Anda di halaman 1dari 71

REFERAT

HUBUNGAN ANTARA
HIPERTENSI DAN GAGAL JANTUNG

Pembimbing :
dr. Afdhalun A. Hakim, Sp.JP, FIHA

Penyusun :
Louisa Markus (030.03.139)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT OTORITA BATAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
2010
REFERAT

HUBUNGAN ANTARA HIPERTENSI DAN GAGAL JANTUNG

Telah disetujui oleh :


dr. Afdhalun A. Hakim, Sp. JP.

Pada tanggal, Juli 2010


Dalam rangka memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RS Otorita Batam
periode 31 Mei - 7 Agustus 2010

Batam, Juli 2010


Pembimbing,

(dr. Afdhalun A. Hakim, Sp. JP.)


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, atas
Rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ”Hubungan antara Hipertensi dan
Gagal Jantung”.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Afdhalun A. Hakim, Sp.JP selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini, serta
kepada dokter-dokter pembimbing lain di bagian Penyakit Dalam RS Otorita Batam. Tujuan dari
pembuatan referat ini selain untuk menambah wawasan bagi penulis dan pembacanya, juga
ditujukan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam.
Penulis sangat berharap bahwa referat ini dapat menambah wawasan mengenai hipertensi
dan gagal jantung. Dan diharapkan, bagi para pembacanya dapat meningkatkan kewaspadaan
mengenai keadaan kesehatan yang berhubungan dengan kedua hal tersebut.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari
kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat berharap adanya masukan, kritik maupun saran yang
membangun.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga tugas ini dapat
memberikan tambahan informasi bagi kita semua.

Batam, Juli 2010


Penulis,

Louisa Markus
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN 1
I.1. Jantung 4
I.2. Proses Mekanis Siklus Jantung 8
I.3. Pengukuran Tekanan Darah 9
I.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah 11
I.5. Pengaturan Tekanan Darah 17
BAB II HIPERTENSI
II.1. Definisi 19
II.2. Klasifikasi
II.2.1. Klasifikasi berdasarkan Etiologi 19
II.2.2. Klasifikasi berdasarkan Derajat Hipertensi 20
II.3. Patofisiologi 21
II.3.1. Curah Jantung 22
II.3.2. Sistem Renin-Angiotensin 22
II.3.3. Sistem Saraf Simpatis 23
II.3.4. Resistensi Perifer 24
II.3.5. Disfungsi Endotel 24
II.3.6. Substansi Vasoaktif 25
II.3.7. Sindrom Metabolik 25
II.3.8. Faktor Genetik 26
II.4. Faktor Resiko Hipertensi
II.4.1. Faktor Resiko yang Tidak Dapat Diubah 27
II.4.2. Faktor Resiko yang Dapat Diubah 28
II.5. Komplikasi 29
II.6. Diagnosa 30
II.7. Penatalaksanaan 30
II.7.1. Pengobatan non Farmakologis 32
II.7.2. Pengobatan Farmakologis 33
BAB III Gagal Jantung
III.1. Definisi 34
III.2. Epidemiologi 36
III.3. Etiologi 37
III.4. Bentuk-bentuk Gagal Jantung 38
III.5. Patofisiologi 41
III.6. Manifestasi Klinis 45
III.7. Penatalaksanaan 46
III.8. Prognosis 50
BAB IV Hubungan Antara Hipertensi-Gagal Jantung 52
IV.1. Hipertrofi Ventrikel Kiri
IV.1.1. Jenis Hipertrofi Ventrikel 53
IV.1.2. Perubahan Fungsional pada Hipertrofi Ventrikel Kiri 55
IV.1.3. Hipertrofi Ventrikel Kiri pada Hipertensi 56
IV.2. Infark Miokard 59
IV.3. Rentang Waktu Perjalanan Penyakit 61
IV.4. Pengaruh Pengobatan Hipertensi pada Perjalanan Penyakit dan Resiko
Gagal Jantung 61
DAFTAR PUSTAKA 62
DAFTAR GRAFIK & TABEL

I.1. Jumlah Pasien Penyakit Jantung di Rumah Sakit di Indonesia tahun 2007 3
I.2. Jumlah Pasien Penyakit Jantung di Rumah Sakit di Indonesia tahun 2007 3
I.3. Jumlah Kasus Gagal Jantung di Amerika pada tahun 2003-2006 4
2.1. Klasifikasi Hipertensi berdasarkan JNC VII 20
2.2. Klasifikasi Hipetrensi berdasarkan ESC 20
2.3. Stratifikasi Faktor Resiko dan Rencana Penanggulangan 31
2.4. Pilihan Obat pada Indikasi Khusus 33
4.1. Perubahan Kardiovaskular pada Hipertensi 57

DAFTAR GAMBAR

1.1. Anatomi Jantung Manusia 6


1.2. Skema Aliran Darah di Jantung 6
1.3. Aliran Listrik Jantung 8
1.4. Teknik Pengukuran Darah 10
1.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah 12
1.6. Hukum Frank Starling 13
2.1. Patofisiologi Hipertensi 21
2.2. Sistem Renin-Angiotensin 23
2.3. Komplikasi Hipertensi Esesnsial Tak Terkontrol 30
2.4. Letak Kerja ACEI dan ARB 33
3.1. Deskpripsi Hubungan Antar Sistem Klasifikasi Gagal Jantung yang Berbeda 36
3.2. Hukum Frank Starling pada Gagal Jantung 42
4.1. Progresi Hipertensi-Gagal Jantung 53
4.2. Perbedaan Hipertrofi Eksentris-Konsentris 54
4.3. Perubahan Ventrikel Kiri 54
4.4. Pola Geometris Hipertrofi Ventrikel Kiri 55
BAB I
PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia sedang berkembang menuju masyarakat industri. Perubahan ke arah


masyarakat industri memberi andil terhadap perubahan pola fertilitas, gaya hidup, sosial
ekonomi yang pada gilirannya dapat memacu meningkatnya penyakit tidak menular. Adanya
perubahan dalam pola kehidupan tersebut menyebabkan terjadinya transisi epidemiologi
penyakit yang ditunjukkan dengan adanya kecenderungan perubahan pola kesakitan dan pola
penyakit utama penyebab kematian, dimana terdapat penurunan prevalensi penyakit infeksi,
sedangkan prevalensi penyakit non infeksi atau degeneratif seperti : hipertensi, stroke, kanker
dan sebagainya, justru meningkat.1
Di Indonesia, interaksi pembangunan dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, dan
geografis menimbulkan triple burden disease (segitiga beban penyakit) dimana ketika masalah
penyakit menular belum tuntas dikendalikan, kejadian penyakit tidak menular sudah mulai naik
diikuti dengan bermunculannya penyakit-penyakit baru.2
Perkembangan penyakit tidak menular telah menjadi suatu tantangan pada abad 21. Di
dunia, penyakit tidak menular telah menyumbang 3 juta kematian pada tahun 2005 di mana 60%
kematian di antaranya terjadi pada penduduk berumur di bawah 70 tahun. Penyakit tidak menular
yang cukup banyak mempengaruhi angka kesakitan dan angka kematian dunia adalah penyakit
kardiovaskuler. WHO mengestimasi di dunia terdapat 1/3 (15,3 juta) kematian yang disebabkan
oleh penyakit kardiovaskuler pada tahun 1998 yang terjadi di negara berkembang dan negara
yang berpenghasilan menengah ke bawah. Pada tahun 2005, penyakit kardiovaskuler telah
menyumbangkan kematian sebesar 28% dari seluruh kematian yang terjadi di kawasan Asia
Tenggara. Sementara itu, di Indonesia, menurut laporan WHO tahun 2002, angka kematian
akibat penyakit kardiovaskuler sebesar 361 per 100.000 penduduk untuk kategori age-
standardize mortality rate.3,4,5
Membicarakan penyakit kardiovaskuler tentunya tidak dapat lepas dari hipertensi.
Hipertensi sampai saat ini menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia karena prevalensinya
yang tinggi, sekitar 90% tidak diketahui penyebabnya dan juga karena asosiasinya terhadap
kejadian penyakit kardiovaskuler yang salah satunya adalah gagal jantung. Hipertensi disebut
juga dengan istilah ‘the Silent Killer’. Hal ini disebabkan karena sering kali penyakit ini dijumpai
tanpa gejala, yang apabila tidak diobati dan ditanggulangi akan menimbulkan komplikasi seperti
stroke, penyakit jantung dan pembuluh darah, gangguan ginjal dan lainnya yang pada akhirnya
dapat mengakibatkan cacat maupun kematian. Hipertensi dapat terjadi karena faktor herediter,
asupan garam yang berlebihan, kurangnya aktifitas dan stress psikososial. 1,2
Menurut laporan pertemuan WHO di Jenewa pada tahun 2002, didapatkan angka
prevalensi penyakit hipertensi adalah 15-37% dari populasi dewasa di dunia. Setengah dari
populasi yang berusia lebih dari 60 tahun adalah penderita hipertensi. Di seluruh dunia, angka
Proportional Mortality Rate akibat hipertensi adalah 13% atau sekitar 7,1 juta kematian. Hasil
penelitian WHO (2002) menunjukkan bahwa 62% kasus stroke dan 49% kasus serangan jantung
disebabkan oleh hipertensi.6
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2008, dinyatakan bahwa hipertensi merupakan
penyakit sirkulasi darah yang merupakan kasus terbanyak pada rawat jalan maupun rawat inap di
rumah sakit. Hasil pencatatan dan pelaporan rumah sakit menunjukkan kasus baru penyakit
sistem sirkulasi darah terbanyak pada kunjungan rawat jalan maupun jumlah pasien keluar rawat
inap dengan diagnosis penyakit Hipertensi tertinggi pada tahun 2007. Dari hasil Riskesdas 2007,
prevalensi hipertensi pada penduduk umur 18 tahun ke atas di Indonesia adalah sebesar 31,7%.
Menurut provinsi, prevalensi Hipertensi tertinggi terdapat di Kalimantan Selatan (39,6%) dan
terendah di Papua Barat (20,1%).2
Sementara, dari hasil pencatatan dan pelaporan rumah sakit, didapatkan data bahwa kasus
gagal jantung sendiri menempati peringkat ketiga. Sedangkan untuk Case Fatality Rate (CFR)
kasus gagal jantung menempati peringkat ke dua sebesar 13,42%.2
Gagal jantung (heart failure) merupakan salah satu penyakit kardiovaskuler yang menjadi
masalah serius di dunia. American Heart Association (AHA) pada tahun 2004 melaporkan 5,2
juta penduduk Amerika menderita gagal jantung. Dimana penyakit ini merupakan salah satu
penyakit yang menghabiskan biaya besar untuk diagnosis dan pengobatannya. Diperkirakan
lebih dari 15 juta kasus baru gagal jantung setiap tahunnya di seluruh dunia.7
Jumlah Penyakit Jantung di RS di Indonesia tahun
2007
70000
60000
50000
40000
30000
20000
10000
0
Penyakit Penyakit Gagal Ggn Infark Penyakit Kardiomi Demam
Jantung Jantung Jantung Hantaran Miokard Jantung opati reumatik
Iskemik lainnya & Aritmia Akut reumatik akut
Lainnya Jantung kronik
Rawat Inap 22454 18585 13395 5770 9399 2438 1413 952
Rawat Jalan 67800 38438 16431 12269 10530 6519 2747 10408

Grafik 1.1. Jumlah Pasien Penyakit Jantung di Rumah Sakit di Indonesia tahun 2007.
(sumber: Ditjen Yanmedik, Profil Kesehatan Indonesia 2008, Departemen Kesehatan RI, 2009).

CFR Penyakit Jantung di RS di Indonesia tahun 2007


15

10

Grafik 1.2. Jumlah Pasien Penyakit Jantung di Rumah Sakit di Indonesia tahun 2007.
(sumber: Ditjen Yanmedik, Profil Kesehatan Indonesia 2008, Departemen Kesehatan RI, 2009).
Jumlah Kasus Gagal Jantung di USA
Pria Wanita

14.7
12.8
9.1

4.9
1.9 1.4
0.3 0.2

20-39 40-59 60-79 80+

Grafik 1.3. Jumlah kasus Gagal jantung di Amerika pada tahun 2003-2006.
(sumber: Fact Sheet, NCHS dan NHLBI, 2008)

I.1. Jantung 8,9


Jantung merupakan sebuah organ dalam tubuh manusia yang termasuk dalam sistem
sirkulasi. Jantung bertindak sebagai pompa sentral yang memompa darah untuk
menghantarkan bahan-bahan metabolisme yang diperlukan ke seluruh jaringan tubuh dan
mengangkut sisa-sisa metabolisme untuk dikeluarkan dari tubuh.
Sistem sirkulasi sendiri memiliki 3 komponen, yaitu :
1. Jantung
 pompa yang melakukan tekanan terhadap darah agar timbul gradient dan darah
dapat mengalir ke seluruh tubuh.
2. Pembuluh darah
 saluran untuk mendistribusikan darah dari jantung ke semua bagian tubuh dan
mengembalikannya ke jantung. Terbagi atas tiga tipe pembuluh darah, yaitu :
a. Pembuluh arteri, yang berfungsi untuk mengangkut oksigen melalui darah dari
jantung ke seluruh jaringan tubuh, mengecil seiring perjalanannya menjauhi
jantung.
b. Pembuluh kapiler, yang merupakan penghubung antara pembuluh arteri dan
vena. Lapisan dindingnya yang tipis memudahkan oksigen, nutrisi, karbon
dioksida, dan bahan sisa lainnya keluar atau masuk ke organ sekitarnya.
c. Pembuluh vena, yang berfungsi untuk menyalurkan aliran darah yang berisi
bahan sisa kembali ke jantung untuk dipecahkan dan dikeluarkan dari tubuh.
Pembuluh vena semakin membesar ketika mendekati jantung.
3. Darah
 Medium transportasi dimana darah akan membawa oksigen dan nutrisi

Darah berjalan melalui sistim sirkulasi ke dan dari jantung melalui 2 lengkung
vaskuler (pembuluh darah) yang terpisah. Sirkulasi paru terdiri atas lengkung tertutup
pembuluh darah yang mengangkut darah antara jantung dan paru. Sirkulasi sistemik terdiri
atas pembuluh darah yang mengangkut darah antara jantung dan sistim organ.
Walaupun secara anatomis jantung adalah satu organ, sisi kanan dan kiri jantung
berfungsi sebagai dua pompa yang terpisah. Jantung terbagi atas separuh kanan dan kiri serta
memiliki empat ruang, bilik bagian atas dan bawah di kedua belahannya. Bilik bagian atas
disebut dengan atrium yang menerima darah yang kembali ke jantung dan memindahkannya
ke bilik bawah, yaitu ventrikel yang berfungsi memompa darah dari jantung.
Kedua belahan jantung dipisahkan oleh septum atau sekat, yaitu suatu partisi otot
kontinu yang mencegah percampuran darah dari kedua sisi jantung. Pemisahan ini sangat
penting karena separuh jantung janan menerima dan memompa darah beroksigen rendah
sedangkan sisi jantung sebelah kiri memompa darah beroksigen tinggi.
Jantung berfungsi sebagai pompa ganda. Darah yang kembali dari sirkulasi sistemik
(dari seluruh tubuh) masuk ke atrium kanan melalui vena besar yang dikenal sebagai vena
kava. Darah yang masuk ke atrium kanan berasal dari jaringan tubuh, telah diambil O2-nya
dan ditambahi dengan CO2. Darah yang miskin akan oksigen tersebut mengalir dari atrium
kanan melalui katup ke ventrikel kanan, yang memompanya keluar melalui arteri pulmonalis
ke paru. Dengan demikian, sisi kanan jantung memompa darah yang miskin oksigen ke
sirkulasi paru. Di dalam paru, darah akan kehilangan CO2-nya dan menyerap O2 segar
sebelum dikembalikan ke atrium kiri melalui vena pulmonalis.
Gambar 1.1. Anatomi Jantung Manusia (sumber:www.klikdokter.com)

Darah kaya oksigen yang kembali ke atrium kiri ini kemudian mengalir ke dalam
ventrikel kiri, bilik pompa yang memompa atau mendorong darah ke semus sistim tubuh
kecuali paru. Jadi, sisi kiri jantung memompa darah yang kaya akan O2 ke dalam sirkulasi
sistemik. Arteri besar yang membawa darah menjauhi ventrikel kiri adalah aorta. Aorta
bercabang menjadi arteri besar dan mendarahi berbagai jaringan tubuh.

Gambar 1.2. Skema Aliran Darah di Jantung (sumber: www.gettyimage.com)


Sirkulasi sistemik memompa darah ke berbagai organ, yaitu ginjal, otot, otak, dan
semuanya. Jadi darah yang keluar dari ventrikel kiri tersebar sehingga masing-masing bagian
tubuh menerima darah segar. Darah arteri yang sama tidak mengalir dari jaringan ke
jaringan. Jaringan akan mengambil O2 dari darah dan menggunakannya untuk menghasilkan
energi. Dalam prosesnya, sel-sel jaringan akan membentuk CO2 sebagai produk buangan atau
produk sisa yang ditambahkan ke dalam darah. Darah yang sekarang kekurangan O 2 dan
mengandung CO2 berlebih akan kembali ke sisi kanan jantung. Selesailah satu siklus dan
terus menerus berulang siklus yang sama setiap saat.
Kedua sisi jantung akan memompa darah dalam jumlah yang sama. Volume darah
yang beroksigen rendah yang dipompa ke paru oleh sisi jantung kanan memiliki volume yang
sama dengan darah beroksigen tinggi yang dipompa ke jaringan oleh sisi kiri jantung.
Sirkulasi paru adalah sistim yang memiliki tekanan dan resistensi rendah, sedangkan
sirkulasi sistemik adalah sistim yang memiliki tekanan dan resistensi yang tinggi. Oleh
karena itu, walaupun sisi kiri dan kanan jantung memompa darah dalam jumlah yang sama,
sisi kiri melakukan kerja yang lebih besar karena ia memompa volume darah yang sama ke
dalam sistim dengan resistensi tinggi. Dengan demikian otot jantung di sisi kiri jauh lebih
tebal daripada otot di sisi kanan sehingga sisi kiri adalah pompa yang lebih kuat.
Darah mengalir melalui jantung dalam satu arah tetap yaitu dari vena ke atrium ke
ventrikel ke arteri. Adanya empat katup jantung satu arah memastikan darah mengalir satu
arah. Katup jantung terletak sedemikian rupa sehingga mereke membuka dan menutup secara
pasif karena perbedaan gradien tekanan. Gradien tekanan ke arah depan mendorong katup
terbuka sedangkan gradien tekanan ke arah belakang mendorong katup menutup.
Dua katup jantung yaitu katup atrioventrikel (AV) terletak di antara atrim dan
ventrikel kanan dan kiri. Katup AV kanan disebut dengan katup trikuspid karena memiliki
tiga daun katup sedangkan katup AV kiri sering disebut dengan katup bikuspid atau katup
mitral karena terdiri atas dua daun katup. Katup-katup ini mengijinkan darah mengalir dari
atrium ke ventrikel selama pengisian ventrikel (ketika tekanan atrium lebih rendah dari
tekanan ventrikel), namun secara alami mencegah aliran darah kembali dari ventrikel ke
atrium ketika pengosongan ventrikel atau ventrikel sedang memompa.
Dua katup jantung lainnya yaitu katup aorta dan katup pulmonalis terletak pada
sambungan dimana tempat arteri besar keluar dari ventrikel. Keduanya disebut dengan katup
semilunaris karena terdiri dari tiga daun katup yang masing-masing mirip dengan kantung
mirip bulan-separuh. Katup ini akan terbuka setiap kali tekanan di ventrikel kanan dan kiri
melebihi tekanan di aorta dan arteri pulmonalis selama ventrikel berkontraksi dan
mengosongkan isinya. Katup ini akan tertutup apabila ventrikel melemas dan tekanan
ventrikel turun di bawah tekanan aorta dan arteri pulmonalis. Katup yang tertutup mencegah
aliran balik dari arteri ke ventrikel.
Walaupun tidak terdapat katup antara atrium dan vena namun hal ini tidak menjadi
masalah. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu karena tekanan atrium biasanya tidak jauh
lebih besar dari tekanan vena serta tempat vena kava memasuki atrium biasanya tertekan
selama atrium berkontraksi.

I.2. Proses Mekanis Siklus Jantung 9,10


Jantung secara berselang-seling berkontraksi untuk mengosongkan isi jantung dan
berelaksasi untuk mengisi darah. Siklus jantung terdiri atas periode sistol (kontraksi dan
pengosongan isi) dan diastol (relaksasi dan pengisian jantung). Atrium dan ventrikel
mengalami siklus sistol dan diastol terpisah. Kontraksi terjadi akibat penyebaran eksitasi
(mekanisme listrik jantung) ke seluruh jantung. Sedangkan relaksasi timbul setelah
repolarisasi atau tahapan relaksasi otot jantung.

Gambar 1.3. Aliran Listrik Jantung (sumber: www.gettyimage.com)


Aktifitas kontraksi jantung untuk memompa darah keseluruh tubuh selalu didahului
oleh aktifitas listrik. Aktifitas listrik inidimulai pada nodus sinoatrial (nodus SA) yang
terletak pada celah antara vena cava suiperior dan atrium kanan.
Nodus SA mengawali gelombang depolarisasi secara spontan sehingga menyebabkan
timbulnya potensial aksi yang disebarkan melalui sel-sel otot atrium, nodus atrioventrikuler
(nodus AV), berkas His, serabut Purkinje dan akhirnya ke seluruh otot ventrikel.
Potensial aksi ini dicetuskan oleh nodus-nodus pacemaker yang terdapat di jantung
dan dipengaruhi oleh beberapa jenis elektrolit seperti K+, Na+, dan Ca++. Gangguan
terhadap kadar elektrolit tersebut di dalam tubuh dapat mengganggu mekanisme aliran listrik
jantung.

I.3. Pengukuran Tekanan Darah11


Mengingat hipertensi merupakan salah satu masalah utama dalam populasi, sangatlah
penting untuk dapat mendiagnosa hipertensi dengan benar. Selama beberapa tahun terakhir,
tekanan darah telah dikenal sebagai suatu variable yang berkesinambungan dan sulit untuk
dinilai secara akurat keculai dengan pembacaan berulang dalam berbagai keadaan. Umumnya
pengukuran tekanan darah ini tidak akurat dan terkadang bahkan kasus-kasus yang
membutuhkan pengobatan sering lolos.
Sebagai langkah persiapan, persiapkan kamar periksa yang tenang dengan suhu
kamar yang nyaman. Idealnya, tekanan darah tidak boleh diukur jika pasien melakukan
aktivitas fisik, merokok, minum kopi, atau makan 30 menit sebelumnya.
Posisi pasien yang benar sangat menentukan keakuratan pengukuran. Punggung dan
tungkai bawah pasien sebaiknya ditopang, dengan tungkai bawah tidak boleh menyilang dan
kaki berada pada permukaan yang datar dan keras. Pada lengan di mana tekanan darah akan
diukur diupayakan longgar sampai ke bahu, lengan dari pakaian jika diangkat harus longgar
sehingga tidak mengganggu aliran darah atau tidak mengganggu manset tensimeter.
Lengan sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehingga berada sejajar dengan jantung.
Manometer juga sebaiknya diposisikan sejajar dengan mata pemeriksa.
Kesalahan umum dalam mengukur tekanan darah adalah penggunaan manset yang
ukurannya tidak sesuai dengan pasien. Ukuran manset yang kecil akan menimbulkan
overestimasi tekanan darah. Pemilihan ukuran manset dilakukan dengan pengukuran lingkar
lengan pada titik tengah lengan atas (pertengahan antara acromion dan olecranon). Lingkar
lengan dan ukuran manset yang disarakan adalah berturut turut sebagai berikut (dalam
centimeter):
 22-26: manset 12×22 (small adult arm)
 27-34: manset 16×30 (adult arm)
 35-44: manset 16×36 (large adult arm)
 45-52: manset 16×42 (adult thigh)
Manset diletakan pada pertengahan lengan atas lengan, sekitar 2 cm di atas siku.
Diletakkan dengan rapi dan tidak terlalu ketat (dua jari tangan masih bisa dimasukkan
diantaranya).
Untuk menghindari pengembungan manset yang berlebihan yang bisa berakibat pada
ketidaknyamanan pasien, maka sebaiknya ditentukan tekanan denyut obliterasinya. Pompa
manset hingga 80 mmHg kemudian turunkan kecepatan pemompaan menjadi 10 mmHg per
2-3 detik sambil mendengarkan dan memperhatikan hilangnya suara denyut. Begitu suara
denyut hilang longgarkan kembali dengan kecepatan 2 mmHg per detik.

Gambar 1.4. Teknik pengukuran tekanan darah yang direkomendasikan oleh the British Hypertension Society
(sumber: Kaplan’s Clinical Hypertension 2006;2:36)
Lakukan pengukuran tekanan darah dengan langkah-langkah sebagai berikut.
Letakkan bagian bell stetoskop diatas arteri brakialis, untuk menghindari suara berisik
usahakan stetoskop tidak bersentuhan dengan pakaian pasien. Dengan cara yang sama seperti
ada penentuan tekanan denyut obliterasi, pompa manset hingga 20-30 mmHg diatas tekanan
denyut obliterasi kemudian kendorkan pemompaan dengan kecepatan 2 mmHg per detik
sambil mendengarkan suara Korotkoff.
Sejalan dengan pengenduran manset, turbulensi aliran darah melalui arteri brakialis
menimbulkan rangkaian suara. Hal ini dikelompokkan menjadi 5 (lima) fase suara. Fase 1
ditandai oleh suara yang jelas, suara menghentak dan berulang, bersamaan dengan
pemunculan kembali denyut nadi yang teraba. Pemunculan awal suara fase 1 ini sama dengan
tekanan darah sistolik. Selama fase 2, suara murmur terdengar. Pada fase 3 dan 4, perubahan
mulai terjadi dimana suara nadi mulai melemah (biasanya 10 mmHg diatas tekanan darah
diastolik yang sebenarnya). Pada fase 5, suara mulai hilang, dan menunjukkan tekanan darah
diastolik. Untuk lebih meyakinkan pengamatan sebaiknya dilanjutkan hingga 10 mmHg
dibawah fase 5.

I.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah10,12


Tekanan darah adalah daya dorong ke semua arah pada seluruh permukaan yang
tertutup pada dinding bagian dalam jantung dan pembuluh darah. Aksi pemompaan jantung
memberikan tekanan yang mendorong darah melewati pembuluh-pembuluh. Darah mengalir
melalui sistem pembuluh tertutup karena ada perbedaan tekanan atau gradien tekanan antara
ventrikel kiri dan atrium kanan.
a. Tekanan ventrikular kiri berubah dari setinggi 120 mmHg saat sistole sampai serendah 0
mmHg saat diastole.
b. Tekanan aorta berubah dari setinggi 120 mmHg saat sistole sampai serendah 80 mmHg
saat diastole. Tekanan diastolik tetap dipertahankan dalam arteri karena efek lontar balik
dari dinding elastis aorta. Rata-rata tekanan aorta adalah 100 mmHg.

Pada sirkulasi sistemik, terjadi perubahan tekanan sebagai berikut: darah mengalir dari
aorta (dengan tekanan 100 mmHg) menuju arteri (dengan perubahan tekanan dari 100 ke 40
mmHg) ke arteriol (dengan tekanan 25 mmHg di ujung arteri sampai 10 mmHg di ujung
vena) masuk ke vena (dengan perubahan tekanan dari 10 mmHg ke 5 mmHg) menuju vena
cava superior dan inferior (dengan tekanan 2 mmHg) dan sampai ke atrium kanan (dengan
tekanan 0 mmHg).

Tekanan darah sendiri dipengaruhi oleh :

Gambar 1.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah (sumber: www.colorado.edu, 2008)

I. Curah jantung (cardiac output)


Curah jantung adalah volume darah yang dikeluarkan oleh kedua ventrikel per menit.
Curah jantung terkadang disebut volume jantung per menit. Volumenya kurang lebih 5 L
per menit pada laki-laki berukuran rata-rata dan kurang 20 % pada perempuan.

Curah jantung = frekuensi jantung x isi sekuncup


Faktor-faktor utama yang mempengaruhi curah jantung :
1. Aktivitas berat memperbesar curah jantung sampai 25 L per menit, pada atlit yang sedang
berlatih mencapai 35 L per menit. Cadangan jantung adalah kemampuan jantung untuk
memperbesar curahnya.
2. Aliran balik vena ke jantung. Jantung mampu menyesuaikan output dengan input-nya
berdasarkan alasan berikut :
 Peningkatan aliran balik vena akan meningkatkan volume akhir diastolik.
 Peningkatan volume diastolik akhir, akan mengembangkan serabut miokardial ventrikel
 Semakin banyak serabut otot jantung yang mengembang pada permulaan konstraksi
(dalam batasan fisiologis), semakin banyak isi ventrikel, sehingga daya konstraksi
semakin besar. Hal ini disebut hukum Frank-Starling tentang jantung.

Gambar 1.5. Hukum Frank Starling (sumber: Cardiac Function: A Simple View,www.med.uc.edu, 2008)

Pengaturan frekuensi jantung bergantung pada saraf simpatis dan parasimpatis.


Impuls eferen menjalar ke jantung melalui saraf simpatis dan parasimpatis susunan saraf
otonom.
Pusat refleks kardioakselerator adalah sekelompok neuron dalam medulla
oblongata. Efek impuls neuron ini adalah untuk meningkatkan frekuensi jantung. Impuls ini
menjalar melalui serabut simpatis dalam saraf jantung menuju jantung. Ujung serabut saraf
mensekresi neropineprin, yang meningkatkan frekuensi pengeluaran impuls dari nodus SA,
mengurangi waktu hantaran melalui nodus A-V dan sistem Purkinje, dan meningkatkan
eksitabilitas keseluruhan jantung.
Pusat refleks kardioinhibitor juga terdapat dalam medulla oblongata. Efek impuls
dari neuron ini adalah untuk mengurangi frekuensi jantung. Impuls ini menjalar melalui
serabut parasimpatis dalam saraf vagus. Ujung serabut saraf mensekresi asetilkolin, yang
mengurangi frekuensi pengeluaran impuls dari nodus S-A dan memperpanjang waktu
hantaran melalui nodus V-A.
Frekuensi jantung dalam kurun waktu tertentu ditentukan melalui keseimbangan
impuls akselerator dan inhibitor dari saraf simpatis dan parasimpatis. Impuls aferen
(sensorik) yang menuju pusat kendali jantung berasal dari reseptor, yang terletak di
berbagai bagian dalam sistem kardiovaskular.
Presoreseptor dalam arteri karotis dan aorta sensitif terhadap perubahan tekanan
darah. Peningkatan tekanan darah akan mengakibatkan suatu refleks yang memperlambat
frekuensi jantung. Penurunan tekanan darah akan mengakibatkan suatu refleks yang
menstimulasi frekuensi jantung yang menjalar melalui pusat medular.
Proreseptor dalam vena cava sensitif terhadap penurunan tekanan darah. Jika
tekanan darah menurun, akan terjadi suatu refleks peningkatan frekuensi jantung untuk
mempertahankan tekanan darah.
Frekuensi jantung dipengaruhi oleh stimulasi pada hampir semua saraf kutan,
seperti reseptor untuk nyeri, panas, dingin, dan sentuhan, atau oleh input emosional dari
sistem saraf pusat. Fungsi jantung normal bergantung pada keseimbangan elektrolit seperti
kalsium, kalium, dan natrium yang mempengaruhi frekuensi jantung jika kadarnya
meningkat atau berkurang.

Faktor yang mendukung aliran balik vena dan memperbesar curah jantung:
a. Pompa otot rangka.
Vena muskular memiliki katup-katup, yang memungkinkan darah hanya mengalir
menuju jantung dan mencegah aliran balik. Konstraksi otot-otot tungkai membantu
mendorong darah ke arah jantung melawan gaya gravitasi.
b. Pernafasan.
Selama inspirasi, peningkatan tekanan negatif dalam rongga toraks menghisap udara ke
dalam paru-paru dan darah vena ke atrium.
c. Reservoir vena.
Di bawah stimulasi saraf simpatis, darah yang tersimpan dalam limpa, hati, dan
pembuluh besar, kembali ke jantung saat curah jantung turun.
d. Gaya gravitasi di area atas jantung membantu aliran balik vena.

Faktor-faktor yang mengurangi aliran balik vena dan mempengaruhi curah jantung :
a. Perubahan posisi tubuh dari posisi telentang menjadi tegak, memindahkan darah dari
sirkulasi pulmonar ke vena-vena tungkai. Peningkatan refleks pada frekuensi jantung dan
tekanan darah dapat mengatasi pengurangan aliran balik vena.
b. Tekanan rendah abnormal pada vena (misalnya, akibat hemoragi dan volume darah
rendah) mengakibatkan pengurangan aliran balik vena dan curah jantung.
c. Tekanan darah tinggi. Peningkatan tekanan darah aorta dan pulmonar memaksa ventrikel
bekerja lebih keras untuk mengeluarkan darah melawan tahanan. Semakin besar tahanan
yang harus dihadapi ventrikel yang berkontraksi, semakin sedikit curah jantungnya.

Pengaruh tambahan pada curah jantung :


a. Hormon medular adrenal.
Epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin meningkatkan frekuensi jantung dan daya
kontraksi sehingga curah jantung meningkat.
b. Ion. Konsentrasi kalium, natrium, kalsium dalam darah serta cairan interstisial
mempengaruhi frekuensi dan curah jantungnya.
c. Usia dan ukuran tubuh seseorang dapat mempengaruhi curah jantungnya.
d. Penyakit kardiovaskular.
Beberapa contoh kelainan jantung, yang membuat kerja pompa jantung kurang efektif dan
curah jantung berkurang, meliputi :
1. Aterosklerosis, penumpukan plak-plak dalam dinding pembuluh darah koroner, pada
akhirnya akan mengakibatkan sumbatan aliran darah.
2. Penyakit jantung iskemik, suplai darah ke miokardium tidak mencukupi, biasanya
terjadi akibat aterosklerosis pada arteri koroner dan dapat menyebabkan gagal jantung.
3. Infark miokardial (serangan jantung), biasanya terjadi akibat suatu penurunan tiba-tiba
pada suplai darah ke miokardium.
4. Penyakit katup jantung akan mengurangi curah darah jantung terutama saat melakukan
aktivitas.

II. Resistensi perifer (peripheral resistance)


Tekanan darah berbanding terbalik dengan tahanan dalam pembuluh. Tahanan perifer
memiliki beberapa faktor penentu :
1. Viskositas darah.
Semakin banyak kandungan protein dan sel darah dalam plasma, semakin besar
tahanan terhadap aliran darah. Peningkatan hematokrit menyebabkan peningkatan
viskositas: pada anemia, kandungan hematokrit dan viskositas berkurang.
2. Panjang pembuluh
Semakin panjang pembuluh, semakin besar tahanan terhadap aliran darah.
3. Radius pembuluh
Tahanan perifer berbanding terbalik dengan radius pembuluh sampai pangkat
keempatnya
a. jika radius pembuluh digandakan seperti yang terjadi pada fase dilatasi, maka
aliran darah akan meningkat enambelas kali lipat. Tekanan darah akan turun.
b. Jika radius pembuluh dibagi dua, seperti yang terjadi pada vasokontriksi, maka
tahahan terhadap aliran akan meningkatenambelas kalip lipat dan tekanan darah
akan naik.
4. Karena panjang pembuluh dan viskositas darah secara normal konstan, maka
perubahan dalam tekanan darah didapat adri perubahan radius pembuluh darah.

I.5. Pengaturan Tekanan Darah12


1. Pengaturan saraf
Pusat vasomotorik pada medulla otak mengatur tekanan darah. Pusat kardiokselerator dan
kardioinhibitor mengatur curah jantung.
a. Pusat vasomotorik
(1) tonus vasomotorik merupakan stimulasi tingkat rendah yang terus menerus pada
serabut otot polos dinding pembuluh. Tonus ini mempertahankan tekanan darah
melalui vasokontriksi pembuluh.
(2) Pertahanan tonus vasomotorik ini dilangsungkan melalui impuls dari serabut saraf
vasomotorik yang merupakan serabut eferen saraf simpatis pada sistem saraf
otonom.
(3) Vasodilatasi biasanya terjadi karena pengurangan impuls vasokonstriktor.
Pengecualian hanya terjadi pada pembuluh darah di jantung dan otak.
- Pembuluh darah di jantung dan otak memilki reseptor-reseptor beta
adrenergik, merespon epinefrin yang bersirkulasi dan yang dilepas oleh
medulla adrenal.
- Mekanisme ini memastikan suplai darah yang cukup untuk organ-organ vital
selama situasi menegangkan yang menginduksi stimulasi saraf simpatis dan
vasokontriksi di suatu tempat pada tubuh.
- Stimulasi parasimpatis menyebabkan vasodilatasi pembuluh hanya di
beberapa tempat; misalnya, pada jaringan erektil genetalia dan kelenjar saliva
tertentu.
b. Pusat akselerator dan inhibitor jantung serta baroreseptor aorta dan karotis, yang
mengatur tekanan darah melalui SSO.

2. Pengaturan kimia dan hormonal


Ada sejumlah zat kimia yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tekanan
darah.

Zat tersebut meliputi :


a. Hormon medulla adrenal (norepineprin termasuk vasokonstriktor)
epinefrin dapat berperan sebagai suatu vasokonstriktor atau vasodilator, bergantung
pada jenis reseptor otot polos pada pembuluh darah organ.
b. Hormon antidiuretik (vasopresin) dan oksitosin yang disekresi dari kelenjar hipofisis
posterior termasuk vasokontriktor.
c. Angiotensin
adalah sejenis peptida darah yang dalam bentuk aktifnya termasuk salah satu
vasokontriktor kuat.
d. Berbagai angina dan peptide seperti histamin, glukagon, kolesistokinin, sekretin, dan
bradikinin yang diproduksi sejumlah jaringan tubuh, juga termasuk zat kimia
vasoaktif.
e. Prostaglandin Adalah agens seperti hormone yang diproduksi secara local dan mampu
bertindak sebagai vasodilator atau vasokonstriktor.
BAB II
HIPERTENSI

II.1. Definisi 13-15


Hipertensi adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah secara
abnormal dan terus menerus pada beberapa kali pemeriksaan tekanan darah yang
disebabkan satu atau beberapa faktor resiko yang tidak berjalan sebagaimana mestinya
dalam mempertahankan tekanan darah secara normal. Hipertensi berkaitan dengan
kenaikan tekanan sistolik atau tekanan diastolik atau tekanan keduanya.
Sepanjang hari, tekanan darah bervariasi, selalu berubah-ubah tergantung waktu
dan keadaan penderita. Tekanan darah meningkat selama berolah raga, saat mengalami
stress atau gangguan mental. Sebaliknya tekanan darah menurun bila tubuh dalam
keadaan istirahat atau tidur. Bagaimanapun, karena bervariasinya tekanan darah, maka
sebelum mendiagnosa terjadinya hipertensi, penting untuk mengkonfirmasi kenaikan
tekanan darah dengan mengulang pengukuran tekanan darah lebih dari beberapa waktu.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi sebenarnya adalah suatu gangguan pembuluh
darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat
sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya. Kemudian terjadi pengerasan arteri
akibat gangguan tekanan darah yang tidak normal pada hipertensi.

II.2. Klasifikasi
II.2.1. Klasifikasi Berdasarkan Etiologi 13,14
a. Hipertensi Esensial (Primer)
Merupakan 90% dari kasus penderita hipertensi. Dimana sampai saat ini
belum diketahui penyebabnya secara pasti. Beberapa faktor yang berpengaruh
dalam terjadinya hipertensi esensial, seperti : faktor genetik, stress dan
psikologis, serta faktor lingkungan dan diet (peningkatan penggunaan garam
dan berkurangnya asupan kalium atau kalsium).
Peningkatan tekanan darah tidak jarang merupakan satu-satunya tanda
hipertensi primer. Umumnya gejala baru terlihat setelah terjadi komplikasi
pada organ target seperti ginjal, mata, otak dan jantung.
b. Hipertensi sekunder
Pada hipertensi sekunder, penyebab dan patofisiologi dapat diketahui
dengan jelas sehingga lebih mudah untuk dikendalikan dengan obat-obatan.
Penyebab hipertensi sekunder di antaranya berupa kelainan ginjal seperti
tumor, diabetes, kelainan adrenal, kelainan aorta, kelainan endokrin lainnya
seperti obesitas, resistensi insulin, hipertiroidisme, dan pemakaian obat-obatan
seperti kontrasepsi oral dan kortikosteroid.

II.2.2. Klasifikasi Berdasarkan Derajat Hipertensi


a. Berdasarkan JNC VII :
Tekanan Sistolik Tekanan Diastolik
Derajat
(mmHg) (mmHg)
Normal < 120 dan < 80

Pre-hipertensi 120 - 139 atau 80 - 89

Hipertensi derajat I 140 - 159 atau 90 - 99

Hipertensi derajat II  160 atau  100


Tabel 2.1. Klasifikasi Hipertensi (sumber: JNC VII, 2003).

b. Menurut European Society of Cardiology :


Tekanan
Tekanan Sistolik
Kategori Diastolik
(mmHg)
(mmHg)
Optimal < 120 dan < 80
Normal 120 - 129 dan/atau 80 - 84
Normal tinggi 130 - 139 dan/atau 85 - 89
Hipertensi derajat I 140 - 159 dan/atau 90 - 99
Hipertensi derajat II 160 - 179 dan/atau 100 - 109
Hipertensi derajat III  180 dan/atau  110
Hipertensi Sistolik
 140 dan < 90
terisolasi
Tabel 2.2. Klasifikasi Hipertensi (sumber: ESC, 2007).
II.3. Patofisiologi 16
Kepastian mengenai patofisiologi hipertensi masih dipenuhi ketidakpastian.
Sejumlah kecil pasien (antara 2% dan 5%) memiliki penyakit dasar ginjal atau adrenal
yang menyebabkan peningkatan tekanan darah. Namun, masih belum ada penyebab
tunggal yang dapat diidentifikasi dan kondisi inilah yang disebut sebagai “hipertensi
esensial”. Sejumlah mekanisme fisiologis terlibat dalam pengaturan tekanan darah
normal, yang kemudian dapat turut berperan dalam terjadinya hipertensi esensial.
Beberapa faktor yang saling berhubungan mungkin juga turut serta menyebabkan
peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensif, dan peran mereka berbeda pada setiap
individu. Di antara faktor-faktor yang telah dipelajari secara intensif adalah asupan
garam, obesitas dan resistensi insulin, sistem renin-angiotensin, dan sistem saraf simpatis.
Pada beberapa tahun belakangan, faktor lainnya telah dievaluasi, termasuk genetik,
disfungsi endotel (yang tampak pada perubahan endotelin dan nitrat oksida).

Gambar 2.1. Patofisiologi Hipertensi (sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I edisi IV,
2007;142:599).
II.3.1. Curah Jantung 11,16
Peningkatan curah jantung dapat terjadi akibat 2 hal yaitu peningkatan volume
cairan (preload) atau dari peningkatan kontraktilitas dari stimulasi saraf pada jantung.
Pada mayoritas penelitian, penderita dengan tekanan darah tinggi memiliki volume
darah yang lebih rendah dibandingkan mereka dengan tekanan darah normal.
Pada hipertensi yang sangat awal, resistensi perifer belum meningkat. Sehingga,
dapat disimpulkan bahwa peningkatan tekanan darah disebabkan peningkatan curah
jantung, yang berhubungan dengan hiperaktifitas simpatis. Peningkatan resistensi
arteriol perifer kemudian terjadi sebagai mekanisme kompensasi untuk mencegah
peningkatan tekanan diteruskan pada area kapiler dimana hal ini dapat mempengaruhi
homeostasis sel. Bagaimanapun, meskipun peningkatan curah jantung terlibat pada
permulaan peningkatan tekanan darah, hal ini umumnya tidak berlangsung terus
menerus. Umumnya, perubahan yang ditemukan pada kasus hipertensi berupa
peningkatan resistensi perifer dan curah yang jantung yang lebih rendah atau normal.

II.3.2. Sistem Renin-Angiotensin 11,16

Gambar 2.2. Sistem Renin-Angiotensin (sumber: Kaplan’s Clinical Hypertension 2006;3:70)


Sistem renin-angiotensin mungkin merupakan bagian paling penting dari sistem
endokrin yang mempengaruhi kontrol tekanan darah. Renin disekresi dari apparatus
jukstaglomerular ginjal sebagai respon terhadap kurangnya perfusi glomerulus atau
penurunan asupan garam. Renin juga disekresi akibat stimulasi sistem saraf simpatis.
Renin berperan dalam proses konversi substrat renin (agniotensinogen) menjadi
angiotensin I, yang merupakan substansi inaktif secara fisiologi dan secara cepat akan
diubah menjadi angiotensin II di paru oleh angiotensin converting enzyme (ACE).
Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat yang dapat menyebabkan peningkatan
tekanan darah. SEbagai tambahan, angiotensin II juga menstimulasi pelepasan
aldosteron dari zona glomerulosa di kelenjar adrenal, yang akan semakin
meningkatkan tekanan darah melalui mekanisme retensi natrium dan cairan.
Sistem renin-angiotensin pada sirkulasi dianggap tidak berperan secara langsung
dalam peningkatan tekanan darah pada hipertensi esensial. Mengingat banyak dari
pasien hipetensi memiliki kadar renin dan angiontensin II yang rendah, terutama pada
pasien berusia tua dan berkulit hitam, dan obat-obatan yang bekerja memblok sistem
renin-angiotensin tidak terlalu efektif.

II.3.3. Sistem Saraf Simpatis 11,16


Stimulasi sistem saraf simpatis dapat menyebabkan baik konstriksi maupun
dilatasi arteriol. Untuk itu, dapat dianggap bahwa sistem saraf autonom memiliki
peran penting dalam mempertahankan tekanan darah normal. Hal ini juga penting
dalam pengaturan perubahan tekanan darah jangka pendek sebagai respon terhadap
kegiatan fisik dan stress.
Epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin (noradrenalin) dianggap kurang memiliki
peran yang jelas sebagai etiologi hipertensi. Namun, bagaimanapun, efek yang
mereka timbulkan adalah penting, dan tidak dapat diremehkan karena obat yang
menghambat sistem saraf simpatis pada kenyataannya berhasil menurunkan tekanan
darah dan memiliki peran terapi yang penting.
Untuk itu, dapat disimpulkan bahwa hipertensi berhubungan dengan interaksi
antara sistem saraf simpatis dengan sistem renin-angiotensin, bersama dengan faktor
lainnya, termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa hormon.
II.3.4. Resistensi Perifer 11,16
Perubahan pada struktur dan fungsi vaskular dapat menyebabkan atau
merupakan konsekuensi dari peningkatan tekanan darah. Sebagai contoh, bahkan
peningkatan tekanan darah secara mendadak yang mengganggu fungsi endotel juga
merupakan akibat dari disfungsi endotel itu sendiri.
Menurut hukum Poiseuille, resistensi vaskular berhubungan dengan viskositas
darah dan panjang sistem arterial. Resistensi perifer tidaklah ditentukan oleh arteri
besar atau kapiler namun oleh arteriol kecil, yang memiliki dinding yang tersusun
atas sel otot polos. Kontraksi sel otot polos dianggap berhubungan dengan
peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler, yang dapat menjelaskan efek
vasodilatasi dari obat yang menghambat saluran kalsium. Kontriksi otot polos yang
berkepanjangan dianggap akan menginduksi perubahan structural dengan penebalan
dinding arteriol yang mungkin dimediasi oleh angiotensin, dan akan menyebabkan
peningkatan ireversibel pada resistensi perifer.

II.3.5. Disfungsi Endotel 11,16


Sel endotel pembuluh darah berperan penting dalam regulasi kardiovaskular
dengan memproduksi sejumlah zat vasoaktif lokal yang kuat, termasuk molekul
vasodilator nitrat oksida dan vasokonstriktor endotel peptide. Modulasi fungsi endotel
merupakan pilihan terapi yang menarik dalam usaha untuk meminimalisasi beberapa
komplikasi penting dari hipertensi. Terapi antihipertensi yang efektif secara klinis
nampaknya dapat memperbaiki gangguan produksi nitrat oksida, namun tidak dapat
memperbaiki gangguan relaksasi vaskular atau respon vaskular terhadap agonis
endotel. Hal ini menunjukkan bahwa disfungsi endotel merupakan salah satu kelainan
utama yang bersifat ireversibel setelah proses hipertensif terjadi.
II.3.6. Substansi Vasoaktif 16
Terdapat berbagai sistem dan mekanisme vasoaktif yang mempengaruhi
transport natrium dan tonus vaskular yang terlibat dalam pengaturan tekanan darah
normal. Bagaimanapun, masih belum diketahui pasti, pada bagian manakah
pengaruhnya dalam proses terjadinya hipertensi esensial. Bradikinin merupakan
vasodilator kuat yang di-inaktifasi oleh angiotensin converting enzyme.
Endotelin merupakan vasokontriktor endotel kuat yang menghasilkan
peningkatan tekanan darah. Endotelin juga mengaktifkan sistem rennin-angiotensin.
Endotel menghasilkan faktor relaksan, dikenal sebagai nitrat oksida, yang dihasilkan
oleh endotel arteri dan vena dan berdifusi melalui dinding pembuluh darah ke otot
polos menyebabkan vasodilatasi.
Natriuretic peptide atrial adalah hormone yang disekresi dari atrium sebagai
respon terhadap peningkatan volume darah. Zat ini meningkatkan ekskresi natrium
dan air dari ginjal sebagai diuretik alami. Gangguan pada sistem ini dapat
menyebabkan retensi cairan dan hipertensi.
Transport natrium melalui dinding sel otot polos pembuluh darah juga
dianggap mempengaruhi tekanan darah melalui hubungannya dengan transport
kalsium. Quabain mungkin merupakan substansi menyerupai steroid yang muncul
secara alami dam dianggap berhubungan dengan natrium sel dan transport kalsium,
dan menyebabkan vasokontriksi.

II.3.7. Sindrom Metabolik 11,16


Secara epidemiologis, terdapat pengkategorian beberapa faktor resiko,
mencakup obesitas, hipertensi, intoleransi glukosa, diabetes mellitus dan
hiperlipidemi. Hal ini mengarah kepada anggapan bahwa hal-hal ini mewakili sebuah
sindrom tunggal (sindrom metabolik X atau sindrom Reaven), dengan jalur akhir
umumnya menyebabkan peningkatan tekanan darah dan kerusakan pembuluh darah.
Bahkan, beberapa pasien hipertensif yang tidak mengalami obesitas memperlihatkan
adanya resistensi insulin. Terdapat banyak keberatan terhadap hipotesis ini, namun
hal ini dapat menjelaskan mengapa paparan terhadap resiko kardiovaskular bersifat
sinergistik atau berganda.
II.3.8. Genetik 11,16
Meskipun faktor genetik telah dihubungkan dengan proses terjadinya
hipertensi esensial, hal ini lebih tampak pada individu tertentu. Untuk itu, sangatlah
sulit untuk menentukan secara akurat hubungan dari setiap gen tersebut.
Bagaimanapun, hipertensi sekitar dua kali lipat lebih umum pada subjek dengan
orang tua (baik salah satu maupun keduanya) yang memiliki hipertensi. Dari
penelitian epidemiologis pun didapatkan bahwa faktor genetik menyumbang 90%
dari variasi tekanan darah pada populasi. Hal ini didapatkan dari pembandingan dari
orang tua dengan anak kembar monozigot dan dizigot, juga dengan anak-anak mereka
yang lainnya, dan dengan anak adopsi. Kesimpulan yang didapat nampaknya
menggambarkan bahwa faktor gaya hidup (pola makan) juga turut berperan.
Beberapa mutasi gen spesifik dapat menyebabkan hipertensi meskipun jarang
ditemukan. Model percobaan dari hipertensi genetik telah menunjukkan bahwa
kecenderungan keturunan hipertensi umumnya berdampak pada ginjal. Sebagai
contoh, pada studi manusia dan hewan percobaan, didapatkan hasil bahwa ginjal
transplantasi dari seorang donor hipertensif akan meningkatkan tekanan darah dan
meningkatkan kebutuhan obat antihipertensi pada pihak resipien yang datang dari
keluarga normotensi. Sementara ginjal dari donor normotensi tidak meningkatkan
tekanan darah resipien.
Peningkatan angiotensinogen plasma, substrat protein yang diubah oleh renin
menjadi angiotensin I, juga dilaporkan pada subjek hipertensif dan pada anak-anak
dengan orang tua yang memiliki riwayat hipertensi.
Hipertensi jarang ditemukan pada daerah pedesaan di Afrika, namun umum
ditemukan pada daerah perkotaan di Afrika dan populasi kulit hitam di Inggris dan
Amerika. Di samping nyatanya perbedaan pola hidup dan pola makan, penemuan
hipertensi lebih umum pada kulit hitam dibandingkan kulit putih mungkin juga
disebabkan karena faktor genetik. Terdapat beberapa hasil penelitian yang
membuktikan bahwa orang berkulit hitam tampaknya lebih sensitif terhadap restriksi
garam dibandingkan mereka yang berkulit putih.
II.4. Faktor Resiko Hipertensi 13,18,19

II.4.1. Faktor Resiko yang Tidak Dapat Diubah


a. Usia
Usia berpengaruh pada resiko terkena penyakit kardiovaskuler, karena usia
menyebabkan perubahan di dalam jantung dan pembuluh darah. Tekanan darah
meningkat sesuai dengan usia, karena arteri secara perlahan kehilangan sifat
elastisnya. Dengan meningkatnya usia, maka gejala arteriosklerosis semakin nampak
dan hal ini menunjang peningkatan tahanan perifer total dan dapat menyebabkan
hipertensi. Tetapi hipertensi tidak selalu terjadi pada usia tua, namun berdasarkan
kelompok umur, grafik rata-rata kenaikan tekanan darah, mengikuti kenaikan rata-
rata umur. Hipertensi pada pria umumnya terjadi pada umur di atas 55 tahun,
sedangkan pada perempuan terjadi pada umur di atas 65 tahun. Resiko wanita
meningkat setelah mengalami masa menopause.
b. Jenis Kelamin
Perbandingan antara pria dan wanita, ternyata wanita lebih banyak menderita
hipertensi.
c. Genetik
Pada 70-80% kasus hipertensi, didapatkan riwayat hipertensi dalam keluarga.
Apabila riwayat hipertensi didapatkan dari kedua orang tua, maka dugaan hipertensi
esensial lebih besar. Faktor keturunan pada hipertensi esensial diperkirakan sekitar
30%. Peran faktor genetic terhadap hipertensi esensial dibuktikan dengan berbagai
fakta yang dijumpai. Adanya bukti bahwa kejadian hipertensi lebih banyak dijumpai
pada pasien kembar monozigot daripada heterozigot, jika salah satunya menderita
hipertensi, menyokong pendapat bahwa faktor genetic mempunyai pengaruh terhadap
timbulnya hipertensi.
d. Ras dan Suku Bangsa
Di Amerika Serikat, hipertensi lebih banyak diderita oleh masyarakat berkulit
hitam yaitu 25-30% dan golongan kulit putih yang menderita hipertensi adalah 15%.
II.4.2. Faktor Resiko yang Dapat Diubah 20,21
a. Konsumsi Garam yang Berlebihan
Garam merupakan faktor yang sangat penting dalam patogenesis hipertensi.
Asupan garam kurang dari 3 gram setiap hari menyebabkan prevalensi hipertensi
yang rendah sedangkan jika asupan garam antara 5-15 gram per hari menyebabkan
prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20%. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa pembatasan garam tidak hanya bisa menurunkan tekanan darah dalam jangka
pendek, tetapi juga mencegah kenaikan tekanan darah terkait dengan bertambahnya
usia.

b. Obesitas
Obesitas merupakan faktor predisposisi penting terjadinya hipertensi. Penurunan
berat badan sebesar 5 kg pada penderita hipertensi dengan obesitas (kelebihan berat
badan > 10%) dapat menurunkan tekanan darah.
Anak dan dewasa yang mengalami kegemukan, menderita lebih banyak hipertensi
dan penambahan berat badan biasanya diikuti dengan kenaikan tekanan darah.
Walaupun kalori tambahan yang bertanggung jawab bagi kenaikan berat badan, dapat
menginduksi hipertensi karena ia membawa natrium tambahan, namun penurunan
jelas dalam masukan natrium telah terbukti menurunkan tekanan darah.

c. Alkohol
Terdapat hubungan yang linier antara alkohol, tingkat tekanan darah dan
prevalensi hipertensi pada masyarakat. Diperkirakan 5-10% hipertensi pada pria di
Amerika disebabkan langsung oleh konsumsi alkohol. Alkohol menurunkan efek obat
anti hipertensi, tetapi efek presor ini mengalir dalam 1-2 minggu dengan mengurangi
minum alkohol hingga 80%.

d. Merokok
Merokok mempermudah terjadinya penyakit pembuluh darah jantung, otak, dan
kaki. Merokok menyebabkan meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah untuk
sementara dan hal ini disebabkan oleh pengaruh nikotin dalam peredaran darah.
Meningkatnya tekanan darah ini lebih nyata pada penderita tekanan darah tinggi.
Selain pengaruh langsung tersebut, hanya sedikit bukti adanya hubungan merokok
dengan tekanan darah tinggi yang menetap. Walaupun demikian, merokok dapat
menyebabkan terjadinya penyempitan arteri dan akibatnya terjadi penyakit tekanan
darah tinggi yang berat terutama pada usia lanjut.

e. Stress
Stress dapat meningkatkan tekanan darah dalam jangka pendek dengan cara
mengkatifkan bagian otak dan sistem saraf yang biasanya mengedalikan tekanan
darah secara otomatis. Peningkatan tekanan yang dialami berulang kali karena stress,
pada akhirnya akan menyebabkan tekanan darah tinggi yang menetap. Peningkatan
tekanan darah yang menetap karena stress tidak terlihat nyata pada pria.

f. Aktifitas fisik kurang


Orang yang banyak duduk dengan tekanan darah normal kemungkinannya untuk
terkena tekanan darah tinggi sekitar 20-50% lebih besar dibandingkan dengan orang
yang lebih aktif. Latiha fisik aerobic sedang secara teratur (berjalan atau berenang
selama 30-45 menit selama 3-4x semnggu) lebih efektif menurunkan tekanan darah
dibandingkan dengan olahraga berat seperti lari. Latihan fisik isometric seperti angkat
besi dapat meningkatkan tekanan darah dan harus dihindari bagi yang beresiko
terkena hipertensi.

II.5. Komplikasi14
Tekanan darah tinggi apabila tidak diobati dan ditanggulangi, maka dalam jangka
panjang akan menyebabkan kerusakan arteri di dalam tubuh hingga orang-organ yang
mendapat suplai darah dari arteri tersebut. Komplikasi hipertensi dapat terjadi pada
organ-organ sebagai berikut :
a. Jantung  gagal jantung dan penyakit jantung koroner.
b. Otak  resiko stroke meningkat hingga 7x bila tidak diobati
c. Ginjal  kerusakan sistem penyaringan di dalam ginjal
d. Mata  retinopati hipertensi
Gambar 2.3. Komplikasi Hipertensi Esensial (sumber: Kaplan’s Clinical Hypertension 2006;4:123)

II.6. Diagnosa 21
Pengukuran tekanan darah dilakukan dengan benar. Karena adanya variasi yang
besar dalam tekanan darah, diagnosa hipertensi harus berdasarkan beberap kali
pengukuran (3-4 x) dalam kesempatan waktu yang terpisah.

II.7. Penatalaksanaan 18,19,22


Stratifikasi resiko hipertensi ditentukan berdasarkan tingginya tekanan darah,
adanya faktor resiko yang lain, adanya kerusakan organ target dan adanya penyakit
penyerta tertentu.
Adapun kerusakan organ target dapat berupa :
 Hipertrofi ventrikel kiri (LVH) yang didapat pada pemeriksaan EKG atau
echocardiografi
 Kenaikan kadar kreatinin
 Mikroalbuminuria
 Gangguan pembuluh darah (penebalan intima-media, plak sklerotik)
Sementara yang termasuk penyakit penyerta di antaranya adalah :
 Serebrovaskular
 stroke iskemik / perdarahan, transient ischemic attack
 Jantung
 infark miokard, angina pectoris, gagal jantung, revaskularisasi koroner
 Ginjal :
 nefropati diabetik, proteinuri, gangguan fungsi ginjal
 Pembuluh darah perifer
 Retina / retinopati
 eksudat, perdarahan, edema papil

Telah disepakati secara internasional bahwa resiko kardiovaskular dihitung secara


tradisional berdasarkan studi Framingham dengan beberapa tambahan faktor resiko, yaitu
tingginya tekanan darah, umur, merokok, dislipidemia, diabetes melitus. Tambahan
faktor resiko yang belm lama diidentifikasi adalah lingkar perut yang dihubungkan
dengan sindrom metabolik dan kadar C-reactive protein (CRP) yang berhubungan
dengan inflamasi.

Resiko Grup C
Resiko Grup A
Tekanan Darah Resiko Grup B (  3 faktor resiko
(Tanpa faktor
(mmHg) ( 1-2 faktor resiko ) atau DM atau
resiko)
KOT/KKT)
Sistolik : 130 - 139 Perubahan Pola Perubahan Pola Perubahan Pola
Diastolik : 80 - 89 Hidup Hidup Hidup + Obat
Sistolik : 140 - 159 Perubahan Pola Perubahan Pola Perubahan Pola
Diastolik : 90 - 99 Hidup + Obat Hidup + Obat Hidup + Obat
Sistolik  160 Perubahan Pola Perubahan Pola Perubahan Pola
Diastolik  100 Hidup + Obat Hidup + Obat Hidup + Obat
KOT = Kerusakan Organ Target (Target Organ Damaged)
KKT = Kondisi Klinik Terkait (Associated Clinical Condition)

Tabel 2.3. Stratifikasi Faktor Resiko dan Rencana Penanggulangan


(sumber: Ringkasan Eksekutif Penanggulangan Hipertensi, InaSH, 2007: 5)
II.7.1. Pengobatan non farmakologis

Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang untuk mencegah tekanan darah
tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam penanganan hipertensi. Semua pasien
dengan prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup.
Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien-pasien dengan hipertensi,
modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi
pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi. Modifikasi gaya hidup yang
penting yang terlihat menurunkan tekanan darah adalah:
 mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk;
 mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang
kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan
 mengkonsumsi alkohol sedikit saja.
Pada sejumlah pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan
terapi satu obat antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat membebaskan
pasien dari menggunakan obat. Program diet yang mudah diterima adalah yang didisain
untuk menurunkan berat badan secara perlahan-lahan pada pasien yang gemuk dan
obesitas disertai pembatasan pemasukan natrium dan alkohol. Untuk ini diperlukan
pendidikan ke pasien, dan dorongan moril.
Aktifitas fisik juga dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga aerobik secara
teratur paling tidak 30 menit/hari beberapa hari per minggu ideal untuk kebanyakan
pasien. Studi menunjukkan kalau olah raga aerobik, seperti jogging, berenang, jalan
kaki, dan menggunakan sepeda, dapat menurunkan tekanan darah. Keuntungan ini dapat
terjadi walaupun tanpa disertai penurunan berat badan. Pasien harus konsultasi dengan
dokter untuk mengetahui jenis olah-raga mana yang terbaik terutama untuk pasien
dengan kerusakan organ target.
Merokok merupakan faktor resiko utama independen untuk penyakit
kardiovaskular. Pasien hipertensi yang merokok harus dikonseling berhubungan dengan
resiko lain yang dapat diakibatkan oleh merokok.
II.7.2. Pengobatan farmakologis
 Diuretik (Hidroklorotiazid)
 mengeluarkan cairan tubuh sehingga volume cairan ditubuh berkurang yang
mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan.
 Penghambat Simpatetik (Metildopa, Klonidin dan Reserpin)
 menghambat aktivitas saraf simpatis.
 Betabloker (Metoprolol, Propanolol dan Atenolol)
 Menurunkan daya pompa jantung.
 Tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui mengidap gangguan
pernapasan seperti asma bronkial.
 Pada penderita diabetes melitus: dapat menutupi gejala hipoglikemia
 Vasodilator (Prasosin, Hidralasin)
 bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos pembuluh
darah.
 ACE inhibitor (Captopril)
 menghambat pembentukan zat Angiotensin II.
 Efek samping: batuk kering, pusing, sakit kepala dan lemas.
 Penghambat Reseptor Angiotensin II (Valsartan)
 menghalangi penempelan zat Angiotensin II pada reseptor sehingga
memperingan daya pompa jantung.

Gambar 3.3. Letak Kerja ACEI dan ARB (sumber: Kaplan. Clinical Hypertension,3:72. 2006)
 Antagonis kalsium (Diltiasem dan Verapamil)
 menghambat kontraksi jantung (kontraktilitas).

Pada keadaan khusus, pilihan obat yang dapat digunakan adalah :


- Anti
Indikasi Khusus Diuretik ACEI ARB CCB
bloker aldosteron
Gagal Jantung + + + + +
Pasca MI + + +
Resiko tinggi
+ + + +
PJK
DM + + + + +
CKD + +
Cegah stroke
+
berulang
BAB III
GAGAL JANTUNG

III.1. Definisi dan Klasifikasi 23,26


Gagal jantung merupakan sindrom klinik yang ditandai dengan sesak napas dan
kelelahan (saat istirahat atau aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi
jantung. Gagal jantung juga didefinisikan sebagai sindrom klinik kompleks yang
disebabkan oleh disfungsi ventrikel berupa gangguan pengisian atau kegagalan pompa
jantung sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Definisi umum mengenai gagal jantung adalah keadaan (kelainan) patofisiologi
berupa sindrom klinik, diakibatkan oleh ketidakmampuan jantung untuk memenuhi curah
jantung yang cukup untuk melayani kebutuhan jaringan tubuh akan O2 dan nutrisi lain
meskipun tekanan pengisian telah meningkat.
Dalam keadaan normal, jantung dapat memenuhi curah jantung yang cukup setiap
waktu, pada gagal jantung ringan keluhan baru timbul pada beban fisik yang meningkat,
pada gagal jantung berat keluhan sudah timbul pada keadaan istirahat.
Jantung mengalami kegagalan (dekompensatio) apabila berbagai mekanisme
kompensasi sudah terjadi berlebihan (yaitu retensi garam dan air, meningkatnya resistensi
perifer, hipertrofi miokard, dilatasi ventrikel, meningkatnya tekanan atrium,
meningkatnya kekuatan kontraksi) tetapi jantung tidak dapat mempertahankan fungsinya
dengan cukup.
Gagal jantung merupakan akhir dari suatu continuum, proses yang
berkesinambungan, dimulai dari terdapatnya penyakt jantung tanpa kelainan
hemodinamik, kemudian berlanjut dengan fase preklinik dimana sudah didapati kelainan
hemodinamik tetapi belum ada keluhan dan berlanjut dengan fase klinis dimana sudah
didapati keluhan dan tanda-tanda gejala jantung.
Berdasarkan symptom (keluhan) terdapat klasifikasi fungsional dari N.Y.H.A (New York
Heart Association):
NYHA klas I : Penderita dengan kelainan jantung tanpa pembatasan aktivitas
fisik.
NYHA klas II : Penderita dengan kelainan jantung yang berakibat pembatasan
ringan aktivitas fisik. Merasa enak pada istirahat. Aktivitas fisik
sehari-hari menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnoe atau angina.
NYHA klas III : Penderita dengan kelainan jantung yang berakibat pembatasan
berat aktivitas fisik. Merasa enak pada istirahat.
NYHA KLAS IV : Penderita dengan kelainan jantung dengan akibat tidak mampu
melakukan aktivitas fisik apapun. Keluhan timbul meskipun dalam
keadaan istirahat.

Menurut guideline the American Heart Association/American College of Cardiology


pada tahun 2001, maka gagal jantung terbagi menjadi 4 tingkat, yaitu :
- Tingkat A  Pasien dalam resiko tinggi untuk mengalami gagal jantung di masa
yang akan datang namun belum memiliki kelainan fungsional atau
struktural jantung.
- Tingkat B  Terdapat gangguan struktural jantung namun belum tampak gejala
apapun.
- Tingkat C  Tampak gejala gagal jantung namun dapat dikontrol dengan
pengobatan farmakologis.
- Tingkat D  Tahap lanjut dimana dibutuhkan perawatan rumah sakit, transplantasi
jantung atau perawatan paliatif.
Pada sistem kelas ini, terdapat kelas pre-gagal jantung yaitu pada tingkat A dimana
intervensi pengobatan dianggap dapat mencegah progresi hingga munculnya gejala.
Gambar 3.1. Deskripsi Hubungan antara Sistem Klasifikasi Gagal Jantung yang berbeda.
(sumber: Pharmacoterapy Publication, 2003)
AHA = American Heart Association; NYHA = New York Heart Association; MI = Infark Miokard; LV =
Ventrikel Kiri; HF = Gagal Jantung; PCWP = Tekanan Kapiler Pulmoner; CI = Indeks Jantung

III.2. Epidemiologi 3-4,7,24


Diperkirakan terdapat sekitar 23 juta orang mengidap gagal jantung di seluruh
dunia. American Heart Association memperkirakan terdapat 4,7 juta orang menderita
gagal jantung di Amerika Serikat pada tahun 2000 dan dilaporkan terdapat 550.000 kasus
baru setiap tahun. Prevalensi gagal jantung di Amerika dan Eropa diperkirakan mencapai
1 – 2%. Namun, studi tentang gagal jantung akut masih kurang karena belum adanya
kesepakatan yang diterima secara universal mengenai definisi gagal jantung akut serta
adanya perbedaan metodologi dalam menilai penyebaran penyakit ini.
Meningkatnya harapan hidup disertai makin tingginya angka survival setelah
serangan infark miokard akut akibat kemajuan pengobatan dan penatalaksanaannya,
mengakibatkan semakin banyak pasien yang hidup dengan disfungsi ventrikel kiri yang
selanjutnya masuk ke dalam gagal jantung kronis. Akibatnya, angka perawatan di rumah
sakit karena gagal jantung dekompensasi juga ikut meningkat. Dari survei registrasi di
rumah sakit didapatkan angka perawatan pasien yang berhubungan dengan gagal jantug
sebesar 4,7% untuk perempuan dan 5,1 % untukk laki-laki. Secara umum, angka
perawatan pasien gagal jantung di Amerika dan Eropa menunjukkan angka yang semakin
meningkat.
Insidensi dan prevalensi gagal jantung meningkat secara dramatis sesuai dengan
peningkatan umur.19-24 Studi Framingham menunjukkan peningkatan prevalensi gagal
jantung, mulai 0,8% untuk orang berusia 50-59 hingga 2,3% untuk orang dengan usia 60-
69 tahun. Gagal jantung dilaporkan sebagai diagnosis utama pada pasien di rumah sakit
untuk kelompok usia lebih dari 65 tahun pada tahun 1993. Beberapa studi di Inggris juga
menunjukkan adanya peningkatan prevalensi gagal jantung pada orang dengan usia lebih
tua.

III.3. Etiologi 24,25


Dalam menilai pasien dengan gagal jantung, penting untuk mengenali tidak hanya
penyebab yang mendasarinya tetapi juga penyebab yang memicu timbulnya gagal
jantung. Kelainan jantung akibat lesi bawaan atau didapat seperti stenosis katup aorta
dapat menetap selama bertahun-tahun dan tidak menimbulkan gangguan klinis. Namun
demikian, seringkali penampakan klinis gagal jantung muncul pertama kali selama
kejadian beberapa gangguan akut yang memberikan beberapa gambaran yang
memberikan beban tambahan pada miokard yang sudah mendapat beban berlebih dalam
waktu lama.
Jantung mungkin dapat mengkompensasi tapi tidak mempunyai cadangan
tambahan, dan penyebab pemicu menyebabkan kemunduran fungsi jantung yang lebih
jauh lagi. Pengenalan penyebab pemicu ini sangat penting, sebab peringanan yang cepat
dari penyebab ini dapat menyelamatkan hidup. Namun pada keadaan tanpa penyakit
jantung yang mendasari, gangguan akut ini saja biasanya tidak akan menyebabkan gagal
jantung. Hal-hal berikut yang dapat menjadi penyebab gagal jantung adalah emboli paru,
infeksi, anemia, tirotoksikosis, kehamilan, aritmia, reumatik, endokaritis infektif, beban
lingkungan dan emosional yang berlebihan, hipertensi sistemik, infark miokard.
Penyakit jantung koroner merupakan etiologi gagal jantung akut pada 60 – 70%
pasien terutama pada pasien usia lanjut. Pada usia muda, gagal jantung akut lebih sering
diakibatkan oleh kardiomiopati dilatasi, aritmia, penyakit jantung kongenital, penyakit
jantung katup dan miokarditis.

III.4. Bentuk-bentuk Gagal Jantung 23,26


1. Gagal jantung kongestif (congestive heart failure)
Komplikasi utama dari semua penyakit jantung adalah gagal jantung, yaitu
kelainan patofisiologi dimana fungsi jantung yang abnormal merupakan penyebab
jantung gagal memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan meskipun tekanan
pengisian ventrikel sudah bertambah. Suatu definisi alternative yang dikemukakan
oleh Packer, lebih memfokuskan kepada konsekuensi klinis dari gagal jantung yaitu
congestive heart failure yang merupakan sindroma klinis, ditandai oleh adanya
keluhan dan penemuan klinis akibat fungsi ventrikel kiri yang abnormal, regulasi
neurohormonal, disertai intoleransi terhadap beban fisik, retensi cairan dan
menyebabkan umur pendek.
Di antara 2 definisi atau situasi tadi terdapat spektrum patofisiologi yang luas,
mulai dari fungsi pompa yang cepat menurun seperti pada infark miokard luas,
takiaritmia atau bradiaritmia yang timbul mendadak sampai kepada penurunan fungsi
yang sangat gradual tetapi progresif timbul dimana jantung sudah lama dalam
keadaan volume dan tekanan yang berlebihan.
Berikut adalah kriteria diagnosis gagal jantung kongestif menurut Framingham :
Kriteria Major :1. Paroksisimal nocturnal dyspnoe
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru basah
4. Kardiomegli
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peninggian tekanan vena jugularis >16 cmH2O
8. Waktu sirkulasi > 25 detik
9. Refluks hepatojugular positif
10. Hidrothoraks
a

Gambar 3.2. Distensi Vena Leher (sumber:


gettyimage.com)

Gambar 3.3. Gambaran Oedem Paru


(sumber: NCBI. Heart Failure, 2004)
Kriteria Minor: 1.Edema tungkai
2. Batuk malam hari
3. Dispnoe d’effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari Maksimum
7. Takikardia(>120x/menit)
Diagnosis Gagal jantung ditegakan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor
atau 2 major.

2. Gagal jantung Sistolik – Diastolik


Kedua jenis gagal jantung ini terjadi secara tumpang tindih dan tak dapat
dibedakan dari pemeriksaan jasmani, foto thorak ataupun EKG dan hanya dapat
dibedakan dengan pemeriksaan echocardiografi.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa,
sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, kemampuan aktivitas
menurun dan gejala hipoperfusi lainnya. Gagal jantung sistolik lebih familiar dan
bersifat klasik.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian
ventrikel. Dapat terjadi untuk sementara, misalnya pada iskemia akut atau betahan
lama seperti pada hipertrofi ventrikel kiri pada hipertensi atau AS, hipertrofi ventrikel
kanan pada PS atau hipertensi pulmonal. Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan
ekokardiografi aliran darah mitral dan aliran vena pulmonalis. Tidak dapat dibedakan
dengan pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan jasmani saja.

3. Gagal jantung low output - high output


Gagal jantung low output disebabkan oleh kardiomiopati dilatasi, kelainan katup
dan perikard. Gagal jantung high output ditemukan pada penurunan rensistensi
vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A-V, beri-beri
dan penyakit Paget. Secara praktis kedua kelainan ini sulit dibedakan.
4. Gagal jantung akut – kronik
Gagal jantung akut adalah serangan cepat dari gejala-gejala atau tanda-tanda
akibat fungsi jantung yang abnormal. Contoh klasik gagal jantung akut adalah
robekan daun katup secara tiba-tiba akibat endokarditis, trauma atau infark miokard
luas. Curah jantung yang menurun secara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan
darah tanpa disertai oedem perifer.
Gagal jantung kronis adalah sindrom klinis yang komplek yang disertai keluhan
gagal jantung berupa sesak, fatigue baik dalam keadaan istirahat atau beraktivitas,
oedem dan tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat. Contoh
gagal jantung kronis adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan multi vaskular yang
terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat mencolok, namun tekanan
darah masih terpelihara dengan baik.

5. Gagal jantung kanan – kiri


Gagal jantung kiri terjadi akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan
vena pulmonalis menyebabkan pasien sesak nafas dan terjadi gejala orthopnoe.
Gagal jantung kanan terjadi apabila kelainan yang terjadi melemahkan ventrikel
kanan seperti pada hipertensi pulmonal yang terjadi primer ataupun sekunder,
tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang
menyebabkan oedem perifer, hepatomegali dan distensi vena jugularis. Tetapi karena
perubahan biokimia gagal jantung terjadi pada miokard kedua ventrikel, maka retensi
cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi
berbeda.

III.5. Patofisiologi 23,24


Gagal jantung merupakan manifestasi akhir dari kebanyakan penyakit jantung. Pada
disfungsi sistolik, kapasitas ventrikel untuk memompa darah terganggu karena gangguan
kontraktilitas otot jantung yang dapat disebabkan oleh rusaknya miosit, abnormalitas
fungsi miosit atau fibrosis, serta akibat pressure overload yang menyebabkan resistensi
atau tahanan aliran sehingga stroke volume menjadi berkurang. Sementara itu, disfungsi
diastolik terjadi akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel
dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian
ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering disfungi diastolik adalah penyakit jantung
koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofi.
Beberapa mekanisme kompensasi alami akan terjadi pada pasien gagal jantung
sebagai respon terhadap menurunnya curah jantung serta untuk membantu
mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk memastikan perfusi organ yang cukup.
Mekanisme tersebut mencakup:
1. Mekanisme Frank Starling
Menurut hukum Frank-Starling, penambahan panjang serat menyebabkan
kontraksi menjadi lebih kuat sehingga curah jantung meningkat.
Mekanisme Frank-Starling meningkatkan stroke volume berarti terjadi peningkatan
volume ventricular end-diastolic. Bila terjadi peningkatan pengisian diastolik, berarti ada
peningkatan peregangan dari serat otot jantung, lebih optimal pada filamen aktin dan
miosin, dan resultannya meningkatkan tekanan pada kontraksi berikutnya. Pada keadaan
normal, mekanisme Frank-Starling mencocokan output dari dua ventrikel.
Pada gagal jantung, mekanisme Frank-Starling membantu mendukung curah jantung.
Curah jantung mungkin akan normal pada penderita gagal jantung yang sedang beristirahat,
dikarenakan terjadinya peningkatan volume ventricular end-diastolic dan mekanisme
Frank-Starling. Mekanisme ini menjadi tidak efektif ketika jantung mengalami pengisian
yang berlebihan dan serat otot mengalami peregangan yang berlebihan.

Gambar 3.2. Hukum Frank Starling pada Gagal Jantung.


(sumber: Clinical Cardiology Concept, 2004)
Hal penting yang menentukan konsumsi energi otot jantung adalah ketegangan dari
dinding ventrikular. Pengisian ventrikel yang berlebihan menurunkan ketebalan dinding
pembuluh darah dan meningkatkan ketegangan dinding pembuluh darah. Peningkatan
ketegangan dinding pembuluh darah akan meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung
yang menyebabkan iskemia dan lebih lanjut lagi adanya gangguan fungsi jantung.

2. Perubahan neurohormonal-aktivitas simpatis


Peningkatan aktivitas simpatis merupakan mekanisme paling awal untuk
mempertahankan curah jantung. Katekolamin menyebabkan kontraksi otot jantung
yang lebih kuat (efek inotropik positif) dan peningkatan denyut jantung. Sistem
saraf simpatis juga turut berperan dalam aktivasi sistem rennin angiotensin
aldosteron (RAA) yang bersifat mempertahankan volume darah yang bersirkulasi
dan mempertahankan tekanan darah. Selain itu dilepaskan juga counter-regulator
peptides dari jantung seperti natriuretic peptides yang mengakibatkan terjadinya
vasodilatasi perifer, natriuresis dan diuresis serta turut mengaktivasi sistem saraf
simpatis dan sistem RAA.
Aspek negatif dari peningkatan aktivitas system saraf simpatetik melibatkan
peningkatan tahanan sistem vaskular dan kelebihan kemampuan jantung dalam memompa.
Stimulasi simpatetik yang berlebihan juga menghasilkan penurunan aliran darah ke kulit,
otot, ginjal, dan organ abdominal. Hal ini tidak hanya menurunkan perfusi jaringan tetapi
juga berkontribusi meningkatkan sistem tahanan vaskular dan stres berlebihan dari jantung.

3. Mekanisme renin-angiotensin-aldosteron
Salah satu efek yang paling penting dalam menurunkan curah jantung dalam gagal
jantung adalah reduksi aliran darah pada ginjal dan kecepatan filtrasi glomerulus, yang
menyebabkan retensi garam dan air. Penurunan aliran darah ke ginjal, meningkatkan
sekresi renin oleh ginjal yang secara paralel akan meningkatkan pula angiotensin II.
Peningkatan konsentrasi angiotensin II berkontribusi pada keadaan vasokonstriksi dan
menstimulasi produksi aldosteron dari adrenal korteks. Aldosteron akan meningkatkan
reabsorpsi natrium dengan meningkatkan retensi air.
Selain itu angiotensin II dan aldosteron juga terlibat dalam inflamasi proses perbaikan
karena adanya kerusakan jaringan. Keduanya menstimulasi produksi sitokin, adhesi sel
inflamasi (contoh neutrofil dan makrofag) dan kemotaksis; mengaktivasi makrofag pada
sisi kerusakan dan perbaikan; dan menstimulasi pertumbuhan fibroblas dan sintesis
jaringan kolagen.

4. Peptida natriuretik dan substansi vasoaktif yang diproduksi secara lokal


Ada tiga jenis natriuretic peptide yaitu atrial natriuretic peptide (ANP), brain
natriuretic peptide (BNP), dan C-type natriuretic peptide (CNP). ANP dihasilkan
dari sel atrial sebagai respon meningkatkan ketegangan tekanan atrial,
memproduksi natriuresis cepat dan sementara, diuretik dan kehilangan kalium
dalam jumlah sedang dalam urine. BNP dikeluarkan sebagai respon tekanan
pengisian ventrikel sedangkan fungsi CNP masih belum jelas.

5. Remodeling dan hipertrofi ventrikel


Dengan bertambahnya beban kerja jantung akibat respon terhadap peningkatan
kebutuhan maka terjadi berbagai macam remodeling termasuk hipertrofi dan
dilatasi. Bila hanya terjadi peningkatan muatan tekanan ruang jantung atau pressure
overload (misalnya pada hipertensi, stenosis katup), hipertrofi ditandai dengan
peningkatan diameter setiap serat otot. Pembesaran ini memberikan pola hipertrofi
konsentrik yang klasik, dimana ketebalan dinding ventrikel bertambah tanpa
penambahan ukuran ruang jantung. Namun, bila pengisian volume jantung
terganggu (misalnya pada regurgitasi katup atau ada pirau) maka panjang serat
jantung juga bertambah yang disebut hipertrofi eksentrik, dengan penambahan
ukuran ruang jantung dan ketebalan dinding.
Mekanisme adaptif tersebut dapat mempertahankan kemampuan jantung
memompa darah pada tingkat yang relatif normal, tetapi hanya untuk sementara.
Perubahan patologik lebih lanjut, seperti apoptosis, perubahan sitoskeletal, sintesis,
dan remodelling matriks ekstraselular (terutama kolagen) juga dapat timbul dan
menyebabkan gangguan fungsional dan struktural yang semakin mengganggu
fungsi ventrikel kiri.
III.6. Manifestasi Klinis
Gejala gagal jantung akut terutama disebabkan oleh kongesti paru yang berat
sebagai akibat peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri yang meningkat, dapat
disertai penurunan curah jantung ataupun tidak.
Manifestasi klinis gagal jantung akut meliputi:
1. Gagal jantung dekompensasi (de novo atau sebagai gagal jantung kronik yang
mengalami dekompensasi).
2. Gagal jantung akut hipertensi yaitu terdapat gagal jantung yang disertai tekanan
darah tinggi dan gangguan fungsi jantung relatif dan pada foto toraks terdapat
tanda-tanda edema paru akut.
3. Edema paru yang diperjelas dengan foto toraks, respiratory distress, ronki yang
luas, dan ortopnea. Saturasi oksigen biasanya kurang dari 90% pada udara
ruangan.
4. Syok kardiogenik ditandai dengan penurunan tekanan darah sistolik kurang dari 90
mmHg atau berkurangnya tekanan arteri rata-rata lebih dari 30 mmHg dan atau
penurunan pengeluaran urin kurang dari 0,5 ml/kgBB/jam, frekuensi nadi lebih
dari 60 kali per menit dengan atau tanpa adanya kongesti organ.
5. High output failure, ditandai dengan curah jantung yang tinggi, biasanya dengan
frekuensi denyut jantung yang tinggi, misalnya pada mitral regurgitasi,
tirotoksikosis, anemia, dan penyakit Paget’s.
6. Gagal jantung kanan yang ditandai dengan sindrom low output, peninggian
tekanan vena jugularis, serta pembesaran hati dan limpa.

Untuk membedakan gagal jantung kiri dan kanan yaitu :


Gagal Jantung Kiri Gagal Jantung Kanan
- Dyspnoe d’effort - Sistemik venous kongesti
- Ortopnoe - Dependen edema
- Paroksismal dyspnoe - Kongesti hepatomegali
- Acute lung oedem - Anoreksia
- Pernafasan Cheyne strokes
- Letih dan lemah
Tabel 3.1. Gejala Gagal Jantung Kiri dan Kanan
III.7. Penatalaksanaan
 ACE inhibitor
Efek : dilatasi arteriol, mengurangi aktivitas simpatis dan produksi noradrenalin,
penurunan aldosteron, anti hipertrofi dan anti remodeling pada miokard
Kontraindikasi ACE-inh: renal stenosis, Aorta stenosis yang berat, kardiomiopati
hipertrofi dan restriktif, karotid stenosis yang berat, gagal ginjal yang berat, angina,
anemia berat, kehamilan dan laktasi.
 Angiotensin II receptor blocker, Pada penderita dengan intoleran dengan ACE-inh dapat
digunakan sebagai pengganti dengan akibat blockade pada RAS
 Digoksin
Mekanisme kerja digoksin : menambah kontraktilitas miokard baik kecepatan pada gagal
jantung maupun pada jantung normal, efek elektrofisiologi dan vasokonstriksi.
Pada pemakaian digoksin sensitivitas digoksin dapat meningkat sehingga diperlukan
penyesuaian dosis pada gagal ginjal, usia lanjut, Hipokalemia, hiperkalemia, hipoksemia,
asidosis, MCI akut, hipomagnesemia, hipercalsemia.
Indikasi pengunaan digoksin :
1. AF dengan rapid respon dan tidak terkontrol pada gagal jantung
2. Gagal jantung dengan kemampuan kontraksi yang menurun, S3, ronkhi basah pada
basal dan kemudian menyeluruh
3. Kegagalan pengobatan dengan diuretika dan vasodilator akibat hipotensi
4. Gagal jantung sistolik NYHA kelas II,III,IV.
Pemakaian digoksin terbatas pada :
1. IMA kecuali gagal jantung tidak dapat terkontrol dengan diuretika, nitrat dan dopamin
2. AV block
3. MS dengan irama sinus
4. HOCM ( hipertrofi obstruktif kardiomiopati )
5. SSS ( sick sinus sindrom )
6. kor pulmonal kecuali disertai AF rapid respon
 Simpatomimetikamin
1. Dopamin
Merupakan prekursor dari norepinefrin alamiah. Dopamin dapat meningkatkan
SVR sedangkan CO mungkin tidak bertambah meskipun terdapat efek inotropik. Oleh
karena itu penderita dengan perfer vascular disease harus diwaspadai kemungkinan
pada pemberian dopamin. Pada pasien dengan hipotensi yang berat peningkatan LV
filling pressure (LVFP) ringan sedang dopamin bersifat vasokontriktor, mungkin lebih
superior dibanding dobutamin. Kenaikan renal blood flow tidak terjadi pada dosis
tinggi dengan maksud unutk menaikkan tekanan darah karena vasokontriktif perifer.
2. Dobutamin
Suatu katekolamin sintetik. Bekerja terhadap reseptor beta-1, beta-2, dan alfa.
Suatu inoropi yang kuat. Menurunkan perifer vascular resistance, CO dapat meningkat
pada gagal jantung berat mungkin / di harapkan tidak menyebabkan penurunan atrial.
3. Ibopamin
Merupakan agonis dopamin, diberikan secara oral, mempunyai efek baik
terhadap neurohumoral dan memperbaiki hemodinamik

 Diuretika
Salah satu cara menanggulangi gagal jantung adalah mengurangi resisten garam dan air
yaitu dengan diet rendah lemak dan pemberian diuretika. Pada pemberian diuretika yang
berlebihan dapat menyebabkan CO menurun, hipotensi ortostatik, kemunduran fungsi
ginjal.

Pemberian diuretika dapat menyebabkan memperburuk keadaan pada gagal jantung


dengan kemunduran fungsi ventrikel yaitu pada :
1. Tamponade jantung pada efusi perkardial
2. Perikarditis konsriktiva
3. MS atau AS yang berat
4. Kardiomiopati hipertrofi
5. Asites dengan impending koma hepatikum
Gambar 3.4. Mekanisme Kerja Diuretik
(sumber: NCBI. Heart Failure, 2004)

Diuretika yang dapat dipergunakan untuk gagal jantung adalah :


1. Diuretika kuat (Furosemid, Bumetanid, Torasemid)
 Menghambat pompa triporter pada lengkung tebal Ansa Henle asending
 Menghambat reabsorpsi Na+ dan Cl-
 Mengakibatkan diuresis dan dapat menyebabkan hipokalemi
2. Diuretika Tiazid (Bendrofluazid, Hidroklorotiazid)
 Menghambat reabsorpso NaCl di bagian tubulus distal
 Semakin banyak asupan Na+ pada tubulus distal akan menstimulasi pergantian Na+
dengan K+ dan H+, sehingga menyebabkan hipokalemi dan alkalosis metabolik
3. Diuretik Distal / Pottasium-sparing (Amiloride)
 Menghambat saluran Na+ di nefron distal.
4. Diuretik Hemat Kalium (Spironolakton)

Monitoring pemberian diuretika


Apabila terjadi satu atau lebih hal dibawah ini maka ditunda pemberiannya dalam 24 jam
atau lebih, kemudian dilanjutkan dengan dosis setengah.
 Sistolik < 95 mmHg atau hipotensi ortostatik
 BB turun > 2 kg
 Elektrolit Na / K / Cl : 124 / 3 / 94 meq/L
 JVP < 1 cm sebelumnya JVP tinggi
 Aritmia timbul dan memburuk
 Pengeluaran Na > 150 meq/L dalam 24 jam

 Venodilator
Venous compliance berkurang pada gagal jantung. Venous bed merupakan tempat yang
besar, oleh karena itu venodilator mempunyai efek venous pooling dengan acute
reduction in elevated venous return yang menurun. Dengan diberikannya venodilator dan
diuretika, filling pressure dapat menurun sehingga simptom dapat berkurang seperti sesak
napas, orthopnoe, tanpa menyebabkan turunnya CO.

 Beta Receptor Antagonis


Beta blocker dapat berperan penting pada penderita gagal jantung terutama yang
mendasari IHD dengan fungsi diastolik dan / atau fungsi sistolik yang menurun seperti
kardiomiopati dilatasi.
Beta blocker dapat diberikan pada gagal jantung yang kronikstabil dan dengan syarat
telah mendapat terapi standard untuk gagal jantung : diuretika, ACE-inh, digoksin,
mungkin nitrat, atau amiodaron ( anti aritmia ).

Gambar 3.5. Algoritma Penanganan Gagal Jantung


(sumber: Hunt SA, Abraham WT, Chin MH, et al. ACC/AHA 2005 Guideline update for the diagnosis and
management of chronic heart failure in the. 2005)

III.8. Prognosis
Pasien dengan gagal jantung akut memiliki prognosis yang sangat buruk. Dalam
satu randomized trial yang besar pada pasien yang dirawat dengan gagal jantung yang
mengalami dekompensasi, mortalitas 60 hari adalah 9,6% dan apabila dikombinasi
dengan mortalitas dan perawatan ulang dalam 60 hari jadi 35,2%. Sekitar 45% pasien
gagal jantung akut akan dirawat ulang paling tidak satu kali, 15% paling tidak dua kali
dalam 12 bulan pertama. Angka kematian lebih tinggi lagi pada infark jantung yang
disertai gagal jantung berat dengan mortalitas dalam 12 bulan adalah 30%.
Terdapat beberapa faktor klinis yang penting pada pasien dengan gagal jantung
akut yang dapat mempengaruhi respon terhadap terapi maupun prognosis diantaranya
adalah:
1. Tekanan darah sistolik yang tinggi saat masuk berhubungan dengan mortalitas pasca
perawatan yang rendah namun perawatan ulang dalam 90 hari tidak berbeda antara
pasien dengan hipertensi maupun normotensi. Tekanan darah sistolik yang rendah (<
120 mmHg) saat masuk rumah sakit menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Gheorghiade et al didapatkan bahwa peningkatan
tekanan darah sistolik berhubungan dengan mortalitas selama perawatan yang rendah
yaitu 7.2% (<120 mm Hg), 3.6% (120-139 mm Hg), 2.5% (140-161 mm Hg). 1.7%
(>161 mm Hg).
2. Gangguan fungsi ginjal tampaknya juga mempengaruhi hasil akhir pada gagal jantung
akut. Pada penelitian yang dilakukan Klein et al didapatkan bahwa rendahnya
estimated glomerular filtration rate (eGFR) dan tingginya BUN saat masuk RS
berkaitan dengan meningkatnya risiko kematian dalam 60 hari pasca perawatan.
3. Pada pasien gagal jantung yang disertai PJK terdapat peningkatan mortalitas pasca
perawatan dibandingkan pasien tanpa PJK. Secara umum, penyakit jantung koroner
dapat meningkatkan mortalitas pasien gagal jantung akut. Angka mortalitas mencapai
20-40% pada gagal jantung yang berhubungan dengan infark miokard akut.33
Peningkatan kadar troponin yang diobservasi pada 30 – 70% pasien dengan PJK
berkaitan dengan meningkatnya mortalitas pasca perawatan sebanyak 2 kali,
sedangkan angka perawatan ulang dirumah sakit meningkat 3 kali.
4. Peningkatan kadar natriuretik peptida juga berhubungan dengan meningkatnya
mortalitas pasca perawatan dan perawatan ulang di rumah sakit.
5. Pasien dengan tekanan baji kapiler paru yang rendah memperlihatkan peningkatan
survival pasca perawatan. Tekanan baji kapiler paru yang tinggi, sama atau lebih dari
16 mmHg merupakan prediktor mortalitas tinggi.
6. Durasi QRS yang memanjang juga menjadi faktor independen terhadap tingginya
morbiditas dan pasca perawatan.
BAB IV
HUBUNGAN ANTARA HIPERTENSI DAN GAGAL JANTUNG

Hipertensi telah dihubungkan dengan peningkatan resiko gagal jantung pada beberapa
penelitian epidemiologis. Hubungan antara hipertensi dan gagal jantung ini tampaknya
merupakan hubungan sebab akibat. Hal ini dapat terlihat dari gambaran biologis, runutan
kejadian (hipertensi yang mengawali gagal jantung), kuatnya hubungan (2-3x resiko), adanya
hubungan terkait dosis (resiko meningkat dengan derajat peningkatan tekanan darah), dan
dengan konsistensi pada observasi dalam studi epidemiologi yang berbeda. Dari penelitian,
didapatkan penurunan resiko gagal jantung pada pengobatan peningkatan tekanan darah pada
percobaan klinis dengan kontrol plasebo yang menyingkap dasar dari hubungan ini. Resiko pada
populasi (Population Attributable Risk-PAR) dari hipertensi menjadi gagal jantung pada populasi
umum diperkirakan sekitar 39% pada pria dan 59% pada wanita. Tingginya nilai resiko ini
menunjukan kombinasi tingginya prevalensi hipertensi sekaligus juga besarnya resiko gagal
jantung akibat hipertensi. Hal ini juga memberikan gambaran bahwa penanganan awal dan
adekwat terhadap hipertensi dapat menurunkan kejadian gagal jantung di masyarakat.28
Setidaknya ada satu studi epidemiologi yang mencari faktor resiko gagal jantung di antara
subjek dengan hipertensi menggunakan sampel yang cukup luas, follow up yang cukup panjang
rentang waktunya, definisi kontemporer mengenai hipertensi dan analisis multivarian. Pada
penelitian ini, faktor resiko dari gagal jantung di antara subjek dengan hipertensi mencakup
infark miokard (5-6x resiko), hipertrofi ventrikel kiri (2-3x resiko), diabetes mellitus (2-3x
resiko) dan kelainan katup jantung (2-3x resiko). Gagal jantung pada subjek hipertensi
cenderung tetap terjadi meski tanpa melalui proses infark miokard. Hal ini menyingkap peran
penting dari disfungsi diastolik ventrikel pada patogenesis dari gagal jantung hipertensi.28
Selain itu, pengaruh aktivasi sistem saraf simpatik, yang dimediasi melalui stimulasi
norepinefrin dari sistem adrenergik, juga merupakan faktor penting pada progresi kontium
kardiovaskular. Peningkatan sistem saraf simpatis akan mengakibatkan peningkatan denyut
jantung, kebutuhan oksigen miokard dan menurunkan suplai darah ke miokard dengan
menurunkan waktu perfusi diastolik koroner. Pada hipertensi, dimana terjadi overload
hemodinamik, aktivasi sistem saraf simpatis ini akan lebih lanjut lagi mencetuskan proses
remodeling miokard.
Gambar 4.1. Progresi Hipertensi-Gagal jantung (sumber: Controversies in the management of
heart Failure, 1997).

IV. 1. Hipertrofi Ventrikel Kiri 28,29,30


IV. 1.1. Jenis Hipertrofi Ventrikel
Menurut Strauer didapatkan 3 jenis hipertrofi ventrikel kiri ysng
berhubungan dengan dimensi ruangan jantung, tegangan dinding dan fungsi
ventrikel sebagai akibat perbedaan patofisiologi dan latar belakang yang
menyebabkannya yaitu :
1. Hipertrofi konsentris
Dinding ventrikel menebal, masa bertambah sedangkan volume akhir diastolik
masih normal atau hanya sedikit bertambah dan rasio massa terhadap volume
akan meningkat.
2. Hipertrofi eksentris
Merupakan kelanjutan dari tipe konsentris dimana massa dan volume
ventrikel bertambah sedangkan tebal dinding tidak berubah.
3. Hipertrofi ireguler (tidak sepadan antara hipertrofi dengan dilatasi)
Hipertropi ini menyerupai kardiomiopati, dimana tebal dan massa ventrikel
kiri bertambah secara berlebihan dan tidak teratur sehingga ruang ventrikel
menjadi kecil dan rasio massa terhadap volume akan meningkat.

Gambar 4.2. Perbedaan antara hipertrofi eksentris (volume overload) dan konsentris (pressure overload).
(Sumber: Garcia, Jose. Factors and Mechanism involved in LVH and the anti-hypertrophic role of nitric
oxide. 2008)

Gambar 4.3. Perubahan Ventrikel Kiri. (Sumber: Japanese Circulation Society, 2001)
Gambar 4.4. Pola Geometris dari Hipertrofi Ventrikel Kiri. (Sumber: Kaplan’s Clinical Hypertension
2006;4:133)

IV. 1.2. Perubahan Fungsional pada Hipertrofi Ventrikel Kiri


Perubahan struktur otot jantung pada hipertrofi ventrikel kiri dapat
mengurangi cadangan aliran darah koroner karena :
1. Penebalan tunika media arteriol, penurunan jumlah kapiler per satuan
miokard.
2. Perubahan ekstra vaskuler karena hipertropi miokard, penurunan kualitas
miokard karena fibrosis interstitial dan perivaskuler.
3. Arteriosklerosis akibat hipertensi menimbulkan oklusi arteri pericardial.
4. Penebalan dinding arteri mengurangi rasio lumen dengan dinding arteri dan
ukuran lumen arteri tidak rata.
5. Peningkatan diameter ventrikel kiri karena hipertropi miosit, deposit kolagen.
Fibrinosis dan matriks protein akan menimbulkan kompresi arteri koroner
dan kekakuan otot ventrikel.
Selanjutnya pada hipertrofi ventrikel kiri dapat terjadi gagal jantung melalui
proses berikut :
1. Peningkatan kerja otot jantung menimbulkan hipertropi dan dilatasi,
sedangkan suplai darah tidak mampu menyetarakan dengan massa otot
jantung, sehingga terjadi anoksia.
2. Hipertensi mempercepat perkembangan aterosklerosis koroner yang
mengakibatkan insufisiensi aliran darah koroner.
3. Hipertensi yang lanjut akan menganggu aliran darah ginjal dan fungsi eksresi
ginjal sehingga terjadi penurunan eksresi natrium dan air.

IV. 1.3. Hipertrofi Ventrikel Kiri pada Hipertensi


Hipertensi merupakan prekursor utama dari terjadinya hipertrofi ventrikel
kiri. Hipertrofi ventrikel kiri ditemukan pada 50% hipertensi sedang dan hampir
pada semua penderita yang dirawat karena hipertensi berat, sedangkan dengan
EKG, hipetrofi ventrikel kiri didapatkan 15 – 20% penderita hipertensi. Subjek
dengan hipertensi ringan memiliki resiko 2-3x lipat dari tampaknya gambaran
hipetrofi ventrikel kiri pada EKG dibandingkan dengan subjek normotensi,
dimana resiko menjadi 10x lipat pada subjek dengan tingkat hipertensi lebih berat.
Hubungan antara peningkatan tekanan darah dengan peningkatan gambaran
ekokardiografik massa ventrikel kiri juga telah didokumentasikan pada studi
epidemiologis. Prevalensi ekokardigrafik hipetrofi ventrikel kiri berkisar dari 16%
(pada pria) hingga 19% (pada wanita) di populasi umum dan naik hingga 60%
pada subjek hipertensi.
Kondisi ini dapat menyebabkan peningkatan kematian jantung mendadak
hingga lima kali dibandingkan dengan penderita hipertensi tanpa hipertrofi
ventrikel kiri, sehingga dalam penatalaksanaan hipertensi, program pencegahan
hipertrofi ventrikel kiri merupakan tujuan utama selain penurunan tekanan darah.
Hipertrofi ventrikel kiri memperburuk sirkulasi koroner karena menurunkan
cadangan koroner dan gangguan perfusi miokard.
Jantung yang mendapatkan tambahan beban hemodinamik akan mengalami
kompensasi melalui proses mekanisme kompensasi Frank Starling, peningkatan
massa otot jantung dan aktifasi mekanisme neurohormonal baik sistem simpatis
ataupun melalui hormon rennin angiostensin.
Hipetrofi ventrikel kiri pada hipertensi sebenarnya merupakan fenomena
yang kompleks, dimana tidak hanya melibatkan faktor hemodinamik seperti
beban tekanan, volume, denyut jantung yang berlebihan dan peningkatan
kontraktilitas dan tahanan perifer, tetapi juga faktor non hemodinamik seperti
usia, kelamin, ras, obesitas, aktifitas fisik, kadar elektrolit dan hormonal.
Terdapat dua patofisiologi utama yang menyebabkan hipertofi ventrikel kiri,
yaitu regangan mekanik dan faktor neurohormonal. Regangan mekanik terjadi
karena hipertensi memaksa ventrikel kiri untuk beradaptasi dengan meningkatkan
massa otot untuk mempertahankan curah jantung yang adekwat dari adanya
peningkatan resistensi arteri.
Secara skematis, perjalanan hipertensi dapat kita liat seperti berikut :
Kontraksi
Tingkat Volume Curah Tahanan Hipertrofi
Otot Aterosklerosis
Hipertensi Plasma Jantung Perifer Ventrikel
Jantung
Awal    normal - -

 + faktor
Definitif  Normal /  Normal /   
resiko
Gagal
    menetap 
Jantung
Tabel 4.1. Perubahan Kardiovaskular pada Hipertensi (sumber: Reichek N, Devereux RB, Lef ventricular
hypertrophy relationship of anatomic, echocardiograpic and electrocardiograpic findings. Circulation 1981 :
1391- 8.)

Dengan peningkatan tahanan perifer dan beban sistolik ventrikel kiri,


jantung mengalami hipertrofi karena aktivasi simpatis untuk meningkatkan
kontraksi miokard. Norepinefrin telah terbukti menstimulasi produksi protein sel
dalam kondisi tergantung dosis, dimana blockade reseptor norepinefrin dengan
peningkatan konsentrasi antagonis - dan - dari sistem adrenergik dihubungkan
dengan penurunan produksi protein. Efek dari sistem saraf simpatis terhadap
fisiologi miosit melalui aktivasi reseptor 1- dan 1/2-, memainkan peranan
penting dalam memediasi terjadinya hipetrofi ventrikel kiri pada hipertensi.
Sistem renin angiostensin juga berperan penting dengan merangsang
proliferasi dan migrasi otot polos oleh receptor Angiotensin I. Angiostensin II
juga merangsang pertumbuhan kolagen sebagai mediator hormon Transforming
Growth Factor Beta ( TGF-). Di sisi lain, angiostensin bersifat vasokontriktor
dan meningkatkan reabsorbsi garam dan air.
Pada hipertensi ringan curah jantung mulai meningkat, frekuensi denyut
jantung dan kontraktilitas bertambah sedangkan tahanan perifer masih normal.
Peningkatan curah jantung oleh proses autoregulasi menimbulkan peningkatan
tonus pembuluh darah perifer. Dengan lamanya hipertensi terjadi perubahan
struktural pembuluh darah yang menyebabkan tahanan perifer meninggi secara
persisten dan akhirnya menyebabkan kerja jantung bertambah berat.
Proses ini dapat disertai kelainan pembuluh koroner dengan penurunan
cadangan koroner akan menimbulkan iskemik atau infark miokard sebagai akibat
tambahan yang mempercepat gagal jantung atau kematian jantung mendadak.
Hipertrofi ventrikel kiri memiliki tiga konsekuensi terhadap fungsi ventrikel
kiri :
1. Sebagai faktor resiko kuat untuk terjadi infark miokard dan disfungsi sistolik
ventrikel. Observasi ini konsisten pada penemuan hipetrofi menggunakan
EKG ataupun echo. Pada Framinghang Heart Study, adanya gambaran
hipetrofi ventrikel kiri pada EKG dihubungkan dengan peningkatan resiko
terjadi infark miokard hingga 2-5x lipat selama 30 tahun follow up, tanpa
melihat kejadian hipertensinya. Hubungan antara hipertofi ventrikel kiri dan
infark miokard ini mungkin berubungan dengan peningkatan kebutuhan
oksigen akibat peningkatan massa miokard, berkurangnya cadangan koroner,
atau gabungan dari kedua faktor tersebut.
2. Predisposisi dari disfungsi diastolik ventrikel dan atrium. Kelainan pada
pengisian diastolik ventrikel kiri telah secara konsisten ditemukan pada
penderita hipertensi dewasa. Pola pengisian ventrikel yang digambarkan
dengan adanya gangguan aliran diastolik awal dan peningkatan pengisian
diastolik akhir sering tampak pada pasien hipertensi. Pola pengisian ventrikel
seperti ini mengindikasikan kelainan relaksasi ventrikel kiri tanpa adanya
perubahan pada komplians ventrikel dan berhubungan dengan peningkatan
massa ventrikel kiri, perubahan kekakuan miokard, fibrosis miokard dan
penyesuaian geometris ruang yang merupakan mekanisme lainnya yang juga
terlibat.
3. Hipertrofi ventrikel kiri mungkin berhubungan dengan disfungsi sistolik
ventrikel meskipun tanpa terjadinya infark miokard. Meskipun penurunan
bermakna dari fraksi ejeksi ventrikel kiri saat istirahat jarang terlihat, kelainan
pada fungsi sistolik yang lebih sensitif (seperti pemendekan fraksi dinding
tengah) terlihat pada 15% pasien hipertensi. Lebih lanjut, pasien hipertensi
dengan hipertrofi ventrikel kiri dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang normal
saat istirahat mungkin telah melalui aktivitas yang menginduksi disfungsi
sistolik ventrikel.

Hipetrofi ventrikel kiri merupakan faktor resiko kardiovaskular yang


mandiri dan telah terbukti meningkatkan resiko kelainan koroner, stroke, gagal
jantung dan lainnya. Untuk itu, pencegahan dari regresi hipetrofi ventrikel kiri
merupakan tujuan terapi yang sangat penting.

IV. 2. Miokard Infark


Hubungan antara tekanan darah dan miokard infark telah dikonfirmasi melalui
berbagai studi observasional prospektif; dimana resiko terjadinya infark miokard
meningkat dengan peningkatan tekanan darah (baik sistolik maupun diastolik), pada
semua kelompok usia yang dipelajari dan tidak dipengaruhi jenis kelamin. Didapat
hubungan log linier yang konsistensi dan kuat antara tekanan darah dan resiko penyakit
koroner dalam analisis terpusat dari hampir setengah juta subjek yang diikuti rata-rata
sekitar 10 tahun. Percobaan klinis juga mendukung data observasional ini dimana sebuah
meta-analisis dari 17 percobaan klinis acak yang melibatkan 37.653 subjek hipertensi
melaporkan adanya penurunan 15% dari insiden infark miokard pada subjek yang diobati
dibandingkan dengan kelompok plasebo. Hasil dari dua percobaan klinis pada subjek
hipertensi lanjut usia menggambarkan keuntungan dari penurunan tekanan darah
memiliki efek yang lebih besar pada kelompok lanjut usial pada percobaan ini dilaporkan
terjadi penurunan kasus koroner sebanyak 19-28%.28
Paparan kardiovaskular berupa hipertensi bergantung pada usia dan seiring dengan
ada-tidaknya faktor resiko lain. Meskipun resiko relatif dari infark miokard lebih besar
pada subjek hipertensi berusia paruh baya, resiko absolute dua kali lebih besar pada
kelompok lanjut usia. Pada tingkat tekanan darah berapapun, resiko infark miokard lebih
lanjut diperbesar oleh keberadaan faktor resiko lain seperti diabetes mellitus, merokok
dan dislipidemi.28
Infark miokard berhubungan dengan disfungsi sistolik ventrikel dalam berbagai
tingkat tergantung pada ukuran infark. Secara umum, fraksi ejeksi rata-rata lebih rendah
pada pasien dengan infark pertama di daerah anterior dan infark gelombang Q
dibandingkan dengan mereka yang memiliki infark awal di daerah posterior dan infark
gelombang non-Q. Pada zaman pretrombolitik, tingkat insiden kumulatif untuk gagal
jantung yang mengikuti infark miokard adalah 2-3% per tahun. Setelah ditemukannya
terapi trombolitik, proporsi pasien dengan disfungi sistolik yang signifikan (fraksi ejeksi
<40%) yang mengikuti kejadian infark miokard sekitar 15-20%.28
Kejadian disfungsi ventrikel setelah infark miokard dapat dikaitkan dengan
perubahan struktur jantung akibat remodeling ventrikel kiri. Dilatasi ventrikel kiri setelah
infark berhubungan dengan penurunan fungsi ventrikel kiri secara umum. Faktor resiko
dilatasi ventrikel kiri yang progresif setelah infark miokard mencakup ukuran infark yang
besar, lokasi infark di anterior, dan infark oklusi pada arteri dan hipertensi. 28
Terjadinya gagal jantung pada pemantauan selanjutnya berhubungan erat dengan
fraksi ejeksi ventrikel setelah infark miokard. Pada subjek dengan fraksi ejeksi lebih
besar dari 40%, insiden kumulatif gagal jantung adalah 5% per tahun. Pada pasien
dengan fraksi ejek kurang dari 40%, kejadian gagal jantung rata-rata 10% per tahun.
Terapi dengan penghambat angiotensin converting enzyme (ACE) menurunkan tingkat
kejadian hingga 20-30%.28
Infark miokard biasanya dihubungkan dengan disfungsi sistolik ventrikel,
sementara disfungsi diastolik ventrikel dapat dihubungkan dengan fase akut infark dan
lanjutannya. 28
IV. 3. Rentang Waktu Perjalanan Penyakit
Progresi hipertensi menjadi hipertrofi ventrikel kiri dan kemudian berkembang lagi
menjadi gagal jantung biasanya muncul setelah beberapa tahun hingga dekade.
Sementara, untuk infark miokard yang terjadi pada pasien hipertensi, rentang waktu
perjalanan penyakit bervariasi tergantung pada ukuran infark.29
Remodeling ventrikel setelah infark miokard berbeda dibandingkan remodeling
hipertrofi ventrikel kiri. Perbedaan ini tampak pada sifat mendadak onsetnya, kecepatan
evolusi dan fase bifasik (ekpansi yang diikuti oleh hipertrofi dan dilatasi). Disfungsi
ventrikel asimptomatis setelah infark miokard terjadi seiring waktu hingga terjadinya
gagal jantung. Gagal jantung yang lebih ringan pada gilirannya akan menajdi gagal
jantung berat seiring waktu. 29

IV. 4. Pengaruh Pengobatan Hipertensi pada Perjalanan Penyakit dan Resiko Gagal
Jantung
Penelitian terbaru telah menggaris-bawahi keuntungan pengobatan hipertensi pada
resiko gagal jantung dan insiden hipertrofi ventrikel kiri. Dua penelitian terpisah dengan
kontrol plasebo melaporkan penurunan hingga sekitar 50% kejadian gagal jantung pada
pasien yang diobati dibandingkan dengan subjek kontrol. Sebuah analisa terpusat dari
empat percobaan klinis yang menyediakan informasi mengenai terjadinya hipertrofi
ventrikel kiri pada EKG telah melaporkan penurunan hingga 35% dari insiden hipertrofi
ventrikel kiri baru. Observasi ini memperjelas keuntungan pengobatan hipertensi pada
perjalanan penyakit dan hasil akhir klinis dari gagal jantung. 28
BAB V
KESIMPULAN

1. Hipertensi berperan penting dalam proses terbentuknya gagal jantung.


Hipertensi telah diidentifikasi sebagai faktor resiko utama dari terbentuknya hipertrofi
ventrikel kiri dan infark miokard, yang keduanya merupakan penyebaba utama dari
disfungsi sistolik ventrikel. Hipertrofi ventrikel kiri sendiri dapat menyebabkan disfungsi
diastolik ventrikel yang juga merupakan faktor resiko dari infark miokard. Disfungsi
ventrikel kiri, baik sistolik maupun diastolik, dapat menyebabkan gagal jantung.
2. Hipertrofi ventrikel kiri dimulai dengan peningkatan kontraktilitas miokard yang
dipengaruhi oleh sistem saraf adrenergik sebagai respon neurohormonal, kemudian
diikuti dengan peningkatan aliran darah balik vena karena vasokontriksi di pembuluh
darah perifer dan retensi cairan oleh ginjal. Bertambahnya volume darah dalam vaskuler
akan meningkatkan beban kerja jantung, kontraksi otot jantung akan menurun karena
suplai aliran darah yang menurun dari aliran koroner akibat arteriosclerosis dan
berkurangnya cadangan aliran pembuluh darah koroner. Proses perubahan di atas terjadi
secara simultan dalam perjalanan penyakit hipertensi dalam mewujudkan terjadinya gagal
jantung.
3. Pengobatan hipertensi sejak awal akan menurunkan angka kematian akibat gagal jantung
Mengingat prognosis gagal jantung sangat buruk, intervensi pada tahap pre-klinis dari
gagal jantung sepertinya merupakan strategi terbaik untuk menurunkan angka kematian
dan kesakitan akibat gagal jantung. Salah satu tahapan pre-klinis tersebut adalah pada
keadaan hipertensi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bustan, N. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.


2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009.
3. World Health Organization. Technical Report Series. WHO: 2003.
4. World Health Organization. Evidence and Health Information. WHO: 2008.
5. World Health Organization. Health Information Worldwide. WHO: 2007.
6. Yahya, A.. Sebelum Jantung Anda Berhenti Berdetak. Bandung: Kaifa, 2005.
7. American Heart Association, NHLBI, NHCS. Fact Sheet. USA: 2008.
8. Anonimus. Jantung. Wikipedia: 2010.
9. Sherwood, L. Human Physiology: From Cells to Systems. 5th ed. Jakarta: 2007.
10. Balai Informasi Teknologi LIPI. Organ Sistem Peredaran Darah. 2009.
11. Kaplan, Norman M. Clinical Hypertension, 9th ed. USA: 2000.
12. Sloane, Ethel. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC, 2003.
13. E.J. Kapojos. Ilmu Penyakit Dalam, jilid II. Jakarta: FK UI, 2001.
14. World Health Organization. Hypertension Control. Geneva: 1996.
15. Dekker, E. Hidup dengan Tekanan Darah Tinggi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1996.
16. Beevers, Gareth, Gregory Y.H.. The Pathophysiology of Hypertension from British
Medical Journal. 2001.
17. U.S. Department of Health and human Services. the Seventh Report of the Joint
National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure. USA: 2003.
18. Sobel, B.. Hipetrensi Pedoman Klinis dan Terapi. Jakarta: Hipokrates, 1998.
19. William. Mengenal Hipertensi. id.novertis.com. 2006.
20. Gowan, Mc.M.. Menjaga Kebugaran Jantung. Jakarta: PT. Grafindo Persada. 2001.
21. Joewono, B.S.. Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya: Airlangga University Press, 2003.
22. Perhimpunan Hipertensi Indonesia. Ringkasan Eksekutif Penanggulangan Hipertensi. Jakarta:
InaSH, 2007.
23. Sudoyo, dkk. Gagal Jantung dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007.
24. Omar Luthfi. Gagal Jantung. Jakarta: FKUI, 2009.
25. Braunwald, Eugene. Gagal Jantung dalam Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, vol. 3, edisi
13. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2000.
26. Palupi, dr. SEE, Rita Khairani. Gagal Jantung dalam Kumpulan Kuliah Kardiologi
Jakarta: 2007.
27. Ryden, Lars. Prevention of Disease Progression throughout the Cardiovascular Continuum.
Jerman: 2001.
28. Coats, A. Controversies in the management of Heart Failure. UK: Pearson Professional, 1997.
29. Unger, T. The Cardiovascular Continuum: Pathophysiology and Targets for Therapy.
30. Efendi, Dasri L. Korelasi Dispersi QT dengan Hipertrofi Ventrikel Kiri pada Penderita
Hipertensi. Medan, 2003.

Anda mungkin juga menyukai