2. Yang berhak menulis resep narkotika adalah dokter yang memiliki nomor SIP (Surat Izin
Praktik) atau SIPK (Surat Izin Praktik Kolektif) di RS
3. Yang berhak menulis obat anestesi untuk sedasi adalah dokter yang memiliki nomor SIP
(Surat Izin Praktik) atau SIPK (Surat Izin Praktik Kolektif) di RS dan memiliki kewenangan
melalui ketetapan dari direktur utama RS
4. Obat-obat yang sedang digunakan pasien sebelum masuk rumah sakit harus dicatat pada
rekam medis dan diketahui oleh petugas farmasi, dan dapat diakses oleh petugas kesehatan
lain yang terkait.
7. Terapi obat dituliskan dalam resep dan rekam medik hanya ketika obat pertama kali
diresepkan, rejimen berubah, atau obat dihentikan. Untuk terapi obat lanjutan pada rekam
medik dituliskan “terapi lanjutkan” dan pada catatan pemberian obat tetap dicantumkan nama
obat dan rejimennya.
8. Resep dibuat secara manual pada blanko lembar resep berkop RS yang telah dibubuhi
stempel Unit Pelayanan tempat pasien dirawat/berobat.
9. Tulisan harus jelas dan dapat dibaca, menggunakan istilah dan singkatan yang lazim
sehingga tidak disalahartikan.
10. Dokter harus mengenali obat-obat yang masuk dalam daftar Look Alike Sound Alike (LASA)
yang diterbitkan oleh Unit Farmasi, untuk menghindari kesalahan pembacaan oleh tenaga
kesehatan lain.
12. Pasien dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) harus diresepkan obat sesuai Formularium
Nasional (Fornas). Jika dibutuhkan obat non Fornas, maka harus mendapatkan persetujuan
Tim Pengendali di Unit Pelayanan.
13. Alat kesehatan yang diresepkan harus sesuai dengan yang tercantum dalam Daftar Alat
Kesehatan RS .
14. Jenis-jenis resep yang dapat dilayani : resep reguler, resep cito, resep pengganti obat
emergensi.