Anda di halaman 1dari 7

PENGAJUAN JUDUL SKRIPSI

NAMA MAHASISWA : Devi Suci Permatasari

NPM : 195140052

NAMA DOSEN PEMBIMBING : Annisa Agata.,S.Si.,M.Si

1. GAMBARAN FAKTOR RESIKO TERJADINYA HIPERTENSI DI WILAYAH

PUSKESMAS KORPRI,SUKARAME BANDAR LAMPUNG

Hipertensi merupakan masalah kesehatan yang besar dan serius bagi dunia. Di samping

karena prevalensinya yang tinggi dan cenderung meningkat dimasa yang akan datang,

hipertensi juga merupakan penyebab kematian (Kodim, 2001). Menurut World Health

Organization (WHO) (2005), hipertensi merupakan faktor risiko dari tingginya prevalensi

penyakit kardiovaskular di seluruh dunia akibat meningkatnya prevalensi dari faktor-faktor

yang berkotribusi. Secara global, tingginya tekanan darah diperkirakan menjadi penyebab

7,1 juta kematian atau sekitar 13% total kematian. Sekitar 62% penyakit serebrovaskular

dan 49% penyakit jantung iskhemik disebabkan oleh tingginya tekanan darah (>115)

(Tasfaye et al., 2007). Bahkan di dunia, hipertensi menjadi beban finansial yang cukup

besar, baik bagi masyarakat maupun sistem sistem kesehatan dan menghabiskan banyak

sumber daya (Adediran et al., 2009)

Saat ini, secara umum prevalensi hipertensi di dunia cukup tinggi dan semakin dari

tahun ke tahun. Pada tahun 2000, sekitar 26,4% masyarakat dunia menderita hipertensi.

Pada tahun 2003 tingkat prevalensi menjadi 28% (crude) dan 27,3% (age-standarized)

(Amoah AG, 2003).

Menurut catatan WHO (2011) ada satu milyar orang di dunia menderita hipertensi

dan dua per-tiga diantaranya berada di Negara berkembang yang berpenghasilan rendah-

sedang. Prevalensi hipertensi


2

diperkirakan akan terus meningkat dan diprediksi pada tahun 2025 sebanyak 29% orang

dewasa diseluruh dunia menderita hipertensi, sedangkan di Indonesia angkanya mencapai

31,7%. Laporan statistik kesehatan Dunia 2012 menyebutkan bahwa satu dari tiga orang

dewasa di seluruh dunia menderita tekanan darah tinggi. Suatu kondisi yang merupakan

penyebab sekitar setengah dari semua kematian akibat stroke dan serangan jantung. Di

Dunia prevalensi hipertensi tertinggi berada dibeberapa Negara yang berpendapatan rendah

di Afrika. Diperkirakan lebih dari 40% orang dewasa di Negara tersebut terkena hipertensi

(Kemenkes, 2013).

Di Indonesia pada tahun 1995 satu dari sepuluh orang berusia 18 tahun keatas

menderita hipertensi, kemudian kondisi ini meningkat menjadi satu dari tiga orang

menderita hipertensi pada tahun 2007. Prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 31,7%

atau satu dari tiga orang dewasa mengalami hipertensi, dan 76,1% diantaranya tidak

menyadari sudah terkena hipertensi (Kemenkes, 2013).

Prevalensi hipertensi di Indonesia adalah 8,3% (InfoKes Depkes RI, 2007).

Sedangkan data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKR7T) 2001, prevalensi hipertensi di

indonesia pada daerah urban dan rural berkisar 17-21% (Puskom Depkes RI, 2008) dengan

proporsi hipertensi pada pria 27% dan wanita 29%, sedangkan hasil Survei Kesehatan

Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004, prevalensi hipertensi di Indonesia pada orang yang

berusia diatas 35 tahun ≥ 15,6% dengan proporsi pria 12,2% dan wanita 15,5% (konas

InaSH, 2007). Menurut Data Riskesdas 2007 juga


3

disebutkan prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar 30% dengan insiden

komplikasi penyakit kardiovaskular lebih banyak perempuan (52%) dibandingkan

laki-laki (48%) (Depkes RI, 2008).

Kejadian penyakit hipertensi ini, pemerintah Indonesia sudah banyak

melakukan upaya untuk mengatasi kejadian hipertensi diantaranya adalah

mengembangkan dan memperkuat kegiatan deteksi dini hipertensi secara aktif

(skrining), meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan deteksi dini melalui

kegiatan posbindu Penyakit tidak Menular (PTM), meningkatkan akses pasien

terhadap pengobatan hipertensi melalui revitalisasi puskesmas untuk pengendalian

PTM (Kemenkes, 2012)

Upaya menurunkan konsekuensi timbulnya penyakit hipertensi di butuhkan

deteksi awal dan manajemen kesehatan yang efektif. Kegiatan identifikasi faktor

risiko diharapkan mampu mendeteksi kasus hipertensi secara efektif. Identifikasi

faktor risiko dapat dilakukan melalui analisis gambaran berdasarkan karakteristik

tertentu seperti karakteristik individu (Anggraini, dkk., 2008).

Black dan Hawks (2005) menyatakan bahwa ada beberapa faktor risiko yang

mempengaruhi kejadian hipertensi. Faktor risiko ini diklasifikasikan menjadi faktor

yang tidak dapat diubah dan faktor risiko yang dapat diuba. Faktor risiko yang dapat

diubah yaitu riwayat keluarga, umur, jenis kelamin, genetik, dan etnis. Sedangkan

faktor risiko yang dapat diubah yaitu olahraga, obesitas, stress, kebiasaan merokok,

pola

3
4

2. PENGARUH PEMBERIAN JUS MENTIMUN TERHADAP

PENURUNAN TEKANAN DARAH PENDERITA HIPERTENSI

Menurut ketua Indonesia Society of Hypertension (Inash) Dr. Adre Mayze, Sp.

S(K) mengatakan bahwa penyakit hipertensi tdapat terjadi pada semua orang dan

semakin tinggi usia semakin tinggi resiko terkena hipertensi (Anonim, 2009a).

Tingginya resiko lansia terkena hipertensi disebabkan proses penuaan. Proses

penuaan dapat menyebabkan perubahan dalam struktur dan fungsi tubuh. Salah satu

proses penuaan yang menyebabkan meningkatnya resiko hipertensi ialah penuaan

pada sistem kardiovaskuler (Donlon, 2007).

Semakin meningkatnya penderita hipertensi pada lansia maka diperlukan upaya-

upaya untuk menurunkan angka kesakitan akibat hipertensi. Upaya yang dilakukan

pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut antara lain dengan

penyelenggaraan posyandu lansia. Posyandu lansia memiliki kegiatan seperti

pengukuran tekanan darah, pengobatan untuk penderita hipertensi, dan penyuluhan

mengenai hipertensi. Cara ini diharapkan menurunkan angka kesakitan akibat

hipertensi yang terjadi pada lansia (Anonim, 2007b).

Upaya lain yang dilakukan pemerintah untuk menurunkan angka kesakitan akibat

hipertensi ialah menurunkan harga obat generik khususnya obat anti hipertensi. Obat

anti hipertensi generik yang diturunkan ialah captopril dari harga 4.760,00 menjadi

655,20 per satuan. Ini merupakan bentuk nyata pemerintah untuk menurunkan angka

kesakitan akibat hipertensi (Anonim, 2006).

Pengobatan hipertensi ada dua cara yaitu secara farmakologis dan non

farmakologis. Ada berbagai obat farmakologis yang bisa digunakan untuk

menurunkan tekanan darah (Tierney et al., 2002). Obat farmakologis yang dianjurkan

4
5

oleh JNC 7 ialah diuretik, beta blocker, calcium channel blocker atau calcium

antagonist, angiotensin converting enzyme inhibitor dan angiotensin II receptor

blocker (Yogiantoro, 2007).

Pengobatan non farmakologis dapat dengan cara merubah gaya hidup seperti

mengurangi berat badan berlebih, membatasi asupan natrium, meningkatkan aktifitas

aerobik, mempertahankan asupan kalium, kalsium dan magnesium yang adekuat dan

berhenti merokok (Tierney et al., 2002). Hasil penelitian diketahui bahwa asupan

natrium, kalium, kalsium dan magnesium berhubungan dengan kejadian hipertensi

(Sumaerih, 2007). Maka target The Dietary Approaches to Stop Hypertension

(DASH) pasien hipertensi yaitu 2.300 mg natrium, 4.700 mg kalium, 500 mg

magnesium dan 1.250 mg kalsium (Svetkey, 1999).

Untuk memenuhi DASH diet pasien hipertensi maka diperlukan penambahan

asupan nutrisi sehingga kebutuhan DASH diet terpenuhi. Penambahan nutrisi dapat

menggunakan jus sayuran. Salah satu sayuran yang memiliki kandungan kalium yang

tinggi dan natrium yang rendah adalah mentimun, sehingga mentimun sesuai

dikonsumsi oleh pasien hipertensi (Bangun, 2002).

Mengacu permasalahan di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk

menganalisis pengaruh pemberian jus mentimun terhadap penurunan tekanan darah

sistolik dan diastolik penderita hipertensi.

5
6

3. HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN KEPATUHAN

MINUM OBATPADA PASIEN HIPERTENSI \

Hipertensi yang dikenal sebagai silent killer menjadi penyebab kematian

global yang menduduki peringkat ketiga dunia. Hipertensi dapat menyebabkan

komplikasi serius seperti serangan jantung, stroke atau penyakit ginjal kronis (Kurtul

et al., 2020). Hasil penelitian (Mills et al., 2016) menyatakan bahwa pada tahun 2010,

total 1,38 miliar orang (31,1% dari populasi orang dewasa global) menderita

hipertensi.

Hasil Riskesdas 2018 menunjukkan angka prevalensi hipertensi pada

penduduk Indonesia usia ≥ 18 tahun berdasarkan pengukuran secara nasional sebesar

34,11% dengan posisi pertama di tempati oleh Sulawesi Utara dan posisi terendah di

tempati oleh Papua. Sedangkan Provinsi Aceh menempati posisi ke29 untuk penderita

hipertensi dengan dengan persentase sebesar 26,4 % (Kemenkes RI, 2019)

Rendahnya kepatuhan minum obat antihipertensi memiliki hubungan yang

signifikan dengan besarnya peningkatan tekanan darah dan merupakan indicator yang

memperburuk prognosis hipertensi. Menurut data Survey Indikator Kesehatan

Nasional (2016) pasien hipertensi laki-laki yang tidak patuh minum obat sebesar

70,0% sedangkan perempuan sebesar 69,3%. Hasil survey ini menunjukkan bahwa

hanya 30% pasien hipertensi yang patuh minum obat antihipertensi.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pasien patuh minum obat,

termasuk di dalamnya yaitu pengetahuan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari

Paczkowska (2021) bahwa 54,7% memiliki pengetahuan yang baik tentang hipertensi

arteri, 40,0% memiliki pengetahuan rata-rata, dan 5,3% memiliki pengetahuan yang

buruk (Paczkowska et al., 2021). Beberapa alasan lainnya yaitu pasien tidak

memahami instruksi dari petugas kesehatan terkait pengobatan, gejala yang tak

6
7

kunjung membaik walaupun obat telah dikonsumsi membuat pasien tidak percaya

bahwa obat dapat mengendalikan gejalanya (Ekman et al., 2017). Ketidakpatuhan

dapat memperburuk kondisi pasien, menambah beban perawatan dalam jangka waktu

yang lama bahkan kematian (Sevilla-Cazes et al., 2018).

Anda mungkin juga menyukai