Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. F
Umur : 20 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal masuk : 18-10-017
No.RM : 84-92-12
Pendidikan terakhir : SMA

II. ANAMNESA
Anamnesa dilakukan secara autoanamnesa dan Alloanamnesa di
Bangsal Rawat Inap Saraf RSUD Cut Nyak Dhien Meulaboh pada
tanggal 20 Oktober 2017.

 Keluhan Utama
- Kelemahan kedua tungkai bawah dan mati rasa

 Keluhan tambahan
- Kesulitan buang air kecil (BAK)
- Kesulitan buang air besar (BAB)
- Terdapat luka pada daerah bokong
- pusing

1
 Riwayat penyakit sekarang
Pasien dibawa ke IGD dengan keluhan kedua tungkai bawah tidak
bisa digerakkan dan mati rasa semenjak 3 minggu SMRS, keluhan ini
dialami pasien semenjak terjatuh dari pohon kelapa setinggi 10 meter
sehingga tulang belakang nya mengalami pembengkokan, menurut
keterangan temannya setelah jatuh pasien sadar dan pasien langsung
dibawa ketempat urut kemudian tulang belakangnya kembali lurus, setelah
dua hari kemudian pasien dibawa ke RSU Cut Nyak Dhien dan dirujuk ke
RSUZA Banda Aceh.
Pasien mengalami kesulitan BAK dan BAB semenjak jatuh dari
pohon kelapa, BAK keluar setelah pemasangan kateter selang empat hari
dari hari kejadian, sedangkan BAB keluar setelah memakai glukolac
selang empat hari juga setelah kejadian, dan seterusnya pasien tidak BAB
lagi kecuali dengan memakai glukolac terlebih dahulu. Terdapat luka pada
daerah bokong kurang lebih 2 minggu ini, menurut keterangan keluarga
pasien semenjak jatuh dari pohon kelapa keluarga nya tidak pernah
mebalikkan badan kesamping kiri dan kanan karena khawatir akan
keadaan tulang belakang nya yang patah, akibat dari itu badan pasien
selalu dalam keadaan terlentang. pusing (+) kurang lebih dua minggu ,
mual (-), muntah (-)

 Riwayat penyakit dahulu


Riwayat HT (-), DM (-).
 Riwayat penyakit keluarga
Disangkal
 Riwayat obat
pasien mengkonsumsi obat obatan selama sakit yang sekarang.

2
III. PEMERIKSAAN FISIK UMUM

Status Generalis
• Keadaan umum : Lemah
• Kesadaran : Compos Mentis
• GCS : E4,V5, M6

 Vital sign
• Tekanan Darah : 100/70 mmhg
• Nadi : 78 x/m
• Frekuensi napas : 22 x/m
• Suhu : 36,3 0c
 Pemeriksaan Fisik Umum
 Kepala dan Leher

Bentuk Kepala : Normocephal

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik

(-/-), reflex pupil (+/+), isokor.

Mulut dan Gigi : Mukosa oral kering, lidah kotor (-) dan

tremor (-).

Leher : Tiroid tidak teraba membesar, pembesaran

KGB (-)

3
 Thorax

Pulmo :

Inspeksi : Bentuk simetris, gerakan dinding dada

simetris.

Palpasi : vocal fremitus dextra+sinitra normal, nyeri

tekan (-)

Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru.

Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)

Cor :

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba ICS V linea

midclavikularis sinistra

Perkusi : batas kanan jantung pada ICS III linea

parasternal dextra, batas kiri pada ICS V

linea midklavikularis sinistra

Auskultas : Bunyi jantung I dan II murni reguler,

murmur (-), gallop (-)

 Inguinal

Inspeksi : Hernia (-), Massa (-).

Palpasi : Teraba denyut arteri femoralis (+), Hernia

(-), massa (-), nyeri tekan (-).

 Rectal Toucher tidak dilakukan

4
 Ekstremitas

Superior Inferior

Edema -/- Edema +/+

Sianosis -/- Sianosis -/-

Tidak terdapat kelemahan tungkai Kelemahan kedua tungkai

CRT > 2 detik CRT > 2 detik

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
MOTORIK SENSORIK N.CRANIALI REFLEK REFLEK P.
S FISIOLOGIS PATOLOGIS MENINGEAL

Protopatik Tidak ada Normal Normal Kaku kuduk


setinggi Th kelainan (+)
5555 5555 Biceps (+) Babinski (-)
11
Kerning sign >
0000 0000 Triceps (+) Cadock (-)
1350
Patella (-) Gordon (-)
Laseque sign >
Achilles (-) Openhim (-) 700

5
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

 MRI Cervical Thoracolumbal

 Rontgen Thorax dan Lumbosacral

6
 Hematologi
o HB : 11,7 gt %
o leukosit : 8,9 x 10 3/µl
o trombosit : 434 X 103/µl
o HT : 36,2 gt %
o Indirect Bilirubin : 0,19 mg/dL
o Albumin : 3,59 mg/L
o Globulin : 3,73 mg/dL
o Kreatinin : 0,82 mg/dL
o Ureum : 47,6 mg/dL
o Glukosa Sewaktu : 133,3 mg/dL

V. DIAGNOSIS
 KLINIS : Paraplegia UMN + Retensi Urine + Retensi Alvi
+ Ulkus Decubitus
 TROPIS : TH 12
 ETIOLOGI : Trauma Medulla Spinalis

VI. PENATALAKSANAAN
- Ifvd RL 20 gtt / menit
- Inj ranitidin 1 Amp / 12 jam
- Inj. Ketorolac 1 Amp/ 8 jam
- Oral : Urinter 3x1

7
VII. FOLLOW UP

TANGGAL S O A P
19/10/2017 Os masih KU: lemah Paraplegia Ivfd Rl 1 fls / 12 jam
mengeluh TD: 100/70 UMN Ec Inj. Cyticolin 500 mg /12 jam
lemah,kedua HR: 78 x/i Trauma Inj. Ranitidn 1 A /12 jam
tungkai tidak RR: 20 x/i Medulla Spinal Inj. Metilprednisolon 125 mg
bisa digerakkan, + Retensi /8 jam
susah BAK dan Urine + Inj. Interco 1 A / 24 jam
BAB Retensi Alvi Inj. Cefotaxim / 12 jam
Inj. Ondansentron 1 Amp/12
jam
Oral : - nepatic 1 x300
- Gentamicin salap
Dulcolac sup 1x1
20/10/2017 Os masih KU: lemah Paraplegia Ivfd Rl 1 fls / 12 jam
mengeluh TD: 100/60 UMN Ec Inj. Cyticolin 500 mg /12 jam
lemah,kedua HR: 75 x/i Trauma Inj. Ranitidn 1 A /12 jam
tungkai tidak RR: 18x/i Medulla Spinal Inj. Metilprednisolon 125
bisa digerakkan, + Retensi mg/8 jam
susah BAB Urine + Inj. Interco 1 A / 24 jam
Retensi Alvi Inj. Cefotaxim / 12 jam
Inj. Ondansentron 1 Amp/12
jam
Oral : - nepatic 1 x300
- Gentamicin salap
Dulcolac sup 1x1
21/10/2017 Os masih KU: baik Paraplegia Ivfd Rl 1 fls / 12 jam
mengeluh TD: 120/80 UMN Ec Inj. Cyticolin 500 mg /12 jam
lemah,kedua HR: 80x/i Trauma Inj. Ranitidn 1 A /12 jam
tungkai tidak RR: 18x/i Medulla Spinal Inj. Metilprednisolon 125
bisa digerakkan, + Retensi mg/8 jam
susah BAB Urine + Inj. Interco 1 A / 24 jam
Retensi Alvi Inj. Cefotaxim / 12 jam
Inj. Ondansentron 1 Amp/12
jam
Oral : - nepatic 1 x300
- Gentamicin salap
GV Nacl 0,9 %

8
Klisma sabun telex
22/10/2017 Os masih mengeluh KU: baik Paraplegia Ivfd Rl 1 fls / 12 jam
lemah,kedua TD: UMN Ec Inj. Cyticolin 500 mg /12 jam
tungkai tidak bisa 110/80 Trauma Inj. Ranitidn 1 A /12 jam
digerakkan, susah HR: 82x/i Medulla Inj. Metilprednisolon 125
BAB Spinal + mg/8 jam
RR: 20x/i
Retensi Inj. Interco 1 A / 24 jam
Urine + Inj. Cefotaxim / 12 jam
Inj. Ondansentron 1 Amp/12
Retensi
jam
Alvi
Oral : - nepatic 1 x300
- Gentamicin salap
Klisma sabun telex+Dulcolax
supp

BAB (+)

23-10-2017 Os masih mengeluh KU: baik Paraplegia Ivfd Rl 1 fls / 12 jam


lemah,kedua TD: UMN Ec Inj. Cyticolin 500 mg /12 jam
tungkai tidak 110/80 Trauma Inj. Ranitidn 1 A /12 jam
bisa digerakkan, HR: 82x/i Medulla Inj. Metilprednisolon 125
susah BAB (+) Spinal + mg/8 jam
RR: 20x/i
Retensi Inj. Interco 1 A / 24 jam
Urine + i Inj. Cefotaxim / 12 jam
Alvim + Inj. Ondansentron 1 Amp/12
Ulkus jam
Decubitus Oral : - nepatic 1 x300
- Gentamicin salap
PBJ

9
BAB I
PENDAHULUAN

Paraplegia adalah kelumpuhan pada kedua anggota gerak bawah tubuh


atau kedua belah kaki, yang disebabkan karena cedera parah pada spinal cord
level bawah. Cedera tersebut menyebabkan seluruh impuls dari otak tidak dapat
diterima oleh jaringan otot dibawahnya, dan sebaliknya impuls dari bawah level
yang rusak tidak dapat diterima oleh otak. Akibatnya penderita paraplegia
kehilangan fungsi motorik dan sensorik di bawah area yang rusak, kehilangan
kekuatan, menjadi lemah dan layu. Penderita juga kehilangan kemampuan
mengendalikan buang air kecil dan buang air besar (blader and bowel control).
Penderita menjadi sangat tergantung pada orang lain. 1
Pada perkembangan kasus paraplegia semakin meningkat pesat seiring
meningkatnya pula bencana alam (tsunami, gempa) dan terjadinya kecelakaan
(kerja, lalu lintas, rumah tangga) di beberapa wilayah Indonesia. Sekitar 300
orang menderita kecacatan seumur hidup karena cedera tulang belakang atau
Spinal Cord Injury (SCI). Menurut Sekretaris Daerah Bantul, Suharjo, jumlah
penderita lumpuh permanen korban gempa di wilayah DIY sebanyak 408 orang,
399 orang di antaranya adalah warga Bantul. Selain korban yang lumpuh terdapat
400 warga di Kecamatan Jetis, Bambanglipuro, dan Imogiri yang harus menjalani
terapi. menambahkan jumlah pasien rehabilitasi di Kabupaten Bantul adalah 1.608
orang dengan rincian sebagai berikut : (1) pasien cedera tulang belakang dengan
kelumpuhan sebanyak 229 orang; (2) pasien amputasi sebanyak 28 orang; dan (3)
pasien fraktur (patah tulang) sebanyak 1.250 orang. 1
Susunan neuromuskular terdiri dari Upper motor neuron (UMN) dan
lower motor neuron (LMN). Upper motor neurons (UMN) merupakan kumpulan
saraf-saraf motorik yang menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik
sampai inti-inti motorik di saraf kranial di batang otak atau kornu anterior.
Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok UMN dibagi dalam
susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri dari

10
traktus kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Traktus kortikobulbar fungsinya
untuk geraakan-gerakan otot kepala dan leher, sedangkan traktus kortikospinal
fungsinya untuk gerakan-gerakan otot tubuh dan anggota gerak. Sedangkan lower
motor neuron (LMN), yang merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang berasal
dari batang otak, pesan tersebut dari otak dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh
seseorang.2
Dari otak medula spinalis turun ke bawah kira-kira ditengah punggung dan
dilindungi oleh cairan jernih yaitu cairan serebrospinal. Medula spinalis terdiri
dari berjuta-juta saraf yang mentransmisikan informasi elektrik dari dan ke
ekstremitas, badan, oragan-organ tubuh dan kembali ke otak. Otak dan medula
spinalis merupakan sistem saraf pusat dan yang mehubungkan saraf-saraf medula
spinalis ke tubuh adalah sistem saraf perifer. Medula spinalis terdiri atas traktus
ascenden (yang membawa informasi di tubuh menuju ke otak seperti rangsang
raba, suhu, nyeri dan gerak posisi) dan traktus descenden (yang membawa
informasi dari otak ke anggota gerak dan mengontrol fungsi tubuh).2
Motorneuron dengan aksonnya merupakan satu-satunya saluran bagi
impuls motorik yang dapat menggerakkan serabut otot. Bilamana terjadi
kerusakan pada motorneuron, maka serabut otot yang tergabung dalam unit
motoriknya tidak dapat berkontraksi, kendatipun impuls motorik masih dapat
disampaikan oleh sistem pyramidal dan ekstrapiramidal kepada tujuannya.
Kelemahan/kelumpuhan parsial yang ringan/tidak lengkap atau suatu kondisi yang
ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu disebut dengan
parese.2
Penyebab paraplegia pada umumnya dikategorikan dalam 2 sebab, yaitu
sebab trauma dan sebab medis atau penyakit. Penyebab trauma yang paling umum
adalah kecelakaan, baik kecelakaan lalu lintas maupun kecelakaan kerja. Atau
oleh sebab lain seperti peradangan selaput yang mengelilingi dan melindungi saraf
tulang belakang (arachnoiditis), atau fraktur akibat penyakit rematik, sedangkan
penyebab medis atau penyakit biasanya disebabkan oleh infeksi atau parasit.2
Trauma medula spinalis (TMS) meliputi kerusakan medula spinalis karena
trauma langsung atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan fungsi

11
utamanya, seperti fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan refleks, baik komplet
ataupun inkomplet. Trauma medula spinalis merupakan penyebab kematian dan
kecacatan pada era modern, dengan 8.000-10.000 kasus per tahun pada populasi
penduduk USA dan membawa dampak ekonomi yang tidak sedikit pada sistem
kesehatan dan asuransi di USA. 3
Trauma medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang
mempengaruhi 150.000 orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan 10.000
trauma baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia
muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh trauma. Data dari bagian rekam medik
Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung
dari Januari sampai Juni 2003 angka kejadian angka kejadian untuk fraktur adalah
berjumlah 165 orang yang di dalamnya termasuk angka kejadian untuk trauma
medulla spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%). 3
Pada usia 45-an fraktur lebih banyak terjadi pada pria di bandingkan pada
wanita karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan
ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di
asosiasikan dengan perubahan hormonal (menopause).3

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PARAPLEGIA

1. Definisi
Paraplegia adalah kondisi dimana bagian bawah tubuh (extremitas bawah)
mengalami kelumpuhan atau paralysis yang disebabkan karena lesi transversal
pada medulla spinalis.2

Parese adalah kelemahan parsial yang ringan/tidak lengkap atau suatu


kondisi yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu
Plegia adalah kelemahan berat/kelumpuhan sebagai akibat kerusakan system
saraf. 4

2. Anatomi

2.1 Anatomi columna vertebralis


Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi
medula spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang
diteruskannya ke lubang-lubang paha dan tungkai bawah. Masing-masing tulang
dipisahkan oleh discus intervertebralis. Vertebralis dikelompokkan sebagai
berikut : 5
a. Vetebra Cervicalis (atlas)
Vetebra cervicalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi
hanya berupa cincin tulang. Vertebra cervikalis kedua (axis) ini memiliki
dens, yang mirip dengan pasak. Veterbra cervikalis ketujuh disebut
dominan karena mempunyai prosesus spinasus paling panjang.
b. Vertebra Thoracalis
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk
jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax.

13
c. Vertebra Lumbalis
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal,
berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus
vertebra yang besar ukurannya sehingga pergerakannya lebih luas kearah
fleksi.
d. Os. Sacrum
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang
dimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk
tulang bayi.
e. Os. Coccygis
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami
rudimenter.
Lengkung koluma vertebralis kalau dilihat dari samping maka kolumna
vertebralis memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-pesterior :
lengkung vertikal pada daerah leher melengkung kedepan daerah torakal
melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan dan daerah pelvis melengkung
kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap pasterior, yaitu torakal dan pelvis,
disebut promer karena mereka mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari
hidung tulang belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengan kepala membengkak
ke bawah sampai batas dada dan gelang panggul dimiringkan keatas kearah depan
badan. Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah sekunder → lengkung
servikal berkembang ketika kanak-kanak mengangkat kepalanya untuk melihat
sekelilingnya sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia
merangkak, berdiri dan berjalan serta mempertahankan tegak. 5
Fungsi dari kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang kokoh dan
sekaligus bekerja sebagai penyangga kedengan prantaraan tulang rawan cakram
intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan memungkinkan
membongkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan
yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti waktu berlari dan meloncat,
dan dengan demikian otak dan sumsum belakang terlindung terhadap goncangan.
Disamping itu juga untuk memikul berat badan, menyediakan permukaan untuk

14
otot dan membentuk tapal batas pasterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan
dan memberi kaitan pada iga.6

Gambar 1 : Anatomi Collumna Vertebralis

2.2 Anatomi medulla spinalis


Medulla spinalis merupakan massa jaringan saraf yang berbentuk silindris
memanjang dan menempati ⅔ atas canalis vertebra yaitu dari batas superior atlas
(C1) sampai batas atas vertebra lumbalis kedua (L2), kemudian medulla spinalis
akan berlanjut menjadi medulla oblongata. Pada waktu bayi lahir, panjang
medulla spinalis setinggi Lumbal ketiga (L3). Medulla spinalis dibungkus oleh
duramater, arachnoid, dan piamater. Fungsi sumsum tulang belakang adalah
mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak
refleks.5

15
Gambar 2 : Medulla Spinalis

Untuk terjadinya gerakan refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut :


1. Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit
2. Serabut saraf sensorik : mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-
sel dalam ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi
kelabu pada karnu pasterior mendula spinalis
3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung
menghantarkan impuls-impuls menuju kornu anterior medula spinalis
4. sel saraf motorik ; dalam kornu anterior medula spinalis yang menerima
dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut saraf motorik
5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls
saraf motorik.

16
Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada
daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis
beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada
kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan
rectum.6

Gambar 3 : Anatomi Medulla Spinalis


3. Etiologi
Penyebab yang paling umum dari kerusakan medulla spinalis adalah :
1. Trauma

17
Seperti kecelakaan motor, jatuh, luka ketika berolahraga
(khususnya menyelam ke perairan dangkal), luka tembakan dan juga bisa
karena kecelakaan rumah tangga.5
2. Penyakit
- Motorneuron disease : keluhan berupa kelemahan otot, seperti pada
otot yang cepat letih dan lelah, yaitu pada jari-jari tangan.
- Polimiositosis bilateral : keluhan berupa kelemahan / keletihan pada
otot– otot disertai mialgia ataupun sama sekali bebas nyeri atau rasa
pegal/ linu / ngilu. Polimiositosis juga dapat menyebabkan kelemahan
keempat anggota gerak.
- Poliradikulopatia / polineuropatia bilateral : keluhan berupa
kelemahan otot-otot tungkai.
- Miopatia bilateral : keluhan berupa tidak dapat mengangkat badannya
untuk berdiri dari sikap duduk taupun sikap sujud.
- Distropia bilateral : kelemahan otot sesuai dengan penyakit herediter
umumnya, yaitu sejak kecil.
- Sindroma Miastenia Gravis : dimulai dengan adanya ptosis unilateral
atau bilateral.5

4. Klasifikasi

Paraplegi terbagi menjadi tipe spastic (UMN) dan flaksid (LMN) :


a. Paraplegi spastic (UMN) adalah kekakuan otot dan kejang otot disebabkan
oleh kondisi saraf tertentu. Paraplegi spastik disebabkan oleh spondylitis
TB , spinal cord injury, genetic disorder (hereditary spastic paraplegia),
autoimmune diseases, syrinx (a spinal chord disorder) tumor medulla
spinalis, mutiple sclerosis. 2
b. Paraplegi flaksid adalah kelemahan atau kurangnya otot yang tidak
memiliki penyebab yang jelas. Otot lemas sebagian karena kurangnya
aktivitas dalam otot, gerakan sukarela yang sebagian atau seluruhnya
hilang. Paraplegi flaksid termasuk polio, lesi pada neuron motorik yang
lebih rendah, Guillain Barre sydrome.2

18
Trauma pada medulla spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan inkomplet
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.7

KARAKTERISTIK LESI KOMPLET LESI


INKOLPLET
Motorik Hilang dibawah lesi Sering (+)
Protopatik (nyeri, suhu) Hilang dibawah lesi Sering (+)
Propioseptik (joint position, Hilang dibawah lesi Sering (+)
vibrasi)
Rontgen vertebrae Sering fraktur, luksasi Sering Normal
atau listesis

Tabel 1.1 : Klasifikasi Trauma Medula Spinalis

5. Patofisiologi
Trauma dapat mengakibatkan cedera pada medula spinalis secara
langsung. Selain itu, trauma dapat pula menimbulkan fraktur dan instabilitas
tulang belakang sehingga mengakibatkan cedera pada medula spinalis secara tidak
langsung. 8
Cedera sekunder berupa iskemia muncul karena gangguan pembuluh darah
yang terjadi beberapa saat setelah trauma. Iskemia mengakibatkan pelepasan
eksitotoksin, terutama glutamat, yang diikuti influks kalsium dan pembentukan
radikal bebas dalam sel neuron di medula spinalis. Semua ini mengakibatkan
kematian sel neuron karena nekrosis dan terputusnya akson pada segmen medula
spinalis yang terkena. Deplesi ATP (adenosine trifosfat) akibat iskemia akan
menimbulkan kerusakan mitokondria. Selanjutnya, pelepasan sitokrom c akan
mengaktivasi enzim kaspase yang dapat merusak DNA (asam deoksiribonukleat)
sehingga mengakibatkan kematian sel neuron karena apoptosis. Edema yang
terjadi pada daerah iskemik akan memperparah kerusakan sel neuron. 8

19
Beberapa minggu setelah itu, pada daerah lesi akan terbentuk jaringan
parut yang terutama terdiri dari sel glia. Akson yang rusak akan mengalami
pertumbuhan (sprouting) pada kedua ujung yang terputus oleh jaringan parut
tersebut. Akan tetapi hal ini tidak mengakibatkan tersambungnya kembali akson
yang terputus, karena terhalang oleh jaringan parut yang terdiri dari sel glia.
Kondisi demikian ini diduga sebagai penyebab terjadinya kecacatan permanen
pada trauma medulla spinalis.8

Bagan Patofisiologi Paraplegia dan Ulkus dekubitus Akibat Cedera


Medula spinalis. 8

Sirkulasi darah ke substansia griseria medula spinalis terganggu

Menyebabkan iskemia, hipoksia, edema dan lesi hemoragi

Kerusakan mielin dan akson

Tubuh berada pada suatu gradien

Tekanan immobilisasi yang lama

Jaringan otot, suplai darah bergeser ke arah yang lebih rendah

Friksi meningkat

Terjadi kelembapan pada kulit

Pada daerah yang mengalami tekanan menyebabkan peregangan dan


mikrosirkulasi

20
Terjadi iskemia pada jaringan

Berlanjut ke nekrosis pada kulit

6. Manifestasi Klinis
a. Gangguan fungsi motorik dan sensorik ekstremitas
b. Gangguan fungsi bladder dan bowel
c. Gangguan fungsi seksual
d. Gangguan peredaran darah bawah
Perubahan primer yang terjadi setelah cedera medula spinalis adalah
perdarahan kecil dalam substansia glisea akibat berkurangnya aliran darah
medula spinalis dan hipoksia yang diikuti oleh edema. Hipoksia substansia
grisea merangsang pelepasan katekolamin yang mendukung perdarahan
dan nekrosis dan menyebabkan disfungsi medula spinalis lebih lanjut.8
Apabila medula spinalis putus total, dua bencana fungsional akan
terlihat
a. Semua aktivitas voluntar pada bagian tubuh yang dipersarafi oleh
segmen-segmen medula spinalis tersebut akan hilang selamanya.
b. Semua sensasi yang tergantung pada integritas lintasan asendens
medula spinalis akan hilang

21
Gambar 4 : Manifestasi Klinis Trauma Medulla Spinalis

Ketika sumsum tulang belakang tiba-tiba dan hampir atau sama sekali
terputus, tiga gangguan fungsi yang sekaligus jelas:
1) semua gerakan otonom di bagian dari tubuh bawah lesi segera dan
hilang secara permanen

2) semua sensasi dari (aboral) bagian bawah dihapuskan

3) fungsi refleks di semua segmen dari sumsum tulang belakang


terisolasi ditangguhkan. 8

22
Efek terakhir, disebut kejutan tulang belakang, melibatkan tendon serta
sebagai refleks otonom. Ini adalah durasi variabel (1 sampai 6 minggu tapi
kadang-kadang jauh lebih lama) dan begitu dramatis yang digunakan Riddoch
sebagai dasar untuk membagi efek klinis transeksi medula spinalis menjadi dua
tahap, yaitu shock belakang dan areflexia diikuti oleh tahap aktivitas refleks
tinggi. 9
Tahap peningkatan reflek muncul dalam beberapa minggu atau bulan
setelah cedera tulang belakang. Biasanya, setelah beberapa minggu, respon reflex
stimulasi, yang awalnya minim dan unsustained, menjadi lebih kuat Secara
bertahap pola khas refleks fleksi tinggi muncul: dorsofleksi dari jempol kaki
(Babinski tanda), mengipasi jari-jari kaki lainnya, dan kemudian, fleksi atau
lambat penarikan gerakan kaki, kaki, dan paha dengan kontraksi dari otot fascia
lata tensor, Stimulasi taktil, Achilles refleks dan kemudian kembali refleks patela.
Retensi urin menjadi kurang lengkap, dan pada interval teratur urin dikeluarkan
oleh kontraksi spontan otot detrusor. Reflex Buang air besar juga dimulai. Setelah
beberapa bulan kejang, dan bisa disertai dengan berkeringat banyak, piloerection.9
Setiap sisa gejala yang bertahan setelah 6 bulan cenderung permanen,
meskipun pada sebagian kecil pasien beberapa kembalinya. Fungsi (terutama
sensasi) dimungkinkan setelah waktu ini. Kehilangan motorik dan fungsi sensorik
di atas lesi, datang bertahun-tahun setelah trauma, terjadi kadang-kadang dan
karena rongga memperbesar di segmen proksimal dari kabel ("siringomielia").9

7. Diagnosa

7.1 Anamnesa

Pada anamnesa yang perlu diketahui dan di tanyakan adalah bagaimana


mekanisme dari keadaan pasien, seperti: 10

- Kekuatan otot pada extremitas bawah


- Rasa – rasa yang dialami pada extremitas bawah, tebal atau kesemutan
- Bisa buang air kecil atau tidak

23
- Bisa buang air besar atau tidak
- Pernah kecelakaan / jatuh yang mengenai tulang belakang
- Tumor, Infeksi , Gangguan vaskuler

7.2 Pemeriksaan Fisik


1) Inspeksi
Pasien dalam kondisi berbaring
2) Palpasi
a. Sistem Motorik
Penilaian kekuatan otot merupakan salah satu pemeriksaan yang harus
dilakukan pada pemerikasaan paraplegi. Kekuatan otot dapat diperiksa
baik pada waktu otot melakukan suatu gerakan (power, kinetik) atau pada
waktu menahan atau menghambat atau melawan gerakan (statik). Kadang
kelemahan otot baru diketahui bila penderita disuruh melakukan
serentetan gerakan pada satu periode (endurance). Untuk melakukan
pemeriksaan kekuatan otot harus diketahui fungsi masing – masing otot
yang diperiksa. Pada paraplegia didapatkan kekuatan otot yang menurun
pada kedua tungkai.10
Penilaian kekuatan otot :

Nilai Kontraksi Persentase


0 Tidak ada
1 Ada, tanpa gerakan yang nyata 0 – 10 %
2 Dapat menggeser / menggerakkan lengan tanpa 11 – 25 %
beban dan tahanan
3 Dapat mengangkat lengan melawan gaya berat 26 – 50 %
dan tanpa tahanan
4 Dapat mengangkat lengan dengan tahanan ringan 51 – 75 %

5 Dapat mengangkat lengan melawan gaya berat 76-100 %


dengan beban tahanan berat

24
b. Sistem Sensorik
Untuk menentukan level dari paraplegia terutama digunakan sistem
sensoris, bukan motoris.

Gambar 5 : Daerah Sistem Sensorik

Gambar 6 : Sistem Sensorik

25
Defisit sensorik pada sindrom paraplegia karena trauma, gangguan
spinovaskuler, proses autoimunologik atau proses maligna, satu atau
beberapa segmen medulla spinalis rusak sama sekali. Lesi yang seolah
memotong medulla spinalis dinamakan lesi transversal. Bilamana lesi
transversal berada di bawah Intumesensia servikobrakialis, maka
timbulah paralysis kedua tungkai (paraplegia) yang disertai hiperstesia
pada permukaan badan dibawah tingkat lesi (hiperstesia paraplegia).
Pada paraplegia spastika ada batas defisit sensorik sedangkan pada
paraplegia flaksida tidak memperlihatkan batas defisit sensorik yang
jelas.11

c. Refleks

Pada kelumpuhan lower motor neuron tidak menunjukkan reflek


patologis sedangkan pada kelumpuhan Upper Motor Neuron menunjukka
refleks patologis. 10

 Reflek Superficial
- Reflek Kulit Dinding Perut
Kulit dinding perut digores dengan ujung gagang palu refleks atau
ujung kunci. Refleks kulit dinding perut menghilang pada lesi
piramidalis. Hilangnya refleks ini yang berkombinasi dengan
meningkatnya refleks otot dinding perut adalah khas bagi lesi di
susunan piramidal.
- Reflek Kremaster dan Reflek Skrotal
Penggoresan dengan pensil, ujung gagang palu refleks atau ujung
kunci terhadap kulit bagian medial akan dijawab dengan elevasi testis
ipsilateral. Refleks kremaster menghilang pada lesi di segmen L I – II,
juga pada usia lanjut.
- Reflek Gluteal
Refleks ini terdiri dari gerakan reflektorik otot gluteus ipilateral
bilamana digores atau ditusuk dengan jarum atau ujung gagang palu

26
refleks. Refleks gluteal menghilang jika terdapat lesi di segmen L IV –
S I.
- Reflek Anal Eksterna
Refleks ini dibangkitkan dengan jalan penggoresan atau ketukan
terhadap kulit atau mukosa daerah perianal.
- Reflek Plantar
Penggoresan terhadap kulit telapak kaki akan menimbulkan ekstansi
serta pengembangan jari – jari kaki dan elevasi ibu jari kaki.11

 Reflek Patologik
Reflek patologik yang sering diperiksa di dalam klinik ialah
“Ekstensor Plantar Response” atau tanda Babinski.
- Refleks Chaddock
Penggoresan terhadap kulit dorsum pedis pada bagian lateralnya atau
penggoresan terhadap kulit di sekitar malcolus eksterna.10

Gambar 7 : Refleks Patologis Chaddock

- Refleks Oppenheim

27
Pengurutan dari proksimal ke distal secara keras dengan jari telunjuk
dan ibu jari tangan terhadap kulit yang menutupi os. telunjuk dan ibu
jari tangan terhadap kulit yang menutupi os. tibia atau pengurutan itu
dilakukan dengan menggunakan sensi interfalangeal jari telunjuk dan
jari tengah dari tangan yang mengepal.10

Gambar 8 : Refleks Patologis Oppenhim

- Refleks Gordon
Cara membangkitkan Ekstensor Plantar Response ialah dengan
menekan betis secara keras.

Gambar 9 : Refleks Patologis Gordon

28
- Refleks Scaeffer
Cara membangkitkan respon tersebut adalah dengan menekan tendon
Achilles secara keras.

Gambar 10 : Refleks Patologis Scaeffer

- Refleks Gonda
Respon patologik tersebut diatas timbul pada penekukan (plantar
fleksi) maksimal dari jari kaki keempat.

Gambar 11 : Refleks Patologis Gonda

29
- Refleks Bing
Dibangkitkan dengan memberikan rangsangan tusuk pada kulit yang
menutupi metatarsal kelima.11

Gambar 12 : Refleks Patologis Bing

d. Perkusi
 Refleks otot dinding perut (bagian atas T8-9, tengah T9-10, bawah
T11-12)
Sikap : Pasien berbaring terlentang dengan kedua tangan lurus di
samping badan.
Stimulasi : Ketukan pada jari yang ditempatkan pada bagian atas,
tengah dan bawah dinding perut.
Respons : Otot perut yang mengganjal.10

 Refleks tendon lutut (L 2-3-4, N. Femoralis)


Sikap : Pasien duduk dengan kedua kakinya digantung / Pasien
duduk dengan kedua kakinya ditapakkan di lantai / Pasien berbaring
terlentang dengan tungkainya difleksikan di sendi lutut
Stimulasi : Ketukan pada tendon Patella
Respons : Tungkai bawah berekstensi. 10

30
 Refleks Biseps Femoralis (L4-5,S1-2, N.Ischiadicus)
Sikap : Pasien berbaring terlentang dengan tungkai ditekuk ke
lutut.
Stimulus : Ketukan pada jari di pemeriksa yang ditemoatkan pada
tendon M. Biseps femoralis
Respons : Kontraksi M.biceps femoralis

 Refleks Tendon Achilles (L5,S1-2, N.Tibialis)


Sikap : Tungkai ditekuk di sendi dan kaki didorsofleksikan
Stimulus : Ketukan pada tendon Achilles
Respons : Plantarfleksi kaki.10

7.3 Pemeriksaan Penunjang


1. Foto rontgen : memperlihatkan keadaan paru
2. Sinar X spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera
3. CT-Scan : menentukan tempat luka / jejas
4. MRI : mengdentifikasi adanya kerusakan saraf spinal
edema dan kompresi
5. Mielography : memperlihatkan kolumna spinal (kana vetebra)
jika faktor patofis tidak jelas atau divurigai adanya subarachnoid
medula spinal
6. DGA : menunjukan keefektifan pertukaran gas atau upaya
ventilasi
7. Laboratorium :
 Darah : Tidak spesifik
 Urine : Ada infeksi, sehingga leukosit dan eritrosit meningkat. 3

31
8. Penatalaksanaan
1. Terapi
- Metilprednisolon merupakan terapi Anti spastisitas yang paling umum
digunakan untuk cedera medula spinalis traumatika dan
direkomendasikan oleh National Institute of Health di Amerika Serikat.
Namun demikian penggunaannya sebagai terapi utama cedera medula
spinalis traumatika masih dikritisi banyak pihak dan belum digunakan
sebagai standar terapi. Kajian oleh Braken dalam CochraneLibrary
menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis tinggi merupakan satu-
satunyaterapi farmakologik yang terbukti efektif pada uji klinik tahap 3
sehingga dianjurkan untuk digunakan sebagai terapi cedera medula
spinalis traumatika.3
- Analgetik
- Mencegah dekubitus
- Terapi obat lain sesuai indikasi seperti antibiotik bila ada infeksi.3

2. Operasi
- Waktu operasi
Tindakan operatif awal (< 24 jam) lebih bermakna menurunkan
perburukan neurologis, dan komplikasi.
- Indikasi operatif
 Ada fraktur, pecahan tulang menekan medula spinalis
 Gambaran neurologis progresif memburuk
 Fraktur, dislokasi yang labil
 Terjadi herniasi diskus intervertebralis yang menekan medula
spinalis. 2

32
3. Rehabilitas Medik
- Fisioterapi
Tujuan utama adalah untuk mempertahankan ROM (Range of
Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan memperkuat
fungsi otot-otot yang ada. Pasien dengan Central Cord Syndrome
/ CSS biasanya mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas
bawah yang baik sehingga dapat berjalan dengan bantuan
ataupun tidak.
- Terapi okupasional
Terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki fungsi
ekstremitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup
sehari-hari/ activities of daily living (ADL). Pembentukan
kontraktur harus dicegah seoptimal mungkin. Penggunaan alat
bantu disesuaikan dengan profesi dan harapan pasien. 2

9. Komplikasi

Pada klien yang tirah baring lama dapat menimbulkan gangguan sistem ke
dalam tubuh, antara lain :

a. Sistem gastrointestinal
 Se-sel tubuh malas (aktivitas berkurang)
 Sekresi menurun
b. Sistem urinary
Sistem pembentukan urin lambat sampai ke blass. Oleh karena tidak
ada gerakan gravitasi sehingga kristel menumpuk (batu) apalagi kalau
terjadi renal kalkuli
c. Sistem Integumen
 Tekanan arteri 35 mmHg bila > 35 akan menimbulkan hambatan
pembuluh darah balik

33
 Arteri tidak mendapat suplai O2 maka metabolisme terganggu
sehingga timbul iskemik menjadi nekrosis maka akan terjadi
dekubitus. Klasifikasi ada 4 grade :
- Grade I terbatas dikulit
- Grade II subkutis
- Grade III otot
- Grade IV tulang
Lokasi dekubitus tergantung dari posisi tidur, daerah yang mudah
mendapat dekubitus seperti : Head, skapula, elbow, trokanter,
ischias, crista iliaka, sakrum tibia. 8

10. Prognosis

Sebuah penelitian prospektif selama 27 tahun menunjukkan bahwa rata-rata


harapan hidup pasien cedera medula spinalis lebih rendah dibanding populasi
normal. Penurunan rata-rata lama harapan hidup sesuai dengan beratnya
cedera. Penyebab kematian utama adalah komplikasi disabilitas neurologik
yaitu : pneumonia, emboli paru, septikemia, dan gagal ginjal.
Penelitian Muslumanoglu dkk terhadap 55 pasien cedera medula spinalis
traumatik (37 pasien dengan lesi inkomplet) selama 12 bulan menunjukkan
bahwa pasien dengan cedera medula spinalis inkomplet akan mendapatkan
perbaikan motorik, sensorik, dan fungsional yang bermakna dalam 12 bulan
pertama. 2

34
BAB III

KESIMPULAN

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Tirtasari.silviana. Trauma Medula Spinalis. 2012. Melalui

https://www.google.co.id/unhas.ac.idFkedokteran.Bahan-Ajar-

3.TraumaMedulaSpinalis.pdf.. (27 Oktober 2017)

2. Katarina.Daria.PR. Paraplegia Inferior. Bagian Ilmu Penyakit Saraf

Rumah Sakit Umum Umum Daerah Kudus. 2015 Melalui

https://www.scribd.com/user/28949304 (27 Oktober 2017)

3. Gondowardaja.Yoanes et. All. Trauma Medula Spinalis: Patobiologi dan

Tata Laksana Medikamentosa. Staf Pengajar Bagian/SMF Neurologi

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar,

Indonesia. 2012

4. Sherwood L. 2007. Human physiology from cells to system. Edisi ke-6.

Canada: Thomson Brooks/ Cole;.p. 77-211

5. Sidharta P, Mardjono M, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta,

1981

6. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.

Jakarta : EGC; 1997

7. Schreiber D. Spinal Cord Inuries, eMedicine Journal, April, 2002

8. Pakasi RE. Patofisiologi dan Dampak Cedera Medula Spinalis pada

Berbagai Sistem Tubuh. 2009. Melalui

:https://www.google.co.id/url.scribd.com.Patofisiologi-dan-Dampak-

Cedera-Medula-Spinalis-Spinal-Cord-Injury-Pada-Berbagai-Sistem-

Organ&usg. (30 oktober 2017)

36
9. Aminorf, J.M., Greenberg, A.D, and Simon, P.R., 2005. Clinical

Neurology. Edisi 7. USA : Lange Medical Books McGraw-Hill.p 155-157

10. Sidharta, Priguna M.D. Ph.D. 1999. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam

Neurologi.Hal : 115 – 131, 434 – 443

37

Anda mungkin juga menyukai