Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA KAPITIS

A. Konsep Dasar Medis


1. Pengertian
a. Trauma Kapitis merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas (Mansjoer, 2000 ; 3).
b. Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan
fungsi normal otak karena trauma, baik trauma tumpul maupun trauma tajam
(Batticaca, 2008 ; 96).
c. Trauma Kapitis adalah cedera pada kepala mengenai kulit kepala, tengkorak, dan
otak. Cedera kepala merupakan peristiwa yang sering terjadi dan mengakibatkan
kelainan neurologis yang serius serta telah mencapai proporsi epidemik sebagai
akibat dari kecelakaan kendaraan (Baughman, 2000 ; 65).
d. Cedera Kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi
terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Grace, 2006 ;
91).
e. Pada umumnya Cedara Kepala merupakan akibat salah satu atau kombinasi dari
dua mekanisme dasar yaitu kontak bentur dan guncangan lanjut (Satyanegara, 2010
; 193).
Adapun klasifikasi cedera kepala berdasarkan mekanisme, keparahan, dan
morfologi cedera menurut Mansjoer (2000 ; 3) yaitu :
a. Mekanisme berdasakan adanya penetrasi durameter.
1) Trauma tumpul : Kecepatan tinggi (tabrakan otomobil) dan Kecepatan rendah
(terjatuh, dipukul)
2) Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya).
b. Keparahan cedera
1) Ringan :Skala Koma Glasglow (Glasglow Coma Scale, GCS) 14-15
2) Sedang : GCS 9-13
3) Berat : GCS 3-8
c. Morfologi
1) Fraktur tengkorak :
Kranium : Linear/stelatum; depresi/non depresi; terbuaka/tertutup.
Basis: dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal
Dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII
2) Lesi Intrakranial :
Fokal: epidural, subdural, intraserebral
Disfus: konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.

1
3. Etiologi
Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera kepala,
penyebab lain yang mungkin adalah jatuh, pemukulan, kecelakaan. (Nurachmah, 2000 ;
154).
Menurut Satyanegara (2010 ; 193) mekanisme penyebab cedera kepala adalah
kontak bentur dan guncangan lanjut. Cedera kontak bentur terjadi bila kepala
membentur atau menabrak sesuatu objek yang sebaliknya. Sedangkan cedera guncangan
lanjut merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik yang disebabkan
oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan.
Selanjutnya menurut Muttaqin (2008 ; 271), penyebab dari cedera kepala adalah
adanya trauma pada kepala meliputi trauma oleh benda/serpihan tulang yang menembus
jaringan otak, efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan keotak dan efek
percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak.
4. Patofisologi
a. Pukulan langsung
Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan (coup injury) atau pada sisi
yang berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam tengkorak dan mengenai
dinding yang berlawanan (contrecoup injury).
b. Rotasi/deselerasi
Fleksi, ektesi, atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak yang menyerang
titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada sayap dari tulang stenoid). Rotasi
yang hebat juga menyebabkan trauma robekan di dalam substansi putih otak dan
batang otak, menyebabkan cedera aksonal dan bintik-bintik perdarahan
intraserebral.
c. Tabrakan
Otak sering kali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat (terutama pada
anak-anak dengan tengkorak yang elastis).
d. Peluru
Cenderung menyebabkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma. Pembengkakan
otak merupakan masalah akibat disrupsi tengkorak yang secara otomatis menekan
otak. Derajat cedera otak primer secara langsung berhubungan dengan jumlah
kekuatan yang mengenai kepala. Kerusakan sekunder terjadi akibat : komplikasi
sistem pernapasan (hipoksia, hiperkarbia, obstruksi jalan napas). Syok hipovolemik
(cedera kepala tidak menyebabkan syok hipovolemik). Perdarahan intrakranial,
edema serebral, epilepsi, infeksi, dan hidrosefalus (Grace, 2006 ; 91).
5. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera
otak.
a. Nyeri menetap/setempat biasanya menunjukkan fraktur.

2
b. Fraktur pada kubah sentral menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.
c. Fraktur pada basal tulang tengkorak, sering kali menyebabkan hemoralgi dari
hidung, faring, telinga dan darah mungkin akan terlihat pada konjungtiva.
d. Ekimosis mungkin trlihat diatas mastoid (battle sign).
e. Drainase cairan cerebrospinal dari telinga dan hidung menandakan fraktur basal
tulang tengkorak.
f. Drainase CSF dapat menyebabkan infeksi serius yaitu meningitis melalui robekan
durameter.
g. Cairan cerebrospinal yang mengandung darah menunjukkan laserasi otak kontusio
(Baughman, 2000 ; 65-66).
6. Komplikasi
a. Fraktur tengkorak
Menunjukkan tingkat keparahan cedera. Tidak diperlukan terapi khusus kecuali
terjadi trauma campuran, tekanan, atau berhubungan dengan kehilangan LCS kronis
(misalnya farktur fosa kranialis anterior dasar tengkorak).
b. Perdarahan intracranial
1) Perdarahan ekstradural : Robekan pada arteri meningea media. Hematoma
diantara tengkorak dan dura. Seringkali terdapat interval lucid sebelum terbukti
tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
2) Perdarahan subdural akut : Robekan pada vena-vena diantara araknoid dan
durameter. Biasanya terjadi pada orang lanjut usia. Terdapat perburukan
neurologis yang progresif.
3) Hematoma subdural kronis : Robekan pada vena yang menyebabkan hematoma
subdural yang akan membesar secara perlahan akibat penyerapan LCS.
Seringkali yang menjadi penyebab adalah cedera ringan. Mengantuk dan
kebingungan, sakit kepala, hemiplegia. Terapi dengan evakuasi bekuan darah
4) Perdarahan intraserebral : Perdarahan kedalam substansi otak yang
menyebabkan kerusakan ireversibel. Usaha dilakukan untuk mencegah cedera
sekunder dengan memastikan oksigenasi dan
nutrisi yang adekuat (Grace, 2006 ; 93).
7. Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang
a. Foto Polos Kepala.
Foto polos kepala/otak memiliki sensivitas dan spesifisitas yang rendah dalam
mendeteksi perdarahan intracranial. Pada era CT scan foto polos kepala mulai
ditinggalkan.
b. CT Scan Kepala.
CT scan kepala merupakan Standard baku untuk mendeteksi perdarahan
intracranial. Semua pasien dengan GCS <15 sebaiknya menjalani pemeriksaan CT
Scan sedangkan pada pasien dengan GCS 15, CT scan dilakukan hanya dengan

3
indikasi tertentu seperti : Nyeri kepala hebat, adanya tanda-tanda fraktur basis
kranii, adanya riwayat cedera yang berat, muntah lebih dari 1 kali, penderita lansia
(usia > 65 tahun) dengan penurunan kesadaran atau amnesia, kejang, riwayat
gangguan vaskuler atau mengunakan obat-obat antikoagulan, gangguan orientasi,
berbicara, membaca dan menulis, rasa baal pada tubuh, gangguan keseimbangan
atau berjalan.
c. MRI Kepala
MRI kepala, adalah tehnik pencitraan yang lebih sensitif dibandingkan dengan CT
scan, kelainan yang tidak tampak pada CT scan dapat dilihat oleh MRI. Namun
dibutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama dibandingkan dengan CT scan sehingga
tidak sesuai dalam situasi gawat
darurat.
d. PET atau SPECT.
Positron Emission Tomography (PET) dan Single Photon Emission Computer
TomographyI (SPECT) mungkin dapat memperlihatkan abnormalitas pada fase
akut dan kronis meskipun CT scan atau MRI dan pemeriksaan neurologis tidak
memperlihatkan kerusakan. Namun, spesifisitas penemuan abnormalitas tersebut
masih dipertanyakan. Saat ini, penggunaan PET atau SPECT pada fase awal kasus
CKR masih belum direkomendasikan (Dewanto, 2009 ; 16).
8. Penatalaksanaan
a. Survei primer (Primary Survey)
1) Jalan Napas. Memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi. Daerah tulang servikal
harus dimobilisasi dalam posisi netral menggunakan stiffneck collar, head
block, dan diikat pada alas yang kaku pada kecurigaan fraktur servikal.
2) Pernapasan. Pernapasan dinilai dengan menghitung laju pernapasan,
memperhatikan kesimetrisan gerak dinding dada, penggunaan otot-otot
pernapasan tambahan, dan auskultasi bunyi napas dikedua aksila.
3) Sirkulasi. Resusitasi cairan intravena, yaitu cairan isotonik, seperti Ringer
Laktat atau Normal Salin (20 ml/kgBB) jika pasien syok, transfusi darah 10-15
ml/kgBB harus dipertimbangkan.
4) Defisit neurologis. Status neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil. Tingkat kesadaran dapat diklasifikasikan
menggunakan GCS.
5) Kontrol pemaparan/lingkungan. Semua pakaian harus dilepas sehingga semua
luka dapat terlihat. Pasien dapat dihangatkan dengan alat pemancar panas,
selimut hangat, maupun pemberian cairan intravena (yang telah dihangatkan
sampai 39°C).
b. Survey Sekunder

4
Observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cidera. Bila
telah dipastikan penderita CKR tidak memiliki masalah dengan jalan napas,
pernapasan dan sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah penanganan luka
yang dialami akibat cedera disertai observasi tanda vital dan defisit neurologis.
Selain itu, pemakaian penyangga leher diindikasikan jika:
1) Trauma kapitis berat, terdapat fraktur klavikula dan jejas di leher.
2) Nyeri pada leher atau kekakuan pada leher
3) Rasa baal pada lengan
4) Gangguan keseimbangan atau berjalan
5) Kelemahan umum
Bila setelah 24 jam tidak ditemukan kelainan neurologis berupa:
1) Penurunan kesadaran (menurut Glasgow coma scale) dari observasi awal
2) Gangguan daya ingat
3) Nyeri kepala hebat
4) Mual dan muntah
5) Kelainan neurologis fokal (pupil anisokor, refleks patologis)
6) Fraktur melalui foto kepala maupun CT Scan
7) Abnormalitas anatomi otak berdasarkan CT Scan
Penderita dapat meninggalkan rumah sakit dan melanjutkan perawatannya di
rumah. Namun bila tanda-tanda di atas ditemukan pada observasi 24 jam pertama,
penderita harus dirawat di rumah sakit dan observasi ketat. Status trauma kapitis
yang dialami menjadi trauma kapitis sedang atau berat dengan penanganan yang
berbeda. Jarak antara rumah dan rumah sakit juga perlu dipertimbangkan sebelum
penderita diizinkan pulang, sehingga bila terjadi perubahan keadaan penderita,
dapat langsung dibawa kembali ke rumah sakit.
Bila pada CT scan kepala ditemukan hematom epidural (EDH) atau hematom
subdural (SDH), maka indikasi bedah adalah:
1) Indikasi bedah pada EDH
a) EDH simptomatik
b) EDH asimtomatik akut berukuran paling tebal > 1 cm
c) EDH pada pasien pediatri
2) Indikasi bedah pada SDH
a) SDH simptomatik
b) SDH dengan ketebalan > 1 cm pada dewasa atau > 5mm pada pediatri
(Dewanto, 2009 ; 17-18).

5
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Data pengkajian yang dapat ditemukan pada penderita trauma kapitis menurut
Dongoes (2000 ; 270-272)
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran,letargi,hemiparese quadreplegia, ataksia, cara
berjalan tak tegap. Masalah dalam keseimbangan cedera (trauma)
ortopedi, kehilangan tonus otot, otot spastik.
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi).
Tanda :Perubahan frekwensi jantung (bradikardia, takikardia yang
diselingi dengan bradikardia, disritmia).
c. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau
dramatis).
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi
dan impulsif.
d. Eliminasi
Gejala : Inkontinentia kandungan kemih/usus atau mengalami gangguan
fungsi.
e. Makanan/Cairan
Gejala : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera.
Tanda : Muntah. Gangguan menelan
f. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian.
Vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, Perubahan dalam penglihatan
seperti ketajamannya, diplopia, lapang pandang menyempit.
Tanda ; Perubahan kesadaran sampai koma.
1) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
2) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata,
ketidakmampuan mengikuti.
3) Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran.
4) Wajah tidak simetri.
5) Genggaman lemah, tidak seimbang.
6) Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah.
7) Apraksia, hemiparise, quedreplegia.
8) Postur (dekortikasi, deserebrasi), kejang.

6
9) Sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan.
10) Kehilangan sensasi sebagian tubuh.
g. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya
lama.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang
hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat, merintih.

h. Pernapasan
Tanda : Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi).
Napas berbunyi, stridor, tersedak. Ronki, mengi positif (kemungkinan karena
aspirasi).
i. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi.
1) Gangguan penglihatan
2) Kulit: laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon eye”
tanda Batle di sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma)..
Adanya aliran cairan (drainase) dari telinga/hidung (CSS).
3) Gangguan kognitif.
4) Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum
mengalami paralysis.
5) Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
j. Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-
ulang, disartria, anomia.
k. Pemenuhan Pembelajaran
Gejala : penggunaan alkohol/obnat lain.
l. Pertimbangan Rencana Pemulangan :
Membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi, transportasi, menyiapkan
makan, belanja, perawatan, pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata
ruang dan penempatan fasilitas lainnya di rumah.
m. Pemeriksaan Diagnostik
1) Scan CT :
Tanpa/dengan kontras: mengidentifikasi adanya SOL, hemoragic, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan pemeriksaan berulang
mungkin diperlukan karena iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24
– 72 jam pascatrauma.
2) MRI :

7
Sama dengan skan CT dengan/tanpa menggunakan kontras.
3) Angiografi serebral :
Menunjukan kelaianan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan, trauma.
4) EEG :
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis,
5) Sinar X :
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur
dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.
6) BAER (Brain Auditori Evoked Respons). :
Menentuk fungsi korteks dan batang otak.
7) PET (Positron Emission Tomografi) :
Menunjukan perubahan aktivitas metabolisme dalam otak.
8) Pungsi Lumbal, CSS :
Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarachniod
9) GDA (Gas Darah Arteri) :
Mengetahuai adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang dapat
meningkatkan TIK..
10) Kimia/Eolektrolit Darah :
Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan
TIK/perubahan mental.
11) Pemeriksaan Toksikologi :
Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab dalam penurunan
kesadaran.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah
(hemoragi, hematoma)
b. Resiko tinggi terhadap pola napas tak efektif berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler, kerusakan persepsi akut kognitif, dan abstruksi trakeobronkial
c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi sensori,
transmisi dan/atau integrasi (trauma atau deficit neurologis).
d. Perubahan proses berpikir berhubungan dengan perubahan fisiologis, konflik
psikologis .
e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif
f. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan
g. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
penurunan tingkat kesadaran, kelemahan otot untuk mengunyah dan menelan,
(Doengoes, 2000 ; 273).

8
3. Perencanaan Keperawatan
a. Diagnosa Keperawatan I
Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah
(hemoragi, hematoma), edema serebral, perubahan TD sistemik/hipoksia, dan
Tujuan :
1) Mempertahanakan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognitif dan fungsi
motorik/sensorik.
2) Mendemonstrasikan tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda peningkatan
TIK.
Tabel 2.1 Perencanaan diagnosa I
Intervensi Rasional
1. Tentukan faktor-faktor yang 1. Menentukan pilihan intervensi.
berhubungan dengan keadaan Penurunan tanda/gejala neurologis
tertentu atau yang menyebabkan atau kegagalan dalam
koma/penurunan perfusi pemulihannya setelah serangan
jaringan otak dan potensial awal mungkin menunjukkan bahwa
peningkatan TIK. pasien itu perlu dipindahkan ke
perawatan intensif untuk memantau
kembali TIK.
2. Pantau status neurologis secara 2. Mengkaji adanya kecenderungan
teratur dan bandingkan dengan pada tingkat kesadaran dan
nilai standar (misalnya skala potensial peningkatan TIK dan
koma glascow). bermanfaat dalam menentukan
lokasi, perluasan dan
perkembangan kerusakan SPP.

3. Evaluasi kemampuan membuka 3. Menentukan tingkat kesadaran.


mata, seperti spontan (sadar
penuh), membuka hanya jika
diberi rangsangan nyeri atau
tetap tertutup.

4. Kaji respon verbal: catat apakah 4. Mengukur kesesuaian dalam bicara


pasien sadar, orientasi terhadap dan menunjukkan tingkat
orang, tempat, dan waktu baik kesadaran.
atau malah bingung,
menggunakan kata-kata yang
tidak sesuai.

5. Kaji respon motorik terhadap


perintah yang sederhanan 5. Mengukur kesadaran secara
keseluruhan dan kemampuan
dalam berespon pada rangsangan

9
Intervensi Rasional
eksternal dan merupakan petunjuk
6. Pantau TD (catat adanya keadaan kesadaran terbaik.
hipertensi sistolik secara terus 6. Normalnya autoregulasi
menerus dan tekanan nadi yang mempertahankan aliran darah otak
semakin berat). yang konstan pada saat ada
fluktuasi tekanan darah sistemik.
7. Anjurkan orang terdekat untuk 7. Ungkapan keluarga yang
berbicara dengan pasien. menyenangkan pasien tampak
mempunyai efek relaksasi pada
beberapa pasien koma yang akan
menurunkan TIK.

8. Observasi adanya aktivitas 8. Kejang dapat terjadi sebagai akibat


kejang dan lindungi pasien dari dari iritasi serebral, hipoksia atau
cedera. peningkatan TIK dan kejang.

9. (Kolaborasi) tinggikan kepala 9. Meningkatkan aliran balik vena


pasien 15-45 derajat sesuai dari kepala, sehingga akan
indikasi yang dapat ditoleransi. mengurangi kongesti dan edema
atau risiko terjadinya peningkatan
TIK.

b. Diagnosa Keperawatan II
Resiko tinggi terhadap pola napas tak efektif berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler, kerusakan persepsi akut kognitif, dan abstruksi trakeobronkial
Tujuan :Mempertahankan pola pernapasan normal/efektif, bebas sianosis, dengan
GDA dalam batas normal.
Tabel 2.2 Perencanaan diagnosa II
Intervensi Rasional
1. Pantau frekuensi, irama, 1. Perubahan dapat menandakan
kedalaman pernapasan. Catat awitan komplikasi pulmonal
ketidakteraturan pernapasan. (umumnyua mengikuti cedera
otak) atau menandakan
lokasi/luasnya keterlibatan otak.
2. Angkat kepala tempat tidur 2. Untuk memudahkan ekspansi
sesuai aturannya, posisi miring paru/ventilasi paru dan
sesuai indikasi. menurunkan adanya
kemungkinan lidah jatuh yang
menyumbat jalan napas.
3. Anjurkan pasien untuk 3. Mencegah/menurunkan
melakukan nafas dalam yang atelektasis.
efektif jika pasien sadar.

10
Intervensi Rasional
4. Auskultasi suara napas, 4. Untuk mengidentifikasi adanya
perhatikan daerah masala paru seperti atelektasis,
hipoventilasi dan adanya kongesti, atau obstruksi jalan
suara-suara tambahan yang nafas yang membahayakan
tidak normal (seperti krekels, oksigenasi serebral dan/atau
ronki, mengi). menandakan terjadinya infeksi
paru.
5. Pantau penggunaan dari obat- 5. Dapat meningkatkan gangguan /
obat depresan pernapasan, komplikasi pernapasan.
seperti sedatif.
6. Kolaborasi, lakukan ronsen 6. Melihat kembali keadaan
toraks ulang. ventilasi dan tanda-tanda
komplikasi yang berkembang.
7. Kolaborasi berikan oksigen. 7. Memaksimalkan oksigen pada
darah arteri dan membantu
dalam pencegahan hopoksia.
c. Diagnosa Keperawatan III
Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi sensori,
transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neurologis).
Tujuan :
1) Melakukan kembali/mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi
persepsi
2) Mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan residu
3) Mendemonstrasikan perubahan prilaku / gaya hidup untuk mengkompensasi /
deficit hasil.
Tabel 2.3 Perencanaan diagnosa III
Intervensi Rasional
1. Evaluasi/pantau secara teratur 1. Fungsi serebral bagian atas
perubahan orientasi, biasanya terpengaruh lebih dulu
kemampuan berbicara, alam oleh adanya gangguan sirkulasi,
perasaan/afektif, sensorik dan oksigenasi.
proses pikir.
2. Kaji kesadaran sensorik seperti 2. Informasi penting untuk
respons sentuhan, panas/dingin, keamanan pasien.
benda tajam/tumpul dan
kesadaran terhadap gerakan dan
letak tubuh.

3. Bicara dengan suara lembut dan 3. Pasien mungkin mengalami


pelan. Gunakan kalimat yang keterbatasan
pendek dan sederhana. perhatian/pemahaman selama

11
Intervensi Rasional
fase akut dan penyembuhan dan
tindakan ini dapat membantu
pasien untuk memunculkan
komunikasi.
4. Pastikan/validasi persepsi pasien 4. Membantu pasien untuk
dan berikan umpan balik. memisahkan pada realitas dari
perubahan persepsi.
5. Berikan stimulasi yang 5. Pilihan masukan sensorik secara
bermanfaat: verbal (berbincang- cermat bermanfaat untuk
bincang dengan pasien), menstimulasi pasien koma
penciuman (seperti terhadap dengan baik selama melatih
kopi atsu minyak tertentu), taktil kembali fungsi kognitifnya.
(sentuhan, memegang tangan
pasien), dan pendengaran
(dengan tape, televisi, radio,
pengunjung dan sebagainya).

6. Buat jadwal istirahat yang 6. Mengurangi kelelahan, mence-


adekuat/ periode tidur tanpa ada gah kejenuhan, memberikan
gangguan. kesempatan untuk tidur REM.

7. Kolaborasi, rujuk pada ahli 7. Pendekatan antardisiplin dapat


fisioterapi, terapi okupasi, terapi menciptakan rencana piñata-
wicara dan terapi kognitif. laksanaan terintegrasi yang
didasarkan atas kombinasi
kemampuan/ketidakmampuan
secara individu yang unik
dengan berfokus pada
peningkatan evaluasi dan fungsi
fisik, kognitif, dan keterampilan
perseptual.

d. Diagnosa Keperawatan IV
Perubahan proses berpikir berhubungan dengan perubahan fisiologis, konflik
psikologis .

Tujuan : 1) Mempertahankan atau melakukan kembali atau orientasi mental dan


realitas biasanya
2). Mengenali perubahan berpikir/prlaku.

12
Tabel 2.4 Perencanaan diagnosa IV
Intervensi Rasional
1. Kaji rentang perhatian, 1. Rentang perhatian/kemampuan
kebingungan dan catat tingkat untuk berkonsentrasi mungkin
ansietas pasien. memendek secara tajam yang
menyebabkan dan merupakan
potensi terhadap terjadinya
ansietas yang mempengaruhi
proses piker pasien.

2. Pastikan dengan orang terdekat 2. Masa pemulihan cedera kepala


untuk membandingkan meliputi fase agitasi, respons
kepribadian/tingkah laku pasien marah, dan berbicara/proses
sebelum mengalami trauma piker yang kacau.
dengan respons pasien sekarang.
3. Kurangi stimulus yang 3. Menurunkan resiko terjadinya
merangsang, kritik yang negatif, respons pertengkaran atau
argumentasi dan konfrontasi. penolakan.
4. Instruksikan untuk melakukan 4. Dapat membantu untuk
teknik relaksasi. Berikan memfokuskan kembali
aktivitas yang beragam. perhatian pasien dan untuk
menurunkan ansietas pada
tingkat yang dapat
ditanggulangi.
5. Hindari meninggalkan pasien 5. Ansietas dapat mengakibatkan
sendirian ketika mengalami kehilangan control dan
agitasi, gelisah, atau berontak. peningkatan kepanikan.
6. Kolaborasi, 6. Membantu dengan metode
koordinasikan/ikutsertakan pada pengajaran yang baik untuk
pelatihan kognitif atau program kompensasi gangguan pada
rehabilitasi sesuai indikasi. kemampuan berfikir dan
mengatasi masalah
konsentrasi, memori, daya
penilaian dan menyelesaikan
masalah.
7. Rujuk kepada kelompok- 7. Bantuan tambahan mungkin
kelompok penyokong seperti bermanfaat dalam menyokong
asosiasi cedera kepala, upaya-upaya pemulihan.
pelayanan social (jika ada).

13
e. Diagnosa Keperawatan V
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif,
penurunan kekuatan/tahanan, terapi pembatasan/kewaspadaan keamanan.
Tujuan :1) Melakukan kembali/mempertahankan posisi fungsi optimal dibuktikan
oleh tidak adanya kontraktur
1) Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dari fungsi bagian tubuh
yang sakit.
2) Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan dilakukannya
kembali aktivitas.
3) Mempertahankan integritas kulit, kandung kemih dan fungsi usus.
Tabel 2.5 Perencanaan Diagnosa V
Intervensi Rasional
1. Periksa kembali kemampuan 1. Mengidentifikasi kemungkinan
dan keadaan secara fungsional kerusakan secara fungsional
pada kerusakan yang terjadi. dan mempengaruhi pilihan
intervensi yang akan dilakukan.
2. Letakkan pasien pada posisi 2. Perubahan posisi yang teratur
tertentu untuk menghindari menyebabkan penyebaran
kerusakan karena tekanan. terhadap berat badan dan
meningkatkan sirkulasi pada
seluruh bagian tubuh.
3. Berikan/bantu untuk melakukan 3. Mempertahankan mobilisasi
latihan rentang gerak. dan fungsi sendi/posisi normal
ekstremitas dan menurunkan
terjadinya vena yang statis.
4. Instruksikan/bantu pasien 4. Proses penyembuhan yang
dengan program latihan dan lambat seringkali menyertai
penggunaan alat mobilisasi. trauma kepala dan pemulihan
secara fisik merupakan bagian
yang amat penting dari suatu
program pemulihan tersebut.
5. Berikan perawatan kulit dengan 5. Meningkatkan sirkulasi dan
cermat, masase dengan elastisitas kulit dan menurunkan
pelembab, dang anti resiko terjadinya ekskoriasi
linen/pakaian yang basah dan kulit.
pertahankan linen tersebut tetap
bersih dan bebas dari kerutan.
6. Pantau haluaran urine. Catat 6. Pemakaian polikateter selama
warna dan bau dari urine. fase akut mungkin dibutuhkan
untuk jangka waktu yang
panjang sebelum
memungkinkan untuk

14
Intervensi Rasional
melakukan latihan kandung
kemih.
7. Berikan cairan dalam batas- 7. Sesaat setelah fase akut cedera
batas yang dapat ditoleransi. kepala dan jika pasien tidak
kemampuan klien untuk memiliki faktor kontraindikasi
melakukan aktivitas. yang lain, pemberian cairan
yang memadai akan
menurunkan resiko terjadinya
infeksi saluran kemih.

f. Diagnosa Keperawatan VI
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan; kekurangan
nutrisi; respon inflamasi tertekan.
Tujuan :
1) Klien akan mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
2) Mencapai penyembuhan luka tepat waktu bila ada.
Table 2.6 Perencanaan diagnosa VI
Intervensi Rasional
1. Berikan perawatan aseptic dan 1. Cara pertama untuk menghindari
antiseptic, pertahankan teknik terjadinya infeksi nosokomial.
cuci tangan yang baik.
2. Observasi daerah kulit yang 2. Deteksi dini perkembangan
mengalami kerusakan (seperti infeksi memungkinkan untuk
luka, garis jahitan). Catat melakukan tindakan dengan
adanya inflamasi. segera dan pencegahan terhadap
komplikasi selanjutnya.
3. Pantau suhu tubuh secara 3. Dapat mengindikasikan
teratur. perkembangan sepsis yang
selanjutnya memerlukan evaluasi
atau tindakan dengan segera.
4. Berikan perawatan perineal. 4. Menurunkan kemungkinan
terjadinya pewrtumbuhan bakteri
atau infeksi yang merambah naik.
5. Observasi warna/kejernihan 5. Sebagai indikator dari
urine. perkembangan infeksi pada
saluran kemih yang memerlukan
tindakan dengan segera.
6. Batasi pengunjung yang dapat 6. Menurunkan pemajanan terhadap
menularkan infeksi. ”pembawa kuman penyebab
infeksi.”
7. Kolaborasi, berikan antibiotic 7. Terapi profilaktif dapat

15
Intervensi Rasional
sesuai indikasi. digunakan pada pasien yang
mengalami trauma, kebocoran
CSS atau setelah dilakukan
pembedahan untuk menurunkan
resiko terjadinya infeksi
nosokomial.

g. Diagnosa Keperawatan VII


Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
penurunan tingkat kesadaran, kelemahan otot untuk mengunyah dan menelan,
status hipermetabolik.
Tujuan : 1) Klien akan mendemonstrasikan pemeliharaan/kemajuan peningkatan
berat badan sesuai tujuan.
2) Tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi, dengan nilai laboratorium
dalam rentang normal.
Table 2.7 Perencanaan diagnosa VII
Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan pasien 1. Faktor ini menentukan
mengunyah, menelan, dan pemilihan terhadap jenis
mengatasi sekresi. makanan sehingga pasien
harus terlindung dari aspirasi.
2. Auskultasi bising usus, catat 2. Fungsi saluran pencernaan
adanya penurunan/hilangnya atau biasanya tetap baik pada kasus
suara yang hiperaktif. cedera kepala, jadi bising usus
membantu dalam menentukan
respon untuk makan atau
berkembangnya komplikasi,
seperti paralitik ileus.
3. Timbang berat badan sesuai 3. Mengevaluasi keefektifan atau
indikasi. kebutuhan mengubah
pemberian nutrisi.
4. Berikan makan dalam jumlah kecil 4. Meningkatkan proses pencer-
dan dalam waktu yang sering naan dan toleransi pasien
dengan teratur. terhadap nutrisi yang diberikan
dan dapat meningkatkan
kerjasama pasien saat makan.
5. Tingkatkan kenyamanan, 5. Meskipun proses pemilihan
lingkungan yang santai termasuk pasien memerlukan bantuan
sosialisasi saat makan. makan dan/atau menggunakan
alat bantu, sosialisasi waktu
makan dengan orang terdekat

16
Intervensi Rasional
atau teman dapat
meningkatkan pemasukan dan
menormalkan fungsi makan.
6. Kaji feses, cairan lambung, 6. Perdarahan subakut/akut dapat
muntah darah dan sebagainya. terjadi dan perlu intervensi dan
metode alternative pemberian
makanan.
7. Konsultasi dengan ahli gizi. 7. Merupakan sumber yang
efektif untuk mengidentifikasi
kebutuhan kalori/nutrisi
tergantung pada usia, berat
badan, ukuran tubuh, keadaan
penyakit sekarang.

DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba
Medika.
Baughman, 2000. Keperawatan Medikal-Bedah : Buku Saku dari Brunner & Suddarth.
Jakarta : EGC
Dewanto, 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC
Doengoes, 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : EGC

Grace, 2006. At a Glance : Ilmu Bedah. Edisi Ketiga. Jakarta : Erlangga

Mansjoer, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jakarta : Media Aesculapius

Maulana, 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta : EGC

Medical Record RSUD Tenriawaru Kab.Bone

Muttaqin 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta :
Salemba Medika.

Nurachmah, 2000. Buku Saku Prosedur Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : EGC

Satyanegara, 2010. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Edisi IV. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
IKAPI

Sloane, 2004. Anatomi Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta : EGC

Watson, 2002. Anatomi Fisiologi Untuk Perawat. Edisi 10. Jakarta : EGC

17

Anda mungkin juga menyukai