Anda di halaman 1dari 37

KELAS C

Kelompok 7
Vidya S 145060501111043
Firdha L 155060501111047
Alfiah Z 165060507111010
Diana S 165060501111013
REGIONALISME DAN
Salsabila TR 165060501111035
VERNAKULAR BARU SERTA
EKSPLORASI DESAIN AMI
Sejarah dan Teori Arsitektur II
Hubungan Vernakular danVernakular Baru

Vernakular Baru
Arsitektur
Arsitektur Arsitektur
Vernakular
Tradisional Vernakular
Baru

Regionalisme

Pengertian Arsitektur Vernakular

Menurut Yulianto Sumalyo


(1993), vernakular adalah bahasa
setempat, dalam arsitektur istilah ini
untuk menyebut bentuk-bentuk yang
menerapkan unsur-unsur budaya,
lingkungan termasuk iklim setempat,
diungkapkan dalam bentuk disik
arsitektural (tata letak denah,
struktur, detail-detail bagian,
ornamen, dll).
Sementara definisi arsitektur Vernakular menurut Paul Oliver dalam encyclopedia of
Vernacular Architecture of the World adalah terdiri dari rumah-rumah rakyat dan bangunan
lain, yang terkait dengan konteks lingkungan mereka dan sumber daya tersedia yang dimiliki
atau dibangun, menggunakan teknologi tradisional. Semua bentuk arsitektur vernakular
dibangun untuk memenuhi kebutuhan spesifik untuk mengakomodasi nilai-nilai, ekonomi
dan cara hidup budaya yang berkembang.
Arsitektur Vernakular konteks dengan lingkungan sumber daya setempat yang
dibangun oleh masyarakat dengan menggunakan teknologi sederhana untuk memenuhi
kebutuhan karakteristik yang mengakomodasi nilai ekonomi dan tatanan budaya masyarakat
dari masyaratak tersebut. Dalam pengertian umum, arsitektur Vernakular merupakan istilah
yang banyak digunakan untuk menunjuk arsitektur indigenous kesukaan, tribal, arsitektur
kaum petani atau arsitektur tradisional. Pengertian Arsitektur Vernakular sering disamakan
dengan Arsitektur Tradisional.
Pengertian Arsitektur Vernakular Baru
Menurut Tjok Pradnya Putra dalam Pengertian Arsitektur Neo-Vernacular,
menyatakan bahwa Neo berasal dari bahasa Yunani dan digunakan sebagai fonim yang
berarti baru. Jadi Neo-Vernacular atau Vernakular Baru berarti bahasa setempat yang
diucapkan dengan cara baru. Arsitektur Vernakular Baru adalah suatu penerapan elemen
arsitektur yang telah ada, baik fisik (bentuk, konstruksi) maupun non-fisik (konsep, filosofi,
tata ruang) dengan tujuan melestarikan unsur-unsur lokal yang telah terbentuk secara empiris
oleh sebuah tradisi yang kemudian sedikit atau banyaknya mengalami pembaruan menuju
suatu karya yang lebih modern atau maju tanpa mengesampingkan nilai-nilai tradisi setempat.
Latar Belakang Arsitektur Vernakular Baru
Arsitektur Vernakular Baru merupakan salah satu bagian dari aliran Arsitektur Post
Modern yang lahir sebagai tanggapan akan dominasi trend desain rasionalisme dan
fungsionalisme yang muncul karena revolusi industri yang terjadi di Eropa. Pada masa itu,
gaya desain bangunan yang berkembang lebih mengutamakan pada aspek bagaimana
bangunan dapat mewadahi aktivitas dari pelaku. Bangunan fungsional dan rasional yang
dimaksud adalah masuk diakal, tidak berlebihan, sehingga bangunan terkesan meninggalkan
nilai-nilai seni dan nilai tradisi yang berkembang di wilayah setempat.
Arsitektur Vernakular Baru berusaha menyelaraskan diri dengan alam dan
lingkungan, mengakomodasi nilai-nilai filosofis, kosmologis, serta peran budaya lokal yang
berkembang di masyarakat dan mewujudkannya dalam bentuk bangunan baru yang memiliki
jiwa alam setempat. Arsitektur Vernakular Baru menerapkan konsep-konsep lokal yang
dikemas dalam bentuk lebih modern. Ide bentuk diperoleh dari Arsitektur Vernakular
setempat namun ditransformasikan dalam bentuk yang baru.
Arsitektur Vernakular Baru merupakan aliran yang masuk dalam Arsitektur Post
modern maka karakteristik arsitektur ini menurut Heinrich Klotz dibagi menjadi 10
karakteristik, yaitu regionalism, fictional figurative, fictional, communicative, imaginative,
no-sterile, historism, contextual, no-single style, fiction=function.
Tujuan Arsitektur Vernakular Baru
Berdasarkan pengertian dan latar belakang adanya Arsitektur Vernakular Baru, dapat
dilihat tujuan dari Arsitektur Vernakular Baru adalah:
1. Melestarikan unsur-unsur lokal
2. Mewujudkan bangunan baru yang memiliki jiwa alam dan filosofi setempat
3. Menerapkan konsep-konsep lokal dan dikemas dalam bentuk modern
4. Menciptakan kesinambungan masa lalu dengan masa sekarang dan masa sekarang
dengan masa yang akan datang

Kriteria Arsitektur Vernakular Baru


Kriteria-kriteria yang mempengaruhi arsitektur Vernakular Baru adalah sebagai berikut:
1. Bentuk-bentuk menerapkan unsur budaya, lingkungan termasuk iklim setempat
diungkapkan dalam bentuk fisik arsitektural (tata letak denah, detail, struktur dan
ornamen)
2. Tidak hanya elemen fisik yang diterapkan dalam bentuk modern, tetapi juga elemen
nonfisik yaitu budaya pola pikir, kepercayaan, tata letak yang mengacu pada makro
kosmos dan lainnya menjadi konsep dan kriteria perancangan.
3. Produk pada bangunan ini tidak murni menerapkan prinsip-prinsip bangunan vernakular
melainkan karya baru (mengutamakan penampilan visualnya).

Ciri-ciri Arsitektur Vernakular Baru


Menurut Charles Jencks dalam bukunya “language of Post-Modern Architecture (1990)”
maka dapat dipaparkan ciri-ciri Arsitektur Vernakular Baru sebagai berikut :
• Selalu menggunakan atap bumbungan.
Atap bumbungan menutupi tingkat bagian tembok sampai hampir ke tanah sehingga
lebih banyak atap yang diibaratkan sebagai elemen pelindung dan penyambut dari
pada tembok yang digambarkan sebagai elemen pertahanan yang menyimbolkan
permusuhan.
• Batu bata (dalam hal ini merupakan elemen konstruksi lokal).
Bangunan didominasi penggunaan batu bata abad 19 gaya Victorian yang merupakan
budaya dari arsitektur barat.
• Mengembalikan bentuk-bentuk tradisional yang ramah lingkungan dengan proporsi
yang lebih vertikal.
• Kesatuan antara interior yang terbuka melalui elemen yang modern dengan ruang
terbuka di luar bangunan.
• Warna-warna yang kuat dan kontras..

Pada dasarnya, Arsitektur Vernakular Baru berusaha untuk mendapatkan unsur-unsur


arsitektur yang baru. Hal ini dilakukan dengan cara mengadakan pencampuran antara unsur
setempat dengan perkembangan temuan-temuan dalam konstruksi maupun desain arsitektur,
namun diwujudkan dalam suatu desain baru yang masih mempertimbangkan nilai-nilai tradisi
dan budaya setempat. Cara ini diharapkan mampu membuat seni desain dalam meembangun
terus berkembang namun juga memunculkan dan menguatkan unsur-unsur tradisi yang ada
pada daerah setempat sehingga tetap terjaga dan lestari.
Prinsip Arsitektur Vernakular Baru
Adapun beberapa prinsip-prinsip desain arsitektur Vernakular Baru secara terperinci
adalah sebagai berikut :
• Hubungan Langsung, merupakan pembangunan yang kreatif dan adaptif terhadap
arsitektur setempat disesuaikan dengan nilai-nilai/fungsi dari bangunan sekarang.
• Hubungan Abstrak, meliputi interprestasi ke dalam bentuk bangunan yang dapat
dipakai melalui analisa tradisi budaya dan peninggalan arsitektur.
• Hubungan Lansekap, mencerminkan dan menginterprestasikan lingkungan seperti
kondisi fisik termasuk topografi dan iklim.
• Hubungan Kontemporer, meliputi pemilihan penggunaan teknologi, bentuk ide
yang relevan dengan program konsep arsitektur.
• Hubungan Masa Depan, merupakan pertimbangan mengantisipasi kondisi yang
akan datang.

Metode Eksplorasi untuk Pembaharuan dalam Arsitektur Vernakular Baru


Dalam proses eksplorasi gedung-gedung Modern-Vernacular di Indonesia, menurut
Deddy Erdiono dalam Jurnal Sabua Vol. 3, No.3:32-39, November 2011 berjudul Arsitektur
‘Modern’ (Neo) Vernacular di Indonesia, menyatakan bahwa ada empat model pendekatan
yang harus diperhatikan terkait dengan bentuk dan makna dalam merancang dan
memodernisir bangunan tradisional dalam konteks ke-kinian, yaitu kecerundungan terjadinya
perubahan-perubahan dengan paradigma, yaitu ;

(a) Bentuk dan Maknanya Tetap,


Penampilan bentukan arsitekturnya tetap
mengadopsi dan menduplikasi bentuk lama
(walaupun dengan beberapa perubahan
material bangunan) dan makna yang ada
(kosmologi, mitologi dan genealogi) tetaplah
lama. Hal ini masih dimungkinkan terjadi
pada masyarakat yang masih homogen, kuat
struktur sosialnya dan masih berpegang teguh
pada nilainilai/norma-norma yang dianut
sehingga dalam proses akulturasi desain,
nilai-nilai lokal masih cukup dominan.
Secara arsitektural tidak terjadi perubahan
signifikan yang mendasar. Perancang masih
memegang teguh kultur masyarakat secara
ketat lengkap dengan atribut-atributnya.
Transformasi bentukan arsitekturnya nyaris
tidak terjadi, kecuali pemakaian bahan
bangunan saja yang menggunakan produk
terkini dengan spesifikasi yang lebih modern.
Pemaknaan pada konteks bentukan
arsitekturnya masih tetap sebagaimana
adanya. Barangkali yang agak berbeda adalah
implementasi makna pada pengolahan
ruang, akulturasi desain ruang yang terjadi
lebih disebabkan oleh tuntutan perubahan
kebutuhan fungsi fungsi baru di dalam rumah
tinggal yang lebih kompleks macam, susunan
dan hubungan ruangnya, namun secara Gambar 1 dan 2
hirarkis pada umumnya pemaknaanya masih Bentuk dan makna tetap (bentuk
tetap sama. (gambar 1 dan 2) lama, makna juga lama)
(b) Bentuk Atap dengan Makna Baru
Penampilan bentukan
arsitekturnya tetap mengadopsi dan
menduplikasi bentuk lama tetapi
diberi makna baru. Hal ini
dimungkinkan terjadi pada masyarakat
yang baru mengalami masa transisi
akibat pengadopsian nilai-nilai
kebudayaan asing.
Untuk mengakomodasi
‘kebudayaan baru’ serta menghindari
terjadinya kejutan budaya (culture
shock), maka diberilah makna baru.
Sebagai contoh, makna yang bersifat
sakral diubah menjadi profan dan
sekaligus berupaya untuk
menghilangkan mitos-mitos yang ada.
Upaya-upaya desakralisasi dan
demitisasi yang dilakukan oleh
perancang ini mengajak masyarakat Gambar 3 Bentuk tetap, makna
untuk membentuk dirinya sendiri baru (Bentuk lama, maknanya
dengan sederetan penyangkalan dan yang berubah)
penolakan, sekalipun mereka masih
dihantui oleh realitas-realitas atas
pengingkaran nilai-nilai luhur warisan (c) Bentuk Baru dengan Makna Tetap
nenek moyang itu sendiri. Sikap ini Penampilan bentukan arsitekturnya
selalu muncul dan diwujudkan menghadirkan bentuk baru dalam
kembali dalam bentuk-bentuk tertentu pengertian unsur-unsur lama yang
yang direpresentasikan melalui diperbarui, jadi tidak lepas sama
simbol-simbol ornamentasi atau sekali karena terjadi interpretasi
dekorasi bangunan. (Gambar 3) baru terhadap bentuk lama yang
kemudian diberi makna yang
lama untuk menghindari kejutan
budaya (culture shock). Hal
demikian ini juga dapat terjadi
pada masyarakat transisi, dimana
dalam proses akulturasi dengan
kebudayaan asing masih
menyadari tidak bisa
menghilangkan sama sekali sikap
religius sebagai warisan
leluhurnya. (Gambar 4)

Gambar 4 Bentuk baru, makna tetap


(bentuknya berubah, maknanya tetap)
(d) Bentuk dan Maknanya Baru
Penampilan bentukan arsitekturnya menghadirkan bentuk baru dengan disertai
makna yang baru pula, karena terjadi perubahan paradigma berarsitektur secara total.
Dalam berakulturasi desain, kebudayaan lama sudah ditinggalkan atau tetap dipakai
hanya sebagai tempelan atau sebatas untuk ornamen/dekorasi saja. Hal ini dapat
terjadi hanya pada masyarakat pasca transisi yang mempunyai kebebasan untuk
mengolah bentuk dan makna tanpa batasan konservatif yang mengikat. Telah terjadi
perubahan konsep pemikiran yang mendasar dalam masyarakat tentang kosmologi,
mitologi dan genealogi. (gambar 5,6,7, dan 8)

Gambar 5,6,7 dan 8


bentuk dan maknanya baru
ATELIER 6

Atelier Enam dibentuk pada tahun 1968 oleh enam orang Arsitek dan secara resmi
terdaftar sebagai biro konsultan Arsitek pada tahun 1972. Pada pertengahan tahun 1980an,
seiring dengan meningkatnya pembangunan, Atelier Enam berkembang menjadi beberapa
divisi yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu yaitu Desain Interior, Struktur, Mekanikal
Elektrikal dan Manajemen Proyek.

Pada tahun 1984 Atelier Enam mulai mengembangkan divisi-divisi yang ada menjadi
perusahaan yang berdiri sendiri dengan tujuan menciptakan perusahaan yang lebih spesifik
dan professional. Pada tanggal 1 Februari 1990, PT. Atelier Enam Project Management
secara resmi telah terdaftar sebagai biro konsultan dengan spesialisasi pada Manajemen
Proyek.

Konsep pendirian Biro Arsitek Atelier 6 mencerminkan adanya Pencarian Volkgeist


Indonesia:

1. Memasukan kesadaran-kesadaran baru sebagai hasil penggalian dan pengkajian nilai-


nilai masa lalu dalam berkarya
2. Perlu adanya akar agar tidak terjadi keterputusan historis
3. Pemikiran kontekstual: teori menjadi kurang penting, namun yang lebih ditekankan
adalah pengamatan lingkungan pada lokasi bangunan yang sedag dirancang
berpengaruh besar pada proses desain.
Karya-Karya Atelier 6
1. Hilton Hotel Executive Club
Hilton Hotel Executive terletak di Senayan, Jakarta ini didesain oleh Adhie
Moersid pada tahun 1973. Bangunan ini memiliki desain yang sangat “modern” untuk
saat itu karena berada di tengah-tengah kota Jakarta, namun memperlihatkan sensitifitas
terhadap klimat dan terhadap kesibukan kota Jakarta yang diperlihatkan lewat kehadiran
selasar-selasar, skala bangunan yang tidak terlalu besar dan berjarak cukup jauh dari
jalan utama dan kombinasi bahan beton dan lempeng terakota yang menampilkan
struktur mirip-mirip candi.

2. Masjid Said Naum


Lokasi Masjid Said Naum Kebon
Kacang 9 No. 25, Kelurahan Kebon
Kacang Kecamatan Tanah Abang, Jakarta
Pusat. Masjid Said Naum dibangun di atas
bekas lahan pekuburan, wakaf dari
Almarhum Said Naum. Masjid dengan
rancangan eksentrik ini dirancang oleh
Atelier Enam Architects and Planners /
Adhi Moersid. Masjid Said Naum dikelola
oleh Pemerintah DKI Jakarta dan Yayasan
Saïd Naum selesai dibangun tahun 1977
diatas lahan seluas 15.000 m².
Rancangan Masjid Said Naum ini dapat disebut sebagai suatu rancangan yang sangat
berhasil dalam upaya menghadirkan kosa bentuk masjid tradisional Jawa ke dalam
ungkapan ungkapan modern Masjid yang dirancang arsitek Adhi Moersid dan tim ini jelas
memperlihatkan usaha serius mengakomodasi dua kepentingan berbeda yaitu
merepresentasikan karakter arsitektur lokal/tradisional dengan pendekatan modern.
Yang terlihat sangat menonjol dalam rancangan masjid yang berdenah segi
empat simetrisini adalah kenyamanan ruang ruangnya, yang terjadi sebab adanya bukaan
di semua sisi dindingnya sehingga tercapai penghawaan silang dengan baik. Disetiap sisi
dinding masjid terdapat lima jendela kayu lengkung yang lebar dengan beberapa
diantaranya dipakai sebagai pintu. Uniknya bukaan bukaan ini tidak menggunaan daun
jendela/pintu tetapi deretan kayu
berukir/berulir berjarak tertentu dengan arah
vertikal yang mengisi luas jendela
tersebut. model jendela seperti ini
mengingatkan kepada rumah rumah tradisional
betawi maupun masjid masjid lama di jakarta
yang dibangun sejak abad ke 18.

3. Nusa Dua Beach Hotel


Hotel Nusa Dua, adalah sebuah
hotel modern pertama yang dirancang
dengan idiom-idiom Bali. Karya
tersebut menjadi semacam “trend” bagi
pembangunan di berbagai daerah di
Indonesia. Setiap proyek baru, terutama
proyek pemerintah, tiba-tiba seperti
“diharuskan” memiliki ciri lokal.

Aliran vernakular barunya sangat terlihat


dari pemilihan ornamen, material, bahan dan
struktur pada bangunan yang khas dengan
rumah tradisional Bali. Tak hanya itu, bangunan
ini juga memiliki orientasi masa dan tata masa
yang mengikuti rumah tradisional Bali yaitu
memperhatikan arah gunung dan laut.

G
U L
N HOTEL NUSA DUA A
U U
N T
G
4. Petirahan Sendang Sono, Promasan, Kulonprogo (Jawa Tengah)
Kompleks Sendangsono adalah
salah satu petirahan bagi umat Nasrani
Indonesia. Sebagian besar bangunan
gedungnya terbuat dari konstruksi kayu
berlandaskan fondasi batu alam yang juga
dipakai untuk turap dan beberapa tiang.
Sendang Sono adalah bangunan mata air
asli bersejarah tempat dipermandikannya
generasi awal Gereja Katolik Kali Bawang
dan Muntilan ketika Van Lith, SJ sedang
menanamkan cikal-bakalnya.
Pada tahun 1972 Sendangsono akan dipugar. Ide
pemugaran ini dilator belakangi oleh situasi
Sendangsono yang secara fisik tidak lagi mampu
menampung jumlah peziarah yang semakin banyak.
Pemugaran, yang diharapkan akan menciptakan suasana
yang nyaman bagi peziarah, dipercayakan kepada
Mangunwijaya romo yang juga arsitek.

Kompleks Sendangsono salah satu contohnya.


Petirahan bagi umat Nasrani ini terbuat dari
konstruksi kayu yang berlandaskan fondasi batu
alam. Konstruksi utamanya adalah sebuah segitiga
runcing mirip huruf A kembar. Dalam proses
pembangunannya, kompleks ini dilaksanakan tanpa
gambar kerja.
Penyelesaiannya dibuat berdasarkan pengamatan Romo Mangun terhadap lokasi
setempat. Sketsa-sketsa yang dibuatnya pun “freehand”, tanpa meja, penggaris, ataupun
mesin gambar. Kondisi tanah, lanskap, dan rona lingkungan awal hampir tak berubah dengan
adanya gugusan kompleks ini. Setiap massa bangunan ditempatkan di lokasi dan posisi
tertentu dengan memanfaatkan kondisi tanah.
5. Gedung Pusat Administrasi Universitas Indonesia (GPAUI)
Aspek lokalitas dalam arsitektur Indonesia memiliki berbagai wujud yang variatif
akibat keberagaman dalam pendekatan perancangannya. Sebagai bangunan kontemporer,
arsitektur Gedung Pusat Administrasi Universitas Indonesia (GPAUI) memiliki tampilan fisik
yang unik dengan langgam, penggunaan material dan konstruksi yang mengisyaratkan unsur
lokal sekaligus juga penerapannya terhadap desain. Untuk menghasilkan rancangan yang
sedemikian rupa, maka tentunya ada pendekatan tertentu yang diterapkan dalam proses
perancangannya.

Tinjauan dalam perancangan bangunan Gedung Pusat Administrasi UI memiliki


beberapa pola tertentu. Pola-pola tersebut dalam penerapannya sesuai dengan pendekatan
Regionalisme. Pendekatan Regionalisme
memiliki penekanan pada pengungkapan
desain yang merujuk ke spesifikasi tempat
asal dan unsur budaya lokal. Merujuk ke
spesifikasi tempat asal, Regionalisme
mengalami penyempitan cakupan
menjadi Critical Regionalism, kemudian
dipersempit lagi menjadi Critical
Tropicalism dimana segala pola-pola dan
karasteristik desainnya disesuaikan dengan
penyikapan terhadap iklim dan budaya daerah
Sumber www.google.com tropis.

Untuk meneliti penerapan pendekatan Regionalisme dalam arsitektur Gedung Pusat


Administrasi UI, maka konsep perancangan dan fisik bangunannya harus ditinjau terlebih
dahulu. Terletak di komplek Universitas Indonesia, Depok yang merupakan suatu kawasan
pendidikan, tapak bangunan memiliki kekayaan tersendiri baik pada kondisi sekitar maupun
pada kondisi lahan. Kondisi fisik bangunan memiliki keistimewaan tersendiri karena konsep
arsitekturnya serta wujud bangunannya secara menyeluruh.

Latar Belakang

Pembangunan besar-besaran sepanjang tahun ‘70 hingga ‘80an mengubah bentukan


fisik dari bangunan bertingkat rendah menjadi bangunan tinggi. Sayangnya sosok
bangunannya sebagian besar masih terpengaruh langgam arsitektur International Style.

Ancaman terhadap eksistensi kelokalan, hilangnya identitas, karakter serta makna


yang disebabkan oleh keseragaman arsitektur Modern yang dianggap tidak kontekstual secara
fisik maupun sosial tersebut telah membawa dunia kepada suatu kesadaran akan pentingnya
pluralitas, kesadaran untuk berpegang pada identitas lokal ini kemudian menjadi latar
belakang dalam menciptakan arsitektur yang kontekstual dengan lingkungannya.

Di abad ke-20, terjadi beberapa usaha di berbagai negara untuk mencari pendekatan
regionalisme bagi bangsa masing-masing. Begitu juga di Indonesia. Salah satu kasus
percobaan untuk memunculkan unsur regional yaitu pada karya arsitektur Gedung Pusat
Administrasi Universitas Indonesia yang terjadi di pertengahan 1980. Pada kasus ini, para
arsitek yang terlibat mencoba untuk bertindak lebih kritis daripada sekedar mengambil
bentuk elemen arsitektur tradisional. Mereka mencoba untuk mencari esensi arsitektur-
arsitektur Indonesia melalui pendekatan tipologis. Melalui pendekatan tipologis inilah sebuah
esensi “ke-Indonesiaan” disimpulkan dan ditampilkan pada gedung terebut.

Arsitektur Gedung Pusat Administrasi UI, berhasil tampil sebagai wakil kampus UI
dengan aura simbolik yang kuat dan jelas. Adaptasi bangunan-bangunan tradisional ke dalam
bangunan bertingkat banyak, menunjukan arah baru dari perkembangan Arsitektur regional di
Indonesia. Keberanian sang arsitek untuk mendobrak konvensi atas pengertian “fungsi”
bangunan institusi pendidikan tinggi pada umumnya, berhasil menjadikan gedung ini sebagai
representasi baru yang dapat diterima dengan baik selayaknya bangunan ini memiliki nilai
estetik regional setempat yang merepresentasikan jamannya.

Pendekatan desain bangunan Gedung Pusat Administrasi UI akan dikaji lebih jauh
melalui pendekatan regionalisme.

Pengamatan didasari oleh ketertarikan akan konsep awal objek studi dan faktor-faktor
yang mewujudkannya dan dilakukan untuk mengerti lebih jauh tentang unsur dan fitur
rancangan dan faktor-faktor yang membentuk rumusan desain baik itu fisik maupun non-
fisik.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Ekspresi Regional

Merujuk dari buku Alexander Tzonis yang


berjudul Tropical Architecture; Critical Reginalism In the
Age of Globalization, yang dimaksud dengan ekspresi
regional adalah bentuk ekspresi yang dihasilkan oleh
tanggapan terhadap iklim tropis yang telah disesuaikan
dengan ciri-ciri lokal tempat suatu arsitektur dibangun.
Bersama dengan koleganya, William Lim, Tan Hock
Beng mengusulkan empat strategi untuk menerjemahkan
kembali sekaligus membangkitkan tradisi.

Konsep perancangan bangunan yaitu ingin


menciptakan sebuah bangunan tinggi tropis dan
berkelanjutan. Untuk mewujudkannya, Gunawan
Tjahjono dan tim desainnya melakukan reinterpretasi atau
menerjemahkan ulang arsitektur vernakular Indonesia,
dan berusaha mencari sintesa dari arsitektur nusantara.
Ekspresi yang dirancang merupakan abstraksi rasional
Sumber www.google.com dari bangunan tradisional indonesia untuk menghindari
duplikasi yang naif, namun tetap dapat menjawab
tantangan alam dan iklim tropis. Penerapan ide-ide vernakular dan tradisional tidak hanya
terbatas pada ekpresi dan bentukan semata, namun juga disisipkan makna yang melekat pada
bangunan yang dirancang di dalam Komplek Universitas Indonesia tersebut, khususnya
GPAUI. Secara pemaknaan, GPAUI melambangkan kebijaksanaan yang ditempatkan pada
tempat tertinggi, dan kebijakan tersebut diambil secara musyawarah oleh para Guru Besar UI.
Kegiatan bermusyawarah ini merupakan sikap yang diturunkan oleh lehurur kita dan menjadi
budaya bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pancasila sebagai Ideologi Negara dimana
disebutkan dalam sila ke 4.

Pada fitur Ekspresi regional, GPAUI berusaha membangkitkan unsur-unsur


tradisional dengan memasukan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Indonesia kedalam
konsep bangunan.
Hal inilah yang dimaksud dengan memperkenalkan kembali ciri-ciri lokal. Setelah
dikaji pada penjelasan diatas, keriteria yang lebih dominan yaitu pada paradigma The
“Tradition-Based”.

Tabel Keriteria Ekspresi Regional pada GPAUI

The “New
The “Line, Edge,
Gedung Pusat The “Traditional- Screen and
Perbandingan and Shade”
Administrasi UI Based” Paradigm Louvre Kitsch”
Paradigm
Paradigm

Bentuk Neo-Vernakular – √ –
Ekspresi
Regional Memasukkan Unsur
Sosial dan Budaya, Serta – √ –
Makna Simbolis

Material

Salah satu fitur pendekatan paham Critical Regionalism yaitu mengedepankan


kejujuran tektonik. Sebuah bangunan harus memiliki kejujuran pada konstruksi dan
pemilihan materialnya yang berakibat pada ekspresi bentuknya.

Pertimbangan penggunaan material berkaitan dengan iklim yang dihadapi oleh


bangunan ini. Iklim tropis dengan curah hujan tingi dan panas matahari sepanjang tahun
melahirkan pilihan material yang harus kuat serta dengan perawatan yang mudah dan murah.
Berikut tabel yang menampilkan sebagian dari penggunaan material pada bangunan Pusat
Administrasi UI.
Pada fitur Material, dapat kita lihat melalui pembahasan diatas, GPAUI lebih berpihak
pada material modern, hal ini sesuai dengan keriteria The “Line, Edge, and Shade” serta The
“New screen and Lovre kitsch”.

Tabel Keriteria Material pada GPAUI

The “Line, Edge, The “New Screen


Gedung Pusat The “Traditional-
Perbandingan and Shade” and Louvre
Administrasi UI Based” Paradigm
Paradigm Kitsch” Paradigm

Menggunakan
Material √ – √
material modern

6. Pemukiman Kali Code

Pemukiman kali code sebagai


perwujudan pemukiman yang berhasil
membangun harmoni dengan lingkungan
sekitarnya. Rumah-rumah yang berdiri
dikawasan ini berderet dengan penataan
arsitekturl yang bai, ditunjang dengan
pemilihan warna cat yang cerah serta
lingkungan yang tertata menggambarkan
perencanaan dan kematangan
pengelolaan dan masyarakatnya.
Tahun 1983 pemukiman kali code mulanya dihuni oleh sekitar 30 sampai dengan 40
keluarga. Penghuni pemukiman ini terus bertambah hingga pada tahun 2007 pemukiman ini
dihuni oleh 54 keluarga yang meliputi 186 jiwa. Sebagian besar warganya bekerja sebagai
pekerja kasar dan informal. Keadaan sosial ekonomi yang tergolong rendah secara langsung
maupun tidak langsung mempengaruhi segala perilaku masyarakatnya. Kriminalitas,
prostitusi sampai dengan kurang sadarnya masyarakat terhadap kebersihan lingkungan
muncul sebagai masalah pelik yang harus dihadapi. Ditambah lagi status, kepemilikan tanah
yang bukan milik warga, menambah daftar panjang masalah bagi warga pemukiman.
Dulu tanah di bawah jembatan Gondolayu ini
tidak bertuan. Masyarakat urban yang belum
mempunyai tempat hunian kemudian
memanfaatkannya sebagai tempat tinggal dengan
bangunan seadanya. Kondisi struktur masyarakat
bantaran kali yang terbilang mengenaskan serta
kondisi perekonomian mereka yang terpuruk
merupakan penyebab dari sekian banyak ironi
masyarakat miskin kota.
Kondisi sosial tersebut mengundang
perhatian Y.B. Mangunwijaya atau yang biasa
dikenal dengan Romo Mangun, seorang pastor,
arsitek, dan penulis. Bersama Willy Prasetyo, Romo
Mangun secara suka rela membangun pemukiman
pinggir kali agar layak untuk ditempati dan tidak
mudah menjadi korban banjir. Dimulai dari
melakukan bimbingan pengembangan kemanusiaan
yang dilakukan melalui tiga program.
Memanusiakan masyaraat, Perbaikan Fisik dan
Lingkungan dan Menyejahterakan dan memajukan
perekonomian masyarakat.

Kemudian tahun 1985, pemerintah Kota Yogyakarta


bermaksud menggusur pemukiman ini. Rencana penggusuran
mengalami penolakan dari warga hingga berakhir pada aksi
mogok makan sebagai perlawanan terhadap rencana
pemerintah. Berkat permohonan Willy Prasetya, ketua RT
setempat saat itu bersama Romo Mangun, berjanji untuk
mengubah perilaku masyarakat asalkan diberi kesempatan.
Bersamaan dengan itu proyek revitalisasi pemukiman kali code
dimulai.
Proyek revitalisasi kali code melibatkan 2 perusahaan Koran
lokal sebagai sponsor pendanaan. Tidak ada dokumentasi mengenai
proses revitalisasi pemukiman kali code. Hal tersebut karna proses
pelaksanaan proyek yang trjadi seara spontan dan alamiah.
Secara umum konstruksi rumah berbentuk huruf A dengan
rangka dari bamboo, dinding bilik bamboo dan atap seng.
Hanya ada 3 tukang kayu dan 2 tukang batu dipekerjakan
untuk proyek ini, selebihnya adalah tenaga partisipasi warga
dan suka relawan.
Proyek revitalisasi berjalan dengan kurun waktu
2 tahun dan selesai pada tahun 1987. Pemukiman kali
code merupakan contoh keberhasilan proyek alternatif
pembangunan tempat hunian masyarakat cilik. Usaha
revitalisasi akhirna berhasil mengantar pemukiman ini
mendapatkan penghargaan The Aga Khan Award pada
tahun 1992.
Bukan tanpa alasan Romo melahirkan karya di
pemukiman kali code yang dihuni pemulung dan
masyarakat miskin. Sisi Humanisme Romo lah yang
mmbangkitkan semangatnya untuk merombak wilayah
code yang kala itu hendak digusur. Pemerintah
berencana membangun taman kota di bantaran kali
code. Namun Romo melihat hal lain, bahwa disitu
tinggal ratusan keluarga yang nasibnya belum jelas
apabila penggusuran dilakukan. Dengan bekal tersebut
Romo menolak rencana pemerintah saat itu.

Romo Mangun menggunakan bahan yang mudah


ditemukan dipinggir kali seperti bamboo dan kayu. Ia
menyulap perkampungan kumuh ini menjadi artistic dan
tertata rapi.
Tercatat ada tiga peran yang ia lakukan untuk
memperbaiki pemukiman warga Kali Code. Pertama,
Romo Mangun berjasa dalam mengubah mentalitas
membuang sampah sembarangan masyarakat bantaran kali
code. Baginya bicara saja tak cukup, seehingga
memberikan teladan kepada masyarakat code adalah cara
yang paling tepat dan efektif. Romo Mangun tinggal dan
membaur dengan masyarakat kali code selama 6 tahun
masa pendampingannya. Ia mengamati dan memahami
perilaku masyarakat kali code, kemudian memberi teladan
lewat lisan dan tindakan bagaimana merawat lingkungan.

Kedua, inisiatif perbaikan tata pemukiman dan


lingkungan bantaran Kali Code ia lakukan, hingga
menghasilkan kawasan yang bersih dan tertata.
Keterlibatannya dalam revitalisasi Kawasan Code
sangatlah vital. Ia menyumbangkan daya kreatifitasnya
dalam merancang konsep hunian, desain rumah, dan tata
pemukiman yang dianggap layak dan menonjolkann aspek
social-budaya. Material bahan bangunan yang akrab
dengan rakyat, seprti bamboo sebagai tiang, anyaman
bambu sebagai dinding, serta seng sebagai atap dipilih
untuk mengisi bangunan.
Ketiga, bersama dengan dua orang temannya,
mendirikan Yayasan Pndok Rakyat (YPR) di Kawasan
Code. YPR merupakan wadah pemberdayaan
masyarakat dalam bidang lingkungan dan pendidikan
kritis melalui pendekatan sosi-kultural. Organisasi ini
menjadi jembatan bagi sekelompok orang dengan latar
belakang profesi yang berbeda, mulai dari arsitek,
agamawan, intelektual, penulis, dan seniman untuk
mengaktualisasikan ilmunya dalam pemberdayaan
masyarakat bawah.
Rasa Humanisme Romo juga tercermin kala ia
mendampingi warga Kedungombo yang kala itu
memperjuangkan lahannya dari pembangunan waduk
tahun 1986. Meski saat itu Romo dan warga terpaksa
mundur karena adanya kekuatan rezim orde baru ,
namun mengingat sosok Romo berdiri tegak membela hak orang yang tertindas adalah
romantisme terhadap prinsip humanis yang sesungguhnya. Pada kutipan Romo Mangun,
“Tanah air ada di sana, dimana ada cinta dan kedekatan hati, dimana tidak ada manusia
menginjak manusia lain.” (Y.B. Mangunwijaya, Burung-Burung Manyar)

Arsitektur Vernakular Baru Selain Karya Atelier


Bandara Soekarno-Hatta

Berada di daerah sub urban Kota Jakarta


dengan kapasitas 9 juta orang. Dirancang oleh Paul
Andreu dari Prancis. Sebagian besar berkonstruksi
tiang dan balok (dari pipa-pipa baja) yang diekspose.
Unit-unit dalam terminal dihubungkan dengan
selasar terbuka yang sangat tropikal, sehingga
pengunjungnya merasakan udara alami dan sinar
matahari. Unit ruang tunggu menggunakan arsitektur
Joglo dalam dimensi yang lebih besar, namun bentuk maupun sistem
konstruksinya tidak berbeda dari sopo guru dan usuk, dudur, takir, dan lain-lain dari
elemen konstruksi Jawa. Penggunaan material modern namun memiliki tampilan seperti
kayu yang diterapkan pada kolom- kolom di ruang tunggu memberikan kesan yang
modern namun natural.
Secara geografis, setiap wilayah/region, arsitektur tradisional
KONSEP DAN PRINSIP memiliki karakteristik sendiri untuk setiap wilayah, menciptakan
RANCANG kualitas kehidupan ‘terbaik’ dalam sebuah masyarakat tradisional
dan menjadi sangat responsif atas kondisi geografis,budaya, iklim
ARSITEKTUR dan teknologi yang ada. Karenanya, setiap arsitek di berbagai
REGIONALISME daerah memiliki pemikiran tersendiri atas sebuah teori
regionalisme. Regionalisme bukan sebuah gaya, melainkan sebuah
aliran pemikiran tentang arsitektur

Regionalisme dalam Arsitektur


Pendekatan ini dapat dibagi menjadi:
1. Regionalisme sebagai Sistem Budaya
Dalam pendekatan ini, budaya yang berkembang di suatu
tempat difahami sebagai sistem yang utuh yang meliputi
berbagai aspek, di antaranya adalah arsitektur yang merupakan
perwujudan bendawi dari nilai-nilai budaya dan wadah bagi
kebiasaan masyarakat dalam budaya tersebut. Kebiasaan
masyarakat dalam suatu kelompok budaya yang tidak berubah
dalam jangka waktu yang relatif lama menjadikan bentuk
bangunan dan ruang yang mereka ciptakan tetap dapat melayani
kebiasaan-kebiasaan tersebut dengan makna yang mendalam

2. Regionalisme sebagai ungkapan Identitas


Pendekatan populer ini mengasumsikan bahwa
bentuk-bentuk tertentu menyandang peran Sumber: Indonesian Heritage
untuk menampilkan ciri daerah tertentu
• Lebih mementingkan teknik-teknik membangun
3. Regionalisme sebagai Sikap Kritis
yang estetis (architectonic) ketimbang tampilan
Regionalisme sering kali dipendang sebagai
bentuk (scenographic) semata,dengan
terbelakang (berorientasi ke masa silam, tanpa
menggunakan bahan kayu yang disambung-
memiliki visi ke depan) dan sempit (hanya
sambung tadak menggunakan paku sebagai
berkutat pada satu dareah dan tidak memiliki
pengikat.
kontribusi dalam lingkup yang lebih luas).
• Lebih mementingkan yang alami (natural)
ciri-ciri Critical Regionalism:
ketimbang yang buatan (artificial) contohnya
• Lebih mementingkan papan (place) yang
rumah adat gatang minangkabau memakai atap
bersifat konkret ketimbang ruang (space) yang
dari ijuk dan kontruksi memakai kayu yang
abstrak
diambil dari lingkunan sekitarnya.
• Lebih mementingkan keterkaitan dengan
• Lebih mementingkan yang dapat dirasakan
bentang alam (topography)ketimbang bentuk
dengan raga dan peraba (tactile) ketimbang yang
bangunan (typology) contojnya rumah adat
visual semata.contohnya pada rumah adat joglo
tongkonan toraja dibangun menghadap utara
yang sepenuhnya memakai elemen2 kayu yang
selatan untuh menghindari sinar matahari
diukir secara detail dan kadangmempunyai arti
langsung.
tersendiri.
Arsitektur Nusantara sebagai
dasar pembentuk Regionalisme
Arsitektur Indonesia. Nilai dan
makna dalam arsitektur Nusantara
sudah menjadi satu kesatuan yang
tidak dipisahkan ketika masyarakat
dengan latar belakang budaya dan
lingkungannya membangun tempat
tinggal mereka. Masing-masing
tempat, daerah, region mempunyai
kekhasannya yang menjadikan
arsitektur tersebut unik dan menarik
dari sudut penggunaan bahan,
penyelesaian baik struktur,
konstruksi maupun detail bangunan
yang menunjukkan pengetahuan
terhadap teknologi yang dikaitkan Sumber: Indonesian Heritage
dengan makna dibalik bentuk yang
terjadi. Kekhasan ini merupakan nilai
kesetempatan atau lokalitas yang
merupakan dasar dari pembentuk Disamping kekhasannya sebagai nilai kesetempatan,
arsitektur Nusantara. Sementara itu
ada benang merah dalam arsitektur Nusantara yang dapat
regionalisme arsitektur seperti yang ditarik dari masing-masing region, daerah yang merupakan
sudah dijelaskan di atas adalah kesamaan pengetahuan yang tertuang dalam kesamaan
sebuah arsitektur yang berbasis pada bentuk fisiknya. Bagaimana menyelesaikan tantangan
nilainilai regional atau setempat atau
terhadap iklim tropis lembab dan alam sekelingnya adalah
lokal, sehingga nilai kesetempatan sebuah bentuk keharmonisan yang dibangun oleh manusia
dari arsitektur Nusantara juga Indonesia, nilai kesamaan ini yang disebut dengan nilai
merupakan nilai dalam regionalisme kesemestaan. Selanjutnya kesemestaan yang berarti
arsitektur Indonesia. Kekuatan nilai
universal yang semesta juga merupakan salah satu kriteria
kesetempatan inilah yang akan
yang ada dalam regionalisme arsitektur, seperti yang
memberikan identitas pada arsitektur tersurat dalam pernyataan Curtis bahwa dalam
di Indonesia yang akan berbeda regionalisme harus ada hubungan antara yang lokal dan
dengan arsitektur yang lainnya.
yang universal. Dengan demikian nilai kesemestaan ini
juga menjadi dasar penting dalam mengkinikan arsitektur
Nusantara melalui Regionlisme Arsitektur. Demikian juga
halnya dengan makna sinkronik maupun diakronik,
menjadi dasar pembentuk arsitektur yang mengkini melalui
interpretasi kembali dengan sikap kritis dan tafsir ulang.
Esensi dari makna-makna tersebut dapat diakomodasi
menjadi sebuah karya arsitektur Nusantara yang mengkini
melalui regionalisme arsitektur.
Kesimpulan

Setelah melakukan analisa dan dikaji dengan teori yang ada, dapat disimpulkan bahwa
objek penelitian, Gedung Pusat Administrasi UI memiliki kesesuaian dengan prinsip-prinsip
paham Critical Regionalism dan klasifikasi teori Critical Tropicalism jika dinilai dari segi
Ekspresi Regional, Performa, serta Material dan Makna Bangunan.

Merujuk kepada Ekspresi Regional, bentuk arsitektural yang dibahas mengungkapkan


bahwa bentuk bangunan bukan sekedar suatu keinginan perancang sehinga ekspresi yang
diperlihatkan merupakan suatu susunan yang membentuk suatu gambaran besar terhadap
konsep dan begitu pula sebaliknya.

Tabel perbandingan Arsitektur Tradisional, Vernakular dan Neo- Vernakular

Arsitektur Arsitektur Arsitektur Neo-


Perbandingan
Tradisional Vernakular Vernakular

Terbentuk oleh tradisi


Terbentuk oleh tradisi Penerapan elemen
yang diwariskanturun temurun tetapi arsitektur yang sudah ada
secara turun temurun,terdapat pengaruh dari dan kemudian sedikit
Ideology berdasarkan kultur
luar baik fisik maupun atau banyaknya
dan kondisi lokal. nonfisik, bentuk mengalami pembaruan
perkembangan menuju suatu karya yang
arsitektur tradisional. modern.
Tertutup dari Berkembang setiap Arsitektur yang bertujuan
perubahan zaman, waktu untuk melestarikan unsur-unsur
terpaut pada satu merefleksikan local yang telah terbentuk
kultur kedaerahan, lingkungan, budaya secara empiris oleh
dan mempunyai dan sejarah dari tradisi dan
Prinsip peraturan dan norma- daerah dimana mengembangkannya
norma keagamaan arsitektur tersebut menjadi satu langgam
yang kental. berada. Transformasi yang modern. Kelanjutan
dari situasi kultur dari arsitektural
homogen ke situasi vernakular.
yang lebih heterogen.
Lebih mementingkan Ornamen sebagai Bentuk desain lebih
fasad atau bentuk, pelengkap, tidak modern.
ornament sebagai meninggalkan nilai-
Ide Desain suatu keharusan. nilai setempat tetapi
dapat melayani
aktifitas masyarakat di
dalam.
Sumber Sonny Susanto, Joko Triyono, Yulianto Sumalyo
PERBANDINGAN NEO VERNAKULAR DENGAN REGIONALISME
Perbandingan Regionalisme Neo Vernakular
Pengertian Kedaerahan Peralihan dari bentuk setempat
yang di ubah
Ideologi Ttanggap terhadap kondisi Penerapan arsitektur yang
lokal dan senantiasa mengacu sudah ada dari hasil vernakular
pada tradisi, warisan sejarah dan kemudian sedikit atau
serta makna ruang dan tempat banyaknya mengalami
pembaruan menuju suatu karya
yang modern.contohnya
bangunan bandara surabaya
yang terinspirasi dari rumah
joglo
Prinsip Mengarah pada pemenuhan Arsitektur yang bertujuan
kepuasan dan ekspresi jati melestarikan unsur-unsur lokal
diri yang mengacu pada masa yang telah terbentuk secara
lalu, sekarang dan masa yang empiris oleh tradisi dan
akan datang dan masih mengembangkannya menjadi
tergantung pada suatu langgam yang modern
vernakularisme dan kelanjutan dari arsitektur
vernakular.
Konsep Desain Masih cenderung hanya Bentuk desain lebih modern
meniru bentuk fisik, ragam dan mencoba menampilkan
dan gaya-gaya tradisional karya baru.
yang sudah dimiliki oleh
masyarakat setempat.
Kriteria Menggunakan bahan Bentuk-bentuk menerapkan
bangunan lokal deengan unsur budaya, lingkungan
teknologi modern. termasuk iklim setempat
Tanggap dalam mengatasi diuungkapkan dalam bentuk
pada kondisi iklim setempat fisik arsitektural (tata letak
Mengacu pada tradisi, denah, detail, struktur dan
warisan sejarah serta makna ornamen)
ruang dan tempat. Tidak elemen fisik yang
Mencari makna dan diterapkan dalam bentuk
substansi cultural, bukan modern, tetapi juga elemen
gaya/style sebagai produk nonfisik yaitu budaya pola
akhir pikir, kepercayaan, tata letak
yang mengacu pada makro
kosmos, religius dan lainnya
menjadi konsep dan kriteria
perancangan.
Produk pada bangunan ini
tidak murni menerapkan
prinsip-prinsip bangunan
vernakular melainkan karya
baru (mengutamakan
penampilaan visualnya)
MANIFESTO ARSITEKTUR

Manifesto di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pernyataan


terbuka tentang tujuan dan pandangan seseorang atau suatu kelompok. Di dalam bukunya
yang berjudul Tegang Bentang: Seratus Tahun Perspektif Arsitektur di Indonesia, pusat
dokumentasi arsitektur menuliskan bahwa manifesto disusun dan dideklarasikan kepada
publik sebagai pesan yang kuat untuk membuata perubahan. Dalam kenyataannya tidak
banyak manifesto yang berujung perubahan realitas, namun manifesto terus hidup dan
memberikan inspirasi kepada generasi-generasi selanjutnya. Karena itu, Jencks menyebutkan
bahwa sering kali manifesto arsitek menjadi lebih dikenal daripada karya arsteknya.
Pada tahun 1990, untuk pertama kali sejarah artsitektur Indonesia mencatat lahirnya
sebuah manifesto arsitektur dari kelompok yang menamakan dirinya Arsitek Muda Indonesia
yang kemudian dikenal dengan AMI. Isi dari manifesto tersebut:
Perjalan arsitektur kita (Indonesia) telah tiba di persimpangan. Arsitek Muda
Indonesia dengan rasa tanggung jawab sebagai tulang punggung penciptaan lingkungan
binaan di masa depan terpanggil untuk menyuarakan hati nuraninya sebagai awal perjuangan
meraih idealisme. Idealisme bagi kemeriahan iklim di dunia arsitektur, yang memberikan
pengakuan pada arsitek sebagai pencipta. Bagi kami, Arsitek Muda Indonesia, arsitek adalah
wujud penjelajahan desain. Penjelajahan desain yang dibekali kepekaan tinggi terhadap
situasi kondisi masyarakat dan lingkungan Indonesia dan bagi kami dasar penjelajahan itu
sendiri adalah keakraban dialog antara Arsitek dengan masyarakat sebagai keterpaduan
gagasan dan kenyataan. (Manifesto Kelompok Arsitek Muda Indonesia, dalam Pameran
Arsitektur Prospektif 1990)
Kalimat yang ditulis Jencks dalam bukunya terbukti dengan manifesto dari AMI yang
lebih mencuri perhatian kalangan Arsitek Indonesia dibandingan rancangan karyanya yang
saat itu ditampilkan dalam pameran. Dari manifesto tersebut tersirat bahwa terjadi suasana
tidak kondusif dalam dunia Arsitektur Indonesia, yaitu (1) lunturnya pengakuan arsitek
sebagai pencipta dan (2) penciptaan desain yang tak lagi peka terhadap kondisi masyarakat
dan lingkungannya.

LATAR BELAKANG
Ada beberapa persamaan pandangan diantara para arsitek muda pada saat itu, .Mereka
melihat kondisi dunia arsitektur di Indonesia pada saat itu 'tidak menarik', 'monoton' dan
'tidak berkarakter', hal ini disebabkan oleh beberapa hal yang ternyata masih relevan sampai
saat ini.

▪ Arsitektur kita tidak berkarakter.


Banyak diantara karya-karya arsitektur kita tidak menggambarkan karakter si arsitek.
Kita sering kali sulit mengenali karya arsitek si A si B hal ini mungkin terjadi karena
beberapa kondisi pada saat itu.
Tidak adanya kepercayaan antara si arsitek dengan klien, sering kali pemberi tugas
mendikte keinginannya begitu saja, tanpa peduli dengan karakter si arsitek.
Para arsitek di Indonesia lebih suka berlindung dibelakang nama besar bironya (jarang
ada arsitek yang berani tampil atau memang enggan dan dilarang tampil). Akibatnya yang
semakin di kenal adalah nama bironya saja, tanpa tahu persis siapa arsitek di belakangnya.

▪ Profesi dan dunia arsitektur kita cenderung


tertutup & low profile
Para Arsitek muda merasa ada ketertutupan baik si arsitek terhadap karya karyanya ada
beberapa kemungkinan alas an mereka bersikap tersebut. Pertama, para arsitek kita begitu
"'low profile'" untuk meng-ekspose/ mempublikasikan karya-karyanya kepada orang lain,
atau mungkin juga takut ditiru karyanya. Hal ini ditunjang pula dengan miskinnya publikasi
dan informasi seperti majalah dan buku-buku arsitektur.
Sebenarnya banyak bangunan-bangunan / karya arsitektur yang bermutu dari arsitek -
arsitek Indonesia, namun karena ketertutupan dan sikap cenderung "low profile" inilah yang
membuat kita semakin tidak tahu menahu dan menjadi hambatan besar untuk memajukan dan
memeriahkan dunia arsitektur kita. Akibatnya yang juga bisa kita rasakan sampai saat ini
adalah lebih dikenalnya arsitek-arsitek luar oleh pemberi tugas, maupun oleh arsitek kita
sendiri.
▪ Dunia pendidikan arsitektur kita cendrung
"doktriner"
Pendidikan arsitektur di Indonesia berjalan dan berkembang sangat lambat
dibandingkan dengan perkembangan arsitektur di dunia, hal tersebut dikarenakan oleh
birokrasi, aneka kurikulum yang selalu berubah, dan kecenderungan untuk mendoktrin benar
atau salah.
Para mahasiswa arsitektur tidak dididik sebagai penemu dan pencipta yang kreatif
dalam dunia arsitektur, melainkan hanya diajarkan benar atau salah. Hal tersebut
menyebabkan para mahasiswa cenderung main asal lulus, yang penting lulus, dan hal tersebut
tidak membentuk kepercayaan dirinya. Sehingga pada saat di dunia pekerjaan mereka hanya
mengikuti arah arus sajaa, tanpa memiliki kepercayaan diri, dan hal ini terkait dengan
mengapa arsitekt di Indonesia tidak memiliki karakter
Hal-hal inilah yang menyebabkan Arsitektur dan Arsitek kita belum dapat menjadi diri
"sendiri".
Sadar bahwa Arsitektur adalah pilihan profesinya yang harus di perjuangkan dan
dikembangkan, maka beberapa arsitek muda dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-
beda, sepakat untuk memulai suatu kelompok / forum bernama "AMI".
ARSITEK MUDA INDONESIA untuk memberikan "sedikit" gerakan yang
diharapkan dapat "menggoyangkan" dan menggerakkan kemapanan yang sudah terbentuk
tadi, untuk bergerak maju.
Sekarang mereka berdiri di antara para arsitek terkemuka di dunia arsitektur Indonesia
kontemporer.
AMI sampai saat ini tidak pernah terpikir untuk membentuk organisasi yang
dilengkapi dengan AD/ART, sekretariat dan lain-lain sebagainya. AMI mengakui bahwa IAI
adalah satu-satunyaorganisasi profesi Arsitektur di Indonesia. Mereka hanyalah perkumpulan
informal yang memiliki Jiwa tersendiri

JIWA AMI
Semangat
Kritis
Keterbukaan

SEMANGAT
Semangatlah yang mengikat sesama anggota AMI untuk terus menerus menggali dan
menyumbangkan ide dalam perkembangan Arsitektur di Indonesia. Semangat ini
dimanifestasikan dalam wujud "penjelajahan desain".
Salah satu kalimat tepenting dari manifesto AMI adalah: "Bagi kami Arsitek Muda
Indonesia, arsitektur adalah wujud dari penjelajahan disain" jadi kata kuncinya adalah
'Penjelajahan'".
Kita tidak peduli sebuah proses desain harus melalui bentuk kotak yang, kemudian
berkembang menjadi bundar, segitiga, tidak beraturan dan akhirnya kembali ke kotak lagi,
hal itu tidak penting, yang utama adalah "Proses" dari penjelajahan itu sendiri.
Dengan menjalani proses penjelajahan, maka akan terdapat ber ribu-ribu
kemungkinan dan penemuan-penemuan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Dalam suatu proses disain, sering para arsitek kita terlalu cepat berhenti, dan merasa
sudah cukup puas dengan rancangannya. Padahal sebetulnya mereka belum dapat dikatakan
menemukan "sesuatu" akibatnya rancangan yang dihasilkan akan menghasilkan sosok yang
asing.
Padahal proses desain seharusnya tidak boleh berhenti, dan harus terus berlangsung,
bahkan sampai pelaksanaan di lapangan . (beruntung kita memiliki arsitek YB Mangunwijaya
yang membuka mata kita untuk suatu alternatif dalam perancangan & pelaksanaan, dimana
beliau tidak pernah mengandalkan gambar kerja, tapi terjun langsung di lapangan untuk
berimprovisasi dengan tukang-tukangnya untuk menghasilkan bangunan yang dianggap
terbaik.)
Betapa asyiknya menjadi seorang penjelajah bisa kita rasakan sendiri. Dan ternyata
pada akhirnya kita juga menjadi diri kita sendiri, dan karakter, tanda tangan dan jiwa kita
akan muncul dengan sendirinya.
Namun kita juga menyadari betul, bahwa kita tidak dapat mengatakan bahwa saat ini
para anggota AMI sudah berhasil menemukan tanda tangan mereka.
Hingga saat ini, kita masih dalam proses., Proses untuk terus mencari dan mencoba
terus ber macam-macam kemungkinan-kemungkinan. Hanya modal semangat dan
kepercayaan yang pelan-pelan terus di tumbuhkan melalui penjelajahan desain yang membuat
proses itu tetap berlangsung sampai saat ini.

KRITIS
Beberapa rekan-rekan AMI adalah figur-figur yang sangat kritis, hal ini bisa dilihat
dari awal, pada mulanya mereka menjalani pendidikan Arsitektur di bangku kuliah.
Mereka sering mempertanyakan dan tidak terima begitu saja apa yang di anjurkan,
bahkan sering kali dari mereka harus menjadi korban akibat keyakinan mereka sendiri.
Pada saat ini pun mereka juga tetap kritis, kritis terhadap karya sendiri, maupun kritis
terhadap karya orang lain. dan inilah salah satu kekuatan AMI yaitu budaya kritis, untuk
saling kritik diantara teman-teman sendiri. Dan pada akhirnya kita menjadi sadar betul bahwa
forum seperti debat / kritik sangat di gemari dan bermanfaat.
Kita tidak peduli hasil akhir dari debat / kritik tersebut, yang penting prosesnya yang
telah memperkaya kita, dari berbagai sudut pandang yang lain. (sehingga lahirlah istilah
"Sepakat untuk tidak sepakat".)

KETERBUKAAN
Kekritisan harus ditunjang keterbukaan. Keterbukaan melontarkan pendapat, dan
keterbukaan mendengarkan pendapat.
Hal ini menjadi ciri khas rekan-rekan AMI untuk saling mempublikasikan /
mengexpose karyanya untuk "dibantai" dalam forum-forum AMI. tanpa harus tersinggung
atau "takut
dicontek idenya", karena akhirnya yang beruntung adalah kita juga, yang mendapat
masukan-masukan yang beraneka ragam dan membantu "percepatan" dengan belajar diantara
sesama teman sendiri.
Tidak mengherankan bila karya-karya AMI seperti seolah-olah mempunyai karakter
tersendiri, walaupun beraneka ragam, bentuk dan pendekatan masalahnya.
Hal ini lah yang sejak awal juga berhasil menghilangkan sekat-sekat kebanggaan yang
berlebihan di antara para AMI yang berasal dari berbagai latar belakang pendidikan, baik dari
Universitas Negri, Universitas Swasta bahkan dari Luar Negri.
Pada awalnya memang mereka begitu bangga dengan latar belakang pendidikannya,
tapi kini merekapun sadar bahwa mereka di perkaya oleh teman-teman sendiri yang datang
dari latar belakang Universitas yang berbeda satu sama lain.
AMI juga tidak pernah menawarkan suatu style/ langgam arsitektur tertentu, setiap
orang mempunyai idola dan karakternya sendiri. Sepintas lalu corak arsitektur AMI memang
seperti seperti gado-gado yang beraneka ragam benang merah yang mengikatnya hanyalah
semangat penjelajahan/pencarian dan penemuan.

UPAYA AMI
Ada beberapa upaya upaya yang dilakukan AMI untuk mencapai visi dan misi
mereka. Upaya upaya tersebut adalah
1. Pameran
Pameran adalah bentuk pernyataan kita yang sangat jelas, dalam pameran ini
tergambar proses dan semangat explorasi dari rekan-rekan AMI. Karya-karya yang
dipamerkan berupa proyek-proyek proposal, bangunan bangunan yang terbangun, maupun
proyek- proyek fiktif (yang menjadi penting karena biasanya proyek-proyek fiktif
menampilkan ide-ide / konsep yang futuristik, original dan memandang kedepan arsitektur
kita fana akan datang).
Pameran tidak disusun secara mati, tapi juga bervariasi, baik itu gambar, foto, maket,
sketsa, bahkan lay out pemeran itu sendiri tidak luput dari perhatian.
Pameran ini pada awalnya berlokasi di gedung pameran, seperti pameran Prospektif
1990, di Jakarta Disain Center, namun kemudian hal ini tidak efektif bila terus menerus di
gedung pameran. Tantangan-tantangan justru terbuka untuk pameran di bangunan-bangunan
lain, baik itu berupa rumahrumah tinggal yang kebetulan menjadi acara Open House, atau di
museum seperti di diorama Monas tahun 1995, atau di Cafe tahun 1996 (Peluncuran buku
AMI, penjelajah 1990-1995), hal ini juga untuk membuka kemungkinan kemungkinan baru
dan memperkaya bentuk pameran supaya praktis, tidak monoton, dan tidak butuh persiapan
yang besar-besaran, yang melelahkan.

Sumber : www.arsitekturindonesia.org
Ini adalah pameran Arus silang yang dilaksanakan di lorong ITB dimana mereka
mengundang Y B Mangunwijaya. Dan pada pameran ini di moderator oleh Pak Yuswadi
Saliya
2. Diskusi
Diskusi yang sering juga jadi ajang caci-maki
diantara sesama arsitek berlangsung dimana saja
dan berpindah-pindah tempat. Dalam fungsi
diskusi ini sering juga kita mengundang
pembicara tamu, arsitek-arsitek yang baru lulus
/ baru pulang dari luar negri untuk membagi
pengalamannya. Bahkan juga bisa sering
meminta rekan-rekan mahasiswa untuk juga
saling membagi informasi timbal balik (dalam
hal ini telah dilakukan presentasi ke sayembara
UNTAR dan Open House keluarga Irma
Kamdani dimana arsiteknya Andra Martin

Sumber : www.arsitekturindonesia.org
Sumber : www.arsitekturindonesia.org

Dalam salah satu diskusi AMI, di pameran Arus Silang di Lorong Jurusan Arsitektur
ITB, yang di moderatori oleh Yuswadi Saliya. Yuswadi-lah yang pertama kali melontarkan
bahwa AMI adalah generasi Arsitek ke 3 di Indonesia, dimana generasi pertama adalah
Silaban dkk. yang berasal dari pendidikan di Luar Negri (Barat), generasi ke 11, hasil didikan
dalam negri, Adi Moersid, Atelier Enam dkk . Sedang AMI generasi ke tiga, yang sepertinya
terlepas sama sekali dari para pendahulunya. Pak Yus juga menambahkan inilah generasi
"Arus Informasi".
3. Open House
Sebuah acara favorit AMI, yang merupakan acara peresmian rumah / bangunan
dimana juga merupakan pertanggung jawaban si arsitek terhadap karyanya. Acara digelar
secara santai, namun terbukti efektif sebagai bahan pembelajaran arsitektur langsung
dilapangan.
Acara pada open house yang merupakan partisipasi dari arsitek, kontraktor dan
pemberi tugas biasanya sebagai berikut:
Peresmian rumah / "'tour de architecture'" yang biasanya dilanjutkan dengan diskusi
dan tanggung jawab langsung dengan si arsitek. Kemudian juga ada beberapa acara spontan
lainnya seperti peresentasi slide berupa perjalanan arsitektur atau desain, pameran terbatas 1
hari, diskusi dan lain sebagainya.
Acara open house ini sangat populer dan di gemari baik dikalangan AMI sendiri dan
juga para ABG (Arsitek Baru Gede, yang baru lulus atau mahasiswa) dimana undangan
disebar luaskan melalui fax. Jadilah acara ini seperti kuliah terbuka, mimbar bebas untuk
berbicara mengenai arsitektur yang dihadiri oleh berabagai arsitek dan mahasiswa dari latar
belakang pendidikan yang berbeda-beda.
4. Penerbitan Buku
Menerbitkan buku memang sudah lama menjadi keinginan dari Arsitek muda. Namun
begitu susah untuk merealisasikan karya dan baru pada pertengahan tahun 1996, ( setelah 6
tahun berlangsung) akhirnya berhasil diterbitkan sebuah buku yang merupakan proses yang
cukup lama baik mengenai bahan dan materi itu sendiri.
Buku pertama AMI yang bertemakan Penjelajahan 1990 - 1995, berisi karya-karya
AMI maupun tulisan-tulisan berupa pemikiran-pemikiran, ide dan lain sebagainva.
Buku yang diluncurkan di Twilite Cafe pada tanggal 22 April 1996 mendapat
sambutan yang sangat hangat dari kalangan masyarakat dan pemerhati Arsitektur, dimana
buku arsitektur yang membahas karya-karya Arsitektur Indonesia sangat dibutuhkan. Dalam
tempo + 1 bulan, tanpa publikasi yang memadai telah habis terjual 2000 buku.
Salah satu komentar yang sangat tepat datang dari arsitek senior Ir. Zaenuddin
Kartadiwiria yang juga merupakan dosen di jurusan Arsitektur di Universitas Trisakti yang
menganjurkan mahasiswa-mahasiswanya untuk memiliki buku ini, dimana beliau
mengatakan "terlepas baik atau buruknya buku AMI ini, namun inilah gambaran dunia
arsitektur kita saat ini". Komentar yang kritis juga datang dari dosen dan arsitek senior dari
ITB, sekaligus salah seorang pendiri
LSAI, Yuswadi Saliya. Dimana beliau mengatakan sebetulnya banyak karya-karya
dan tulisan dari para Arsitek Indonesia yang baik, yang sayangnya tidak terekam. Oleh
karena AMI telah berhasil membukukan baik karya arsitektur dan tulisan dalam sebuah buku,
maka jadilah peristiwa ini sebuah "Sejarah". Jadi begitu penting bukti kehadiran buku disini
sebagai bahan study sejarah Arsitektur untuk memandang kedepan Arsitektur kita.
Penerbitan buku tidak hanya berhenti di situ saja, dengan modal yang tidak hanya dari
hasil penjualan buku, tapi juga pengalaman yang berharga dalam proses pembuatannya, maka
untuk membuat buku-buku lainnya tidaklah terlalu sulit lagi. Dan kini memang sedang
direncanakan buku AMI yang kedua dengan tebal 300 halaman, yang rencananya akan
diterbitkan tahun 1997.
Dan juga masih banyak lagi rencana untuk membuat buku arsitektur dengan thema
sayembara, perkotaan dan monografh. Rupanya kegiatan membuat buku akan menjadi
kegiatan utama AMI yang akan menggantikan bentuk-bentuk pameran arsitektur yang
berskala besar dan melelahkan.

KARYA-KARYA AMI

1. Rumah Baja

Data Proyek
Nama Proyek : Sugiharto Steel House
Jenis bangunan : Rumah Tinggal
Luas lahan : 117 m2
Luas Bangunan : 36 m2
Dibangun : 2002
Klien : Sugiharto Djemani
Arsitek : Ahmad Djuhara

Rumah baja merupakan rumah yang dibangun di atas kavling yang kecil dengan
pembiayaan yang terbatas. Tujuan utama perancangan rumah ini adalah mendapatkan
kembali area belakang rumah menjadi ruang terbuka yang nyaman tanpa terganggu kegiatan
sirkulasi dan servis. Oleh karena itu ruang servis diletakkan di sisi depan tapak. Sedangkan
bangunan inti berukuran 6m x 6 m di belakangnya diperuntukkan sebagai ruang duduk dan
dapur. Rumah tidak memiliki teras dan ruang tamu di depan. Ruang-ruang di dalam ruah
lebih diorientasikan untuk terbuka ke arah taman belakang.
Bahan baja dipilih sebagai material struktur dan lembaran metal untuk dinding
bertujuan menyiasati pembiayaan pembangunan rumah. Pemakaian baja dan lembaran metal
dapat menghindari tukang batu yang mahal, waktu tunggu pengerasan semen yang lama serta
dimensi struktur yang relatif lebih besar bila menggunakan struktu beton dan dinding bata.
Penggunaan bahan metal yang mudah didapat, tahan cuaca, tahan karat, dan ringan ini
membuat pembangunan rumah relatif lebih murah, efisien dan cepat.
2. Rumah di Ragunan

Arsitek : Adi Purnomo


Luas tanah: 375 m²
Luas bangunan: 99 m²

Sumber: Karya-karya AMI 1997-2202


Rumah di ragunan karya Adi Purnomo memilik masalah dengan Garis Sempadan
Bangunan (GSB) yang besar sedangkan lahannya tidak begitu luas. Pemilik ingin
membangun rumah di atas tanah sebesar 15 m x 25 m dengan GSB 10 m pada sisi
panjangnya dan 3 m pada sisi pendeknya. Kemudian arsitek merancang hunian dengan
bentuk memanjang pada area yang tersisa dan ruang-ruang disiasati dengan bukaan maksimal
ke arah ruang terbuka.
Penutup bidang dinding bagian depan dibuata dengan pintu-pintu panel kaca berlipat
dua yang dapat dibuka lebar. Sehingga lantai bawah yang terdiri dari ruang makan, dapur dan
servis dapat berekspansi ke teras dan mendapatkan lebar hampir dua kali lipatnya.
Tempat pembuangan sampah diletakkan di dekat garasadan jauh dari inti rumah.
Kemudian dituutpi dengan pohon-pohon sebagai buffer bau-bauan. Rancangan rumah ini
tidak terlepas dari manifesto AMI pada tahun 1990 yakni penciptaan desain yang peka
terhadap lingkungan sekitar.
3. Rumah Wiryawan

Arsitek : Tan Tik Lam


Lokasi : Bandung
Tahun : 1999

Sumber: Karya-karya AMI 1997-2202

Rumah ini dibangun pada tahun 1999 saat situasi perekonomian sedang sulit. Hal ini
yang menjadi pertimbangan peracangan sehingga rancangan dituntut efesien dan hemat
biaya. Atas dasar keterbatasan biaya tersebut, rancangan menggunakan material yang tidak
terlalu banyak menggunakan finishing, misalnya dinding dengan bahan concreate block.
Selain itu, atap terbuat dari bahan metal untuk mempercepat pembangunan rumah dan tidak
terlalu panas untuk iklim kota Bandung. Daun pintu dipasang menempel tanpa kusen dan
lantai merupakan plat beton yang diplester halus tanpa finishing keramik.
4. Salon kat

Sumber: Karya-karya AMI 1997-2202

Salon Kat yang sudah berdiri di Kemang mengalami renovasi atas permintaan
pemilik. Arsitek yang menangani proyek tersebut ialah Jeffry Sandy dan Sukendro Sukendar
Priyoso. Kedua arsitek tersebut menerapkan rancangan modern yang sederhana dan
fungsional. Meskipun bangunan menampilkan kesan modern, sebagian besar memakai
material lokal dan meminimalkan penggunaan material fabrikan.
5. Pabrik Garmen Batara Wahamas

Sumber: Karya-karya AMI 1997-2202

Tan Tik Lam berhasil merancang pabrik ini dengan memadukan antara sentuhan
estetika dan atmosfer kerja yang nyaman meskipun dibatasi oleh anggaran yang ketat.
Bangunan pabrik sangat menekankan efesiensi waktu maupun dana, selain efesiensi produk,
alat dan pekerja. Oleh karena itu, dipilih struktur baja sebagai material atap utama untuk
bangunan terbesar yang berukuran 40 m x 60 m. Struktur baja diekspos dengan finishing cat
dalam warna yang berbeda ditiap bangunannya utnuk menciptakan identitas dan estetika.
6. Masjid Arrayan
Perancangan dalam Masjid Arrayan sebenarnya sederhana, yaitu dapat menampung
40 orang jemaah untuk shalat, pentingnya mihrab sebagai tempat imam, dan posisi makmum
menghadap kiblat.
Masjid Arrayan terletak di
kawasan perumahan baru di
Surabaya dimana warganya
menginginkan masjid modern, tidak
biasa tapi agung dan fungsinya
terpenuhi. Dari situ, Masjid
dirancanglah bentuk arsitektur yang
simpel berbentuk kotak dengan
kolom-kolom vertikal dan atap
datar.

Sumber: Karya-karya AMI 1997-2202

Kesimpulan

Regionalisme dan arsitektur vernakular baru mengambil acuan dari arsitektur masa
lampau dipadukan dengan unsur kontemporer, sehingga menjadikan arsitektur baru dan
modern yang tetap mempertahankan lokalitas.
Periode berikutnya munculah AMI yang menginginkan arsitek Indonesia memiliki
karakter dan lebih mempedulikan lingkungan dalam merancang. Keinginan tersebut tertuang
dalam manifesto yang kemudian tahun-tahun berikutnya terwujud pada rancangan-rancangan
para arsitek.
Daftar Pustaka
Pusat Dokumentasi Arsitektur. 2012. Tegang Bentang: Seratus Tahun Perspektif
Arsitektural di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Akmal. Imelda. 2002. Karya-karya AMI 1997-2002. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Tjahjono, Gunawan. 2002. Indonesian Heritage, Seni Arsitektur. Jakarta: Buku Antar
Bangsa.

Anda mungkin juga menyukai