Anda di halaman 1dari 126

Problematika Perempuan Sulsel

(10 Tulisan Investigasi)

AJI Makassar
Development and Peace
Problematika Perempuan Sulsel
(10 Tulisan investigasi)

Abdul Rahman, Anies Sjahrir, Dian Muhtadiah Hamna, Hasanuddin,


Iswandhy Badillah, Marwah Ismail, Muhammad Almaliki, Muzakkir Akib,
Nurul Ulfah Syarifuddin Djalawali, Nurlina Arsyad.

Editor: Gunawan Mashar


Mentor: Uslimin, Reny Sri Ayu

Sampul dan Tata letak: Sapriady Putra

Cetakan pertama
Hakcipta @AJI Makassar
Problematika Perempuan: AJI Makassar 2016

Diterbitkan oleh
Aji Makassar
Kompleks Maizonet, Jl Melati No. 3, Makassar
Email: aji.makasar@yahoo.co.id
Website: www.ajimakassar.org

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Hak


Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2
1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang Hak Cipta
untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya yang timbul secara
otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72
1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp 1.000.000 (satu juta rupiah), atau pidan penjara paling
lama 7 (tujuh)btahun dan /atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah)
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memerkan, mengedarkan, atau
menjual kepad umumm suatu ciptaan ataau barang hasil pelanggaran hak cipta
atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dipidana dengan penjara
paling lama 5 Tahun.
Daftar Isi

Kata Pengantar v
Kesetaraan Gender di Jeneponto
Perempuan Pendombrak Adat dari
Desa Sapanang 1
Kiprah Perempuan di Parlemen
Terinspirasi dan Terilhami
Pengalaman Pribadi 13
Potret Buram Istri Nelayan Sulsel 23

Menggugat Eksistensi Ruang Laktasi ASI 33

Larangan Hijab, Antara Diskrimnasi dan


Sentimen Agama 47
Tatkala Cita-Cita Pupus di Pelaminan 53
Fenomena Pernikahan Dini di Maros Sulsel
Terjebak Tradisi, Terperangkap Kemiskinan 63
HIV/AIDS
Sesuatu yang Tidak Membunuhmu,
Membuatmu Lebih Kuat 69
Pola Pembinaan PPSKW Mattiro Deceng
Menjerakan Tidak, Menyadarkan pun Kurang 79
Eksploitasi Perempuan di Ruang Publik
Dari Gambar Nyeleneh hingga Kalimat Vulgar 97
Potret Pemberitaan Isu Perempuan Di Makassar 105

10 Liputan Investigasi iii


iv PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL
Kata Pengantar

U NTUK kedua kalinya Aliansi Jurnalis Independen


(AJI) Makassar bekerjasama dengan Development
and Peace (DnP) kembali menerbitkan buku yang
berisi hasil liputan dengan mengambil isu perempuan di
Sulawesi Selatan (Sulsel). Buku ini lahir dari beasiswa dan
pelatihan yang digelar, dengan menjaring proposal yang
dikirimkan oleh sejumlah jurnalis di Makassar. Proposal lalu
disaring, dan dipilihlah 10 isu yang dinilai menarik untuk
dituliskan.
Meski punya tema besar yang sama dengan terbitan
sebelumnya, buku ini berisi liputan dengan cakupan isu
perempuan yang lebih luas. Bukan hanya pada geografis
liputan – yang tidak semata berkutat di Makassar. Tapi juga,
isu yang variatif.
Pada tulisan Kesetaraan Gender di Jeneponto:
Perempuan Pendobrak Adat dari Desa Sapanang, juga
ada Kiprah Perempuan di Parlemen: Terinspirasi dan
Terilhami Pengalaman Pribadi lebih banyak mengangkat
sisi perempuan yang punya kiprah setara dengan laki-laki.
Namun pada tulisan-tulisan yang lain juga menampilkan
kendala-kendala yang dirasakan oleh sebagian besar
perempuan di ruang publik. Bagaimana kebijakan dan
fasilitas publik yang ada belum sepenuhnya pro perempuan.

10 Liputan Investigasi v
Tengoklah tulisan Menggugat Eksistensi Ruang
Laksati ASI di Makassar, juga ada Pola Pembinaan PPSKW
Mattiro Deceng: Menjerakan Tidak, Menyadarkan kan
pun Kurang.
Tema selebihnya memang lebih banyak mengangkat
diskriminasi yang dirasakan oleh perempuan. Meski
diskriminasi yang diangkat juga terjadi di Indonesia secara
umum, namun tulisan yang diangkat lebih memotret
bagaimana perempuan di Sulsel menghadapi diskriminasi
itu.
Seperti pada tulisan Larangan Hijab Antara
Diskriminasi dan Sentimen Agama, lalu Fenomena
Pernikahan Dini di Maros: Terjebak Tradisi, Terperangkap
Kemiskinan. Juga ada HIV/AIDS: Sesuatu yang Tidak
Mmebunuhmu, Membuatmu Lebih Kuat yang berisi
reportase tentang ketangguhan ibu-ibu rumah tangga
penderita HIV/AIDS dalam menjalani kesehariannya.
Semoga buku kumpulan reportase ini bisa menjadi
referensi baru, setidaknya sebagai awal untuk menyelami
persoalan-persoalan perempuan di Sulsel.

Tim Penyusun

vi PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


10 Liputan Investigasi vii
Iswandhi Badillah Sejak mahasiswa Iswandhy
sudah aktif di Penerbitan Kampus Identitas
Unhas. Selain menyenangi menulis, pria asal
Kabupaten Jeneponto juga punya hobby desain
grafis. Karena itu, beberapa kali ia freelance
mendesain beberapa sampul tabloid dan buku.
PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL
(10 Liputan Investigasi) 1

Kesetaraan Gender di Jeneponto


Perempuan Pendombrak Adat
dari Desa Sapanang
Iswandhy Badillah

S IANG itu (10/8) Rostina SPd sedang berbincang


bersama kelompok PNPM Mandiri Desa Sapanang.
Mereka berdiskusi tentang pembangunan jamban
untuk masyarakat desa. Perempuan berumur 29 tahun itu
terlihat serius mengutarakan pendapat didepan laki-laki
dan perempuan yang hadir dalam pertemuan tersebut,
Rostina yang akrab dipanggil Dg Sayu ini telah aktif
mendampingi PNPM Mandiri di Desa Sapanang sejak dua
tahun lalu. Keinginan untuk memajukan Desa Sapanang
pula uang menjadi alasannya untuk maju menjadi kepala
desa. Bagi seorang perempuan di Jeneponto, terlebih
di Sapanang, menjadi kepala desa tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Sayu harus bekerja ekstra
untuk mendapatkan suara. Apalagi paradigma di tengah-
tengah masyarakat terhadap perempuan masih di pandang
sebelah mata.
Ia memang bukan perempuan yang lazim. Di
Desa Sapanang, keinginan perempuan terlibat dalam
pengambilan keputusan masih minim. Keterlibatan Sayu
dalam politik memang sebuah hal yang luar biasa, karena
belum ada kejadian perempuan yang terlibat dalam
pemilihan kepala desa.
Cita-cita Dg Sayu sederhana, yakni adanya kesetaraan
gender dalam masyarakat. Begitu kuatnya keinginan itu,
hingga sulit dia kekang. Semangat untuk mensejajarkan
perempuan dengan laki-laki tak ingin dia simpan atau
suarakan sebatas wacana. Dia kemudian mewujudkan
dalam berbagai bentuk kegiatan kemasyarakatan.
“Bagi perempuan di daerah Jeneponto terlibat dalam
politik memang bukan perkara biasa, karena masyarakat
masih menganggap jabatan kepala desa itu hanya untuk
laki-laki. Perempuan masih dinilai tabu ikut dalam politik
praktis,” ujarnya.
Hal ini menjadi bagian tersulit yang dihadapi Dg
Sayu dalam mendobrak nilai-nilai ‘budaya’ yang dalam
pemikirannya adalah keliru. Perempuan memiliki hak yang
sama dalam bidang politik. Apalagi Undang Undang Dasar
1945 menjamin setiap warga negaranya untuk dipilih dan
memilih.
Stigma bahwa perempuan tabu berpolitik atau
berpendapat yang akhirnya mendorong Dg Sayu merancang
ulang langkahnya dalam mengubah paradigma berpikir
sebagian besar masyarakat Jeneponto. Kalau selama ini
ia hanya aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan,
maka selanjutnya ia masuk ke dalam kegiatan-kegiatan
politik prakis dengan memberikan pemahaman kepada
masyarakat, khususnya kaum perempuan bahwa hak
perempuan dan laki-laki dalam bidang politik adalah sama.
Dg Sayu akhirnya memutuskan maju dalam pemilihan
kepala desa di wilayahnya.
Persiapannya untuk menjadi kepala desa sudah dimulai
tahun 2014 lalu. Dg Sayu kerap datang ke rumah-rumah

2 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


warga untuk mengadakan sosialisasi. Dalam perjalanannya,
Dg Sayu makin miris melihat kenyataan begitu kuatnya
pengaruh adat istiadat dalam masyarakat di desanya,
bahkan secara umum di Jeneponto.
“Masyarakat beranggapan kalau perempuan itu
lemah. Perempuan dianggap tidak mampu, tidak punya
kompetensi, dan itu keliru. Perempuan dan laki-laki sama
posisinya,” ujarnya.
Keprihatinan Sayu melihat kesetaraan gender di Desa
Sapanang makin dalam. Dia merasa miris melihat kenyataan
bahwa perempuan di desanya dianggap tidak bisa apa-
apa. Bahkan perempuan seperti ditakdirkan hanya bisa
menerima keputusan laki-laki dalam setiap pengambilan
keputusan. Anggapan ini bahkan membuat perempuan
menjadi apatis dalam bersikap terutama dalam berpolitik.
Hal ini pulalah yang menjadi alasan Sayu untuk terlibat
dalam politik. Dia ingin mengubah paradigma berpikir dan
stigma yang kadung melekat. Bagi Dg Sayu, dengan jumlah
penduduk perempuan yang lebih banyak ketimbang laki-
laki, sudah sepantasnya perempuan ikut terlibat dalam
politik dan pengambilan keputusan.
Data Badan Statistik Kabupaten Jeneponto, dalam kurun
waktu 2012-2013 memang jelas menunjukkan jumlah
penduduk perempuan yang lebih besar daripada laki-
laki. Di Kecamatan Binamu jumlah total penduduk 53.705
jiwa. Dari angka ini, jumlahpenduduk laki-laki 26.066 jiwa
dan perempuan 27.639 jiwa. Dengan demikian rasio jenis
kelamin adalah sekitar 0.94 yang berarti setiap 100 orang
penduduk perempuan terdapat sekitar 94 orang penduduk
laki-laki.
Dari segi pendidikan di Desa Sapanang juga nampak
perbedaan jumlah siswa pemerasan dan laki-laki. Untuk
Taman Kanak-kanak misalnya terdapat satu sekolah dengan
dua kelas. Untuk Sekolah Dasar sekolah terdiri dari tiga
sekolah dengan total 18 kelas dan 507 murid. Dari jumlah
ini 207 laki-laki, 300 perempuan dan 25 guru. Untuk tingkat

10 Liputan Investigasi 3
SMP terdapat satu sekolah, 14 kelas, 290 murid dengan 123
murid laki-laki dan 167 perempuan 38 guru.
“Dalam forum-forum resmi seperti Pertemuan
Musyawarah Desa, perempuan memang diundang dan
ikut dalam pertemuan. Tapi mereka hanya datang sekadar
memenuhi undangan dan tidak merasa perlu untuk
berbicara dan mengemukakan pendapatnya karena mereka
merasa pertemuan itu adalah urusan laki-laki. Apalagi bila
dalam musyawarah itu ada yang ingin diputuskan, mereka
hanya diam seribu bahasa,” tambahnya.

Politik Para Daeng dan Karaeng


ADAT istiadat di Jeneponto masih tertanam begitu kuat
dan menganggap bahwa dunia politik hanya milik para para
karaeng. Dengan kata lain, hanya laki-laki yang berdarah
‘karaenglah’ yang bisa memimpin dan celakanya, sebagian
besar masyarakat lebih mendengar orang yang berdarah
karaeng. Menurut dia, kepemimpinan perempuan dalam
pemerintahan desa masih sangat minim, karena pengaruh
golongan atau strata sosial dan adat di Jeneponto.
Agaknya ini tak lepas dari sejarah, Kabupaten Jeneponto
yang dulu dikenal sebagai Kerajaan Binamu. Dahulu, kata
‘Karaeng’ dikenal sebagai kata ‘kare’. Artinya, kerajaan kecil
dari Kerajaan Binamu. Misalnya, Kare Balang, Kare Manjang
Loe, Kare Layu, Kare Kalimporo, Kare Tinaro, Kare Balang,
Kare Manjangloe, Kare Barangrompo dan Kare Tolo.
Kare pada awalnya diangkat dari keturunan yang
dianggap bisa memimpin dari kerajaan. Menurut “Buku Tiga
Ungkapan Sejarah Jeneponto”, ke-karaeng-an di Jeneponto
diambil dari keturunan dari raja sebelumnya yang dipercaya
masyarakat untuk bisa menjadi memimpin.
Kepercayaan masyarakat ketika itu, susunan strata sosial
adat Turatea adalah hanya keturunan bangsawan Turatea
saja yang bisa dipanggil “Daeng”. Misalnya Mattewakkang
Daeng Jungge. Orang biasa atau orang kebanyakan tidak
boleh dipangggil Daeng, karena bukan keturunan daeng

4 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


atau lahir dari keturunan adat Turatea.
“Saat ini sebagian masyarakat menganggap karaeng
sangat berpengaruh dalam memimpin, karena masyarakat
masih memegang pandangan nenek moyangnya bahwa
jika karaeng yang memimpin, maka angnganre ngasengko
(masyarakat sejahtera, red),” jelasnya.
Berbekal pengalaman dalam Sekolah Demokrasi
Jeneponto yang belajar tentang kepemimpinan, Dg Sayu
yang juga mantan Dosen Filsafat UVRI ini, menjadikan
pengalamannya sebagai bekal untuk menjadi pemimpin di
desanya.
Dia tak sekadar ingin maju, tapi dia juga punya beragam
program untuk memajukan desanya. Dia misalnya, ingin
menjadikan Desa Sapanang menjadi ‘desa wisata’ yang
mandiri. Cita-cita mulia ini sangat beralasan lantaran Desa
Sapanang dialiri sungai yang tidak pernah kering.
“Saya ingin aset ini dapat dimanfaatkan semaksimal
mungkin untuk kesejahteraan masyarakat. Tentu dengan
melakukan penataan-penataan sarana dan infrastruktur
sebagai penunjang sehingga aset tersebut punya nilai
ekonomi,” tambah perempuan alumni SMA 2 Binamu yang
kini baru berusia 29 tahun.
Dia juga bermimpi perempuan di desanya bisa melihat
dunia luar dan bersekolah tinggi. Salah satu program
saya juga adalah memberikan pemahaman kepada kaum
perempuan tentang politik dengan mengajak mereka studi
banding untuk melihat ‘dunia luar’ yang sudah mampu
beraktualisasi secara bebas dalam berpolitik. Malah
saya bercita-cita ingin menyekolahkan perempuan yang
berprestasi untuk melanjutkan sekolahnya ke perguruan
tinggi dan lanjut sampai S2 dengan menggunakan dana
desa,” urainya.
Tak hanya Dg Sayu yang miris melihat ketimpangan
pran antara laki-laki dan perempuan di desanya. Ada juga
Rosdianah, seorang guru SD. Kerap keinginan Rosdiana

10 Liputan Investigasi 5
terlibat lebih dalam pengambilan keputusan di desanya,
begitu besar. Namun ia merasa ruang yang diberikan
kepadanya sangat kurang.
“Kalau ada musyawarah desa, kadang saya tidak
dipanggil. Perempuan pun tidak mempercayai dirinya dalam
setiap forum di desa. Penyebabnya, banyak perempuan
yang tidak tahu masalah yang dibahas. Akhirnya, kaum
perempuan kebanyakan diam,” katanya.
Perempuan berdarah ‘Daeng’ yang juga alumni S-1
Universitas Negeri Makassar ini, sangat menyayangkan
minimnya peran perempuan di Desa Sapanang. Padahal
dari segi pendidikan semua sudah mengecap bangku
SMA dan jumlah perempuan lebih banyak ketimbang laki-
laki. Kentalnya pengurus adat dan budaya pada akhirnya
membatasi peran perempuan dalam banyak sektor.
Perempuan lebih banyak hanya bisa menerima keputusan.

Pemberdayaan Perempuan Mandek


PEMAHAMAN tentang kesetaraan gender yang minim
bagi perempuan di Jeneponto berpengaruh dalam
pembangunan. Peran pemberdayaan perempuan misalnya
dilakukan oleh PKK di setiap desa di Jeneponto. Namun di
Desa Sapanang pemberdayaan perempuan nyaris mandek.
Yang ada justru kelompok perempuan tani yang lebih aktif.
Itu pun karna tidak ada kepala desa, dan selama empat
tahun setiap kebijakan desa diambil oleh sekretaris desa.
Perwujudan kesetaraan gender sebenarnya telah
dilakukan oleh BKKBN Jeneponto. Hanya saja kegiatan
yang dilakukan masih sangat terbatas, karena anggaran
yang tersedia juga sangat minim. Meski begitu, pihak
BKKBN terus melakukan upaya-upaya yang mengarah pada
kesetaraan gender.
“Dalam setahun SKPD melakukan kegiatan sosialisasi
dan seminar tentang pemberdayaan perempuan. Kami
telah melakukan seminar tentang peran perempuan dan
gender, sekaligus pengenalan karena tidak ada perempuan

6 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


yang mengetahui peran dan adatnya,” ujar Ir. Rahmi Tompo,
Kapala UPTD Pemberdayaan Perempuan Dinas BKKBN Kab.
Jeneponto.
Program yang diadakan Badan Keluarga Berencana dan
Pemberdayaan Perempuan selama setahun ini diantaranya
program penguatan kelembagaan Pengarusutamaan
gender dan anak. Selain itu Program keserasian kebijakan
peningkatan kualitas anak dan perempuan.
Budayawan Alwi Rahman mengakui fenomena yang
terjadi di Jeneponto dipengaruhi adat istiadat yang begitu
kuat. Menurut dia, perempuan yang berada dalam pengaruh
adat istiadat yang kuat, cenderung terkurung dalam kondisi
sosial. Mereka tidak melihat kebudayan diluar yang sudah
berubah dan peradaban baru sudah muncul.
“Perempuan di desa tidak mengadopsi peradabaan
perempuan di kota-kota besar yang sudah berpikir tentang
banyak hal dalam kehiduapnnya. Termasuk karir seorang
perempuan. Kebudayaan yang ada di desa justru tidak
memberdayakan perempuan,” kata Alwi.
Pemerintah, kata dia, semestinya memikirkan
dan mendorong pemberdayaan perempuan dengan
melaksanakan berbagai program yang menyentuh
kesetaraan gender, termasuk dari segi pendidikan.
“Mestinya ada kurikulum yang memuat kearifan lokal
yang menjelaskan hak dan kewajiban perempuan. Kalau
ini tidak dilakukan, maka akan berpengaruh pada siklus
dari dalam diri, sebab peradaban yang ada sekarang tidak
membuat perempuan berani untuk berbicara. Akibatnya,
mobilitas sosial macet, hidup miskin, memproduksi
kemiskinan yang sama, kebudayaan tidak berkembang
sehingga tak lagi melihat isu-isu sosial. Akhirnya masyarakat
masih mempercayai kepemimpinan itu diserahkan saja
kepada lakil-laki dari kaum bangsawan,” urai Alwi.
Dia menyebutkan, kasus gender kadang dbungkus
dengan pemahaman dan prinsip-prisip feminism. Tapi

10 Liputan Investigasi 7
di Negara Iran mengajarkan perempuan dengan doktrin
Fatimah. Bahkan dibuatkan dalam undang-undang yang
mengharuskan setiap pasangan yang ingin menikah untuk
mengikuti kuliah selama 20 jam untuk mengetahui apa
haknya laki-laki dan perempuan. Urusan hijab itu bukan
hanya urusan perempuan melainkan urusan laki-laki.
Lantaran itulah diperlukan studi banding bagi
perempuan untuk membuka wawasan, khusunya untuk
kaum perempuan yang bermukimdi desa.
“Petarungan soal menang dan kalah itu risiko
sebuah demokrasi, yang penting kita memperjuangkan
kepentingan publik. Budaya memang kadang mematikan
kesempatan dan peluang, makanya kita terjebak ke itu-
itu juga. Sumber daya sosial yang diabaikan merupakan
kerugian besar. Dari segi kecerdasan perempuan sangat
hebat. Hanya dari segisosial dan budaya yang menyulitkan
dia berkembang,” tandas Alwi.

Rancangan Perda dan Alokasi Anggaran yang Minim


LALU bagaimana di pemerintahan? Rupanya pembentukan
Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) untuk alokasi
dana untuk perbedayaan perempuan sudah direncanakan
dua tahun lalu. Perda terakhir yang direalisasikan adalah
Perda Pemberdayaan dan Kesejahteraan Perempuan yang
direalisasikan pada tahun 2008. Saat ini pihak pemberdayaan
perempuan pada SKPD BKKN telah mengusung Perda
“Program Pemberdayaan Perempuan dan Sosialisasi
Perlidungan Anak”.
“Dengan adanya Perda, program pemberdayaan
perempuan lebih maksimal. Kami telah mengadakan rapat
dengan Komisi IV DPRD Jeneponto untuk mendiskusikan
Perda tersebut. Mudah-mudahan bisa sidang bulan Oktober
nanti,” ujar Ir Rahmi Tompo, Kepala BKKN Jeneponto.
Realisasi Perda sangat dibutuhkan oleh SKPD, karena
alokasi anggaran untuk pemberdayaan perempuan masih
minim. Pada tahun lalu program pemberdayaan perempuan

8 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


dalam setahun hanya dianggarkan sekitar Rp100 juta.
“Alokasi anggaran memang minim untuk pemberdayaan
perempuan. Jadi, kami hanya memperkuat untuk melakukan
pelatihan pada perempuan, sosialisasi dan memberikan
pemahaman pada masyarakat tentang apa itu gender,”
tambah Rahmi.
Disebutkan, program pemberdayaan perempuan
pada bulan April dilakukan dengan mengadakan program
penguatan kelembagaan Pengarusutamaan gender
dan anak. Ini dilakukan dengan pelatihan peningkatan
kelembagaan pengarusutamaan gender dengan alokasi
anggaran sebesar Rp 26 juta.
Pada bulan Mei, pemberdayaan perempuan juga
dilakukan dengan kegiatan sosialisasi undang-undang
perlindungan anak yang tujuannya adalah memahami
undang-undang perlindungan anak dengan alokasi
anggaran sebesar Rp15 juta.
Selain itu, kegiatan perumusan kebijakan peningkatan
peran dan posisi perempuan di bidang politik dan jabatan
publik dengan sasaran terciptanya peran perempuan yang
semakin baik dalam bidang politik. Alokasi anggarannya
sebesar Rp 20 juta.
Selanjutnya pada Juli, Program BKKBN dalam
pemberdayaan perempuan mengadakan kegiatan sosialisasi
pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan
anak (P2TP2A) dengan sasaranmeningkatnya pemahaman
bagi perempuan tentang P2TP2A, dengan alokasi anggaran
sebesar Rp16 juta.
Pada Agustus, program pemberdayaan perempuan
mengadakan kegiatan sosialisasi dan penguatan gugus
tugas pencegahan penanganan tindak pidana perdagangan
orang (PPTPPO) dengan tujuan pencegahan terhadap
perdagangan orang. Dana alokasi anggaran sebesar Rp 20
juta.

10 Liputan Investigasi 9
Menurut Asprianto, anggota Komisi IV DPRD Kabupaten
Jeneponto yang membidangi pemberdayaan perempuan,
komisi IV telah mengadakan beberapa kali rapat untuk
alokasi anggaran tentang pemberdayaan perempuan di
Jeneponto.
Menurutnya anggaran yang disediakan untuk
pemberdayaan perempuan sama dengan tahun lalu. “Kami
memberikan dana kepada pihak pemberdayaan perempuan
di BKKBN agar setiap program pemberdayaan perempuan
terealisasi,” ujarnya.
Untuk mengevaluasi program pemerintah, pihak
BKKBN telah mengadakan survey di setiap SKPD, dengan
memberikan kuisioner yang diisi oleh kepala SKPD. Survei
ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana program
pemerintah Jeneponto untuk SKPD. Memang nyatanya
masih banyak SKPD yang belum merealisikannya dan
pengisian kuisioner belum maksimal.
Terlepas dari semua itu, seberapa kuat pengaruh adat
dan budaya, seberapa apatis masyarakat khususnya kaum
perempuan, atau seberapa minim anggaran, masyarakat
secara keseluruhan harus tetap didorong secara massif
untuk melakukan gerakan kesetaraan gender.
Semua harus berperan agar hak-hak kaum perempuan
dapat tersalurkan di semua sektor. Toh, sebagian besar
perempuan juga yakin bahwa ketika kesetaraan gender
sudah berjalan sebagaimana mestinya, mereka tidak akan
melupakan fitrahnya sebagai seorang perempuan, istri,
atau ibu yang melahirkan dan menyusui anak-anaknya.

10 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


10 Liputan Investigasi 11
Marwah Ismail, Ia sampai saat ini masih duduk
di bangku kuliah Universitas Fajar (Unifa)
Makassar. Saat ini bekerja di media online lokal
kabarmakassar.com
PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL
(10 Liputan Investigasi) 13

Kiprah Perempuan di Parlemen


Terinspirasi dan Terilhami
Pengalaman Pribadi
Marwah Ismail

S IANG itu, sinar matahari menerangi Parepare.


Dengan bermodal semangat, penulis menemui
anggota legislatif perempuan DPRD Parepare.
Andi Nurhanjayani namanya. Perempuan paruh baya
berpenampilan sederhana di balik jilbab ungu, menyambut
ramah di rumah panggung miliknya. Warga Kampung
Baru Bacukiki Barat itu amat sangat terkenal sehingga
memudahkan penulis menemuinya.
Sosoknya sederhana. Namun, kerja perempuan yang
November ini berusia 59 tahun, sangat luar biasa. Paling
tidak, bagi konstituennya. Makanya, dia sukses kembali
menjadi anggota DPRD untuk kali kedua.
Andi Anja, sapaannnya, merupakan satu dari sedikit
aktivis perempuan di Parepare. Dia termasuk pejuang hak-
hak perempuan. Hingga akhirnya maju sebagai anggota
parlemen untuk membuktikan kalau perempuan pun bisa.
Alasan ia terjun ke dunia politik amat sederhana. Dia
ingin perempuan di kotanya mandiri dan berdaya. Dia ingin
kaumnya bebas dari penindasan kaum laki-laki.
Trauma masa lalu yang dialaminya sebagai ibu sekaligus
ayah untuk menghidupi dan membesarkan empat anaknya,
membuat ia begitu kuat. Ia ingin membuktikan bahwa
tanpa suami yang meninggalkannya demi perempuan lain,
bukan masalah bagi kehidupan anak-anaknya.
Dari alasan itu pula, Andi Anja kemudian melebarkan
sayapo. Dia ingin berbagi dengan sesama perempuan
yang teraniaya lelaki. Untuk itu, dia membentuk organisasi
Lembaga Pengembangan Potensi Perempuan dan Anak
(LP3AI) di Parepare. Selanjutnya, dia bergabung di YLP2EM
sebagai petugas lapangan pada program HIV/AIDS.
Kerjanya mendampingi dan membina perempuan berisiko
tinggi terkena penyakit berbahaya ini.
Setelah lama bergelut di komunitas penderita HIV/AIDS,
Andi Anja tertarik bergabung di Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Parepare pada 2004. Ia sukses menunaikan amanah
sebagai komisioner KPU tanpa meninggalkan cacat cela.
Sukses itu rupanya menjadi pendorong bagi ibundanya
agar Andi Anja naik kelas menjadi anggota dewan. Tapi,
saran itu ditepisnya. Alasannya, anggota legislative kerap
menghalalkan segala cara.
Akhirnya, saat ibunya meninggal, Andi Anja memutuskan
berhenti dari KPU. Dia lantas mencalonkan diri sebagai
wakil rakyat di Bacukiki dan Bacukiki Barat melalui Partai
Demokrat. Dan, dia terpilih menjadi anggota DPRD Parepare
periode 2009-2014.
Selama periode keanggotaannya itu, Andi Anja banyak
menggagas program kecil namun besar manfaatnya bagi
masyarakat Bacukiki dan sekitarnya. Misalnya, mengusulkan
untuk membuatkan “jamban keluarga” atau kakus sehat,
mendampingi kaum perempuan apabila ada masalah. Dia
juga aktif membina dan memberi pelatihan peningkatan

14 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


taraf hidup kelompok marjinal perempuan, sekaligus
memfasilitasi sesuai kebutuhan seperti mesin jahit, kompor.
Bahkan, memfasilitasi kebutuhan para nelayan, tukang
batu, dan petani kecil.
Bukan hanya pada masyarakat saja, Andi Anja bahkan
menerapkan pengetahuan dan pemahaman politik yang
dipelajari dari pengalamannya di KPU pada anggota dewan
lain. Tujuannya satu, tidak seenaknya membeli hak suara
masyarakat tanpa memahami tugas anggota dewan.
“Mudah-mudahan mereka menyadari apa yang saya
lakukan dan melihat kalau anggota DPRD itu punya
tugas yang seperti ini. Jangan hanya berjanji terus pada
masyarakat tidak diingat lagi kalau sudah terpilih. Lebih
baik tidak usah jadi anggota DPRD kalau tidak bisa amanah,”
kata Andi Anja sembari menyeruput teh di cangkirnya.

Sederhana Bermanfaat
MESKI sudah menjadi anggota dewan, Andi Anja tetap
suka melakukan hal sederhana yang orang lain tidak
pernah perhatikan. Contohnya, bagaimana mengisi waktu
luang di bulan Ramadan. “Biasanya kalau Ramadan, ibu-
ibu lebih banyak tidak tau mau lakukan apa. Nah, kepada
mereka saya ajak untuk membuat makanan berbuka puasa
lalu menjajakannya di pinggir jalan depan rumah mereka,”
ungkapnya.
Walhasil, kata dia, banyak keuntungan yang didapatkan
dari hasil berjualan memanfaatkan waktu di bulan Ramadan.
“Sejak saat itu, mereka akhirnya bisa menghasilkan uang
sendiri dengan menjual kue buatan sendiri,” ungkapnya.
Andi Anja terus melakukan hal sederhana seperti itu
hingga periode pertamanya berakhir. Pada pendaftaran
anggota legislatif, Andi Anja mencoba ikut lagi untuk periode
kedua. Tanpa disangka, masyarakat memberi kepercayaan
padanya kembali. Dia pun sukses mengalahkan sembilan
calon lainnya di partainya.

10 Liputan Investigasi 15
Di periodenya yang kedua, Andi Anja mengusulkan
untuk membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang
Perlindungan Perempuan dan Anak. Perda ini merupakan
impian Andi Anja sejak lama. Bahkan sebelum dia duduk di
dewan.
Berkat kerja sama dengan program MAMPU dari yayasan
BaKTI, Parepare dan kelompok perempuan memberi saran
dan masukan berdasarkan pengalaman hidup dan fakta
yang terjadi. sebagai ketua Panitia Penyusun Rancangan
Peraturan Daerah, Andi Anja akhirnya bisa membuktikan
kalau perempuan layak dilindungi dan diberdayakan.

Aktif ke Desa
LAIN halnya dengan pengalaman Haeriah Rahman, anggota
Fraksi PAN DPRD Maros yang baru menjadi anggota DPRD
karena mengikuti panggilan jiwa untuk berorganisasi dan
senang bersosialisasi sejak di bangku sekolah dasar. Wakil
Ketua Majelis Taqlim Aisyiyah ini, sangat menjunjung tinggi
pendidikan.
Haeriah menganggap, pendidikan sangat penting untuk
semua orang. Khususnya pada perempuan. Karena baginya,
perempuan memiliki peran yang sangat berarti di dalam
keluarga, lingkungan maupun masyarakat.
“Perempuan merupakan pendidik dan pembina pertama
di dalam rumah tangga. Juga akan melahirkan generasi-
generasi berprestasi,” terang Haeriah.
Kepeduliannya pada pendidikan, memang dapat dia
buktikan pada dukungannya menjadi anggota panitia
penyusun (Pansus) Perda Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Meski, perda itu bukan usulannya. Namun keterlibatannya
menjadi pansus itu menunjukkan dia peduli betapa
pentingnya menyekolahkan anak pada usia dini.
Tidak hanya itu, pernah suatu waktu saat turun
berkampanye di kecamatan Tompobulu, Haeriah berbagi
pengalamannya, mendapati satu dusun terpencil, Barah
Desa Bonto Somba, berjarak sangat jauh dari keramaian.

16 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


Di sana, belum ada anak yang bersekolah karena harus
menempuh jarak hingga puluhan kilometer untuk sampai
di sekolah.
Keprihatinan inilah kemudian Haeriah menyarankan
pada petugas kehutanan setempat untuk datang
membantu anak-anak desa Barah belajar dan mengaji di
malam hari. Dan berkat hal sederhana itu, pemerintah
akhirnya membuatkan satu sekolah di desa Bonto Somba.
Selain pendidikan, perempuan ramah senyum ini
sering mengikuti kegiatan yang dilakukan masyarakat
konstituennya menyempatkan hadir walau pun harus ke
pegunungan di desa Bonto Bunga Kecamatan Moncong
Loe Kabupaten Maros.
Haeriah bercerita, ketika melakukan reses, selang
beberapa waktu setelah menjabat sebagai anggota Dewan.
Haeriah mengatakan di desa Moncong Loe pernah kesulitan
mendapat akses air untuk para petani.
“Ternyata kendala di lapangan, air terhambat karena
penjaga pintu air tidak mendistribusikan air dengan
baik. Kemudian kami panggil mereka dan minta mereka
menjelaskan kenapa tidak ada jadwal pembagian air,
sehingga petani tidak mendapatkan pemerataan air. Jadi
begitu ada aspirasi, mereka turun,” katanya.
Tidak hanya itu. Haeriah juga mendapat laporan dari
masyarakatnya. Bahwa ada anak yang berhenti sekolah
karena mendapat kekerasan di dalam sekolahnya. Haeriah
kemudian turun lagi untuk berdiskusi dengan pihak
sekolah. Yang ternyata anak tersebut hanya salah mengerti
dengan gurunya. Kemudian anak tersebut dibujuk kembali
bersekolah dan akhirnya dia kembali bersekolah.
Haeriah memang masih baru menjabat sebagai anggota
DPRD. Berbeda dengan Andi Anja yang sudah dua periode
mengabdi sebagai wakil rakyat.

10 Liputan Investigasi 17
Butuh Kerja Keras
NAMUN, kedua perempuan ini merupakan bukti
keterlibatan perempuan di parlemen bukan sebagai
pemenuh kuota 30 persen yang diatur dalam UU nomor
7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (Convention the Elimination of All Forms of
Discrimination Againts Woman), di dalamnya menegaskan
bahwa Pemerintah bertanggung jawab menghapus segala
bentuk diskriminasi dan mendorong kesetaraan gender,
termasuk bidang politik.
Program Maju Perempuan Indonesia untuk
Penanggulangan kemiskinan (MAMPU) Yayasan BaKTI
melakukan baseline survey kapasitas anggota parlemen
perempuan (APP) di kawasan Indonesia Timur.
Manajer program MAMPU, yayasan BaKTI Lusia
Palulungan mengatakan, kapasitas Keterwakilan APP
masih sangat rendah pada semua DPRD di lokasi survei.
Hal itu dapat berdampak pada rendahnya kemampuan
APP memperjuangkan kepentingan perempuan dalam
implementasi pembangunan daerah bersangkutan.
“Keterwakilan APP pada alat kelengkapan dewan dan
komisi, bukan hanya belum merata tetapi juga masih
nampak sejumlah alat kelengkapan dewan dan komisi yang
tidak diwakili oleh APP pada daerah tertentu. Sehingga
pada urusan-urusan tertentu yang diperankan oleh alat
kelengkapan dewan dan komisi harus ada upaya penguatan
peran APP, bukan hanya oleh APP tetapi juga oleh APL,”
Lusia menerangkan.
Terbukti, saat ini kualitas APP menurun dibanding
pada masa orde baru di mana APP-nya memang jauh lebih
terlatih dan berkualitas. Namun, aspirasi yang diusulkan
belum bisa mempengaruhi kebijakan karena jumlah
keterwakilan perempuan masih sangat sedikit. Selain itu,
keterlibatan perempuan di parlemen dianggap berasal dari
keluarga pejabat atau memiliki pengaruh besar pada partai.

18 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


Karena saat itu masih menggunakan sistem nomor urut
yang ditentukan langsung.
Berbeda dengan keterwakilan perempuan di era
reformasi saat ini, UU Partai Politik dan Pemilihan Umum
beberapa kali diubah dan salah satu dorongan aktivis
perempuan adalah keterwakilan perempuan 30 persen yang
bukan hanya pada aspek pencalegan, tetapi diharapkan
bisa menjadi legislator. Termasuk pada perannya di
kepengurusan partai politik. Keterwakilan perempuan di
era ini sebenarnya sudah mampu pengaruhi kebijakan.
Masalah lainnya juga terdapat pada partai politik yang
belum siap menerima kebijakan KPU, Partai terpaksa
mengambil perempuan yang tidak dilatih menjadi kader
politik. Bukan hanya tidak siap, melainkan di program kerja
partai itu sendiri tidak ada proses pengkaderan yang jelas
terhadap kader-kadernya. Selain perempuan, anggota
parlemen laki-laki (APL) pun sama.
Pakar komunikasi politik, Aswar Hasan mengatakan, yang
memiliki sistem pengkaderan jelas hanya partai politik yang
sudah lama. Sehingga punya kader berkualitas. Bandingkan
saja dengan partai yang baru dibentuk satu tahun sebelum
pemilihan legislatif (pileg). Sudah pasti partai hanya akan
mengambil calonnya dari mana saja, termasuk perempuan.
Sehingga tidak ada proses pendewasaan pada kader politik
perempuan yang baru. Dan ketika duduk di DPRD pada
akhirnya, mereka tidak bisa dianggap mewakili aspirasi
perempuan.
“Di era orde baru itu tokoh parlemen semuanya berusia
matang. Sudah di atas 50 tahun. Seperti di DPR-RI Aisyah
Aminy, Maria Ulfah, Astrid. Mereka itu memang sudah
terlatih. Kalau sekarang, itu rata-rata usianya masih muda-
muda,” terang Aswar.
Aswar menambahkan, kuota 30 persen keterlibatan
perempuan sebenarnya belum semuanya terpenuhi karena
beberapa faktor. Pertama, persepsi masyarakat belum
memahami ideologi gender dan afirmasi UU tidak sejalan

10 Liputan Investigasi 19
dengan afirmasi masyarakat. Kedua, gender politik masih
bias gender pada praktik politiknya. Seperti saat rapat
partai, proses rekomendasi kader pada umumnya masih
bias gender. Meski pun UU sudah ada yang mengatur.
“Kemudian, soliditas belum terjalin di kalangan
aktivis perempuan saat beramai-ramai masuk dalam
parlemen. Yang ada justru kompetisi antar sesama calon
perempuan. Padahal, semestinya yang bekompetisi itu
antara perempuan dengan laki-laki. Mereka sudah sedikit
jumlahnya, sesamanya lagi yang saling berkompetisi.
Sehingga ketika masuk di parlemen pun masih terjadi
persaingan yang akhirnya tidak terbentuk soliditas dan
tidak memiliki kesatuan misi. Padahal misi mereka adalah
memperjuangkan hak-hak perempuan,” kata Aswar.
Gerakan parlemen perempuan baru akan sadar
untuk berpihak pada kepentingan gender (perempuan)
setelah mendapat pelatihan dari non Government (NGO)
masyarakat atau dari program pelatihan luar setelah
mengetahui isu atau kasus yang sudah ada. Padahal, kalau
dari segi pendidikan, perempuan jauh lebih cerdas, hanya
saja atmosfir dari kebijakan yang dibuat tidak maksimal.

Pengakuan Publik
NAMUN, tidak semua anggota parlemen sama. Andi Anja
dan Haeriah Rahman mampu berkiprah di dunia politik.
Penulis telah mendapat pengakuan rekan kerja maupun
konstituen yang merupakan bukti tentang kiprah kedua
anggota parlemen perempuan ini.
Ketua DPRD Parepare, Jhon Pananangan misalnya,
telah mengakui perjuangan Andi Anja betul-betul nyata
untuk masyarakat. Khususnya untuk keluarga miskin dan
perempuan.
“Bayangkan saja, bukan hanya untuk perempuan, tapi
juga untuk rumah tangga. Kalau bicara soal perempuan
di dalam rumah tangga, 60 persen sudah menyangkut
perempuan. Bahkan sampai 70 persen. Sampai dalam hal

20 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


jamban saja beliau sangat perhatikan,” jelasnya.
Lain lagi dari pengakuan masyarakat pada Haeriah.
Ada masyarakat mengaku mengenal anggota parlemen
perempuan karena merasa tidak ada anggota parlemen
perempuan yang menyempatkan hadir di desa Moncongloe
Lappara. Misalnya Kepala Desa Moncongloe Lappara,
Mansyur. Dia menyatakan tidak pernah ada anggota DPRD
perempuan berkunjung ke desanya.
“Tidak pernah datang anggota dewan perempuan di
sini, kalau laki-laki pernah. Itu pun warga di sini juga,” kata
Mansyur.
Namun, tidak semua anggapan benar. Warga desa Bonto
Bunga, pemilik warung campuran, Amir (37) mengaku kenal
dengan adik Hatta Rahman itu. Yang bersangkutan, katanya,
sering hadir di desanya. Bahkan sebelum Haeriah terdaftar
sebagai calon DPRD, Haeriah menyempatkan datang untuk
bersilaturahmi.
“Beda dengan pejabat lain, ketika mau namanya naik
saja baru mereka cari muka dengan kami,” ucap Amir.
Lain dengan ibu rumah tangga Hadija (30), mengatakan
tidak mengenal anggota DPRD manapun. Meskipun dia
tidak memilih calon legislasi perempuan, tetapi ketika
mendengar nama Haeriah Rahman, baginya tidak asing lagi
di desanya.
Meski demikian, Andi Nurhanjayani dan Haeriah Rahman
merupakan dua dari 140 anggota DPRD perempuan di
Sulawesi Selatan berkiprah di parlemen dan masih ada
banyak parlemen perempuan yang pastinya perjuangkan
kepentingan dan kebijakan untuk perempuan maupun
masyarakat.

10 Liputan Investigasi 21
Aniswati Syahrier, Lulusan Sastra Inggris
Unioversitas Hasanuddin. Saat ini aktif di LSM
lingkungan dan Jurnal Celebes. Perempuan
kelahiran Bulukumba 20 Juni 1988 ini juga
pernah bekerja di Koran Tempo Makassar.
PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL
(10 Liputan Investigasi) 23

Potret Buram Istri


Nelayan Sulsel
Aniswati Syahrier

M ATAHARI baru sepenggalah tingginya hari


itu, Sabtu (19/07). Di sebuah dermaga kecil
di Kelurahan Barukang Utara, Kecamatan
Ujung Tanah Makassar, tampak beberapa nelayan dengan
berbagai aktivitas. Ada yang duduk menganyam jaring, ada
yang sekadar menyeruput kopi sambil mengisap rokok.
Di tepi dermaga, perahu-perahu kecil tertambat, berderet
rapi. Sudah beberapa hari ini mereka tidak melaut. Cuaca
sedang tidak bersahabat untuk para nelayan. Angin terlalu
kencang dan ombak terlampau tinggi.
Di beranda-beranda rumah, para perempuan duduk
berbincang. Rumah-rumah mereka sangat sederhana
cenderung rapuh. Terbuat dari kayu. Rumah-rumah
tersebut menghadap laut. Mirip rumah terapung. Sebab,
memang dibangun di atas air laut dengan ketinggian kira-
kira 1 meter. Beranda rumah langsung menghubungkan
dermaga. Untuk menuju jalan raya, dari dermaga harus
menyusuri sebuah lorong sempit, di mana rumah-rumah
sederhana lainnya berdiri berdempetan.
Di atas dermaga, Ria (21 tahun) bersama dua orang
anaknya yang masih berumur 4 dan 2 tahun, sedang duduk
memegang seekor ayam. Anak-anak yang tak berbaju
tersebut bermain-main dengan ayam yang dipegang
ibunya. Seperti perempuan-perempuan nelayan lainnya di
Barukang Utara, Ria tak punya aktivitas lain selain mengurus
anak-anaknya dan menunggui suaminya kembali dari
melaut. Tapi sudah beberapa hari ini suaminya tidak melaut.
“Suami saya tidak melaut karena angin kencang,” ujarnya.
Sudah beberapa hari pula, Ria mencukupi kebutuhan
rumah tangganya dengan bahan makanan seadanya, dari
sisa uang hasil penjualan kepiting tangkapan suaminya
beberapa hari sebelumnya. Sebagai istri seorang nelayan,
Ria menjalani hidup sehari-hari dengan serba kekurangan.
Pendapatan suaminya dari melaut sehari-hari hanya cukup
untuk membeli makanan yang langsung habis hari itu juga.
“Setiap suami pulang melaut saya beli beras dua liter.
Juga sayuran dan bumbu dapur. Cuma untuk makan satu
hari,” ungkapnya.
Sebenarnya, Ria menjelaskan, suaminya dan para
nelayan lain tidak melaut bukan karena takut angin. Badai
di laut adalah hal biasa bagi nelayan. Yang menjadi soal
adalah, alih-alih mendapat ikan, nelayan malah akan rugi.
Embusan angin akan membuat perahu tidak bisa bergerak
terlalu jauh. Ombak tinggi akan membuat mereka tidak bisa
memasang jaring, dan hasil tangkapan juga akan menurun
drastis. Jika kondisinya seperti itu, modal yang mereka
keluarkan tidak sebanding hasil tangkapan.
Setiap kali melaut, Ria membantu suaminya menyiapkan
perahu dan alat tangkap. Makanya ia tahu seberapa besar
modal yang dikeluarkan. Setiap hari suaminya memperoleh
hasil penjualan ikan setidaknya Rp500 ribu. Jika dikurangi
biaya solar sebesar Rp200 ribu, maka yang tersisa hanya

24 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


Rp300 ribu. Itu pun masih harus dibagi dengan nelayan lain
yang ikut di perahu.
Jika suaminya terlalu lelah dan tidak bisa menjual sendiri
ikan hasil tangkapan di pelelangan, ia masih harus memberi
persenan kepada orang lain yang membantu menjual.
Maka, setiap habis melaut, suaminya hanya membawa
pulang paling banyak Rp100 ribu. Hasil itulah yang ia
gunakan untuk makan sehari-hari bersama tiga anaknya.
Jika suaminya tidak melaut berhari-hari, terpaksa ia
mencari pinjaman ke kerabat atau tetangga. Belum lagi ia
harus berbagi dengan orang lain di rumahnya. Karena, ia
tinggal menumpang di rumah kerabatnya. Ria belum punya
rumah sendiri.
Meski hidup serba kekurangan, setidaknya Ria sedikit
lebih beruntung daripada Mantasiah (24 tahun), istri
nelayan lainnya. Bagi Mantasiah, yang harus ia pikirkan
bukan sekadar makan, tapi juga biaya sewa rumah setiap
bulan. Ia tinggal di sebuah bangunan reot setinggi kira-kira
satu meter dengan sebuah ruangan berukuran 3x4 meter.
Di ruangan itu ia tidak punya apa-apa selain sebuah kasur
tanpa ranjang. Lainnya, sebuah lemari pakaian, kompor,
dan beberapa perabot dapur. Tempat itulah yang ia sebut
rumah, dan ia sewa Rp350 ribu setiap bulan, tempat ia
tinggal bersama suami dan dua orang anak perempuannya.
Anak pertamanya sudah duduk di kelas 5 SD, dan anak
bungsunya baru berumur tiga bulan.
Jika hanya mengandalkan pendapatan dari suaminya,
Mantasiah tidak bisa bertahan hidup. Sehari-hari suaminya
hanya membawa uang Rp50 ribu pulang ke rumah. “Kadang
sama sekali tidak ada,” katanya.
Suaminya tidak punya perahu sendiri. Ia hanya
membantu nelayan lain. Kadang ia membantu nelayan
menjualkan hasil tangkapan di pelelangan, dengan upah
persenan.

10 Liputan Investigasi 25
Menyadari kesulitan keuangan yang ia alami, Mantasiah
berinisiatif untuk mencari penghasilan sendiri untuk
membantu suaminya. Ia sadar, biaya hidup bukan hanya
tanggung jawab suaminya, tapi menjadi tanggung
jawabnya juga. Mantasiah pernah bekerja di sebuah toko
pakaian di Pasar Sentral Makassar.
“Saya kerja di toko. Saya menjualkan pakaian orang,”
katanya. Dalam sehari, Mantasiah mendapat upah Rp30
ribu. Jika kerja lembur, ia bisa membawa pulang Rp60 ribu
sehari.
Tahun lalu, seorang temannya menawari Mantasiah
bekerja sebagai cleaning service di Trans Studio Mall. Ia
sangat gembira dengan tawaran itu. Setidaknya, ia bisa
memiliki pekerjaan dengan penghasilan tetap. Mantasiah
bekerja sebagai cleaning service mulai pukul 15.00 hingga
pukul 00.30 Wita. Jika di mall sedang ada acara, ia pulang
lebih larut.
“Kadang pulang jam (pukul) 2 malam,” paparnya. Dengan
pekerjaan barunya itu, ia mendapatkan gaji Rp1.250.000
per bulan. Namun pendapatannya tersebut masih harus ia
potong Rp200 ribu, untuk teman kerjanya yang sehari-hari
berangkat bersamanya.
“Teman saya naik motor. Saya numpang, jadi saya bayar
tiap bulan untuk beli bensin.”
Meski pekerjaannya melelahkan, terlebih jam kerja yang
tak bersahabat, Mantasiah mengaku bersyukur karena bisa
memenuhi kebutuhan keluarga.
Mantasiah merasa penghasilannya tersebut sangat
lumayan. Setiap bulan ia bisa menyisihkan untuk tabungan.
Namun sudah beberapa bulan ini Mantasiah tidak bekerja
lagi. Ia baru saja melahirkan anak bungsunya. Usianya
baru tiga bulan. Ia harus menghabiskan waktu di rumah
mengurus anaknya.
“Beruntung anak saya hanya minum ASI, bukan susu
formula, jadi tidak ada pengeluaran tambahan,” katanya

26 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


tertawa. Meski begitu, ia sering gelisah jika memikirkan
kebutuhan hidup yang kian hari kian tinggi, dan
kekhawatiran tidak bisa membayar sewa rumah.
Ketua Kelompok nelayan di Barukang Utara, Daeng
Sampe (47) mengungkapkan, di wilayahnya, memang
belum ada aktivitas ekonomi yang dijalankan perempuan.
“Beberapa perempuan memang bekerja menambah
penghasilan di luar. Tapi lebih banyak yang hanya tinggal di
rumah. Istri saya juga demikian,” jelasnya.
Daeng Sampe yang ketua RT dan memiliki 60 orang
anggota kelompok menjelaskan, para perempuan di
wilayahnya tersebut tidak memiliki pilihan lain karena
mereka tidak punya keahlian.
Hal lain yang menjadi persoalan nelayan menurut
Daeng Sampe adalah pendidikan anak-anak nelayan. Pada
umumnya mereka tidak melanjutkan pendidikan karena
kekurangan biaya.
“Memang ada program pendidikan gratis. Tapi tetap
butuh biaya beli pakaian, beli buku, dan transportasi,”
tuturnya.
Daripada bersekolah, anak-anak pun memilih ikut
orang tua mereka melaut. “Bukan hanya anak laki-laki. Anak
perempuan juga membantu,” katanya.
Daeng Sampe sendiri memiliki tujuh orang anak. Empat
laki-laki dan tiga perempuan yang semuanya putus sekolah.

Kasus Lumrah
PERMASALAHAN kesulitan ekonomi tidak hanya dirasakan
oleh perempuan-perempuan istri nelayan di wilayah pesisir
Makassar. Di daerah lain pun, para istri nelayan sudah
sangat akrab dengan kemiskinan. Seperti yang dialami
para perempuan istri nelayan di wilayah pesisir Desa Bori
Masunggu, Kecamatan Bacukiki, Kabupaten Maros. Para istri
nelayan di desa ini sama sekali tidak punya aktivitas yang
berkaitan peningkatan ekonomi.

10 Liputan Investigasi 27
Salah seorang warga, Rismawati mengungkapkan,
para istri nelayan perlu pelatihan dan bimbingan untuk
meningkatkan taraf ekonomi. “Di pesisir, sangat banyak
potensi yang bisa dikembangkan, tapi kami tidak tahu
caranya,” ungkapnya.
Ia memberi contoh, para istri nelayan bisa
mengembangkan industri rumah tangga berbahan baku
ikan, seperti kerupuk, nugget, dan bakso ikan. Sayangnya,
kata Rismawati, jangankan modal untuk memulai usaha,
untuk makan sehari-hari saja mereka masih kewalahan.
Rismawati sendiri merasa beruntung karena punya keahlian
menjahit. Sehari-hari ia bekerja sebagai penjahit di usaha
rumahan milik salah seorang warga di Desa Bori Masunggu.
Namun pekerjaannya pun tergantung dari pesanan. Jika
pesanan tidak banyak, tenaganya tidak dibutuhkan.
Di Pulau Sabutung, Kabupaten Pangkep, kondisi serupa
juga terjadi. Di pulau ini, bulan April hingga Desember
disebut sebagai masa paceklik karena pada bulan tersebut
angin terlalu kencang sehingga nelayan tidak bisa
menangkap ikan. Untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga, para istri nelayan melakukan pekerjaan sampingan
menganyam jaring, mencari kerang di pantai, atau menjual
kue.
Salah seorang istri nelayan di Pulau Sabutung, Jusmawati
mengatakan, jika musim paceklik, kadang ia sama sekali
tidak memiliki uang untuk membeli kebutuhan rumah
tangga. Jika hal itu terjadi, jalan satu-satunya yang ia tempuh
adalah berutang kepada punggawa.
“Saya pinjam uang untuk belanja. Kalau sudah ada hasil
tangkapan, baru dibayar,” katanya. Sebagai risikonya, hasil
tangkapannya harus dijual murah. “Karena sudah pinjam
uang duluan, harga jualnya lebih murah daripada pedagang
lain,” tambahnya.
Di waktu senggang, Jusmawati menganyam jaring
penangkap kepiting. Jaring tersebut ia buat dari tali yang
ia uraikan serat-seratnya. Setiap 15 ons tali, ia beli dengan

28 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


harga Rp15 ribu, dan bisa menghasilkan tiga buah jaring.
Setiap jaring ia jual seharga Rp15 ribu. Dengan demikian, ia
bisa memperoleh keuntungan Rp30 ribu. Biasanya ia butuh
waktu dua minggu untuk menyelesaikan sebuah jaring.
Staf Advokasi Yayasan Pengkajian dan Pemberdayaan
Masyarakat (YKPM) Sulawesi Selatan, Sudirman
mengungkapkan, perempuan nelayan dan kemiskinan
adalah satu hal yang nyaris tak bisa dipisahkan. Apalagi
dengan kehadiran punggawa yang menadah hasil
tangkapan. Namun bagi Sudirman, yang akrab dengan
kondisi para nelayan di Sulawesi Selatan dan Barat,
nelayan sama sekali tidak merasa dirugikan oleh kehadiran
punggawa.
“Para punggawa yang memenuhi kebutuhan hidup
mereka saat kekurangan,” jelasnya.
Sudirman menjelaskan, punggawa memiliki beberapa
variasi dalam memberi bantuan kepada nelayan. Ada
punggawa yang hanya menyediakan perahu dan alat
tangkap, ada juga yang bahkan menanggung biaya hidup
nelayan secara keseluruhan.
“Mulai dari kebutuhan sehari-hari hingga kebutuhan
sekolah anak-anak nelayan, semua disiapkan punggawa,”
katanya.
Untuk memutuskan hubungan antara nelayan dan
punggawa agar nelayan bisa mandiri, menurut Sudirman,
tidak bisa dilakukan begitu saja. “Perlu sebuah strategi
khusus,” katanya.
Dalam menjalankan kegiatan perekonomian, kata
Sudirman, istri nelayan memiliki peran yang sangat
penting. Bahkan bisa dibilang, perempuan memiliki tugas
lebih banyak dalam perekonomian. Mereka misalnya,
ikut membantu suami menyediakan peralatan tangkap,
membeli solar untuk bahan bakar, dan menjual hasil
tangkapan ke punggawa. Bahkan jika butuh pinjaman
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, hal itu menjadi

10 Liputan Investigasi 29
tugas perempuan. Di sisi lain, perempuan juga memiliki
peran ganda karena juga harus bertanggungjawab penuh
mengurus rumah tangga dan anak-anak mereka.
YKPM sendiri, merupakan sebuah lembaga yang
fokus pada program pemberdayaan masyarakat pesisir
dan perkotaan. YKPM juga menjalankan sebuah program
pemberdayaan perempuan nelayan, dalam bidang sekolah
politik perempuan dan pemberdayaan ekonomi. Tahun
ini, YKPM menjadi salah satu sub mitra program MAMPU,
sebuah program bantuan dari AusAid yang bertujuan
meningkatkan akses perempuan miskin terhadap layanan
publik dan lapangan kerja.
Di Sulawesi Selatan, salah satu wilayah yang didampingi
oleh YKPM adalah Kabupaten Pangkep. YKPM melakukan
pemberdayaan perempuan di tiga desa yang tersebar di 10
pulau, termasuk Pulau Sabutung. Para perempuan di daerah
tersebut diberi pelatihan tentang industri rumah tangga.
Para perempuan itu juga mengikuti sekolah perempuan,
yang mengajarkan mereka tentang gender, seks, jaminan
sosial, serta pemahaman tentang hak-hak perempuan
dalam rumah tangga. Sekolah tersebut bertujuan
memberikan hak-hak perempuan dalam rumah tangga, dan
memberi pemahaman kepada para suami bahwa kewajiban
mengurus rumah tangga bukan semata-mata tanggung
jawab istri, melainkan harus juga menjadi tanggung jawab
suami.

30 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


10 Liputan Investigasi 31
Dian Muhtadiah Hamna, Saat ini Dian telah
menyandang gelar magister Ilmu Komunikasi
Universitas Hasanuddin. Perempuan kelahiran
29 Juli 1981 ini bekerja di Harian Fajar.
PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL
(10 Liputan Investigasi) 33

Menggugat Eksistensi
Ruang Laktasi ASI
Dian Muhtadiah Hamna

M ALAM baru saja menjemput, Sabtu 29 Agustus


lalu. Mal M’Tos, salah satu pusat perbelanjaan di
Jl Perintis Kemerdekaan mulai riuh. Akhir pekan
seperti ini,, pengunjung mulai menyerbu.
Akhir bulan, sebagian warga yang bekerja telah
memeroleh gaji. Kesempatan menikmati gaji bulanan,
dihabiskan dengan berburu barang diskon.
Sungguh, harga teramat menggiurkan jika tiap item
barang yang ditawarkan dipasang tulisan besar-besar
“Diskon 50 persen+20 persen”.Belum lagi garansi dari sang
pramuniaga yang menyebut, barang dijamin berkualitas.
Baju, celana, sepatu, tas, peralatan rumah tangga, aksesori,
pakaian anak hingga pakaian dalam. Barang berupa-rupa
ini berupaya menyulut perhatian pengunjung.
Mal menjadi primadona kaum Hawa. Tidak datang
seorang diri, kerap para ibu membawa serta buah hatinya.
Generasi penerus bangsa ini, rata-rata berusia satu tahun
ke atas. Lihatlah, sambil ditenteng sang bunda, si bocah
bergerak lincah. Tawa kecil berderai-derai. Ada juga balita
yang hanya memamerkan wajah polos dengan tatapan
menjurus ke lampu-lampu yang benderang. Tubuh
mungilnya, menggelayut dalam cukin (kain gendongan)
bunda.
Penulis mencoba mencari tahu letak ruang laktasi
ASI. Sebab, untuk pusat perbelanjaan seperti ini, ruang
laktasi mutlak dihadirkan. Berdasarkan keterangan dari
pramuniaga, ruang laktasi itu berada di lantai satu. Searah
pintu masuk sebelah kiri dan berdampingan dengan tangga
darurat yang terhubung dengan basement.
Tak jauh dari ruang laktasi itu, ada papan petunjuk
bertuliskan Bilik Ibu Menyusui. Seorang sekuriti, Andi
Parman, menyapa ramah ketika penulis bertanya soal
ruang laktasi. Sesaat pria paruh baya ini mengerucutkan alis
hingga senyumnya mengembang.
“Ruang menyusui? Buat siapa?” tanyanya memburu.
Sebab, kalau ibu yang hendak menyusui akan tergopoh-
gopoh membawa bayinya yang merengek. Tetapi dia tak
disuguhkan pemandangan seperti itu.
“Ada kakak saya di lantai tiga hendak menyusui putrinya.
Bukan saya,” jawab penulis ringkas.
Segera, dia melangkah cepat. Mengajak penulis
mengikutinya. Hampir menemui tangga darurat itu,
langkahnya terhenti. Dia menunjuk ke arah ruangan bercat
putih yang terkunci. Di depan pintu, stok barang berkardus-
kardus bertumpuk. Makin penuh dengan rak barang. Tidak
masuk akal apabila ruang laktasi tersebut masih difungsikan.
Sebab, akses masuk ke pintu saja, sudah terhalang dengan
stok barang.
“Saya kasih keluar ini barang-barang. Cepatji,” tawarnya
menyakinkan.
“Tunggu! Barang ini mau dikasih keluar semua?” sergah

34 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


saya.
“Iya. Memang begitu. Setiap ada ibu yang mau menyusui
anaknya, baru barangnya kita keluarkan. Nanti kita geser
kembali kalau ibunya sudah selesai,” jelas pria berkulit sawo
matang itu.
Andi Parman menjelaskan ruang laktasi itu baru
dibuka ketika ada ibu yang hendak menyusui. Itu lantaran,
jarang ibu-ibu yang membawa bayinya ke mal M’Tos dan
menggunakan tempat tersebut.
“Ruang ini bukan berarti tidak berfungsi. Kalau ada
ibu-ibu yang mau pakai, baru kita bukakan lagi. Karena
pengunjungnya sedikit di depannya ditaruh barang. Tapi
itu ruangan bisa ji dibuka,” jelasnya dengan dialek Makassar.
Kata Parman, dalam ruang bilik ASI itu hanya ada satu
kursi yang digunakan buat ibu ketika menyusui bayinya.
Dia juga mengaku, tidak terlalu tahu berapa luas ruangan
tersebut karena jika akan digunakan, dia langsung ke
bagian pengelola mal meminta kunci.
“Kalau sudah dibukakan pintu, saya keluar dan
menunggu di depan. Harus agak hati-hati, karena pintunya
tidak bisa terkunci dari dalam. Ada ac tapi baru dinyalakan
jika ada yang menggunakan ruangan,” katanya.

TELANTAR. Ruang Bilik Menyusui di lantai satu M’Tos, Jl


Perintis Kemerdekaan yang selalu terkunci. Di hadapannya
ditumpuk pelbagai stok barang, Sabtu malam, 29 Agustus.
Ruang ini baru dibuka ketika ada ibu yang hendak menyu-
sui bayinya.

KONDISI berbeda ditemukan di lantai tiga Mal Ratu Indah.


Di mal yang beralamat Jl Ratulangi ini, ruang laktasi hadir
dengan nuansa ekslusif berarsitektur modern. Dinding
bercat krem dengan paduan kuning terang. Ruang sejuk
ber-AC. Di dalam ruangan yang berukuran sekira 2x4 meter
itu, terdapat dua sofa empuk lengkap dengan dua sofa

10 Liputan Investigasi 35
untuk berselonjor.
Dalam ruangan ini pun, masih dibatasi gorden untuk ibu
yang tengah menyusui.
Fasilitas penunjang lainnya juga tersedia seperti
westafel, cermin besar, dispenser, dan almari. Semuanya
masih serba baru.
Seorang ibu bernama Puspa, 31, menyusui bayinya
yang baru berusia tiga bulan. Perempuan dua buah hati ini
tampak santai, menselonjorkan kakinya. “Enak di sini, tidak
pegal. Saya merasa bebas menyusui anak saya sambil buka-
buka gadget. Hehehe,” ucapnya tertawa kecil.
Diakui Puspa, hadirnya ruang laktasi tersebut
memotivasinya untuk lebih memilih berbelanja di mal
itu ketimbang di tempat lain. Makanya, sudah dua kali
ruang laktasi itu dinikmatinya. “Anak saya dan ayahnya lagi
bermain di tempat bermain anak-anak,” ucap perempuan
yang tiap kali menyusui menghabiskan waktu sekira 30
menit.
Bagi warga Jl Gunung Lompobattang ini, baik di mal,
perkantoran, hotel, hingga toko sebaiknya menyediakan
ruang laktasi. Apalagi seperti dirinya, yang mencoba
bertahan memberi ASI eklusif pada bayinya. Sebab,
diakuinya bahwa ASI-nya tidak lancar keluar.
“Kalau ada ruang laktasi , saya ada upaya untuk memaksa
ASI ini terus berproduksi,” katanya.
Dia pun mengaku miris, jika ketersediaan ruang laktasi
di Kota Makassar masih minim. Perempuan pemilik gerai
di salah satu pusat perbelanjaan di Makassar ini mengaku
kerap menerima ibu-ibu yang meminta izin menyusui
bayinya di gerai tempatnya berjualan. Mereka biasanya
bersembunyi diantara barang jualan.
Selain di Mal Ratu Indah, di Trans Studio Mall juga tersedia
ruang laktasi. Feby Ulvin, Public Relation Trans Studio Mall
mengatakan, kehadiran ruang laktasi merupakan salah

36 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


satu standar fasilitas mal. “Selain itu, mal kami kan selalu
dikunjungi keluarga bersama bayi yang masih menyusui.
Jadi, kami siapkan fasilitas tersebut. Di Ground Floor dan
lantai satu,” beber Feby.

Puspa, usai menyusui bayinya menikmati suasana nyaman


di Mother’s Room Mal Ratu Indah, Minggu malam, 30
Agustus. Karena nyaman, dia mengaku betah berbelanja di
mal ini.
Ruang Laktasi Masih Minim
YA, meski sebagian mal di Kota Daeng ini sudah ada
yang menyediakan ruang laktasi namun hal itu belum
bisa mewakili kebutuhan para ibu yang notabene banyak
bekerja. Pantauan penulis, ruang laktasi baru ditemukan
di mal, gedung balai kota, maupun bandara. Selain belum
ada peraturan daerah yang dikeluarkan pemerintah
Kota Makassar, kesadaran pengelola gedung akan ruang
berspektif gender tersebut juga masih minim.
Padahal, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu
Ekslusif pada pasal 30 hingga 35 terangkum , tempat kerja
(perusahaan, kantor pemerintah, pemerintah daerah, dan
swasta) harus mendukung program ASI eksklusif dengan
memberikan fasilitas ruang laktasi dan memberikan
kesempatan ibu bekerja untuk menyusui atau memerah ASI.
Peraturan perusahaan atau perjanjian kerja harus
memiliki kebijakan tentang dukungan terhadap program
ASI eksklusif . Selain itu memiliki peraturan internal
mengenai dukungan terhadap program ASI eksklusif.
Dalam Pasal 36 disebutkan, jika tempat kerja tidak
menjalani peraturan tersebut, dapat terkena sanksi sesuai
Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 dalam Pasal 200 dan
201, yaitu ancaman pidana kurungan paling berat selama 1
tahun dan denda maksimal Rp 100 juta. Untuk perusahaan,

10 Liputan Investigasi 37
denda menjadi maksimal 3 kali lipat atau Rp 300 juta dan
ancaman pencabutan badan izin usaha.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor
15 tahun 2013 pun telah diatur tata cara penyediaan ruang
ASI. Ruang laktasi bisa disesuaikan dengan jumlah pekerja
hamil atau menyusui di perusahaan tersebut.
Selain peraturan pemerintah di atas, ketersediaan ruang
laktasi pun sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Daerah
Provinsi Sulsel Nomor 6 Tahun 2010 tentang Air Susu Ibu
Ekslusif. Persisnya dalam Pasal 7 mengenai tempat menyusui
ekslusif. Dalam butir pertama pasal ini menyebutkan
“Pemberi kerja, pengelola tempat kerja, Pengelola fasilitas
umum wajib menyediakan fasilitas tempat menyusui (ruang
laktasi). Namun, bagaimana realisasinya?

Ruang Laktasi Pengaruhi Produksi ASI


ADANYA ruang laktasi di tempat kerja dan tempat umum
amat penting bagi ibu menyusui yang bekerja. Di ruang
laktasi, ibu dapat menyusui bayinya maupun memerah
ASI. Lebih dari itu, adanya ruang laktasi ternyata bisa
memengaruhi banyak sedikitnya produksi ASI.
Sekretaris Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI)
Sulsel, Nur Isdah menuturkan ruang laktasi tidak hanya
dihadirkan untuk memberikan kenyamanan pada ibu saat
menyusui buah hatinya. Tetapi, dari sisi kesehatan bahwa
ASI memang merupakan makanan terbaik untuk bayi.
“Makanya, selama usia enam bulan bayi memang harus
diberikan ASI ekslusif kecuali ada yang bermasalah dalam
produksi hormon ASI si ibu,”paparnya.
Dosen Jurusan Hubungan Internasional Unhas ini
mengatakan, batas cuti yang dialami ibu selama tiga bulan
menjadi salah satu alasan mengapa ruang laktasi ini perlu
dihadirkan. Sebab, dalam amatannya tidak sedikit ibu
pekerja yang tampak frustasi harus masuk ke toilet untuk
memerah ASI ketika bayinya dibawakan ke kantor.

38 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


“Kampanye masih perlu lebih digalakkan lagi agar ibu-
ibu mau menyusui bayinya dengan ASI ekslusif. Dukungan
ini harus dimulai dari lingkungan keluarga, lingkungan kerja
serta pemerintah kota agar segera membuat peraturan
daerah tentang kewajiban memberi ASI ekslusif,” paparnya
seraya mengingatkan, hakikatnya ruang laktasi tidak perlu
megah.
Yang penting, ruang tersebut membuat sang ibu
nyaman dan tempatnya tertutup. “Justru jika ruang laktasi itu
dihadirkan di perkantoran, maka akan memberi keuntungan
bagi perusahaan tersebut karena bisa memaksimalkan
potensi karyawannya. Coba kalau tidak ada, sedikit-sedikit
si ibu akan bolak-balik kantor sehingga waktu habis di jalan,”
Nur Isdah mengingatkan.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulsel,
Rachmat Sulsel mengatakan ketersediaan ruang laktasi
ditujukan agar ibu memiliki fleksibilitas dalam menyusui
buah hatinya kapan saja dan dimana saja. Olehnya itu,
regulasi tersebut secara pusat dan tingkat provinsi telah
dikeluarkan, tinggal menunggu regulasi dari pemerintah
kota Makassar.
Kalau untuk perda, kata Rachmat, timnya telah aktif
melakukan sosialisasi baik kepada masyarakat maupun
kepada instansi publik. “Kami juga tidak menganjurkan ibu-
ibu untuk memberi susu formula kepada bayinya sementara
dia mampu memproduksi ASI. Bahkan, produsen susu
formula merugikan kami jika mereka memaksa menawarkan
kepada ibu yang produktif (ASI, red),” tandasnya.
Terkait sanksi yang diberikan kepada instansi publik
yang belum menyiapkan ruang laktasi, dikatakan Rachmat
saat ini yang diberlakukan berupa teguran lisan serta sanksi
administrasi berupa pencabutan izin operasional.

Ukuran Ruang yang Ideal


PEMBERIAN ASI eksklusif juga harus ditunjang dengan
sarana dan prasarana yang memadai. Tentunya selama

10 Liputan Investigasi 39
enam bulan melaksanakan kewajibannya, si ibu tak harus
selalu berada di ruang pribadinya. Menyusui di tempat
umum, adalah hal natural.
Dalam peraturan daerah Provinsi Sulsel Nomor 6 Tahun
2010 tentang Air Susu Ibu Ekslusif pada Pasal 7 butir dua
mengenai fasilitas tempat menyusui harus memenuhi
syarat sebagai berikut: ruang minimal 3 x 4 meter 2, lokasi di
tempat yang aman dan mudah dijangkau, pintu yang dapat
dikunci dari dalam, kedap terhadap suara, sofa panjang
yang empuk serta meja tulis dan kursi. Selain itu wastafel
dan air mengalir; pencahayaan yang cukup, termometer,
kulkas, lemari dan meja alat, tempat sampah basah dan
kering, termos susu, air conditioning (AC) atau kipas angin.
Arsitektur Makassar, M Sudjar Adityadjaja menilai ukuran
ideal ruang laktasi dikalkulasikan berdasarkan kebutuhan
aktivitas, pemanfaatan barang dan meletakkan bayi.
Misalnya satu ruang berisi lima orang total memiliki ukuran
ideal 7,2 meter persegi. Angka ini berasal dari 1,20 cmx1,20
cm=1,44 meter persegi x 5 orang.
“Seorang arsitek mesti memikirkan kelengkapan hingga
detailnya. Bukan mengurangi. Jadi, semuanya terintegrasi
sebelum membangun,” kata Sudjar.

REPRESENTATIF. Tampak depan ruang laktasi Mother’s Room


yang modern di lantai tiga Mal Ratu Indah, Minggu malam,
30 Agustus.
NAH, soal regulasi yang berhubungan bangunan, memang
diperuntukkan untuk siapapun. Baik manula, anak-anak
maupun ibu-ibu menyusui. “Tentunya itu harus didukung
oleh ruang. Termasuk ruang laktasi,” tuturnya.
Tim Regulasi dan Isu-isu Strategis Ikatan Arsitek Indonesia
(IAI) Sulsel ini melanjutkan, memang di perkantoran, pusat
perbelanjaan maupun ruang publik, kehadiran ruang
laktasi amat penting. “Tidak nyaman kan kalau menetekin
sembunyi-sembunyi. Meski itu manusiawi karena banyak

40 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


ibu yang risih melakukannya,” paparnya.
Sayangnya, kata dia, sebagian besar rekan arsitektur
belum paham pentingnya ruang laktasi. Olehnya itu, alumni
Jurusan Arsitektur Unhas ini melakukan upaya sosialisasi
lewat penataran-penataran yang diberikan kepada para
arsitektur.
“Kadang rekan arsitek lupa pentingnya ruang laktasi.
Sementara, koordinasi dengan dinas tata ruang kota juga
belum aktif. Maka kami membentuk Tim Asesor Bangunan
Gedung (TABG) Nah, sejak tahun lalu bersama pak wali
kota dan dinas tata ruang bangunan kita mulai bergerak,”
paparnya.
Kerja tim tersebut akan mengoreksi apabila ada gambar
yang masuk di dinas tata ruang namun tidak tersedia
ruang publik. Jika hal ini ditemukan, maka pihaknya
akan mengingatkan arsitektur yang bersangkutan untuk
mengubahnya.
“TABG akan melakukan sidang untuk mengoreksi.
Setelah itu, gambarnya dikembalikan agar dia meredesain
dengan menambah ruang,” kata Sudjar.

PENUNJANG. Westafel yang bersih dengan air yang


mengalir lancar menjadi salah satu fasilitas di Mother’s
Room Mal Ratu Indah.
Menurutnya, belum maksimalnya penyediaan ruang
laktasi di perkantoran maupun ruang publik terkait dua
faktor. Yakni kurangnya sosialisasi pentingnya ruang laktasi
serta setiap sentimeter bangunan bernilai uang.
“Padahal, ketika pemahaman itu diubah justru itu
akan menjadi titik poin yang bagus buat kredibilitas
perusahaannya. Perkantoran atau perusahaan yang
menyiapkan ruang laktasi ini akan membuat pengunjung
di dalamnya merasa nyaman. Jadi memang kesadaran
ini yang perlu ditumbuhkan. Saya kira, lambat laun akan

10 Liputan Investigasi 41
berjalan juga dengan tingkat pola pikir yang modern,”
katanya.

Perencanaan Berperspektif Gender


MESKI telah ditetapkan, namun regulasi itu tidak serta
merta dipatuhi. Kurangnya sosialisasi perda Provinsi Sulsel
Nomor 6 Tahun 2010 tentang Air Susu Ibu Ekslusif serta tidak
adanya sanksi yang tegas diberikan kepada penyelenggara,
membuat ketersediaan ruang laktasi masih minim.
Kepala Pemberdayaan dan Perlindungan Anak Kota
Makassar, Andi Tenri Palallomengatakan adanya perda
ASI Ekslusif, otomatis seluruh warga kota Makassar
sesungguhnya terikat secara hukum untuk menyiapkan.
Olehnya itu, dia terus mendorong DPRD Kota Makassar agar
segera membahas perda ASI.
“Kita gencar melakukan monitoring perencanaanperda
ini. Sembari kami sosialisasikan mal apa saja yang sudah
menerapkan ruang laktasi danmana mal yang belum,” kata
mantan jurnalis itu.
Kehadiran ruang laktasi diakui Tenri tidak hanya berlaku
untuk ruang publik. Di instansi pemerintahan, perusahaan
swasta, di kampus-kampus atau dimana pusat keramaian,
ruang laktasi perlu dibangun.
“Di balai kota, tiga bulan lalu ruang laktasi sudah kita
buatkan. Ini berguna bagi ibu-ibu pegawai yang akan
menyusui bayinya. Kehadiran ruang laktasi di balai kota
sebagai percontohan bagi instansi lain,” kata ibu tiga putri
itu.
Tenri mengakui, untuk membangun ruang laktasi, ada
hal pokok yang harus dipenuhi. Yakni, perencanaan yang
berperspektif gender. Dia menilai, perencanaan seperti ini
belum menjadi acuan bagi para pengembang/developer,
arsitektur maupun pemilik perusahaan.
“Sebelum membangun, sebaiknya pikirkan dulu
apa manfaat ruang itu bagi kebutuhan perempuan.

42 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


Perencanaan yang berperspektif gender ini yang coba
kami terus sosialisasikan kepada mereka,” kata perempuan
berkacamata itu.
Ketua Komisi D DPRD Makassar, Mudzakkir Ali Djamil
menuturkan perda ASI untuk kota Makassar baru masuk
dalam tahap agenda pembahasan. Menurutnya, sudah
selayaknya kota Makassar memiliki perda ASI dan
mengimplementasikan undang-undang tersebut.
“Makanya tahun ini diusulkan dalam program legislasi
daerah untuk membentuk rangka perda ASI. Tetapi ini
baru dalam tataran rancangan batang tubuh perda sesuai
undang-undang. Jika perda sudah ada, maka akan ada pasal
yang menyebut sanksi bagi pelanggarnya. Saya kira, perda
ASI kota Makassar isinya tidak akan jauh berbeda dengan
perda ASI provinsi maupun pusat yang telah ada,” tuturnya.

Minim Sosialisasi, Minim Implementasi


SEJATINYA, seluruh fasilitas publik, instansi dan perkantoran
yang banyak bersentuhan dengan kaum Hawa memiliki
ruang laktasi. Tetapi implementasinya minim lantaran
sosialisasi pentinya ASI ekslusif serta pentinyan ruang
laktasi, masih minim.
Hal ini diakui Kepala Bidang Tata Bangunan Dinas Tata
Ruang dan Bangunan (TRB) Kota Makassar, Muhammad
Danibal mengakui khusus bangunan perkantoran yang
berbentuk ruko, memang tidak menyiapkan ruang laktasi.
Itu lantaran, ruko berfungsi sebagai rumah sekaligus sebagai
toko. Pun kehadiran ruang laktasi yang sejauh ini masih
minim merambah ke instansi negeri maupun perusahaan,
diakui Danibal sebagai masukan kepada pihaknya.
“Ini peringatan kepada kami agar setiap izin mendirikan
bangunan (IMB) yang masuk, bisa menjadi persyaratan
utama membangun ruang fasilitas publik seperti ruang
laktasi,” akunya.
Selama ini, kata dia, pihaknya hanya mengkaji detail
bangunan jika pihak developer memohon untuk pengkajian

10 Liputan Investigasi 43
fungsional. Setelah dikaji, barulah diberikan saran. “Kami
meminta mereka meredesain agar memasukkan akses
yang menunjang misalnya bagi penyandang disabilitas.
Harapan kami, masukan itu ditindaklanjuti pihak mereka,”
ujar Danibal.
Dia menambahkan pihaknya kini berkoordinasi dengan
Wali Kota Makassar, Danny Pomanto untuk mencanangkan
sertifikasi laik bangunan. Indikator sebuah bangunan layak
memeroleh sertifikat ini antara lain; proteksi terhadap
kebakaran, struktur bangunan, tahan terhadap bencana
alam, memiliki fasilitas publik, dan sebagainya.
“Saya kira dalam pencanangan sertifikasi laik bangunan
itu perlu didukung oleh seluruh SKPD karena ini bersentuhan
juga dengan mereka. Saya banyak menaruh harapan agar
itu diwacanakan. Jika hal ini diabaikan mesti diberi sanksi
yang setimpal bagi pelanggaranya, “ tandasnya.

Organisasi Perempuan Pun Mengawal


DUKUNGAN kehadiran ruang laktasi juga terus berdatangan
dari sejumla organisasi muslimah. Sekretaris Pimpinan Pusat
‘Aisyiah Rohimi Zamzam memaparkan, masalah fasilitas
publik yang berpihak pada perempuan juga menjadi
bagian dari fokus ‘Aisyiah. Baginya, perempuan juga punya
akses sehingga pelayanan publik mesti disetarakan.
“Soal ini, kita kawal dalam lembaga amal usaha
Muhammadiyah. Kita punya pendidikan dan rumah
sakit. Minimal amal usaha kita punya ruang untuk publik
kebutuhan perempuan. Misalnya kita mendorong
bagaimana tempat berwudu yang standar dan representatif
bagi perempuan dan mengakomodasi bagi kita. Itu kita
sosialisasikan kepada pemerintah,” ucapnya saat ditemui
dalam Muktamar Muhammadiyah ke-47 lalu.
Ketua Muslimat NU Sulsel, Dr Nurul Fuadi juga bersepakat
agar ruang laktasi dihadirkan. Bahkan pemberian ASI
ekslusif sudah diatur dalam Islam. “Jangankan enam bulan,
kalau dalam Islam, wajib menyapih anak hingga dua

44 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


tahun sesuai bunyi surah QS Al Baqarah ayat 233. Para ibu
hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan,”
katanya mengingatkan
Indonesia yang memiliki banyak pekerja wanita,
memang harus memiliki fasilitas ruang laktasi tersebut
sebagai hak mereka dan buah hatinya. “Karena mereka
bekerja di luar rumah, maka sudah sewajarnya difasilitasi
ruang laktasi. Upaya pemerintah ini harus didorong terus.
Jangan mundur,” imbaunya.

10 Liputan Investigasi 45
Muhammad Almaliki, Saat ini menjabat
redaktur di media online lokal rakyatku.com.
Sebelumnya juga pernah bekerja di Harian
Radar Makassar. Lelaki yang senang membaca
novel sastra ini adalah Lulusan Universitas Fajar
Jurusan Sastra Inggris angkatan 2009.
PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL
(10 Liputan Investigasi) 47

Larangan Hijab,
Antara Diskrimnasi dan
Sentimen Agama
Muhammad Almaliki

B UNYI tuts papan ketik komputer, langsung


terdengar begitu memasuki lobi Rumah Sakit
Internasional Siloam, pagi itu. Bunyi tuts ini seperti
menyambut siapapun yang masuk. Bunyi yang menjadi
penanda bahwa perawat sedang sibuk mendata pasien.
Sebagian perawat nampak duduk mengutak-Atik telepon
genggam.
Sebagai salah satu rumah sakit terbilang besar di
Makassar, Siloam tentu saja berbeda dengan rumah sakit
lainnya yang bertipe lebih kecil. Masuk melewati pintu
utama, tepat di sebelah kanan, pengunjung akan disambut
gerai roti dan kue yang punya nama besar. Menoleh ke
kiri, nampak apotek modern dengan desain artistik dan
lantai yang bersih. Udara sejuk jelas terasa dari pendingin
ruangan.
Kondisi di halaman pun sama bersihnya. Area parkir
yang luas dipadati kendaraan yang didominasi roda empat.
Kesan mewah tak bisa dipungkiri dari rumah sakit ini.
Pantas saja, Mimi, wanita paruh baya, perantau dari
Jeneponto, sangat mengidamkan bekerja dan bergabung
sebagai perawat di rumah sakit tersebut. Sayang, Mimi
harus mengubur impiannya. Pilihannya berhijab bertolak
belakang dengan pepatah “bak gayung bersambut”.
Manajemen rumah sakit, tak menerima perawat berhijab.
“Kenapa Siloam seperti itu. Saya jadi berpikir jangan
sampai ini karena pengaruh sentimen agama, sampai
perawat berhijab tidak diterima,” katanya.
Mimi mengaku tak sendiri. Beberapa temannya pun
harus menanggung kecewa karena pilihan mereka berhijab,
tak mendapat tempat di rumah sakit ini.
“Banyak teman saya mau masuk kesana, tapi karena
larangan hijab jadi tidak bisa. Lebih baik, saya mencari
rumah sakit lain,” katanya.

Bukan Faktor Agama


SOAL larangan berhijab ini, budayawan Alwi Rahman
mengatakan sebenarnya, jika menoleh pada sejarah para
biarawati kristen sebelum masehi, mereka justru bisa
dikenali dengan model pakaian yang serba tertutup. Mirip
hijab ala Arab.
“Walau menolak perawat hijab, namun tdak serta
merta perlakuan Siloam beserta kebijakan perusahaannya
bisa dinilai mencederai agama-agama tertentu. Kalau
bicara agama, Kristen lebih concern tentang budaya tutup
menutup tubuh. Tidak ada hubungannya Siloam, punya
misi khusus mengkristenkan orang lewat penerimaan
pegawainya,” kata Alwi.
Setidaknya pendapat Alwi Rahman dibenarkan Wayan.
Pegawai kontrak Siloam yang berumur 25 ini membenanrkan
ketentuan, perawat harus melepas hijab. Wayan mengaku,
aturannya datang dari Siloam pusat, Jakarta.
“Setahu saya tidak ada misi pemurtadan di dalamnya,

48 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


seperti penilaian orang banyak. Hal ini semata-mata untuk
kesehatan. Saya muslim, dan saya rasa anggapan orang
tentang Siloam, adalah hal yang keliru,” Wayan membela.
Meski pendapatnya bisa jadi subjektif, Wayan
menuturkan fakta bahwa pemeluk agama islam, masih
mendominasi RS Siloam. Tudingan kristenisasi, ia bantah,
sebab menurutnya adapula dokter yang menggunakan
hijab.
“Di sana dokter spesialis, serta petinggi rumah sakit, ada
yang berhijab. Tetapi dokter umum, sesuai jam kerja harus
membuka hijabnya,” ujarnya.
Pendapat lain, datang dari Fitri, seorang mahasiswa
keperawatan, yang mengemukakan jika hijab bisa
menggangu kinerja perawat, selama hijab yang dipakai
terbilang merumitkan pekerjaan dan pemeriksaan pasien.
“Saya berhijab. Secara pribadi saya merasa agak sulit
jika memakai stetoskop dalam keadaan hijab yang rapat,”
katanya.
Larangan berhijab walau tak terkait agama, ada
yang menuding bahwa RS Siloam terkesan melakukan
pelanggaran. Sesuai dalam kitab perundang-undangan
Nomor 13 Tahun 2003, yang termaktub pada pasal 5 dan
6, yang disimpulkan jika larangan berhijab adalah bentuk
diskriminasi dalam bernegara.
“Tetapi itu tinggal bagaimana sudut pandang orang
menilai. Di Makassar juga ada rumah sakit islam, masih
banyak pilihan untuk bekerja sesuai kemampuan dan
kepercayaan yang kita pegang teguh,” tandas Fitri, yang
berusia 25, di tahun ini.

Tak Mencerminkan Pluralitas


ROSMIATY SAIN, Direktur Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Apik Makassar--yang khusus mendampingi kasus
perempuan dan anak-- menilai, peraturan yang membatasi
akses kerja, sesuai keluhan Mimi, adalah sesuatu yang keliru.

10 Liputan Investigasi 49
Ini jika melihat fakta bahwa Indonesia adalah negara pluralis.
Di samping itu, kinerja seseorang tidak bisa dinilai dari satu
sudut pandang begal mana cara mereka berpakaian.
“Setiap orang punya hak untuk bekerja, baik orang cacat
dan apa saja. Selama mereka berkompeten dalam bekerja,
mengapa tidak haknya di akomodir,” tegas Rosmiaty.
Dari segi pemberlakuan undang-undang tenaga kerja,
lewat badan legislatif negara, Ketua Komisi D, DPRD Kota
Makassar, Mudzakkir Ali Djamil menyesalkan informasi
tersebut.
“Saya kira kita nanti akan minta Siloam untuk mengubah
kebijakan, apapun itu alasannya. Karena secara substansi,
hal ini sudah terkait ke ranah perlindungan tenaga kerja,”
urainya.
Sama halnya dengan Muzakkir, Kepala Dinas Tenaga
Kerja Kota Makassar, Bukti Djufrie, pun mengatakan akan
memberi sanksi penutupan jika informasi yang beredar
tentang Siloam, bisa dipertanggungjawabkan.
“Dalam undang-undang nomor 13 tahun 2003 tidak
ada termaktub hal seperti itu. Sudah jelas hal tersebut
melanggar. Namun, tidak sertamerta kita beri pelanggaran,
kita harus koordinasi dulu dengan Siloam,” bebernya.
Sayang, menanggapi hal ini, Humas RS Siloam, Putri
Amelia mengaku tidak punya otoritas untuk menjawab atau
mengubah kebijakan tersebut. Dia lebih memilih bungkam.
“Maaf, saya tidak bisa memberikan penjelasan apapun
tentang itu. Yang berhak itu, adalah Direktur. Untuk bertemu,
saya harus atur waktu dulu,” beberapa hari dihubungi,
hasilnya tetap nihil. Janji untuk bertemu dengan atasannya,
hanya seperti menjadi pemanis bibir.

50 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


10 Liputan Investigasi 51
Nurul Ulfah Syarifuddin Djalawi, Ichi, begitu
ia disapa, sekarang bekerja di INews TV,
sebagai presenter. Sebelumnya, ia juga pernah
bekerja di Celebes TV.
PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL
(10 Liputan Investigasi) 53

Tatkala Cita-Cita Pupus


di Pelaminan
Nurul Ulfah Syarifuddin Djalawali

P ULAU Kodingareng, tepatnya di kampung Mandar,


sore itu kembali riuh oleh aktivitas, usai ditinggal
warganya beristirahat siang. Satu per satu warga
keluar rumah dan kembali beraktivitas.
Ditengah keriuhan itu, nampak Daeng Naba dengan
tubuh kurusnya mendorong gerobak bakso. Sembari
berkeliling mendorong gerobak, Daeng Naba sesekali
berteriak, “bakso..bakso...mai ngaseng maki ammalliee...niak
ma”.
Serupa dengan Daeng Naba, ada pula Daeng Ros yang
mendorong gerobak berisi buah, sayur mayur yg masih
mentah maupun yang sudah siap saji. Beberapa warga yang
berada di lorong itu mendatangi mereka untuk membeli.
Sebagian sekadar mengobrol tentang keadaan masing-
masing. Tak nampak kesal maupun lelah di wajah daeng
Naba maupun daeng Ros. Apa yang dilakukan keduanya,
adalah pemandangan yang jarang nampak di Kota Makassar.
Tak sempat cukup lama takjub dengan pemandangan
ini, Yanti (15) datang dan mengajak berjalan berkeliling
kampung. “Pasti heranki liat itu ibu jual bakso gerobak toh?
Janda itu kodong. Sejak ditinggalkan suaminya, dia yang
sibuk cari uang untuk keluarganya,” kata Yanti tanpa ditanya.

Menikah di Usia Belasan


SEPANJANG jalan berkeliling pulau, Yanti bercerita banyak
tentang orang-orang sekampungnya . Tentang perempuan
yang kebanyakan menikah di usia muda, yang sebagian
menikah karena sekadar memenuhi keinginan orang tua,
dan sebagian lainnya karena memang menghendaki.
Belakangan perempuan belia ini mengaku jika dia pun
sudah dilamar oleh lelaki pilihan orang tuanya dan akan
menikah dalam waktu dekat.
“Saya menurut saja karena kusayangki mamakku,
meninggalmi bapakku sejak saya SD jadi dia kodong yang
setengah mati cari uang. Itu calonku juga memang na suka
ka sejak na liat ka di ada acara keluarga.” Ujarnya polos.
Yah...sesederhana itu alasan Yanti memutuskan untuk
menikah dan membina rumah tangga yang sejatinya sekali
seumur hidup. Yanti berkata tak ada paksaan dari orang
tuanya soal rencana pernikahannya. Dia memilih menjalani
hidup dengan tidak membebani siapapun, bahkan orang
tuanya sendiri.
Boleh jadi, pilihan Yanti didasari rasa iba pada
perjuangan ibunya saat menjadi janda beberapa tahun lalu.
Ayahnya meninggal saat dia masih duduk di bangku kelas 5
SD. Ibunya lah yang akhirnya berperan ganda, menjadi ayah
dan ibu sekaligus. Mencari nafkah dengan berjualan kue,
tak cukup untuk membiayai Yanti dan adiknya.
Pada akhirnya Yanti harus menerima kenyataam bahwa
selamat SD, ibunya tak sanggup lagi membiayainya
melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi, bahkan
ketika Pemerintan sudah menggratiskan pendidikan. Yanti
harus ikut mengambil beban keluarga, membantu ibunya

54 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


berjualan kue keliling kampung.
Ketika ibunya menikah lagi dan beban keluarga tak lagi
seberat dulu, Yanti terlanjur enggan melanjutkan sekolah.
Bukan mengubur harapan tentang akan jadi apa kelak, tapi
dia bahkan merasa tak pernah punya cita-cita. “Lagipula
untuk apa punya cita-cita kalau nanti tidak akan bisa
diwujudkan,” ucapnya pasrah.

Menikah atau Sekolah?


HAPSARI, salah seorang teman sebaya Yanti termasuk
beruntung bisa melanjutkan sekolah hingga ke tingkat
SMA. Sarana pendidikan SMP Negeri di Pulau Kodingareng
ini baru ada tahun 2006, adapun untuk SMA baru dibangun
pihak swasta sejak tahun 2009. Di SMA Citra Bangsa ini
Hapsari bersekolah.
Sayang, Ia memilih berhenti di tengah jalan karena
dilamar oleh kekasihnya. Hapsari dan orang tuanya tentu
saja tidak menolak, apalagi di Pulau Kodingareng, seperti
sudah menjadi stigma di masyarakat jika menolak lamaran
lelaki, seorang perempuan kelak akan “tidak laku” atau
menjadi perawan tua.
Hapsari duduk di bangku kelas 2 SMA saat berhenti.
Meskipun tidak ada larangan pemerintah untuk melanjutkan
sekolah setelah menikah, namun Hapsari masih ragu
melanlanjutkan hingga lulus SMA.
“Katanya bayar mahal untuk melanjutkan sekolah apalagi
kalau ikut ujian. Saya berpikir, tidak usah melanjutkan.
Lagian ijazah ku nanti untuk apa kalau akhirnya saya hanya
jadi istri yang tinggal di rumah,” katanya.
Keraguan Hapsari membuat Yanti kian pesimistis bicara
cita-cita. Pada akhirnya yang tumbuh di benak Yanti,
Hapsari, dan banyak perempuan lainnya adalah, percuma
sekolah tinggi, percuma berangan tinggi tentang cita-cita,
toh pada akhirnya hanya akan menjadi istri yang setiap hari
menunggu rumah, mengurus anak dan suami.

10 Liputan Investigasi 55
Naston, Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan SMA
Citra Bangsa Pulau Kodingareng melihat hal ini memang
banyak terjadi di kalangan siswa-siswinya. Banyak yang
punya potensi dan berprestasi akhirnya tidak lanjut karena
biaya.
Beberapa di antaranya memang karena miskin, tapi
kecenderungan orang tua di Pulau Kodingareng juga
memilih menggunakan uang mereka untuk hal yang
berwujud ketimbang untuk biaya pendidikan, terlebih
hingga ke jenjang perguruan tinggi. Pendidikan dinilai
mahal dan dianggap tak memberi kejelasan atau dampak
langsung ke kehidupan mereka kelak.
“Memang ada yang tetap lanjut kuliah atau kerja di kota,
tapi jauh lebih banyak yang tinggal di rumah setelah lulus
SMA. Kebanyakan perempuan karena orang tua mereka
sering khawatir jika anaknya kuliah atau kerja jauh dari
rumah dan tidak ada yang menjaga. Pilihannya akhirnya
menikahkan anak mereka,” kata Naston.
Menurut Naston, pihak sekolah berupaya membuat
suasana sekolah lebih menyenangkan diantaranya dengan
berbagai kegiatan ekstra kurikuler seperti Pramuka, pecinta
alam, teater, palang merah, dan lainnya. Tujuannya agar
siswa lebih berminat terus bersekolah. Namun tetap saja
ini bukan jawaban karena berbagai persoalan diantaranya
kurangnya tenaga pendidik. Lingkungan juga punya
pengaruh kuat terhadap keputusan lanjut atau tidaknya
seorang anak bersekolah atau menikah muda atau tidak.

Dilema UU Perkawinan dan Keresahan Orang Tua


TERKAIT pernikahan dini, umumnya Pengurusan izin
menikah masyarakat di Pulau Kodingareng kerap masih
diwakilkan pada imam setempat. Tak mudah mendapatkan
data lengkap tentang persentase atau jumlah menikah
muda karena banyak kasus curi umur dalam soal menikah
muda.
Menurut pegawai kelurahan Kodingareng, Nasrullah,

56 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


diperlukan beberapa berkas untuk mengurus Surat
Keterangan Nikah, Surat Keterangan Asal Usul dan Surat
Keterangan tentang Orang Tua yang harus diurus di
kelurahan. Diantaranya surat pengantar nikah dari RT/
RW, pasfoto, fotokopi KTP, KK untuk selanjutnya disetor ke
KUA. Bagi berkas yang tidak lengkap maka pengurusan
selanjutnya tidak akan dilayani.
“Kadang ada juga dokumen yang tidk lengkap,
seperti kartu keluarga, atau hanya bawa foto tapi tak ada
KTP. Kadang mereka bawa kartu keluarga tapi jika kami
melihat tidak cukup umur, maka kami tidak melanjutkan
pengurusan ya,” kata Nasrullah.
Lalu bagaimana bisa perkawinan usia muda terjadi jika
dokumen tidak lengkap?
Musdalifah yang juga salah seorang pegawai kelurahan
menjelaskan, Imam nikah mereka yang pada akhirnya
mengatur karena orang tua tetap bersikeras menikahkan
anaknya.
“Kami kadang tidak bisa berbuat banyak jika orang tua
calon pengantin berkata, apa kami bisa bertanggung jawab
jika kelak anak mereka tidak ada yang mau melamar atau
hamil di luar nikah,” katanya.
Ini yang membuat pegawai kelurahan atau KUA, kerap
dalam posisi dilematis membuat keputusan. Selain soal itu,
peraturan yang dibuat pemerintah juga kontradiktif satu
sama lain. Dalam UU Perkawinan no.1 tahun 1974 yang
mengatur tentang batas usia kawin, khususnya Pasal 7 ayat
(1) memang mengatur tentang batas usia kawin perempuan
16 tahun dan laki-laki 19 tahun, namun pada Pasal 7 ayat (2)
justru membolehkan mereka menikah dengan persetujuan
hakim pengadilan meski usia mereka masih di bawah batas
usia yang diatur. Batas usia kawin menjadi tidak berlaku lagi
bagi sebagian orang.

10 Liputan Investigasi 57
Perbanyak Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat Pulau
PERAN dan perhatian dari pemerintah tentunya sangat
diperlukan dalam hal pendidikan dan pengembangan
masyarakat, khususnya anak-anak di Pulau Kodingareng.
Saat ini memang ada program Karang Taruna yang dikelola
oleh pemuda di Pulau Kodingareng namun pelaksanaan
kegiatannya tidak rutin bahkan terbilang jarang. Kegiatan
Karang Taruna biasanya hanya berjalan saat menjelang
peringatan 17 Agustus.
Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak,
Andi Tenri Palallo mengakui hal itu memang tak lepas
dari tanggung jawab pemerintah. Untuk itu dirinya saat
ini tengah berupaya untuk menyusun berbagai kegiatan
untuk program pendidikan dan pengembangan diri anak-
anak pesisir, khususnya perempuan. Hal ini dinilai sebagai
langkah stategis untuk mencegah kawin muda dengan cara
memberikan kesibukan yang bermanfaat bagi pemuda-
pemudi di pesisir.
“Ke depannya kami akan memberikan program-
program pemberdayaan perempuan dan anak yang lebih
fokus ke masyarakat pesisir. Meski begitu, hal ini belum
bisa maksimal karena menunggu sejumlah pulau yang ada
di kota Makassar, resmi menjadi satu kecamatan. Saat itu
terealisasi maka otomatis anggaran akan mengalir dan akan
disesuaikan dengan standar kecamatan” katanya.
Program Manajer Maju perempuan Indonesia untuk
Penanggulangan kemiskinan (MAMPU) Lusia palulungan
menilai fenomena menikah muda yang terjadi di masyarakat
pulau memang karena kurangnya sarana pendidikan dan
kegiatan pengembangan diri sehingga bekal untuk masa
depan minim. Akibatnya terjadi pemiskinan turun temurun
dan yang menjadi korban adalah perempuan.
“Jika keluarga mengalami keterbatasan ekonomi,
pemahaman masyarakat yang masih kuat bahwa laki-
laki adalah sumber pencari nafkah dan perempuan akan
kembali ke dapur, maka fokus pendidikan hanya akan

58 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


kepada laki-laki saja sehingga perempuan tidak mendapat
pendidikan dan masa depan yang layak.”

Mendidik Kembali Kebudayaan


SEJUMLAH masyarakat Pulau Kodingareng menyayangkan
mengapa belum pernah ada sosialisasi tentang pencegahan
nikah dini masyarakat pulau. Ini dianggap penting karena
banyak orang tua yang belum paham tentang dampak
negatif atau resiko secara psikologis maupun biologis bagi
pernikahan untuk para pasangan muda.
Dari segi pemeliharaan kesehatan perempuan pulau
utamanya bagi ibu dan anak, beberapa tahun terakhir ini
pemerintah melalui BKKBN dan Dinas Kesehatan sudah
cukup rutin mengadakan kegiatan posyandu, penyuluhan
tentang KB dan pemberian vitamin bagi balita 2 kali dalam
setahun. Hal ini dinilai cukup membantu bagi kesehatan
ibu dan anak sehingga jarang ditemukan kasus bayi tidak
sehat/cacat akibat kawin di usia muda.
Pernikahan di usia belia menurut budayawan Alwi
Rahman, terjadi karena beberapa aspek yang bersifat
sosiologis diantaranya adalah aspek mobilitas sosial. Hal
ini membuat masyarakat di suatu daerah seperti ‘terisolir’,
sulit mengakses daerah luar maupun sebaliknya karena
kemiskinan dan keterbatasan. Bahayanya adalah jika seks
menjadi satu-satunya hiburan. Inilah yang ditakutkan oleh
para orang tua sehingga dianggap pernikahan adalah
solusi.
Selain itu, kecenderungan yang terjadi di sebagian besar
wilayah di Indonesia adalah ketimpangan peradaban yang
cukup besar antara kampung dan kota, antara daratan dan
pulau. “Semakin jauh sebuah pulau dari daratan besar maka
semakin tertinggal peradabannya. Ketimpangan peradaban
ini menjadi salah satu wajah kemiskinan Indonesia, sehingga
terjadi pemiskinan turun temurun di daerah pesisir dan
mereka tidak punya pilihan lain selain melepas tanggung
jawab anak mereka dengan cara menikahkannya meski itu
melanggar hukum” katanya.

10 Liputan Investigasi 59
Menurut Alwi disinilah pentingnya peran sekolah
yang mengarahkan pendidikan kebudayaan yang diiringi
pemahaman tentang peradaban. Pada jaman modern
saat ini anak di daerah terpencil maupun pesisir baru
saja bisa menikmati hadirnya jaringan telekomunikasi
selular, sedangkan anak di kota sudah menikmati hadirnya
peradaban telepon pintar bahkan yang datangnya dari luar
negeri seperti facebook, twitter, dll.
Akhirnya kehadiran peradaban yang canggih dan
modern ini tidak diikuti dgn mendidik kembali kebudayaan
yang terbilang masih ‘tradisional’. Wajar saja ketika orang
tua khawatir anaknya akan terjerat pengaruh buruk, meski
tetap saja perkawinan bukan solusi satu-satunya.
“Sekarang kita berada pada peradaban yang canggih
tapi kehilangan kebudayaan. Kita harus bisa melihat dengan
jelas siapa saja yang harus bertanggung jawab untuk
mendidik kebudayaan kita. Sayangnya belum ada lembaga
yang khusus untuk mendidik kebudayaan kita”
Jika sudah begini, pemerintah, sekolah, orang tua
bahkan media mempunyai peran penting dalam asimilasi
kebudayaan saat ini. Di tengah guncangan peradaban yang
begitu ramai, pegangan moral dan nilai budaya yang ketat
harus diimplementasikan kepada anak-anak tersebut.
Bahwa dulu terjadi perkawinan dini memang benar, tapi
anak-anak tidak menghadapi gegar budaya yg begitu besar.
Anak-anak di pesisir memang ketinggalan peradaban,
namun jangan sampai juga kehilangan kebudayaan karena
mengikuti tradisi yang ada.
“Kita harus mendidik kembali anak-anak dengan
kebudayaan agar tetap memiliki masa depan yang cerah.
Pendidikanlah yang membuat mereka akan waspada
tentang kemiskinan.Jangan sampai mereka melanggengkan
kemiskinan di usia produktif.
Tentu saja bukan hanya soal melanggengkan kemiskinan
di usia produktif, tapi kita tak ingin melihat lahir banyak

60 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


lagi Yanti atau Hapsari lain yang harus memupus cita-cita
mereka di pelaminan.

10 Liputan Investigasi 61
Muzakkir Akib, Memulai karir jurnalistiknya
di Kompas TV Makassar, dan berlanjut hingga
sekarang. Ekky, panggilan akrabnya, adalah
lulusan Universitas Fajar Fakultas Komunikasi.
Selain penggila manga, juga senang jika
dipanggil makan :D
PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL
(10 Liputan Investigasi) 63

Fenomena Pernikahan Dini di Maros Sulsel


Terjebak Tradisi,
Terperangkap Kemiskinan
Muzakkir akib

S UASANA kampung yang masih asri, langsung terasa


saat kami tiba di Dusun Mambue Desa Marusu
Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Pagi itu, suasana
kampung mulai terlihat lengang. Maklum saja, warga yang
mayoritas bertani tengah bekerja di sawah dan ladang
mereka.
Kedatangan kami ke kampung ini --dari Makassar
berjarak 25-an kilometer—adalah untuk menemui Tenriola
(14). Perempuan belia yang kami temui itu adalah salah satu
pelaku pernikahan dini.
Dengan senyum merekah di bibirnya, Tenriola
menyambut kami di rumah kerabatnya. Perempuan
berparas ayu dengan badan sedikit gemuk itu rupanya
sudah berdandan. Dia menghias bibirnya dengan pewarna
merah terang. Kostumnya bergambar beruang Teddy Bear.
Dandanan dan aksesori yang dikenakannya tak mampu
menutupi kebeliaan dirinya.
Tenri, sapaan akrabnya, dinikahkan orangtuanya pada 9
Oktober 2014. Desakan orangtuanya itu membuatnya tak
berdaya. Diapun harus rela meninggalkan bangku Sekolah
Menengah Pertama. Padahal saat itu dirinya masih duduk
di kelas VII.
“Saya dijodohkan. Saya juga tidak ingin kecewakan
orangtua. Apalagi yang lamar kan keluarga juga,” ungkap
Tenri.
Kepada penulis, dia mengaku mendapat kabar
pernikahan saat berada di sekolah.
“Saya di sekolah saat ditelepon akan dinikahkan.
Sempat stres juga sih, tapi karena tidak mau kecewakan
orangtua, akhirnya ya saya terima,” tutur Tenri mengenang
pengalaman yang tidak akan pernah dilupakannya.
Di Dusun Mambue, yang menikah dini bukan Tenriola
seorang. Tetangga Tenri, Kasmawati Ahmad (28), justru
sudah merasakannya sejak 12 tahun silam. Ibu beranak dua
itu dinikahkan saat usianya juga masih 14 tahun.
Sama seperti Tenri, Kasmawati juga dijodohkan orang
tuanya. Kala itu, diapun tak ingin membantah. Meski,
taruhannya dia harus melupakan masa kanak-kanak
(remajanya) untuk mengurus sang suami.
”Sempat menolak, bahkan nekat bunuh diri saat
dijodohkan. Tapi, akhirnya pasrah dan menurut saat
dinikahkan dengan suami saya (kala itu),” tutur Kasmawati.
Akhirnya, saat pernikahannya memasuki usia ke-12
tahun, Kasmawati memilih cerai dari sang suami. Kekerasan
fisik dan mental membuatnya mengambil keputusan
berpisah suami setahu lalu.
”Karena tidak tahan, akhirnya saya putuskan cerai saja.
Daripada begitu terus (bertengkar, red),” ujar Kasmawati.

Tradisi Bablas
TENRIOLA dan Kasmawati hanyalah bagian kecil dari kasus

64 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


pernikahan dini di Maros, Sulawesi Selatan. Tak ada data
pasti memang, namun jumlah pernikahan dini di daerah itu
terus saja berlangsung.
“Kami banyak menemukan kasus penikahan dini di
Maros. Memang jumlahnya tidak bisa dituliskan, tapi kalau
kami turun ke lapangan, banyak yang kami temukan,”
ungkap Agusnawati, direktur LSM Maupe, sebuah
organisasi yang khusus memberikan perlindungan hak-hak
perempuan.
Secara nasional, Sulawesi Selatan menempati peringkat
teratas kasus pernikahan dini. Kantor Badan Pemberdayaan
Perempuan Provinsi Sulsel mencatat bahwa pada 2013,
Sulsel menempati peringkat teratas untuk pernikahan usia
15 tahun ke bawah. Persentasenya mencapai 6,7 persen dari
angka nasional yang hanya 1,46 persen.
Sementara pada rentang usia 15-19 tahun, Sulsel berada
di peringkat ketujuh dengan angka 13,86 persen. Juga lebih
tinggi dari angka nasional yang hanya 10,80 persen.
Tingginya angka pernikahan dini di Sulawei Selatan tak
lepas dari berbagai factor. Salah satunya, tradisi masyarakat
daerah ini yang menganggap perempuan sebagai beban
keluarga.
”Di dalam masyarakat Bugis, perempuan memang masih
dianggap beban keluarga. Jadi kalau sudah dinikahkan,
maka beban akan dilimpahkan ke pihak suami,” ungkap
Agusnawati dari LSM Maupe.
Bukankah UU Pernikahan telah membatasi usia minimal
untuk bisa menikah? Kepala Seksi Kepenghuluan Kantor
Wilayah Kementerian Agama Sulsel, H Sahabi Muhammad
mengakui bahwa ada batasan. Yaitu, minimal 19 tahun bagi
laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.
Tapi, kata Sahabi, seribu satu jalan kerap ditempuh
para pihak yang memiliki anak di bawah umur. Salah
satunya dengan pemalsuan identitas sang calon pengantin.
Perubahan data itu, sebut dia, dilakukan di tingkat

10 Liputan Investigasi 65
kelurahan.
“Di lapangan banyak warga yang meminta usia anak
mereka ditingkatkan. Kami tidak bisa berbuat banyak
karena perubahan data usia dilakukan di tingkat kelurahan.
Kami di KUA (kantor urusan agama) hanya mencatat saja,”
sebutnya.
Bagaimana kalau sang calon pengantin terlibat hamil di
luar nikah? Dengan jujur Sahabi mengakui bahwa pihaknya
menawarkan pada yang bersangkutan dan kerabatnya
untuk meminta dispensasi dari pengadilan agama setempat.
“Kalau ternyata belum cukup umur, biasanya umurnya
dinaikkan (dipalsukan, red). Dan itu biasanya permintaan
dari keluarga juga,” lanjut Sahabi.
Faktor Biaya
Selain faktor tradisi, pernikahan dini di Sulsel juga dipicu
oleh masalah kemiskinan. Dengan berlindung di balik alasan
perempuan membebani keluarga, pernikahan dini juga
karena pihak keluarga tidak mampu lagi membiayainya.
Nah, dengan memindahkan beban pada suaminya, maka
beban keluarga menjadi berkurang.
Faktor lainnya karena pendidikan yang rendah. Ironisnya,
terkadang tokoh yang seharusnya jadi anutan justru
member contoh kurang baik. “Contohnya, tokoh agama
yang mestinya jadi teladan, justru terlibat pernikahan dini.
Pastilah umat akan ikut-ikutan,” keluh Sahabi.
Kanwil Agama Sulsel, kata dia, bukannya tidak
melakukan upaya pencegahan. Masalahnya, beragam
program sosialisasi dan promotif preventif terpaksa layu
sebelum berkembang karena terkendala biaya.
“Terakhir kami lakukan kursus pranikah pada 2013 di
empat kabupaten. Sekarang, hal itu tidak lagi jalan karena
tidak ada anggaran,” sebutnya.
Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan juga mengakui
faktor kemiskinan dan minimnya pendidikan sebagai biang

66 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


tingginya pernikahan dini. Langkah pencegahan juga terus
dilakukan untuk menekan tingginya kasus pernikahan dini.
“Untuk kasus putus sekolah, kita lakukan pendekatan
dengan penanganan langsung agar anak dapat kembali ke
sekolah. Kita juga lakukan pendampingan pada keluarga
miskin dengan memberikan keterampilan dan bantuan
usaha ekonomi produksi maupun kelompok usaha
bersama,” ungkap H Mukhtar, Kepala Bidang Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Sulsel.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
Sulsel juga ikut prihatin dengan masih tingginya angka
pernikahan dini. Berbagai upaya pun ikut dilakukan BKKBN
demi menekan angka yang masih tinggi itu. Apa daya,
tradisi yang telah berurat mengakar plus kemiskinan dan
pendidikan rendah, membuat program mulia itu belum
bisa berjalan maksimal.
Padahal, sebut Rini Riatika Djohari, kepala BKKBN Sulsel,
pernikahan di usia dini sarat risiko. Salah satunya, ancaman
kesehatan reproduksi bagi kaum perempuan pelakunya.
Saat usia muda, leher rahim perempuan masih sensitif
sehingga jika dipaksakan hamil, berisiko menimbulkan
kanker leher rahim di kemudian hari. Risiko kematian saat
melahirkan juga besar.
“BKKBN berusaha menurunkan angka pernikahan dini
dengan cara program generasi berencana. Kita sosialisai
pada orangtua pentingnya pendidikan pada anak-anak.
Dengan cara itu kita berharap mereka (orangtua) tidak
berpikir menikahkan anaknya sesegera mungkin,“ kata Rini.

10 Liputan Investigasi 67
Abdul Rahman, Kuliah di Fakultas Teknik Unhas
angkatan 2008, namun setelah lulus ia memilih
menjadi jurnalis. Pernah bekerja di TV lokal
Makassar Ve Channel, lalu pindah ke Harian
Sindo Makassar. Saat ini menjadi reporter di
Harian Bisnis Indonesia.
PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL
(10 Liputan Investigasi) 69

HIV/AIDS
Sesuatu yang Tidak
Membunuhmu, Membuatmu
Lebih Kuat
Abdul Rahman

S
“Hari itu seperti kiamat bagi saya”
EUMUR hidup, Mentari (bukan nama sebenarnya)
takkan pernah melupakan kejadian di malam itu.
Sebuah malam di bulan Maret 2011 yang mengubah
hidupnya untuk selamanya. Kelana (bukan nama
sebenarnya), suami Mentari harus dibawa ke rumah sakit
malam itu juga lantaran tak kuasa lagi menahan sakit yang
mendera tubuhnya.
Ia sudah tak sanggup lagi berjalan. Badannya yang
dahulu tinggi besar kini terkulai lemas di atas pembaringan.
Kulitnya menggelambir karena lapisan lemak dan jaringan
otot yang dulu membentuk badannya sudah tiada lagi.
Wahidin Sudirohusodo menjadi rumah sakit yang dipilih
sebab dianggap punya fasilitas paling memadai. Ditemani
mertua dan ketiga anaknya, ia berangkat dari rumahnya di
kawasan Maccini menuju Tamalanrea.
Malam sudah sangat larut saat Mentari sampai di
rumahsakit. Perasaannya sudah tak keruan malam itu. Ia
tak tahu persis penyakit apa yang tengah menggerogoti
suaminya. Yang ia tahu, suaminya memang punya penyakit
diabetes mellitus. Tapi itu pun diturunkan secara genetik
dari orang tuanya. Selain itu seingatnya tak ada penyakit
lain. Namun meski telah berobat kesana kemari, mulai dari
medis hingga alternatif, tak jua membuahkan hasil. Justru
kondisinya semakin hari semakin memburuk.
Malam itu juga, suaminya langsung ditangani oleh
dokter. Tapi ia heran, sewaktu mendorong suaminya
yang terbaring diatas brancard sepanjang lorong rumah
sakit, hampir semua petugas yang kebetulan berpapasan
menatap suaminya dengan tatapan aneh. Seolah ada yang
janggal. Di dalam ruang perawatan Mentari lebih heran
lagi. Bahkan emosinya hampir meledak saat mendengar
pertanyaan perawat.
“Apa pekerjaan suaminya Bu?” Tanya perawat tersebut.
Batin Mentari serasa teriris. Mengapa justru pekerjaannya
yang ditanyakan? Mengapa bukan penyakit atau yang
berhubungan dengan itu? Pun ketika dokter datang
dan tuntas melakukan pemeriksaan awal, tak satu pun
penjelasan mengenai penyakit suaminya yang ia terima.
Justru suaminya langsung dipindahkan ke gedung lain
di bagian belakang rumah sakit yang belakangan ia tahu
bernama Infection Center. Dokter lalu mengambil sampel
darah Kelana untuk diuji di laboratorium. Kata dokter,
hasilnya baru bisa diketahui esok hari.
Keesokan harinya, dokter memanggil Mentari. Diiringi
permohonan maaf, dokter mengatakan bahwa hasil
tes menunjukkan Kelana positif terinfeksi HIV (Human
Immunodeficiency Virus) dan sudah dalam kondisi AIDS
(Acquired Immune Deficiency Syndrome). Sistem imun
tubuhnya sudah amat lemah. CD4 atau sel darah putih
penanda sistem imun sudah pada level 7 dimana pada
kondisi normal diatas 1000.

70 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


Seketika langit terasa runtuh. Mentari tak sanggup
untuk percaya. Terjawab sudah pertanyaan mengapa
perawat semalam bertanya pekerjaan suaminya. Itu pula
yang menjadi alasan mengapa sepanjang koridor, suaminya
dipandang ‘aneh’. Mereka sudah curiga suaminya tertular
HIV saat melihat kondisinya.
Tapi badai masih belum berlalu. Dokter lalu
menganjurkan agar ia juga menjalani tes untuk mengetahui
apakah ia juga tertular. Menurut penjelasan dokter, jika
suami positif, besar kemungkinan istrinya juga tertular.
Pasalnya virus HIV juga dapat menular melalui hubungan
seks. Ia setuju. Hari itu juga hasil tes keluar dan hasilnya
sesuai perkiraan dokter. Hanya saja karena CD4-nya masih
di berada kisaran 495, gejala-gejala HIV/AIDS masih belum
nampak.
“Hari itu seperti kiamat bagi saya,” kata perempuan
berhijab ini. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, Mentari
masih sulit percaya atas musibah yang menimpanya. Ia
mengingat, sejak hari itu sampai seminggu kemudian ia
tak sekalipun meneteskan air mata. Bukan karena tegar.
Tapi karena merasa jiwanya telah hilang. Air mata sudah tak
perlu lagi mengalir. Sebulan kemudian, sekitar akhir April,
suaminya menghembuskan nafas terakhir.

Menata Hidup, Berjuang Melawan HIV


ENAM bulan usai divonis positif HIV, Mentari berusaha
menata kembali hidupnya. Namun ia belum berani membuka
statusnya ke orang lain kecuali kepada ibu kandung, mertua
dan anak-anaknya. Bahkan ayah kandungnya hingga
meninggal tak pernah tahu status Mentari.
Agar tak selalu memikirkan musibah yang menimpanya,
ia menyibukkan diri dengan bergabung di komunitas ODHA
(Orang Dengan HIV/AIDS). Ketertarikannya bergabung
karena melihat orang-orang yang senasib dengannya tetap
terlihat sehat. Namun di akhir tahun 2011, kondisinya mulai
menurun. Sistem kekebalan tubuhnya mulai tak sanggup
melawan keganasan virus HIV. Kulit disekitar kukunya mulai

10 Liputan Investigasi 71
menghitam. Begitu pula dengan bagian bawah matanya.
Bintik-bintik berair mulai menjalar disekujur tubuhnya.
Berat badannya melorot drastis hingga 49 kilogram dari
sebelumnya 60 kilogram.
Bulan Mei 2012 kondisinya sudah amat memprihatinkan.
Ia sudah tak sanggup lagi hadir di pertemuan komunitas.
Hingga saat memeriksakan diri, CD4-nya sudah di angka
80. Mentari pun dianjurkan menjalani terapi ARV (Anti
Retroviral). Terapi ARV merupakan sistem yang dapat
menghambat perkembangan virus HIV. Selama menjalani
terapi ini, ODHA akan merasakan efek samping seperti
muntah darah dan radang lambung.
Dua bulan usai terapi, CD4 Mentari melonjak di atas
500. Ia pun mulai menjalani pola hidup sehat seperti makan
teratur, mengonsumsi protein dan banyak minum air putih.
Berkat semangatnya yang besar, kini CD4 Mentari sudah
diatas 700. Angka yang cukup baik untuk seorang ODHA.
Sewaktu bertutur, wanita berdarah Bone ini tak bisa
menutupi rasa bahagianya saat mengenang masa-masa
indah bersama suaminya dulu. Sebagai seorang musisi,
Kelana cukup dikenal di eranya. Bahkan pada tahun 2001,
Kelana memboyong seluruh keluarganya ke Jakarta karena
karir musiknya di sana cukup cerah.
Kata Mentari, beberapa musisi yang saat ini sukses,
sewaktu meniti karir dulu sering berlatih musik dan
mengutak-atik lagu di rumahnya di kawasan Bintaro.
Bahkan, beberapa lagu Kelana dibeli oleh label ternama dan
hingga sekarang masih sering diputar.
Namun, saat karir sebagai musisi itu pula lah Kelana
terjerumus pada pergaulan menyimpang. Kelana mulai
mengenal narkoba jenis putaw yang sedang tren kala
itu. Cara penggunaan putaw yang menggunakan jarum
suntik secara bergantian merupakan salah satu penyebab
penularan virus HIV yang paling sering terjadi.

72 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


Menurut analisa dokter, Kelana tertular virus pada tahun
2006 dan gejalanya baru muncul di tahun 2011. Hal ini
sesuai dengan teori penularan HIV dimana status penderita
baru diketahui 5 tahun setelah virus menginfeksi apabila
tertular lewat jarum suntik atau tranfusi darah.
Karena tak ada tanda-tanda khusus diawal tertular, kerap
penderita tak tahu bahwa virus HIV sudah menginfeksi
dirinya. Begitu pula orang disekitarnya. Mereka hanya
menganggap gejala yang muncul merupakan penyakit
biasa sehingga tak cepat ditangani.
Seperti itulah yang dialami Mentari. Setelah hartanya
habis untuk pengobatan dan sampai pada taraf putus asa,
barulah diketahui bahwa suaminya mengidap HIV. Dari
sudut pandang psikologi, apabila seorang yang divonis HIV
tak segera di tolong secara psikis akibatnya bisa fatal.
Mentari tak sendiri. Bintang (bukan nama sebenarnya)
juga punya kisah yang hampir serupa dengan Mentari.
Perempuan berparas ayu ini tahu dirinya positif HIV pada
tahun 2007 lalu. Bersama Mentari, Bintang kini aktif di
Komunitas Dampingan Sebaya (KDS). Komunitas ini aktif
membantu para ODHA utamanya yang baru mengetahui
statusnya.
“Saya merasa diluar sana masih banyak teman yang
butuh dukungan,” kata Bintang saat ditanya alasannya aktif
di KDS.
Sejak setahun lalu, ia juga resmi ditunjuk sebagai ketua.
Di komunitasnya, ada 20 orang yang aktif dimana 80
persennya merupakan ODHA pasif.

Dirangkul, Bukan Diasingkan


TITIN CHOMARIAH S.Psi.,M.Psi., seorang psikolog yang
pernah menangani kasus HIV/AIDS mengatakan bahwa
seorang ODHA akan mengalami gangguan traumatik atau
stress disorder saat mengetahui statusnya. Bahkan dalam
kondisi tertentu bisa sampai di tahap depresi. Utamanya
bila ia merasa diasingkan oleh lingkungannya.

10 Liputan Investigasi 73
“Semakin ditolak oleh lingkungan, kondisi mereka akan
semakin parah,” kata Titin.
Oleh karena itu, mereka membutuhkan dukungan dari
orang terdekat dan lingkungan yang bisa menerima mereka.
Kardna jumlah ODHA semakin hari semakin meningkat,
maka pemerintah punya tanggung jawab untuk membantu
mereka.
Berdasarkan data yang dirilis Komisi Penanggulangan
AIDS (KPA) Sulawesi Selatan, hingga bulan Mei lalu, jumlah
ODHA di Sulsel mencapai angka 9.030 orang. Sebagian
besar berada di Makassar dengan jumlah 7.800 orang.
Angka ini selalu meningkat setiap tahunnya.
Pemerintah provinsi Sulsel sudah melakukan berbagai
upaya untuk menekan penyebaran virus HIV dengan cara
melakukan sosialisasi dan koordinasi dengan pihak-pihak
terkait. Selain itu, berusaha merangkul para ODHA. Salah
satunya dengan membentuk komunitas Ballata. Komunitas
ini merupakan inisiasi dari Biro Napza HIV/AIDS pemprov
Sulsel.
Kabiro Napza HIV/AIDS Sri Endang Sukarsih mengatakan
pihaknya terus berupaya agar para ODHA dapat meningkat
kualitas hidupnya. “Kami berusaha sebisa mungkin
menjawab kebutuhan mereka,” ujar Sri.
Di Komunitas Ballata, para ODHA diajak untuk
lebih berdaya. Mereka dibekali dengan keterampilan-
keterampilan teknis yang dapat mereka manfaatkan untuk
berwirausaha. Selain itu, mereka juga dibekali pengetahuan
tentang advokasi sehingga dapat memperjuangkan nasib
diri mereka dan teman sebayanya.
Budi (bukan nama sebenarnya), ketua Ballata
mengatakan bahwa selama ini mereka terus berusaha
memberikan pemahaman, baik kepada sesama ODHA
maupun masyarakat umum tentang HIV/AIDS.
“Pada praktiknya susah-susah gampang. Masih banyak
ODHA yang menutup diri,” kata ODHA yang juga berprofesi

74 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


sebagai advokat ini. Oleh karena itu, Budi membutuhkan
orang yang berpikiran terbuka seperti Mentari untuk
membantunya menyebarluaskan pemahaman tersebut.
Kini setelah empat tahun berlalu, Mentari sudah bisa
menerima keadaannya. Tubuhnya pun kini lebih sehat.
Bahkan di umur yang sudah menyentuh angka 43, ia masih
terlihat awet muda dan segar bugar.
“Yang penting pola makan dijaga dan tak terlalu larut
memikirkan masalah ini,” katanya.
Karena kondisinya itu pula lah, ia kerap dijadikan
sebagai role model bagi sesama ODHA. Ia juga beberapa kali
diminta memberi testimoni (mengungkap status) meski
masih dalam lingkup terbatas.
Walau sering menjadi motivator, Mentari masih belum
berani membuka statusnya secara luas di publik, termasuk
di lingkungan tempat tinggalnya. Bukan karena ia takut
dijauhi, tapi karena memikirkan nasib anak-anaknya. Meski
sesungguhnya, ketiga anaknya sama sekali tak keberatan.
“Biar orang-orang tahu, kalau kami tidur bersama ODHA
dan tetap tidak tertular,” kata Mentari menirukan ucapan
anak-anaknya.
Ia mengakui, bahwa masih banyak masyarakat yang
belum paham tentang penularan virus HIV sehingga mereka
sering mendapatkan perlakuan diskriminatif bahkan
oleh tenaga kesehatan sekalipun. Mentari berharap agar
semakin banyak yang paham bahwa virus HIV tak semudah
itu menular sehingga tak perlu khawatir untuk berinteraksi
dengan mereka. Karena mereka pun pada dasarnya ingin
berbaur dan berbagi dengan orang lain.
Di sisa umurnya, ODHA seperti Mentari dan Bintang
hanya ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi orang
lain. Mereka tentunya ingin diterima dalam lingkungan di
manapun mereka berada. Mereka tak ingin menjadi sesuatu
yang harus dijauhi apalagi diasingkan.

10 Liputan Investigasi 75
Banyak hal yang bisa dipelajari dari mereka. Tentang
perjuangan, ketabahan, dan keberanian menghadapi hidup.
Seperti kata Friedrich Nietzsche, filsuf ternama asal Jerman,
“Sesuatu yang tidak membunuhmu, membuatmu lebih
kuat.”

76 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


10 Liputan Investigasi 77
Nurlina Arsyad, Lahir di Sengkang 18
Desember 1986. Ia lulusan Ilmu Administrasi
Negara UVRI Makassar. Meski kuliahnya tidak
spesifik jurusan Jurnalistik, namun ia sangat
mencintai profesinya sekarang. Nurlina tercatat
seabagai reporter Harian Fajar Makassar.
PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL
(10 Liputan Investigasi) 79

Pola Pembinaan PPSKW Mattiro Deceng


Menjerakan Tidak,
Menyadarkan pun Kurang
Nurlina Arsyad

K AMIS siang, 6 Agustus. Langit di Kota Makassar


tampak cerah. Debu jalanan beterbangan
menyapu kulit. Jalanan di sepanjang Jl Perintis
Kemerdekaan begitu sesak. Penulis baru lolos dari
kepadatan jalan setelah berbelok masuk ke Jl Dg Ramang.
Arus kendaraan tampak sepi di ruas jalan ini, tak jauh dari
jalan poros, penulis tiba ditempat yang dituju, yakni; Pusat
Pelayanan Sosial Karya Wanita (PPSKW) Mattiro Deceng.
Untuk ke-dua kalinya, penulis menginjakkan kaki di
tempat rehabilitasi wanita tuna sosial ini. Pintu gerbang
sedikit terbuka, hanya bisa dilewati kendaraan roda
dua. Penulis langsung masuk memarkir kendaraan, di
dalam ternyata ramai. Maklum, disetiap hari Senin-Kamis,
merupakan jadwal besuk untuk warga binaan Mattiro
deceng. Itupun jam besuk hanya di buka pada pukul 09.00
wita hingga pukul 12.00 wita. Berbeda dengan hari-hari
lain, kantor yang punya pekarangan luas tersebut selalu
tertutup rapat dan sepi.
Dari jauh tampak puluhan perempuan mengenakan baju
seragam, warna oranye kombinasi hitam yang melengket
dibadannya. Warna pakaian dengan rambut beda tipis,
dominan mereka pirang. Lipstik merah terus menempel di
bibirnya.
Mereka punya aktivitas berbeda, ada yang memakan
bakso, ada yang bergurau sambil terbahak-bahak satu sama
lain. Tidak sedikit yang bercengkrama dan berbincang serius
dengan keluarga yang datang membesuknya. Pun ada
diantaranya yang melepas kangen dengan sang buah hati.
Jika para pembesuk datang, biasanya mereka membawa
makanan atau apapun yang dibutuhkan mereka.
Para kaum perempuan tersebut adalah warga binaan
Mattiro Deceng yang terjaring razia yang dilakukan oleh
aparat pemerintah setempat. Saat penulis minta izin untuk
berinteraksi dengan mereka, Kepala TU PPSKW Mattiro
Deceng, Yuliana melarang. Ia hanya mengizinkan untuk
mengamati mereka, tetapi melarang untuk berinteraksi.
Penulis kembali meminta data daftar mereka yang
sudah rehab dan aktivitas mereka saat ini, lagi-lagi Yuliana
menyarankan agar penulis izin dahulu ke Kepala UPTD
PPSKW Mattiro Deceng. Untuk sekadar diketahui, para PSK
yang direhab tidak hanya berasal dari Makassar saja, tetapi
lintas kabupaten/kota di Sulsel.
Selama enam bulan, mereka dibekali keterampilan, mulai
tata boga, menjahit hingga salon kecantikan. Juga dibekali
pengetahuan agama. Hanya saja, dampak pembinaan yang
dilakukan oleh panti sosial milik Pemprov Sulsel tersebut
jauh dari harapan. Tidak memberi dampak yang cukup
siginifikan kepada warga binaan, sebab banyak diantaranya
alumni yang setelah keluar pun tetap masih kembali jadi
PSK. Bahkan, ada yang sampai berulang-ulang masuk di
panti tersebut. Lalu, apa akar persoalannya?

80 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


Bertahan Karena Ekonomi
UNTUK menemukan perempuan Pekerja Seks Komersial
(PSK) yang pernah direhab di Panti Sosial Mattirodeceng
bukanlah hal mudah. Terlebih, akses informasi melalui panti
sosial yang terletak di Jl Dg Ramang ini sangat tertutup.
Olehnya, penulis berusaha menghubungi beberapa rekan
yang punya jaringan dengan mereka yang bergelut di
bidang pendampingan PSK.
Itupun banyak yang tidak berhasil. Meskipun, sudah
diyakinkan bahwa informasi dan identitasnya tidak akan
diungkap vulgar. Mereka menolak dengan berbagai cara.
Memang, banyak PSK yang enggan membuka diri dengan
mudah.
Malam itu, Rabu 19 Agustus, dengan bantuan salah
seorang teman, penulis menemui seorang rekan yang
memang sudah puluhan tahun konsern melakukan
pendampingan PSK. Setelah mengutarakan maksud
penulis, lalu menyampaikan sedikit syarat, termasuk cara
berkomunikasi dengan mereka, setelah fiks tanpa basa-
basi, lelaki yang sudah uzur ini langsung mengajak kami
naik di mobilnya dan meluncur mencari target. Malam itu,
penulis mencari alumni Panti Sosial Mattirodeceng yang
masih kembali ke profesi sebelumnya sebagai PSK.
Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul 23.00 Wita.
Kami bertiga menyusuri Jl Veteran, lalu singgah di depan
sebuah lorong kecil dan gelap. Namun, setelah bertanya
pada beberapa lelaki yang ada di depan lorong, target yang
akan ditemui sudah tidak berada di kosnya. Ia sudah keluar
mencari pelanggan. Mereka menyebutnya sebagai “tamu”.
Lalu, kami menyusuri ruas jalan lain termasuk Jl G
Latimojong. Dari Jl G Latimojong kami belok memasuki salah
satu jalan kecil dan gelap. Tampak beberapa perempuan
dengan pakaian seksi berdiri di pinggir sepanjang lorong
tersebut, sambil mengisap sebatang rokok. Mereka
memelototi setiap yang datang lalu memberi isyarat. Kaca
mobil turun, salah satu di antaranya mengulum senyum.

10 Liputan Investigasi 81
Namun, mobil tetap melaju.
Sejumlah perempuan maupun laki-laki lalu-lalang di
lorong tersebut. Lalu, kami mencari parkir yang aman.
Selanjutnya, dua orang rekan yang membantu penulis
malam itu turun lalu menyisir ke dalam lorong-lorong
dengan berjalan kaki, termasuk ke tempat khusus mereka
menerima “tamu”. Namun, hasilnya nihil. Lalu, kami mutar
lagi ke sekitar Jl Nusantara hingga pukul 01.30 wita dini hari,
orang yang dicari pun tidak di tempat malam itu. Ya, lagi-
lagi nihil.
Keeseokan harinya, dari teman berbeda, sejumlah
nomor telepon alumni panti sosial disodorkan. Untungnya,
ada seorang di antaranya yang bersedia. Sebut saja DE. Sore
itu, pada minggu yang sama, penulis bergegas mencari
alamat yang diberikan DE.
DE tinggal tak jauh dari Jl G Latimojong, di sebuah
rumah agak mewah namun dikontrakkan sebagai kos-kosan
eksekutif. Sekitar pukul 17.00 Wita, penulis tiba di sebuah
rumah minimalis. Pagarnya tergembok. Tiba-tiba tampak
seorang perempuan agak tambun dari dalam, dengan
ramah dan bersahabat ia membuka pintu dan menyilakan
duduk di sebuah sofa di ruang tamu tersebut.
Dialah DE. Usianya sudah 38 tahun. Ia sudah tahu maksud
kedatangan penulis. Tanpa sungkan langsung mengawali
pembicaraan. Ia kena razia di kos-kosannya seorang diri
waktu April tahun 2014 lalu. Perempuan agak tambun ini
bercerita waktu dirinya direhab di panti sosial selama enam
bulan. Selama di sana, Ia dan rekan senasibnya dibekali
keterampilan. Ada tiga pilihan keterampilan; tata boga,
kecantikan, dan menjahit. Saat itu, DE memilih tata boga.
“Pagi harus maki bangun. Kalau waktunya masuk kelas,
kita masuk kelas. Kalau kerja bakti, ya kita kerja bakti. Selain
itu, yang tidak tahu mengaji diajar, yang buta huruf juga
diajar,” ujarnya santai.
Dalam satu wisma di dalam panti sosial, biasanya dihuni

82 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


15-20 orang. Untuk satu kamar ada 2-3 orang. Menurut dia,
tempatnya cukup layak. Tapi, terbilang sempit sehingga
banyak warga binaan yang kerap stress dan berusaha kabur.
“Untuk makan, tiga kali sehari. Tetapi, lauknya bedalah
kalau makan di luar. Nanti ada makanan dari luar kalau ada
yang datang besuk. Ada ji kantin di sana kalau kita mau
siram mie,” tambah DE yang sore itu mengenakan gaun
berwarna gelap.
Perempuan asal Gowa ini mengaku sepuluh hari
sebelum cukup enam bulan, ia sudah keluar. Warga binaan
panti milik Pemprov Sulsel tersebut kerap diberi potongan
masa “tahanan” jika memang dianggap berkelakuan baik.
Bahkan, lanjutnya, bagi yang dipercaya sama pekerja
sosial (pendamping) kerap diizinkan keluar sampai pagar.
Sementara, rekan lainnya yang selalu berusaha kabur hanya
boleh sampai di seputar wisma, kecuali jika jam besuk pada
Senin-Kamis.
Selama enam bulan di sana, DE sempat dikunjungi
orang tuanya, meski hanya sekali sebulan. Selain jauh, DE
juga mengkhawatirkan orang tuanya yang sudah uzur dan
sakit-sakitan. Selama dipanti, ia mengaku habis uangnya
Rp3 juta untuk membeli keperluan dan transport orang
tuanya jika ke Makassar.
“Apalagi tua mi kasihan. Waktu saya kerja memang tanya
orang tua. Dia tahu kok,” ujarnya terbata.
Lalu, Oktober 2014, DE sudah harus bebas meninggalkan
rumah yang selama enam bulan membuatnya terkurung. Ia
hanya mendapat peralatan masak-memasak, kompor gas
dan tabung. DE masih sempat pulang kampung di Gowa
setelah rehab. “Bagus yang sudah keluar baru diterima
ji keluarganya. Bahkan ada juga yang sudah dibuang,”
ungkapnya.
Hanya saja, itu tidak berlangsung lama. Hanya sekitar
empat bulan perempuan kelahiran 1977 ini kembali ke
Makassar untuk melayani pria hidung belang.

10 Liputan Investigasi 83
“Orang tua saya butuh makan, apalagi mereka sudah
tua. Sekarang bapakku sudah sakit, dia butuh obat. Kalau
saya tidak kerja, mereka mau makan apa,” ujarnya pelan.
DE banyak curhat tentang kondisi kehidupannya. Ia
adalah sulung dalam keluarga, dilahirkan dalam kondisi
yang jauh dari cukup. Memiliki tiga orang adik. Sebagai
anak tertua dalam keluarga, ia merasa bertanggung jawab
untuk membantu ekonomi keluarga. Perempuan berkulit
cokelat ini merupakan tulang punggung dalam keluarga.
Kerasnya kehidupan membuat DE harus menjerumuskan
diri ke lembah hitam. Hanya saja, ia enggan membeberkan
kapan ia mulai profesi sebagai pemuas nafsu. Saat ini,
adiknya yang bungsu masih duduk di bangku SMP, adik yang
ke-dua di SMA. Semua biaya ia yang tanggung. Sedangkan,
adik yang pertama sudah jadi guru honorer.
Ia mengaku adiknya yang pertama pernah menikah
dan cerai, dan memiliki dua orang anak. Saat ini anak yang
ditinggalkan suami adiknya, pun jadi bebannya. Sementara,
DE sendiri pernah menikah, lalu cerai dan tidak punya anak.
Namun, pada saat awal-awal menjadi PSK, ia jarang
pulang ke kampung halamannya. Hanya orangtua yang
selalu datang menjenguk, sekaligus memberi orang tuanya
uang untuk biaya hidup. Apalagi, sekarang ayahnya sudah
tiga tahun tidak berdaya.
“Saya sempat ditentang oleh adik waktu ditahu saya
bekerja begini. Lama-lama setelah saya kasih paham,
mereka akhirnya mengerti juga. Karena saya bekerja begini
juga karena mereka. Kalau orang tua sudah tahu, tapi mau
mi diapa,” curhatnya.
DE pun punya harapan dan cita-cita besar untuk hidup
yang lebih baik, berkeluarga dan bersosialisasi dengan
masyarakat luas sama seperti perempuan kebanyakan. Ia
bahkan berencana membuka usaha di kampungnya, jika
modalnya sudah terkumpul. Hanya saja, ia belum punya
modal yang cukup untuk itu hingga sekarang.

84 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


“Saya bilang ke orang di panti sosial, saya akan
sadar sendiri ji itu biar kita tidak suruhka. Mau maki juga
sadar,”lirihnya.
Baginya, jika pemerintah ingin PSK bisa hidup normal
seperti perempuan lainnya, seharusnya mereka diberi
modal usaha untuk bisa mandiri. Jika hanya sekadar kompor
dan tabung saja, ia pun juga bisa beli. Makanya, kata dia,
tidak ada alumni panti sosial yang setelah keluar langsung
sadar. Bahkan, lanjutnya, banyak rekannya yang keluar hari
ini, besoknya kembali lagi bekerja. Karena tidak ada jaminan
yang bisa diberikan pemerintah.
Olehnya, ia tidak menaruh harapan besar terhadap
pemerintah. Ia juga sudah muak dengan janji-janji Dinas
Sosial yang ingin memberinya modal tetapi tak kunjung
ada.
DE akan berusaha sendiri mengumpulkan modal untuk
usaha. Bahkan, ada “konsumennya” yang berniat melamar
DE. Dia pula yang akan membantu DE untuk memulai
usahanya, usaha warung makan di kampungnya akan
dibuka. “Mudah-mudahan Desember tahun ini jadi. Do’akan
saja. Saya juga tidak mau terus-terus begini. Saya tidak
mau mati dalam kondisi begini,” harapnya saat mengantar
penulis sampai ke depan pintu pagarnya.
Setelah berhasil ketemu dengan DE, penulis harus
mencari lagi alumni Mattiro Deceng yang sudah tidak lagi
bekerja sebagai PSK. Namun, dari info DE, belum pernah
mendengar PSK yang keluar dari panti sosial langsung
insyaf. Yang ada, kembali lagi meski harus berkali-kali.

Berhenti di Usia Tua


PENULIS mencoba mengontak rekan yang sering
berinteraksi dengan mereka dalam melakukan
pendampingan. Namun, karena kesibukannya, penulis
butuh waktu beberapa hari untuk mencari informasi lain
sambil menunggu kesediaannya.
Lalu, pada Senin 24 Agustus, penulis memilih nongkrong

10 Liputan Investigasi 85
di salah satu tempat ngopi di pinggir jalan di Jl Riburane.
Di tempat tersebut, penulis mendapat sejumlah referensi
tentang PSK yang sudah berhenti. Namun, rata-rata usianya
sudah di atas 60 tahun. Sebut saja HS, ia membuka warung
kopi tak jauh dari di Riburane. Berbeda dengan MR, ia justru
menarik becak di siang hari, sekali-kali jadi pengemis.
Jam menunjukkan pukul 00.15 Wita, rekan yang ditunggu
sudah datang. Setelah menyeruput segelas sarabba sekitar
30 menit, kami langsung bergegas berkeliling kota daeng
lalu bermuara di Jalan Nusantara. Mobil yang kami tumpangi
bertiga berhenti di sebuah warung kecil yang menyediakan
rokok, termasuk kopi. Jam sudah menunjukkan pukul 01.10
Wita.
Warung tersebut tampak sedikit kumuh, jualannya
pun bisa dihitung jari. Juga hanya ada beberapa kursi
lusuh. Lalu, terlihat seorang bocah perempuan terbaring
di samping televisi kecil. Tidur nyenyak. Tak jauh dari situ,
tampak seorang perempuan tua duduk termangu seorang
diri dengan tatapan kosong.
Badannya gemuk, mengenakan singlet warna hitam yang
dipadukan dengan legging. Di lengannya, ada bekas tattoo
yang sudah pudar. Perempuan ini, sebut saja BS, umurnya
sekitar 60 tahun. Saat masih aktif jadi PSK, ia berteman
dengan HS dan MR. Mereka dulunya berpindah-pindah
tempat mangkal, termasuk pernah mangkal di Jambatan
Bassi (Jambas). Jambas tidak jauh dari Jl Nusantara, juga
merupakan salah satu lokalisasi prostitusi dulu di Makassar.
Sebelum berhenti jadi PSK, BS ini sudah lima kali keluar
masuk Mattiro Deceng. Setelah diyakinkan oleh rekan yang
mengantar kami, BS akhirnya mulai mengobrol dengan
penulis. Hanya saja, ketika ditanya mengenai angka, ia tidak
mengingat lagi. Yang diingatnya hanya nama orang yang
ada pada masa itu.
BS mengaku jika ia berasal dari Bima, meskipun fasih
berbahasa Makassar. Alasannya, sudah lama menetap di
Makassar. Tetapi, keluarganya juga banyak yang tinggal

86 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


di Makassar. Mengawali hidup sebagai PSK sejak ia masih
belia. Namun, ia enggan bercerita penyebabnya. Bocah
berusia 8 tahun yang tertidur di warung tersebut diklaim
sebagai anaknya.
Ia bercerita, dulu waktu awal-awal masuk di Mattiro
Deceng sekitar tahun 1990-an, belum ada mesin jahit.
Yang diambil saat keluar dari Mattiro Deceng adalah
terigu, susu, dan gula. Lalu, pada saat masuk yang kedua,
ia mendapatkan alat masak-memasak seperti kompor dan
tabung gas. Selanjutnya, ketiga, membuat anyaman. Lalu,
mesin jahit berturut-turut.
Selain mesin jahit, ia juga dapat peralatan menjahit
seperti gunting, meteran juga sertifikat. Saat ini, mesin jahit
milik BS disimpan di rumah adiknya. Melalui keterampilan
yang diperolehnya saat di panti sosial, BS mengajari
adiknya mulai membuat anyaman hingga menjahit. Justru
sang adiklah yang kerap menggunakan mesin tersebut
menerima orderan.
“Kalau kompor gasku ada saya simpan di rumahnya
adekku. Banyak yang jual barangnya untuk beli rokok,
tetapi saya tidak,” ujarnya.
Ia mengaku saat dirinya masuk di panti sosial saat itu,
yang dikerja setiap hari adalah keluar potong rumput,
belajar menjahit pun tidak setiap hari. Kala itu, ia sering
makan ikan saja. Tanpa sayur. Ia menghuni panti selama
setahun. Saat dirinya selalu keluar masuk di Mattiro Deceng,
pekerja sosial di panti sosial tersebut menyarankan agar
pensiun saja jika masuk lagi keenam kalinya.
Ada hal lucu saat berbincang dengan BS. Saat penulis
bertanya, ia tiba-tiba langsung tertidur di tempat duduknya.
Raut muka BS memang tampak lelah. Ia juga seolah punya
beban begitu berat. Berselang lima menit tertidur, ia
kemudian bangun lagi menjawab pertanyaan penulis.
Setelah keluar dari Mattiro Deceng, BS perlahan mulai
keluar dari pekerjaannya meskipun belum total. Apalagi,

10 Liputan Investigasi 87
umur juga yang tidak muda lagi. Sebab, ia menjual di salah
satu toko yang tidak jauh dari tempat nongkrong teman-
temannya. Ia mengikuti ke mana saja teman-teman yang
ada di komunitasnya (PSK) berkumpul. Lalu, nyambi jualan
kopi.
Selain uang yang tersisa, modal untuk jualan kopi itu
diambilnya dari rentenir, mereka yang saat itu adalah aparat.
Jika ia meminjam Rp500 ribu, maka BS harus kembalikan
Rp1 juta. Begitu seterusnya. BS banyak bergantung pada
rentenir untuk bertahan hidup. Bahkan, BS juga sempat
membuka usaha jahit di Antang menggunakan mesin jahit
miliknya, meskipun tidak berlangsung lama.
Setelah lama-lama berpindah-pindah, BS akhirnya
membuka warung-warung kecil dan menetap di sana. Ia
sudah tiga tahun membuka usaha kecil tersebut. Selama
bekerja, ia sudah membeli sebidang tanah di kampungnya,
lalu ditanami padi.
“Waktu keluar yang terakhir, dalam hatiku tidak mauma
masuk keenam kalinya sampaiku meninggal,” ujarnya.

Menikah dan Buka Warung


SETELAH meninggalkan BS, kami keliling lagi mencari
mantan PSK yang pernah direhab di Mattiro Deceng, tetapi
masih ada di Makassar. Namun, rata-rata yang ditemui
sudah berumur 40 tahun ke atas. Jenis usahanya sama,
yakni membuka warung kecil di emperan jalan.
Jam sudah menunjukkan pukul 02.30, Selasa 25 Agustus
dini hari. Kami pun kembali melintasi ruas jalan di Jl veteran
hingga di kawasan Jl G Latimojong Makassar. Tibalah kami
di sebuah warung yang tidak jauh beda dengan milik BS.
Yang membedakan warung terakhir ini agak lebih ramai
jualannya. Pembeli pun juga banyak yang singgah meski
sudah dini hari.
Perempuan ini berusia sekitar 52 tahun. Ia masih
kelihatan enerjik. Saat mobil yang kami kendarai berhenti
di depan warungnya, ia sedang mengobrol dengan seorang

88 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


lelaki tua. Malam itu ia mengenakan legging berwarna hijau
muda sampai lutut yang dipadukan baju warna gelap.
Ia menyilakan kami masuk, lalu menawari kopi. Sebut
saja NH. Ia kelahiran Jeneponto yang sudah lama menetap
di Makassar. Waktu ia meninggalkan kampung halamannya,
umurnya masih belasan tahun. Saat awal-awal jadi PSK, ia
lebih banyak mangkal di Jambas dulu. NH ini pernah dua kali
masuk di Mattiro Deceng, pada tahun 1992 dan 1993.
Setelah keluar dari panti sosial pertama kali, ia mendapat
peralatan jahit menjahit. Saat ini, mesin tersebut hanya
tinggal menganggur di kediamannya. Namun, tidak lama
setelah keluar, NH kembali jadi PSK. Lagi-lagi persoalan
ekonomi yang menghimpit membuat ia harus bertahan
hidup dengan profesi sebagai PSK. Terlebih, ia tidak punya
pendidikan dan keterampilan.
Hanya berselang sekitar setahun, ia kembali terjaring
razia lalu masuk ke Mattiro Deceng. Sama seperti waktu
kali pertama dia menginjak panti tersebut, harus menjalani
kurungan selama setahun. “Setelah keluar yang kedua
kalinya, kami hanya dilepas begitu saja lalu pulang sendiri.
Tidak ada uang transpor juga,” ujarnya.
Setelah itu, NH kembali bekerja di Jambas dan bergaul
kembali dengan komunitasnya. Selama setahun ia di sana.
Hanya saja, dari pengakuannya, NH sudah tidak masuk
lagi di komunitas Jambas. Ia hanya tinggal nongkrong di
luarnya saja. Alasannya, sudah merasa jijik. Apalagi sejumlah
rekannya banyak yang terinveksi HIV/AIDS. Bahkan, ada
yang sudah membusuk lalu dibawa pulang ke kampung
halamannya. Kondisi itulah yang membuat kesadaran NH
mulai ada, sehingga ia mulai tidak seintens waktu ia masih
belia.
Pada akhirnya, ia memutuskan menikah dengan pujaan
hatinya. Saat itu usianya baru berkisar 30 tahun. Sejak saat
itu, NH perlahan mulai berhenti dari profesinya.
Dari tabungan dan modal dari sang suami, ia memulai

10 Liputan Investigasi 89
usaha cicilan. Usaha itu dilakoni hanya dua tahun saja.
Hubungan rumah tangganya dengan sang suami berakhir
selama sekitar 18 tahun. Ia tidak mempunyai keturunan.
Saat ini, NH membuka warung-warung kecil di pojok
jalan. Ia menjual kopi, rokok, roti hingga aneka kue lainnya.
Warung milik NH sedikit lebih ramai dengan BS. Pun tidak
sepi dari pembeli. Perbincangan kami kerap berhenti ketika
ada pembeli. Namun, selama interaksi penulis dengan NH,
ia lebih banyak diam. Menjawabnya pun seadanya, penulis
merasa terbantu dengan rekan yang sudah lama kenal baik
dengan NH.

Pembinaan PPSKW Gagal


POLA pembinaan PSK di Pusat Pelayanan Sosial Karya
Wanita (PPSKW) Mattiro Deceng tidak berefek dalam
memberikan pemulihan dan penyadaran terhadap warga
binaannya. Bahkan, hampir tidak ada perubahan signifikan
sebelum dan setelah masuk di panti sosial yang terletak
di Jl Dg Ramang tersebut. Apalagi, tidak ada jaminan
kesejahteraan bagi alumni setelah keluar. Rata-rata hari ini
keluar, besoknya mereka kembali lagi bekerja.
Ketua Kelompok Relawan Antisipasi AIDS (KRA-AIDS)
Indonesia, Zoelkifli Amin yang sejak tahun 1991 melakukan
pendampingan kepada para PSK yang ada di Makassar
mengatakan, mereka yang berhenti jadi PSK setelah keluar
sangat kecil angkanya. Jika dipresentasekan hanya sekitar
1 persen saja. Sisanya, 99 persennya kembali lagi ke profesi
awal. Olehnya, kata dia, pembinaan di Mattiro Deceng sulit
dikatakan berhasil.
Menurut dia, tempat pembinaan seperti Mattiro Deceng
seharusnya memahami dulu, apa kebutuhan saat ini dan
apa harapan mereka ke depan. Tidak sekadar mengambil
saja, lalu memasukkannya ke panti sosial. Tetapi, harus
mengadvokasi apa masalahnya dan menggali apa
harapannya setelah keluar dari sana.
Zoel sapaan akrabnya, mencontohkan, jika ada yang

90 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


bercita-cita ingin membuka usaha, lalu usianya pada saat
itu anggaplah baru 30 tahun. Nah, digalilah sampai berapa
lama dia mau kerja begitu (PSK). Kalau dia bilang sampai
umur 40 tahun, jadi ada waktu 10 tahun untuk membina
dan mengajari mereka.
Jika usahanya itu adalah warung makan, maka diajarlah
mereka sambil mengumpulkan modal. Juga diajari
bagaimana mereka menjaga kesehatan. Apalagi sudah
banyak di antaranya yang meninggal karena penyakit
kelamin.
”Memang perlu dipahami baik-baik dulu, kenapa dia
bekerja seperti itu. Sebagai manusia pasti mereka juga
punya harapan. Tanya apa harapannya. Untuk mencapai
harapan itu apa kira-kira yang mereka butuhkan. Itu harus
ditahu semua,” ujarnya.
Lelaki berambut ombak ini mengatakan, yang mereka
butuhkan adalah keterampilan, lalu modal usaha serta
kesehatan. Bukan hanya ditangkapi lalu dilepas begitu
saja, biar uang transpor juga tidak diberikan. “Bagi saya, itu
hal yang tidak manusiawi meskipun namanya dinas sosial.
Makanya, hal-hal beginilah yang harus diperbaiki oleh dinas
sosial,” kritiknya.
Sekadar diketahui LSM KRA AIDS Indonesia hanya
konsern melakukan kampanye dan penanggulangan
AIDS kepada para PSK. Zoel mencatat selama ini sudah
mendampingi hingga 3.500 orang PSK. Selain itu, yang
dilakukan adalah memberikan pelatihan, melakukan
layanan medis, memfasilitasi pendidikan kesehatannya,
serta pemberdayaan hukum jika ada yang diperlakukan
dengan tidak adil.
Zoel banyak bercerita tentang pengalamannya selama
berinteraksi PSK. Persoalannya bukan pada faktor ekonomi
saja, tetapi juga penerimaan masyarakat. Mereka yang
sudah telanjur diketahui masa lalunya sebagai PSK, akan
mendapat cibiran. Bahkan mereka diberi stigma sebagai
perempuan kotor.

10 Liputan Investigasi 91
Kondisi itu juga sebagai salah satu faktor mereka sulit
kembali ke masyarakat. Sebab, penerimaan masyarakat
yang tidak responsive. Sehingga, mereka kembali bergaul
dan hidup di komunitasnya. Terlebih, mereka yang tidak
siap dengan cibiran dan stigma masyarakat.
Lelaki yang akrab disapa “Tetta” ini mengatakan banyak
orang yang hanya bisa menilai mereka dari luar, tetapi tidak
banyak yang tahu kenapa mereka seperti itu. Banyak orang
yang tidak tahu pada saat mereka susah, pada saat mereka
mau makan, orang hanya menilai mereka ini adalah pekerja
seks.
Pernah suatu ketika, lanjutnya, ada dua orang PSK yang
berebutan pelanggan, lalu germo mereka berteriak ke salah
satunya, “Kasihmi temanmu. Laparki itu, dari tadi dia belum
makan.” Akhirnya mengalahlah salah satunya. Setelah
melayani tamu, si PSK ini langsung keluar makan bakso.
“Jadi mereka bukan lagi cari makan untuk besok tetapi
untuk sekarang, dan orang tidak tahu itu,” ujar Zoel dengan
ekspresi penuh keprihatinan.
Begitupun juga ketika mereka membuka usaha kue,
orang yang mengetahui masa lalunya pasti tidak akan
belanja di tempatnya. “Jadi, juga tidak disiapkan tempat
yang nyaman setelah direhab. Mereka terancam terus
usahanya, ada hambatan-hambatan yang dialami terutama
dalam lingkungan sosialnya,” jelasnya.
Karena tidak disiapkannya tempat yang nyaman
bagi mereka, makanya mereka selalu mau kembali ke
komunitasnya. Bahkan, ketika mereka yang sudah berumur
dan membuka usaha kecil-kecilan tempatnya tidak jauh dari
komunitasnya. Kenapa? karena mereka hanya diterima di
komunitasnya. Mereka tidak dihargai di masyarakat umum.
“Banyak sekali cerita yang menguras air mata karena
saya lihat langsung kehidupan sehari-harinya. Saya hanya
bisa mengajak mereka menjaga kesehatan, memfasilitasi
kondom. Pesanku sama mereka, jaga kesehatanmu, kalau
kalian sudah kena HIV maka sudah tidak ada lagi harapan

92 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


hidup,” cerita Zoel.

Tidak Ada Bantuan Modal Usaha


SALAH seorang pekerja sosial (peksos) di Mattiro Deceng,
Sakinah mengatakan sebagai peksos, pihaknya hanya
berusaha bagaimana mereka tidak kembali lagi ke jalan
yang salah. Ia menyadari, para PSK juga manusia yang
punya banyak kebutuhan. Sehingga, tidak ada yang bisa
disalahkan jika mereka kembali lagi setelah direhab.
Alasannya, lagi-lagi karena faktor ekonomi. Menurut dia,
alasan yang paling sering mereka dengar adalah mereka
butuh makan, keluarganya butuh makan, dan butuh biaya
pendidikan. Maklum, anggaran subsidi dari pemerintah
tidak menanggung semua kebutuhan anak binaannya.
Sakinah menjelaskan, setelah keluar dari Mattiro Deceng,
bagi yang memilih belajar tata boga, mereka dapat kompor
dengan tabung. Untuk yang belajar kecantikan, mereka
dapat alat tata rias, dan yang penjahitan dapat mesin
jahit. Bahkan Mattiro Deceng masih dibawah naungan
Kementerian Sosial, ada yang sampai membatik. Namun,
setelah dibawahi Pemprov Sulsel, semuanya berkurang.
Jumlah warga binaan hingga minggu pertama Agustus
2015, ada sekitar 52 orang. Sebelumnya mencapai 80 orang.
Tetapi, jika sudah cukup enam bulan, mereka dikembalikan
ke keluarga. Umur yang paling muda adalah 17 tahun,
sedangkan yang tertua 60 tahun.
Data yang diperoleh, anggaran pelayanan sosial pada
PPSKW Mattiro Deceng Makassar, nilainya Rp619 juta lebih.
Itu anggaran 2014 lalu. Rinciannya, belanja pegawai Rp27,9
juta, selebihnya Rp591,7 juta.
KepalaTU PPSKW Mattiro Deceng,Yuliana menambahkan,
daya tampung panti sosial tersebut adalah 100 orang
pertahun. Namun, masa rehab hanya sampai enam bulan
saja. Ia menyadari banyak yang kembali setelah keluar dari
Mattiro Deceng karena tuntutan ekonomi. Bahkan, kata dia,
ada yang sampai berkali-kali masuk. Namun, tetap mereka

10 Liputan Investigasi 93
dikontrol oleh pendampingnya setelah keluar.
“Karena kita tidak ada hak untuk melarang-larang
mereka setelah keluar dari sini. Ada yang sudah keluar baru
masuk lagi, karena kita juga tidak bisa pantau terus menerus
mereka setelah keluar,” tambahnya.
Terkait upaya pemberian modal, perempuan asal Bone
ini mengaku masih sulit dilakukan. Alasannya sama, tidak
ada anggaran.
Kepala Dinsos Sulsel, Ilham Andi Gazaling menambahkan,
anggaran untuk pembinaan di Mattiro Deceng tidak banyak.
Hanya untuk makan dan minum warga binaan dan pegawai
di sana selama setahun.
Terkait banyaknya yang kembali ke profesi lama, Ilham
mengaku pihaknya sudah berupaya melakukan pembinaan
dari berbagai bentuk. Termasuk melakukan perubahan
mental. Setelah dibina, lalu mereka dikembalikan ke orang
tua atau keluarga masing-masing.
“Kalau modal usaha memang tidak disiapkan, tetapi kita
bisa memfasilitasi kalau ada yang mau bantu,” jelasnya.

94 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


10 Liputan Investigasi 95
Hasanuddin, Pepenk, panggilan akrabnya,
lahir di Makassar 6 Oktober 1986. Saat ini
bekerja sebagai reporter di media online
pojoksulsel.com.
PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL
(10 Liputan Investigasi) 97

Eksploitasi Perempuan di Ruang Publik


Dari Gambar Nyeleneh
hingga Kalimat Vulgar
Hasanuddin

E KSPRESI di ruang publik kian beragam. Dari


pertunjukan hingga pameran kata dan gambar.
Seperti halnya seni kata dan gambar yang terpasang
di kendaraan, seperti mobil, motor, hingga becak motor.
Di Makassar, pertunjuan “seni” jalanan kian marak.
Bukan cerita dan hal baru, parade kata-kata dan gambar
menggelitik terpampang di depan mata. Eksploitasi kata
dan gambar beragam seolah menjadi hal yang lumrah.
Parade kata dan gambar di bagian belakang truk akan
membuat kita mengernyitkan dahi. Unik, aneh, atau juga
terkadang menyentuh perasan. Itulah pesan beragam dari
parade kata dan gambar tersebut.
Mungkin saja, tulisan atau gambar tersebut mewakili
perasaan sesungguhnya. Bisa juga hanya iseng semata
demi menghibur pengendara di belakangnya.
Jika sudah begitu, tentu respons publik akan bermacam-
macam. Ada yang tersentil, tersinggung, atau bahkan
menganggapnya candaan belaka. Maklum, para pelakunya
telah menjadikan jalanan sebagai ruang publik sebagai
panggung eksploitasi.
Jika dicermati secara saksama, stiker dan tulisan-tulisan
tersebut sangat memiriskan. Tulisan-tulisan tersebut
cenderung mengeksploitasi kaum perempuan. Bagaimana
tidak, lekukan tubuh perempuan tanpa busana dijadikan
model dalam stiker atau gambar di bak truk atau pelindung
lumpur di belakang ban.

Ikut Tren
WAHYUDI, desainer SBR stiker dan digital printing di Jalan
Tinumbu Makassar, misalnya. Dia mengatakan, pihaknya
memproduksi stiker secara masif. Baik diorder langsung dan
untuk keperluan pajangan.
Dari mana idenya, dia dengan gamblangnya menyebut,
“Mengikuti tren istilah di masyarakat.”
Adapun kata-kata yang diproduksi, salah satunya “Tetek
Bobok” yang menampilkan ilustrasi perempuan telanjang.
Bagi dia, tidak ada urusan dengan dampak dari gambar yang
produksinya. “Bagi saya, yang penting omzet,” ucapnya.
Saat ditanya kenapa tidak memproduksi kata-kata atau
istilah yang lebih sopan. Misalnya, “dilarang membuang
sampah sembarangan” atau lainnya, dia mengaku boleh-
boleh saja.
“Kalau ada pesanan, pasti saya buat. Tapi kalau berdasar
tren di pasaran, yang begitu kurang peminatnya. Saya bisa
rugi,” katanya.
Andi Loko, penjual stiker eceran di Jalan Abd Dg Sirua,
Kecamatan Panakukkang (depan SMA Wahyu Makassar)
juga mengungkapkan demikian. Disamping sebagai penjual
stiker, pria tersebut juga terkadang membuat desain stiker
bergambar dan bertulis seperti contoh “Lihat Jalan, Jangan
Lihat Celana Dalam”.

98 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


Andi Loko berdalih, tulisan dengan kalimat nyeleneh saat
ini lagi tren. “Banyak peminat. Tentunya, akan menambah
pundi-pundi saya,” ujar mahasiswa salah satu perguruan
tinggi swasta ini.
“Tidak laku kalau stiker biasa. Orang cenderung mau
yang unik, dan seperti ini (porno),” tambahnya sembari
menunjukkan stiker berisikan tulisan nyeleneh.
Dalam memilih lokasi penjualan, Andi Loko juga tidak
ambil pusing. Saat ini, misalnya, ia menjual stiker cenderung
nyeleneh di dekat sekolah. Pilihan lokasi itu, imbuhnya,
bukan tanpa alasan. Selain karena usernya banyak pelajar,
dia juga mengaku menguping berbagai istilah tren dari
pelajar. “Saya hanya mengikuti pasaran dan bisnis,” kilahnya.
Ya, itulah sedikit gambaran perilaku pelaku pasar
parade gambar dan tulisan yang banyak mengeksploitasi
perempuan di ruang publik. Apapun tanggapan kita, itulah
realitas yang ada di berbagai pelosok Makassar saat ini.

Pengaruhi Perilaku Anak


FENOMENA tulisan dan gambar vulgar di sejumlah
kendaraan, mendapat tanggapan pemerhati anak. Ketua
Lembaga Studi Advokasi Media dan Anak (Lisan) Rusdin
Tompo mengatakan, tulisan, stiker, grafiti, poster atau media
luar ruang, tanpa sadar memberikan paparan terhadap
anak.
Menurut dia, paparan itu akan mempengaruhi sikap
perilaku, cara pandang, dan nilai bagi anak yang melihatnya.
Karena itu, kendati ada yang berdalih itu sebagai pesan
moral, Rusdin mengatakan bahwa hal seperti itu hendaknya
dihindari.
“Tulisan atau gambar yang mengeksploitasi perempuan
akan membuat penghargaan terhadap perempuan menjadi
jatuh. Anak-anak yang terbiasa melihat yang begitu,
cenderung akan kurang menghargai perempuan,” ucap
mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID)
Sulsel itu.

10 Liputan Investigasi 99
Jika hal itu terus dibiarkan, katanya, pemerintah sama
saja melanggengkan bentuk ketidakadilan gender. Dan
pada akhirnya akan berdampak pada norma yang dianggap
sangat berbahaya. Di mana secara perlahan memupuk cara
berpikir anak. “Ujungnya berdampak buruk pada perilaku
moral anak,” ujarnya.
Dia lantas menyarankan pemerintah untuk membuka
ruang khusus bagi mereka yang hobi grafiti. Sehingga,
kreativitas warga tetap tersalur. “Sebaiknya ada regulasi yang
melarang gambar-gambar vulgar dipasang di kendaraan.
Untuk menyalurkannya, bisa disiapkan ruang atau media
khusus,” sarannya.
Dikonfirmasi terpisah, Psikolog Tristiana Amelia
mengatakan, gambar dan tulisan vulgar di truk dan
kendaraan lainnya menjadi simbol merendahkan
perempuan. Truk-truk juga diidentikkan dengan simbol
laki-laki yang tampil maco, hebat, jalannya kencang dan
sebagainya.
Menurut Tria, demikian psikolog Unhas itu akrab disapa,
tampilan vulgar bernuansa pornografi akan mempengaruhi
perkembangan anak usia dini. “Setelah melihat tayangan
pornografi, biasanya yang bersangkutan mencari cara
melampiaskan dorongan seksnya,” katanya.
Nah, anak usia dini adalah individu yang sangat
rentan terhadap pelecehan seksual. Apalagi di Indonesia
pendidikan seks untuk anak masih dianggap tabu.
“Akibatnya, anak sering menjadi korban pelampiasan
seks oleh orang di sekitarnya. Selain karena mudah
dimanfaatkan, anak juga tidak tahu bahwa organ vital
seharusnya tidak boleh ditunjukkan pada orang lain,”
jelasnya.
Lebih berbahaya lagi kalau sudah tertanam dalam otak
maka untuk menghapusnya akan sangat sulit. “Kenapa?
Karena seks merupakan kebutuhan dasar manusia. Anak
yang sudah menemukan kenikmatan seks sebelum

100 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


waktunya dan tertanam secara mendalam dalam pikirannya,
akan sulit dihilangkan,” ujar Tria.
Menurut Tria, anak usia dini adalah peniru ulung. Apa
yang dia lihat dan apa yang dia dengar dari orang dewasa
dan lingkungannya, akan ditiru.
“Anak kan belum tahu mana yang benar atau mana yang
salah. Mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Yang
mereka tahu, orang dewasa adalah model atau sumber
yang paling baik untuk ditiru. Bisa dibayangkan kalau isi
tayangan TV, adegan porno di internet, HP, kelakuan orang-
orang di tempat umum yang tidak bermoral, ditiru mentah-
mentah oleh anak,” jelasnya.

Dari Pesan Moral hingga Iseng Belaka


“Indahnya Bercinta, Sakitnya Aborsi” tampak jelas terpasang
di belakang truk Makassar-Palu-Manado. Truk itu penulis
temui di kompleks ruko dan pergudangan Jalan Cakalang.
Pemiliknya bernama Yusrandi Umar alias Baron.
Pagi menjelang siang. Angin sepoi-sepoi menampar
muka saat penulis tiba di Jl Cakalang. Belasan mobil truk
terparkir berderet di bahu jalan.
Baron, salah satu sopir, sedang merebahkan diri.
Saat penulis menemuinya, lelaki berambut cepak itu
langsung bangkit. Tanpa banyak tanya, dia meladeni setiap
pertanyaan yang penulis ajukan.
“Itu pengalaman pribadi. Tapi, tidak perlu saya ceritakan
kisahnya,” katanya saat penulis menyinggung tulisan di
bagian belakang truknya.
Kata Barong, stiker itu sekaligus pesan moral bagi
kaum perempuan untuk tidak terlena cinta. Dia ingin agar
perempuan lebih hati-hati dalam bergaul agar tidak terjadi
seperti tulisan di stiker itu.
Dari pengalamannya di jalan, lanjut Baron, mayoritas
meresponnya dengan tersenyum. Tapi, ada juga yang tidak
senang.

10 Liputan Investigasi 101


“Ada yang bisa-biasa saja. Ada yang senang, dan bahkan
ada juga yang marah sama saya. Tapi tidak saya ladeni.
Biarkan saja,” tuturnya.
Yang jelas, sebut dia, dirinya ingin agar kasus serupa
tidak lagi dialami generasi masa kini. “Saya mau kasih lihat
ABG nakal bahwa begitumi itu aborsi,” ucapnya lirih.
Tak jauh dari tempat truk milik Baron, penulis menemui
Yoss. Lelaki asal NTT itu memasang tulisan “Atas Bawah OK”
di bagian belakang motornya. Stiker ini juga memamerkan
lekukan tubuh perempuan.
Saat ditanya, ayah tiga anak ini berdalih hanya sebagai
hiasan semata. Namun, dia mengaku keisengannya itu
kerap mendapat cibiran dari anak perempuannya.
“Murni hiasan, tidak ada motivasi lain. Tapi karena anak
saya marah lihat ini stiker, mungkin dalam waktu dekat saya
akan cabut,” kata pria yang sehari-hari berprofesi sebagai
pengawas di pelabuhan Soekarno-Hatta ini.
Penulis juga kerap menjumpai tulisan vulgar sejenis di
angkot atau bentor.

102 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


10 Liputan Investigasi 103
PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL
(10 Liputan Investigasi) 105

POTRET PEMBERITAAN ISU


PEREMPUAN DI MAKASSAR

A LIANSI Jurnalis Indepen (AJI) Makassar


bekerjasama dengan Development and Peace
(DnP) kembali membuat analisis media terhadap
5 koran harian di Makassar. 5 Koran ini yakni Harian Fajar,
Harian Tribun Timur, Harian Rakyat Sulsel, Harian Ujung
Pandang Express, dan Harian Berian Kota Makassar.
Sampel 5 Harian ini dianggap cukup lantaran mewakili
segmen pembahasan dan pasar. Karena kelimanya, punya
segmen bahasan yang berbeda-beda.
Harian Tribun Timur dan Harian Fajar cenderung punya
bahasan yang sama, yakni news secara umum. Mereka
mengangkat berita-berita yang informatif, baru dan aktual
tanpa mengklasifikasikan bidang yang dominan dalam
pemberitaannya.
Sedangkan Harian Rakyat Sulsel adalah harian yang
fokus mengangkat berita-berita politik. Koran ini memang
menasbihkan diri sebagai koran politik di Sulsel. Karena itu,
dalam headline nya, berita yang diutamakan adalah berita
politik di Sulsel.
Harian Ujungpandang Ekspres lain lagi. Harian ini
memang harian ekonomi. Isinya banyak membahas ekonomi
dan bisnis. Sementara Harian Berita Kota didominasi berita-
berita kriminal dan kebijakan kota.
Juli 2015

Tabel 1
Gambaran Pemberitaan Isu Perempuan Juli 2015

Pada bulan Juli 2015, pemberitaan secara keseluruhan


5 media yang diamati banyak membahas kriminal dan
politik. Politik cukup mendapat tempat karena momentum
jelang Pilkada Serentak di 11 Kabupaten di Sulsel yang
digelar 5 Desember 2015. Koran harian berlomba-
lomba memberitakan kontalasi dan strategi calon untuk
memenangkan pertarungan di Pilkada.
Namun untuk isu perempuan, banyak pada kasus-kasus
kriminal. Dari 109 pemberitaan tentang perempuan, ada 42
berita atau 38,5 persen berita yang terkait dengan tindak
pidana kriminal. Pemberitaan perempuan didominasi
karena menjadi korban, meski ada pula pelaku.

106 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


Namun 5 koran yang ada, Harian Berita Kota Makassar
yang mendominasi isu perempuan dalam berita kriminal.
Ada 19 atau 45,2 persen berita kriminal, dimana perempuan
terlibat. Menyusul Tribun Timur dengan 12 atau 28,5 persen,
dan Fajar 8 atau 19,04 persen. Sementara lebihnya Harian
Rakyat Sulsel 2 berita atau 4,7 persen dan Ujung Pandang
Expres 1 berita atau 2,4 persen.
Selain kriminal, berita-berita perempuan juga
mendominasi pada berita tentang karier. Pada berita karier,
bukan hanya perempuan asal Sulsel tapi juga banyak
menampilkan artis ibukota. Selain itu, berita karir juga
berupa berita dan wawancara khusus politisi perempuan
atau pengusaha.
Ada 19 berita atau 17,4 persen sepanjang bulan Juli
karir. Harian Fajar dan Tribun Timur member porsi yang
sama yakni 6 berita atau 31,5 persen. Lalu menyusul Ujung
Pandang Express dengan 4 berita atau 21 persen, Harian
Rakyat Sulsel 2 atau 10,5 persen, dan Harian Berita Kota
Makassar, 1 berita atau 5,28 persen.
Porsi yang lain adalah berita politik yang menempati
urutan ketiga. Ada 15 brerita perempuan dan politik dalam
5 harian di Sulsel. Tertinggi adalah koran Tribun-Timur
dengan 5 berita atau 33,3 persen. Lalu ada Harian Rakyat
Sulsel dan Harian Fajar dengan masing-masing 4 berita
atau 26,6 persen. Harian Berita Kota Makassar dan Ujung
Pandang Express dengan masing-masing 1 atau 6,6 persen
untuk berita perempuan dan politik.
Cukup tingginya berita politik dan perempuan di 5
koran ini tidak terlepas dari majunya 2 perempuan untuk
bertarung di Pilkada serentak, yakni Tenri Olle Yasin Limpo
di Kabupaten Gowa dan Indah Pratiwi di Luwu Utara.
Selanjutnya adalah mengenai perempuan dan
kesehatan. Didominasi oleh berita kesehatan reproduksi
dan kandungan. Berita tentang kesehatan dan perempuan
cukup tinggi yakni 13 berita atau 11,9 persen. Harian Tribun
Timur mendominasi dengan jumlah 8 berita 38,4 persen.

10 Liputan Investigasi 107


Lalu menyusul harian Fajar 4 berita, dan Harian Ujung
Pandang Express 1 berita. Sedangkan Berita Kota Makassar
dan Harian Rakyat Sulsel tidak ada sama sekali.
Berita yang lain yang ikut dibahas adalah wanita di ranah
hiburan. Ada 11 atau 10,1 persen berita tentang hal itu. Jenis
berita ini lebih menyorot keseharian perempuan asal Sulsel
yang menjadi artis di ibukota. Khususnya perempuan yang
mengikuti lomba dan konestasi bernyanyi.
Harian Tribur Timur menempati posisi tertinggi dengan
4 berita atau 36,3 persen, lalu Harian Fajar 3 berita atau 27,2
persen, Berita Kota Makassar 2 berita atau 18,18 persen,
Ujung Pandang Ekxpress 1 berita dan Rakyat Sulsel 1 berita
atau 9,1 persen.
Di bulan Juli, isu kekerasan dalam rumah tangga muncul
sebanyak 5 kali atau 4,6 persen hanya di 3 harian, yakni di
Berita Kota Makassar 2 kali atau 40 persen, Harian Tribun
Timur 2 kali atau 40 persen dan Fajar 1 kali atau 20 persen.
Yang paling sedikit adalah perempuan dan aktivitas
ormas, yang hanya muncul 4 kali atau 3,6 persen yakni di
Harian Tribun Timur 2 kali atau 50 persen, Harian Berita Kota
Makassar 1 kali, dan Harian Ujung Pandang Express 1 kali
atau masing-masing 25 persen.

Harian Fajar

Tabel 2
Potret Isu Perempuan di Harian Fajar

108 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


Harian Tribun Timur

Tabel 3
Potret Isu Perempuan di Tribun Timur

Harian Berita Kota Makassar

Tabel 4
Potret Isu Perempuan di Berita Kota Makassar

10 Liputan Investigasi 109


Harian Rakyat Sulsel

Tabel 5
Potret Isu Perempuan di Rakyat Sulsel

Harian Ujungpandang Ekspres

Tabel 6
Potret Isu Perempuan di Ujungpandang Ekspres

110 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


Agustus 2015

Tabel 7
Gambaran Pemberitaan Isu Perempuan Agustus 2015

SELAMA Agustus 2015, trend pemberitaan isu perempuan


di media cetak Makassar didominasi isu tentang kriminal
atau perempuan yang terlibat dalam tindak pidana
dan kriminalitas. Intensitas penerbitan berita terkait
kriminalitas yang melibatkan perempuan sebanyak 35 kali
atau 35,7 persen dari total pemberitaan isu perempuan
yang mencapai 98 berita.
Menariknya lima dari tiga surat kabar yang disurvei
itu juga memberitakan isu kriminalitas yang melibatkan
perempuan lebih banyak dibanding isu perempuan lainnya.
Ketiga surat kabar itu adalah Harian Fajar, Tribun Timur, dan
Berita Kota Makassar.
Harian Fajar menerbitkan tujuh kali atau 29,1 persen dari
total 24 berita tentang perempuan selama Agustus 2015.
Selanjutnya Tribun Timur menayangkan berita tentang
perempuan yang terlibat aksi pidana atau kriminalitas
sebanyak 15 kali atau 37,5 persen dari total 40 berita tentang
perempuan. Kemudian Berita Kota Makassar menerbitkan

10 Liputan Investigasi 111


isu kriminalitas yang melibatkan perempuan sebanyak 10
kali atau 47,6 persen dari total pemberitaan tentang isu
perempuan yang mencapai 21 berita.
Dua koran lainnya; Harian Rakyat Sulsel dan
Ujungpandang Ekspres tidak terlalu sreg dengan
isu kriminalitas atau tindak pidana yang melibatkan
perempuan. Rakyat Sulsel selama Agustus hanya dua kali
atau 25 persen memberitakan isu perempuan yang terlibat
tindak kriminalitas. Sedangkan Ujungpandang Ekspres
hanya sekali atau 20 persen memberitakan isu perempuan
terlibat aksi kriminalitas.
Isu trend kedua adalah wanita karier. Jumlah pemberitaan
tentang karier perempuan selama Agustus mencapai 15
berita atau 15,3 persen. Harian Fajar dan Tribun Timur cukup
memberi porsi yang besar dalam memberikan perempuan-
perempuan berkarier atau perempuan berprestasi yakni
enam berita atau 25 persen untuk Harian Fajar dan 17,5
untuk Harian Tribun Timur Makassar.
Berita Kota Makassar menerbitkan empat berita terkait
wanita karier (19,04 persen) selama Agustus 2015. Dua
koran lainnya; Rakyat Sulsel, dan Ujungpandang Ekspres
memberikan frekuensi yang sama dalam memberitakan
perempuan karier masing-masing dua penerbitan. Jika
dipersentasekan akan menjadi 25 persen bagi Harian Rakyat
Sulsel, dan 40 persen untuk Harian Ujungpandang Ekspres.
Persoalan kesehatan perempuan juga mendapat porsi
yang cukup dalam pemberitaan di media massa (surat
kabar) di Makassar. Isu kesehatan perempuan ditayangkan
sebanyak 14 tulisan atau 14,2 persen. Menariknya, hanya dua
koran yang agak care terhadap isu kesehatan perempuan.
Kedua koran itu adalah Harian Tribun Timur dengan
jumlah berita 10 kali atau 25 persen dan Harian Fajar empat
berita atau 16,6 persen. Tiga surat kabar lainnya: Berita Kota
Makassar, Ujungpandang Ekspres, dan Rakyat Sulsel sama
sekali tidak pernah menerbitkan isu kesehatan perempuan
selama Agustus 2015.

112 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


Aktivitas perempuan di panggung politik juga mendapat
perhatian yang cukup. Selama Agustus 2015, pemberitaan
tentang perempuan di pentas politik mencapai 11 berita
atau 11,22 persen. Tribun Timur menerbitkan empat berita
(10 persen), Berita Kota Makassar tiga berita (14,2 persen),
dan Rakyat Sulsel tiga berita (37,5 persen).
Yang kurang memberi tempat tentang isu perempuan
di panggung politik adalah Harian Fajar. Koran ini hanya
menerbitkan satu kali (4,1 persen) berita tentang aktivitas
perempuan di panggung politik. Sementara Ujungpandang
Ekspres sama sekali tidak pernah menayangkan isu ini
sepanjang Agustus 2015.
Perempuan yang aktif dalam kegiatan organisasi massa
juga cukup mendapat tempat bagi media massa cetak di
Makassar. Buktinya, selama Agustus 2015, pemberitaan
tentang aktivitas perempuan dalam ormas mencapai 11
berita (11,22 persen). Perhelatan Muktamar Aisyiyah di
Makassar boleh jadi menjadi salah satu penyebab tingginya
isu ini dalam pemberitaan koran di Makassar.
Berita Kota Makassar yang paling banyak memberitakan
aktivitas perempuan di organisasi massa (ormas) yakni
empat berita (19 persen). Selanjutnya Harian Tribun Timur
menerbitkan tiga berita atau 7,5 persen) dan Harian
Fajar empat berita (16,66 persen). Koran Rakyat Sulsel
juga menerbitkan isu aktivitas perempuan dalam ormas
sebanyak satu kali (12,5 persen). Begitu juga Ujungpandang
Ekspres hanya satu kali pemberitaan (20 persen).
Bagaimana dengan isu kekerasan dalam rumah tangga?
Rupanya isu KdRT tidak terlalu tercover dalam pemberitaan
media massa di Makassar selama Agustus 2015. Dari lima
surat kabar yang disurvei, hanya satu kali ada pemberitaan
(1,02 persen) tentang kekerasan dalam rumah tangga. Isu
ini hanya pernah diterbitkan Harian Ujungpandang Ekspres
(20 persen) dibanding isu perempuan lainnya.

10 Liputan Investigasi 113


Harian Fajar

Tabel 8
Potret Isu Perempuan di Harian Fajar

Harian Tribun Timur

Tabel 9
Potret Isu Perempuan di Tribun Timur

114 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


Harian Berita Kota Makassar

Tabel 10
Potret Isu Perempuan di Berita Kota Makassar

Harian Rakyat Sulsel

Tabel 11
Potret Isu Perempuan di Rakyat Sulsel

10 Liputan Investigasi 115


Harian Ujungpandang Ekspres

Tabel 12
Potret Isu Perempuan di Ujungpandang Ekspres

116 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL


10 Liputan Investigasi 117
118 PROBLEMATIKA PEREMPUAN SULSEL

Anda mungkin juga menyukai