Anda di halaman 1dari 19

Intisari Sains Medis 2018, Volume 9, Number 2: 131-136

P-ISSN: 2503-3638, E-ISSN: 2089-9084

FAKTOR RISIKO PREEKLAMSIA DAN EKLAMPSIA


DI RUMAH SAKIT UMUM SANGLAH DARI MARET
2016 KE MARET 2017

Ng Teng Fung Vincent,1* I Made Darmayasa,2 Anom Suardika2

ABSTRAK

Latar Belakang: Preeklampsia dan eklamsia telah sampai pada tingkat yang
mengkhawatirkan. Ini adalah tugas yang berat bagi dokter dan ibu hamil. Preeklamsia
didefinisikan sebagai keadaan timbul hipertensi (sistolik ≥140mmHg atau diastolik
≥90mmHg selama 6 jam dalam 2 kali pemeriksaan) dan didapatkan proteinuria
(setidaknya 1+ pada dipstick atau ≥300mg dalam urin 24 jam) yang timbul setelah 20
minggu kehamilan. Eklampsia didefinisikan sebagai keterlibatan neurologis dalam
bentuk kejang umum tonik klonik pada ibu hamil dengan preeklampsia disebut
eklampsia, dimana kejang yang timbul tidak berkaitan dengan penyebab lain seperti
epilepsi, infeksi serebral, tumor atau ruptur aneurisma.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menentukam faktor risiko untuk preeklampsia
dan eklamsia. Faktor risiko untuk preeklamsia dan eklampsia adalah obesitas,
primigravida, kehamilan multipel, diabetes, hipertensi yang sudah ada sebelumnya,
riwayat keluarga, usia ibu, indeks massa tubuh, status gizi, dan status sosial ekonomi.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan penelitian deskriptif dan data
dikumpulkan dari catatan medis di rumah sakit Sanglah yang memiliki 140 kasus.

Hasil: Hasil yang didapatkan pada preeklampsia adalah pada usia 20-35 tahun,
wanita primigravida dengan usia gestasional >37 minggu, wanita yang kelebihan
berat badan, status sosial ekonomi menengah dan juga yang tidak memiliki faktor
risiko. Hasil yang didapatkan untuk eklamsia yaitu pada usia 20-35 tahun, wanita
primigravida dengan usia kehamilan >37 minggu, status sosioekonomi menengah,
wanita yang berat badan berlebih, dan mayoritas tidak memiliki faktor risiko.

Kesimpulan: Preeklamsia dan eklampsia adalah kasus tertinggi di Indonesia. Usia


20-35 tahun, wanita primigravida dengan usia kehamilan >37 minggu, obesitas,
mayoritas wanita tanpa faktor risiko dan dari status sosial ekonomi menengah.
PENGANTAR

Preeklamsia telah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan seluruh dunia.


Ini adalah tugas yang berat bagi dokter dan ibu hamil. Meskipun bidang kedokteran
telah maju, etiologi dan mekanisme preeklampsia masih belum diketahui. Ada risiko
faktor yang terkait dengan preeklamsia dan eklamsia seperti obesitas, primigravida,
diabetes dan lain-lain. Preeklamsia adalah sindrom sistemik yang biasanya ditandai
dengan timbulnya hipertensi (sistolik ≥140mmHg dan/atau diastolik ≥90mmHg
selama 6 jam dalam 2 kali pemeriksaan) dan proteinuria (setidaknya 1+ di dipstick
atau ≥300mg dalam urin 24 jam) setelah 20 minggu kehamilan. Eklampsia adalah
suatu kondisi langka tetapi dapat menyebabkan komplikasi serius bagi ibu hamil dan
janin. Eklamsia dapat didefinisikan sebagai keterlibatan neurologis dalam bentuk
umum kejang tonik-klonik pada wanita dengan preeklampsia disebut eklamsia jika
kejang yang timbul tidak berkaitan dengan penyebab lain seperti epilepsi, infeksi
serebral, tumor atau ruptur aneurisma.1

Insiden preeklamsia terjadi 3%-10% dari seluruh kehamilan. Preeklamsia


adalah penyebab terbanyak kematian ibu yang menyumbang 15-20% di negara maju
dan menyebabkan kematian perinatal, kelahiran prematur, dan IUGR. Diperkirakan
preeklamsia terjadi 1 dari 20 kehamilan. Dari data jurnal " Epidemiology and risk
factors of preeclampsia; an overview of observational studies”, preeklamsia akan
berkembang menjadi eklampsia yang menyumbang 10% dari kematian ibu.
Diperkirakan 50.000 wanita di seluruh dunia meninggal setiap tahunnya disebabkan
oleh preeklampsia. Insiden dari preeklamsia dilaporkan 2,8% di Israel, 5,8% di
Skotlandia, 14,1% di Australia dan 5% di Seattle.2 Di Indonesia, dilaporkan kasus
preeklampsia berat dan eklampsia menyumbang 1,5-25% kematian ibu. Untuk
kematian neonatal, datanya adalah 45-50% .3 Pada tahun 2012, angka kematian ibu
adalah 259 kasus dari 100.000 kelahiran dan 0,4-7,2% disebabkan oleh preeklamsia.
Tanpa penanganan yang tepat, preeklampsia dapat menyebabkan komplikasi yang
serius.4 Meskipun bidang kedokteran telah maju, satu-satunya yang dapat
menyembuhkan preeklamsia adalah dengan merujuk.5

Ada beberapa kontroversi dari teori preeklamsia. Salah satu contohnya adalah
vitamin D. Hasil dari penelitian tentang “Longitudinal vitamin D status in pregnancy
and the risk of pre-eclampsia”, ini menunjukkan adanya hubungan antara vitamin D
dengan risiko terjadinya preeklamsia.6 Namun, beberapa penelitian lain menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan risiko terjadinya preeklamsia dengan vitamin D.7,8 Selain
itu, kita ketahui arteri spiralis memiliki fungsi penting untuk memberikan nutrisi pada
uterus. Namun teori ini masih kontrovesial. Sebuah penelitian tentang “Controversies
on Preeclampsia through the lens of Reproductive Immunology: A Systematic
Review” menyatakan bahwa leukosit sebagai sel pembunuh alami yang penting dalam
proses remodelling dari arteri spiralis. Sebaliknya, sebuah penelitian menyatakan
bahwa saat ini leukosit mungkin terlibat dalam disfungsi dari endotel.9 Selain itu,
penggunaan aspirin dosis rendah untuk mencegah terjadinya preeklampsia telah
digunakan di seluruh dunia tetapi hal ini juga masih kontroversial. Sebuah penelitian
tentang “Prevention of pre-eclampsia with low-dose aspirin or vitamins C and E in
women at high or low risk: a systematic review with meta-analysis” menyatakan
tidak ada efek aspirin untuk mencegah terjadinya preeklamsia.10 Sebaliknya, sebuah
penelitian tentang “Prevention of preeclampsia and intrauterine growth restriction
with aspirin started in early pregnancy: a meta-analysis” menunjukkan hasil yang
berbeda.11

Berdasarkan penelitian ini, peneliti tertarik untuk mempelajari faktor risiko


penyebab preeklamsia dan eklampsia dan menggunakannya untuk menilai
preeklamsia dan eklampsia. Selanjutnya, penelitian ini dilakukan untuk dapat
mengetahui cara mencegah preeklamsia dan eklamsia yang terjadi pada wanita hamil
serta meningkatkan kualitas kehidupannya. Penelitian ini juga dapat meningkatkan
pengetahuan dan membantu dokter mendeteksi tanda-tanda awal preeklampsia dan
eklamsia.
METODE

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan


pendekatan studi cross-sectional dengan mengidentifikasi faktor risiko preeklamsia
dan eklamsia. Subyek penelitian ini adalah pasien yang menderita preeklamsia dan
eklampsia yang didapatkan dari rekam medis di Unit Gawat Darurat dan Poliklinik di
Rumah Sakit Sanglah di Denpasar, Bali. Populasi target penelitian ini adalah ibu
hamil dengan preeklamsia dan eklamsia yang berkunjung atau diterima di Unit Gawat
Darurat dan Poliklinik di RS Sanglah sejak Maret 2016 hingga Maret 2017.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder, yaitu dengan data
rekam medis pasien yang diperoleh dari Rumah Sakit Umum Sanglah. Data rekam
medis yang memenuhi kriteria yaitu yang masuk dalam kriteria sampel penelitian,
setelah itu coding, dilakukan tabulasi data dan memasukkan data ke komputer. Data
juga ditampilkan dalam bentuk formulir. Analisis data terdiri dari analisis deskriptif
yang digunakan untuk menjelaskan karakteristik dari masing-masing variabel.

HASIL

Membagi usia ibu dengan preeklamsia dan eklampsia yang dibagi dalam 3
katagori yaitu kelompok usia <20 tahun, 20 hingga 35 tahun dan >35 tahun. Seperti
yang ditunjukkan pada tabel 1, jumlah kelompok usia <20 tahun adalah 10 orang
(7,8%). Jumlah kelompok usia 20 hingga 35 tahun adalah 84 orang (65,6%) dan
kelompok >35 tahun tua memiliki 34 orang (26,6%). Kita dapat menyimpulkan
bahwa pasien preeklamsia lebih tinggi pada 20-35 tahun dengan proporsi 65,6%. Dari
data ini juga menunjukkan bahwa pasien eklampsia dengan usia 20-35 tahun adalah
paling banyak dengan 10 kasus dibandingkan dengan >35 tahun yang hanya 2 kasus.

Seperti yang ditunjukkan pada tabel 2, ini menunjukkan bahwa total jumlah
pasien preeklamsia pada primigravida adalah 51 orang. Usia kehamilan <37 minggu
sebanyak 25 orang sedangkan usia kehamilan ≥37 minggu sebanyak 26 orang.
Jumlah pasien preeklampsia dengan sekundigravida dengan usia kehamilan <37
minggu adalah 12 orang sementara ada 19 orang pada pasien preeklampsia dengan
sekundigravida dengan usia kehamilan ≥37 minggu, hingga total pasien preeklamsi
pada sekundigravida adalah 31 orang. Total pasien preeklamsia pada multigravida
adalah 46 orang, dengan jumlah pada usia kehamilan ≥37 minggu adalah 20 orang
dan usia kehamilan <37 minggu adalah 26 orang. Berdasarkan data yang
dikumpulkan, kita dapat menyimpulkan bahwa kebanyakan pasien preeklampsia
adalah primigravida. Dari data eklampsia, juga menunjukkan usia 20-35 tahun paling
banyak dengan 10 kasus dibandingkan dengan >35 tahun yang hanya 2 kasus.
Selanjutnya, ada 6 kasus untuk primigravida, 2 kasus secundigravida dan 4 kasus
multigravida. Usia kehamilan ibu hamil saat dirawat di rumah sakit adalah lebih
tinggi pada usia kehamilan ≥37 minggu dibandingkan dengan usia kehamilan <37
minggu yang masing-masing 7 kasus dan 5 kasus.

Tabel 1. Karakteristik Harapan Usia


Katagori Harapan Usia Frekuensi Presentasi
Preeklamsia (n=128)
<20 Tahun 10 9,7%
20 – 35 Tahun 83 65,6%
>35 Tahun 34 26,6 %
Eklamsia (n=12)
20 – 35 Tahun 10 83,4%
>35 Tahun 2 16,6%
Tabel 2. Distribusi Gravid dan Usia Kehamilan Pada Preeklamsia dan Eklamsia
Karakteristik Frekuensi Presentasi
Preeklamsia (n=128)
Gravid
Primigravida 51 39,8%
Sekundigravida 31 24,2%
Multigravida 46 35,9%

Usia Kehamilan
<37 Minggu 63 49,2%
>37 Minggu 65 50,8%
Eklamsia (n=12)
Gravid 33,4%
Primigravida 6 50%
Sekundigravida 2 16,6%
Multigravida 4 33,4%

Usia Kehamilan
<37 Minggu 5 41,6%
>37 Minggu 7 58,4%

Tabel 3. Distribusi Indeks Massa Tubuh Pada Preeklamsia dan Eklamsia


Karakteristik Frekuensi Presentasi
Preeklamsia (n=128)
Normal 32 32,8%
Overweight 61 47,7%
Obesitas 25 19,5%
Eklamsia (n=12)
Normal 4 33,4%
Overweight 6 50%
Obesitas 2 16,6%
Tabel 4. Distribusi Status Gizi Pada Preeklamsia dan Eklamsia
Karakteristik Frekuensi Presentasi
Preeklamsia (n=128)
Normal 17 13,3%
Undernutrition 18 14,1%
Overnutrition 93 72,6%
Eklamsia (n=12)
Undernutrition 2 16,6%
Overnutrition 10 83,4%

Seperti dijelaskan pada tabel 3, yang menunjukkan bahwa pasien preeklamsia


dengan BMI normal ada 42 orang, BMI dengan kelebihan berat badan ada 61 orang,
dan jumlah BMI dengan obesitas adalah 25 orang. Dari data data tersebuh dapat
disimpulkan jumlah pasien dengan preeklampsia lebih tinggi pada BMI dengan berat
badan berlebih dibandingkan dengan yang normal dan obesitas. Dan juga, di antara
12 orang pasien eklampsia, setengah dari pasien eklamsia yaitu 6 orang memiliki
kelebihan berat badan dibandingkan dengan pasien eklampsia dengan BMI normal
ada 4 kasus dan BMI dengan obesitas hanya 2 kasus.

Tabel 4 menjelaskan pasien preeklamsia dengan kurang gizi ada 18 orang,


normal ada 61 orang, dan kelebihan gizi ada 93 orang. Yang terbanyak pada pasien
preeklamsia adalah yang kelebihan gizi. Pada eklampsia juga menunjukan hal yang
sama dimana yang paling banyak terdapat pada kelebihan gizi dibandingkan dengan
yang normal status gizi yaitu masing – masing 10 kasus dan 2 kasus.

Pada tabel 5 menunjukkan, tampaknya yang paling tinggi jumlah pasien


preeklamsia yang tanpa faktor resiko yaitu 96 orang, diikuti oleh yang memiliki
riwayat preeklamsia sebelumnya yaitu 13 orang, kronis hipertensi 11 orang, diabetes
mellitus dan kehamilan multipel masing - masing 3 orang dan yang paling sedikit
pada usia >40 tahun yang hanya 2 orang. Pada faktor risiko pasien eklampsia, dengan
riwayat preeklampsia sebelumnya dan hipertensi kronis terendah yaitu hanya 1 kasus
untuk setiap kategori dan 10 kasus pada pasien eklampsia tanpa faktor risiko.

Tabel 6 menunjukkan bahwa pasien preeklamsia dengan status sosial ekonomi


rendah 26 orang. Pasien preeklamsia dengan status sosial ekonomi tinggi 16 orang.
Namun, jumlah pasien preeklamsia dengan status sosioekonomi menengah tertinggi
yaitu 86 orang. Jumlah status sosial ekonomi rendah pada pasien eklamsia ada 6
kasus; status sosioekonomi menengah 4 kasus dan hanya 2 kasus pasien eklamsia
dengan status sosial ekonomi tinggi.

Tabel 4. Distribusi Faktor Resiko Pada Preeklamsia dan Eklamsia


Karakteristik Frekuensi Presentasi
Preeklamsia (n=128)
Tampa Faktor Resiko 96 75%
Diabetes Mellitus 3 2,3%
Hipertensi Kronik 11 8,6%
Sering Hamil 3 2,3%
Usia >40 Tahun 2 1,6%
Riwayat Preeklamsia 13 10,2%
Eklamsia (n=12)
Tanpa Faktor Resiko 10 83,4%
Riwayat Preeklamsia 1 8,3%
Hipertensi Kronik 1 8,3%
Tabel 4. Distribusi Status Sosial Ekonomi Pada Preeklamsia dan Eklamsia
Karakteristik Frekuensi Presentasi
Preeklamsia (n=128)
Rendah 26 20,3%
Menengah 86 67,2%
Tinggi 16 12,5%
Eklamsia (n=12)
Rendah 6 50%
Menengah 4 33,4%
Tinggi 2 16,6%

DISKUSI

Usia Ibu

Berdasarkan usia ibu hamil, pada umur 20-35 tahun merupakan jumlah kasus
terbanyak di Indonesia yang menderita preeklampsia dan eklampsia dengan jumlah
86 orang untuk preeklamsia dan 10 orang yang menderita eklamsia. Sebuah
penelitian mengenai preeklamsia dan eklampsia yang dilakukan oleh Palupi &
Indawati (2014) di Jawa Timur, pada 373 kasus yang diteliti paling tinggi didapatkan
pada usia 20-35 tahun. Studi lain dilakukan oleh Djannah & Arianti (2010) di RS
PKU Muhhamdiah Yogyakarta menunjukkan bahwa usia 20-35 tahun yang tertinggi
mengalami preeklamsia dan eklamsia dengan 118 kasus.3 Selain itu, penelitian case
control yang dilakukan oleh Astuti (2015) pada 40 kasus preeklamsia juga
menunjukkan bahwa usia 20-35 tahun yang paling tinggi dengan presentasi 55% dari
seluruh kasus preeklamsia.12 Penelitian lain yang dilakukan oleh Thornton et al.
(2008) tentang kejadian preeklamsia dan eklampsia dan terkait dengan kematian ibu
di Australia pada 22.298 pasien preeklamsia dan 529 pasien eklampsia, ditemukan
bahwa usia rata-rata preeklamsia adalah 29,5 tahun. Hasil ini mirip dengan yang
ditemukan peneliti.13 Selanjutnya, sebuah penelitian oleh Poonyth et al. (2003)
meningkatnya angka kematian ibu yang berhubungan dengan epidemiologi
preeklampsia di Pulau Mauritius dengan 862 subyek penelitian, ditemukan bahwa
kejadian preeklamsia meningkat dari usia 25-29 tahun dan mencapai puncak pada
usia 30-34 tahun. Penemuan ini berbeda dari laporan peneliti.14

Menurut tinjauan epidemiologi preeklampsia yang dilakukan oleh Trogstad et


al. (2011), itu menyebutkan bahwa usia ibu yang ekstreme untuk faktor risiko
terjadinya preeklampsia yaiutu wanita yang berusia 40 tahun, dimana 2 kali lebih
berisiko terkena preeklamsia dibandingkan wanita yang lebih muda. Namun, usia
yang lebih muda tidak ada hubungannya dalam meningkatkan risiko terjadinya
preeklamsia. Risiko terkena preeklamsia mencapai 30% saat wanita hamil usia 34
tahun ke atas. Dalam studi ini, juga menunjukan bahwa preeklampsia dan eklamsia
terjadi pada usia produktif 20-35 tahun. Hal ini mungkin terpengaruh oleh jumlah
wanita hamil yang datang ke darurat unit yang biasanya adalah kelompok usia 20-35
tahun dan 71% yang dapat mempengaruhi hasil statistik dalam kelompok usia.15

Dari tabel, peneliti juga menemukan bahwa tingkat usia tertentu untuk ibu
hamil <20 tahun lebih tinggi dari 20-35 tahun karena ibu hamil yang usianya <20
tahun adalah pernikahan yang pertama dan kehamilan yang pertama kalinya yang bisa
dianggap sebagai primigravida (hasil konsepsis dari sperma pria dan ovum wanita).
Teori intoleransi imunologi dapat menjelaskannya. Di wanita normal, tubuh mereka
tidak akan menolak hasil konsepsis karena HLA-G. Namun, pada wanita
preeklampsia, tingkat HLA-G diturunkan dan zigot dianggap sebagai asing tubuh. Ini
mengganggu invasi trofoblas ke dalam desidua dan mengganggu pelebaran dari arteri
spiralis yang menyebabkan tekanan darah tinggi dan menyebabkan preeklampsia.16

Usia > 35 tahun juga merupakan yang terbanyak didapatkan karena salah satu
faktor penyebab preeklamsia adalah usia tua , riwayat preeklamsia dan hipertensi
kronis. Wanita usia >35 tahun dengan hipertensi kronis yang mana menyebabkan
lapisan otot dekat arteri spiralis akan menjadi kaku dan menyebabkan vasokonstriksi
dari lumen arteri spiralis. Ini dapat menyebabkan terjadinya kegagalan remodeling
arteri spiralis. Aliran darah ke uteroplasenta akan menurun dan menyebabkan
hipoksia dan iskemia plasenta.17

Gravid dan Usia Kehamilan

Dari data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, kami menemukan bahwa
proporsi primigravida yang mengalami preeklampsia dan eklamsia lebih tinggi
dibandingkan pada secundigravida dan multigravida yang 39,4% kasus. Sebuah studi
oleh Indriani (2012) mengenai analisis faktor risiko untuk preeklamsia pasien di
rumah sakit Kardinah yang melibatkan 80 subjek menemukan bahwa proporsi pasien
preeklamsia dari usia 20-35 tahun yaitu 53%, dan itu juga menjelaskan proporsi usia
kehamilan >37 minggu yaitu 66,8%. Hasil yang diperoleh oleh kedua peneliti ini
adalah sama.18 Penelitian lain dilakukan oleh Djannah & Arianti (2010) pada pasien
preeklampsia dan eklamsia di Rumah sakit PKU Muhhamdiah Yogyakarta
melibatkan 118 kasus menemukan bahwa proporsi primigravida dominan yaitu
69,5% dan memiliki hasil yang sama dengan peneliti.3 Selanjutnya, sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Wuryandari (2012) tentang hubungan faktor resiko dengan
insiden preeklamsi di rumah sakit Ratte Mattaher Jambi yang menggunakan 886
kasus, proporsi primigravida pada pasien preeklampsia lebih dominan yang mana
adalah 47% dan ada korelasi antara primigravida dan preeklampsia dengan nilai p =
0,000.19 Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Boghossian dkk. (2014) faktor risiko
antara terjadinya kekambuhan dan insiden preeklamsia dengan menggunakan 26613
subjek, ditemukan bahwa 1137 subjek mengalami preeklamsia dalam kehamilan
pertama mereka dengan proporsi 5%. Kemudian, 341 subjek mengalami preeklamsia
dalam kehamilan kedua mereka dan memiliki proporsi 1,2% sementara 155 subjek
mengalami berulang preeklampsia dengan proporsi 0,05%. 20
Primigravida memiliki risiko lebih tinggi mengalami preeklampsia yang dapat
dijelaskan oleh faktor angiogenik. Selama primigravida, tingkat sF1T-1 lebih tinggi
dibandingkan dengan multipara, sF1T-1 adalah penghambat plasenta dan penghambat
faktor pertumbuhan endotel vascular yang dihasilkan dari disfungsi endotel. Semakin
tinggi sF1T-1 akan mengganggu plasenta dan menyebabkan hipertensi dan
menyebabkan preeklampsia.21

Indeks Massa Tubuh dan Status Gizi

Berdasarkan hasil BMI, menunjukkan bahwa eklamsia dan preeklamsia lebih


besar dalam kategori berat badan berlebih dengan proporsi 50% dan 47,6%.
Penelitian oleh Warouw, Suparman & Wagey (2016) pada karakteristik pasien
preeklamsia di rumah sakit Kandou Manado dengan menggunakan 210 kasus, itu
menemukan bahwa pasien preeklamsia dominan kategori BMI berat badan berlebih
dan obesitas dengan proporsi 31,6% dan 46,6%.22 Temuan ini hampir sama dengan
penelitian yang dilakukan oleh Andriani & Lipoeto (2013) tentang hubungan antara
BMI dan preeklamsia yang melibatkan 46 kasus menunjukkan bahwa kelebihan berat
badan adalah yang tertinggi dengan proporsi 45% dan ada yang kaitannya hubungan
antara BMI dan preeklampsia. Hasil yang diapatkan sama dengan peneliti.23

Pada status gizi pasien preeklamsia dan eklamsia didapatkan lebih banyak
pada gizi berlebih dengan proporsi 72,3% preeklamsia dan 83,4% eklamsia. Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Rozikhan (2007) di RS Dr. Soewondo Kendal dengan
menggunakan 200 kasus, itu menemukan bahwa proporsi kelebihan gizi lebih sedikit
bandingkan status gizi normal. Ini merupakan hal yang kontras dari hasil yang
diperoleh oleh peneliti. Namun, hasil penelitian ini menemukan bahwa risiko terkena
preeklamsia dan eklamsia meningkat 1,55 kali pada seseorang yang overnutrisi.
Penelitian lain oleh Bodnar et al. (2005) tentang risiko preeklampsia dengan
peningkatan BMI dengan 1179 subyek menemukan bahwa kejadian preeklampsia
cenderung lebih tinggi pada kelebihan berat badan dan kelompok obesitas
dibandingkan dengan berat badan kurang dan normal yang datanya berat badan
kurang (3,4%), normal (3,5%), kelebihan berat badan (8,0%) dan obesitas (6,4%).25
Selanjutnya, studi lain oleh Boghossian dan kawan-kawan. (2014) menemukan
bahwa obesitas kelas II / III dapat meningkat risiko preeklampsia sebesar 2,1 kali.20
Peningkatan di BMI dikaitkan dengan peningkatan risiko preeklamsia. Hal ini terkait
dengan obesitas yang memperkuat respon inflamasi dalam tubuh kita dan mediator
proinflamasi seperti IL-6 dan TNF-α akan menyebabkan terjadinya preeklamsia pada
kehamilan.15

Faktor Resiko

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa sebagian besar preeklampsia


dan eklamsia terjadi tanpa faktor risiko dengan proporsi 75% dan 83,4%. Faktor
risiko lain untuk preeklamsia dan eklampsia adalah riwayat preeklampsia sebelumnya
dengan proporsi 10,1% sementara 8,3% pada kasus eklamsia. Sebuah studi oleh Elok
dan Hendrati (2014) tentang epidemiologi preeklampsia dan eklamsia di Rumah Sakit
Dr. Soewandhi Surabaya yang melibatkan 70 kasus menunjukkan bahwa proporsi
tanpa faktor risiko preeklamsia dan eklampsia adalah 74% dan riwayat preeklampsia
sebelumnya dengan proporsi 18%. Temuan ini sama dengan peneliti.26 Selanjutnya,
sebuah studi oleh Djannah dan Arianti (2010) juga menemukan hal yang sama
dengan kejadian preeklampsia tanpa faktor risiko memiliki proporsi 83% dan hampir
mirip dengan temuan peneliti. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Wuryandari
(2012) dengan menggunakan 886 kasus di rumah sakit Ratte Mattaher Jambi, juga
menunjukkan hasil yang serupa dengan peneliti dengan insidens preeklamsia tanpa
faktor risiko memiliki proporsi 81,5% .19 Riwayat preeklamsia sebelumnya
cenderung meningkatkan 7x risiko terjadinya preeklamsia berulang selama
kehamilan. Wanita dengan preeklamsia berulang cenderung mengalami preeklampsia
berat.15
Status Sosial Ekonomi

Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa mayoritas kasus preeklamsia


adalah status sosioekonomi menengah dengan proporsi 67% sedangkan mayoritas
kasus eklampsia adalah status sosial ekonomi rendah dengan proporsi 50%. Sebuah
penelitian oleh Rozikhan (2007) menunjukkan status sosioekonomi menengah di
Indonesia menyebabkan preeklampsia lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain
dengan proporsi 69% kasus.24 Selain itu, studi lain yang dilakukan oleh Makbruri
(2015) preeklamsia merupakan faktor risiko untuk berat badan lahir bayi rendah di
Palembang dengan menggunakan 278 kasus; menemukan status sosial ekonomi
menengah memiliki proporsi 98% dalam kasus preeklamsia. Temuan ini sama dengan
yang didapatkan peneliti.27

KETERBATASAN

Keterbatasan penelitian ini dilakukan sebagai studi deskriptif yang hanya


mempelajari faktor risiko dan karakteristik pasien preeklamsia dan eklampsia dengan
tidak melibatkan lebih lanjut penelitian tentang hubungan antara masing-masing
variabel. Selanjutnya, penting untuk tidak menyebutkan bahwa data yang
dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diambil dari rekam
medis di RSUP Sanglah. Juga data untuk status sosial ekonomi didasarkan pada
tingkat pendidikan, pekerjaan, alamat, frekuensi perawatan antenatal dan biaya rumah
sakit pasien yang diasumsikan oleh peneliti.

MASALAH

Peneliti menganggap bahwa tidak ada masalah dalam penelitian ini.

KESIMPULAN

Dalam penelitian ini, usia 20-35 tahun pada kasus preeklampsia dan eklamsia
adalah yang tertinggi. Primigravida dengan usia kehamilan >37 minggu adalah paling
tinggi. Kegemukan adalah yang paling banyak didapatkan dalam kategori BMI
sementara overnutrisi memiliki jumlah kasus terbanyak. Mayoritas kasus
preeklampsia dan eklampsia terjadi tanpa faktor risiko. Status sosioekonomi
menengah dominan dalam status sosial ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hutcheon, J.A., Lisonkova, S., and Joseph, K.S. Epidemiology of Pre-


eclampsia and the Other Hypertensive Disorders of Pregnancy. Best Practice
& Research Clinical Obstetrics and Gynaecology 2011; 25(4): 391–403
2. Shamsi U., Saleem S., and Nishter N. Epidemiology and Risk Factors of
Preeclampsia; an Overview of Observational Studies. Al Ameen J Med Sci
2013; 6(4): 292-300
3. Djannah, S.N., and Arianti, I.S. “Gambaran Epidemiologi Kejadian
Preeklampsia/Eklampsia di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun
2007-2009”. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan 2010; 13(4): 378–385.
4. Sonia G., Yolanda F., and Mirani P. Angka Kejadian Persalinan Preterm pada
Ibu dengan Preeklampsia Berat dan Eklampsia di RSUP Dr . Mohammad
Hoesin Palembang Tahun 2013. MKS 2015; 47(1): 31–34.
5. Callahan, T.L., and Caughey, A.B. Hypertension and Pregnancy. In: Callahan
T.L., Caughey A.B., eds. Blueprints in Obstetrics and Gynecology. 6th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2013: 111-119.
6. Wei, S., Audibert, F., Hidiroglou, N., Sarafin, K., Julien, P., Wu, Y., Luo, Z.,
and Fraser, W. Longitudinal Vitamin D Status in Pregnancy and The Risk of
Pre-eclampsia. BJOG 2012; 119(7): 832–839.
7. Shand A., Nassar N., Von Dadelszen P., Innis S., and Green T. Maternal
Vitamin D Status in Pregnancy and Adverse Pregnancy Outcomes in A Group
at High Risk For Pre-eclampsia. BJOG 2010;117(13): 1593–1598.
8. Powe, C.E., Seely, E.W., Rana, S., Bhan, I., Ecker, J., Karumanchi, S.A., and
Thadhani, R. First Trimester Vitamin D, Vitamin D Binding Protein, and
Subsequent Preeclampsia. Hypertension 2010; 56(4): 758–763.
9. Ahmadi, S.A.Y., Shahsavar, F., and Hasanvand, A. Controversies on
Preeclampsia through the lens of Reproductive Immunology: A Systematic
Review. Int J Integr Med Sci 2016; 3(2): 225–228.
10. Rossi, A.C., and Mullin, P.M. Prevention of Pre-eclampsia With Low-dose
Aspirin or Vitamins C and E in Women at High or Low Risk: A Systematic
Review With MetaAnalysis. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2011; 158(1):
9–16.
11. Bujold, E. et al. Prevention of Preeclampsia and Intrauterine Growth
Restriction With Aspirin Started in Early Pregnancy. Obstet Gynecol 2010;
116(2, Part 1): 402–414
12. Astuti S.F. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Preeklampsia
Kehamilan di Wilayah Kerja Puskesmaspamulang Kota Tangerang Selatan
Tahun 2014- 2015; 2015.
13. Thornton, C., Dahlen, H., Korda, A., and Hennessy, A. The Incidence of
Preeclampsia and Eclampsia and associated Maternal Mortality in Australia
from Population-Linked Datasets: 2000-2008. Am J Obstet Gynecol 2013;
208(6): 476.e1-5.
14. Poonyth, L., Sobhee, R., and Soomaree, R. Epidemiology of Preeclampsia in
Mauritius Island. Journal of Reproductive Immunology 2003; 59: 101–109.
15. Trogstad, L., Magnus, P., and Stoltenberg, C. Pre-eclampsia: Risk factors and
Causal Models. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and
Gynaecology 2011; 25(3): 329–342.
16. Angsar M.D. Hipertensi Dalam Kehamilan. In: Saifuddin A.B., Rachimhadhi
T., Wiknjosastro G.H., eds. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta:
Pt Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2016: 530-561.
17. Sánchez-Aranguren L.C., Prada C.E., Riaño-Medina C.E., and Lopez M.
Endothelial Dysfunction and Preeclampsia: Role of Oxidative Stress. Front
Physiol 2014; 5:372.
18. Indriani, N. Analisis Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Preklampsia/Eklampsia pada Ibu Bersalin di Rumah Sakit Umum Daerah
Kardinal Kota Tegal Tahun 2011; 2012.
19. Wuryandari, A.G. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pre-
Eklampsia Di RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2012. Jurnal Penelitian
Universitas Jambi Seri Sains 2012; 15(1): 17-26.
20. Boghossian, N.S., Yeung, E., Mendola, P., Hinkle, S.N., Laughon, S.K.,
Zhang, C., and Albert, P.S. Risk Factors Differ between Recurrent and Incident
Preeclampsia: A Hospital-based Cohort Study. Annals of Epidemiology
2014; 24(12): 871-7e3
21. Maynard, S.E., and Karumanchi, S.A., Angiogenic Factors and Preeclampsia.
Semin Nephrol 2011; 31(1): 33–46.
22. Warouw P.C., Suparman E., and Wagey F.W. Karakteristik Preeklampsia di
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Jurnal e-Clinic 2016; 4(1): 375-379
23. Andriani, C., Lipoeto, N.I., and Utama, B.I. Hubungan Indeks Massa Tubuh
dengan Kejadian Preeklampsia di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas 2013; 5: 173–178.
24. Rozikhan. Faktor Faktor Risiko Terjadinya Preeklampsia Berat Di Rumah
Sakit Dr. H. Soewondo Kendal. Undip E-Journal System Portal; 2007.
25. Roberts, J.M., Bodnar, L.M., Patrick, T.E., and Powers, R.W. The Role of
Obesity in Preeclampsia. Pregnancy Hypertens. Pregnancy Hypertension: An
International Journal of Women’s Cardiovascular Health 2011; 1(1): 6–16.
26. Elok, F., and Hendrati, L.Y. Hubungan Karakteristik Ibu, ANC dan Kepatuhan
Perawatan Ibu Hamil dengan Terjadinya Preeklampsia. Jurnal Berkala
Epidemiologi 2014; 2(2): 216–226.
27. Makbruri. Faktor Risiko yang Memengaruhi Berat Badan Lahir Rendah dan
Sangat Rendah di Kecamatan Seberang Ulu II Kota Palembang Periode 1
Januari-31 Desember 2008. Jurnal Gradien 2015; 11(1): 1079–1084.

Anda mungkin juga menyukai