Anda di halaman 1dari 3

MENGIKIS BUDAYA PATRIARKI DI DESA

Hayooo… perempuan Mandiraja terutama yang masih gadis mana nih suaranya? Kumpul
yuk.. kita bicarakan baik-baik mengenai masalah-masalah yang sering kita hadapi bersama di
lingkungan masyarakat kita yang tercinta. Atau jangan-jangan kamu sendiri merupakan bagian
dari mereka yang melestarikan budaya patriarki ini? Mari kita bicarakan bersama. Tapi
sebelumnya izinkan saya untuk sedikit bercerita. Opps.. semoga tidak ada laki-laki yang
membaca ini wkwk.

Saya hanyalah satu diantara banyaknya perempuan yang lahir dan hidup di desa. Sejak
kecil, entah ibu, nenek, atau bibi bahkan tetangga saya selalu menyuruh saya dan anak-anak
perempuan mereka untuk membersihkan rumah setiap hari. Tidak hanya itu, nenek saya selalu
mewanti-wanti saya agar belajar memasak dari kecil. Sayangnya, saya adalah jenis manusia yang
sangat pemilih dalam makanan, tidak semua makanan bisa saya makan hehe. Anehnya, mereka
hanya menyuruh saya saja, tidak pada kakak atau pun adik saya yang kebetulan adalah laki-laki.
Ketika saya bertanya kepada mereka, jawaban yang saya dapatkan adalah, “karena kamu
perempuan, sudah seharusnya perempuan bisa mengerjakan tugas-tugas rumah tangga.” Sampai
disini apakah kamu pernah merasakan hal yang sama?

Hidup di desa juga memberikan pemandangan yang dianggap luar biasa dan sebuah
kehebatan ketika laki-laki bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti menyapu, mencuci
piring, mencuci baju, memomong anak, dan lain-lain. Sedangkan jika perempuan yang
mengerjakannya hanya dianggap sebagai hal yang “biasa”. Padahal sama-sama bisa menyapu
dan mencuci, lalu apa perbedaannya? Sejenak ini juga menjadi pertanyaan saya. Apakah kamu
juga mempertanyakan hal yang sama, wahai perempuan desa?

Satu lagi, orang-orang desa akan menganggap aneh pada perempuan yang memilih jalan
sebagai wanita karier. Jika mendapati seorang istri memiliki „jabatan‟ yang lebih tinggi dari
suami bukannya mendapat pujian si perempuan cenderung mendapat cacian. Selain dalam karier,
mayoritas masyarakat desa enggan menyekolahkan anak perempuan mereka ke jenjang
perguruan tinggi. “Percuma perempuan sekolah tinggi-tinggi ujung-ujungnya juga di dapur,”
kata tetangga saya. Oleh karena beranggapan seperti itu, mereka cenderung memberikan fasilitas
pendidikan tinggi pada anak laki-laki mereka saja, supaya masa depannya jelas. Kenyataan ini
sangat mengganggu saya. Bukankah sebagai perempuan, kamu dan saya, juga diciptakan dengan
potensi yang sama?

Apakah ada akar dari masalah ini? Tentu saja ada…

Mari kita sama-sama belajar..


Akar dari semua ini adalah karena masih kuatnya budaya patriarki yang ada di desa
(kita). Ideologi patriarkisme pun masih melanda sebagian besar masyarakat di belahan dunia,
termasuk Indonesia. Adapun pengertian dari ideologi patriarkisme sendiri adalah sebuah gagasan
ideologis yang mempercayai laki-laki sebagai makhkuk superior, menguasai dan mendefinisikan
struktur sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik dengan perspektif laki-laki. (Hearty, 2015).
Kajian mengenai budaya patriarki tidak akan lepas dari adanya para feminis yang berjuang demi
terwujudnya kesetaraan gender. Kesetaraan gender bukan berarti kita melawan laki-laki. Akan
tetapi inilah cara kita membebaskan diri sebagai manusia merdeka, baik dalam berpikir maupun
bertindak. Seharusnya kita bisa memilih apa yang akan kita lakukan di masa depan, tidak hanya
berpasrah pada keadaan saja. Apalagi jika keadaan tersebut adalah karena kita „perempuan‟.

Masalah utama yang dihadapi adalah karena adanya bias terhadap penafsiran dari arti
gender yang sebenarnya. Bahkan, sekaliber KBBI masih kurang tepat, untuk tidak mengatakan
salah, dalam mengartikan gender sebagai „jenis kelamin‟. Itulah mengapa banyak orang yang
menyamakan antara seks dan gender yang menurut mereka memiliki arti yang sama yaitu jenis
kelamin. Padahal ada perbedaan yang sangat menonjol diantara keduanya. Seks adalah kodrat,
sedangkan gender adalah hasil dari konstruksi dan kesepakatan masyarakat.

Dr. Dra. Alifiulahtin Utaminigsih, MSi. dalam bukunya yang berjudul "Gender dan
Wanita Karir" menjelaskan bahwa seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasikan
perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis. Dalam hal ini bisa dikatakan
bahwasanya seks merujuk kepada perbedaan perempuan dan laki-laki dalam hal jenis kelamin,
alat reproduksi, hormon, dan ciri-ciri fisik lainnya. Sedangkan gender berbeda dengan
karakteristik laki-laki dan perempuan dalam arti biologis. Pemaknaan gender mengacu pada
perbedaan laki-laki dan perempuan dalam segi peran, perilaku, kegiatan serta atribut yang
dikonstruksikan secara sosial (Utaminingsih, 2017).

Sampai di sini bisa diambil kesimpulan bahwasanya menyapu, mencuci, memasak, dan
pekerjaan rumah tangga lainnya serta bekerja merupakan bagian dari gender, bukan seks.
Kesepakatan masyarakat selama ini menyatakan bahwa pekerjaan rumah tangga adalah bagian
dari perempuan sedangkan bekerja di luar adalah kewajiban bagi laki-laki. Tentu kamu sebagai
perempuan akan tetap ada yang tidak sependapat. Kamu salah sangka jika mengira tujuan saya
menulis ini adalah untuk membalikan keadaan dimana laki-laki yang seharusnya menyapu dan
kita yang bekerja. Sama sekali tidak. Agar di masa mendatang ketika ada pertanyaan, “kenapa
saya harus bisa mencuci, menyapu, memasak?” didapatkan jawaban, “Karena kamu manusia.
Kamu harus menguasai bagaimana cara bertahan hidup agar bisa hidup mandiri dan tidak
menyusahkan orang lain.” Tentu saja jawaban seperti ini berlaku untuk laki-laki maupun
perempuan. Sekian…

Anda mungkin juga menyukai