Problem Perempuan Sulsel (10 Liputan Investigasi)
Problem Perempuan Sulsel (10 Liputan Investigasi)
AJI Makassar
Development and Peace
Problematika Perempuan Sulsel
(10 Tulisan investigasi)
Cetakan pertama
Hakcipta @AJI Makassar
Problematika Perempuan: AJI Makassar 2016
Diterbitkan oleh
Aji Makassar
Kompleks Maizonet, Jl Melati No. 3, Makassar
Email: aji.makasar@yahoo.co.id
Website: www.ajimakassar.org
Ketentuan Pidana
Pasal 72
1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp 1.000.000 (satu juta rupiah), atau pidan penjara paling
lama 7 (tujuh)btahun dan /atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah)
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memerkan, mengedarkan, atau
menjual kepad umumm suatu ciptaan ataau barang hasil pelanggaran hak cipta
atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dipidana dengan penjara
paling lama 5 Tahun.
Daftar Isi
Kata Pengantar v
Kesetaraan Gender di Jeneponto
Perempuan Pendombrak Adat dari
Desa Sapanang 1
Kiprah Perempuan di Parlemen
Terinspirasi dan Terilhami
Pengalaman Pribadi 13
Potret Buram Istri Nelayan Sulsel 23
10 Liputan Investigasi v
Tengoklah tulisan Menggugat Eksistensi Ruang
Laksati ASI di Makassar, juga ada Pola Pembinaan PPSKW
Mattiro Deceng: Menjerakan Tidak, Menyadarkan kan
pun Kurang.
Tema selebihnya memang lebih banyak mengangkat
diskriminasi yang dirasakan oleh perempuan. Meski
diskriminasi yang diangkat juga terjadi di Indonesia secara
umum, namun tulisan yang diangkat lebih memotret
bagaimana perempuan di Sulsel menghadapi diskriminasi
itu.
Seperti pada tulisan Larangan Hijab Antara
Diskriminasi dan Sentimen Agama, lalu Fenomena
Pernikahan Dini di Maros: Terjebak Tradisi, Terperangkap
Kemiskinan. Juga ada HIV/AIDS: Sesuatu yang Tidak
Mmebunuhmu, Membuatmu Lebih Kuat yang berisi
reportase tentang ketangguhan ibu-ibu rumah tangga
penderita HIV/AIDS dalam menjalani kesehariannya.
Semoga buku kumpulan reportase ini bisa menjadi
referensi baru, setidaknya sebagai awal untuk menyelami
persoalan-persoalan perempuan di Sulsel.
Tim Penyusun
10 Liputan Investigasi 3
SMP terdapat satu sekolah, 14 kelas, 290 murid dengan 123
murid laki-laki dan 167 perempuan 38 guru.
“Dalam forum-forum resmi seperti Pertemuan
Musyawarah Desa, perempuan memang diundang dan
ikut dalam pertemuan. Tapi mereka hanya datang sekadar
memenuhi undangan dan tidak merasa perlu untuk
berbicara dan mengemukakan pendapatnya karena mereka
merasa pertemuan itu adalah urusan laki-laki. Apalagi bila
dalam musyawarah itu ada yang ingin diputuskan, mereka
hanya diam seribu bahasa,” tambahnya.
10 Liputan Investigasi 5
terlibat lebih dalam pengambilan keputusan di desanya,
begitu besar. Namun ia merasa ruang yang diberikan
kepadanya sangat kurang.
“Kalau ada musyawarah desa, kadang saya tidak
dipanggil. Perempuan pun tidak mempercayai dirinya dalam
setiap forum di desa. Penyebabnya, banyak perempuan
yang tidak tahu masalah yang dibahas. Akhirnya, kaum
perempuan kebanyakan diam,” katanya.
Perempuan berdarah ‘Daeng’ yang juga alumni S-1
Universitas Negeri Makassar ini, sangat menyayangkan
minimnya peran perempuan di Desa Sapanang. Padahal
dari segi pendidikan semua sudah mengecap bangku
SMA dan jumlah perempuan lebih banyak ketimbang laki-
laki. Kentalnya pengurus adat dan budaya pada akhirnya
membatasi peran perempuan dalam banyak sektor.
Perempuan lebih banyak hanya bisa menerima keputusan.
10 Liputan Investigasi 7
di Negara Iran mengajarkan perempuan dengan doktrin
Fatimah. Bahkan dibuatkan dalam undang-undang yang
mengharuskan setiap pasangan yang ingin menikah untuk
mengikuti kuliah selama 20 jam untuk mengetahui apa
haknya laki-laki dan perempuan. Urusan hijab itu bukan
hanya urusan perempuan melainkan urusan laki-laki.
Lantaran itulah diperlukan studi banding bagi
perempuan untuk membuka wawasan, khusunya untuk
kaum perempuan yang bermukimdi desa.
“Petarungan soal menang dan kalah itu risiko
sebuah demokrasi, yang penting kita memperjuangkan
kepentingan publik. Budaya memang kadang mematikan
kesempatan dan peluang, makanya kita terjebak ke itu-
itu juga. Sumber daya sosial yang diabaikan merupakan
kerugian besar. Dari segi kecerdasan perempuan sangat
hebat. Hanya dari segisosial dan budaya yang menyulitkan
dia berkembang,” tandas Alwi.
10 Liputan Investigasi 9
Menurut Asprianto, anggota Komisi IV DPRD Kabupaten
Jeneponto yang membidangi pemberdayaan perempuan,
komisi IV telah mengadakan beberapa kali rapat untuk
alokasi anggaran tentang pemberdayaan perempuan di
Jeneponto.
Menurutnya anggaran yang disediakan untuk
pemberdayaan perempuan sama dengan tahun lalu. “Kami
memberikan dana kepada pihak pemberdayaan perempuan
di BKKBN agar setiap program pemberdayaan perempuan
terealisasi,” ujarnya.
Untuk mengevaluasi program pemerintah, pihak
BKKBN telah mengadakan survey di setiap SKPD, dengan
memberikan kuisioner yang diisi oleh kepala SKPD. Survei
ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana program
pemerintah Jeneponto untuk SKPD. Memang nyatanya
masih banyak SKPD yang belum merealisikannya dan
pengisian kuisioner belum maksimal.
Terlepas dari semua itu, seberapa kuat pengaruh adat
dan budaya, seberapa apatis masyarakat khususnya kaum
perempuan, atau seberapa minim anggaran, masyarakat
secara keseluruhan harus tetap didorong secara massif
untuk melakukan gerakan kesetaraan gender.
Semua harus berperan agar hak-hak kaum perempuan
dapat tersalurkan di semua sektor. Toh, sebagian besar
perempuan juga yakin bahwa ketika kesetaraan gender
sudah berjalan sebagaimana mestinya, mereka tidak akan
melupakan fitrahnya sebagai seorang perempuan, istri,
atau ibu yang melahirkan dan menyusui anak-anaknya.
Sederhana Bermanfaat
MESKI sudah menjadi anggota dewan, Andi Anja tetap
suka melakukan hal sederhana yang orang lain tidak
pernah perhatikan. Contohnya, bagaimana mengisi waktu
luang di bulan Ramadan. “Biasanya kalau Ramadan, ibu-
ibu lebih banyak tidak tau mau lakukan apa. Nah, kepada
mereka saya ajak untuk membuat makanan berbuka puasa
lalu menjajakannya di pinggir jalan depan rumah mereka,”
ungkapnya.
Walhasil, kata dia, banyak keuntungan yang didapatkan
dari hasil berjualan memanfaatkan waktu di bulan Ramadan.
“Sejak saat itu, mereka akhirnya bisa menghasilkan uang
sendiri dengan menjual kue buatan sendiri,” ungkapnya.
Andi Anja terus melakukan hal sederhana seperti itu
hingga periode pertamanya berakhir. Pada pendaftaran
anggota legislatif, Andi Anja mencoba ikut lagi untuk periode
kedua. Tanpa disangka, masyarakat memberi kepercayaan
padanya kembali. Dia pun sukses mengalahkan sembilan
calon lainnya di partainya.
10 Liputan Investigasi 15
Di periodenya yang kedua, Andi Anja mengusulkan
untuk membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang
Perlindungan Perempuan dan Anak. Perda ini merupakan
impian Andi Anja sejak lama. Bahkan sebelum dia duduk di
dewan.
Berkat kerja sama dengan program MAMPU dari yayasan
BaKTI, Parepare dan kelompok perempuan memberi saran
dan masukan berdasarkan pengalaman hidup dan fakta
yang terjadi. sebagai ketua Panitia Penyusun Rancangan
Peraturan Daerah, Andi Anja akhirnya bisa membuktikan
kalau perempuan layak dilindungi dan diberdayakan.
Aktif ke Desa
LAIN halnya dengan pengalaman Haeriah Rahman, anggota
Fraksi PAN DPRD Maros yang baru menjadi anggota DPRD
karena mengikuti panggilan jiwa untuk berorganisasi dan
senang bersosialisasi sejak di bangku sekolah dasar. Wakil
Ketua Majelis Taqlim Aisyiyah ini, sangat menjunjung tinggi
pendidikan.
Haeriah menganggap, pendidikan sangat penting untuk
semua orang. Khususnya pada perempuan. Karena baginya,
perempuan memiliki peran yang sangat berarti di dalam
keluarga, lingkungan maupun masyarakat.
“Perempuan merupakan pendidik dan pembina pertama
di dalam rumah tangga. Juga akan melahirkan generasi-
generasi berprestasi,” terang Haeriah.
Kepeduliannya pada pendidikan, memang dapat dia
buktikan pada dukungannya menjadi anggota panitia
penyusun (Pansus) Perda Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Meski, perda itu bukan usulannya. Namun keterlibatannya
menjadi pansus itu menunjukkan dia peduli betapa
pentingnya menyekolahkan anak pada usia dini.
Tidak hanya itu, pernah suatu waktu saat turun
berkampanye di kecamatan Tompobulu, Haeriah berbagi
pengalamannya, mendapati satu dusun terpencil, Barah
Desa Bonto Somba, berjarak sangat jauh dari keramaian.
10 Liputan Investigasi 17
Butuh Kerja Keras
NAMUN, kedua perempuan ini merupakan bukti
keterlibatan perempuan di parlemen bukan sebagai
pemenuh kuota 30 persen yang diatur dalam UU nomor
7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (Convention the Elimination of All Forms of
Discrimination Againts Woman), di dalamnya menegaskan
bahwa Pemerintah bertanggung jawab menghapus segala
bentuk diskriminasi dan mendorong kesetaraan gender,
termasuk bidang politik.
Program Maju Perempuan Indonesia untuk
Penanggulangan kemiskinan (MAMPU) Yayasan BaKTI
melakukan baseline survey kapasitas anggota parlemen
perempuan (APP) di kawasan Indonesia Timur.
Manajer program MAMPU, yayasan BaKTI Lusia
Palulungan mengatakan, kapasitas Keterwakilan APP
masih sangat rendah pada semua DPRD di lokasi survei.
Hal itu dapat berdampak pada rendahnya kemampuan
APP memperjuangkan kepentingan perempuan dalam
implementasi pembangunan daerah bersangkutan.
“Keterwakilan APP pada alat kelengkapan dewan dan
komisi, bukan hanya belum merata tetapi juga masih
nampak sejumlah alat kelengkapan dewan dan komisi yang
tidak diwakili oleh APP pada daerah tertentu. Sehingga
pada urusan-urusan tertentu yang diperankan oleh alat
kelengkapan dewan dan komisi harus ada upaya penguatan
peran APP, bukan hanya oleh APP tetapi juga oleh APL,”
Lusia menerangkan.
Terbukti, saat ini kualitas APP menurun dibanding
pada masa orde baru di mana APP-nya memang jauh lebih
terlatih dan berkualitas. Namun, aspirasi yang diusulkan
belum bisa mempengaruhi kebijakan karena jumlah
keterwakilan perempuan masih sangat sedikit. Selain itu,
keterlibatan perempuan di parlemen dianggap berasal dari
keluarga pejabat atau memiliki pengaruh besar pada partai.
10 Liputan Investigasi 19
dengan afirmasi masyarakat. Kedua, gender politik masih
bias gender pada praktik politiknya. Seperti saat rapat
partai, proses rekomendasi kader pada umumnya masih
bias gender. Meski pun UU sudah ada yang mengatur.
“Kemudian, soliditas belum terjalin di kalangan
aktivis perempuan saat beramai-ramai masuk dalam
parlemen. Yang ada justru kompetisi antar sesama calon
perempuan. Padahal, semestinya yang bekompetisi itu
antara perempuan dengan laki-laki. Mereka sudah sedikit
jumlahnya, sesamanya lagi yang saling berkompetisi.
Sehingga ketika masuk di parlemen pun masih terjadi
persaingan yang akhirnya tidak terbentuk soliditas dan
tidak memiliki kesatuan misi. Padahal misi mereka adalah
memperjuangkan hak-hak perempuan,” kata Aswar.
Gerakan parlemen perempuan baru akan sadar
untuk berpihak pada kepentingan gender (perempuan)
setelah mendapat pelatihan dari non Government (NGO)
masyarakat atau dari program pelatihan luar setelah
mengetahui isu atau kasus yang sudah ada. Padahal, kalau
dari segi pendidikan, perempuan jauh lebih cerdas, hanya
saja atmosfir dari kebijakan yang dibuat tidak maksimal.
Pengakuan Publik
NAMUN, tidak semua anggota parlemen sama. Andi Anja
dan Haeriah Rahman mampu berkiprah di dunia politik.
Penulis telah mendapat pengakuan rekan kerja maupun
konstituen yang merupakan bukti tentang kiprah kedua
anggota parlemen perempuan ini.
Ketua DPRD Parepare, Jhon Pananangan misalnya,
telah mengakui perjuangan Andi Anja betul-betul nyata
untuk masyarakat. Khususnya untuk keluarga miskin dan
perempuan.
“Bayangkan saja, bukan hanya untuk perempuan, tapi
juga untuk rumah tangga. Kalau bicara soal perempuan
di dalam rumah tangga, 60 persen sudah menyangkut
perempuan. Bahkan sampai 70 persen. Sampai dalam hal
10 Liputan Investigasi 21
Aniswati Syahrier, Lulusan Sastra Inggris
Unioversitas Hasanuddin. Saat ini aktif di LSM
lingkungan dan Jurnal Celebes. Perempuan
kelahiran Bulukumba 20 Juni 1988 ini juga
pernah bekerja di Koran Tempo Makassar.
PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL
(10 Liputan Investigasi) 23
10 Liputan Investigasi 25
Menyadari kesulitan keuangan yang ia alami, Mantasiah
berinisiatif untuk mencari penghasilan sendiri untuk
membantu suaminya. Ia sadar, biaya hidup bukan hanya
tanggung jawab suaminya, tapi menjadi tanggung
jawabnya juga. Mantasiah pernah bekerja di sebuah toko
pakaian di Pasar Sentral Makassar.
“Saya kerja di toko. Saya menjualkan pakaian orang,”
katanya. Dalam sehari, Mantasiah mendapat upah Rp30
ribu. Jika kerja lembur, ia bisa membawa pulang Rp60 ribu
sehari.
Tahun lalu, seorang temannya menawari Mantasiah
bekerja sebagai cleaning service di Trans Studio Mall. Ia
sangat gembira dengan tawaran itu. Setidaknya, ia bisa
memiliki pekerjaan dengan penghasilan tetap. Mantasiah
bekerja sebagai cleaning service mulai pukul 15.00 hingga
pukul 00.30 Wita. Jika di mall sedang ada acara, ia pulang
lebih larut.
“Kadang pulang jam (pukul) 2 malam,” paparnya. Dengan
pekerjaan barunya itu, ia mendapatkan gaji Rp1.250.000
per bulan. Namun pendapatannya tersebut masih harus ia
potong Rp200 ribu, untuk teman kerjanya yang sehari-hari
berangkat bersamanya.
“Teman saya naik motor. Saya numpang, jadi saya bayar
tiap bulan untuk beli bensin.”
Meski pekerjaannya melelahkan, terlebih jam kerja yang
tak bersahabat, Mantasiah mengaku bersyukur karena bisa
memenuhi kebutuhan keluarga.
Mantasiah merasa penghasilannya tersebut sangat
lumayan. Setiap bulan ia bisa menyisihkan untuk tabungan.
Namun sudah beberapa bulan ini Mantasiah tidak bekerja
lagi. Ia baru saja melahirkan anak bungsunya. Usianya
baru tiga bulan. Ia harus menghabiskan waktu di rumah
mengurus anaknya.
“Beruntung anak saya hanya minum ASI, bukan susu
formula, jadi tidak ada pengeluaran tambahan,” katanya
Kasus Lumrah
PERMASALAHAN kesulitan ekonomi tidak hanya dirasakan
oleh perempuan-perempuan istri nelayan di wilayah pesisir
Makassar. Di daerah lain pun, para istri nelayan sudah
sangat akrab dengan kemiskinan. Seperti yang dialami
para perempuan istri nelayan di wilayah pesisir Desa Bori
Masunggu, Kecamatan Bacukiki, Kabupaten Maros. Para istri
nelayan di desa ini sama sekali tidak punya aktivitas yang
berkaitan peningkatan ekonomi.
10 Liputan Investigasi 27
Salah seorang warga, Rismawati mengungkapkan,
para istri nelayan perlu pelatihan dan bimbingan untuk
meningkatkan taraf ekonomi. “Di pesisir, sangat banyak
potensi yang bisa dikembangkan, tapi kami tidak tahu
caranya,” ungkapnya.
Ia memberi contoh, para istri nelayan bisa
mengembangkan industri rumah tangga berbahan baku
ikan, seperti kerupuk, nugget, dan bakso ikan. Sayangnya,
kata Rismawati, jangankan modal untuk memulai usaha,
untuk makan sehari-hari saja mereka masih kewalahan.
Rismawati sendiri merasa beruntung karena punya keahlian
menjahit. Sehari-hari ia bekerja sebagai penjahit di usaha
rumahan milik salah seorang warga di Desa Bori Masunggu.
Namun pekerjaannya pun tergantung dari pesanan. Jika
pesanan tidak banyak, tenaganya tidak dibutuhkan.
Di Pulau Sabutung, Kabupaten Pangkep, kondisi serupa
juga terjadi. Di pulau ini, bulan April hingga Desember
disebut sebagai masa paceklik karena pada bulan tersebut
angin terlalu kencang sehingga nelayan tidak bisa
menangkap ikan. Untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga, para istri nelayan melakukan pekerjaan sampingan
menganyam jaring, mencari kerang di pantai, atau menjual
kue.
Salah seorang istri nelayan di Pulau Sabutung, Jusmawati
mengatakan, jika musim paceklik, kadang ia sama sekali
tidak memiliki uang untuk membeli kebutuhan rumah
tangga. Jika hal itu terjadi, jalan satu-satunya yang ia tempuh
adalah berutang kepada punggawa.
“Saya pinjam uang untuk belanja. Kalau sudah ada hasil
tangkapan, baru dibayar,” katanya. Sebagai risikonya, hasil
tangkapannya harus dijual murah. “Karena sudah pinjam
uang duluan, harga jualnya lebih murah daripada pedagang
lain,” tambahnya.
Di waktu senggang, Jusmawati menganyam jaring
penangkap kepiting. Jaring tersebut ia buat dari tali yang
ia uraikan serat-seratnya. Setiap 15 ons tali, ia beli dengan
10 Liputan Investigasi 29
tugas perempuan. Di sisi lain, perempuan juga memiliki
peran ganda karena juga harus bertanggungjawab penuh
mengurus rumah tangga dan anak-anak mereka.
YKPM sendiri, merupakan sebuah lembaga yang
fokus pada program pemberdayaan masyarakat pesisir
dan perkotaan. YKPM juga menjalankan sebuah program
pemberdayaan perempuan nelayan, dalam bidang sekolah
politik perempuan dan pemberdayaan ekonomi. Tahun
ini, YKPM menjadi salah satu sub mitra program MAMPU,
sebuah program bantuan dari AusAid yang bertujuan
meningkatkan akses perempuan miskin terhadap layanan
publik dan lapangan kerja.
Di Sulawesi Selatan, salah satu wilayah yang didampingi
oleh YKPM adalah Kabupaten Pangkep. YKPM melakukan
pemberdayaan perempuan di tiga desa yang tersebar di 10
pulau, termasuk Pulau Sabutung. Para perempuan di daerah
tersebut diberi pelatihan tentang industri rumah tangga.
Para perempuan itu juga mengikuti sekolah perempuan,
yang mengajarkan mereka tentang gender, seks, jaminan
sosial, serta pemahaman tentang hak-hak perempuan
dalam rumah tangga. Sekolah tersebut bertujuan
memberikan hak-hak perempuan dalam rumah tangga, dan
memberi pemahaman kepada para suami bahwa kewajiban
mengurus rumah tangga bukan semata-mata tanggung
jawab istri, melainkan harus juga menjadi tanggung jawab
suami.
Menggugat Eksistensi
Ruang Laktasi ASI
Dian Muhtadiah Hamna
10 Liputan Investigasi 35
untuk berselonjor.
Dalam ruangan ini pun, masih dibatasi gorden untuk ibu
yang tengah menyusui.
Fasilitas penunjang lainnya juga tersedia seperti
westafel, cermin besar, dispenser, dan almari. Semuanya
masih serba baru.
Seorang ibu bernama Puspa, 31, menyusui bayinya
yang baru berusia tiga bulan. Perempuan dua buah hati ini
tampak santai, menselonjorkan kakinya. “Enak di sini, tidak
pegal. Saya merasa bebas menyusui anak saya sambil buka-
buka gadget. Hehehe,” ucapnya tertawa kecil.
Diakui Puspa, hadirnya ruang laktasi tersebut
memotivasinya untuk lebih memilih berbelanja di mal
itu ketimbang di tempat lain. Makanya, sudah dua kali
ruang laktasi itu dinikmatinya. “Anak saya dan ayahnya lagi
bermain di tempat bermain anak-anak,” ucap perempuan
yang tiap kali menyusui menghabiskan waktu sekira 30
menit.
Bagi warga Jl Gunung Lompobattang ini, baik di mal,
perkantoran, hotel, hingga toko sebaiknya menyediakan
ruang laktasi. Apalagi seperti dirinya, yang mencoba
bertahan memberi ASI eklusif pada bayinya. Sebab,
diakuinya bahwa ASI-nya tidak lancar keluar.
“Kalau ada ruang laktasi , saya ada upaya untuk memaksa
ASI ini terus berproduksi,” katanya.
Dia pun mengaku miris, jika ketersediaan ruang laktasi
di Kota Makassar masih minim. Perempuan pemilik gerai
di salah satu pusat perbelanjaan di Makassar ini mengaku
kerap menerima ibu-ibu yang meminta izin menyusui
bayinya di gerai tempatnya berjualan. Mereka biasanya
bersembunyi diantara barang jualan.
Selain di Mal Ratu Indah, di Trans Studio Mall juga tersedia
ruang laktasi. Feby Ulvin, Public Relation Trans Studio Mall
mengatakan, kehadiran ruang laktasi merupakan salah
10 Liputan Investigasi 37
denda menjadi maksimal 3 kali lipat atau Rp 300 juta dan
ancaman pencabutan badan izin usaha.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor
15 tahun 2013 pun telah diatur tata cara penyediaan ruang
ASI. Ruang laktasi bisa disesuaikan dengan jumlah pekerja
hamil atau menyusui di perusahaan tersebut.
Selain peraturan pemerintah di atas, ketersediaan ruang
laktasi pun sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Daerah
Provinsi Sulsel Nomor 6 Tahun 2010 tentang Air Susu Ibu
Ekslusif. Persisnya dalam Pasal 7 mengenai tempat menyusui
ekslusif. Dalam butir pertama pasal ini menyebutkan
“Pemberi kerja, pengelola tempat kerja, Pengelola fasilitas
umum wajib menyediakan fasilitas tempat menyusui (ruang
laktasi). Namun, bagaimana realisasinya?
10 Liputan Investigasi 39
enam bulan melaksanakan kewajibannya, si ibu tak harus
selalu berada di ruang pribadinya. Menyusui di tempat
umum, adalah hal natural.
Dalam peraturan daerah Provinsi Sulsel Nomor 6 Tahun
2010 tentang Air Susu Ibu Ekslusif pada Pasal 7 butir dua
mengenai fasilitas tempat menyusui harus memenuhi
syarat sebagai berikut: ruang minimal 3 x 4 meter 2, lokasi di
tempat yang aman dan mudah dijangkau, pintu yang dapat
dikunci dari dalam, kedap terhadap suara, sofa panjang
yang empuk serta meja tulis dan kursi. Selain itu wastafel
dan air mengalir; pencahayaan yang cukup, termometer,
kulkas, lemari dan meja alat, tempat sampah basah dan
kering, termos susu, air conditioning (AC) atau kipas angin.
Arsitektur Makassar, M Sudjar Adityadjaja menilai ukuran
ideal ruang laktasi dikalkulasikan berdasarkan kebutuhan
aktivitas, pemanfaatan barang dan meletakkan bayi.
Misalnya satu ruang berisi lima orang total memiliki ukuran
ideal 7,2 meter persegi. Angka ini berasal dari 1,20 cmx1,20
cm=1,44 meter persegi x 5 orang.
“Seorang arsitek mesti memikirkan kelengkapan hingga
detailnya. Bukan mengurangi. Jadi, semuanya terintegrasi
sebelum membangun,” kata Sudjar.
10 Liputan Investigasi 41
berjalan juga dengan tingkat pola pikir yang modern,”
katanya.
10 Liputan Investigasi 43
fungsional. Setelah dikaji, barulah diberikan saran. “Kami
meminta mereka meredesain agar memasukkan akses
yang menunjang misalnya bagi penyandang disabilitas.
Harapan kami, masukan itu ditindaklanjuti pihak mereka,”
ujar Danibal.
Dia menambahkan pihaknya kini berkoordinasi dengan
Wali Kota Makassar, Danny Pomanto untuk mencanangkan
sertifikasi laik bangunan. Indikator sebuah bangunan layak
memeroleh sertifikat ini antara lain; proteksi terhadap
kebakaran, struktur bangunan, tahan terhadap bencana
alam, memiliki fasilitas publik, dan sebagainya.
“Saya kira dalam pencanangan sertifikasi laik bangunan
itu perlu didukung oleh seluruh SKPD karena ini bersentuhan
juga dengan mereka. Saya banyak menaruh harapan agar
itu diwacanakan. Jika hal ini diabaikan mesti diberi sanksi
yang setimpal bagi pelanggaranya, “ tandasnya.
10 Liputan Investigasi 45
Muhammad Almaliki, Saat ini menjabat
redaktur di media online lokal rakyatku.com.
Sebelumnya juga pernah bekerja di Harian
Radar Makassar. Lelaki yang senang membaca
novel sastra ini adalah Lulusan Universitas Fajar
Jurusan Sastra Inggris angkatan 2009.
PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL
(10 Liputan Investigasi) 47
Larangan Hijab,
Antara Diskrimnasi dan
Sentimen Agama
Muhammad Almaliki
10 Liputan Investigasi 49
Ini jika melihat fakta bahwa Indonesia adalah negara pluralis.
Di samping itu, kinerja seseorang tidak bisa dinilai dari satu
sudut pandang begal mana cara mereka berpakaian.
“Setiap orang punya hak untuk bekerja, baik orang cacat
dan apa saja. Selama mereka berkompeten dalam bekerja,
mengapa tidak haknya di akomodir,” tegas Rosmiaty.
Dari segi pemberlakuan undang-undang tenaga kerja,
lewat badan legislatif negara, Ketua Komisi D, DPRD Kota
Makassar, Mudzakkir Ali Djamil menyesalkan informasi
tersebut.
“Saya kira kita nanti akan minta Siloam untuk mengubah
kebijakan, apapun itu alasannya. Karena secara substansi,
hal ini sudah terkait ke ranah perlindungan tenaga kerja,”
urainya.
Sama halnya dengan Muzakkir, Kepala Dinas Tenaga
Kerja Kota Makassar, Bukti Djufrie, pun mengatakan akan
memberi sanksi penutupan jika informasi yang beredar
tentang Siloam, bisa dipertanggungjawabkan.
“Dalam undang-undang nomor 13 tahun 2003 tidak
ada termaktub hal seperti itu. Sudah jelas hal tersebut
melanggar. Namun, tidak sertamerta kita beri pelanggaran,
kita harus koordinasi dulu dengan Siloam,” bebernya.
Sayang, menanggapi hal ini, Humas RS Siloam, Putri
Amelia mengaku tidak punya otoritas untuk menjawab atau
mengubah kebijakan tersebut. Dia lebih memilih bungkam.
“Maaf, saya tidak bisa memberikan penjelasan apapun
tentang itu. Yang berhak itu, adalah Direktur. Untuk bertemu,
saya harus atur waktu dulu,” beberapa hari dihubungi,
hasilnya tetap nihil. Janji untuk bertemu dengan atasannya,
hanya seperti menjadi pemanis bibir.
10 Liputan Investigasi 55
Naston, Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan SMA
Citra Bangsa Pulau Kodingareng melihat hal ini memang
banyak terjadi di kalangan siswa-siswinya. Banyak yang
punya potensi dan berprestasi akhirnya tidak lanjut karena
biaya.
Beberapa di antaranya memang karena miskin, tapi
kecenderungan orang tua di Pulau Kodingareng juga
memilih menggunakan uang mereka untuk hal yang
berwujud ketimbang untuk biaya pendidikan, terlebih
hingga ke jenjang perguruan tinggi. Pendidikan dinilai
mahal dan dianggap tak memberi kejelasan atau dampak
langsung ke kehidupan mereka kelak.
“Memang ada yang tetap lanjut kuliah atau kerja di kota,
tapi jauh lebih banyak yang tinggal di rumah setelah lulus
SMA. Kebanyakan perempuan karena orang tua mereka
sering khawatir jika anaknya kuliah atau kerja jauh dari
rumah dan tidak ada yang menjaga. Pilihannya akhirnya
menikahkan anak mereka,” kata Naston.
Menurut Naston, pihak sekolah berupaya membuat
suasana sekolah lebih menyenangkan diantaranya dengan
berbagai kegiatan ekstra kurikuler seperti Pramuka, pecinta
alam, teater, palang merah, dan lainnya. Tujuannya agar
siswa lebih berminat terus bersekolah. Namun tetap saja
ini bukan jawaban karena berbagai persoalan diantaranya
kurangnya tenaga pendidik. Lingkungan juga punya
pengaruh kuat terhadap keputusan lanjut atau tidaknya
seorang anak bersekolah atau menikah muda atau tidak.
10 Liputan Investigasi 57
Perbanyak Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat Pulau
PERAN dan perhatian dari pemerintah tentunya sangat
diperlukan dalam hal pendidikan dan pengembangan
masyarakat, khususnya anak-anak di Pulau Kodingareng.
Saat ini memang ada program Karang Taruna yang dikelola
oleh pemuda di Pulau Kodingareng namun pelaksanaan
kegiatannya tidak rutin bahkan terbilang jarang. Kegiatan
Karang Taruna biasanya hanya berjalan saat menjelang
peringatan 17 Agustus.
Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak,
Andi Tenri Palallo mengakui hal itu memang tak lepas
dari tanggung jawab pemerintah. Untuk itu dirinya saat
ini tengah berupaya untuk menyusun berbagai kegiatan
untuk program pendidikan dan pengembangan diri anak-
anak pesisir, khususnya perempuan. Hal ini dinilai sebagai
langkah stategis untuk mencegah kawin muda dengan cara
memberikan kesibukan yang bermanfaat bagi pemuda-
pemudi di pesisir.
“Ke depannya kami akan memberikan program-
program pemberdayaan perempuan dan anak yang lebih
fokus ke masyarakat pesisir. Meski begitu, hal ini belum
bisa maksimal karena menunggu sejumlah pulau yang ada
di kota Makassar, resmi menjadi satu kecamatan. Saat itu
terealisasi maka otomatis anggaran akan mengalir dan akan
disesuaikan dengan standar kecamatan” katanya.
Program Manajer Maju perempuan Indonesia untuk
Penanggulangan kemiskinan (MAMPU) Lusia palulungan
menilai fenomena menikah muda yang terjadi di masyarakat
pulau memang karena kurangnya sarana pendidikan dan
kegiatan pengembangan diri sehingga bekal untuk masa
depan minim. Akibatnya terjadi pemiskinan turun temurun
dan yang menjadi korban adalah perempuan.
“Jika keluarga mengalami keterbatasan ekonomi,
pemahaman masyarakat yang masih kuat bahwa laki-
laki adalah sumber pencari nafkah dan perempuan akan
kembali ke dapur, maka fokus pendidikan hanya akan
10 Liputan Investigasi 59
Menurut Alwi disinilah pentingnya peran sekolah
yang mengarahkan pendidikan kebudayaan yang diiringi
pemahaman tentang peradaban. Pada jaman modern
saat ini anak di daerah terpencil maupun pesisir baru
saja bisa menikmati hadirnya jaringan telekomunikasi
selular, sedangkan anak di kota sudah menikmati hadirnya
peradaban telepon pintar bahkan yang datangnya dari luar
negeri seperti facebook, twitter, dll.
Akhirnya kehadiran peradaban yang canggih dan
modern ini tidak diikuti dgn mendidik kembali kebudayaan
yang terbilang masih ‘tradisional’. Wajar saja ketika orang
tua khawatir anaknya akan terjerat pengaruh buruk, meski
tetap saja perkawinan bukan solusi satu-satunya.
“Sekarang kita berada pada peradaban yang canggih
tapi kehilangan kebudayaan. Kita harus bisa melihat dengan
jelas siapa saja yang harus bertanggung jawab untuk
mendidik kebudayaan kita. Sayangnya belum ada lembaga
yang khusus untuk mendidik kebudayaan kita”
Jika sudah begini, pemerintah, sekolah, orang tua
bahkan media mempunyai peran penting dalam asimilasi
kebudayaan saat ini. Di tengah guncangan peradaban yang
begitu ramai, pegangan moral dan nilai budaya yang ketat
harus diimplementasikan kepada anak-anak tersebut.
Bahwa dulu terjadi perkawinan dini memang benar, tapi
anak-anak tidak menghadapi gegar budaya yg begitu besar.
Anak-anak di pesisir memang ketinggalan peradaban,
namun jangan sampai juga kehilangan kebudayaan karena
mengikuti tradisi yang ada.
“Kita harus mendidik kembali anak-anak dengan
kebudayaan agar tetap memiliki masa depan yang cerah.
Pendidikanlah yang membuat mereka akan waspada
tentang kemiskinan.Jangan sampai mereka melanggengkan
kemiskinan di usia produktif.
Tentu saja bukan hanya soal melanggengkan kemiskinan
di usia produktif, tapi kita tak ingin melihat lahir banyak
10 Liputan Investigasi 61
Muzakkir Akib, Memulai karir jurnalistiknya
di Kompas TV Makassar, dan berlanjut hingga
sekarang. Ekky, panggilan akrabnya, adalah
lulusan Universitas Fajar Fakultas Komunikasi.
Selain penggila manga, juga senang jika
dipanggil makan :D
PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL
(10 Liputan Investigasi) 63
Tradisi Bablas
TENRIOLA dan Kasmawati hanyalah bagian kecil dari kasus
10 Liputan Investigasi 65
kelurahan.
“Di lapangan banyak warga yang meminta usia anak
mereka ditingkatkan. Kami tidak bisa berbuat banyak
karena perubahan data usia dilakukan di tingkat kelurahan.
Kami di KUA (kantor urusan agama) hanya mencatat saja,”
sebutnya.
Bagaimana kalau sang calon pengantin terlibat hamil di
luar nikah? Dengan jujur Sahabi mengakui bahwa pihaknya
menawarkan pada yang bersangkutan dan kerabatnya
untuk meminta dispensasi dari pengadilan agama setempat.
“Kalau ternyata belum cukup umur, biasanya umurnya
dinaikkan (dipalsukan, red). Dan itu biasanya permintaan
dari keluarga juga,” lanjut Sahabi.
Faktor Biaya
Selain faktor tradisi, pernikahan dini di Sulsel juga dipicu
oleh masalah kemiskinan. Dengan berlindung di balik alasan
perempuan membebani keluarga, pernikahan dini juga
karena pihak keluarga tidak mampu lagi membiayainya.
Nah, dengan memindahkan beban pada suaminya, maka
beban keluarga menjadi berkurang.
Faktor lainnya karena pendidikan yang rendah. Ironisnya,
terkadang tokoh yang seharusnya jadi anutan justru
member contoh kurang baik. “Contohnya, tokoh agama
yang mestinya jadi teladan, justru terlibat pernikahan dini.
Pastilah umat akan ikut-ikutan,” keluh Sahabi.
Kanwil Agama Sulsel, kata dia, bukannya tidak
melakukan upaya pencegahan. Masalahnya, beragam
program sosialisasi dan promotif preventif terpaksa layu
sebelum berkembang karena terkendala biaya.
“Terakhir kami lakukan kursus pranikah pada 2013 di
empat kabupaten. Sekarang, hal itu tidak lagi jalan karena
tidak ada anggaran,” sebutnya.
Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan juga mengakui
faktor kemiskinan dan minimnya pendidikan sebagai biang
10 Liputan Investigasi 67
Abdul Rahman, Kuliah di Fakultas Teknik Unhas
angkatan 2008, namun setelah lulus ia memilih
menjadi jurnalis. Pernah bekerja di TV lokal
Makassar Ve Channel, lalu pindah ke Harian
Sindo Makassar. Saat ini menjadi reporter di
Harian Bisnis Indonesia.
PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL
(10 Liputan Investigasi) 69
HIV/AIDS
Sesuatu yang Tidak
Membunuhmu, Membuatmu
Lebih Kuat
Abdul Rahman
S
“Hari itu seperti kiamat bagi saya”
EUMUR hidup, Mentari (bukan nama sebenarnya)
takkan pernah melupakan kejadian di malam itu.
Sebuah malam di bulan Maret 2011 yang mengubah
hidupnya untuk selamanya. Kelana (bukan nama
sebenarnya), suami Mentari harus dibawa ke rumah sakit
malam itu juga lantaran tak kuasa lagi menahan sakit yang
mendera tubuhnya.
Ia sudah tak sanggup lagi berjalan. Badannya yang
dahulu tinggi besar kini terkulai lemas di atas pembaringan.
Kulitnya menggelambir karena lapisan lemak dan jaringan
otot yang dulu membentuk badannya sudah tiada lagi.
Wahidin Sudirohusodo menjadi rumah sakit yang dipilih
sebab dianggap punya fasilitas paling memadai. Ditemani
mertua dan ketiga anaknya, ia berangkat dari rumahnya di
kawasan Maccini menuju Tamalanrea.
Malam sudah sangat larut saat Mentari sampai di
rumahsakit. Perasaannya sudah tak keruan malam itu. Ia
tak tahu persis penyakit apa yang tengah menggerogoti
suaminya. Yang ia tahu, suaminya memang punya penyakit
diabetes mellitus. Tapi itu pun diturunkan secara genetik
dari orang tuanya. Selain itu seingatnya tak ada penyakit
lain. Namun meski telah berobat kesana kemari, mulai dari
medis hingga alternatif, tak jua membuahkan hasil. Justru
kondisinya semakin hari semakin memburuk.
Malam itu juga, suaminya langsung ditangani oleh
dokter. Tapi ia heran, sewaktu mendorong suaminya
yang terbaring diatas brancard sepanjang lorong rumah
sakit, hampir semua petugas yang kebetulan berpapasan
menatap suaminya dengan tatapan aneh. Seolah ada yang
janggal. Di dalam ruang perawatan Mentari lebih heran
lagi. Bahkan emosinya hampir meledak saat mendengar
pertanyaan perawat.
“Apa pekerjaan suaminya Bu?” Tanya perawat tersebut.
Batin Mentari serasa teriris. Mengapa justru pekerjaannya
yang ditanyakan? Mengapa bukan penyakit atau yang
berhubungan dengan itu? Pun ketika dokter datang
dan tuntas melakukan pemeriksaan awal, tak satu pun
penjelasan mengenai penyakit suaminya yang ia terima.
Justru suaminya langsung dipindahkan ke gedung lain
di bagian belakang rumah sakit yang belakangan ia tahu
bernama Infection Center. Dokter lalu mengambil sampel
darah Kelana untuk diuji di laboratorium. Kata dokter,
hasilnya baru bisa diketahui esok hari.
Keesokan harinya, dokter memanggil Mentari. Diiringi
permohonan maaf, dokter mengatakan bahwa hasil
tes menunjukkan Kelana positif terinfeksi HIV (Human
Immunodeficiency Virus) dan sudah dalam kondisi AIDS
(Acquired Immune Deficiency Syndrome). Sistem imun
tubuhnya sudah amat lemah. CD4 atau sel darah putih
penanda sistem imun sudah pada level 7 dimana pada
kondisi normal diatas 1000.
10 Liputan Investigasi 71
menghitam. Begitu pula dengan bagian bawah matanya.
Bintik-bintik berair mulai menjalar disekujur tubuhnya.
Berat badannya melorot drastis hingga 49 kilogram dari
sebelumnya 60 kilogram.
Bulan Mei 2012 kondisinya sudah amat memprihatinkan.
Ia sudah tak sanggup lagi hadir di pertemuan komunitas.
Hingga saat memeriksakan diri, CD4-nya sudah di angka
80. Mentari pun dianjurkan menjalani terapi ARV (Anti
Retroviral). Terapi ARV merupakan sistem yang dapat
menghambat perkembangan virus HIV. Selama menjalani
terapi ini, ODHA akan merasakan efek samping seperti
muntah darah dan radang lambung.
Dua bulan usai terapi, CD4 Mentari melonjak di atas
500. Ia pun mulai menjalani pola hidup sehat seperti makan
teratur, mengonsumsi protein dan banyak minum air putih.
Berkat semangatnya yang besar, kini CD4 Mentari sudah
diatas 700. Angka yang cukup baik untuk seorang ODHA.
Sewaktu bertutur, wanita berdarah Bone ini tak bisa
menutupi rasa bahagianya saat mengenang masa-masa
indah bersama suaminya dulu. Sebagai seorang musisi,
Kelana cukup dikenal di eranya. Bahkan pada tahun 2001,
Kelana memboyong seluruh keluarganya ke Jakarta karena
karir musiknya di sana cukup cerah.
Kata Mentari, beberapa musisi yang saat ini sukses,
sewaktu meniti karir dulu sering berlatih musik dan
mengutak-atik lagu di rumahnya di kawasan Bintaro.
Bahkan, beberapa lagu Kelana dibeli oleh label ternama dan
hingga sekarang masih sering diputar.
Namun, saat karir sebagai musisi itu pula lah Kelana
terjerumus pada pergaulan menyimpang. Kelana mulai
mengenal narkoba jenis putaw yang sedang tren kala
itu. Cara penggunaan putaw yang menggunakan jarum
suntik secara bergantian merupakan salah satu penyebab
penularan virus HIV yang paling sering terjadi.
10 Liputan Investigasi 73
“Semakin ditolak oleh lingkungan, kondisi mereka akan
semakin parah,” kata Titin.
Oleh karena itu, mereka membutuhkan dukungan dari
orang terdekat dan lingkungan yang bisa menerima mereka.
Kardna jumlah ODHA semakin hari semakin meningkat,
maka pemerintah punya tanggung jawab untuk membantu
mereka.
Berdasarkan data yang dirilis Komisi Penanggulangan
AIDS (KPA) Sulawesi Selatan, hingga bulan Mei lalu, jumlah
ODHA di Sulsel mencapai angka 9.030 orang. Sebagian
besar berada di Makassar dengan jumlah 7.800 orang.
Angka ini selalu meningkat setiap tahunnya.
Pemerintah provinsi Sulsel sudah melakukan berbagai
upaya untuk menekan penyebaran virus HIV dengan cara
melakukan sosialisasi dan koordinasi dengan pihak-pihak
terkait. Selain itu, berusaha merangkul para ODHA. Salah
satunya dengan membentuk komunitas Ballata. Komunitas
ini merupakan inisiasi dari Biro Napza HIV/AIDS pemprov
Sulsel.
Kabiro Napza HIV/AIDS Sri Endang Sukarsih mengatakan
pihaknya terus berupaya agar para ODHA dapat meningkat
kualitas hidupnya. “Kami berusaha sebisa mungkin
menjawab kebutuhan mereka,” ujar Sri.
Di Komunitas Ballata, para ODHA diajak untuk
lebih berdaya. Mereka dibekali dengan keterampilan-
keterampilan teknis yang dapat mereka manfaatkan untuk
berwirausaha. Selain itu, mereka juga dibekali pengetahuan
tentang advokasi sehingga dapat memperjuangkan nasib
diri mereka dan teman sebayanya.
Budi (bukan nama sebenarnya), ketua Ballata
mengatakan bahwa selama ini mereka terus berusaha
memberikan pemahaman, baik kepada sesama ODHA
maupun masyarakat umum tentang HIV/AIDS.
“Pada praktiknya susah-susah gampang. Masih banyak
ODHA yang menutup diri,” kata ODHA yang juga berprofesi
10 Liputan Investigasi 75
Banyak hal yang bisa dipelajari dari mereka. Tentang
perjuangan, ketabahan, dan keberanian menghadapi hidup.
Seperti kata Friedrich Nietzsche, filsuf ternama asal Jerman,
“Sesuatu yang tidak membunuhmu, membuatmu lebih
kuat.”
10 Liputan Investigasi 81
Namun, mobil tetap melaju.
Sejumlah perempuan maupun laki-laki lalu-lalang di
lorong tersebut. Lalu, kami mencari parkir yang aman.
Selanjutnya, dua orang rekan yang membantu penulis
malam itu turun lalu menyisir ke dalam lorong-lorong
dengan berjalan kaki, termasuk ke tempat khusus mereka
menerima “tamu”. Namun, hasilnya nihil. Lalu, kami mutar
lagi ke sekitar Jl Nusantara hingga pukul 01.30 wita dini hari,
orang yang dicari pun tidak di tempat malam itu. Ya, lagi-
lagi nihil.
Keeseokan harinya, dari teman berbeda, sejumlah
nomor telepon alumni panti sosial disodorkan. Untungnya,
ada seorang di antaranya yang bersedia. Sebut saja DE. Sore
itu, pada minggu yang sama, penulis bergegas mencari
alamat yang diberikan DE.
DE tinggal tak jauh dari Jl G Latimojong, di sebuah
rumah agak mewah namun dikontrakkan sebagai kos-kosan
eksekutif. Sekitar pukul 17.00 Wita, penulis tiba di sebuah
rumah minimalis. Pagarnya tergembok. Tiba-tiba tampak
seorang perempuan agak tambun dari dalam, dengan
ramah dan bersahabat ia membuka pintu dan menyilakan
duduk di sebuah sofa di ruang tamu tersebut.
Dialah DE. Usianya sudah 38 tahun. Ia sudah tahu maksud
kedatangan penulis. Tanpa sungkan langsung mengawali
pembicaraan. Ia kena razia di kos-kosannya seorang diri
waktu April tahun 2014 lalu. Perempuan agak tambun ini
bercerita waktu dirinya direhab di panti sosial selama enam
bulan. Selama di sana, Ia dan rekan senasibnya dibekali
keterampilan. Ada tiga pilihan keterampilan; tata boga,
kecantikan, dan menjahit. Saat itu, DE memilih tata boga.
“Pagi harus maki bangun. Kalau waktunya masuk kelas,
kita masuk kelas. Kalau kerja bakti, ya kita kerja bakti. Selain
itu, yang tidak tahu mengaji diajar, yang buta huruf juga
diajar,” ujarnya santai.
Dalam satu wisma di dalam panti sosial, biasanya dihuni
10 Liputan Investigasi 83
“Orang tua saya butuh makan, apalagi mereka sudah
tua. Sekarang bapakku sudah sakit, dia butuh obat. Kalau
saya tidak kerja, mereka mau makan apa,” ujarnya pelan.
DE banyak curhat tentang kondisi kehidupannya. Ia
adalah sulung dalam keluarga, dilahirkan dalam kondisi
yang jauh dari cukup. Memiliki tiga orang adik. Sebagai
anak tertua dalam keluarga, ia merasa bertanggung jawab
untuk membantu ekonomi keluarga. Perempuan berkulit
cokelat ini merupakan tulang punggung dalam keluarga.
Kerasnya kehidupan membuat DE harus menjerumuskan
diri ke lembah hitam. Hanya saja, ia enggan membeberkan
kapan ia mulai profesi sebagai pemuas nafsu. Saat ini,
adiknya yang bungsu masih duduk di bangku SMP, adik yang
ke-dua di SMA. Semua biaya ia yang tanggung. Sedangkan,
adik yang pertama sudah jadi guru honorer.
Ia mengaku adiknya yang pertama pernah menikah
dan cerai, dan memiliki dua orang anak. Saat ini anak yang
ditinggalkan suami adiknya, pun jadi bebannya. Sementara,
DE sendiri pernah menikah, lalu cerai dan tidak punya anak.
Namun, pada saat awal-awal menjadi PSK, ia jarang
pulang ke kampung halamannya. Hanya orangtua yang
selalu datang menjenguk, sekaligus memberi orang tuanya
uang untuk biaya hidup. Apalagi, sekarang ayahnya sudah
tiga tahun tidak berdaya.
“Saya sempat ditentang oleh adik waktu ditahu saya
bekerja begini. Lama-lama setelah saya kasih paham,
mereka akhirnya mengerti juga. Karena saya bekerja begini
juga karena mereka. Kalau orang tua sudah tahu, tapi mau
mi diapa,” curhatnya.
DE pun punya harapan dan cita-cita besar untuk hidup
yang lebih baik, berkeluarga dan bersosialisasi dengan
masyarakat luas sama seperti perempuan kebanyakan. Ia
bahkan berencana membuka usaha di kampungnya, jika
modalnya sudah terkumpul. Hanya saja, ia belum punya
modal yang cukup untuk itu hingga sekarang.
10 Liputan Investigasi 85
di salah satu tempat ngopi di pinggir jalan di Jl Riburane.
Di tempat tersebut, penulis mendapat sejumlah referensi
tentang PSK yang sudah berhenti. Namun, rata-rata usianya
sudah di atas 60 tahun. Sebut saja HS, ia membuka warung
kopi tak jauh dari di Riburane. Berbeda dengan MR, ia justru
menarik becak di siang hari, sekali-kali jadi pengemis.
Jam menunjukkan pukul 00.15 Wita, rekan yang ditunggu
sudah datang. Setelah menyeruput segelas sarabba sekitar
30 menit, kami langsung bergegas berkeliling kota daeng
lalu bermuara di Jalan Nusantara. Mobil yang kami tumpangi
bertiga berhenti di sebuah warung kecil yang menyediakan
rokok, termasuk kopi. Jam sudah menunjukkan pukul 01.10
Wita.
Warung tersebut tampak sedikit kumuh, jualannya
pun bisa dihitung jari. Juga hanya ada beberapa kursi
lusuh. Lalu, terlihat seorang bocah perempuan terbaring
di samping televisi kecil. Tidur nyenyak. Tak jauh dari situ,
tampak seorang perempuan tua duduk termangu seorang
diri dengan tatapan kosong.
Badannya gemuk, mengenakan singlet warna hitam yang
dipadukan dengan legging. Di lengannya, ada bekas tattoo
yang sudah pudar. Perempuan ini, sebut saja BS, umurnya
sekitar 60 tahun. Saat masih aktif jadi PSK, ia berteman
dengan HS dan MR. Mereka dulunya berpindah-pindah
tempat mangkal, termasuk pernah mangkal di Jambatan
Bassi (Jambas). Jambas tidak jauh dari Jl Nusantara, juga
merupakan salah satu lokalisasi prostitusi dulu di Makassar.
Sebelum berhenti jadi PSK, BS ini sudah lima kali keluar
masuk Mattiro Deceng. Setelah diyakinkan oleh rekan yang
mengantar kami, BS akhirnya mulai mengobrol dengan
penulis. Hanya saja, ketika ditanya mengenai angka, ia tidak
mengingat lagi. Yang diingatnya hanya nama orang yang
ada pada masa itu.
BS mengaku jika ia berasal dari Bima, meskipun fasih
berbahasa Makassar. Alasannya, sudah lama menetap di
Makassar. Tetapi, keluarganya juga banyak yang tinggal
10 Liputan Investigasi 87
umur juga yang tidak muda lagi. Sebab, ia menjual di salah
satu toko yang tidak jauh dari tempat nongkrong teman-
temannya. Ia mengikuti ke mana saja teman-teman yang
ada di komunitasnya (PSK) berkumpul. Lalu, nyambi jualan
kopi.
Selain uang yang tersisa, modal untuk jualan kopi itu
diambilnya dari rentenir, mereka yang saat itu adalah aparat.
Jika ia meminjam Rp500 ribu, maka BS harus kembalikan
Rp1 juta. Begitu seterusnya. BS banyak bergantung pada
rentenir untuk bertahan hidup. Bahkan, BS juga sempat
membuka usaha jahit di Antang menggunakan mesin jahit
miliknya, meskipun tidak berlangsung lama.
Setelah lama-lama berpindah-pindah, BS akhirnya
membuka warung-warung kecil dan menetap di sana. Ia
sudah tiga tahun membuka usaha kecil tersebut. Selama
bekerja, ia sudah membeli sebidang tanah di kampungnya,
lalu ditanami padi.
“Waktu keluar yang terakhir, dalam hatiku tidak mauma
masuk keenam kalinya sampaiku meninggal,” ujarnya.
10 Liputan Investigasi 89
usaha cicilan. Usaha itu dilakoni hanya dua tahun saja.
Hubungan rumah tangganya dengan sang suami berakhir
selama sekitar 18 tahun. Ia tidak mempunyai keturunan.
Saat ini, NH membuka warung-warung kecil di pojok
jalan. Ia menjual kopi, rokok, roti hingga aneka kue lainnya.
Warung milik NH sedikit lebih ramai dengan BS. Pun tidak
sepi dari pembeli. Perbincangan kami kerap berhenti ketika
ada pembeli. Namun, selama interaksi penulis dengan NH,
ia lebih banyak diam. Menjawabnya pun seadanya, penulis
merasa terbantu dengan rekan yang sudah lama kenal baik
dengan NH.
10 Liputan Investigasi 91
Kondisi itu juga sebagai salah satu faktor mereka sulit
kembali ke masyarakat. Sebab, penerimaan masyarakat
yang tidak responsive. Sehingga, mereka kembali bergaul
dan hidup di komunitasnya. Terlebih, mereka yang tidak
siap dengan cibiran dan stigma masyarakat.
Lelaki yang akrab disapa “Tetta” ini mengatakan banyak
orang yang hanya bisa menilai mereka dari luar, tetapi tidak
banyak yang tahu kenapa mereka seperti itu. Banyak orang
yang tidak tahu pada saat mereka susah, pada saat mereka
mau makan, orang hanya menilai mereka ini adalah pekerja
seks.
Pernah suatu ketika, lanjutnya, ada dua orang PSK yang
berebutan pelanggan, lalu germo mereka berteriak ke salah
satunya, “Kasihmi temanmu. Laparki itu, dari tadi dia belum
makan.” Akhirnya mengalahlah salah satunya. Setelah
melayani tamu, si PSK ini langsung keluar makan bakso.
“Jadi mereka bukan lagi cari makan untuk besok tetapi
untuk sekarang, dan orang tidak tahu itu,” ujar Zoel dengan
ekspresi penuh keprihatinan.
Begitupun juga ketika mereka membuka usaha kue,
orang yang mengetahui masa lalunya pasti tidak akan
belanja di tempatnya. “Jadi, juga tidak disiapkan tempat
yang nyaman setelah direhab. Mereka terancam terus
usahanya, ada hambatan-hambatan yang dialami terutama
dalam lingkungan sosialnya,” jelasnya.
Karena tidak disiapkannya tempat yang nyaman
bagi mereka, makanya mereka selalu mau kembali ke
komunitasnya. Bahkan, ketika mereka yang sudah berumur
dan membuka usaha kecil-kecilan tempatnya tidak jauh dari
komunitasnya. Kenapa? karena mereka hanya diterima di
komunitasnya. Mereka tidak dihargai di masyarakat umum.
“Banyak sekali cerita yang menguras air mata karena
saya lihat langsung kehidupan sehari-harinya. Saya hanya
bisa mengajak mereka menjaga kesehatan, memfasilitasi
kondom. Pesanku sama mereka, jaga kesehatanmu, kalau
kalian sudah kena HIV maka sudah tidak ada lagi harapan
10 Liputan Investigasi 93
dikontrol oleh pendampingnya setelah keluar.
“Karena kita tidak ada hak untuk melarang-larang
mereka setelah keluar dari sini. Ada yang sudah keluar baru
masuk lagi, karena kita juga tidak bisa pantau terus menerus
mereka setelah keluar,” tambahnya.
Terkait upaya pemberian modal, perempuan asal Bone
ini mengaku masih sulit dilakukan. Alasannya sama, tidak
ada anggaran.
Kepala Dinsos Sulsel, Ilham Andi Gazaling menambahkan,
anggaran untuk pembinaan di Mattiro Deceng tidak banyak.
Hanya untuk makan dan minum warga binaan dan pegawai
di sana selama setahun.
Terkait banyaknya yang kembali ke profesi lama, Ilham
mengaku pihaknya sudah berupaya melakukan pembinaan
dari berbagai bentuk. Termasuk melakukan perubahan
mental. Setelah dibina, lalu mereka dikembalikan ke orang
tua atau keluarga masing-masing.
“Kalau modal usaha memang tidak disiapkan, tetapi kita
bisa memfasilitasi kalau ada yang mau bantu,” jelasnya.
Ikut Tren
WAHYUDI, desainer SBR stiker dan digital printing di Jalan
Tinumbu Makassar, misalnya. Dia mengatakan, pihaknya
memproduksi stiker secara masif. Baik diorder langsung dan
untuk keperluan pajangan.
Dari mana idenya, dia dengan gamblangnya menyebut,
“Mengikuti tren istilah di masyarakat.”
Adapun kata-kata yang diproduksi, salah satunya “Tetek
Bobok” yang menampilkan ilustrasi perempuan telanjang.
Bagi dia, tidak ada urusan dengan dampak dari gambar yang
produksinya. “Bagi saya, yang penting omzet,” ucapnya.
Saat ditanya kenapa tidak memproduksi kata-kata atau
istilah yang lebih sopan. Misalnya, “dilarang membuang
sampah sembarangan” atau lainnya, dia mengaku boleh-
boleh saja.
“Kalau ada pesanan, pasti saya buat. Tapi kalau berdasar
tren di pasaran, yang begitu kurang peminatnya. Saya bisa
rugi,” katanya.
Andi Loko, penjual stiker eceran di Jalan Abd Dg Sirua,
Kecamatan Panakukkang (depan SMA Wahyu Makassar)
juga mengungkapkan demikian. Disamping sebagai penjual
stiker, pria tersebut juga terkadang membuat desain stiker
bergambar dan bertulis seperti contoh “Lihat Jalan, Jangan
Lihat Celana Dalam”.
10 Liputan Investigasi 99
Jika hal itu terus dibiarkan, katanya, pemerintah sama
saja melanggengkan bentuk ketidakadilan gender. Dan
pada akhirnya akan berdampak pada norma yang dianggap
sangat berbahaya. Di mana secara perlahan memupuk cara
berpikir anak. “Ujungnya berdampak buruk pada perilaku
moral anak,” ujarnya.
Dia lantas menyarankan pemerintah untuk membuka
ruang khusus bagi mereka yang hobi grafiti. Sehingga,
kreativitas warga tetap tersalur. “Sebaiknya ada regulasi yang
melarang gambar-gambar vulgar dipasang di kendaraan.
Untuk menyalurkannya, bisa disiapkan ruang atau media
khusus,” sarannya.
Dikonfirmasi terpisah, Psikolog Tristiana Amelia
mengatakan, gambar dan tulisan vulgar di truk dan
kendaraan lainnya menjadi simbol merendahkan
perempuan. Truk-truk juga diidentikkan dengan simbol
laki-laki yang tampil maco, hebat, jalannya kencang dan
sebagainya.
Menurut Tria, demikian psikolog Unhas itu akrab disapa,
tampilan vulgar bernuansa pornografi akan mempengaruhi
perkembangan anak usia dini. “Setelah melihat tayangan
pornografi, biasanya yang bersangkutan mencari cara
melampiaskan dorongan seksnya,” katanya.
Nah, anak usia dini adalah individu yang sangat
rentan terhadap pelecehan seksual. Apalagi di Indonesia
pendidikan seks untuk anak masih dianggap tabu.
“Akibatnya, anak sering menjadi korban pelampiasan
seks oleh orang di sekitarnya. Selain karena mudah
dimanfaatkan, anak juga tidak tahu bahwa organ vital
seharusnya tidak boleh ditunjukkan pada orang lain,”
jelasnya.
Lebih berbahaya lagi kalau sudah tertanam dalam otak
maka untuk menghapusnya akan sangat sulit. “Kenapa?
Karena seks merupakan kebutuhan dasar manusia. Anak
yang sudah menemukan kenikmatan seks sebelum
Tabel 1
Gambaran Pemberitaan Isu Perempuan Juli 2015
Harian Fajar
Tabel 2
Potret Isu Perempuan di Harian Fajar
Tabel 3
Potret Isu Perempuan di Tribun Timur
Tabel 4
Potret Isu Perempuan di Berita Kota Makassar
Tabel 5
Potret Isu Perempuan di Rakyat Sulsel
Tabel 6
Potret Isu Perempuan di Ujungpandang Ekspres
Tabel 7
Gambaran Pemberitaan Isu Perempuan Agustus 2015
Tabel 8
Potret Isu Perempuan di Harian Fajar
Tabel 9
Potret Isu Perempuan di Tribun Timur
Tabel 10
Potret Isu Perempuan di Berita Kota Makassar
Tabel 11
Potret Isu Perempuan di Rakyat Sulsel
Tabel 12
Potret Isu Perempuan di Ujungpandang Ekspres