Louisa Markus Hubungan Antara Hipertensi Dengan Gagal Jantung
Louisa Markus Hubungan Antara Hipertensi Dengan Gagal Jantung
HUBUNGAN ANTARA
HIPERTENSI DAN GAGAL JANTUNG
Pembimbing :
dr. Afdhalun A. Hakim, Sp.JP, FIHA
Penyusun :
Louisa Markus (030.03.139)
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, atas
Rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ”Hubungan antara Hipertensi dan
Gagal Jantung”.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Afdhalun A. Hakim, Sp.JP selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini, serta
kepada dokter-dokter pembimbing lain di bagian Penyakit Dalam RS Otorita Batam. Tujuan dari
pembuatan referat ini selain untuk menambah wawasan bagi penulis dan pembacanya, juga
ditujukan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam.
Penulis sangat berharap bahwa referat ini dapat menambah wawasan mengenai hipertensi
dan gagal jantung. Dan diharapkan, bagi para pembacanya dapat meningkatkan kewaspadaan
mengenai keadaan kesehatan yang berhubungan dengan kedua hal tersebut.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari
kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat berharap adanya masukan, kritik maupun saran yang
membangun.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga tugas ini dapat
memberikan tambahan informasi bagi kita semua.
Louisa Markus
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN 1
I.1. Jantung 4
I.2. Proses Mekanis Siklus Jantung 8
I.3. Pengukuran Tekanan Darah 9
I.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah 11
I.5. Pengaturan Tekanan Darah 17
BAB II HIPERTENSI
II.1. Definisi 19
II.2. Klasifikasi
II.2.1. Klasifikasi berdasarkan Etiologi 19
II.2.2. Klasifikasi berdasarkan Derajat Hipertensi 20
II.3. Patofisiologi 21
II.3.1. Curah Jantung 22
II.3.2. Sistem Renin-Angiotensin 22
II.3.3. Sistem Saraf Simpatis 23
II.3.4. Resistensi Perifer 24
II.3.5. Disfungsi Endotel 24
II.3.6. Substansi Vasoaktif 25
II.3.7. Sindrom Metabolik 25
II.3.8. Faktor Genetik 26
II.4. Faktor Resiko Hipertensi
II.4.1. Faktor Resiko yang Tidak Dapat Diubah 27
II.4.2. Faktor Resiko yang Dapat Diubah 28
II.5. Komplikasi 29
II.6. Diagnosa 30
II.7. Penatalaksanaan 30
II.7.1. Pengobatan non Farmakologis 32
II.7.2. Pengobatan Farmakologis 33
BAB III Gagal Jantung
III.1. Definisi 34
III.2. Epidemiologi 36
III.3. Etiologi 37
III.4. Bentuk-bentuk Gagal Jantung 38
III.5. Patofisiologi 41
III.6. Manifestasi Klinis 45
III.7. Penatalaksanaan 46
III.8. Prognosis 50
BAB IV Hubungan Antara Hipertensi-Gagal Jantung 52
IV.1. Hipertrofi Ventrikel Kiri
IV.1.1. Jenis Hipertrofi Ventrikel 53
IV.1.2. Perubahan Fungsional pada Hipertrofi Ventrikel Kiri 55
IV.1.3. Hipertrofi Ventrikel Kiri pada Hipertensi 56
IV.2. Infark Miokard 59
IV.3. Rentang Waktu Perjalanan Penyakit 61
IV.4. Pengaruh Pengobatan Hipertensi pada Perjalanan Penyakit dan Resiko
Gagal Jantung 61
DAFTAR PUSTAKA 62
DAFTAR GRAFIK & TABEL
I.1. Jumlah Pasien Penyakit Jantung di Rumah Sakit di Indonesia tahun 2007 3
I.2. Jumlah Pasien Penyakit Jantung di Rumah Sakit di Indonesia tahun 2007 3
I.3. Jumlah Kasus Gagal Jantung di Amerika pada tahun 2003-2006 4
2.1. Klasifikasi Hipertensi berdasarkan JNC VII 20
2.2. Klasifikasi Hipetrensi berdasarkan ESC 20
2.3. Stratifikasi Faktor Resiko dan Rencana Penanggulangan 31
2.4. Pilihan Obat pada Indikasi Khusus 33
4.1. Perubahan Kardiovaskular pada Hipertensi 57
DAFTAR GAMBAR
Grafik 1.1. Jumlah Pasien Penyakit Jantung di Rumah Sakit di Indonesia tahun 2007.
(sumber: Ditjen Yanmedik, Profil Kesehatan Indonesia 2008, Departemen Kesehatan RI, 2009).
10
Grafik 1.2. Jumlah Pasien Penyakit Jantung di Rumah Sakit di Indonesia tahun 2007.
(sumber: Ditjen Yanmedik, Profil Kesehatan Indonesia 2008, Departemen Kesehatan RI, 2009).
Jumlah Kasus Gagal Jantung di USA
Pria Wanita
14.7
12.8
9.1
4.9
1.9 1.4
0.3 0.2
Grafik 1.3. Jumlah kasus Gagal jantung di Amerika pada tahun 2003-2006.
(sumber: Fact Sheet, NCHS dan NHLBI, 2008)
Darah berjalan melalui sistim sirkulasi ke dan dari jantung melalui 2 lengkung
vaskuler (pembuluh darah) yang terpisah. Sirkulasi paru terdiri atas lengkung tertutup
pembuluh darah yang mengangkut darah antara jantung dan paru. Sirkulasi sistemik terdiri
atas pembuluh darah yang mengangkut darah antara jantung dan sistim organ.
Walaupun secara anatomis jantung adalah satu organ, sisi kanan dan kiri jantung
berfungsi sebagai dua pompa yang terpisah. Jantung terbagi atas separuh kanan dan kiri serta
memiliki empat ruang, bilik bagian atas dan bawah di kedua belahannya. Bilik bagian atas
disebut dengan atrium yang menerima darah yang kembali ke jantung dan memindahkannya
ke bilik bawah, yaitu ventrikel yang berfungsi memompa darah dari jantung.
Kedua belahan jantung dipisahkan oleh septum atau sekat, yaitu suatu partisi otot
kontinu yang mencegah percampuran darah dari kedua sisi jantung. Pemisahan ini sangat
penting karena separuh jantung janan menerima dan memompa darah beroksigen rendah
sedangkan sisi jantung sebelah kiri memompa darah beroksigen tinggi.
Jantung berfungsi sebagai pompa ganda. Darah yang kembali dari sirkulasi sistemik
(dari seluruh tubuh) masuk ke atrium kanan melalui vena besar yang dikenal sebagai vena
kava. Darah yang masuk ke atrium kanan berasal dari jaringan tubuh, telah diambil O2-nya
dan ditambahi dengan CO2. Darah yang miskin akan oksigen tersebut mengalir dari atrium
kanan melalui katup ke ventrikel kanan, yang memompanya keluar melalui arteri pulmonalis
ke paru. Dengan demikian, sisi kanan jantung memompa darah yang miskin oksigen ke
sirkulasi paru. Di dalam paru, darah akan kehilangan CO2-nya dan menyerap O2 segar
sebelum dikembalikan ke atrium kiri melalui vena pulmonalis.
Gambar 1.1. Anatomi Jantung Manusia (sumber:www.klikdokter.com)
Darah kaya oksigen yang kembali ke atrium kiri ini kemudian mengalir ke dalam
ventrikel kiri, bilik pompa yang memompa atau mendorong darah ke semus sistim tubuh
kecuali paru. Jadi, sisi kiri jantung memompa darah yang kaya akan O2 ke dalam sirkulasi
sistemik. Arteri besar yang membawa darah menjauhi ventrikel kiri adalah aorta. Aorta
bercabang menjadi arteri besar dan mendarahi berbagai jaringan tubuh.
Gambar 1.4. Teknik pengukuran tekanan darah yang direkomendasikan oleh the British Hypertension Society
(sumber: Kaplan’s Clinical Hypertension 2006;2:36)
Lakukan pengukuran tekanan darah dengan langkah-langkah sebagai berikut.
Letakkan bagian bell stetoskop diatas arteri brakialis, untuk menghindari suara berisik
usahakan stetoskop tidak bersentuhan dengan pakaian pasien. Dengan cara yang sama seperti
ada penentuan tekanan denyut obliterasi, pompa manset hingga 20-30 mmHg diatas tekanan
denyut obliterasi kemudian kendorkan pemompaan dengan kecepatan 2 mmHg per detik
sambil mendengarkan suara Korotkoff.
Sejalan dengan pengenduran manset, turbulensi aliran darah melalui arteri brakialis
menimbulkan rangkaian suara. Hal ini dikelompokkan menjadi 5 (lima) fase suara. Fase 1
ditandai oleh suara yang jelas, suara menghentak dan berulang, bersamaan dengan
pemunculan kembali denyut nadi yang teraba. Pemunculan awal suara fase 1 ini sama dengan
tekanan darah sistolik. Selama fase 2, suara murmur terdengar. Pada fase 3 dan 4, perubahan
mulai terjadi dimana suara nadi mulai melemah (biasanya 10 mmHg diatas tekanan darah
diastolik yang sebenarnya). Pada fase 5, suara mulai hilang, dan menunjukkan tekanan darah
diastolik. Untuk lebih meyakinkan pengamatan sebaiknya dilanjutkan hingga 10 mmHg
dibawah fase 5.
Pada sirkulasi sistemik, terjadi perubahan tekanan sebagai berikut: darah mengalir dari
aorta (dengan tekanan 100 mmHg) menuju arteri (dengan perubahan tekanan dari 100 ke 40
mmHg) ke arteriol (dengan tekanan 25 mmHg di ujung arteri sampai 10 mmHg di ujung
vena) masuk ke vena (dengan perubahan tekanan dari 10 mmHg ke 5 mmHg) menuju vena
cava superior dan inferior (dengan tekanan 2 mmHg) dan sampai ke atrium kanan (dengan
tekanan 0 mmHg).
Gambar 1.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah (sumber: www.colorado.edu, 2008)
Gambar 1.5. Hukum Frank Starling (sumber: Cardiac Function: A Simple View,www.med.uc.edu, 2008)
Faktor yang mendukung aliran balik vena dan memperbesar curah jantung:
a. Pompa otot rangka.
Vena muskular memiliki katup-katup, yang memungkinkan darah hanya mengalir
menuju jantung dan mencegah aliran balik. Konstraksi otot-otot tungkai membantu
mendorong darah ke arah jantung melawan gaya gravitasi.
b. Pernafasan.
Selama inspirasi, peningkatan tekanan negatif dalam rongga toraks menghisap udara ke
dalam paru-paru dan darah vena ke atrium.
c. Reservoir vena.
Di bawah stimulasi saraf simpatis, darah yang tersimpan dalam limpa, hati, dan
pembuluh besar, kembali ke jantung saat curah jantung turun.
d. Gaya gravitasi di area atas jantung membantu aliran balik vena.
Faktor-faktor yang mengurangi aliran balik vena dan mempengaruhi curah jantung :
a. Perubahan posisi tubuh dari posisi telentang menjadi tegak, memindahkan darah dari
sirkulasi pulmonar ke vena-vena tungkai. Peningkatan refleks pada frekuensi jantung dan
tekanan darah dapat mengatasi pengurangan aliran balik vena.
b. Tekanan rendah abnormal pada vena (misalnya, akibat hemoragi dan volume darah
rendah) mengakibatkan pengurangan aliran balik vena dan curah jantung.
c. Tekanan darah tinggi. Peningkatan tekanan darah aorta dan pulmonar memaksa ventrikel
bekerja lebih keras untuk mengeluarkan darah melawan tahanan. Semakin besar tahanan
yang harus dihadapi ventrikel yang berkontraksi, semakin sedikit curah jantungnya.
II.2. Klasifikasi
II.2.1. Klasifikasi Berdasarkan Etiologi 13,14
a. Hipertensi Esensial (Primer)
Merupakan 90% dari kasus penderita hipertensi. Dimana sampai saat ini
belum diketahui penyebabnya secara pasti. Beberapa faktor yang berpengaruh
dalam terjadinya hipertensi esensial, seperti : faktor genetik, stress dan
psikologis, serta faktor lingkungan dan diet (peningkatan penggunaan garam
dan berkurangnya asupan kalium atau kalsium).
Peningkatan tekanan darah tidak jarang merupakan satu-satunya tanda
hipertensi primer. Umumnya gejala baru terlihat setelah terjadi komplikasi
pada organ target seperti ginjal, mata, otak dan jantung.
b. Hipertensi sekunder
Pada hipertensi sekunder, penyebab dan patofisiologi dapat diketahui
dengan jelas sehingga lebih mudah untuk dikendalikan dengan obat-obatan.
Penyebab hipertensi sekunder di antaranya berupa kelainan ginjal seperti
tumor, diabetes, kelainan adrenal, kelainan aorta, kelainan endokrin lainnya
seperti obesitas, resistensi insulin, hipertiroidisme, dan pemakaian obat-obatan
seperti kontrasepsi oral dan kortikosteroid.
Gambar 2.1. Patofisiologi Hipertensi (sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I edisi IV,
2007;142:599).
II.3.1. Curah Jantung 11,16
Peningkatan curah jantung dapat terjadi akibat 2 hal yaitu peningkatan volume
cairan (preload) atau dari peningkatan kontraktilitas dari stimulasi saraf pada jantung.
Pada mayoritas penelitian, penderita dengan tekanan darah tinggi memiliki volume
darah yang lebih rendah dibandingkan mereka dengan tekanan darah normal.
Pada hipertensi yang sangat awal, resistensi perifer belum meningkat. Sehingga,
dapat disimpulkan bahwa peningkatan tekanan darah disebabkan peningkatan curah
jantung, yang berhubungan dengan hiperaktifitas simpatis. Peningkatan resistensi
arteriol perifer kemudian terjadi sebagai mekanisme kompensasi untuk mencegah
peningkatan tekanan diteruskan pada area kapiler dimana hal ini dapat mempengaruhi
homeostasis sel. Bagaimanapun, meskipun peningkatan curah jantung terlibat pada
permulaan peningkatan tekanan darah, hal ini umumnya tidak berlangsung terus
menerus. Umumnya, perubahan yang ditemukan pada kasus hipertensi berupa
peningkatan resistensi perifer dan curah yang jantung yang lebih rendah atau normal.
b. Obesitas
Obesitas merupakan faktor predisposisi penting terjadinya hipertensi. Penurunan
berat badan sebesar 5 kg pada penderita hipertensi dengan obesitas (kelebihan berat
badan > 10%) dapat menurunkan tekanan darah.
Anak dan dewasa yang mengalami kegemukan, menderita lebih banyak hipertensi
dan penambahan berat badan biasanya diikuti dengan kenaikan tekanan darah.
Walaupun kalori tambahan yang bertanggung jawab bagi kenaikan berat badan, dapat
menginduksi hipertensi karena ia membawa natrium tambahan, namun penurunan
jelas dalam masukan natrium telah terbukti menurunkan tekanan darah.
c. Alkohol
Terdapat hubungan yang linier antara alkohol, tingkat tekanan darah dan
prevalensi hipertensi pada masyarakat. Diperkirakan 5-10% hipertensi pada pria di
Amerika disebabkan langsung oleh konsumsi alkohol. Alkohol menurunkan efek obat
anti hipertensi, tetapi efek presor ini mengalir dalam 1-2 minggu dengan mengurangi
minum alkohol hingga 80%.
d. Merokok
Merokok mempermudah terjadinya penyakit pembuluh darah jantung, otak, dan
kaki. Merokok menyebabkan meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah untuk
sementara dan hal ini disebabkan oleh pengaruh nikotin dalam peredaran darah.
Meningkatnya tekanan darah ini lebih nyata pada penderita tekanan darah tinggi.
Selain pengaruh langsung tersebut, hanya sedikit bukti adanya hubungan merokok
dengan tekanan darah tinggi yang menetap. Walaupun demikian, merokok dapat
menyebabkan terjadinya penyempitan arteri dan akibatnya terjadi penyakit tekanan
darah tinggi yang berat terutama pada usia lanjut.
e. Stress
Stress dapat meningkatkan tekanan darah dalam jangka pendek dengan cara
mengkatifkan bagian otak dan sistem saraf yang biasanya mengedalikan tekanan
darah secara otomatis. Peningkatan tekanan yang dialami berulang kali karena stress,
pada akhirnya akan menyebabkan tekanan darah tinggi yang menetap. Peningkatan
tekanan darah yang menetap karena stress tidak terlihat nyata pada pria.
II.5. Komplikasi14
Tekanan darah tinggi apabila tidak diobati dan ditanggulangi, maka dalam jangka
panjang akan menyebabkan kerusakan arteri di dalam tubuh hingga orang-organ yang
mendapat suplai darah dari arteri tersebut. Komplikasi hipertensi dapat terjadi pada
organ-organ sebagai berikut :
a. Jantung gagal jantung dan penyakit jantung koroner.
b. Otak resiko stroke meningkat hingga 7x bila tidak diobati
c. Ginjal kerusakan sistem penyaringan di dalam ginjal
d. Mata retinopati hipertensi
Gambar 2.3. Komplikasi Hipertensi Esensial (sumber: Kaplan’s Clinical Hypertension 2006;4:123)
II.6. Diagnosa 21
Pengukuran tekanan darah dilakukan dengan benar. Karena adanya variasi yang
besar dalam tekanan darah, diagnosa hipertensi harus berdasarkan beberap kali
pengukuran (3-4 x) dalam kesempatan waktu yang terpisah.
Resiko Grup C
Resiko Grup A
Tekanan Darah Resiko Grup B ( 3 faktor resiko
(Tanpa faktor
(mmHg) ( 1-2 faktor resiko ) atau DM atau
resiko)
KOT/KKT)
Sistolik : 130 - 139 Perubahan Pola Perubahan Pola Perubahan Pola
Diastolik : 80 - 89 Hidup Hidup Hidup + Obat
Sistolik : 140 - 159 Perubahan Pola Perubahan Pola Perubahan Pola
Diastolik : 90 - 99 Hidup + Obat Hidup + Obat Hidup + Obat
Sistolik 160 Perubahan Pola Perubahan Pola Perubahan Pola
Diastolik 100 Hidup + Obat Hidup + Obat Hidup + Obat
KOT = Kerusakan Organ Target (Target Organ Damaged)
KKT = Kondisi Klinik Terkait (Associated Clinical Condition)
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang untuk mencegah tekanan darah
tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam penanganan hipertensi. Semua pasien
dengan prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup.
Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien-pasien dengan hipertensi,
modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi
pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi. Modifikasi gaya hidup yang
penting yang terlihat menurunkan tekanan darah adalah:
mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk;
mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang
kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan
mengkonsumsi alkohol sedikit saja.
Pada sejumlah pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan
terapi satu obat antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat membebaskan
pasien dari menggunakan obat. Program diet yang mudah diterima adalah yang didisain
untuk menurunkan berat badan secara perlahan-lahan pada pasien yang gemuk dan
obesitas disertai pembatasan pemasukan natrium dan alkohol. Untuk ini diperlukan
pendidikan ke pasien, dan dorongan moril.
Aktifitas fisik juga dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga aerobik secara
teratur paling tidak 30 menit/hari beberapa hari per minggu ideal untuk kebanyakan
pasien. Studi menunjukkan kalau olah raga aerobik, seperti jogging, berenang, jalan
kaki, dan menggunakan sepeda, dapat menurunkan tekanan darah. Keuntungan ini dapat
terjadi walaupun tanpa disertai penurunan berat badan. Pasien harus konsultasi dengan
dokter untuk mengetahui jenis olah-raga mana yang terbaik terutama untuk pasien
dengan kerusakan organ target.
Merokok merupakan faktor resiko utama independen untuk penyakit
kardiovaskular. Pasien hipertensi yang merokok harus dikonseling berhubungan dengan
resiko lain yang dapat diakibatkan oleh merokok.
II.7.2. Pengobatan farmakologis
Diuretik (Hidroklorotiazid)
mengeluarkan cairan tubuh sehingga volume cairan ditubuh berkurang yang
mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan.
Penghambat Simpatetik (Metildopa, Klonidin dan Reserpin)
menghambat aktivitas saraf simpatis.
Betabloker (Metoprolol, Propanolol dan Atenolol)
Menurunkan daya pompa jantung.
Tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui mengidap gangguan
pernapasan seperti asma bronkial.
Pada penderita diabetes melitus: dapat menutupi gejala hipoglikemia
Vasodilator (Prasosin, Hidralasin)
bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos pembuluh
darah.
ACE inhibitor (Captopril)
menghambat pembentukan zat Angiotensin II.
Efek samping: batuk kering, pusing, sakit kepala dan lemas.
Penghambat Reseptor Angiotensin II (Valsartan)
menghalangi penempelan zat Angiotensin II pada reseptor sehingga
memperingan daya pompa jantung.
Gambar 3.3. Letak Kerja ACEI dan ARB (sumber: Kaplan. Clinical Hypertension,3:72. 2006)
Antagonis kalsium (Diltiasem dan Verapamil)
menghambat kontraksi jantung (kontraktilitas).
3. Mekanisme renin-angiotensin-aldosteron
Salah satu efek yang paling penting dalam menurunkan curah jantung dalam gagal
jantung adalah reduksi aliran darah pada ginjal dan kecepatan filtrasi glomerulus, yang
menyebabkan retensi garam dan air. Penurunan aliran darah ke ginjal, meningkatkan
sekresi renin oleh ginjal yang secara paralel akan meningkatkan pula angiotensin II.
Peningkatan konsentrasi angiotensin II berkontribusi pada keadaan vasokonstriksi dan
menstimulasi produksi aldosteron dari adrenal korteks. Aldosteron akan meningkatkan
reabsorpsi natrium dengan meningkatkan retensi air.
Selain itu angiotensin II dan aldosteron juga terlibat dalam inflamasi proses perbaikan
karena adanya kerusakan jaringan. Keduanya menstimulasi produksi sitokin, adhesi sel
inflamasi (contoh neutrofil dan makrofag) dan kemotaksis; mengaktivasi makrofag pada
sisi kerusakan dan perbaikan; dan menstimulasi pertumbuhan fibroblas dan sintesis
jaringan kolagen.
Diuretika
Salah satu cara menanggulangi gagal jantung adalah mengurangi resisten garam dan air
yaitu dengan diet rendah lemak dan pemberian diuretika. Pada pemberian diuretika yang
berlebihan dapat menyebabkan CO menurun, hipotensi ortostatik, kemunduran fungsi
ginjal.
Venodilator
Venous compliance berkurang pada gagal jantung. Venous bed merupakan tempat yang
besar, oleh karena itu venodilator mempunyai efek venous pooling dengan acute
reduction in elevated venous return yang menurun. Dengan diberikannya venodilator dan
diuretika, filling pressure dapat menurun sehingga simptom dapat berkurang seperti sesak
napas, orthopnoe, tanpa menyebabkan turunnya CO.
III.8. Prognosis
Pasien dengan gagal jantung akut memiliki prognosis yang sangat buruk. Dalam
satu randomized trial yang besar pada pasien yang dirawat dengan gagal jantung yang
mengalami dekompensasi, mortalitas 60 hari adalah 9,6% dan apabila dikombinasi
dengan mortalitas dan perawatan ulang dalam 60 hari jadi 35,2%. Sekitar 45% pasien
gagal jantung akut akan dirawat ulang paling tidak satu kali, 15% paling tidak dua kali
dalam 12 bulan pertama. Angka kematian lebih tinggi lagi pada infark jantung yang
disertai gagal jantung berat dengan mortalitas dalam 12 bulan adalah 30%.
Terdapat beberapa faktor klinis yang penting pada pasien dengan gagal jantung
akut yang dapat mempengaruhi respon terhadap terapi maupun prognosis diantaranya
adalah:
1. Tekanan darah sistolik yang tinggi saat masuk berhubungan dengan mortalitas pasca
perawatan yang rendah namun perawatan ulang dalam 90 hari tidak berbeda antara
pasien dengan hipertensi maupun normotensi. Tekanan darah sistolik yang rendah (<
120 mmHg) saat masuk rumah sakit menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Gheorghiade et al didapatkan bahwa peningkatan
tekanan darah sistolik berhubungan dengan mortalitas selama perawatan yang rendah
yaitu 7.2% (<120 mm Hg), 3.6% (120-139 mm Hg), 2.5% (140-161 mm Hg). 1.7%
(>161 mm Hg).
2. Gangguan fungsi ginjal tampaknya juga mempengaruhi hasil akhir pada gagal jantung
akut. Pada penelitian yang dilakukan Klein et al didapatkan bahwa rendahnya
estimated glomerular filtration rate (eGFR) dan tingginya BUN saat masuk RS
berkaitan dengan meningkatnya risiko kematian dalam 60 hari pasca perawatan.
3. Pada pasien gagal jantung yang disertai PJK terdapat peningkatan mortalitas pasca
perawatan dibandingkan pasien tanpa PJK. Secara umum, penyakit jantung koroner
dapat meningkatkan mortalitas pasien gagal jantung akut. Angka mortalitas mencapai
20-40% pada gagal jantung yang berhubungan dengan infark miokard akut.33
Peningkatan kadar troponin yang diobservasi pada 30 – 70% pasien dengan PJK
berkaitan dengan meningkatnya mortalitas pasca perawatan sebanyak 2 kali,
sedangkan angka perawatan ulang dirumah sakit meningkat 3 kali.
4. Peningkatan kadar natriuretik peptida juga berhubungan dengan meningkatnya
mortalitas pasca perawatan dan perawatan ulang di rumah sakit.
5. Pasien dengan tekanan baji kapiler paru yang rendah memperlihatkan peningkatan
survival pasca perawatan. Tekanan baji kapiler paru yang tinggi, sama atau lebih dari
16 mmHg merupakan prediktor mortalitas tinggi.
6. Durasi QRS yang memanjang juga menjadi faktor independen terhadap tingginya
morbiditas dan pasca perawatan.
BAB IV
HUBUNGAN ANTARA HIPERTENSI DAN GAGAL JANTUNG
Hipertensi telah dihubungkan dengan peningkatan resiko gagal jantung pada beberapa
penelitian epidemiologis. Hubungan antara hipertensi dan gagal jantung ini tampaknya
merupakan hubungan sebab akibat. Hal ini dapat terlihat dari gambaran biologis, runutan
kejadian (hipertensi yang mengawali gagal jantung), kuatnya hubungan (2-3x resiko), adanya
hubungan terkait dosis (resiko meningkat dengan derajat peningkatan tekanan darah), dan
dengan konsistensi pada observasi dalam studi epidemiologi yang berbeda. Dari penelitian,
didapatkan penurunan resiko gagal jantung pada pengobatan peningkatan tekanan darah pada
percobaan klinis dengan kontrol plasebo yang menyingkap dasar dari hubungan ini. Resiko pada
populasi (Population Attributable Risk-PAR) dari hipertensi menjadi gagal jantung pada populasi
umum diperkirakan sekitar 39% pada pria dan 59% pada wanita. Tingginya nilai resiko ini
menunjukan kombinasi tingginya prevalensi hipertensi sekaligus juga besarnya resiko gagal
jantung akibat hipertensi. Hal ini juga memberikan gambaran bahwa penanganan awal dan
adekwat terhadap hipertensi dapat menurunkan kejadian gagal jantung di masyarakat.28
Setidaknya ada satu studi epidemiologi yang mencari faktor resiko gagal jantung di antara
subjek dengan hipertensi menggunakan sampel yang cukup luas, follow up yang cukup panjang
rentang waktunya, definisi kontemporer mengenai hipertensi dan analisis multivarian. Pada
penelitian ini, faktor resiko dari gagal jantung di antara subjek dengan hipertensi mencakup
infark miokard (5-6x resiko), hipertrofi ventrikel kiri (2-3x resiko), diabetes mellitus (2-3x
resiko) dan kelainan katup jantung (2-3x resiko). Gagal jantung pada subjek hipertensi
cenderung tetap terjadi meski tanpa melalui proses infark miokard. Hal ini menyingkap peran
penting dari disfungsi diastolik ventrikel pada patogenesis dari gagal jantung hipertensi.28
Selain itu, pengaruh aktivasi sistem saraf simpatik, yang dimediasi melalui stimulasi
norepinefrin dari sistem adrenergik, juga merupakan faktor penting pada progresi kontium
kardiovaskular. Peningkatan sistem saraf simpatis akan mengakibatkan peningkatan denyut
jantung, kebutuhan oksigen miokard dan menurunkan suplai darah ke miokard dengan
menurunkan waktu perfusi diastolik koroner. Pada hipertensi, dimana terjadi overload
hemodinamik, aktivasi sistem saraf simpatis ini akan lebih lanjut lagi mencetuskan proses
remodeling miokard.
Gambar 4.1. Progresi Hipertensi-Gagal jantung (sumber: Controversies in the management of
heart Failure, 1997).
Gambar 4.2. Perbedaan antara hipertrofi eksentris (volume overload) dan konsentris (pressure overload).
(Sumber: Garcia, Jose. Factors and Mechanism involved in LVH and the anti-hypertrophic role of nitric
oxide. 2008)
Gambar 4.3. Perubahan Ventrikel Kiri. (Sumber: Japanese Circulation Society, 2001)
Gambar 4.4. Pola Geometris dari Hipertrofi Ventrikel Kiri. (Sumber: Kaplan’s Clinical Hypertension
2006;4:133)
+ faktor
Definitif Normal / Normal /
resiko
Gagal
menetap
Jantung
Tabel 4.1. Perubahan Kardiovaskular pada Hipertensi (sumber: Reichek N, Devereux RB, Lef ventricular
hypertrophy relationship of anatomic, echocardiograpic and electrocardiograpic findings. Circulation 1981 :
1391- 8.)
IV. 4. Pengaruh Pengobatan Hipertensi pada Perjalanan Penyakit dan Resiko Gagal
Jantung
Penelitian terbaru telah menggaris-bawahi keuntungan pengobatan hipertensi pada
resiko gagal jantung dan insiden hipertrofi ventrikel kiri. Dua penelitian terpisah dengan
kontrol plasebo melaporkan penurunan hingga sekitar 50% kejadian gagal jantung pada
pasien yang diobati dibandingkan dengan subjek kontrol. Sebuah analisa terpusat dari
empat percobaan klinis yang menyediakan informasi mengenai terjadinya hipertrofi
ventrikel kiri pada EKG telah melaporkan penurunan hingga 35% dari insiden hipertrofi
ventrikel kiri baru. Observasi ini memperjelas keuntungan pengobatan hipertensi pada
perjalanan penyakit dan hasil akhir klinis dari gagal jantung. 28
BAB V
KESIMPULAN