Anda di halaman 1dari 37

BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Umur : 52 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Alamat : LINK KRAJAN TIMUR RT7 RW5 DS. PECALUKAN KEC.
PRIGEN
Agama : Islam
Status : Kawin
Pekerjaan : Swasta
Nomor RM : 00-33-50-19
Tanggal MRS : 06- Jul-2017 jam 22.47

B. Anamnesis

Keluhan utama
Mendadak lemas setengah badan

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Bangil dengan lemas setengah badan sebelah kanan secara
mendadak sebelum pasien lemas setengah badan pasien sempat habis pijat urat setelah
pijat dan sampai rumah pasien mengalami lemas setengah badan di sertai berbicara
pelo, pasien juga mengatakan pusing, mual (-), muntah (-)

Riwayat Penyakit Dahulu


Hipertensi (+) tidak terkontrol
DM (-)
Penyakit Jantung (-)

Riwayat Pengobatan
Tidak ada
Riwayat Alergi
Tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak diketahui

Riwayat Psikososial
Seorang petani

C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Tekanan Darah : 180/110 mmHg
Nadi : 98 x/menit
RR : 20 x/menit
Kepala/Leher :a/i/c/d : -/-/-/-
Pembesaran KGB : (-)
Kelenjar Tiroid : dbn
Thoraks : Cor : S1 S2 tunggal reguler, murmur (-)
Pulmo : Vesikuler, Ronkhi (-), Wheezing (-)
Abdomen : Soefl; Meteorismus (-); Nyeri tekan (-)
Bising usus (+)
Pembesaran organ (-)
Ekstremitas : Akral hangat; Oedem (-)

2. Status Neurologis
a. Keadaan umum
Kesan umum : Cukup
Kesadaran
 Kualitatif : Composmentis
 Kuantitatif : GCS  456
Pembicaraan
 Disartria :-
 Afasia
Motorik :-
Sensorik :-
Amnestik :-
Kepala
 Asimetri :-
 Sikap Paksa :-
 Tortikolis :-
Muka
 Mask :-
 Myopatik :-
 Full Moon :-

b. Pemeriksaan khusus
Rangsangan selaput otak
 Kaku kuduk :-
 Kernig :-
 Brudzinski I :-
 Brudzinski II :-
 Brudzinski III :-
 Brudzinski IV :-
 LASEQUE test :-
Saraf otak
 Nervus I : tde
 Nervus II : tde
 Nervus III, IV, VI :

Kanan Kiri
Kedudukan Bola Mata dbn dbn
Gerak Bola Mata dbn dbn
- Ke Lateral dbn dbn
- Ke Medial dbn dbn
- Ke Nasal Inferior dbn dbn
- Ke Nasal Superior dbn dbn
- Ke Lateral Atas dbn dbn
- Ke Lateral Bawah dbn dbn
Eksophtalmus - -
Celah mata (ptosis) - -
Pupil
- Bentuk bulat bulat
- Lebar 2 mm 2 mm
- Perbedaan lebar - -
- Refleks cahaya langsung + +
- Refleks cahaya konsensual + +
- Reaksi akomodasi tde tde

 Nervus V :
Cabang Motorik
Kanan Kiri
Otot Masseter Tde tde
Otot Temporal Tde tde
Otot Pterygoideus Tde tde

Cabang Sensorik
Kanan Kiri
Raba, Nyeri, Suhu
V1 tde tde
V2 tde tde
V3 tde tde
Refleks kornea langsung + +
Refleks kornea konsensual + +

 Nervus VII :
Kanan Kiri
Waktu Diam
- Mengerutkan dahi tde tde
- Tinggi alis tde tde
- Sudut mata tde tde
- Lipatan nasolabial tde tde
Waktu Gerak
- Mengerutkan dahi tde tde
- Menutup mata tde tde
- Mencucu-bersiul tde tde
- Memperlihatkan gigi tde tde
- Pengecapan 2/3 lidah tde tde
- Hyperakusis tde tde
- Sekresi air mata tde tde

 Nervus VIII : tde


 Nervus IX dan N X : dbn
 Nervus XI :
Kanan Kiri
Mengangkat bahu Tde tde
Memalingkan kepala Tde tde

 Nervus XII :
Kanan Kiri
Kedudukan lidah
- Waktu istirahat tde
tde
- Waktu gerak mencong ke
tde
kanan
Kekuatan lidah pada bagian
tde tde
dalam pipi

Ekstremitas superior dan inferior


 Motorik
Atrofi (-)
Tonus otot
Kanan Kiri

Menurun dbn

Menurun dbn
Kekuatan otot
Kanan Kiri
0 5
0 5

 Refleks fisiologis
BPR +2│+2
TPR +2│+2
KPR +2│+2
APR +2│+2

 Refleks patologis
Babinsky -│-
Chaddock -│-
Hoffman -│-
Tromner -│-
Openheim -│-
Gordon -│-
Gonda -│-
Schaffer -│-

D. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium (06 juli 2017)
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI

Darah Lengkap

Leukosit 14,74 3,70-10,1

Neutrofil 13,0

Limfosit 1,0

Monosit 0,5
Eosinofil 0,1

Basofil 0,1

Eritrosit (RBC) 4,210 106 /uL 4,2-6,2

Hemoglobin (HGB) 13,10 g/dL 13,5-18,0

Hematokrit (HCT) 37,60 % 40-54

MCV 89,30 um3 81,1-96,0

MCH 31,20 Pg 27,0-31,2

MCHC 34,30 g/dL 31,8

RDW 11,80 % 11,5-14,5

PLT 251 103/uL 155-366

MPV 6,7 Fl 6,90-10,6

KLIMIK KIMIA
LEMAK
Trigliserida 155 mg/dL <150
Kolesterol 304 mg/dL <200
Kolesterol HDL 40,57 mg/ dL >34
Kolesterol LDL 149,21 mg/ Dl <100

FAAL GINJAL

BUN 45 mg/dL 7,8-20,23

Kreatinin 1,180 mg/dL 0,8-1,3

ELEKTROLIT

ELEKTROLIT SERUM

Natrium (Na) 140,90 mmol/L 135-147

Kalium (K) 4,03 mmol/L 3,5-5


Klorida (Cl) 100,40 mmol/L 95-105

Kalsium Ion 1,281 mmol/L 1,16-1,32

GULA DARAH

Gula Darah Sewaktu 128 mg/dL < 200


E. Diagnosis
SSS = (2,5 x 0) + (2 x 0) + (2 x 0) + (0,1 x 110) - (3 x 0) – 12
= 0 + 0+ 0+ 11 – 12
= -1  CVA infark

Diagnosis Klinis : Hemiplegi


Diagnosis Etiologi : CVA Bleeding
Diagnosis Topis : Hemisfer Sinistra Cerebri

F. Terapi
Infus Assering 14 tpm
Injeksi Citicholine 2 x 500 mg
Injeksi Kalmeco 1 x 500 mcg
Injeksi topazole 1x1
Injeksi santagesic 3x1
Atravastatin 20 mg 0-0-1
Pro CT-scan
ACC MRS RUANGAN

G. Follow Up
 Follow Up (8 juli 2017)
Pasien sudah di ruangan Krisan
S : kaki dan tngan kanan masih lemas , pusing (-), mual muntah (-), pelo
(+), sulit menelan (+), sesak (-)
O :
Status Generalis
Tekanan Darah : 180/100 mmHg
Nadi : 85 x/menit
RR : 23 x/menit
Kepala/Leher :a/i/c/d : -/-/-/-
Pembesaran KGB : (-)
Kelenjar Tiroid : dbn
Thoraks : Cor : S1 S2 tunggal reguler, murmur (-)
Pulmo : Vesikuler, Ronkhi (-), Wheezing (-)
Abdomen : Soefl; Meteorismus (-); Nyeri tekan (-)
Bising usus (+)
Pembesaran organ (-)
Ekstremitas : Akral hangat; Oedem (-)

Status Neurologis
a. Keadaan umum
Kesan umum : Cukup
Kesadaran
 Kualitatif : Composmentis
 Kuantitatif : GCS  456
Pembicaraan
 Disartria :-
 Afasia
Motorik :+
Sensorik :+
Amnestik :-
Kepala
 Asimetri :-
 Sikap Paksa :-
 Tortikolis :-
Muka
 Mask :-
 Myopatik :-
 Full Moon :-
b. Pemeriksaan khusus
Rangsangan selaput otak
 Kaku kuduk :-
 Kernig :-
 Brudzinski I :-
 Brudzinski II :-
 Brudzinski III :-
 Brudzinski IV :-
 LASEQUE test :-
Saraf otak
 Nervus I : sde
 Nervus II : sde
 Nervus III, IV, VI :

Kanan Kiri
Kedudukan Bola Mata dbn dbn
Gerak Bola Mata dbn dbn
- Ke Lateral dbn dbn
- Ke Medial dbn dbn
- Ke Nasal Inferior dbn dbn
- Ke Nasal Superior dbn dbn
- Ke Lateral Atas dbn dbn
- Ke Lateral Bawah dbn dbn
Eksophtalmus - -
Celah mata (ptosis) - -
Pupil
- Bentuk bulat bulat
- Lebar 3 mm 3 mm
- Perbedaan lebar - -
- Refleks cahaya langsung + +
- Refleks cahaya konsensual + +
- Reaksi Akomodasi sde Sde

 Nervus V :
Cabang Motorik
Kanan Kiri
Otot Masseter Sde sde
Otot Temporal Sde sde
Otot Pterygoideus Sde sde

Cabang Sensorik
Kanan Kiri
Raba, Nyeri, Suhu
V1 sde sde
V2 sde sde
V3 sde sde
Refleks kornea langsung + +
Refleks kornea konsensual + +

 Nervus VII :
Kanan Kiri
Waktu Diam
- Mengerutkan dahi Simetris Simetris
- Tinggi alis Simetris Simetris
- Sudut mata Simetris Simetris
- Lipatan nasolabial Simetris Simetris
Waktu Gerak
- Mengerutkan dahi Simetris Simetris
- Menutup mata Simetris Simetris
- Mencucu-bersiul Simetris Simetris
- Memperlihatkan gigi Simetris Simetris
- Pengecapan 2/3 lidah sde sde
- Hyperakusis sde sde
- Sekresi air mata sde sde

 Nervus VIII : sde


 Nervus IX dan N X : sde
 Nervus XI :
Kanan Kiri
Mengangkat bahu Sde sde
Memalingkan kepala Sde sde

 Nervus XII :
Kanan Kiri
Kedudukan lidah
- Waktu istirahat sde sde
- Waktu gerak sde sde
Kekuatan lidah pada bagian
sde sde
dalam pipi

Ekstremitas superior dan inferior


 Motorik
Atrofi (-)
Tonus otot
Kanan Kiri

Menurun Dbn

Menurun Dbn
Kekuatan otot
Kanan Kiri
0 5
1 5

 Refleks fisiologis
BPR +2│+2
TPR +2│+2
KPR +2│+2
APR +2│+2

 Refleks patologis
Babinsky -│-
Chaddock -│-
Hoffman -│-
Tromner -│-
Openheim -│-
Gordon -│-
Gonda -│-
Schaffer -│-
Hasil CT-scan Kepala (25 Januari 2017)
Intracerebral Hemorrhage dengan volume 11,41cc di thalamus kiri sampai
basal ganglia disertai perifocal edema.

A : Diagnosis Klinis : Hemiplegi


Diagnosis Etiologi : CVA Bleeding (Intracerebral Hemmorhage)
Diagnosis Topis : Thalamus Sinistra

P :
Infus Riger 2 fl/hari/aminofluid 500 fl
Injeksi Citicholine 2 x 500 mg
Injeksi Kalmeco 1 x 500 mcg
Injeksi topazol 1x1
Injeksi santagesik 3x1
Injeksi ceftriaxone 2x1 gr
Micordis 80 1x1

 Follow Up ( 10 juli 2017)


S : lemas separuh badan, pelo(+),mual(-), muntah (-), sulit menelan (+)
O : GCS : 4 56
Tensi : 180/100 mmHg
RR : 24 x/menit
Suhu : 37 C
RC : + │ + ; isokor 3 mm/3 mm

Kekuatan otot
Kanan Kiri
2 5
2 5

A : Diagnosis Klinis : Hemiplegi


Diagnosis Etiologi : CVA Bleeding (Intracerebral Hemmorhage)
Diagnosis Topis : Hemiparese Sinistra

P :

Infus Riger 2 fl/hari/aminofluid 500 fl


Injeksi Citicholine 2 x 500 mg
Injeksi Kalmeco 1 x 500 mcg
Injeksi topazol 1x1
Injeksi santagesik 3x1
Injeksi ceftriaxone 2x1 gr
Micordis 80 1x1

 Follow Up ( 11 juli 2017)


S : kaki dan tangan kanan masih lemas, pelo(+),mual(-), muntah (-), sulit
menelan (-), pusing (-)
O : GCS : 4 56
Tensi : 160/100 mmHg
Nadi : 70 x/ mnt
RR : 22 x/menit
Suhu : 36,4 C
RC : + │ + ; isokor 3 mm/3 mm

Kekuatan otot
Kanan Kiri
2 5
2 5

A : Diagnosis Klinis : Hemiplegi


Diagnosis Etiologi : CVA Bleeding (Intracerebral Hemmorhage)
Diagnosis Topis : Hemiparese Sinistra

P :

Infus Riger 2 fl/hari/aminofluid 500 fl


Injeksi Citicholine 2 x 500 mg
Injeksi Kalmeco 1 x 500 mcg
Injeksi topazol 1x1
Injeksi santagesik 3x1
Injeksi ceftriaxone 2x1 gr

 Follow Up ( 12 juli 2017)


S : sudah tidak ada keluhan, pelo (+)
O : GCS : 4 56
Tensi : 140/100 mmHg
RR : 20 x/menit
Suhu : 37 C36,3
RC : + │ + ; isokor 3 mm/3 mm

Kekuatan otot
Kanan Kiri
3 5
2 5

A : Diagnosis Klinis : Hemiplegi


Diagnosis Etiologi : CVA Bleeding (Intracerebral Hemmorhage)
Diagnosis Topis : Hemiparese Sinistra

P :

Infus Riger 2 fl/hari/aminofluid 500 fl


Injeksi Citicholine 2 x 500 mg
Injeksi Kalmeco 1 x 500 mcg
Injeksi topazol 1x1
Injeksi santagesik 3x1
Injeksi ceftriaxone 2x1 gr

 Follow Up ( 13 juli 2017)


S : lemas separuh badan, pelo(+),mual(-), muntah (-), sulit menelan (+)
O : GCS : 4 56
Tensi : 180/100 mmHg
RR : 24 x/menit
Suhu : 37 C
RC : + │ + ; isokor 3 mm/3 mm

Kekuatan otot
Kanan Kiri
3 5
3 5

A : Diagnosis Klinis : Hemiplegi


Diagnosis Etiologi : CVA Bleeding (Intracerebral Hemmorhage)
Diagnosis Topis : Hemiparese Sinistra

P : KRS
Tx buat pulang
Citicolin 2 x 500 mg
Mecobalamin 1 x 500 mg
Lanzoperazole 1 x 30 mg
Micardis
Adalat oros
BAB II
PENDAHULUAN

Stroke merupakan salah satu permasalahan dunia yang menjadi penyebab kematian
ketiga di dunia, setelah penyakit jantung dan kanker. Kejadian stroke di Amerika Serikat
diperkirakan setiap tahunnya masih terdapat sekitar 530.000 pasien stroke, dimana setiap 40
detik ditemukan penderita stroke baru. Secara luas stroke diklasifikasikan menjadi stroke
iskemik yang dapat ditemukan dalam 80-85% kasus stroke, serta stroke hemoragik yang dapat
ditemukan dalam 15-20% sisa stroke. Penentuan diagnosis stroke iskemik ataupun stroke
hemoragik dapat dilakukan dengan pemeriksaan Head CT-Scan yang merupakan pemeriksaan
baku emas untuk stroke (Aini, Pujarini, dan Nirlawati, 2016).
Stroke merupakan gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan aliran darah
dalam otak yang dapat timbul secara mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat
(dalam beberapa jam) dengan gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah yang terganggu
sebagai hasil dari infark cerebri (stroke iskemik), perdarahan intraserebral atau perdarahan
subarachnoid (Mahmudah, 2014). Gangguan aliran darah ke otak tersebut menyebabkan aliran
oksigen ke otak juga ikut terganggu, sehingga terjadi kerusakan pada area otak yang
mengontrol fungsi-fungsi seperti berjalan, berpikir, berbicara, dan bernapas (Aini, Pujarini, dan
Nirlawati, 2016).
Stroke hemoragik terjadi bila pembuluh darah di otak pecah atau mengalami kebocoran,
sehingga terjadi perdarahan ke dalam otak. Bagian otak yang dipengaruhi oleh pendarahan
dapat menjadi rusak, dan darah dapat terakumulasi sehingga memberikan tekanan pada otak.
Jumlah perdarahan menentukan keparahan stroke. Perdarahan intraserebral menyebabkan 10-
15% kasus serangan stroke pertama kalinya, dengan angka kematian selama 30 hari dari 35%
menjadi 52% dimana setengah dari angka kematian tersebut terjadi dalam 2 hari pertama.
Dalam suatu penelitian pada 1.041 kasus ICH, didapatkan 50% pada lokasi yang dalam, 35%
lobar, 10% cerebelar, dan 6% pada otak (Mahmudah, 2014).
Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker. Sebanyak
28,5% penderita meninggal dunia dan sisanya menderita kelumpuhan sebagian atau total.
Hanya 15% saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke dan kecacatan (Khairunnisa,
2014). Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan keluarnya darah ke jaringan parenkim
otak, ruang cairan serebrospinalis di sekitar otak atau kombinasi keduanya. Perdarahan
tersebut menyebabkan gangguan serabut saraf otak melalui penekanan struktur otak dan juga
oleh hematom yang menyebabkan iskemia pada jaringan sekitarnya. Peningkatan tekanan
intrakranial pada gilirannya akan menimbulkan herniasi jaringan otak dan menekan batang
otak. Stroke hemoragik dibagi menjadi perdarahan intraserebral dan perdarahan
subarachnoid. Pada perdarahan intraserebral, perdarahan terjadi pada parenkim otak itu
sendiri. Penyebab perdarahan intraserebral, antara lain hipertensi, aneurisma, malformasi
arteroivenous, neoplasma, gangguan koagulasi, antikoagulan, vaskulitis, trauma, dan
idiopatik (Mahmudah, 2014).
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Stroke hemoragik merupakan penyakit gangguan fungsional otak akut baik fokal
maupun global akibat terhambatnya aliran darah ke otak yang disebabkan oleh perdarahan
pada arteri serebralis. Darah yang keluar dari pembuluh darah dapat masuk ke dalam
jaringan otak, sehingga terjadi hematom. World Health Organization (WHO) membagi
stroke hemoragik berdasar penyebabnya menjadi intracerebral hemorrhagic (ICH) dan
subarachnoid hemorrhagic (SAH).
ICH biasanya disebabkan suatu aneurisma yang pecah ataupun karena suatu
penyakit yang menyebabkan dinding arteri menipis dan rapuh. SAH diakibatkan
masuknya darah ke ruang subarakhnoid baik dari tempat lain berupa SAH sekunder atau
sumber perdarahan berasal dari rongga subarakhnoid itu sendiri seperti perdarahan
subarakhnoid primer (Humam dan Lisiswanti, 2015).

B. Epidemiologi
Kasus stroke secara keseluruhan di Indonesia, stroke iskemik memiliki angka
kejadian yang lebih tinggi yaitu sebesar 52,9%. Sedangkan untuk kasus stroke yang
disebabkan oleh ICH memiliki angka kejadian sebesar 38,5% (Dinata dkk., 2013).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) stroke merupakan
penyebab kematian utama di hampir seluruh Rumah Sakit di Indonesia, sekitar 15,4%.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes RI tahun 2013 menunjukkan telah
terjadi peningkatan prevalensi stroke di Indonesia dari 8,3 per mil pada tahun 2007
menjadi 12,1 per mil pada tahun 2013. Prevalensi penyakit Stroke tertinggi di Sulawesi
Utara (10,8 per mil), Yogyakarta (10,3 per mil), Bangka Belitung (9,7 per mil) dan DKI
Jakarta (9,7 per mil) (Depkes RI, 2014).
ICH menyebabkan 10-15% kasus serangan stroke pertama kalinya, dengan angka
kematian selama 30 hari dari 35% menjadi 52% dimana setengah dari angka kematian
tersebut terjadi dalam 2 hari pertama. Dalam suatu penelitian pada 1.041 kasus ICH,
didapatkan 50% pada lokasi yang dalam, 35% lobar, 10% cerebelar, dan 6% pada otak
(Mahmudah, 2014).
C. Etiologi
Stroke hemoragik terjadi sesuai dengan penyebab perdarahan otak dan lokasi
perdarahannya. ICH biasanya disebabkan suatu aneurisma yang pecah ataupun karena
suatu penyakit yang menyebabkan dinding arteri menipis dan rapuh. ICH paling sering
terjadi pada pasien stroke dengan hipertensi dan aterosklerosis. ICH juga bisa disebabkan
oleh tumor otak dan penggunaan obat-obatan seperti obat oral antikoagulan dan
amphetamine. Perdarahan biasanya terjadi pada daerah seperti lobus otak, basal ganglia,
thalamus, pons, dan serebellum. Perdarahan dapat juga terjadi pada intraventrikuler
(Humam dan Lisiswanti, 2015). Menurut Mahmudah (2014) penyebab ICH antara lain
hipertensi, aneurisma, malformasi arteroivenous, neoplasma, gangguan koagulasi,
antikoagulan, vaskulitis, trauma, dan idiopatik.
Perdarahan di putamen, thalamus, dan pons biasanya akibat ruptur arteri
lentikulostriata, arteri thalamoperforating dan kelompok basilar-paramedian. Sedangkan
perdarahan di serebelum biasanya terdapat di daerah nukleus dentatus yang mendapat
pendarahan dari cabang arteri serebelaris superior dan arteri serecelaris inferior anterior
(Godoy dkk., 2015).

Gambar 1. Predileksi sumber perdarahan ICH


D. Patofisiologi
Menurut Godoy dkk. (2015) hipertensi arteri merupakan faktor risiko umum untuk
ICH. Hampir 80% dari pasien dengan ICH memperlihatkan adanya hipertensi arteri saat
masuk dan sebagian besar memiliki riwayat hipertensi. Hipertensi kronis membebankan
stres mekanik yang konstan untuk arteriol serebral (60-100 berdiameter lp), yang memicu
terjadinya hiperplasia sel otot polos. Seiring berjalannya waktu, sel-sel otot mati,
digantikan oleh kolagen, melemahnya dinding arteri, sehingga rentan terhadap stasis,
oklusi, dan pecah. Hal ini berisiko tinggi untuk terjadinya perubahan pada bifurcations
atau cabang menembus arteri, seperti lenticulostriate, thalamus dan perforasi arteri batang
otak, sehingga menjelaskan lokasi hematoma yang paling umum.
Luas perdarahan terutama ditentukan oleh ukuran celah di dinding arteriol, tekanan
darah sistemik, dan mekanisme hemostatik. Kadang-kadang, arteriol diserang oleh
kolagen yang mengembangkan dilatasi mikroskopis, yang dikenal sebagai "Charcot-
Bouchard aneurisma". Pada individu non-hipertensi, terutama orang tua, angiopati
amiloid adalah salah satu penyebab perdarahan arteri. Ini adalah hasil dari endapan protein
amyloid di tunika media dan kapiler adventitia, arteriol, korteks dan arteri leptomeningeal
menyebabkan kerapuhan dinding pembuluh darah. Hal ini sewaktu-waktu bisa pecah
secara spontan atau perubahan tekanan darah yang mendadak dan tiba-tiba dapat
menyebabkan pecahnya pembuluh darah. Ini merupakan khas dari entitas yaitu
kecenderungan untuk daerah lobar (terutama di daerah posterior otak), multifokalitas, dan
kekambuhan (Godoy dkk., 2015).
Pada satu kasus, ICH merupakan suatu proses yang dinamis dengan tiga tahap: 1)
erupsi darah awal, 2) perluasan hematoma, dan 3) pengembangan edema perihematomal.
Perdarahan awal menyebabkan sejumlah kerusakan parenkim sebagai hematoma yang
besar sepanjang jaringan white matter otak, mengelilingi jaringan saraf yang utuh.
Perluasan hematoma karena perdarahan yang terus-menerus biasanya didefinisikan
sebagai perdarahan dengan volume > 12,5 ml atau > 33% volume hematoma. Perluasan
hematoma biasanya terjadi selama beberapa jam setelah perdarahan awal dan
berhubungan dengan kerusakan neurologis: di 26%, 36%, dan 47% dari pasien dalam 1,
3, dan 24 jam setelah tekanan ritmik masing-masing. Sebuah penelitian terbaru
menunjukkan bahwa 73% dari pasien yang dinilai dalam waktu 3 jam dari tekanan ritmik
memiliki beberapa tingkat perluasan hematoma, dan 35% memiliki perluasan klinis yang
menonjol (Koivunen, 2015).
Perluasan hematoma sangat tidak mungkin terjadi setelah 24 jam dari tekanan
ritmik, dan bahkan 6 jam, jika volume hematoma adalah < 25 ml. Mekanisme terjadinya
pertumbuhan hematoma dini masih belum jelas, tetapi kemungkinan besar akibat kenaikan
mendadak dari tekanan intrakranial (Intracranial Pressure = ICP), yang menyebabkan
terjadinya gangguan dan distorsi jaringan lokal, pembengkakan pembuluh darah sekunder
menyebabkan obstruksi aliran keluar vena, gangguan blood-brain-barrier, dan
koagulopati sekunder lokal untuk melepaskan jaringan tromboplastin. Perluasan
hematoma adalah penyebab umum dari kerusakan dini neurologis, peningkatan angka
kematian, dan hasil fungsional yang buruk. Tingkat perluasan dan ukuran hematoma
berkorelasi dengan kerusakan neurologis (Koivunen, 2015).
Terapi antiplatelet serta penggunaan antikoagulan oral secara independen dapat
memperluas terjadinya hematoma. Peningkatan volume hematoma dan Intraventrikel
Hemorrhage (IVH) berhubungan dengan terjadinya kerusakan neurologis. Diabetes,
tekanan darah sistolik tinggi pada saat kedatangan di rumah sakit, dan peningkatan C-
reaktive protein berhubungan dengan perluasan hematoma. Angka kematian meningkat
secara eksponensial ketika volume hematoma melebihi 30 ml; dalam waktu 30-hari angka
kematian pasien dengan hematoma > 60 ml dan Glasgow Coma Scale (GCS) < 9 adalah
> 90%, sedangkan hanya 19% dari mereka dengan hematoma < 30 ml dan GCS ≥ 9.
Hematoma dapat diperluas ke sistem ventrikel yang mengandung Cerebrospinal Fluid
(CSF) hingga 40% dari kasus; kondisi ini disebut sebagai Intraventrikel Hemorrhage
(IVH), dan berhubungan dengan obstruksi hidrosefalus dan prognosis buruk (Koivunen,
2015).
Edema perihematomal berkembang selama berhari-hari dan merupakan penyebab
utama dari kerusakan neurologis setelah hari pertama dari tekanan ritmik, dengan
mengganggu fungsi pada daerah otak di dekatnya, menyebabkan iskemia relatif dengan
mengompresi pembuluh darah, dan dengan meningkatkan tekanan intrakranial. Ini berasal
dari plasma, disebabkan terutama oleh respon inflamasi sekunder untuk rilis trombin lokal
dan produk akhir koagulasi lainnya dari hematoma, dengan mediator sitotoksik, oleh
gangguan blood-brain-barrier, natrium pump, dan neuron. Berhubungan dengan lisisnya
sel darah merah, puncak edema sekitar 3 sampai 7 hari setelah onset, namun telah diamati
dapat bertahan hingga dua minggu dalam model eksperimental. Derajat edema berkorelasi
dengan volume hematoma. Hemoglobin dan produk degradasinya terlibat secara langsung
dan tidak langsung sebagai neurotoksik. Bukti retrospektif menunjukkan bahwa dalam
jumlah yang lebih besar pada edema serebral relatif terhadap perdarahan awal berkorelasi
dengan hasil klinis yang lebih buruk, tapi tidak secara independen dari volume hematoma
(Koivunen, 2015).
Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa penumbra iskemik berpotensi
diselamatkan pada fase akut setelah ICH, ini berarti bahwa hipoperfusi perihematomal
merupakan konsekuensi dari penurunan metabolik daripada iskemia jaringan. Hal ini
berarti bahwa kerusakan jaringan perihemorrhagic terutama terkait dengan respon
inflamasi dan sitotoksik jaringan dan pembuluh darah dari situs perdarahan, dan dampak
iskemia perihematomal mungkin kecil (Koivunen, 2015).
E. Faktor Risiko

Tabel 1. Faktor Risiko Stroke


Bisa dikendalikan Potensial bisa dikendalikan Tidak bisa dikendalikan

Hipertensi Diabetes mellitus Umur


Penyakit jantung Hiperthomosistemia Jenis kelamin
Fibriilasi atrium Hipertrofi ventrikel kiri Herediter
Endokarditis Ras dan etnis
Stenosis mitralis Geografi
Infark jantung
Merokok
Anemia sel sabit
Transient ischemic attack
(TIA)
Stenosis karotis asimtomatik
(Setyopranoto, 2011)

F. Gejala Klinis
Stroke dapat mengakibatkan gangguan pada beberapa bagian otak sehingga
membuat seseorang mengalami disabilitas. Pengaruh stroke terhadap seseorang
tergantung pada:
1) Bagian otak yang terkena stroke.
2) Seberapa berat stroke yang terjadi.
3) Usia, kondisi kesehatan, dan kepribadian penderitanya.
Beberapa gambaran klinis akibat stroke yang sering dijumpai adalah:
1) Kelumpuhan satu sisi tubuh, yang merupakan salah satu akibat stroke yang paling
sering terjadi. Kelumpuhan biasanya terjadi di sisi yang berlawanan dari letak lesi di
otak, karena adanya pengaturan representasi silang oleh otak. Misalnya, penderita
tidak bisa mengangkat tangan dan kaki.
2) Gangguan dalam koordinasi gerakan tubuh.
3) Gangguan penglihatan yang sering berupa defisit lapangan pandang yang dapat
mengenai satu atau kedua mata.
4) Afasia, ialah kesulitan berbicara ataupun memahami pembicaraan. Stroke dapat
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berbicara atau berbahasa, membaca, dan
menulis atau untuk memahami pembicaraan orang lain. Gangguan lain dapat berupa
disatria, yaitu gangguan artikulasi kata-kata saat berbicara.
5) Gangguan persepsi dimana penderita stroke tidak dapat mengenali obyek-obyek yang
ada di sekitarnya atau tidak mampu menggunakan benda tersebut.
6) Gangguan sensibilitas pada daerah yang dipersarafi oleh bagian otak yang mengalami
stroke. Penderita tidak merasakan adanya sensasi pada kulit tubuhnya misalnya ketika
penderita berjalan kemudian sandal terlepas tanpa dirasakan.
7) Kehilangan kesadaran sepintas (syncope), penurunan kesadaran secara lengkap
(stupor), koma, pusing, dan gangguan berupa disorientasi.
8) Penderita stroke sering mengalami kelelahan dan akan membutuhkan tenaga ekstra
untuk melakukan hal-hal yang biasa dikerjakan saat penderita masih sehat. Kelelahan
juga dapat terjadi akibat penderita kurang beraktivitas atau terlalu lama beristirahat,
kurang asupan nutrisi atau mengalami depresi.
9) Depresi dapat terjadi pada penderita stroke, tetapi hal ini masih menjadi perdebatan
apakah depresi yang terjadi merupakan akibat langsung dari kerusakan otak pada
stroke atau merupakan reaksi psikologis terhadap dampak stroke yang dialaminya.
Dalam kondisi seperti ini sangat dibutuhkan dukungan dari keluarga.
10) Stroke dapat membuat penderitanya mengalami ketidakstabilan emosi sehingga sering
menunjukkan respon emosi yang berlebihan atau tidak sesuai.
11) Gangguan memori biasanya terjadi pada penderita stroke yakni kesulitan dalam
mempelajari dan mengingat hal baru atau tertentu.
12) Perubahan kepribadian dimana kerusakan otak dapat menimbulkan gangguan kontrol
emosi positif maupun negatif yang mempengaruhi perilaku dan cara penderita
berinteraksi dengan lingkungannya.
13) Nyeri kepala yang hebat, nyeri di leher dan punggng, mual, muntah serta photophobia.
Gambaran klinis ini sering ditemukan pada stroke hemoragik baik intraserebral
maupun subaraknoid (Hidayah, 2015).
Tabel 2. Gambaran Neurologis dan Lokasi Perdarahan
Lokasi Kelemahan Kehilangan Hemianopi Pupil Pergerakan Lain-lain
motorik sensorik a mata
Kauda Hemiparese - - Normal Normal Bingung
Atau
Transient
conjugate
gaze palsy
kontralateral
Putamen
Kecil Hemiparese + - Normal - -
++
Besar Hemiparese ++ ++ +/- Conjugate L: afasia
++++ Ipsilatera palsy R: left-sided
l fixed, kontralateral negleted;
dilatasi apraksia
konstruksiona
l

Thalamu Hemiparese +++ +/- Kecil, Eyes down Bingung


Atau
s + non- L: afasia
down and in;
reaktif vertical gaze
palsy;
conjugate
gaze palsy
ipsilateral
Atau
contralateral
; pseudo VI
nerve palsy
Lobus
Frontal Hemiparesis - - Normal - Abular
+/- L: afasia
Parietal +/- +++ ++ - -
R: Left-sided
neglect,
constructional
apraxia
Temporal - + Normal -
- L: afasia,
agitasi
Occipital +/- ++++ Normal -
-

Pontine - atau
transient -
(medial Kontralatera Reaksi Bilateral Hiperventilasi
basil) horizontal
Quadripares l kecil
conjugate
e hemisensori - gaze palsy,
bobbing
++++ Limb ataxia
(lateral- 1-1/2
+++ Ipsilateral syndrome
tegmental)
- atau reaksi
transient kecil
-
Cerebela - - - Reaksi Ipsilateral Gait ataxia
sixth nerve
r kecil
palsy of
ipsilateral
conjugate
gaze palsy
(Caplan, 2009)

G. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
1) Anamnesis
 Gejala yang mendadak pada saat awal, lamanya awitan, dan aktivitas saat
serangan.
 Deskripsi gejala yang muncul beserta kelanjutannya: progresif memberat,
perbaikan, atau menetap.
 Gejala penyerta: penurunan kesadaran, nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar,
kejang, gangguan penglihatan, atau gangguan fungsi kognitif.
 Adanya faktor risiko stroke.
2) Pemeriksaan Fisik
 Tanda vital.
 Pemeriksaan kepala dan leher (mencari adanya cedera kepala akibat jatuh, bruit
karotis, peningkatan vena jugularis, dan lain-lain).
 Pemeriksaan fisik umum.
 Pemeriksaan neurologis, meliputi:
- Pemeriksaan kesadaran.
- Pemeriksaan nervus cranialis.
- Pemeriksaan kaku kuduk (biasanya positif pada perdarahan subarachnoid).
- Pemeriksaan motorik, refleks, dan sensorik.
- Pemeriksaan fungsi kognitif sederhana berupa ada tidaknya afasia atau
dengan pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE) saat di
ruangan (Ariefputera dkk., 2014).
3) Siriraj Stroke Score (SSS)
SSS = (2,5 x conciousness) + (2 x vomiting) + (2 x headache) + (0,1 x diastolic
blood pressure) - (3 x atheroma) - 12
Skoring:
 Conciousness (kesadaran)
Sadar =0
Stupor (mengantuk) =1
Subkoma/koma =2
 Vomiting (muntah)
Tidak =0
Ya =1
 Headache (sakit kepala)
Tidak =0
Ya =1
 Diastolic blood pressure (tekanan darah diastolik)
 Atheroma (salah satu/lebih dari diabetes mellitus, angina, claudicatio intermitten)
Tidak ada =0
Ada =1
Nilai skor Siriraj lebih dari 1 (satu) mengindikasikan perdarahan intraserebral
supratentorial, sedangkan nilai di bawah -1 (minus satu) mengindikasikan infark
serebri. Nilai antara 1 dan -1 menunjukkan hasil belum jelas, sehingga membutuhkan
CT-scan kepala (Widiastuti dan Nuartha, 2015).
4) Pemeriksaan Penunjang
 Electrocardiography (ECG).
 Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, hemostasis, gula darah,
urinalisis, analisis gas darah, dan elektrolit).
 Foto thoraks: untuk melihat adanya gambaran kardiomegali sebagai penanda
adanya hipertensi untuk faktor risiko stroke.
 CT-scan atau MRI: gambaran hipodens/hipointens didapatkan pada stroke
iskemik dan hiperdens/hiperintens pada stroke hemoragik.
 Transcranial doppler (TCD) dan doppler karotis, antara lain untuk melihat
adanya penyumbatan dan patensi dinding pembuluh darah sebagai risiko stroke.
 Analisis cairan cerebrospinal jika diperlukan (Ariefputera dkk., 2014).

H. Differential Diagnosis

Tabel 3. Differential Diagnosis ICH


ICH SAH STROKE INFARK
Intracerebral Hemorrhage Subarachnoid Hemorrhage
Etiologi: pecahnya Etiologi: pecahnya Etiologi: penyumbatan
pembuluh darah. pembuluh darah, biasanya pembuluh darah.
pada percabangan arteri-
arteri besar.
Gejala klinis: Gejala klinis: Gejala klinis:
Onset akut-mendadak Onset akut-mendadak Onset subakut
Saat aktivitas Saat aktivitas Saat istirahat
Nyeri kepala +++ Nyeri kepala ++++ Nyeri kepala +
Muntah + Muntah ++ Muntah +/-
Kesadaran menurun + Kesadaran menurun + Kesadaran menurun –
Riw. Hipertensi + Riw. Hipertensi - Riw. Hipertensi

Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik:


Kaku kuduk +/- Kaku kuduk + Kaku kuduk -

CT-scan: gambaran CT-scan: gambaran CT-scan: gambaran


hiperdens hiperdens daerah hipodens
subarachnoid
I. Penatalaksanaan
1) Tatalaksana Umum
a. Stabilisasi jalan napas dan pernapasan. Oksigen diberikan apabila saturasi < 95%.
Intubasi endotrakeal dilakukan pada pasien yang mengalami hipoksia, syok, dan
berisiko tinggi mengalami aspirasi.
b. Stabilisasi hemodinamik dengan cara:
- Cairan kristaloid dan koloid intravena. Hindari cairan hipotonik.
- Optimalisasi tekanan darah. Target tekanan darah sistol berkisar 140 mmHg.
c. Pemeriksaan awal fisik umum: kesadaran, TTV, pemeriksaan neurologi.
d. Pengendalian peningkatan tekanan intrakranial (TIK), meliputi:
- Elevasi kepala 20-30o .
- Hindari penekanan vena jugularis.
- Hindari pemberian cairan glukosa, cairan hipotonik, dan hipertermia.
- Jaga normovolemia
- Osmoterapi dengan indikasi:
o Manitol 0,25-0,5 g/kgBB diberikan selama > 20 menit, diulang setiap
4-6 jam dengan target < 310 mOsm/L.
o Furosemid dengan dosis inisial 1 mg/kgBB intravena.
e. Pengendalian kejang. Bila ada kejang berikan diazepam 5-20 mg bolus lambat
intravena diikuti fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus dengan kecepatan maksimum 50
mg/menit. Pasien perlu perawatan ICU jika ada kejang.
f. Pengendalian suhu tubuh (Ariefputera dkk., 2014).
2) Tatalaksana Khusus
a. Diagnosis dan penilaian gawat darurat
- CT-scan dan MRI untuk membedakan stroke iskemik dengan perdarahan.
- Apabila dicurigai terdapat lesi struktural seperti malformasi vaskular dan
tumor dapat dilakukan pemeriksaan angiografi CT, venografi CT, CT dengan
kontras, MRA, dan MRV.
b. Tatalaksana medis
- Penggantian faktor koagulasi dan trombosit jika pasien mengalami defisiensi.
Dapat diberikan: Vit. K 10 mg intravena pada pasien dengan INR meningkat;
Fresh Frozen Plasma 2-6 unit.
- Pencegahan tromboemboli vena dengan stoking elastis.
- Heparin subkutan dapat diberikan apabila perdarahan telah berhenti sebagai
pencegahan tromboemboli vena.
- Kontrol tekanan darah dan gula darah.
- Pemberian antiepilepsi apabila terdapat kejang.
- Operasi dengan indikasi: perdarahan serebelum dengan perburukan
neurologis, adanya kompresi batang otak, hidrosefalus akibat obstruksi
ventrikel (perdarahan di lobus > 30 ml dan terdapat 1 cm dari permukaan
dapat dilakukan kraniotomi standar; drainase ventrikuler pada hidrosefalus
dipertimbangkan pada pasien dengan penurunan kesadaran) (Ariefputera
dkk., 2014).
- Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator. Tujuan
pemberian neuroprotektor adalah untuk meningkatkan kemampuan kognitif.
Contohnya: citicholine, codergocrin mesilate, piracetam (Setyopranoto,
2011).
3) Tatalaksana Tekanan Darah (TD)
Apabila tekanan darah sistoloik (TDS) > 200 mmHg atau Mean Arterial Pressure
(MAP) > 150 mmHg, TD diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi
intravena secara kontinu dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.
a. Penatalaksanaan hipertensi
- Apabila TDS > 180 mmHg atau Map > 130 mmHg disertai dengan gejala
dan tanda peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK), dilakukan pemantauan
tekanan darah. Tekanan darah diturunkan dengan obat antihipertensi
intravena secara kontinu atau intermitten dengan pemantauan tekanan perfusi
serebral > 60 mmHg.
- Apabila TDS > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg tanpa disertai gejala dan
tanda peningkatan TIK, tekanan darah diturunkan secara hati-hati dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu dan intermitten dengan
pemantauan setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah
160/90 mmHg.
- Pada ICH dengan TDS 150-220 mmHg, penurunan tekanan darah dengan
cepat hingga TDS 140 mmHg cukup aman. Target MAP 100 mmHg setelah
penatalaksanaan kraniotomi.
- Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah.
- Obat antihipertensi parenteral yang digunakan adalah golongan beta-bloker
(Labetolol dan Esmolol), Calcium canal bloker (Nikardipin dan Diltiazem)
intravena.
- Hidralazin dan Nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena
mengakibatkan peningkatan TIK, meskipun bukan kontraindikasi yang
mutlak.
- Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan lebih
rendah dari target di atas pada kondisi tertentu seperti mengancam organ lain,
misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut,
dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15-25% pada
jam pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama.
b. Penatalaksanaan hipotensi
- Hipotensi arterial pada stroke akutberhubungan dengan buruknya keluaran
neurologis, terutama bila TDS < 100 mmHg atau TDS < 70 mmHg. Oleh
karena itu, harus dicari penyebabnya terutama diseksi aorta, hipovolemia,
perdarahan, dan penurunan curah jantung karena iskemia miokardium atau
aritmia.
- Penggunaan obat vasopressor dapat diberikan dalam bnetuk infus dan
disesuaikan dengan efek samping yang akan ditimbulkan seperti takikardia.
Obat-obat vasopressor yang dapat digunakan antara lain: fenilefrin, dopamin,
dan norepinefrin. Diawali dengan dosis kecil dan dipertahankan pada TDS
140 mmHg pada kondisi akut (Ariefputera dkk., 2014).
4) Tatalaksana Gula Darah
Pada kasus stroke, pengaturan gula darah menjadi penting karena hiperglikemia
berhubungan dengan luasnya volume infark dan gangguan kortikal serta memperburuk
keluaran pasien. Secara umum, hindari kadar gula darah > 180 mg/dL.
- Kadar gula > 180 mg/dL diturunkan dengan infus NaCl 0,9%.
- Hindari penggunaan larutan glukosa dalam 24 jam pertama setelah stroke.
- Hipoglikemia (< 50 mg/dL) mungkin akan memperlihatkan gejala mirip dengan
stroke infark dan dapat diatasi dengan pemberian bolus dextrosea atau infus
glukosa 10-20% sampai kadar gula darah 80-110 mg/dL.
- Insulin digunakan pada pasien stroke akut dengan DM tipe I dan II, tetapi tidak
dapat digunakan pada pasien stroke lakunar.
- Kontrol gula darah selama fase akut dapat dilakukan dengan sliding scale insulin
subkutan (Ariefputera dkk., 2014).

Tabel 4. Kadar Gula Darah dan Dosis Insulin Subkutan


Gula Darah (mg/dL) Dosis Insulin Subkutan (unit)

150-200 2
201-250 4
251-300 6
301-350 8
≥ 351 10

(Ariefputera, 2014)

J. Prognosis
Tiga prediktor utama yang menentukan prognosis pada kasus ICH adalah ukuran
perdarahan, lokasi dari perdarahan dan status kesadaran dari penderita. Ekspansi
perdarahan juga mengindikasikan prognosis yang buruk dengan hematoma ukuran yang
luas (Caplan, 2009).
BAB IV

PEMBAHASAN

Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari 24 jam, berasal
dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak
sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena trauma maupun infeksi

Tn. S umur 52 tahun datang ke IGD pada tanggal 6 juli 2017 jam pasien datang ke IGD
RSUD Bangil dengan lemas tangan kanan dan kaki kanan secara mendadak waktu pasien mau
turun dari motor sebelum pasien lemas tangan dan kaki kanan pasien sempat habis pijat urat,
pasien di sertai berbicara pelo, pasien juga mengatakan pusing, mual (-), muntah (-), kejang (-),
trauma (-)

Pasien tidak pernah mengalami kejadian seperti ini kemudian hasil pemeriksaan lab
menunjukan leukositosis, hiperkolesterolemia, serum elektrolit menunjukkan keadaan
hyponatremi .

Pasien di berikan Infus Asering 14 tpm, Injeksi Antrain 3x1, Injeksi Ondansetron 2 x 1,
Injeksi Omeprazol 1 x 40 mg tujuannya untuk melindungi mukosa lambungnya. Kemudian
diberikan Injeksi Citicholin 2 x 250 mg dimana obat ini sebagai neuroproteksi agar dapat
mencegah kerusakan otak agar tidak berkembang lebih berat akibat adanya area iskemik.

Anda mungkin juga menyukai