Anda di halaman 1dari 61

BAB I

PENDAHULUAN
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien
gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam
penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus
dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien,
perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi.
Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi
dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.1,2,3

Di negara maju, pasien sudah terbiasa mendapatkan analgetika untuk


mengurangi rasa sakit pada saat persalinan, yaitu dengan penggunaan anestesia lokal
dan umum. Di Indonesia, rasa sakit waktu persalinan masih dapat ditolerir ibu sampai
saat persalinan bayi berlangsung, tetapi (pada umumnya) parturien tidak dapat
menahan rasa sakit pada waktu dilakukan penjahitan terhadap luka episiotomi, dan
parturien minta dipati-rasa. Di samping itu, anestesia lokal atau umum memang
diperlukan oleh operator, sehingga ia dapat melakukan tugasnya dengan baik, tenang
dan aman.1
Ahli obstetri dan ginekologi seringnya semata-mata bertanggung jawab
terhadap anelgesia/sedasi dan blok regional sepanjang prosedur rawat jalan dan
berbasis jasa. Petunjuk The American Society of Anesthesiologists untuk ketetapan
analgesia/sedasi bagi kalangan non-ahli anestesi memberikan rekomendasi yang
bermanfaat untuk memaksimalkan keamanan pasien selama prosedur rawat jalan dan
berbasis jasa.3
Sectio Caesaria adalah suatu tindakan pembedahan dengan melakukan irisan
pada dinding abdomen dan uterus yang bertujuan untuk melahirkan bayi. Proses

1
persalinan dengan cara sectio caesarea dapat menggunakan anestesi umum dan
regional. Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang aman, terutama pada
operasi di daerah umbilikus ke bawah. Teknik anestesi ini memiliki kelebihan dari
anestesi umum, yaitu kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, efek
samping yang minimal pada biokimia darah, pasien tetap sadar dan jalan nafas
terjaga, serta penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.3

Anestesi spinal bertujuan utama memblok saraf sensoris untuk menghilangkan


sensasi nyeri. Namun anestesi spinal juga memblok saraf motorik sehingga
mengakibatkan paresis/paralisis di miotom yang selevel dengan dermatom yang
diblok. Disamping itu juga memblok saraf otonom dan yang lebih dominan memblok
saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Hipotensi
adalah efek samping yang paling sering terjadi pada anestesi spinal, dengan insidensi
38% dengan penyebab utama adalah blokade saraf simpatis.2

Subarachnoid Spinal Block, sebuah prosedur anestesi yang efektif dan bisa
digunakan sebagai alternatif dari anestesi umum. Umumnya digunakan pada operasi
bagian bawah tubuh seperti ekstremitas bawah, perineum, atau abdomen bawah.1,2,

Anestesi spinal telah mempunyai sejarah panjang keberhasilan (>90% tingkat


keberhasilan). Kemudahan dan sejarah panjang keberhasilan anestesi spinal
memberikan kesan bahwa teknik ini sederhana dan canggih. Namun demikian bukan
berarti bahwa tindakan anestesi spinal tidak ada bahaya.3
Pemberian anastesi pada seksio sesarea memerlukan beberapa pertimbangan,
tidak seperti pembedahan pada umumnya. Ahli anastesi secara bersamaan harus
memberikan obat yang aman terhadap 2 individu yaitu ibu dan anak sekaligus.4

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 FISIOLOGI KEHAMILAN


A. Sistem Pernapasan
Perubahan pada fungsi pulmonal, ventilasi dan pertukaran gas.
Functional residual capacity menurun sampai 15-20 %, cadangan oksigen
juga berkurang. Pada saat persalinan, kebutuhan oksigen (oxygen demand)
meningkat sampai 100%. Menjelang atau dalam persalinan dapat terjadi
gangguan/sumbatan jalan napas pada 30% kasus, menyebabkan penurunan
PaO2 yang cepat pada waktu dilakukan induksi anestesi, meskipun dengan
disertai denitrogenasi. Ventilasi per menit meningkat sampai 50%,
memungkinkan dilakukannya induksi anestesi yang cepat pada wanita hamil.5

B. Sistem Kardiovaskular
Peningkatan isi sekuncup / stroke volume sampai 30%, peningkatan
frekuensi denyut jantung sampai 15%, peningkatan curah jantung sampai
40%. Volume plasma meningkat sampai 45% sementara jumlah eritrosit
meningkat hanya sampai 25%, menyebabkan terjadinya dilutional anemia of
pregnancy. Meskipun terjadi peningkatan isi dan aktifitas sirkulasi, penekanan
/ kompresi vena cava inferior dan aorta oleh massa uterus gravid dapat
menyebabkan terjadinya supine hypertension syndrome. Jika tidak segera
dideteksi dan dikoreksi, dapat terjadi penurunan vaskularisasi uterus sampai
asfiksia janin. Pada persalinan, kontraksi uterus/his menyebabkan terjadinya
autotransfusi dari plasenta sebesar 300-500 cc selama kontraksi. Beban
jantung meningkat, curah jantung meningkat, sampai 80%. Perdarahan yang
terjadi pada partus pervaginam normal bervariasi, dapat sampai 400-600 cc.
Pada sectio cesarea, dapat terjadi perdarahan sampai 1000 cc. Meskipun

3
demikian jarang diperlukan transfusi. Hal itu karena selama kehamilan normal
terjadi juga peningkatan faktor pembekuan VII, VIII, X, XII dan fibrinogen
sehingga darah berada dalam hypercoagulable state.5

C. Sistem Gastrointestinal
Uterus gravid menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik dan
perubahan sudut gastroesophageal junction, sehingga meningkatkan
kemungkinan terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal isi lambung.
Sementara itu terjadi juga peningkatan sekresi asam lambung, penurunan
tonus sfingter esophagus bawah serta perlambatan pengosongan lambung.
Enzim-enzim hati pada kehamilan normal sedikit meningkat.5

Kadar kolinesterase plasma menurun sampai sekitar 28%, mungkin


akibat hemodilusi dan penurunan sintesis. Pada pemberian suksinilkolin dapat
terjadi blokade neuromuskular untuk waktu yang lebih lama. Lambung harus
selalu dicurigai penuh berisi bahan yang berbahaya (asam lambung, makanan)
tanpa memandang kapan waktu makan terakhir.5

D. Sistem Saraf Pusat


Akibat peningkatan endorphin dan progesteron pada wanita hamil,
konsentrasi obat inhalasi yang lebih rendah cukup untuk mencapai anestesia;
kebutuhan halotan menurun sampai 25%, isofluran 40%, metoksifluran 32%.
Pada anestesi epidural atau intratekal (spinal), konsentrasi anestetik lokal yang
diperlukan untuk mencapai anestesi juga lebih rendah. Hal ini karena
pelebaran vena-vena epidural pada kehamilan menyebabkan ruang
subarakhnoid dan ruang epidural menjadi lebih sempit.5

Faktor yang menentukan yaitu peningkatan sensitifitas serabut saraf


akibat meningkatnya kemampuan difusi zat-zat anestetik lokal pada lokasi
membran reseptor (enhanced diffusion).5

4
E. Transfer Obat dari Ibu ke Janin Melalui Sirkulasi Plasenta
Juga menjadi pertimbangan, karena obat-obatan anestesia yang
umumnya merupakan depresan, dapat juga menyebabkan depresi pada janin.
Harus dianggap bahwa semua obat dapat melintasi plasenta dan mencapai
sirkulasi janin.5

2.2 KLASIFIKASI PENYAKIT JANTUNG


II.1 Klasifikasi Berdasarkan Fungsional
Tidak ada tanda klinis yang dapat digunakan untuk mengukur secara pasti
kapasitas fungsional jantung. Klasifikasi klinis dari New York Heart Association
(NYHA) pertama dipublikasikan pada tahun1928 dan telah direvisi sebanyak 8 kali
hingga tahun 1979. Klasifikasi ini didasarkan pada disabilitas pasien pada masa lalu
dan kini serta tidak dipengaruhi oleh tanda fisik.6
Tabel 2. Sistem Klasifikasi Fungsional Jantung Menurut New York Heart
Association (NYHA).2-5

KELAS DESKRIPSI
Kelas 1 Pasien dengan penyakit jantung tetapi tanpa adanya pembatasan aktivitas
fisik. Aktivitas fisik biasa tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi, dispnu,
atau nyeri angina.
Kelas 2 Pasien dengan penyakit jantung mengakibatkan sedikit keterbatasan
aktivitas fisik. Akan merasa lebih baik dengan istrahat. Aktivitas fisik biasa
menimbulkan kelelahan, palpitasi, dispnu, atau nyeri angina.
Kelas 3 Pasien dengan penyakit jantung dengan adanya keterbatasan aktivitas fisik.
Nyaman saat istrahat. Aktivitas fisik yang ringan dapat menyebabkan
kelelahan, palpitasi, dispnu, atau nyeri angina.
Kelas 4 Pasien dengan penyakit jantung ditandai ketidakmampuan untuk
melakukan semua aktivitas fisik. Gejala insufisiensi jantung dapat muncul
saat istrahat. Jika aktifitas fisik dilakukan, ketidaknyamanan meningkat.

5
Menentukan fungsi jantung adalah penting bagi pasien hamil dengan penyakit
jantung. Pasien dengan NYHA kelas 1 dan 2 memiliki risiko komplikasi yang lebih
sedikit jika dibandingkan dengan kelas 3 dan 4.7

II.2 Klasifikasi Berdasarkan Etiologi


Berdasarkan etiologinya, penyakit jantung pada kehamilan berdasarkan
diklasifikasikan menjadi:
1. Penyakit jantung kongenital
a. Penyakit jantung kongenital asianotik
b. Penyakit jantung kongenital sianotik
2. Penyakit jantung didapat (acquired heart disease)
a. Penyakit jantung rematik
b. Penyakit jantung koroner
3. Penyakit jantung spesifik pada kehamilan, yaitu kardiomiopati peripartum.

II.3 Klasifikasikan Berdasarkan Kelaianan Anatomis


Menurut American College of Cardiology/ American Heart Association
ACC/AHA Heart Failure Guideline 2001, gagal jantung dibagi menjadi 4 stadium
yaitu A, B, C, dan D.6

Tabel 3. Stadium Gagal Jantung Menurut ACC/AHA.6,7


STADIUM DESKRIPSI CONTOH
Pasien dengan risiko tinggi berkembang menjadi Hipertensi sistemik, penyakit
gagal jantung karena adanya kondisi yang arteri koroner, DM, riwayat
berhubungan. Tidak teridentifikasi adanya terapi obat kardiotoksik, atau
A abnormalitas struktural atau fungsional penyalahgunaan alkohol,
perikardium, miokardium, atau katup jantung dan riwayat demam reumatik,
tidak pernah menunjukkan tanda atau gejala gagal riwayat keluarga
jantung. kardiomiopati.

6
Pasien dengan penyakit jantung struktural yang erat Fibrosis atau hipertropi
hubungannya dengan berkembangnya gagal jantung ventrikel kiri, dilatasi atau
tetapi tidak pernah menunjukkan tanda atau gejala hipokontraktilitas ventrikel
B
gagal jantung. kiri, penyakit katup jantung
asimptomatik, infark miokard
sebelumnya.
Pasien yang saat ini atau sebelumnya memiliki Dispnu atau kelelahan akibat
gejala gagal jantung berhubungan dengan penyakit disfungsi sistolik ventrikel kiri,
C jantung struktural yang menyertainya. pasien asimptomatik yang
menjalani terapi untuk gejala
gagal jantung sebelumnya.
Pasien dengan penyakit jantung struktural lanjutan Pasien yang menjalani rawat
dan didapatkan gejala gagal jantung saat istrahat inap berulang karena gagal
meski dengan terapi medis maksimal dan jantung atau tidak bisa
memerlukan intervensi khusus. dipulangkan secara aman dari
rumah sakit, pasien menunggu
D
transplantasi jantung, pasien
dengan dukungan intravena
secara berkelanjutan atau
dengan alat bantu sirkulasi
mekanik.

Tabel 4. Tanda dan Gejala Umum pada Kehamilan dengan Penyakit Jantung. 6,8

Sesak napas yang progresif dan memburuk


Batuk dengan sputum berbusa merah muda (hemoptysis)
Gejala paroxysmal nocturnal dyspnea
nyeri dada bila beraktivitas
pingsan yang didahului palpitasi atau latihan

7
Sianosis
Clubbing finger
Pulsasi vena abnormal
Distensi vena jugular persisten
Bunyi S2 tunggal
Pemeriksaan Fisik
Murmur sistolik yang keras, kadang dijumpai murmur
diastolik
Ejection clicks, late systolic clicks, opening snaps
Friction rub
Tanda Hipertensi pulmonal
Aritmia signifikan dan persisten
EKG
Blok jantung
Kardiomegali
Radiologi
Edema pulmonal

2.3 TEKNIK ANASTESI


Prinsip teknik anestesi harus memenuhi kriteria:1
1. Sifat anelgesi yang cukup kuat
2. Tidak menyebabkan trauma psikis terhadap ibu
3. Toksisitas rendah aman terhadap ibu dan bayi
4. Tidak mendepresi janin
5. Relaksasi otot tercapai tanpa relaksasi rahim
Risiko yang mungkin timbul pada saat penatalaksanaan anestesi adalah sebagai
berikut:2
1. Adanya gangguan pengosongan lambung
2. Terkadang sulit dilakukan intubasi
3. Kebutuhan oksigen meningkat

8
4. Pada sebagian ibu hamil, posisi terletang (supine) dapat menyebabkan
hipotensi (“supine aortocaval syndrome”) sehingga janin akan mengalami
hipoksia/asfiksia.

A. Anestesi Intravena
Indikasi :
1. Gawat janin
2. Ada kontraindikasi atau keberatan terhadap anestesia regional
3. Diperlukan keadaan relaksasi uterus
Keuntungan :
1. Induksi cepat
2. Pengendalian jalan napas dan pernapasan optimal
3. Risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular lebih rendah
Kerugian :
1. Risiko aspirasi pada ibu lebih besar
2. Dapat terjadi depresi janin akibat pengaruh obat
3. Hiperventilasi pada ibu dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia dan
asidosis pada janin
4. Kesulitan melakukan intubasi tetap merupakan penyebab utama mortalitas
dan morbiditas maternal.3
Macam-macam anestesi intravena:3
a) Pentotal
Penggunaan pentotal dalam bidang obstetri dan ginekologi banyak
ditujukan untuk induksi anestesia umum dan sebagai anestesia singkat.

Dosis pentotal
Dosis pentotal yang dianjurkan adalah 5 mg/kg BB dalam larutan 2,5%
dengan pH 10.8, tetapi sebaiknya hanya diberikan 50-75 mg.

9
Keuntungan pentotal:
 Cepat menimbulkan rasa mengantuk (sedasi) dan tidur (hipnotik).
 Termasuk obat anestesia ringan dan kerjanya cepat.
 Tidak terdapat delirium
 Cepat pulih tanpa iritasi pada mukosa saluran napas.

Komplikasi pentotal:
 Lokal (akibat ekstravasasi), dapat menyebabkan nekrosis
 Rasa panas (bila pentotal langsung masuk ke pembuluh darah arteri)
 Depresi pusat pernapasan
 Reaksi vertigo, disorientasi, dan anfilaksis

Kontraindikasi pentotal
Pentotal merupakan kontraindikasi pada pasien-pasien yang disertai
keadaan berikut:
 Gangguan pernafasan
 Gangguan fungsi hati dan ginjal
 Anemia
 Alergi terhadap pentotal
Apabila dilakukan anestesi intravena menggunakan pentotal, sebaiknya
pasien dirawat inap karena efek pentotal masih dijumpai dalam waktu 24
jam, dan hal ini membahayakan bila pasien sedang dalam perjalanan.3

b) Ketamin
Ketamin termasuk golongan non barbiturat dengan aktivitas “rapid setting
general anaesthesia”, dan diperkenalkan oleh Domine dan Carses pada tahun
1965.3

10
Sifat ketamin :
o Efek analgetiknya kuat
o Efek hipnotiknya ringan
o Efek disosiasinya berat, sehingga menimbulkan disorientasi dan halusinasi
o Mengakibatkan disorientasi (pasien gaduh, berteriak)
o Tekanan darah intrakranial meningkat
o Terhadap sistem kardiovaskuler, tekanan darah sistemikmeningkat sekitar20-
25%
o Menyebabkan depresi pernapasan yang ringan (vasodilatasi bronkus).3

Premedikasi pada anestesia umum ketamin


Pada anestesia umum yang menggunakan ketamin, perlu dilakukan premedikasi
dengan obat-obat sebagai berikut:
 Sulfas atropin, untuk mengurangi timbulnya rasa mual / muntah
 Valium, untuk mengurangi disorientasi dan halusinasi. 3

Dosis ketamin
Dosis ketamin yang dianjurkan adalah 1-2 mg/kg BB, dengan lama kerja sekitar
10-15 menit. Dosis ketamin yang dipakai untuk tindakan D & K (dilatasi dan
kuretase) atau untuk reparasi luka episiotomi cukup 0,5 – 1 mg/Kg BB.3

Indikasi anestesi ketamin


 Pada opersasi obstetri dan ginekologi yang ringan dan singkat
 Induksi anastesia umum
 Bila ahli anastesia tidak ada, sedangkan dokter memerlukan tindakan
anastesia yang ringan dan singkat.
Kontra indikasi anastesia ketamin (ketalar)
 Hipertensi yang melebihi 150 / 100 mmHg

11
 Dekompensasi kordis
 Kelainan jiwa

Komplikasi anastesia ketamin


 Terjadi disorientasi
 Mual / muntah, diikuti aspirasi yang dapat membahayakan pasien dan
dapat menimbulkan pneumonia.
 Untuk menghindari terjadinya komplikasi karena tindakan anastesia
sebaiknya dilakukan dalam keadaan perut / lambung kosong.
 Setelah pasien dipindahkan ke ruangan inap, pasien diobservasi dan posisi
tidurnya dibuat miring (ke kiri/kanan), sedangkan letak kepalanya dibuat
sedikit lebih rendah. 3

B. Anestesi Regional
Pelaksanaan blok epidural (blok spinal) bersifat spesialistik, sehingga
sebaiknya diserahkan kepada dokter ahli anastesia. Sebagai gambaran, berikut
ini dikemukakan beberapa hal tentang anastesia epidural atau spinal. Obat
anastesia yang banyak dipakai adalah :3
 Lidonest
 Bupivacain (Marcain)
 Lidokain
Dalam melakukan tindakan kecil pada obstetri dan ginekologi, seperti :
penjahitan kembali luka episiotomi, dilatasi dan kuretase, atau biopsi
dianjurkan untuk melakukan anastesia secara intravena (lebih mudah dan
aman). Dinegara yang sudah maju, kebanyakan kasus persalinannya
memerlukan tindakan anastesia lumbal, sakral, atau kaudal.3

12
Analgesi/blok epidural (lumbal) : sering digunakan untuk persalinan per
vaginam.
Anestesi spinal : sering digunakan untuk persalinan per abdominam/sectio
cesarea.

Keuntungan :
 Mengurangi pemakaian narkotik sistemik sehingga kejadian depresi janin
dapat dicegah/dikurangi.
 Ibu tetap dalam keadaan sadar dan dapat berpartisipasi aktif dalam
persalinan.
 Risiko aspirasi pulmonal minimal (dibandingkan pada tindakan anestesi
umum)
 Jika dalam perjalanannya diperlukan sectio cesarea, jalur obat anestesia
regional sudah siap.3

Kerugian :
1. Hipotensi akibat vasodilatasi (blok simpatis)
2. Waktu mula kerja (time of onset) lebih lama
3. Kemungkinan terjadi sakit kepala pasca punksi.
4. Untuk persalinan per vaginam, stimulus nyeri dan kontraksi dapat
menurun, sehingga kemajuan persalinan dapat menjadi lebih lambat.3

2.4 ANASTESI SPINAL


A. Definisi
Anestesi spinal adalah pemberian obat ke dalam ruang subarachnoid.
Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke
dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal (anestesi subaraknoid) disebut
juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.1,3

13
B. Indikasi
Untuk pembedahan, daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4
kebawah (daerah papila mamae ke bawah). Dengan durasi operasi yang tidak
terlalu lama, maksimal 2-3 jam. 1,3
1) Bedah ekstremitas bawah
2) Bedah panggul
3) Tindakan sekitar rektum perineum
4) Bedah obstetrik-ginekologi
5) Bedah urologi
6) Bedah abdomen bawah
7) Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan
dengan anestesi umum ringan
C. Kontra indikasi
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi
dua yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.
1) Kontra indikasi absolut : 1,3
 Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan
bisa menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
 Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun
diare. Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya
hipovolemia.
 Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
 Tekanan intrakranial meningkat : dengan memasukkan obat kedalam
rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan
intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis
 Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal
bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain,
maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya

14
 Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini
dapat menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla
spinalis, keterampilan dokter anestesi sangat penting.
 Pasien menolak.

2) Kontra indikasi relatif : 1,5


 Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan
apakah diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan
kemungkinan penyebaran infeksi.
 Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat
suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
 Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya
agar tidak membingungkan antara efek anestesi dan deficit
neurologis yang sudah ada pada pasien sebelumnya.
 Kelainan psikis
 Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-
120 menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa
bertahan hingga 150 menit.
 Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea
rah jantung akibat efek obat anestesi local.
 Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau
terjadinya hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan
atau cairan
 Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat
diposisikan. Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila
dilakukan berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman.1.3

15
3) Struktur Anatomi Vertebra
Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12
buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang
servikal, torakal dan lumbal masih tetap dibedakan sampai usia
berapapun, tetapi tulang sakral dan koksigeus satu sama lain menyatu
membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan koksigeus.1,3

Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1)


menyangga berat kepala dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula
spinalis, (3) memungkinkan keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis,
(4) tempat untuk perlekatan otot-otot, (5) memungkinkan gerakan kepala
dan batang tubuh 1,3

Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan


membesar sampai mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian
mengecil sampai apex dari tulang koksigeus. Struktur demikian
dikarenakan beban yang harus ditanggung semakin membesar
dari cranial hingga caudalsampai kemudian beban tersebut
ditransmisikan menuju tulang pelvis melalui articulatio sacroilliaca. 1,3

Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis


juga oleh suatu persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas
tulang punggung, kendati hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit
untuk mempertahankan stabilitas kolumna vertebralis guna melindungi
struktur medula spinalis yang berjalan di dalamnya. Stabilitas kolumna
vertebralis ditentukan oleh bentuk dan kekuatan masing-masing vertebra,
diskus intervertebralis, ligamen dan otot-otot. 1,2

16
Gambar 1. Kolumna Vertebralis 3

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi


subaraknoid adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna
vertebralis.Medulla spinalis berjalan mulai dari foramen magnum
kebawah hingga menuju ke konus medularis (segmen akhir medulla
spinalis sebelum terpecah menjadi kauda equina).Penting diperhatikan
bahwa lokasi konus medularis bervariasi antara vertebra T12 hingga L1.4

Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa


landmark yang lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting
pada vertebra, diantaranya adalah :

a) Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang


paling terlihat di daerah leher.
b) Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra
torakal 3-4

17
c) Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal
5-6
d) Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10
e) Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra
lumbalis 4-51,3,4

Gambar 2. Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis3

Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan


anestesi spinal.3

a) Kutis
b) Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba
ruang intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang
tipis.

18
c) Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung
procesus spinosus.
d) Ligamentum interspinosum
e) Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar
1 cm. Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan
vertikal dari lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini,
akan terasa sensasi mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita
rasakan saat melewati ligamentum dan masuk keruang epidural.
f) Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah
yang keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural
telah tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
g) Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat
menembus duramater seperti saat menembus epidural.
h) Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat
anestesi spinal. Padaruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis
(LCS) pada penusukan.

Gambar 3. Lokasi Penusukan Jarum pada Anestesi Spinal3

19
4) Persiapan anestesi spinal
Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih
sederhana dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi
wajib diperhatikan karena terkadang jika operator menghadapi penyulit
dalam operasi dan operasi menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur
secara darurat dapat diubah menjadi anestesi umum.1
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal
adalah:3
a) Informed consent: Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan
ini (informed consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang
akan terjadi selama operasi tindakan ini dan komplikasi yang
mungkin terjadi.
b) Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit
tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi
seperti infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti
scoliosis atau kifosis, atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan
processus spinosus tidak teraba.
c) Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium
yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa
protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila
diduga terdapat gangguan pembekuan darah.

1. Persiapan Pra Anestesi


Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan
(elektif/darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi
pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat
sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan
menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus

20
dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan
pra anestesi adalah:1,7

a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.


b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka
mortalitas 2%.

ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan


sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologis. Angka mortalitas 16%.

ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas


harian terbatas. Angka mortalitas 38%.

ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam


jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal :
insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.

ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan


operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup
dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka
mortalitas 98%.

ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil


(didonorkan).1

21
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari
kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.1

a. Pemeriksaan praoperasi anestesi8

1) Anamnesis
a) Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
b) Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
c) Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat
menjadi penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus,
penyakit paru kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis),
penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.
d) Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat,
dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan
interaksi dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat
antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid,
dan lain lain.
e) Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari
tanggal, jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan
perawatan intensif pasca bedah.
f) Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi
tindakan anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat
penenang, narkotik
g) Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi
maligna.
h) Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,
pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
2) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan

22
b) Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas
c) Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi
cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah
pembedahan.
d) Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan,
serta suhu tubuh.
e) Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui
adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan
fleksi ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula
pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan
mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan
mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau
tidaknya dalam melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
i. Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior
oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla
pharingeal
ii. Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding
posterior uvula
iii. Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
iv. Mallampati IV : palatum durum saja
f) Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
g) Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
h) Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia,
atau tanda regurgitasi.
i) Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal,
sianosis, adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di
tempat-tempat pungsi vena atau daerah blok saraf regional.

23
3) Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain
 Lab rutin :
a) Pemeriksaan lab. Darah
b) Urine : protein, sedimen, reduksi
c) Foto rongten ( thoraks )
d) EKG
 Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :
a) EKG pada anak
b) Spirometri pada tumor paru
c) Tes fungsi hati pada ikterus
d) Fungsi ginjalpada hipertensi
e) AGD, elektrolit.

b. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi.
Adapun tujuan dari premedikasi antara lain:1,2

1) Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.


2) Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
3) Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
4) Memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
5) Mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron
6) Memperlancar induksi, misal : pethidin
7) Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
8) Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium,
sulfas atropin.
9) Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan
hiosin.1,2

24
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis
pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan
demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus
selalu dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik,
derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat
hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang
berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi,
macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan.2

Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah


persiapan alat dan obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan
adalah:

a) Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri,


EKG.
b) Peralatan resusitasi / anestesia umum.
c) Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu
runcing,quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil
(pencil point whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau
27G
d) Betadine, alkohol untuk antiseptic.
e) Kapas/ kasa steril dan plester.
f) Obat-obatan anestetik lokal.
g) Spuit 3 ml dan 5 ml.
h) Infus set.
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu
runcing/quinckebacock), jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point
whitecare)1,3

25
Gambar 4. Jenis Jarum Spinal6

5) Teknik pelaksanaan Anestesi Spinal3,4


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada
garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Dengan persiapan
tempat lengkap dengan alat manajement jalan napas dan resusitasi
tersedia. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan
hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya
obat. 3,4
a) Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan
ketika visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda
kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak
perlu dipersiapkan untuk spinal anestesi. Setelah dimonitor, tidurkan
pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal kepala,
selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat

26
pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba.
Posisi lain adalah duduk. 3,4
b) Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista
iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di
atasnya berisiko trauma terhadap medula spinalis. 3,4
c) Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.

Gambar 5. Posisi Duduk dan Lateral Decubitus3

d) Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar


22G, 23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang
kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu
jarum suntik biasa semprit 5 cc. Tusukkan introduser sedalam kira-
kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum
spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika
menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel)
harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah ke atas atau ke bawah, untuk menghindari kebocoran
likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal.

27
Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan
keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan
pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk
meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau yakin ujung jarum spinal
pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º
biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal secara kontinyu dapat
dimasukan kateter.
e) Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit –
ligamentum flavum dewasa ± 6 cm.

Gambar 6. Tusukan Jarum pada Anestesi Spinal

6) Respon Fisiologis Pada Anestesia Spinal


Penyuntikkan obat anestesia lokal ke dalam ruangan subarakhnoid
menghasilkan respon fisiologis yang penting dan luas. Respon fisiologis
yang terjadi kadang dibingungkan dengan komplikasi dari teknik
anestesia spinal. Pemahaman terhadap etiologi dari efek fisiologis yang

28
terjadi menjadi kunci dalam manajemen pasien selama anestesia spinal
dan mengerti indikasi dan kontraindikasi dari anestesia spinal.3,6

a) Efek Pada Kardiovaskular


Salah satu respon fisiologis yang penting terjadi pada anestesia
spinal adalah pada sistem kardiovaskular. Efek yang terjadi sama
dengan pada penggunaan kombinasi obat α-1 dan β-adrenergic
blockers, dimana nadi dan tekanan darah menjadi turun sehingga
terjadilah hipotensi dan bradikardi. Hal ini karena blok simpatis yang
terjadi pada anestesia spinal. Level blok simpatis mempengaruhi
respon kardiovaskular pada anestesia spinal, dimana semakin tinggi
blok saraf yang terjadi semakin besar pengaruhnya terhadap
parameter kardiovaskular. 3,6
Hipotensi yang terjadi berhubungan dengan penurunan cardiac
output (CO) dan systemic vascular resistance (SVR). Blok simpatis
menyebabkan vasodilatasi baik pada arteri maupun vena, namun
karena jumlah darah pada vena lebih besar (kurang lebih 75% dari
total volume darah) dan otot dinding pembuluh darahnya lebih tipis
dibandingkan dengan arteri, efek venodilatasi yang terjadi lebih
dominan. Akibat dari venodilatasi terjadi redistribusi darah ke
splanknik dan ekstremitas inferior yang menyebabkan venous return
atau aliran darah balik vena menuju jantung berkurang sehingga CO
menurun. Pada pasien muda yang sehat, SVR hanya menurun 15-
18%, walaupun terjadi blok simpatis yang signifikan.3
Bradikardi yang terjadi selama anestesia spinal terutama pada
blok tinggi disebabkan oleh blokade pada cardioaccelerator fibers
yang terdapat dari T1 sampai T4. Bradikardi juga terjadi sebagai
respon terhadap penurunan tekanan pada atrium kanan akibat
pengisian atrium yang berkurang menyebabkan penurunan

29
peregangan pada reseptor kronotropik yang terdapat pada atrium
kanan dan vena-vena besar.3
b) Efek Pada Respirasi
Perubahan variabel pulmonal pada pasien sehat selama anestesia
spinal mempunyai konsekuensi klinis yang kecil. Volume tidal tidak
berubah selama anestesia spinal tinggi, dan kapasitas vital hanya
berkurang sedikit dari 4,05 menjadi 3,73 liter. Penurunan kapasitas
vital lebih disebabkan oleh penurunan expiratory reserve volume
(ERV) akibat dari paralisis otot-otot abdomen yang penting pada
ekspirasi paksa diabandingkan dengan penurunan fungsi saraf
frenikus atau diafragma. Henti nafas yang terjadi pada anestesia
spinal tidak berhubungan dengan disfungsi saraf frenikus atau
diafragma, namun disebabkan oleh hipoperfusi pada pusat pernafasan
di medula oblongata. Hal yang mendukung pernyataan tersebut
adalah kembalinya pernafasan pasien apneu setelah mendapatkan
resusitasi yang cukup baik secara farmakologi ataupun dengan
pemberian cairan untuk meningkatkan cardiac output dan tekanan
darah.3
Hal yang penting diperhatikan dalam hubungannya dengan
terjadinya paralisis otot pernafasan pada anestesia spinal adalah otot-
otot ekspiratori, karena jika terjadi paralisis pada otot-otot tersebut,
kemampuan batuk dan pembersihan sekresi bronkus menjadi
terganggu.3

c) Efek Pada Gastrointestinal


Organ lain yang dipengaruhi selama anestesia spinal adalah
traktus gastrointestinal. Mual dan muntah terjadi pada 20% pasien
yang mendapatkan anestesia spinal dan hal ini berhubungan dengan
terjadinya hiperperistaltik gastrointestinal akibat dari aktivitas

30
parasimpatis (vagus) dan relaksasi dari spinkter yang terdapat pada
traktus gastrointestinal.7 Atropin efektif mengurangi mual dan
muntah pada anestesia subarakhnoid yang tinggi (sampai T5). Dilain
pihak, kombinasi dari usus yang berkontraksi dan relaksasi dari otot-
otot abdominal memberi keuntungan karena hal ini menyebabkan
terciptanya kondisi yang bagus untuk operasi.3

d) Efek Pada Fungsi Ginjal


Aliran darah ginjal seperti halnya aliran darah serebral dipelihara
oleh mekanisme autoregulasi dalam hubungannya dengan tekanan
perfusi arteri. Jika tidak terjadi hipotensi yang parah, aliran darah
ginjal dan produksi urin tidak berpengaruh selama anestesia spinal.
Jika anestesia spinal menyebabkan terjadinya penurunan tekanan
perfusi arteri samapi dibawah 50 mmHg, akan terjadi penurunan
aliran darah ginjal dan produksi urin secara bertahap. Walaupun
begitu, jika tekanan darah sudah kembali normal, maka fungsi ginjal
juga akan kembali normal.3

e) Efek pada Termoregulator


Hipotermia perioperatif yang terjadi pada anestesia spinal
memiliki pendekatan yang sama dengan yang terjadi pada anestesia
umum. Tiga mekanisme dasar yang menyebabkan terjadinya
hipotermia selama anestesia spinal antara lain redistribusi dari pusat
panas ke perifer akibat dari vasodilatasi oleh blok simpatis, hilangnya
termoregulasi yang berhubungan dengan penurunan ambang
vasokontriksi dan menggigil dibawah level yang terblok, dan
peningkatan hilangnya panas dari vasodilatasi yang terjadi dibawah
level yang terblok.3

31
f) Komplikasi tindakan anestesi spinal :
(1) Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa
dicegah dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau
koloid 500 ml sebelum tindakan.
(2) Bradikardia
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi
akibat blok sampai T-2
(3) Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali
nafas.
(4) Trauma saraf
(5) Mual-muntah
(6) Menggigil
(7) Kejang

g) Farmakologi
Obat anestesia lokal yang disuntikkan ke dalam ruangan
subarakhnoid akan mengalami pengenceran oleh cairan
serebrospinal, menyebar baik ke kranial maupun ke kaudal dan
kontak dengan radiks medula spinalis yang belum mempunyai
selubung myelin. Obat anestesia lokal tidak boleh mengandung
bahan (material) yang mempunyai efek iritasi pada radiks dan medula
spinalis. Obat yang dipakai untuk anestesia spinal adalah obat yang
khusus1,2,4,7

Penggunaan obat-obatan anestesia lokal yang umum dipakai


dalam anestesia spinal harus diikuti dengan pertimbangan-
pertimbangan seperti distribusi dari obat dalam cairan serebrospinalis

32
(level dari anestesia), ambilan obat oleh elemen-elemen saraf pada
ruang subarakhnoid (tipe dari saraf yang terblok), dan eliminasi obat
dari ruangan subarakhnoid (duration of action).6 Terdapat beberapa
macam obat anestesia lokal yang sering dipakai pada anestesia spinal
seperti prokain, lidokain (Xylocaine), tetrakain (Pantocaine),
bupivakain (Marcaine atau Sensorcaine), dan dibukain
(Cinchorcaine). Prokain dan lidokain bersifat short-intermediate
acting, sedangkan tetrakain, bupivakain dan dibukain mempunyai
sifat intermediate-long duration. 1,2,4,7

(1) Prokain
Menghasilkan anestesia spinal dengan onset efek sekitar 3
sampai 5 menit dengan durasi antara 50-60 menit. Di Amerika
Serikat, prokain untuk anestesia spinal terdapat dalam sediaan
ampul sebanyak 2 ml larutan 10%. Jika dilarutkan dengan cairan
serebrospinal dalam jumlah yang sama menghasilkan larutan
prokain 5% yang mempunyai berat hampir sama dengan cairan
serebrospinal dan jika dicampur dengan glukosa 10% dalam
jumlah yang sama akan menghasilkan larutan yang lebih berat
dari cairan serebrospinal. Larutan prokain 2,5% dalam air lebih
banyak digunakan sebagai diagnostik dibandingkan dengan
anestesia spinal untuk operasi. Dosis yang disarankan berkisar
antara 50-100 mg untuk operasi daerah perineum dan ekstremitas
inferior dan 150-200 mg untuk operasi abdomen bagian atas.2,3
(2) Lidokain
Juga mempunyai onset anestesia spinal dalam 3 sampai 5
menit dengan durasi yang lebih lama dari prokain yaitu 60-90
menit. Lidokain yang dipakai untuk anestesia spinal adalah
larutan 5% dalam glukosa 7,5%. Dosis yang biasa digunakan

33
adalah 25-50 mg untuk operasi perineum dan saddle block
anesthesia dan 75-100 mg untuk operasi abdomen bagian atas. 2,3
(3) Tetrakain
Obat ini mempunyai onset anestesia dalam 3 sampai 6
menit dengan durasi yang lebih lama dibandingkan dengan
prokain dan lidokain (210-240 menit). Tetrakain tersedia dalam
bentuk ampul berisi kristal 20 mg dan dalam ampul sebesar 2 ml
larutan 1% dalam air. Larutan 1%, jika dicampur dengan glukosa
10% dalam jumlah yang sama (tetrakain 0,5% dalam 5%
glukosa) digunakan secara luas untuk anestesia spinal dimana
mempunyai berat yang lebih besar daripada cairan serebrospinal.
Dosis yang digunakan berkisar antara 5 mg untuk operasi daerah
perineum dan ekstremitas inferior dan 15 mg untuk operasi
abdomen bagian atas. 2,3
(4) Bupivakain
Obat ini menghasilkan onset anestesia spinal dalam waktu
5 sampai 8 menit. Durasi anestesia yang dihasilkan sama dengan
tetrakain. Di Australia dan kebanyakan negara eropa, larutan
0,5% hipobarik atau hiperbarik telah digunakan sebagai anestesia
spinal. Dosis yang direkomendasikan berkisar antara 8-10 mg
untuk operasi perineum dan ekstremitas inferior dan 15-20 mg
untuk operasi abdomen bagian atas.2
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk
melakukan anestesi spinal terdapat pada tabel dibawah ini.

34
Tabel 1. Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal3

Anestetik local Berat jenis Sifat Dosis


Lidokain
2% plain 1.006 Isobarik 20-100 mg (2-5 ml)
5% dalam 1.033 Hiperbarik 20-50 mg (1-2 ml)
dekstrosa 7,5%
Bupivakain
0.5% dalam air 1.005 Isobarik 5-20 mg (1-4 ml)
0.5% dalam 1.027 Hiperbarik 5-15 mg (-3 ml)
dekstrosa 8.25%
Tabel 2. Anestetik lokal yang paling sering digunakan4

Obat-obat lokal anestesi berdasarkan barisitas dan densitas dapat di


golongkan menjadi tiga golongan yaitu:7,8

a. Hiperbarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih
besar dari pada berat jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat terjadi
perpindahan obat ke dasar akibat gaya gravitasi. Agar obat anestesi lokal
benar–benar hiperbarik pada semua pasien maka baritas paling rendah harus
1,0015gr/ml pada suhu 37C. contoh: Bupivakain 0,5%. Contoh: Lidokaine

35
(xylocain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.033, sifat
hiperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml), Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm
dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml) 7,8
b. Hipobarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih
rendah dari berat jenis cairan serebrospinal. Densitas cairan serebrospinal
pada suhu 370C adalah 1,003gr/ml. Perlu diketahui variasi normal cairan
serebrospinal sehingga obat yang sedikit hipobarik belum tentu menjadi
hipobarik bagi pasien yang lainnya. contoh: tetrakain, dibukain.7,8
c. Isobarik
Secara definisi obat anestesi lokal dikatakan isobarik bila densitasnya
sama dengan densitas cairan serebrospinalis pada suhu 370C. Tetapi karena
terdapat variasi densitas cairan serebrospinal, maka obat akan menjadi
isobarik untuk semua pasien jika densitasnya berada pada rentang standar
deviasi 0,999-1,001gr/ml. contoh: levobupikain 0,5% Spinal anestesi blok
mempunyai beberapa keuntungan antara lain:perubahan metabolik dan
respon endokrin akibat stres dapat dihambat, komplikasi terhadap
jantung, paru, otak dapat di minimal, tromboemboli berkurang, relaksasi otot
dapat maksimal pada daerah yang terblok sedang pasien masih dalam
keadaan sadar. Contoh: Lidokaine (xylocain, lignokain) 2%: berat jenis
1.006, sifat isobarik, dosis 20-100 mg (2-5 ml), Bupivakaine (markaine)
0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-20mg (1-4ml). 7,8

2.5 PEMULIHAN
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi.Ruang pulih sadar merupakan
batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan

36
perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi
dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh
anestesinya.7

Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan


perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan.
Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara
Aldrete dan Steward, dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien
anak-anak, tetapi sekarang sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang
dewasa. Sedangkan untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.1,8

Tabel 3. Penilaian Skor Bromage


Kriteria Nilai Skor

Gerakan penuh dari tungkai 0

Tidak mampu ekstensi tungkai 1

Tidak mampu fleksi lutut 2

Tidak mampu fleksi pergelangan kaki 3

TOTAL

Skor ≤ 2 boleh pindah ruangan.

37
BAB III

LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. I
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 26 tahun
Berat Badan : 60 kg
Agama : Islam
Alamat : Ds. Ako Kec. Pasangkayu
Diagnosis : G3P2A0 gravid 35-36 minggu + gemelly + PEB + ADHF e.c
kardiomiopati DD Mitral Stenosis

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 12 Juni
2018, pukul 16.00 WITA di RSU Anutapura Palu.
a. Keluhan utama : Sesak
b. Riwayat penyakit sekarang :
Pada anamnesis didapatkan pasien merupakan rujukan dari RS Pesangkayu
dengan G3P2A0 gravid 35-36 minggu + gemelly + ISK + Inpartu kala I fase
laten + Obs. Dyspnea + PEB. Pasien mengeluh sesak disertai batuk yang
dialami 3 hari sebelum ke RS. Pasien juga nyeri perut tembus belakang yang
dialami sejak semalam dirasakan 2x dalam 1 jam, keluahan ini disertai
pelepasan lender (+), darah (+), air (-). Keluhan tidak disertai dengan mual,
muntah, pusing, sakit kepala dan tidak ada demam. BAB dan BAK baik dan
lancar.
c. Riwayat penyakit dahulu:
1) Riwayat asma disangkal
2) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal

38
3) Riwayat operasi sebelumnya tidak ada
4) Riwayat jantung (+)
d. Riwayat penyakit keluarga:
Riwayat asma, alergi dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien
disangkal.

C. PEMERIKSAAN FISIK
GCS : E4 V5 M6 = 15

Vital Sign : Tekanan darah : 150/90 mmHg


Nadi : 144 x/menit
Suhu : 36,6C
Pernafasan : 38 x/menit

Status Generalis
a. Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis,
turgor kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik
dan teraba hangat.
b. Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma,
distribusi merata dan tidak mudah dicabut.
c. Mata : Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik
d. Pemeriksaan Leher
1) Inspeksi : Tidak terdapat jejas
2) Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran
kelenjar tiroid. Tidak teraba pembesaran limfonodi.
e. Pemeriksaan Thorax
1) Jantung
a) Inspeksi : Tampak ictus cordis 2 cm dibawah papila mamae
sinistra
b) Palpasi : Ictus cordis teraba kuat

39
c) Perkusi :
i. Batas atas kiri : ICS II garis parasternal sinsitra
ii. Batas atas kanan : ICS II garis parasternal dextra
iii. Batas bawah kiri : ICS V garis midclavikula sinistra
iv. Batas bawah kanan : ICS IV garis parasterna dextra
d) Auskultasi : S2 Murmur (+)

2) Paru
a) Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis
serta tidak ditemukan retraksi dan ketertinggalan
gerak.
b) Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan
tidak terdapat ketertinggalan gerak.
c) Perkusi : Sonor kedua lapang paru
d) Auskultasi : Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua pulmo.
Tidak terdengar suara wheezing
f. Pemeriksaan Abdomen
a) Inspeksi : Perut cembung, simetris, tidak terdapat jejas dan
massa
b) Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal. BJF (+) 140x/mnt
c) Perkusi : Timpani diseluruh kuadran
d) Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar dan lien tidak
teraba. TFU: 27 cm.
g. Pemeriksaan Ekstremitas :
 Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
 Turgor kulit cukup, akral hangat

40
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Lab Nilai Normal

Hematologi (11 Juni 2018)

Hemoglobin 9,8 11,5-16,0 g/dL

Leukosit 19.5 4000-10.000/L

Hematokrit 34.2 37-47%

Eritrosit 5,26x106 3,80-5,80x106/

Trombosit 451.000 150.000-400.000/L

MCV 65 80-100 µm3

MCH 18,7 27,0-32,0 pg

MCHC 28,8 32,0-36,0 g/dl

CT 730 4-12 menit

BT 230 1-4 menit

Gol. Darah O

Kimia Klinik (11 Juni 2018)

GDS 114 70-140 mg/dL

Seroimmunologi (11 Juni 2018)

HbsAg Non-Reaktif Non-Reaktif

Anti HIV Non-Reaktif Non-Reaktif

 EKG :
o Sinus rhtym : Sinus Takikardi

41
o Heart rate : 150 BPM
o Right Axis Deleviation
o Poor R Wave Progression

E. DIAGNOSIS
G3P2A0 gravid 35-36 minggu + gemelly + PEB + ADHF e.c kardiomiopati DD
Mitral Stenosis

F. KESAN ANESTESI
Perempuan 26 tahun dengan ASA III.

G. PENATALAKSANAAN
Sectio Caesaria Transperitonial Profunda

H. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka:
Diagnosis Pre Operatif :
Status Operatif : ASA 3, Mallampati I
Jenis Operasi : SCTP
Jenis Anastesi : Regional Anastesi

I. LAPORAN ANESTESI
1. Diagnosis Pra Bedah
G3P2A0 gravid 35-36 minggu + gemelly + PEB + ADHF e.c kardiomiopati
DD Mitral Stenosis

2. Diagnosis Pasca Bedah


P4A0 post SC a/i Gemelly + PEB + ADHF e.c kardiomiopati DD Mitral
Stenosis

42
3. Penatalaksanaan Preoperasi
a Infus RL 500 cc
4. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis Pembedahan : SCTP
b. Jenis Anestesi : Regional Anestesi
c. Teknik Anestesi : Sub Arachnoid Block

 Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk


 Posisi pasien :
1) Posisi Lateral. Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10
cm, lutut dan paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.
(pada pasien)
2) Posisi duduk. Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna
vertebralis, tetapi pada pasien-pasien yang telah mendapat
premedikasi mungkin akan pusing dan diperlukan seorang
asisten untuk memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini
digunakan terutama bila diinginkan sadle block.
3) Posisi Prone. Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter
bedah menginginkan posisi Jack Knife atau prone.
 Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine,
alkohol, kemudian kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril.
 Cara penusukan:
Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor
jarum, semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk
mengurangi komplikasi sakit kepala (PDPH=post duran puncture
headache), dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stylet dari
jarum spinal akan menyebabkan keluarnya likuor bila ujung jarum
ada di ruangan subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus
diperiksa dan spinal analgesi dibatalkan. Bila keluar darah, tarik

43
jarum beberapa mili meter sampai yang keluar adalah likuor yang
jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stylet-nya, lalu ditunggu 1
menit, bila jernih, masukkan obat anestesi lokal, tetapi bila masih
merah, pindahkan tempat tusukan. Darah yang mewarnai likuor
harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat anestesi lokal karena
dapat menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus).
d. Mulai Anestesi : 11 Juni 2018, pukul 12.50 WITA
e. Mulai Operasi : 11 Juni 2018, pukul 12.55 WITA
f. Premedikasi : Tidak diberikan premedikasi
g. Induksi : Bupivacaine Hyperbaric 0,5% sebanyak 12,5
mg
h. Medikasi tambahan : Lasix 20 mg
Dobutamin/Syringe Pump 3,6 mg/menit
Oxytosin 20 IU
Asam Trakneksamat 250 mg
Efendrine 10 mg
i. Maintanance : O2 10 lpm
j. Respirasi : Pernapasan spontan
k. Posisi : Supine
l. Cairan Durante Operasi : RL 2000 ml
m. Pemantauan Tekanan Darah dan HR : Terlampir
n. Selesai operasi : 13.45 WITA
o. Selesai anastesi : 13.50 WITA

44
I. PLANNING
 PRE-OPERATIF
Anamnesis Pre Operasi (11/06-2018) : Autoanamnesis pada pasien.
 Allergies : Pasien tidak mempunyai riwayat alergi makanan dan obat-
obatan
 Medications : Riw. Jantung (+)
 Past Medical History: -
Pemeriksaan Fisik Pre Operasi :
 B1 (Breath): Airway : clear, gurgling/snoring/crowing:-/-/-, potrusi
mandibular (-), buka mulut 5 cm, jarak mentohyoid 6 cm, jarak hyothyoid
(6,5 cm), leher pendek (-), gerak leher bebas, tenggororok (T1-1), faring
hiperemis (-), RR: 20 x/mnt, SP: Vesikuler, ST(-), Mallampati : 1, massa
(-), gigi geligi lengkap. Riwayat asma (-) alergi (-), batuk (-), sesak (+)
 B2 (Blood): Akral: hangat, TD: 120/80 mmHg, HR : 144 x/mnt, reguler,
T/V kuat/cukup, bunyi jantung S2 murmur (+), masalah pada sistem
cardiovaskuler (+).
 B3 (Brain): Kesadaran: Compos Mentis, Pupil: isokor Ø 3 mm / 3mm,
RCL +/+, RCTL +/+. Defisit neurologis (-). Masalah pada sistem
neuromuskuloskeletal (-).
 B4 (Bladder): BAK (+), volume : 50 cc/jam , warna : kuning jernih.
 B5 (bowel): Abdomen: tampak datar, peristaltik (+) dbn, mual (-),
muntah (-).
 B6 Back & Bone : Oedem pretibial (-)

Di Ruangan :
KIE (+), Surat persetujuan operasi (+), surat persetujuan tindakan anestesi (+),
site mark (+)
 Puasa: (+) 6-8 jam preop

45
 Persiapan Whoole blood (+) 2 bag Gol. AB
 IVFD RL 20 tpm selama puasa

Di Kamar Operasi :
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
 Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
 Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
 Alat-alat resusitasi (STATICS)
 Obat-obat anestesia yang diperlukan.
 Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
 Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
 Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
 Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya;
“Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”.
 Kartu catatan medik anestesia
 Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.

Tabel 4. Komponen STATICS

S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan


jantung.

Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang


sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien, pada kasus ini
digunakan laryngeal mask airway ukuran 2 ½

A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau


pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk

46
mengelakkan sumbatan jalan napas.

T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau


tercabut.

I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic


(kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan. Pada pasien ini
tidak digunakan introducel atau stilet.

C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.

S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

 INTRA OPERATIF
Laporan Anestesi Durante Operatif
 Jenis anestesi : Regional Anestesi
 Teknik anastesi : Sub Arachnoid Block (SAB)
 Lama anestesi : 12.50 – 13.50 (60 menit)
 Lama operasi : 12.55 – 13.45 (50 menit)
 Anestesiologi : dr. Ajutor Donny Tandiarrang, Sp.An
 Ahli Bedah : dr. Djemie, Sp.OG MARS
 Posisi : Supine
 Infus : 2 line di tangan kiri dan kanan

47
Laporan Monitoring Operasi

Menit ke- Sistole Diastole Pulse SpO2 Obat yang diberikan


(mmHg) (mmHg) (x/m)

0 (12.50) 120 90 135 100% Bupivacine


5 (12.55) 123 84 138 Lasix
10 (13.00) 84 47 121 Ephedrine
15 (13.05) 83 45 128 100% Oxytocin
20 (13.10) 83 47 125 Lasix
25 (13.15) 79 39 121 Dobutamin
30 (13.20) 83 49 120 100% Dobutamin
35 (13.25) 81 45 125 Dobutamin
40 (13.30) 89 43 120 Dobutamin
45 (13.35) 80 50 120 100% Dobutamin
50 (13.40) 81 51 125 Dobutamin
55 (13.45) 85 48 123 Dobutamin
60 (13.50) 83 45 124 100% Dobutamin

160

140

120

100
Sistole (mmHg)
80
Diastole (mmHg)
60
Pulse (x/m)
40

20

Keterangan :
: Mulai anestesi : Operasi selesai
: Mulai operasi : Anestesi selesai (sign out)

48
 TERAPI CAIRAN :
BB : 65 kg
EBV : 65 cc/kg BB x 65 kg = 4.225 cc
Jumlah perdarahan : ± 1000 cc
% perdarahan : 1000/4.225 x 100% = 46,15 %
Pemberian Cairan
 Cairan masuk :
- Pre operatif : kristaloid RL 500 cc
- Durante operatif :
o Kristaloid RL 1500 cc
Total input cairan : 2000 cc

 Cairan keluar :
Durante operatif
- Urin ± 300 cc
- Perdarahan ± 700 cc
Total output cairan : ± 1000 cc

 POST OPERATIF
Pemantauan di Post Anasthesia Care Unit (PACU) :
 Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
 Beri O2 3L/menit nasal canul.
 Berikan antibiotik profilaksis, antiemetic, H2 reseptor bloker dan analgetik
 Bila Bromage Score ≤ 2 boleh pindah ruangan.
 Bila mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), boleh makan dan minum
sedikit – sedikit.

49
Perintah di ruangan :

a. Awasi tanda vital (tensi, nadi, pernapasan tiap ½ jam)


b. Bila kesakitan beri analgetik.
c. Bila mual atau muntah, beri injeksi Ondansetron 4 mg iv
d. Program cairan : infus RL 20 tetes/menit
e. Program analgetik : injeksi Ketorolac 30 mg iv tiap 8 jam, mulai pukul
13.00 WITA
f. Selama 24 jam post operasi, pasien tidur dengan bantal tinggi (30o), tidak
boleh berdiri atau berjalan.
g. Bila tekanan darah sistole < 90 mmHg, beri injeksi ephedrin 10 mg iv
diencerkan.
h. Bila HR < 60x/menit, beri SA 0,5 mg dan konsul anestesi.
i. Bila sakit kepala hebat berkepanjangan, konsul anestesi.

50
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien Ny. I 26 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani
operasi SCTP pada tanggal 11 juni 2018 dengan diagnosis pre operatif G3P2A0
gravid 35-36 minggu + gemelly + ADHF e.c kardiomiopati DD Mitral Stenosis .
Persiapan operasi dilakukan pada tanggal 11 juni 2018. Dari anamnesis terdapat
keluhan sesak nafas yang disertai adanya pelepasan darah dan lender, dirasakan sejak
pagi SMRS. Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 150/90
mmHg; nadi 144x/menit; respirasi 38x/menit; suhu 36,6OC. Dari pemeriksaan
laboratorium hematologi: Hb 9,8 g/dl; golongan darah AB; GDS: 114 mg/dl dan
HBsAg(-). Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
disimpulkan bahwa pasien memiliki gangguan pada jantung yaitu ADHF e.c
kardiomiopati dd mitral stenosis.

Sebelum diputuskannya anestesi, hendaknya sebelumnya dilakukan penentuan


standar kesehatan pasien sesuai American Society of Anesthesia. Dengan keadaan
tersebut di atas, pasien termasuk dalam kategori ASA I. Adapun pembagian kategori
ASA adalah:
I : Pasien normal dan sehat fisis dan mental
II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan
fungsional
III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang
menyebabkan keterbatasan fungsi
IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup dan
menyebabkan ketidakmampuan fungsi
V : Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan atau
tanpa operasi
VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat diambil

51
Bila operasi yang dilakukan darurat (emergency) maka penggolongan ASA diikuti
huruf E (misalnya IE atau IIE) dan pada pasien ini masuk dalam kategori ASA PS
kelas IIIE.
Sectio Caesaria adalah suatu tindakan pembedahan dengan melakukan irisan
pada dinding abdomen dan uterus yang bertujuan untuk melahirkan bayi. Proses
persalinan dengan cara sectio caesarea dapat menggunakan anestesi umum dan
regional. Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang aman, terutama pada
operasi di daerah umbilikus ke bawah. Teknik anestesi ini memiliki kelebihan dari
anestesi umum, yaitu kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, efek
samping yang minimal pada biokimia darah, pasien tetap sadar dan jalan nafas
terjaga, serta penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.

Pasien pada kasus ini dilakukan tindakan anastesi spinal. Pada anestesi spinal
terdapat kontraindikasi absolut dan relatif. Kontraindikasi absolut diantaranya
penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis
yang tidak diketahui, koagulopati, dan peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada
kasus-kasus pseudotumor cerebri. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis
pada tempat tusukan (misalnya, infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih
rendah) dan lama operasi yang tidak diketahui.Selain itu teknik ini dipilih karena
selain lebih murah juga efek sistemiknya lebih rendah dibanding anestesi umum.

Anestesi spinal memblok akar serabut saraf (nervus) pada daerah


subarakhnoid, dimana daerah medula spinalis dimulai dari foramen magnum sampai
lumbal 1 (L1) pada dewasa, lumbal 2 (L2) pada anak-anak dan lumbal 3 pada bayi,
sedangkan saccus duralis, ruang subarakhnoid dan ruang subdural berakhir di sakral
2 (S2) pada dewasa dan sakral 3 (S3) pada anak-anak. Lapisan yang harus ditembus
untuk mencapai ruang sub arakhnoid dari luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum
supraspinosum, ligamentum flavum dan duramater. Arakhnoid terletak antara
duramater dan piamater serta mengikuti otak sampai medula spinalis dan melekat

52
pada duramater. Antara arakhnoid dan piamater terdapat ruang yang disebut ruang
sub arakhnoid.
Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2,
sehingga di bawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub
arakhnoid merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi
cairan otak, jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal
dari medula spinalis. Pada orang dewasa medula spinalis berakhir pada sisi vertebra
lumbal 2. Dengan fleksi tulang belakang medula spinalis berakhir pada sisi bawah
vertebra lumbal.

Gambar 8. Anestesi Spinal

53
Persiapan pasien sebelumnya harus dilakukan dengan memberi informasi
tentang tindakan anestesi spinal (informed consent) meliputi pentingnya tindakan ini
dan komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah
kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi.
Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis.
Perlengkapan tindakan anestesi spinal harus disiapkan lengkap untuk monitor
pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat
anestesi spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di
dalam lumennya dan ukuran 16G sampai dengan 30G, pada pasien ini digunakan
ukuran 26 G. Obat anestesi lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain,
atau bupivakain. Berat jenis obat anestesi lokal mempengaruhi aliran obat dan
perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari
berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat
gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke
atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat
penyuntikan.
Tabel 5. Beberapa jenis obat anestesi lokal yang dipakai pada anestesi spinal

54
Pada pasien ini obat anestesi yang digunakan adalah bupivakain hyperbaric
0,5% dengan dosis 12,5 mg. Bupivakain bekerja menstabilkan membran neuron
dengan cara menginhibisi perubahan ionik secara terus menerus yang diperlukan
dalam memulai dan menghantarkan impuls. Kemajuan anestesi yang berhubungan
dengan diameter, mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf yang terkena
menunjukkan urutan kehilangan fungsi sebagai berikut : otonomik, nyeri, suhu, raba,
propriosepsi, tonus otot skelet. Eliminasi bupivakain terjadi di hati dan melalui
pernafasan (paru-paru).
Obat bupivakain segera setelah penyuntikan subarakhnoid akan mengalami
penurunan konsentrasi dengan secara bertahap karena terjadinya: dilusi dan
pencampuran di liquor serebro spinalis, difusi dan distribusi oleh jaringan saraf,
uptake dan fiksasi oleh jaringan saraf, absorbsi dan eliminasi oleh pembuluh darah.
Didalam ruang subarakhnoid obat akan kontak dengan struktur jaringan saraf dan
obat ini akan memblokade transmisi impuls serabut-serabut saraf. Aktivitas anestesi
lokal dalam ruang subarakhnoid yang penting di akar-akar saraf di medula spinalis
(primer), ganglia dorsalis dan sinap-sinap di kornu anterior dan posterior (sekunder)
dan traktus asenden dan desenden parenkim di medula spinalis.
Pada menit ke-10 pemberian obat anestesi pasien ini mengalami penurunan
tekanan dimana tekanan darah pasien 84/47 mmHg, kondisi tersebut merupakan
komplikasi yang sering terjadi pada pemberian anestesi spinal. Dimana penurunan
tekanan darah biasanya terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga
tekanan darah perlu diukur setiap 2 menit selama periode ini. Jika tekanan darah
sistolik turun dibawah 75 mmHg (10 kPa), maka kita harus bertindak cepat untuk
menghindari cedera pada ginjal, jantung dan otak. Hipotensi terjadi karena
vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin berat hipotensi.
Pada pasien ini hipotensi ditangani dengan memberikan infuse cairan
kristaloid secara cepat serta efedrin sebanyak 3 mg secara intravena. Namun dapat
pula pemberian cairan kristaloid sebanyak 500 cc sebelum pemberian anestesi spinal
untuk mencegah terjadinya hipotensi. Efedrin yang diberikan masuk ke dalam

55
sitoplasma ujung saraf adrenergik dan mendesak NE keluar. Efek kardiovaskuler
efedrin menyerupai efek Epinefrin tetapi berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama.
Tekanan sistolik meningkat juga biasanya tekanan diastolic, sehingga tekanan nadi
membesar. Peningkatan tekanan darah ini sebagian disebabkan oleh vasokontriksi,
tetapi terutama oleh stimulasi jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung
dan curah jantung. Denyut jantung mungkin tidak berubah akibat refleks kompensasi
vagal terhadap kenaikan tekanan darah. Pasien juga diberikan lasix yang isinya
adalah furosemide yang merupakan golongan loop diuretic yang kerja utamanya
dibagain epitel tebal ansa henle bagian asenden yang digunakan untuk pengobati
gagal jantung dan mencegah terjadinya edema paru.
Selama operasi juga perlu dimonitoring kebutuhan cairan, dimana perkiraan
berat badan pasien adalah 65 kg, maka estimated blood volume = 65 cc/kgBB x 65 kg
= 4.225 cc (estimated blood volume untuk orang dewasa perempuan 65 cc/KgBB).
Jumlah perdarahan yang terjadi durante operasi adalah sekitar 700 cc .
Kebutuhan cairan maintenance 90 cc/jam ditambah defisit puasa 220 cc,
ditambah output urine 300 cc dan perdarahan 700 cc (1 cc darah diganti dengan 3 cc
cairan kristaloid) sehingga total cairan pengganti yang dibutuhkan durante operasi
adalah 1.220 cc.
Idealnya, untuk perdarahan 700 cc dengan EBV 14.69% termasuk kategori
kelas I perdarahan dan membutuhkan terapi kristaloid. Perdarahan yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan kondisi syok hipovolemik. ‘Syok’ adalah keadaan
berkurangnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Pada pasien dalam keadaan ini
paling sering disebabkan oleh hipovolemia. Diagnosa syok didasarkan tanda-tanda
klinis: hipotensi, takhikardia, takhipnea, hipothermi, pucat, ekstremitas dingin,
melambatnya pengisian kapiler (capillary refill) dan penurunan produksi urine. Syok
hemoragik (hipovolemik): disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh.
Jumlah darah yang hilang akibat trauma sulit diukur dengan tepat bahkan pada trauma
tumpul sering diperkirakan terlalu rendah. Tujuan dari resusitasi adalah menormalkan
kembali oksigenasi jaringan. Karena penyebab gangguan ini adalah kehilangan darah

56
maka resusitasi cairan merupakan prioritas. Syok hipovolemik kebanyakan akibat
dari kehilangan darah akut sekitar 20% dari volume total. Tanpa darah yang
cukup atau penggantian cairan, syok hipovolemik dapat menyebabkan kerusakan
irreversible pada organ dan sistem. Resusitasi dapat dilakukan sebagai berikut:

1. Jalur intravena yang baik dan lancar harus segera dipasang. Gunakan kanula
besar (14 - 16 G). Dalam keadaan khusus mungkin perlu vena sectie.
2. Cairan infus (NaCL 0,9%) harus dihangatkan sampai suhu tubuh karena
hipotermia dapat menyababkan gangguan pembekuan darah.
3. Hindari cairan yang mengandung glukose.
4. Ambil sampel darah secukupnya untuk pemeriksaan dan uji silang golongan
darah.

Tabel 6. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah

Tujuan pemberian cairan pengganti adalah untuk mengganti kehilangan air


tubuh yang disebebkan oleh sekuestrasi atau proses patologi yang lain misalnya

57
perdarahan pada pembedahan pada kasus ini. Sebagai cairan pengganti digunakan
cairan kristaloid (NaCl 0,9% dan RL) atau Koloid (Dextrans 40 dan 70, Expafusin,
Hemasel, Albumin, dan Plasma).

Tabel 7. Perbandingan antara Kristaloid dan Koloid


SIFAT-SIFAT KRISTALOID KOLOID
Berat molekul Lebih kecil Lebih besar
Distribusi Lebih cepat Lebih lama dalam
sirkulasi
Faal hemostasis Tidak ada pengaruh Mengganggu
Penggunaan Untuk dehidrasi Pada perdarahan massif
Untuk koreksi Diberikan 2-3x jumlah Sesuai dengan jumlah
perdarahan perdarahan perdarahan

Gambar 9. Alur Resusitasi pada Perdarahan


Kemungkinan besar yang dapat mengancam nyawa pada syok
hipovolemik berasal dari penurunan volume darah intravascular, yang menyebabkan

58
penurunan cardiac output dan tidak adekuatnya perfusi jaringan. Kemudian jaringan
yang anoxia mendorong perubahan metabolisme dalam sel berubah dari aerob
menjadi anaerob. Hal ini menyebabkan akumulasi asam laktat yang menyebabkan
asidosis metabolik.
Ketika mekanisme kompensasi gagal, syok hipovolemik terjadi pada
rangkaian keadaan di bawah ini:
1. Penurunan volume cairan intravascular
2. Pengurangan venous return, yang menyebabkan penurunan preload dan stroke
volume
3. Penurunan cardiac output
4. Penurunan Mean Arterial Pressure (MAP)
5. Kerusakan perfusi jaringan
6. Penurunan oksigen dan pengiriman nutrisi ke sel
7. Kegagalan multisistem organ

Pasien dengan hipotensi dan/atau kondisi tidak stabil harus pertama kali
diresusitasi secara adekuat. Tujuan utama dalam mengatasi syok hipovolemik
adalah: (1) memulihkan volume intravascular untuk membalik urutan peristiwa
sehingga tidak mengarah pada perfusi jaringan yang tidak adekuat. (2)
meredistribusi volume cairan, dan (3) memperbaiki penyebab yang mendasari
kehilangan cairan secepat mungkin.

Jika pasien sedang mengalami hemoragi, upaya dilakukan untuk


menghentikan perdarahan. Mencakup pemasangan tekanan pada tempat perdarahan
atau mungkin diperlukan pembedahan untuk menghentikan perdarahan internal.

Pemasangan dua jalur intra vena dengan kjarum besar dipasang untuk
membuat akses intra vena guna pemberian cairan. Maksudnya memungkinkan
pemberian secara simultan terapi cairan dan komponen darah jika diperlukan.

59
Contohnya: Ringer Laktat dan Natrium clorida 0,9 %, Koloid (albumin dan dekstran
6 %).

Pemberian Oxytocin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus


posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat
seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada
dosis rendah menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekuensi. Tetapi pada dosis
tinggi menyebabkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk
perdarahan aktif diberikan lewat infus ringer laktat 20 IU perifer, jika sirkulasi kolaps
bisa diberikan 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek samping pemberian oksitosin
sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu
intoksikasi cairan jarang ditemukan. Dosis maksimum per hari yaitu tidak lebih dari
tiga liter larutan dengan oksitosin. Farmakokinetik: waktu paruh 1-9 menit.

Pada pasien ini juga diberikan dobutamin dimana dobutamin memberikan


efek inotropic yang dapat meningkatakan kontraktilitas jantung dan curah jantung,
sedikit meningkatakan denyut jantung tanpa merubah resistensi perifer relatif.

Pada pukul 13.45 WITA, pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan


akhir TD 83/45mmHg; Nadi 124x/menit, dan SpO2 100%. Pembedahan dilakukan
selama 50 menit dengan perdarahan ± 700 cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang
ICVCU. Selama di ICVCU, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan
adekuat serta kesadaran compos mentis. Tekanan darah selama 15 menit pertama
pasca operasi stabil yaitu 95/63 mmHg.

60
DAFTAR PUSTAKA

1. Purmono A. Buku Kuliah Anastesi. EGC : Jakarta. 2015.


2. Mansjoer, A., et all. Anestesi Spinal pada Seksio sesarea. Catatan Anastesi. Media
Aesculapius. Makassar. 2010.
3. Liou, S., 2013. Spinal and Epidural Anesthesia. Diakses pada 8 April 2017 dari:
<http://www.nlm.nih. gov/medlineplus/ency/article/007413.htm>.
4. Hemant L., et all. 2015. Labor and Delivery, Analgesia, Regional and local.
Diakses pada 8 April 2017 dari: <http://emedicine.medscape.com/article/ 149337-
overview#showall>.
5. Sarwono. Buku Ajar Ilmu Kebidanan. Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo:
Jakarta. 2008.
6. Yarnell et al. 2015. Pain Relief for Labor and Delivery. Diakses pada 8 April 2017
dari: <http://emedicine.medscape.com/article/2140720-overview?src= emailthis>.
7. Gunawan, S. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI: Jakarta. 2007.
8. Mangku, Senapathi. Buku Ajar Ilmu Anastesia dan Reanimasi. Indeks: Jakarta.
2009.
9. Dewi, Rahayu. Kegawatdaruratan Syok Hipovolemik. Berita Ilmu Kedokteran.
Vol. 2. No.2. 2010. Diakses pada 8 April 2017 dari: <http://journals.ums.ac.
id/index.php/BIK/article/download/3799/2459>.

61

Anda mungkin juga menyukai