-buru dia tepis pikiran
konyol itu. Tentu saja Sasuke berkata seperti itu karena memahami
tuntutan pekerjaannya sebagai dokter yang berurusan hampir 24/7
dengan anak kecil. "Shiru ka," ujarnya dengan nada bosan. "Kami
akan lakukan sesuatu selama Nagisa dirawat."
"Yoroshiku," jawab Sasuke dengan helaan napas.
"Nee, nee,"
"Ada apa, Nagisa-chan?" tanya Sakura. Perhatiannya sukses terambil.
Nagisa, yang sedari tadi mengawasi dua orang dewasa di depannya
dengan matanya yang selalu ingin tahu, menyela. Kepalanya miring
ke samping dan keningnya berkerut ketika dia sedang berpikir. Sasuke
yang melihatnya diam-diam mendesah. Dia tahu arti ekspresi itu. Satu
pertanda pasti Nagisa akan menjadi sangat ngotot.
"Paman dan Dokter cantik sudah kenal lama?"
Yap. Tepat sekali.
Sasuke mengerutkan kening. Sakura merona mendengar pujian polos
gadis kecil itu. "Kenapa kau berpikir begitu, Nagisa-chan?"
"Karena Dokter cantik bisa memarahi Paman," jawabnya polos. "Dan
Paman jadi mirip Mauro-kun saat dimarahi Sensei karena bandel."
Sakura menaikkan alisnya tinggi-tinggi. Sasuke berdecak. "Paman
tidak begitu," bantah Sasuke langsung seketika. Bisa-bisanya dia
disamakan dengan anak sekolah dasar.
Namun rupanya, Sakura punya ide lain. "Ara?" Senyum geli
tersungging di sudut bibirnya. "Paman Sasuke memang nakal, tapi
Nagisa-chan tidak perlu khawatir." Nagisa berseri-seri. Sasuke
memicing. "Paman Sasuke yang nakal ini akan mengurus segala
keperluan Nagisa-chan selama dirawat di sini." Sakura kemudian
beralih menatap Sasuke. Ekspresi mode dokternya kembali terpasang.
"Urusan
administrasi
bisa
diselesaikan
di
bagian
internal.
anak
yang
dihiasi
banyak
lukisan
dinding
segera
seusianya.
"Ha'i, ha'i."
Enggan
menguji
Kalau
sudah
begini,
Shinji
kadang
iri
dengan
"Paman!"
Uchiha Sasuke mengalihkan tatapannya kepada Nagisa yang heboh
berlari ke arahnya. Menyadari ada celah bagi Shinji untuk pergi,
pemuda itu melangkah ke samping dan membiarkan Sasuke lewat.
Kemudian, dengan langkah tanpa suara dia beranjak pergi, tidak
menghiraukan wanita perawat yang masih berdiri terpaku di koridor.
Tentu saja rencana kaburnya akan berhasil, tetapi dia lupa kalau adik
tersayangnya punya kecenderungan mengacaukan setiap rencananya
di saat-saat paling krusial. Baru dua langkah Shinji pergi, ponselnya
berbunyi. Cukup nyaring untuk menarik perhatian Uchiha Sasuke dan
Uchiha Nagisa kembali kepadanya. Shinji memaki-maki dengan suara
rendah sambil mengangkat telpon.
"Kau dimana, Shinji!"
Shinji mengernyit mendengar suara teriakan Mahiro dari ponselnya.
"Kau itu di rumah sakit, bodoh, jangan berteriak," desis Shinji luar
biasa kesal. Tidak salah lagi, Sasuke pasti sudah mendengar suara
Mahiro.
"Kau membuatku menunggu! Kau kemana saja HAH?!"
Kali ini Shinji membawa ponselnya jauh-jauh dari telinganya yang
malang.
"Mahiro! Apa yang Ibu bilang dengan menjaga volume bicara di
rumah sakit?!"
Karena itu, suatu hari Sasuke memutuskan untuk menjauh. Dia ingin
memberi kesempatan kepada teman-temannya yang lain (yang dia
ketahui punya perasaan khusus kepada Sakura) untuk maju. Namun,
tak ada yang berhasil. Sasuke terus menjauh, tetapi Sakura terus
mendekat. Belum ada seminggu, Sasuke memutuskan dia lelah dan
membiarkan rutinitas bertiga mereka kembali dimulai. Waktu itu,
Sakura terus memberi dan Sasuke terus menerima. Dan Sasuke hanya
diam membiarkannya.
Peran Sakura dalam kehidupan Sasuke sangat besar, lebih dari yang
dia sadari dulunya. Sosoknya sudah menjadi satu faktor tetap
tersendiri hingga terkadang Sasuke lupa akan keberadaan dan
pengaruhnya. Sasuke tidak pernah menyadari, dia tidak pernah
berpikir bagaimana seandainya konstanta itu tiba-tiba hilang dari
kehidupannya.
Dan hal tersebut terjadi, delapan belas tahun lalu. Sakura menghilang.
Sakura pergi dari kehidupannya, dari kehidupan Naruto dan temantemannya. Sakura pergi dari kehidupannya sendiri. Dan Sasuke tidak
punya cara untuk menemukannya. Atau mungkin tepatnya, Sasuke
tidak punya alasan untuk menemukannya.
Dulu Sasuke memercayai bahwa Sakura hanyalah satu titik dari untai
panjang kehidupan fananya. Orang-orang datang dan pergi, dan tidak
ada yang bisa mencegahnya. Kemudian, Sasuke memutuskan bahwa
Sakura adalah salah satu di antaranya. Dia datang, dan sekarang
caranya
tersenyum
kepadanya.
Sasuke
tidak
mampu
Namun,
sekali
lagi
Sasuke
tidak
berbuat
apa-apa.
Sasuke
sadar
atau
mempertimbangkan
tidak.
dua
Dan
keputusan
sekarang,
Paman
yang
sama-sama
sedang
tidak
langsung meledak dalam tawanya, kali ini tidak terlalu kontras dengan
sikap sang adik yang sedang menyeringaimendapati suasana
dimana mereka berada sama lucunya dengan yang Shinji rasakan,
tetapi memilih untuk mengapresiasinya dengan sedikit lebih
terkendali.
Naruto yang berdiri di antara ketiga Uchiha hanya bisa menatap
Uchiha paling muda di ruangan itu dengan rasa kasihan. Sedikit
banyak Naruto paham bagaimana perasaan Nagisa dan menebak
pikiran carut-marut apa saja yang terlintas dalam kepala kecilnya. Dia
sendiri juga kaget luar biasa waktu pertama kali bertemu dengan
Shinji dan Mahiro. Lebih condong horor, malah. Mungkin di
pertemuan pertamanya Shinji belum banyak mempengaruhinya dan
dengan cepat dia melupakannya. Belum lagi waktu itu kemiripan
Shinji dengan Sasuke tersamarkan oleh rambut merah dan mata hijau.
Namun hari ini, dihadapkan kepada dua sosok yang mengingatkan
orang terhadap Uchiha tertentu dari sudut mana pun tentu bukan
pengalaman biasa. Air muka Uchiha Nagisa berganti-ganti dengan
cepat dalam kurun waktu kurang dari sepuluh detik.
Butuh dua menit penuh bagi Shinji untuk meredakan ledakan tawanya.
Ketika akhirnya dia berhasil menenangkan diri, sudut-sudut matanya
telah basah oleh air mata. Tangannya memegang perut yang terasa
kram akibat reaksi berlebihannya. Sekarang dia justru merintih sambil
terbatuk-batuk.
cenderung
meminta
lebih
begitu
mereka
mengiyakan
"Bagaimana, Paman?"
"Sasuke yang akan datang, tapi itu pun baru satu atau dua jam lagi
paling cepat. Aku harus mencoba menghentikan tangisnya dulu."
Mahiro mengerutkan kening tak puas. "Itu terlalu lama."
Naruto hanya mengangkat bahu pasrah. Pandangan matanya
mengikuti Nagisa yang sedang berusaha naik ke ranjangnya dan
menenggelamkan diri di balik selimut. "Itu sudah yang paling cepat."
"Apa orang di rumahnya tidak ada yang bisa menjemput?" tanya
Shinji yang kini sudah duduk di tepi ranjang sambil berusaha
mengusap-usap (apa yang sepertinya) punggung Nagisa.
"Perjalanan dari Setagaya ke Tsukiji juga tidak bisa dikatakan cepat.
Apalagi di jam-jam pulang kantor begini," jawab Naruto sambil
mengecek jam tangannya yang menunjukkan hampir pukul lima.
Kedua bersaudara itu mengerutkan kening, saling bertukar pandang,
dan mengamati tubuh Nagisa yan naik-turun. Suara tangisnya sudah
berhenti, tetapi masih menyisakan sesenggukan memilukan.
Beberapa saat lamanya mereka terdiam, hingga akhirnya Mahiro
menghela napas panjang. "Ya sudah. Kita antar Nagi saja."
Naruto membeliak dan bergantian meminta penjelasan kepada dua
remaja itu.
Shinji mengangguk setuju. "Tidak apa-apa, Paman."
Butuh setidaknya lima menit untuk mengeluarkan gadis kecil itu dari
dalam selimut. Begitu terbebas, wajahnya luar biasa merah akibat sisa
tangis dan kelelahan. "Tadi itu panas sekali," katanya.
Mahiro melirik jengkel. "Itu 'kan salahmu sendiri," katanya sambil
menutup ponselnya sehabis menghubungi sang ibu. "Ayo. Ibu sudah
bilang oke."
.
Kediaman Uchiha yang mereka tuju berlokasi di Setagaya, distrik
dimana di sana akan banyak ditemukan rumah-rumah mewah dan
kawasan perumahan elit. Setagaya juga merupakan distrik dengan
populasi penduduk paling besar. Dan mengingat keluarga besar
Uchiha
merupakan
penguasa
bisnis
elektronik
Jepang,
tak
"Kau bisa turun sendiri 'kan, Manis?" tanya Shinji sambil membuka
pintu di sampingnya.
Nagisa memberengut kepada Shinji. "Tidak mau!"
"Hn, ya sudah. Kau kucilik saja," godanya. "Ayo, Paman. Kita pergi
saja lagi."
"Ayo turun!" rengek Nagisa panjang. Dia tarik-tarik kemeja Shinji
hingga kusut. Dasi hijaunya juga turut tertarik longgar akibat ulah
Nagisa.
Merasa tidak bisa membebaskan diri dari sepupu manjanya, Shinji
akhirnya mendesah. Dia rapatkan pelukannya dan melangkah keluar
dari mobil. Naruto dan adiknya segera menyusul keluar.
"Aku bisa bawa paksa Nagisa. Kalian tunggu saja di sini," bisik
Naruto kepada Mahiro.
Mahiro hanya menyeringai masam. "Aku ingin lihat Paman
mencobanya."
Tanpa berkomentar, Naruto segera mendekat ke arah Shinji yang
sedang menggendong Nagisa. Dalam gendongannya, gadis kecil itu
sibuk menceritakan tempat-tempat kesukaannya sambil sesekali
menunjuk ke sekeliling. "Nagisa-chan, ayo bersama Paman saja,"
bujuk Naruto dengan senyum lebarnya.
Gadis kecil yang biasanya sangat lengket kepadanya itu kini justru
terang-terangan mengabaikan Naruto dan tawarannya. "Tidak mau!"
tolaknya mantap.
"Shinji pasti capek menggendongmu. Kau 'kan sudah besar," Naruto
kembali berusaha membujuk sambil berusaha menarik Nagisa ke
gendongannya.
Dengan kekeraskepalaan yang sepertinya diwariskan turun-temurun,
Nagisa semakin merapatkan pelukannya ke leher Shinji.
"Sudah, tidak apa-apa, Paman," kata Shinji tenang kepada pamannya.
Dia ulas senyum miringnya. "Kalau tidak sekarang, barangkali kami
tidak akan punya nyali lagi."
Mahiro menyeringai mendengarnya. "Ibu sudah oke. Paman tidak
usah khawatir."
"Tapi tetap saja ini rasanya terlalu cepat," desah Naruto. Bahunya
turun. Dia merasa tidak berguna sekarang. Justru anak-anak remaja ini
harus maju seorang diri menemui keluarga besar yang tidak pernah
mengenalnya. Bukannya tidak mungkin reaksi keluarga Uchiha justru
negatif. Keduanya masih berstatus anak tidak sah dan Sasuke sebentar
lagi akan menikah dengan wanita yang menguntungkan perusahaan.
Naruto ingin melakukan sesuatu demi wanita yang sudah dia anggap
adik sendiri dan untuk kedua keponakan yang tidak dia ketahui
keberadaannya sekarang. Dia masih belum memahami alasan
kepergian Sakura dulu, juga kenapa dia memutuskan untuk
Nagisa
melompat
maju
dengan
gegap
gempita,
dan
sebenarnya
ini
bukan
tempatku
untuk
senyumnya.
Uchiha
Shizuku
turut
kehilangan
diduga-duga,
Haruno
Shinji
melorot
di
kursinya.
cepat. Dia benahi lagi posisi duduknya. Panna cotta yang tadi
senikmat mengulum awan kini tidak lagi mengundang selera. Sayang
sekali. Padahal jarang-jarang dia bisa makan makanan sekelas restoran
bintang tiga itu.
"Kau sendiri yang mengklaim punya diplomasi lebih unggul," cemooh
Mahiro membalas.
"Itu karena aku punya adik yang menyimpan otaknya di dengkul dan
menolak memakainya."
"Kalian berdua" keluh Naruto dengan desah napas keras.
Itachi yang duduk di sampingnya tersenyum sambil memandangi dua
keponakannya yang masih seru adu mulut, sama sekali tidak
menyadari sekelilingnya. "Apakah mereka memang seperti ini?"
"Uh?" Naruto melirik Shinji dan Mahiro lebih dulu sebelum kembali
fokus ke makanan penutupnya. "Oh, bisa dibilang begitu. Mereka
seakrab air dan minyak, begitu kata ibu mereka."
"Jadi, mereka berdebat sepanjang waktu?"
Naruto mengangguk kepada Hana. "Dan karena hal-hal paling sepele,
tapi biasanya mereka cepat dilerai dan tidak ada yang membantah.
Mereka itu anak mama, penurut sekali." Di sampingnya, si kembar itu
masih seru berdebat, dan entah bagaimana perdebatan mereka beralih
ke perkara model rambut.
"Siapa ibu mereka?" tanya Mikoto dengan suara rendah.
Ketiga
Uchiha
itu
tampak
terkejut
mendengarnya.
entah sedang berada dimana). Shinji dan Mahiro tampak luar biasa
nyaman berada di tengah-tengah keluarga baru mereka. Atau
barangkali mereka sedang berusaha tampak nyaman dan tidak
memikirkan hal-hal selain berdebat. Terkadang, perdebatan di antara
keduanya bisa menjadi pengalih perhatian paling ampuh. Barangkali
itu adalah salah satu alasan kenapa mereka suka sekali berdebat.
Ketika jarum jam menunjukkan angka sembilan lewat sepuluh,
keceriaan mereka tertahan sejenak.
"Tadaima. Nagisa sudah pulang?"
Seluruh anggota keluaga Uchiha dan Naruto yang ada di ruang
keluarga menoleh ke sumber suara, mendapati Uchiha Sasuke yang
sedang melonggarkan dasinya dengan wajah lelah. Menyadari tatapan
dan keheningan itu, Sasuke mendongak, dan turut terdiam.
Pandangannya bertemu dengan Shinji, kemudian berpindah ke Mahiro
yang duduk di samping kakaknya. Dia masih belum bersuara, tetapi
tidak ada seorang pun di sana yang salah menerjemahkan arti tunggal
tatapan mata Sasuke sebagai kekagetan. Kekagetan yang luar biasa
besar. Kalau saja Sasuke bukan pendiam sampai ke tulang-tulang,
barangkali kini dia sudah berteriak histeris seolah baru saja melihat
hantu.atau dua doppelgangger sekaligus. Ketiganya hanya sanggup
saling tatap di detik-detik yang terasa bagai momen paling lambat bagi
mereka.
.
Secara resmi, ini adalah pertemuan pertama mereka sebagai ayah dan
anak, sekaligus acara bermobil pertama mereka. Harusnya momen kali
ini berada pada satu gambaran sempurna sebuah keluarga (walaupun
untuk kali ini sosok ibu sedang tidak diikutkan). Tidak harus ada gelak
tawa yang sampai bisa mengguncang badan mobil, tetapi setidaknya
atmosfer mobil yang baru tahun lalu Sasuke beli itu tidak seberat
gajah obesitas yang ditindihkan di atap mobil. Entah pendinginnya
yang tidak bekerja atau memang oksigen di dalam mobil tiba-tiba
berkurang. Ketegangan di antara mereka dengan cepat beranjak dari
siaga menuju ekstrim.
Uchiha Sasuke (yang pada dasarnya memang tidak banyak bicara)
memutuskan jalan raya di balik kaca kemudinya patut diberi perhatian
lebih dari biasanya. Dia sedang berusaha mengelem matanya kuatkuat ke jalan selama hampir satu jam ini, yang kini membuat matanya
lelah luar biasa. Rasa-rasanya kerja otot matanya malam ini lebih
berat daripada mengoreksi laporan keuangan bulanan Uchiha
Company dari berbagai divisi atau pekerjaan melelahkan apa pun
yang pernah dia lakoni selama tiga puluh delapan tahun dia hidup.
Dan tiba-tiba, tumpukan perjanjian kerja dan daftar suplai barang yang
harus ditelitinya terasa lebih menggiurkan ketimbang berada di situasi
ini. Rupanya Sasuke lebih menyedihkan dari yang dia bayangkan
semula. Dari ekor mata, dia lirik putra yang baru dia ketahui
keberadaannya beberapa jam lalu.
kemudian
mulai
beranak-pinak
dengan
kecepatan
Bagai baru saja tersentak dari hipnotis kuat, Shinji dan Mahiro
serempak menoleh ke arah sang ayah. "Uh, tentu," terdengar jawaban
gamang Shinji, diikuti dengan gerakan canggungnya membuka pintu
mobil sambil menenteng tas sekolahnya.
Mahiro yang masih tinggal di dalam mobil dengan ragu mulai
mengumpulkan tasnya yang dia taruh di dekat kaki. Dia lirik ayahnya
yang sedang memegang kemudi mobil seolah tengah memegang satusatunya penyelamat hidupnya. Dia mencoba susah payah menelan
ludah sebelum mengumpulkan keberanian untuk bicara. "Aybisakah
aku memanggilmu ayah?"
Pertanyaan itu membuat Sasuke terkejut. "Tentu saja," jawabnya
seolah baru saja mendengar pertanyaan paling konyol yang pernah
diajukan kepadanya. Dia hanya tidak menyangka, satu pertanyaan
pertama yang saling mereka pertukarkan justru mengenai panggilan
apa yang sebaiknya mereka gunakan. Kedua pemuda itu sangat tidak
familier dengan keberadaan seorang ayah seberapa besar pun hasrat
mereka untuk memilikinya. Dan Sasuke paham itu. Dia sendiri tidak
bisa mengklaim dirinya dekat dengan sosok sang ayah meskipun
seluruh hidupnya dihabiskan untuk mengenal Fugaku.
Wajah Mahiro memerah. "Terima kasih."
Tanpa diduga-duga, Sasuke tersenyum. "Itu bukan sesuatu yang perlu
mendapat ucapan terima kasihmu, Mahiro."
Pelan tetapi pasti, kehangatan yang baru (dan anehnya terasa begitu
akrab dan penuh kerinduan) mulai menyusup ke dalam dada Mahiro.
Dia suka mendengar namanya disebut dengan suara yang dalam itu.
Ada segumpal kebanggaan dalam dirinya. "Well, ini kali pertama aku
memanggil seseorang sebagai ayah. Aku tidak ingin"
"menyinggungku?" Sasuke memotong. "Tidak. Aku senang karena
tahu aku tetap menjadi sosok ayah pertama bagi kalian. Walaupun ini
sedikit terlambat." Ada setitik penyesalan yang tak sengaja terdengar
dari suaranya yang tenang, tetapi dengan baik berusaha dia cegah
untuk tidak memengaruhi ekspresi wajahnya.
"Apa Apa Ayah marah kepada Ibu?"
"Karena apa?"
Mahiro tampak ragu. Dia lirik Shinji yang sedang bersandar miring di
sisi mobil, kedua tangan dimasukkan saku celana, dan senyum tak
simetrisnya terpasang. Che. Kakaknya satu itu tampak luar biasa puas
melihatnya dari luar sana. "Karenaini semua. Soal keberadaan
kami."
Sasuke kembali memfokuskan diri ke arah depan. Keningnya
berkerut, seolah baru menyadari esensi pertanyaan putra bungsunya.
Jemarinya mengetuk-ngetuk roda kemudi dan untuk sejenak dia
tersedot ke dunianya sendiri. Ketika dia kembali menyadari
sekelilingnya, Sasuke menyunggingkan senyumnya yang tipis.
"Banyak yang harus kubicarakan dengan ibu kalian."
apartemen.
mereka harus
atau
diganti,
bahkan
tirai
marun
yang
langsung
Uchiha
Sasuke
dengan
makan
rutin,
Sakura
perlu
mulut
penuh,
Sasuke
memiringkan
kepala.
Begitu
Ayah dadakan dari dua putra itu mengangkat bahu sambil menyesap
kuah supnya. "Ayah sudah sekolah di sana dari shougaku."
"Ayah sudah pernah ikut semua cabang olah raga?" tanya Mahiro
antusias.
Sambil memandang langit-langit, Sasuke memutar otak. "Kecuali
pemandu sorak."
"Ayah kalian pemalu," imbuh Sakura, mengabaikan tatapan tajam
Sasuke yang ditujukan kepadanya.
"Nah, anikiyarou, dengarkan itu. Berbahagialah karena besok kau jadi
maskot regu hijau."
Shinji bersungut-sungut.
"Jadi, Shinji di regu pemandu sorak?" tanya Sakura memastikan.
Sepasang mata hijaunya berbinar oleh sinar yang tak salah lagi adalah
kenakalan.
"Dan basket," imbuh Mahiro dengan seringai. "Besok akan
kuambilkan foto yang banyak untukmu, Kakak."
"Tidak perlu!"
"Ha'i ha'i. Kalau begitu Ibu akan menonton besok."
"Ibu tidak ada shift?"
"Shift malam, tenang saja."
menyadari
satu
hal.
Walaupun
matanya
masih
terasa
Sasuke
mengerutkan
kening.
Sejak
"Kenapa Ibu menuduhku? Bisa saja itu aku yang berteriak!" sahut
Mahiro dengan kekesalan yang jelas terselip dalam nada suaranya.
Sambil membalik bacon gorengnya, Sakura memutar bola mata.
"Ayah kalian saja bisa membedakan siapa yang tadi berteriak!"
Kemudian terdengar suara kekehan, diikuti dengan pintu yang
dibanting.
Begitu pertengkaran dua putra kembarnya berhenti, Sakura menghela
napas. "Tidak heran aku jadi cepat tua."
Tanpa mengalihkan fokus mata dari koran yang dia baca, sebelah alis
Sasuke terangkat. "Masa? Kau masih cantik," katanya dengan nada
luar biasa datar, membuat kalimatnya barusan tidak lebih antusias dari
komentar cuaca bagus.
"Eee? Apa aku baru saja mendengar Ayah menggoda Ibu?" Tiba-tiba
kepala Shinji muncul dari tangga. Senyumnya lima jari dan matanya
berbinar tiga puluh watt.
"Cepat pakai baju dan turun!" bentak sang ibu dengan wajah
memerah. Dengan tenaga sedikit berlebih, dia taruh piring
berisi bacon goreng di atas meja makan.
"Ibu cantik sekali kalau malu-malu begitu," godanya dan sejurus
kemudian menghilang, tetapi tidak sebelum mendengar komentar
setuju sang ayah yang masih fokus dengan korannya.
siapkan
biasanya.
Nasi
hangat,
sup
miso,
telur
sebelum
menyumpit
tomatnya
dan
terang-terangan
caranya memandang pada objek tak hidup tersebut. Batinnya pun turut
bersorak dan mengamini.
Di depannya, sebuah foto ukuran 4R yang diamankan dalam bingkai
kayu putih sederhana semakin menambah kehangatan penthouse dua
lantai tersebut. Fotonya sederhana, diambil oleh dirinya sendiri yang
amatir memegang kamera di acara terakhir festival olahraga Toujou
sebelum upacara penutupan. Foto empat orang yang menempati posisi
khusus dalam hidup seorang Naruto.
Dalam foto itu, Shinji tengah tertawa sambil memegang piala bergilir
yang menandakan kemenangan tim hijau sebagai juara umum festival
olahraga tahunan. Dia sedang memeluk ibunya, Sakura yang sedang
menahan senyum, dari belakang dan dagunya bertumpu di puncak
kepala Sakura. Di sampingnya, Mahiro tengah memasang wajah kusut
(tak salah lagi pasti sedang jengkel karena godaan Shinji yang tiada
henti) dan Sasuke sedang mengacak-acak rambutnya.
Naruto tidak pernah melihat foto keluarga paling sempurna seperti
foto yang dia ambil ini.
Di foto itu juga, beberapa orang yang ikut tertangkap kamera tanpa
sengaja sedang memperlihatkan ketertarikan khusus kepada keluarga
dengan dua putra itu. Sebagian penasaran, heran, sebagian ada yang
ikut tersenyum ketika memandang keluarga dalam fokus foto tersebut.
Naruto tidak bisa menyalahkan mereka. Rasa penasaran dan
keheranan itu bukan lagi hal baru, mengingat privasi Uchiha Sasuke
"Kenapa begitu?"
Seolah dia baru saja mendengar pertanyaan paling konyol, Mahiro
mengangkat bahu, masih dengan senyum sangsinya yang tadi. "Paman
juga yang paling tahu Ibu selalu menomorduakan dirinya sendiri. Itu
juga yang membuatnya menyembunyikan kami dari Ayah." Kedua
tangannya yang tersembunyi di dalam saku celana pendeknya terkepal
rapat. "Dan Ibu masih percaya kalau Ayah akan lebih bahagia tanpa
Ibu."
Memahami benar apa yang Mahiro katakan dan juga setuju
dengannya, Naruto kembali fokus ke foto di depannya. "Ibumu tidak
akan bilang begitu kalau saja dia tahu seperti apa jadinya Sasuke dulu
ketika dia pergi." Naruto merasakan punggungnya merinding kala
mengingat memori di masa-masa awal kepergian Sakura. Dia ingat
betul seperti apa jadinya sahabatnya itu. Sasuke kembali menutup diri,
bahkan lebih dari yang sudah-sudah. Dia mendedikasikan setiap
waktunya untuk menyelesaikan dua cabang studi yang diambilnya
bersamaan, arsitektur dan manajemen bisnis. Dan setiap harinya
serasa hanyalah sebuah ulangan dari hari kemarin. Dia bagaikan robot
hidup yang dengan patuh mengikuti arus kehidupan tanpa sedikit pun
keengganan. "Apa ibumu khawatir mengenai Karin?"
"Mungkin itu salah satunya. Mungkin juga mengenai keluarga Ayah."
Naruto mendengus keras-keras mendengarnya. "Nonsense." Dia
melipat tangan di depan dada. "Nenekmu bahkan lebih menyayangi
memberengut
dalam-dalam,
tahu
benar
bahwa
memberengut
menghempaskan
(dalam
gaya
bawaannya
katanya
pria
ke
masam.
dewasa)
meja
"Sakura
sambil
makan.
ngotot
betul Mahiro minta dipesankan ayam madu dan Ibu tahu kau tidak
lupa."
Shinji yang datang sambil membawa gelas-gelas hanya menyeringai.
"Porsinya cukup untuk dua orang, dan Mahiro tidak suka makan
makanan dengan menu yang sama berturut, pesanannya harus habis
dalam sekali makan. Dan karena yang suka ayam madu hanya adikku
tersayang ini, kuputuskan untuk memesan favoritku saja. Kita bisa
makan berdua, Adik," katanya sembari mengedipkan sebelah mata.
Sama sekali tidak termakan kata-kata manis Shinji, Mahiro
memicingkan mata. "Kau juga tahu aku tidak suka ayam lada hitam."
"Tapi aku suka."
"Dan kenapa aku harus mengalah demi seleramu?"
"Karena aku kakaknya," Shinji menaikkan alis tinggi-tinggi.
Dan sebelum Mahiro bereaksi terhadap ulah kakaknya, ayahnya lebih
dulu menengahi. Dia tepuk-tepuk kepala putranya yang sedang
bermuka masam. "Jangan bertengkar." Suaranya memang dibuat
setenang biasanya, tetapi baik Mahiro maupun Shinji tidak
melewatkan peringatan keras di sana. "Lain kali kita makan di luar,
kau bisa memesan apa pun yang kau mau. Untuk kakakmu juga,"
katanya kepada Mahiro.
Mahiro tampak puas mendengarnya dan Shinji ganti bermuka masam
tetapi memutuskan untuk tidak kembali menyulut.
Naruto yang diam memperhatikan interaksi ayah dan anak yang baru
saling kenal beberapa hari itu hanya bisa tersenyum sepuluh jari. "Kau
sudah pintar jadi ayah, teme!" serunya luar biasa senang.
Sasuke, dengan sifat kalemnya, hanya membalas dengan sepasang alis
yang terangkat tinggi. "Kurasa karena pengalaman dengan Shizuku,
Nagisa, dan Kai," jawabnya singkat. "Menurutmu aku sudah
menangani mereka dengan baik?" tanyanya yang ditujukan kepada
Sakura.
Si wanita dalam tanya kemudian mengangguk. "Mereka lebih mudah
diatur, terima kasih kepadamu."
"Mereka anak papa rupanya, Sakura-chan!"
Sakura memberengut dan memilih untuk mulai menyantap makan
malamnya. Diam-diam dia mendesah. Bayi-bayinya kini memang bayi
papa. Bukannya Sakura tidak suka atau apa, toh kedua putranya patut
bermanja-manja kepada sang ayah, tetapi Sakura jadi tidak bisa
mengenyahkan perasaan bersalah yang beberapa hari ini berusaha dia
tekan dan dia abaikan dengan cara menyimpannya di sudut jauh
batinnya. Melihat interaksi ayah dan anak paling natural seperti itu
membuat Sakura kembali berpikir apakah keputusannya dulu benarbenar tepat. Dia memang memikirkan kebahagiaan dan masa depan
Sasuke, tetapi apakah dia memang tahu apa yang bisa membuat
Sasuke bahagia? Sakura telah terang-terangan merebut tahun-tahun
Sasuke sebagai seorang ayah, dan pria itu hingga detik ini tidak
Mahiro
yang
sudah
berhenti
berbincang
hanya
untuk
Juga
kredibilitasnya
sebagai
orang
yang
telah
.
Ketika
subuh
itu
Haruno
yang
Sakura
kembali
melelahkan,
Uzumaki
ke
rumahnya
Naruto
dan
akan
mengeluhkan
otot
lehernya
yang
nyeri.
Sasuke
menempati loveseat dan tidur pulas. Kakinya yang lebih panjang dari
panjang loveseat menggantung bebas. Melihatnya tidur seperti itu
kembali mengingatkan Sakura ke satu malam tertentu yang dia
habiskan hanya untuk memandangi Sasuke tidur (wajahnya sertamerta memerah ketika memori dari malam di delapan belas tahun
silam kembali menguasainya). Buru-buru dia menyibukkan pikiran
dengan mencari sosok putra bungsunya, yang rupanya berpikir lantai
adalah tempat yang tepat untuk tidur. Putranya satu itu tidur terlentang
dengan tangan dan kaki terentang lebar. Di tangannya, remote televisi
digenggam lemah.
Betapa dia memimpikan momen-momen seperti ini, apalagi jika
Shinji dan Mahiro masih belum sebesar ini. Dengan begitu, kedua
putranya tidak akan kehilangan momen ayah-anak yang tidak
tergantikan. Sayangnya sekarang sudah sedikit terlambat untuk
mewujudkannya. Shinji dan Mahiro sudah sebesar ayah mereka,
dengan ego dan rasa malu yang juga sama besarnya. Dan Sakura
kembali mempertanyakan dirinya.
Setelah sekali lagi mengedarkan pandangan ke arah tiga pria yang
paling dicintainya, Sakura segera bergegas masuk ke kamarnya dan
mengambil tiga selimut tipis. Musim panas memang tetap saja musim
panas, tetapi bukan berarti mereka tidak akan terserang flu karena
tidur di luar seperti itu. Setelah menyelimuti ketiganya satu per satu
dan mematikan televisi, Sakura kembali ke kamarnya untuk
mengambil pakaian rumahan dan kemudian mandi cepat. Dia
untuk
kedua
putranya,
terkadang
sedikit
kejutan
dengancookies atau pie. (Dan sekali lagi, Sakura hanya bisa membuat
yang paling sederhana dari yang sederhana. Bakat belajarnya hanya
terbatas untuk urusan tubuh manusia dan pengobatannya, sayangnya.)
Dan pagi ini, dengan semangat yang barangkali menyaingi matahari
musim panas, Sakura merasa satu pie kayu manis akan cukup sedap
untuk membangunkan ketiga pangeran tidurnya.
Satu
setengah
jam
kemudian,
setelah
Sakura
mengeluarkan
loyang pienya dari oven dan sarapan sederhana sudah siap di meja
makan, suara pertama yang terdengar adalah gerutuan Shinji.
"Kurasa aku sudah mematahkan leherku" erangnya sambil malasmalasan bangun. Matanya masih terpejam rapat ketika dia membaui
udara. "Kayu manis"
Dari ambang dapur, Sakura hanya bisa tertawa. "Lehermu belum
patah, Shinji, dan Ibu baru membuat pie kayu manis untukmu. Ayo
bangun."
Bagaikan mantra, Shinji langsung membuka mata dan memandangi
sang ibu dengan mata lapar. "Mana punyaku?"
"Segera setelah kau cuci muka dan sikat gigi, ah, bangunkan juga
Ayah dan Mahiro," katanya, kemudian mulai menyibukkan diri
dengan kopi dan jusnya.
Dengan setengah hati Shinji bangkit dari sofa dan menendang kaki
adiknya yang terjulur dekat tempatnya. "Ayo bangun, Adik." Setelah
puas dengan reaksi Mahiro, dia kemudian berpindah untuk
membangunkan ayahnya, kali ini cukup dengan tepukan pelan di
tangan. "Ayah" panggilnya dan Sasuke langsung terbangun.
"Bau apa ini?" tanyanya dengan suara parau khas orang bangun tidur.
Dengan seringai, Shinji menjawab. "Pie kayu manis."
Begitu dia keluar dari kamar mandi, satu pemandangan yang telah dia
sadari menjadi satu hal paling natural dalam hidupnya adalah
menyaksikan kedua putranya berdebat. Kali ini karena berebut siapa
yang bisa memakai kamar mandi lebih dulu. Sambil menghela napas,
Sasuke menggerutu. "Pakai bersama saja."
Walaupun masih dengan wajah saling bermusuhan, keduanya
kemudian masuk bersama sambil sesekali bertukar olokan. Sasuke
hanya bisa menghela napas. Diam-diam dia jadi bertanya-tanya
apakah mereka benar-benar saudara satu darah dan bukannya dua
orang yang telah bersumpah akan terus bermusuhan. Dan benar saja,
pergulatan pagi mereka tidak berhenti begitu saja setelah perebutan
kamar mandi terselesaikan. Tema olok-olokan mereka justru
bercabang ke topik yang berbeda sama sekali dari permasalahan
kamar mandi. Sasuke yang merasa tidak tahu harus bagaimana
memutuskan untuk diam dan menikmati kopi paginya, satu isyarat
bahwa dia menyerahkan kuasa sepenuhnya kepada Sakura.
"Kapan sih kalian tidak bertengkar?" Sakura berkacak pinggang
dengan ekspresi tegas di wajahnya. "Ibu mulai berpikir kalian tidak
layak mendapat pie."
Mahiro terkesiap. Shinji langsung melancarkan senyum memesonanya
tanpa cacat. "Apa aku sudah memuji Ibu cantik pagi ini?"
Ekspresi keras di wajah Sakura perlahan mengendur. "Tidak perlu. Ibu
lebih senang kalau kalian berhenti bertengkar saja."
telah
disediakan
untuknya.
Rasa
masam
itu
segera
tidak
mengajaknya
salah
keluar,
sih
ada
tetapi
sepertinya
pagi
ini
dia
yang
sedang
Bagaimana ini semua bermula, Haruno Sakura tidak lagi yakin. Hari
ini dia memang tidak perlu pergi ke rumah sakit kecuali jika ada
keadaan darurat, tetapi bukan berarti dia jadi rela-rela saja diboyong
ke Setagaya. Sakura merasa dikhianati oleh kedua putranya.
"Ayolah, Bu, jangan merajuk terus," rayu Shinji tak kenal henti. "Kita
sudah terlanjur sampai."
"Bagaimana kalau Ibu punya pasien gawat darurat?"
Kali ini Mahiro memutuskan untuk membantu kakaknya. Hanya satu
kali ini saja. "Ini jatah libur bulanan Ibu, jadi kemungkinan Ibu
dipanggil untuk menangani pasien gawat darurat hanya tujuh persen.
Ibu cuma ingin menghindar."
"Kenapa kalian jadi kompak sekali?!" pekiknya frustasi menghadapi
kedua putranya sekaligus.
Shinji menaikkan alis tinggi. "Ibu sendiri yang selalu komplain kalau
kami bertengkar."
"Dan hari ini kami memutuskan untuk berdamai dan menjadi saudara
sesungguhnya," imbuh Mahiro sambil mengangguk-angguk.
"Mulai besok saja!"
"Ibu mulai tidak masuk akal."
"Itu ada di daftar paling bawah dari apa yang perlu Ibu pedulikan."
Sebagai putra yang overprotective kepada sang ibu, Shinji dan Mahiro
segera menggiring Sakura melewati Karin (dan dengan sengaja
menyenggolnya keras-keras), dan segera bertemu pandang dengan
keluarga inti Uchiha.
"Sakura-chan!"
Tidak ada yang lebih kaget daripada Sakura sendiri ketika Nyonya
Uchiha itu memeluknya dengan kekuatan meremukkan tulang. Belum
lagi ketika beberapa saat kemudian terdengar isak tangis memilukan.
Sakura cemas luar biasa.
"Oh, putriku!" desahnya di sela isak tangis.
Dalam pelukan erat Uchiha Mikoto, Sakura pelan-pelan kembali rileks
dan mulai membalas pelukan wanita yang selalu mengisi posisi
seorang ibu baginya. Baru dengan satu pelukan, dan Sakura
merasakan rasa rindu luar biasa terhadap sosok wanita yang selalu
menyayanginya lebih dari menyayangi putra-putranya sendiri.
"Kemana saja kau, Sayang?"
Sakura tertawa. Bukan karena merasa situasi mereka lucu, tetapi lebih
karena Sakura tidak tahu lagi harus bereaksi seperti apa. Dia hanya
bisa membalas pelukan Mikoto sama eratnya, sekaligus menyalurkan
rasa rindu dan penyesalannya. "Banyak yang terjadi, Mikoto-san,"
jawabnya dengan suara parau. Dia sendiri tidak menyadari air mata
yang mulai menitik dari sepasang matanya.
Kau
tidak
bisa
membiarkan
Sasuke-kun membatalkan
pertunangan kami!"
Dengan kekaleman yang sudah terlatih bertahun-tahun, Fugaku hanya
memberi wanita itu lirikan. "Putraku bisa melakukan apa pun yang dia
mau."
"Tapi kontrak perusahaan"
"Itu pun bisa dibatalkan," katanya tajam, memotong bantahan Karin
seketika. Sejak awal tujuannya menikahkan Karin dengan putranya
memang hanya karena perusahaan. Dia pribadi tidak menyukai wanita
tersebut.
"Oh! Kami akan menggugat kalian Uchiha!" bentaknya.
Mendengar ancaman (yang sebenarnya tidak terlalu berarti baginya),
Uchiha Fugaku bangkit dari posisi duduknya. Dia kemudian menoleh
untuk menatap Karin sepenuhnya dengan matanya yang tajam dan
tanpa ampun. "Aku ingin lihat kau mencobanya, Nona."
Dengan wajah luar biasa merah oleh amarah dan malu, Karin segera
berbalik dan menghilang di balik pintu. Suasana di ruangan itu pun
secara nyata terasa lebih ringan. Tidak sampai sang kepala klan
memutuskan untuk kembali bicara.
"Nah, apa yang kita punya di sini?" Tatapan tajamnya yang penuh
pertimbangan diarahkan kepada Sakura yang sedang berdiri bersisian
dengan Mikoto. "Apa kau benar ibu dari kedua cucuku?" Ketika
Sakura menjawabnya dengan anggukan gugup, Fugaku menaikkan
sepasang alis hitamnya. "Tapi tidak sedikit pun mereka mirip
denganmu."
Duh! Sudah cukup banyak orang yang meragukannya. "Ya, saya sadar
sekali, Fugaku-san." Kalimat bertata bahasa sopan itu justru keluar
dengan ketajaman yang mirip olokan.
Dan bukannya marah atau tersinggung, Fugaku justru semakin dalam
memandang Sakura. Ada binar ganji di matanya, seperti Sasuke yang
sedang merencanakan sesuatu yang tidak boleh Sakura ketahui, atau
ketika Shinji tahu satu rahasia orang dan berniat memeras mereka
dengan itu.
"Fugaku-kun, bagaimana dengan keluarga Uzumaki nantinya?" tanya
Mikoto memecah kontak mata panas Fugaku dan Sakura.
"Semuanya bisa diatur ulang, Miko."
"Bagaimana jika mereka benar-benar mengajukan tuntutan?"
harusnya
Shinji
membacanya?
Itu
terlihat
seperti eager yang salah tulis, tetapi dia yakin tadi ayahnya
mengucapkannya seperti eagle.
"Bagaimana cara membacanya?"
Di sampingnya, Uchiha Sasuke mendongak mengikuti arah tatapan
kedua putranya. "Di antara keduanya."
Shinji tak jadi berkomentar.
"Apa maksudnya?" ganti Mahiro yang bertanya.
Sasuke untuk sejenak terdiam, menimbang-nimbang jawabannya.
"Permainan kata-kata."
Shinji dan Mahiro bersama-sama memandangi sang ayah seolah pria
tiga puluh delapan tahun itu baru saja menumbuhkan satu kepala lagi,
atau tiga. "Pun?"
Uchiha Sasuke mengangguk, merasa logikanya tidak secacat yang dia
perkirakan.
Mahiro mengatur air mukanya sedatar mungkin. "Yeah, memang
kedengaran seperti permainan kata-kata."
"Dassee."
Bahkan kedua putra kebanggaannya tidak sepakat dengan maksud
permainan kata-katanya, malah mengatai nama perusahaannya payah.
Ayah dua anak itu hanya bisa menatap kedua putranya kesal tanpa
bisa berkomentar. "Tunggu saja sampai Ayah mengubah surat wasiat."
Kedua putranya hanya kompak menyeringai.
Begitu ketiganya memasuki lobi depan kantor, para karyawan di sana
tidak satu pun yang tidak menyempatkan diri menengok ke arah ketiga
Uchiha tersebut. Mereka memang sudah membaca atau melihat berita,
tetapi baru kali ini menyaksikan secara langsung bos mereka yang
tiba-tiba muncul di media bersama wanita dan dua putra remaja yang
dilihat dari sudut mana pun mewarisi fisiknya. Dan itu artinya, sudah
ada jaminan kesegaran daun-daun muda tiga atau empat tahun
mendatang (mengingat Uchiha Sasuke sudah resmi didepak dari
barisan most wanted bachelor). Apalagi satu dari keduanya sudah
dikenal luas punya sifat flamboyan. Seolah mereka baru saja
menyaksikan dua wujud alter Uchiha Sasuke.
Dan pemberitaan mengenai pewaris baru Uchiha Company tentunya
juga tidak kalah semarak. Beberapa waktu lalu, Uchiha Fugaku telah
mengumumkan kepada media bahwa dua puluh persen saham Uchiha
Company yang berada di bawah namanya akan diserahkan kepada
Uchiha Mahiro begitu cucunya itu telah memasuki masa dewasa. Dan
dengan tambahan sepuluh persen saham milik sang ayah, Uchiha
tetap saja Shinji dan Mahiro bagaimana pun juga tetap Mahiro. Dan
apa pun yang bersangkutan dengan keduanya tidak bisa dianggap
sepele. Sakura sudah belajar banyak (terkadang melalui metode paling
keras) bahwa dia tidak bisa menganggap sepele hal-hal yang
sebenarnyasepele. Kedua putranya telah membuktikan diri mereka
bisa mengubah perdebatan sepele menjadi perdebatan paling seru dan
panas, bahkan mengalahkan jalannya sidang kasus kriminal berdarah.
"Anggap saja kau punyadua sosok dirimu yang lain. Seandainya
memang ada dunia beta dimana kau sedikit playboy dan womanizer,
Shinji benar-benar wakil yang tepat."
Sasuke menanggapi ucapan Sakura dengan seringainya sendiri. "Dan
Mahiro? Bagaimana kau menjelaskannya?"
"Hmm" Sakura termenung sambil mengalihkan fokus penuhnya
kepada Mahiro yang kini sedang berusaha merebut remote televisi.
(Demi
Tuhan,
jangan
katakan
mereka
sedang
berebut
Sasuke
mengangkat
sebelah
alis,
memutar
tubuh
Lebih dari siapa pun, Sakura tahu benar kata 'sedikit' tidak adil untuk
dipakai dalam konteks putra keduanya.
Di sampingnya, Sasuke menyeringai puas. Tatapannya kembali
ditujukan kepada dua putranya (yang masih belum menghentikan
perdebatan
tak
bermakna
mereka).
"Pola
emosi
mereka
dipompa
dan
kini
menggelembung
besar,
siap
tinggal
satu-dua.
Sakura
masih
membekap
mulut,
Kedua Uchiha muda itu ikut merengutkan kening. "Ayah tahu itu
tidak boleh, 'kan?" protes Shinji, yang sejurus kemudian mendapat
jatah tatapan tajam Sasuke.
"Nanti Ayah bisa melihat Ibu. Tadi juga sudah bertemu 'kan," Mahiro
ikut bicara.
"Nah, dengarkan anak-anakmu, Sasuke-kun," imbuh Kakashi merasa
di atas angin.
"Memang
apa
salahnya?"
paksa
Sasuke,
masih
dengan
sepenuhnya menatap Sasuke dari balik kain tulle putih gading yang
menutupi wajahnya.
Mendapat alasan yang lagi-lagi sama untuk keempat kalinya, Sasuke
memicingkan mata. "Siapa peduli dengan tradisi? Memangnya apa
yang akan terjadi?"
"Orang bilang itu tanda kesialan," jawab Kakashi sambil melipat
tangan di depan dada.
"Karena apa? Melihat wajah istri sendiri?" Sasuke melempar
pandangan tajamnya kepada Kakashi.
"Maaf sekali Uchiha, calon istri," koreksinya, membuat Sasuke
semakin berwajah masam. "Kau bisa melihat wajah Sakura kalau nanti
dia sudah jadi istrimu, setelah kalian bertukar sumpah."
Uchiha Sasuke melipat tangan di depan dada, meremukkan mawar
merah yang tersemat di saku dadanya. Wajahnya bebas dari berbagai
emosi dan dia menatap Kakashi dengan tenang. Sepasang alisnya
terangkat. "Aku sudah lihat semua yang bisa dilihat, jadi apa gunanya
tradisi itu?"
Haruno Sakura terdiam dengan mata terbelalak lebar dan wajah
diwarnai berbagai rupa rona merah. Dua putranya, Uchiha Shinji dan
Uchiha Mahiro menyeringai lebar dengan wajah yang terlihat geli
sekaligus malu.
"Nah, nah, nah, Sasuke-kun, jangan frontal begitu kalau tidak mau
istrimu masuk rumah sakit nantinya," hardik Kakashi dengan tawanya.
"Tak masalah. Nanti aku sendiri yang akan mengantarnya. Mungkin
karena kram dan kesulitan berjalan."
Haruno Sakura, yang akan segera menjadi Uchiha Sakura, hanya bisa
mati-matian mencoba untuk tidak pingsan di hari besarnya. [ ]