Anda di halaman 1dari 8

Saat ini, banyak lahan kosong yang salah penggunaannya.

Yang dimaksud dengan lahan adalah tanah


kosong untuk tempat tinggal. Sedangkan yang dimaksud salah penggunaan adalah cara yang kurang
tepat untuk memakai dan memanfaatkan.
Berikut contoh dari lahan yang salah penggunaannya :

a. Lahan subur yang digunakan untuk pabrik-pabrik industri.


b. Lahan persawahan yang digunakan untuk perumahan. Hal ini dapat mengakibatkan
menurunnya kebutuhan pangan.
c. Lahan subur yang berada di pegunungan yang digunakan untuk membangun.

Lahan yang salah penggunaannya dapat mengakibatkan berbagai pencemaran dan juga kerusakan
lingkungan antara lain :

 polusi udara akibat kurangnya tumbuh-tumbuhan dan juga asap pabrik industri.
 kerusakan pada tanah akibat limbah industri.
 kerusakan pada air akibat limbah industri.
 kurangnya oksigen akibat sedikitnya tumbuhan.
 tanah menjadi kering dan retak-retak karena dibiarkan begitu saja.
 produksi air menjadi berkurang karena keringnya tanah.
 bencana alam yang disebabkan oleh berbagai akibat.
Contoh :

Kerusakan Hutan Akibat Penggembalaan Ternak dan Satwa Liar


Penyebab dan dampak penggembalaan ternak terhadap kerusakan hutan

Kerusakan akibat penggembalaan ternak dalam hutan dapat menyebabkan seluruh pohon mati, bahkan
dapat menimbulkan erosi tanah. Derajat kerusakan yang diderita hutan tergantung pada jenis serta
jumlah ternak, intensitas penggembalaan dan jenis pohon penyusun hutan. Jenis berdaun lebar akan
lebih disukai ternak daripada yang berdaun jarum. Intinya, spesies yang berbeda dapat memberikan
reaksi yang berbeda terhadap penggembalaan.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penggembalaan di hutan adalah :

1. Populasi ternak disekitar kawasan hutan : Semakin besar populasi ternak yang hidup di sekitar
hutan maka akan semakin banyak pakan ternak yang dibutuhkan sehingga semakin besar
kemungkinan ternak digembalakan di hutan untuk memenuhi kebutuhan pakannya.

2. Jumlah hijauan ternak yang mampu dihasilkan di desa sekitar hutan : Tidak adanya lahan di
pedesaan sekitar hutan yang dapat digunakan untuk penyediaan ternak guna memenuhi
kebutuhan ternak, akan menyebabkan masuknya pemilik ternak, baik sendiri maupun bersama
ternaknya, ke hutan untuk mencari pakan ternak.

3. Teknik memelihara ternak yang dilakukan oleh masyarakat : Peternakan sistem lepas
menyebabkan penggembalaan ternak dihutan.

4. Intensitas pengawasan oleh pengelola kawasan hutan : Kurangnya pengawasan memungkinkan


masuknya ternak di hutan.

Dengan adanya 4 faktor penyebab terjadinya penggembalaan ternak di hutan tersebut, maka
menimbulkan akibat kerusakan hutan. Akibat yang terjadi yaitu :

Kerusakan Terhadap Tanah Hutan

Ternak yang digembalakan di dalam hutan, misalnya lembu dan kambing, apabila populasinya
berlebihan akan menyebabkan banyak tanah menjadi terbuka karena rumput dan tanaman yang
melindungi tanah dimakan ternak. Injakan kaki ternak dapat mengakibatkan tanah terkais sehingga bila
hujan akan mudah dibawa oleh aliran air. Tanah akan menjadi padat, pori-pori tanah tertutup oleh
partikel-partikel tanah dan air hujan akan menggenang di permukaan tanah. Akibat dari semua itu akan
dapat menimbulkan suatu erosi tanah, terutama tanah-tanah yang miring akan lebih cepat tererosi.
Tanah-tanah yang miring dan hutan-hutan yang berfungsi untuk melindungi tata air atau sumber air
merupakan daerah yang harus bebas dari penggembalaan ternak.

Kerusakan tanah Tanaman Muda


Tanaman muda yang dimaksud adalah tanaman yang tajuknya masih dapat dicapai oleh ternak.
Tanaman muda sangat peka terhadap penggembalaan. Karena tajuknya yang masih rendah dan
batangnya masih lemah, bila dimasuki ternak maka akan dapat berakibat :

 daun/tajuk tanaman dimakan sampai gundul,

 batang tanaman dapat melengkung atau patah,

 seluruh tanaman dapat tercabut,

 kulit batang sering dimakan dan terkupas.

Menularkan penyakit pada satwa liar

Ternak yang digembalakan didalam hutan dapat menularkan penyakit kepada satwa liar yang hidup
didalam hutan. Kasus yang populer terjadi di TN. Ujung Kulon yaitu kematian Badak Jawa, karena
penyakit antraks yang ditularkan dari Kerbau yang digembalakan masyarakat di gunung Honje pada
tahun 1981.

Penyebab dan dampak aktivitas satwa liar terhadap kerusakan hutan

Margasatwa merupakan salah satu sumber alam yang dapat memberikan hasil keuntungan disamping
nilai ilmiah dan nilai lain yang sangat penting, tetapi makalah ini ditinjau dari sudut “Perlindungan
Hutan“ dan bukan dari sudut manajemen Margasatwa. Uraian disinipun ditujukan pada hutan untuk
produksi kayu, tidak termasuk hutan-hutan yang memang khusus dipergunakan untuk perlindungan
margasatwa, rekreasi, berburu dan lain-lainnya. Dalam keadaan jumlah yang normal, margasatwa relatif
sangat kecil bila dibandingkan kerusakan yang ditimbulkan oleh : serangga, jamur, kebakaran hutan dan
penggembalaan ternak di hutan. Hukum ekologi menyatakan bahwa makin rendah keragaman suatu
areal maka keadaan areal tersebut semakin labil. Keadaan labil ini akan membuat dan mempermudah
meledaknya suatu populasi hewan tertentu yang dapat menjadi hama bagi jenis tanaman tertentu pula.
Apabila populasi margasatwa tersebut berlebihan (over population), maka akan menimbulkan
kerusakan dalam ekosistem hutan. Kerusakan yang ditimbulkan dapat terjadi pada :

1. Daun-daun dari pohon

2. Pucuk dan tunas pohon

3. Kulit pohon

4. Batang pohon

5. Pesemaian dan anakan pohon

6. Biji dan buah

7. Kerusakan tak langsung akibat luka pohon yang ditimbulkan (infeksi hama dan penyakit)
Di beberapa negara ada yang memiliki jenis binatang yang dapat menumbangkan pohon dengan
menggerek batang-batang pohon sampai putus. Margasatwa dan pohon-pohon di hutan hidup
bersama merupakan suatu masyarakat dimana masing-masing mempunyai hubungan yang erat.
Tindakan manusia pada salah satu diantaranya akan mempengaruhi yang lainnya. Misalnya aktivitas
manusia dalam penebangan atau suatu pemeliharaan akan mempengaruhi kehidupan dan jumlah atau
populasi margasatwa, yang berarti pula dapat berubah menjadi kerusakan hutan yang disebabkan oleh
margasatwa. Tiap-tiap daerah atau negara mempunyai bermacam-macam jenis margasatwa yang
berbeda. Di Indonesia pada umumnya kerusakan hutan ditimbulkan oleh rusa, bajing, tikus, babi hutan,
kelinci, kera, spesies infasif dan burung.

1. Rusa : kerusakan yang ditimbulkan mirip dengan kerusakan yang disebabkan penggembalaan
dari kambing dan biri-biri, walaupun makanan tidak sama. Kira-kira 60 persen dari makanan rusa
juga disukai oleh kambing dan biri-biri. Rusa juga sangat merugikan pada tanaman-tanaman
muda dan anakan-anakan.

2. Bajing : kerusakan yang ditimbulkan bajing ialah pada biji, buah, pucuk, tunas, dan kulit pohon.
Binatang ini hidup dipohon bagian atas, bajing dapat berguna didalam penyebaran biji, karena
sering membawa buah ketempat yang agak jauh dari pohonnya dan menyembunyikan di tanah
berarti biji buahpun akan dapat tumbuh.

3. Tikus : binatang ini juga merusak biji-biji dan mengerat kulit dari anakan dan tanaman muda
sampai mati. Bagian yang dirusak biasanya yang dekat dengan tanah terutama yang berada
didalam tutupan serasah. Beberapa daerah mempunyai jenis tikus yang hidup dipohon bagian
atas. Tikus-tikus menyukai hutan yang mempunyai tanaman penutup tanah dan serasah yang
lebat. Biji dalam persemaian atau tempat-tempat perkecambahan sering mendapat gangguan
dari tikus.

4. Babi Hutan : binatang ini sering merusak biji, buah, akar-akar pohon, anakan dan tanaman-
tanaman muda. Sistem penanaman tumpangsari terutama yang menggunakan ketela rambat
(ubi jalar) dan ketela pohon (ubi kayu) sering memanggil datangnya babi hutan.

5. Kelinci : kerusakan akan terjadi pada pucuk dan tunas, tanaman muda, cabang-cabang kecil,
batang dan kulit pohon. Sering mengerat pohon sampai menimbulkan kematian.

6. Kera, dapat merusak daun, ranting bunga, buah maupun kulit batang, sehingga pohon-pohon
akan meranggas dan akhirnya mati. Kasus hancurnya habitat bekantan di Pulau Kaget
Kalimantan Selatan pada akhir tahun 90-an merupakan contoh yang sangat menarik sebagai
bahan pelajaran berharga.

7. Spesies infasif, hewan invasif baik asli maupun eksotik tidak diinginkan dan merupakan
tambahan yang berbahaya di kawasan alam yang dilindungi.

8. Burung : burung-burung sebenarnya lebih banyak menimbulkan akibat yang menguntungkan


daripada yang merugikan. Akibat yang menguntungkan misalnya di dalam hal menyebarkan biji
pohon, memakan serangga-serangga yang merugikan hutan dan memakan binatang lainnya
seperti bajing, tikus, dan kelinci yang juga banyak menimbulkan kerusakan pada hutan.
Kerusakan yang ditimbulkan burung adalah karena makan biji, buah, pucuk pohon. Beberapa
jenis burung sering melubangi pohon untuk tempat tinggal, atau mematuk-matuk pohon untuk
mencari makanannya.
Contoh Kasus :

Gangguan Hutan Akibat Pengembalaan Liar

Perlindungan hutan menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 tahun 2004 Bab I Pasal 1
adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang
disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit serta
mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan,
hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Kerusakan hutan
yang sangat parah di Indonesia membuat Guinness World Records mencatat Indonesia sebagai perusak
hutan tercepat di dunia. Dinyatakan dalam 12 detik, hutan seluas lapangan sepak bola lenyap dari bumi
Indonesia.

Salah satu penyebab kerusakan hutan yang tadi disebutkan adalah ternak. Peternakan
merupakan suatu usaha yang sangat penting bagi sebagian masyarakat petani di daerah pedesaan,
contonya sebagai sumber makanan, sumber pendapatan, sumber pupuk kandang, dan lain-lain. Namun
masyarakat yang khususnya berada di sekitar hutan terkadang mengembalakan ternaknya di dalam
hutan dengan jumlah yang banyak, sehingga jumlah ternak persatuan luasnya melebihi daya dukung
areal. Pengembalaan seperti inilah yang disebut dengan pengembalaan liar (illegal grazing).
Terkait dengan masalah pengembalaan liar, salah satu kawasan hutan konservasi yang mengalami
permasalahan illegal grazing adalah Suaka Margasatwa Cikepuh. Kawasan hutan Cikepuh ditetapkan
sebagai suaka margasatwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
532/Kpts/Um/10/1973 tanggal 20 Oktober 1973 dengan luas 8.127 Ha. Kawasan ini berdampingan
dengan Cagar Alam Cibanteng. Selain sebagai habitat bagi flora dan fauna, SM Cikepuh juga memiliki
potensi sebagai obyek wisata alam yang menarik karena kawasan ini terletak di sepanjang tepi selatan
pulau Jawa yang menghadap ke Samudera Indonesia sehingga mempunyai banyak pantai yang indah
dengan ombak yang cukup besar.

Cikepuh sebagai kawasan Suaka Margasatwa nampaknya tidak lagi memainkan perannya
dengan baik, sebab penduduk dapat keluar masuk kawasan hutan dengan bebas. Selain itu mereka tidak
segan untuk memakai kendaraan bermotor di kawasan SM Cikepuh. Hal ini tentu mengganggu
keberadaan fauna di sana. Kebebasan warga dalam mengakses kawasan ini tidak lain karena daerah
perkampungannya yang berada sangat dekat dengan zona inti dari SM Cikepuh, kampung tersebut biasa
disebut warga sekitar dengan sebutan kampung nelayan. Sebagian besar mata pencaharian
penduduknya adalah nelayan, pengambil nira, pekerja di perkebunan kelapa serta beberapa diantaranya
berprofesi sebagai pedagang. Disamping profesi tersebut, penduduk kampung ini memiliki mata
pencaharian lain yaitu sebagai peternak. Hewan yang diternakkan adalah kerbau ternak (Bubalus
bubalis). Namun karena mereka tidak mempunyai lahan yang cukup luas untuk mengembalakan
ternaknya, maka ternak tersebut dibiarkan liar di kawasan Suaka Margasatwa Cikepuh.
Menuurut hasil kegiatan eksplorasi Uni Konservasi Fauna IPB pada tahun 2009, semak belukar
mendominasi kawasan SM Cikepuh karena adanya perambahan besar-besaran oleh penduduk. Semak-
semak tersebut sangat disukai hewan ternak, sehingga para pemilik ternak tidak perlu khawatir
ternaknya kelaparan. Selain itu kondisi sumber air yang baik, dekatnya akses menuju muara, dan
predator yang sedikit menambah kenyamanan penduduk untuk mengembalakan ternaknya di sana.
Kehadiran hewan ternak di kawasan SM Cikepuh tentu sangat mengganggu baik dari segi ekologi hutan,
keindahan lingkungan maupun segi konservasi satwaliar. Dari segi ekologi hutan, ternak yang terus
menerus mengkonsumsi tumbuhan bawah dan semak belukar mengakibatkan kemampuan hutan untuk
menstabilkan atau memulihkan ekosistemnya berkurang, ditambah dengan adanya perambahan hutan
besar-besaran pada tahun1999-2001. Dari segi keindahan lingkungan, sesuatu yang sangat mengganggu
bagi pemandangan di SM Cikepuh adalah kotoran ternak. Kotoran ternak yang tidak sedikit dan tersebar
dimana-mana termasuk di daerah camp pengunjung membuat kondisi hutan terlihat kotor, kumuh, dan
berbau. Hal tersebut tentu sangat mengganggu bagi para pengunjung ataupun peneliti yang melakukan
kegiatan di sana. Selain kotoran, perilaku kerbau ternak yang senang berkubang membuat kondisi
sungai menjadi keruh.

Salah satu perilaku lain dari kerbau ternak adalah mengasin. Mengasin adalah perilaku kerbau
ternak pada sore menjelang matahari tenggelam sampai malam hari dengan berkumpul dan beristirahat
di pinggir pantai. Berkumpulnya hewan ini di pinggir pantai mengakibatkan pantai juga ikut kotor akibat
kotorannya. Pasir pantai yang putih dan indah harus terganggu oleh kotoran ternak baik yang mengering
ataupun yang masih segar.

Dari segi konservasi satwaliar, kehadiran kerbau ternak turut berkontribusi dalam kepunahan
satwa yang ada di SM Cikepuh. Sebuah situs internet mengatakan sebanyak 3 jenis satwaliar yang ada di
SM Cikepuh yaitu banteng (Bos javanicus), owa jawa ( Hylobates moloch), dan burung merak (Pavo
muticus) sudah sangat sulit dijumpai. Pengembalaan liar menyebabkan adanya persaingan antara
kerbau ternak dan banteng. Namun jumlah kerbau ternak yang lebih banyak menyebabkan banteng
tergusur. Burung merak yang senang berada di daerah padang pengembalaan harus terganggu
habitatnya akibat populasi kerbau ternak yang kian meningkat. Sementara owa jawa dinilai sulit untuk
hidup di SM Cikepuh karena semakin berkurangnya pohon-pohon tinggi dan besar, sebagaimana
diketahui bahwa owa jawa adalah satwa arboreal yang masa hidupnya dihabiskan di atas pohon.

Selain itu juga terdapat satwa dilindungi lainnya yang ada di kawasan suaka margasatwa ini,
antara lain penyu hijau (Chelonia mydas), babi hutan (Sus scrofa), dan lutung jawa (Tracypithecus
auratus), namun satwa-satwa tersebut masih dapat dijumpai. Satu hal yang harus diperhatikan adalah
keberadaan penyu hijau. Cikepuh merupakan salah satu tempat bagi penyu untuk naik dan bertelur,
penyu hanya akan bertelur pada pantai tertentu saja, satwa ini tidak akan bertelur bila kondisi pantai
yang disinggahinya terlalu kotor ataupun ramai. Hal ini dibuktikan dari kegiatan lalar penyu Uni
Konservasi Fauna tahun 2009 yang menjumpai seekor penyu hijau yang hendak bertelur namun
akhirnya tidak jadi dan malah kembali ke laut. Kejadian ini dikarenakan penyu tersebut terganggu
dengan kehadiran cahaya senter yang dibawa oleh salah satu anggota tim. Apabila diasumsikan
kehadiran manusia sama dengan kehadiran kerbau ternak yang senang mengasin di pinggir pantai, tentu
aktivitas bertelur penyu akan selalu terganggu dan pada akhirnya membuat SM Cikepuh tidak lagi
sebagai tempat singgah penyu untuk bertelur.
Terlepas dari dampak lokal yang diakibatkan pengembalaan liar di kawasan SM Cikepuh,
kegiatan tersebut juga mengakibatkan adanya dampak bagi kelangsungan kondisi bumi. Hasil penelitian
menyatakan peternakan menyebabkan degradasi tanah besar-besaran. Sekitar 20 persen dari padang
rumput kesuburannya menurun karena terlalu banyak hewan ternak yang merumput, selain itu tanah
tersebut semakin padat serta terkikis. Bila data ini dikorelasikan dengan pengembalaan liar di SM
Cikepuh, maka dapat dipastikan tanah SM Cikepuh juga kian padat dan terkikis, hal ini dapat
menghambat infiltrasi air dalam tanah yang pada akhirnya mengganggu proses pertumbuhan tanaman
di hutan tersebut. Peternakan juga dapat mempercepat proses penggurunan tanah.
Selain itu, kegiatan peternakan merupakan sektor utama yang menyebabkan berkurangnya persediaan
air bersih di Bumi, juga penyumbang pencemaran air, euthropication, dan kerusakan terumbu karang.
Zat pencemar utama dari peternakan adalah antibiotik, hormon, bahan kimia dari pengulitan hewan,
pupuk, dan pestisida yang disemprot ke tanaman untuk menghasilkan pakan ternak. Ternak
diperkirakan menjadi sumber utama polusi phosphorous dan pencemaran nitrogen di Laut China
Selatan, serta turut menyumbang kehilangan keanekaragaman hayati di ekosistem laut. Badan
organisasi PBB yang menangani masalah pangan (FAO) pun memberikan laporan bahwa sektor
peternakan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang setara dengan 18% C kadang O2, jumlah ini lebih
banyak dari gabungan seluruh transportasi di seluruh dunia.

Dari sekian data yang didapat maka dapat disimpulkan bahwa pengembalaan liar sangat
mengganggu kondisi hutan, sehingga perlu dilakukan pengendalian. Pengendalian tersebut harus
dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah dan penduduk sekitar hutan. Sejauh ini belum ada
data yang menunjukkan usaha pemerintah untuk mengendalikan illegal grazing tersebut.

Anda mungkin juga menyukai