I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. F
Umur : 20 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal masuk : 18-10-017
No.RM : 84-92-12
Pendidikan terakhir : SMA
II. ANAMNESA
Anamnesa dilakukan secara autoanamnesa dan Alloanamnesa di
Bangsal Rawat Inap Saraf RSUD Cut Nyak Dhien Meulaboh pada
tanggal 20 Oktober 2017.
Keluhan Utama
- Kelemahan kedua tungkai bawah dan mati rasa
Keluhan tambahan
- Kesulitan buang air kecil (BAK)
- Kesulitan buang air besar (BAB)
- Terdapat luka pada daerah bokong
- pusing
1
Riwayat penyakit sekarang
Pasien dibawa ke IGD dengan keluhan kedua tungkai bawah tidak
bisa digerakkan dan mati rasa semenjak 3 minggu SMRS, keluhan ini
dialami pasien semenjak terjatuh dari pohon kelapa setinggi 10 meter
sehingga tulang belakang nya mengalami pembengkokan, menurut
keterangan temannya setelah jatuh pasien sadar dan pasien langsung
dibawa ketempat urut kemudian tulang belakangnya kembali lurus, setelah
dua hari kemudian pasien dibawa ke RSU Cut Nyak Dhien dan dirujuk ke
RSUZA Banda Aceh.
Pasien mengalami kesulitan BAK dan BAB semenjak jatuh dari
pohon kelapa, BAK keluar setelah pemasangan kateter selang empat hari
dari hari kejadian, sedangkan BAB keluar setelah memakai glukolac
selang empat hari juga setelah kejadian, dan seterusnya pasien tidak BAB
lagi kecuali dengan memakai glukolac terlebih dahulu. Terdapat luka pada
daerah bokong kurang lebih 2 minggu ini, menurut keterangan keluarga
pasien semenjak jatuh dari pohon kelapa keluarga nya tidak pernah
mebalikkan badan kesamping kiri dan kanan karena khawatir akan
keadaan tulang belakang nya yang patah, akibat dari itu badan pasien
selalu dalam keadaan terlentang. pusing (+) kurang lebih dua minggu ,
mual (-), muntah (-)
2
III. PEMERIKSAAN FISIK UMUM
Status Generalis
• Keadaan umum : Lemah
• Kesadaran : Compos Mentis
• GCS : E4,V5, M6
Vital sign
• Tekanan Darah : 100/70 mmhg
• Nadi : 78 x/m
• Frekuensi napas : 22 x/m
• Suhu : 36,3 0c
Pemeriksaan Fisik Umum
Kepala dan Leher
Mulut dan Gigi : Mukosa oral kering, lidah kotor (-) dan
tremor (-).
KGB (-)
3
Thorax
Pulmo :
simetris.
tekan (-)
Cor :
midclavikularis sinistra
Inguinal
4
Ekstremitas
Superior Inferior
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
MOTORIK SENSORIK N.CRANIALI REFLEK REFLEK P.
S FISIOLOGIS PATOLOGIS MENINGEAL
5
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
6
Hematologi
o HB : 11,7 gt %
o leukosit : 8,9 x 10 3/µl
o trombosit : 434 X 103/µl
o HT : 36,2 gt %
o Indirect Bilirubin : 0,19 mg/dL
o Albumin : 3,59 mg/L
o Globulin : 3,73 mg/dL
o Kreatinin : 0,82 mg/dL
o Ureum : 47,6 mg/dL
o Glukosa Sewaktu : 133,3 mg/dL
V. DIAGNOSIS
KLINIS : Paraplegia UMN + Retensi Urine + Retensi Alvi
+ Ulkus Decubitus
TROPIS : TH 12
ETIOLOGI : Trauma Medulla Spinalis
VI. PENATALAKSANAAN
- Ifvd RL 20 gtt / menit
- Inj ranitidin 1 Amp / 12 jam
- Inj. Ketorolac 1 Amp/ 8 jam
- Oral : Urinter 3x1
7
VII. FOLLOW UP
TANGGAL S O A P
19/10/2017 Os masih KU: lemah Paraplegia Ivfd Rl 1 fls / 12 jam
mengeluh TD: 100/70 UMN Ec Inj. Cyticolin 500 mg /12 jam
lemah,kedua HR: 78 x/i Trauma Inj. Ranitidn 1 A /12 jam
tungkai tidak RR: 20 x/i Medulla Spinal Inj. Metilprednisolon 125 mg
bisa digerakkan, + Retensi /8 jam
susah BAK dan Urine + Inj. Interco 1 A / 24 jam
BAB Retensi Alvi Inj. Cefotaxim / 12 jam
Inj. Ondansentron 1 Amp/12
jam
Oral : - nepatic 1 x300
- Gentamicin salap
Dulcolac sup 1x1
20/10/2017 Os masih KU: lemah Paraplegia Ivfd Rl 1 fls / 12 jam
mengeluh TD: 100/60 UMN Ec Inj. Cyticolin 500 mg /12 jam
lemah,kedua HR: 75 x/i Trauma Inj. Ranitidn 1 A /12 jam
tungkai tidak RR: 18x/i Medulla Spinal Inj. Metilprednisolon 125
bisa digerakkan, + Retensi mg/8 jam
susah BAB Urine + Inj. Interco 1 A / 24 jam
Retensi Alvi Inj. Cefotaxim / 12 jam
Inj. Ondansentron 1 Amp/12
jam
Oral : - nepatic 1 x300
- Gentamicin salap
Dulcolac sup 1x1
21/10/2017 Os masih KU: baik Paraplegia Ivfd Rl 1 fls / 12 jam
mengeluh TD: 120/80 UMN Ec Inj. Cyticolin 500 mg /12 jam
lemah,kedua HR: 80x/i Trauma Inj. Ranitidn 1 A /12 jam
tungkai tidak RR: 18x/i Medulla Spinal Inj. Metilprednisolon 125
bisa digerakkan, + Retensi mg/8 jam
susah BAB Urine + Inj. Interco 1 A / 24 jam
Retensi Alvi Inj. Cefotaxim / 12 jam
Inj. Ondansentron 1 Amp/12
jam
Oral : - nepatic 1 x300
- Gentamicin salap
GV Nacl 0,9 %
8
Klisma sabun telex
22/10/2017 Os masih mengeluh KU: baik Paraplegia Ivfd Rl 1 fls / 12 jam
lemah,kedua TD: UMN Ec Inj. Cyticolin 500 mg /12 jam
tungkai tidak bisa 110/80 Trauma Inj. Ranitidn 1 A /12 jam
digerakkan, susah HR: 82x/i Medulla Inj. Metilprednisolon 125
BAB Spinal + mg/8 jam
RR: 20x/i
Retensi Inj. Interco 1 A / 24 jam
Urine + Inj. Cefotaxim / 12 jam
Inj. Ondansentron 1 Amp/12
Retensi
jam
Alvi
Oral : - nepatic 1 x300
- Gentamicin salap
Klisma sabun telex+Dulcolax
supp
BAB (+)
9
BAB I
PENDAHULUAN
10
traktus kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Traktus kortikobulbar fungsinya
untuk geraakan-gerakan otot kepala dan leher, sedangkan traktus kortikospinal
fungsinya untuk gerakan-gerakan otot tubuh dan anggota gerak. Sedangkan lower
motor neuron (LMN), yang merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang berasal
dari batang otak, pesan tersebut dari otak dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh
seseorang.2
Dari otak medula spinalis turun ke bawah kira-kira ditengah punggung dan
dilindungi oleh cairan jernih yaitu cairan serebrospinal. Medula spinalis terdiri
dari berjuta-juta saraf yang mentransmisikan informasi elektrik dari dan ke
ekstremitas, badan, oragan-organ tubuh dan kembali ke otak. Otak dan medula
spinalis merupakan sistem saraf pusat dan yang mehubungkan saraf-saraf medula
spinalis ke tubuh adalah sistem saraf perifer. Medula spinalis terdiri atas traktus
ascenden (yang membawa informasi di tubuh menuju ke otak seperti rangsang
raba, suhu, nyeri dan gerak posisi) dan traktus descenden (yang membawa
informasi dari otak ke anggota gerak dan mengontrol fungsi tubuh).2
Motorneuron dengan aksonnya merupakan satu-satunya saluran bagi
impuls motorik yang dapat menggerakkan serabut otot. Bilamana terjadi
kerusakan pada motorneuron, maka serabut otot yang tergabung dalam unit
motoriknya tidak dapat berkontraksi, kendatipun impuls motorik masih dapat
disampaikan oleh sistem pyramidal dan ekstrapiramidal kepada tujuannya.
Kelemahan/kelumpuhan parsial yang ringan/tidak lengkap atau suatu kondisi yang
ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu disebut dengan
parese.2
Penyebab paraplegia pada umumnya dikategorikan dalam 2 sebab, yaitu
sebab trauma dan sebab medis atau penyakit. Penyebab trauma yang paling umum
adalah kecelakaan, baik kecelakaan lalu lintas maupun kecelakaan kerja. Atau
oleh sebab lain seperti peradangan selaput yang mengelilingi dan melindungi saraf
tulang belakang (arachnoiditis), atau fraktur akibat penyakit rematik, sedangkan
penyebab medis atau penyakit biasanya disebabkan oleh infeksi atau parasit.2
Trauma medula spinalis (TMS) meliputi kerusakan medula spinalis karena
trauma langsung atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan fungsi
11
utamanya, seperti fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan refleks, baik komplet
ataupun inkomplet. Trauma medula spinalis merupakan penyebab kematian dan
kecacatan pada era modern, dengan 8.000-10.000 kasus per tahun pada populasi
penduduk USA dan membawa dampak ekonomi yang tidak sedikit pada sistem
kesehatan dan asuransi di USA. 3
Trauma medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang
mempengaruhi 150.000 orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan 10.000
trauma baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia
muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh trauma. Data dari bagian rekam medik
Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung
dari Januari sampai Juni 2003 angka kejadian angka kejadian untuk fraktur adalah
berjumlah 165 orang yang di dalamnya termasuk angka kejadian untuk trauma
medulla spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%). 3
Pada usia 45-an fraktur lebih banyak terjadi pada pria di bandingkan pada
wanita karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan
ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di
asosiasikan dengan perubahan hormonal (menopause).3
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PARAPLEGIA
1. Definisi
Paraplegia adalah kondisi dimana bagian bawah tubuh (extremitas bawah)
mengalami kelumpuhan atau paralysis yang disebabkan karena lesi transversal
pada medulla spinalis.2
2. Anatomi
13
c. Vertebra Lumbalis
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal,
berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus
vertebra yang besar ukurannya sehingga pergerakannya lebih luas kearah
fleksi.
d. Os. Sacrum
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang
dimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk
tulang bayi.
e. Os. Coccygis
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami
rudimenter.
Lengkung koluma vertebralis kalau dilihat dari samping maka kolumna
vertebralis memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-pesterior :
lengkung vertikal pada daerah leher melengkung kedepan daerah torakal
melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan dan daerah pelvis melengkung
kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap pasterior, yaitu torakal dan pelvis,
disebut promer karena mereka mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari
hidung tulang belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengan kepala membengkak
ke bawah sampai batas dada dan gelang panggul dimiringkan keatas kearah depan
badan. Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah sekunder → lengkung
servikal berkembang ketika kanak-kanak mengangkat kepalanya untuk melihat
sekelilingnya sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia
merangkak, berdiri dan berjalan serta mempertahankan tegak. 5
Fungsi dari kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang kokoh dan
sekaligus bekerja sebagai penyangga kedengan prantaraan tulang rawan cakram
intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan memungkinkan
membongkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan
yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti waktu berlari dan meloncat,
dan dengan demikian otak dan sumsum belakang terlindung terhadap goncangan.
Disamping itu juga untuk memikul berat badan, menyediakan permukaan untuk
14
otot dan membentuk tapal batas pasterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan
dan memberi kaitan pada iga.6
15
Gambar 2 : Medulla Spinalis
16
Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada
daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis
beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada
kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan
rectum.6
17
Seperti kecelakaan motor, jatuh, luka ketika berolahraga
(khususnya menyelam ke perairan dangkal), luka tembakan dan juga bisa
karena kecelakaan rumah tangga.5
2. Penyakit
- Motorneuron disease : keluhan berupa kelemahan otot, seperti pada
otot yang cepat letih dan lelah, yaitu pada jari-jari tangan.
- Polimiositosis bilateral : keluhan berupa kelemahan / keletihan pada
otot– otot disertai mialgia ataupun sama sekali bebas nyeri atau rasa
pegal/ linu / ngilu. Polimiositosis juga dapat menyebabkan kelemahan
keempat anggota gerak.
- Poliradikulopatia / polineuropatia bilateral : keluhan berupa
kelemahan otot-otot tungkai.
- Miopatia bilateral : keluhan berupa tidak dapat mengangkat badannya
untuk berdiri dari sikap duduk taupun sikap sujud.
- Distropia bilateral : kelemahan otot sesuai dengan penyakit herediter
umumnya, yaitu sejak kecil.
- Sindroma Miastenia Gravis : dimulai dengan adanya ptosis unilateral
atau bilateral.5
4. Klasifikasi
18
Trauma pada medulla spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan inkomplet
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.7
5. Patofisiologi
Trauma dapat mengakibatkan cedera pada medula spinalis secara
langsung. Selain itu, trauma dapat pula menimbulkan fraktur dan instabilitas
tulang belakang sehingga mengakibatkan cedera pada medula spinalis secara tidak
langsung. 8
Cedera sekunder berupa iskemia muncul karena gangguan pembuluh darah
yang terjadi beberapa saat setelah trauma. Iskemia mengakibatkan pelepasan
eksitotoksin, terutama glutamat, yang diikuti influks kalsium dan pembentukan
radikal bebas dalam sel neuron di medula spinalis. Semua ini mengakibatkan
kematian sel neuron karena nekrosis dan terputusnya akson pada segmen medula
spinalis yang terkena. Deplesi ATP (adenosine trifosfat) akibat iskemia akan
menimbulkan kerusakan mitokondria. Selanjutnya, pelepasan sitokrom c akan
mengaktivasi enzim kaspase yang dapat merusak DNA (asam deoksiribonukleat)
sehingga mengakibatkan kematian sel neuron karena apoptosis. Edema yang
terjadi pada daerah iskemik akan memperparah kerusakan sel neuron. 8
19
Beberapa minggu setelah itu, pada daerah lesi akan terbentuk jaringan
parut yang terutama terdiri dari sel glia. Akson yang rusak akan mengalami
pertumbuhan (sprouting) pada kedua ujung yang terputus oleh jaringan parut
tersebut. Akan tetapi hal ini tidak mengakibatkan tersambungnya kembali akson
yang terputus, karena terhalang oleh jaringan parut yang terdiri dari sel glia.
Kondisi demikian ini diduga sebagai penyebab terjadinya kecacatan permanen
pada trauma medulla spinalis.8
Friksi meningkat
20
Terjadi iskemia pada jaringan
6. Manifestasi Klinis
a. Gangguan fungsi motorik dan sensorik ekstremitas
b. Gangguan fungsi bladder dan bowel
c. Gangguan fungsi seksual
d. Gangguan peredaran darah bawah
Perubahan primer yang terjadi setelah cedera medula spinalis adalah
perdarahan kecil dalam substansia glisea akibat berkurangnya aliran darah
medula spinalis dan hipoksia yang diikuti oleh edema. Hipoksia substansia
grisea merangsang pelepasan katekolamin yang mendukung perdarahan
dan nekrosis dan menyebabkan disfungsi medula spinalis lebih lanjut.8
Apabila medula spinalis putus total, dua bencana fungsional akan
terlihat
a. Semua aktivitas voluntar pada bagian tubuh yang dipersarafi oleh
segmen-segmen medula spinalis tersebut akan hilang selamanya.
b. Semua sensasi yang tergantung pada integritas lintasan asendens
medula spinalis akan hilang
21
Gambar 4 : Manifestasi Klinis Trauma Medulla Spinalis
Ketika sumsum tulang belakang tiba-tiba dan hampir atau sama sekali
terputus, tiga gangguan fungsi yang sekaligus jelas:
1) semua gerakan otonom di bagian dari tubuh bawah lesi segera dan
hilang secara permanen
22
Efek terakhir, disebut kejutan tulang belakang, melibatkan tendon serta
sebagai refleks otonom. Ini adalah durasi variabel (1 sampai 6 minggu tapi
kadang-kadang jauh lebih lama) dan begitu dramatis yang digunakan Riddoch
sebagai dasar untuk membagi efek klinis transeksi medula spinalis menjadi dua
tahap, yaitu shock belakang dan areflexia diikuti oleh tahap aktivitas refleks
tinggi. 9
Tahap peningkatan reflek muncul dalam beberapa minggu atau bulan
setelah cedera tulang belakang. Biasanya, setelah beberapa minggu, respon reflex
stimulasi, yang awalnya minim dan unsustained, menjadi lebih kuat Secara
bertahap pola khas refleks fleksi tinggi muncul: dorsofleksi dari jempol kaki
(Babinski tanda), mengipasi jari-jari kaki lainnya, dan kemudian, fleksi atau
lambat penarikan gerakan kaki, kaki, dan paha dengan kontraksi dari otot fascia
lata tensor, Stimulasi taktil, Achilles refleks dan kemudian kembali refleks patela.
Retensi urin menjadi kurang lengkap, dan pada interval teratur urin dikeluarkan
oleh kontraksi spontan otot detrusor. Reflex Buang air besar juga dimulai. Setelah
beberapa bulan kejang, dan bisa disertai dengan berkeringat banyak, piloerection.9
Setiap sisa gejala yang bertahan setelah 6 bulan cenderung permanen,
meskipun pada sebagian kecil pasien beberapa kembalinya. Fungsi (terutama
sensasi) dimungkinkan setelah waktu ini. Kehilangan motorik dan fungsi sensorik
di atas lesi, datang bertahun-tahun setelah trauma, terjadi kadang-kadang dan
karena rongga memperbesar di segmen proksimal dari kabel ("siringomielia").9
7. Diagnosa
7.1 Anamnesa
23
- Bisa buang air besar atau tidak
- Pernah kecelakaan / jatuh yang mengenai tulang belakang
- Tumor, Infeksi , Gangguan vaskuler
24
b. Sistem Sensorik
Untuk menentukan level dari paraplegia terutama digunakan sistem
sensoris, bukan motoris.
25
Defisit sensorik pada sindrom paraplegia karena trauma, gangguan
spinovaskuler, proses autoimunologik atau proses maligna, satu atau
beberapa segmen medulla spinalis rusak sama sekali. Lesi yang seolah
memotong medulla spinalis dinamakan lesi transversal. Bilamana lesi
transversal berada di bawah Intumesensia servikobrakialis, maka
timbulah paralysis kedua tungkai (paraplegia) yang disertai hiperstesia
pada permukaan badan dibawah tingkat lesi (hiperstesia paraplegia).
Pada paraplegia spastika ada batas defisit sensorik sedangkan pada
paraplegia flaksida tidak memperlihatkan batas defisit sensorik yang
jelas.11
c. Refleks
Reflek Superficial
- Reflek Kulit Dinding Perut
Kulit dinding perut digores dengan ujung gagang palu refleks atau
ujung kunci. Refleks kulit dinding perut menghilang pada lesi
piramidalis. Hilangnya refleks ini yang berkombinasi dengan
meningkatnya refleks otot dinding perut adalah khas bagi lesi di
susunan piramidal.
- Reflek Kremaster dan Reflek Skrotal
Penggoresan dengan pensil, ujung gagang palu refleks atau ujung
kunci terhadap kulit bagian medial akan dijawab dengan elevasi testis
ipsilateral. Refleks kremaster menghilang pada lesi di segmen L I – II,
juga pada usia lanjut.
- Reflek Gluteal
Refleks ini terdiri dari gerakan reflektorik otot gluteus ipilateral
bilamana digores atau ditusuk dengan jarum atau ujung gagang palu
26
refleks. Refleks gluteal menghilang jika terdapat lesi di segmen L IV –
S I.
- Reflek Anal Eksterna
Refleks ini dibangkitkan dengan jalan penggoresan atau ketukan
terhadap kulit atau mukosa daerah perianal.
- Reflek Plantar
Penggoresan terhadap kulit telapak kaki akan menimbulkan ekstansi
serta pengembangan jari – jari kaki dan elevasi ibu jari kaki.11
Reflek Patologik
Reflek patologik yang sering diperiksa di dalam klinik ialah
“Ekstensor Plantar Response” atau tanda Babinski.
- Refleks Chaddock
Penggoresan terhadap kulit dorsum pedis pada bagian lateralnya atau
penggoresan terhadap kulit di sekitar malcolus eksterna.10
- Refleks Oppenheim
27
Pengurutan dari proksimal ke distal secara keras dengan jari telunjuk
dan ibu jari tangan terhadap kulit yang menutupi os. telunjuk dan ibu
jari tangan terhadap kulit yang menutupi os. tibia atau pengurutan itu
dilakukan dengan menggunakan sensi interfalangeal jari telunjuk dan
jari tengah dari tangan yang mengepal.10
- Refleks Gordon
Cara membangkitkan Ekstensor Plantar Response ialah dengan
menekan betis secara keras.
28
- Refleks Scaeffer
Cara membangkitkan respon tersebut adalah dengan menekan tendon
Achilles secara keras.
- Refleks Gonda
Respon patologik tersebut diatas timbul pada penekukan (plantar
fleksi) maksimal dari jari kaki keempat.
29
- Refleks Bing
Dibangkitkan dengan memberikan rangsangan tusuk pada kulit yang
menutupi metatarsal kelima.11
d. Perkusi
Refleks otot dinding perut (bagian atas T8-9, tengah T9-10, bawah
T11-12)
Sikap : Pasien berbaring terlentang dengan kedua tangan lurus di
samping badan.
Stimulasi : Ketukan pada jari yang ditempatkan pada bagian atas,
tengah dan bawah dinding perut.
Respons : Otot perut yang mengganjal.10
30
Refleks Biseps Femoralis (L4-5,S1-2, N.Ischiadicus)
Sikap : Pasien berbaring terlentang dengan tungkai ditekuk ke
lutut.
Stimulus : Ketukan pada jari di pemeriksa yang ditemoatkan pada
tendon M. Biseps femoralis
Respons : Kontraksi M.biceps femoralis
31
8. Penatalaksanaan
1. Terapi
- Metilprednisolon merupakan terapi Anti spastisitas yang paling umum
digunakan untuk cedera medula spinalis traumatika dan
direkomendasikan oleh National Institute of Health di Amerika Serikat.
Namun demikian penggunaannya sebagai terapi utama cedera medula
spinalis traumatika masih dikritisi banyak pihak dan belum digunakan
sebagai standar terapi. Kajian oleh Braken dalam CochraneLibrary
menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis tinggi merupakan satu-
satunyaterapi farmakologik yang terbukti efektif pada uji klinik tahap 3
sehingga dianjurkan untuk digunakan sebagai terapi cedera medula
spinalis traumatika.3
- Analgetik
- Mencegah dekubitus
- Terapi obat lain sesuai indikasi seperti antibiotik bila ada infeksi.3
2. Operasi
- Waktu operasi
Tindakan operatif awal (< 24 jam) lebih bermakna menurunkan
perburukan neurologis, dan komplikasi.
- Indikasi operatif
Ada fraktur, pecahan tulang menekan medula spinalis
Gambaran neurologis progresif memburuk
Fraktur, dislokasi yang labil
Terjadi herniasi diskus intervertebralis yang menekan medula
spinalis. 2
32
3. Rehabilitas Medik
- Fisioterapi
Tujuan utama adalah untuk mempertahankan ROM (Range of
Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan memperkuat
fungsi otot-otot yang ada. Pasien dengan Central Cord Syndrome
/ CSS biasanya mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas
bawah yang baik sehingga dapat berjalan dengan bantuan
ataupun tidak.
- Terapi okupasional
Terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki fungsi
ekstremitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup
sehari-hari/ activities of daily living (ADL). Pembentukan
kontraktur harus dicegah seoptimal mungkin. Penggunaan alat
bantu disesuaikan dengan profesi dan harapan pasien. 2
9. Komplikasi
Pada klien yang tirah baring lama dapat menimbulkan gangguan sistem ke
dalam tubuh, antara lain :
a. Sistem gastrointestinal
Se-sel tubuh malas (aktivitas berkurang)
Sekresi menurun
b. Sistem urinary
Sistem pembentukan urin lambat sampai ke blass. Oleh karena tidak
ada gerakan gravitasi sehingga kristel menumpuk (batu) apalagi kalau
terjadi renal kalkuli
c. Sistem Integumen
Tekanan arteri 35 mmHg bila > 35 akan menimbulkan hambatan
pembuluh darah balik
33
Arteri tidak mendapat suplai O2 maka metabolisme terganggu
sehingga timbul iskemik menjadi nekrosis maka akan terjadi
dekubitus. Klasifikasi ada 4 grade :
- Grade I terbatas dikulit
- Grade II subkutis
- Grade III otot
- Grade IV tulang
Lokasi dekubitus tergantung dari posisi tidur, daerah yang mudah
mendapat dekubitus seperti : Head, skapula, elbow, trokanter,
ischias, crista iliaka, sakrum tibia. 8
10. Prognosis
34
BAB III
KESIMPULAN
35
DAFTAR PUSTAKA
https://www.google.co.id/unhas.ac.idFkedokteran.Bahan-Ajar-
Indonesia. 2012
1981
:https://www.google.co.id/url.scribd.com.Patofisiologi-dan-Dampak-
Cedera-Medula-Spinalis-Spinal-Cord-Injury-Pada-Berbagai-Sistem-
36
9. Aminorf, J.M., Greenberg, A.D, and Simon, P.R., 2005. Clinical
10. Sidharta, Priguna M.D. Ph.D. 1999. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam
37