Anda di halaman 1dari 16

Kamis, 21 Juni 2012

"The Nine Golden Habbits" menuju Pribadi Muslim Yang Sebenarnya dengan

Oleh Dr.H. Agus Sukaca, M.Kes.


(Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah)

Usaha untuk mewujudkan diri menjadi Pribadi Muslim yang sebenar-benarnya tidak
dapat dilakukan dengan cara instan. Dalam usaha ini, seseorang harus melakukan upaya-
upaya pembenahan diri secara terus-menerus. Karena itu, prosesnya sangatlah panjang.
Salah satu faktor penting dalam mewujudkan Pribadi Muslim yang sebenar-benarnya
adalah keberhasilan seseorang dalam membiasakan amalan-amalan yang melekat pada
dirinya sehingga hal itu menjadi ciri-ciri atau identitas pribadinya.
Hanya saja, dengan tanpa disadari, kita telah banyak melewatkan waktu-waktu
berharga untuk menjalani kebiasaan-kebiasaan positif setiap hari. Padahal, kebiasaan
merupakan aktivitas yang dilakukan berulang-ulang sehingga pusat kendalinya bergeser
dari otak sadar ke bawah sadar. Aktivitas yang berada dalam kendali otak sadar
memerlukan energi yang lebih besar. Sedangkan, aktivitas yang berada dalam kendali otak
bawah sadar lebih ringan melakukannya dan energi yang diperlukannya juga lebih sedikit.
Bagaimanapun, kepribadian dan kualitas diri seseorang dibentuk oleh kebiasaan-
kebiasaan yang dilakukannya. Apabila kebiasaan-kebiasaan seseorang itu terbentuk oleh
lingkungan di mana ia berada, maka secara otomatis ia membentuk dirinya sebagaimana
kebanyakan orang-orang yang ada di lingkungannya. Tentu sangatlah beruntung apabila ia
berada di tengah-tengah orang-orang shaleh. Sebab, ia dapat memiliki kebiasaan-kebiasaan
yang menjadi ciri-ciri orang shaleh. Namun, apabila ia berada di lingkungan orang-orang
yang kurang peduli kepada tuntunan agama, maka kebiasaan yang akan terbangun tentu
juga akan jauh dari tuntunan agama.
Perlu diketahui bahwa situasi dan kondisi dunia tempat kita tinggal sekarang ini jauh
berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Perkembangan teknologi informasi dan
transportasi telah merubah dunia menjadi semakin terasa kecil. Sekat-sekat geografis telah
mencair. Dunia semakin tak berbatas, datar dan tidak bulat lagi. Lingkungan pergaulan
semakin majemuk. Adanya facebook, twitter dan teknologi internet lainnya telah
menjadikan lingkungan pergaulan mampu menjangkau orang di mana saja dan kapan saja.
Boleh jadi, seseorang telah bersahabat dengan orang yang tinggal dengan jarak ribuan
kilometer. Mereka dapat berkomunikasi secara efektif, tetapi tidak mengenal siapa yang
tinggal di sebelah rumahnya masing-masing.
Kemajemukan lingkungan pergaulan dengan latar belakang yang berbeda-beda di
satu sisi bisa memperluas wawasan seseorang, tetapi di sisi lain bisa menimbulkan bahaya.
Oleh karena itu, kita harus cerdas memilih lingkungan pergaulan yang sesuai dengan
keyakinan dan cita-cita kita. Kalau bercita-cita menjadi orang sukses, kita harus mencari
teman-teman yang sukses. Apabila ingin pintar, bertemanlah dengan orang-orang pintar.
Apabila ingin berani, bergaulah dengan pemberani. Apabila ingin jujur, bergaulah dengan
orang-orang jujur. Salah satu cara untuk melihat bagaimana keadaan seseorang dapat
dilakukan dengan melihat siapa saja yang menjadi teman-teman dekatnya.
Pilihan-pilihan tersebut tentu berada di tangan kita masing-masing. Kita tidak boleh
menyerahkan diri untuk mengikuti kebiasaan orang-orang kebanyakan. Adalah suatu
“kegilaan” seseorang yang mengharapkan sukses tetapi melakukan hal-hal seperti yang
dilakukan orang kebanyakan. Cita-cita sukses haruslah diikuti dengan melakukan
kebiasaan-kebiasaan yang terbukti mampu membawa kesuksesan seperti yang telah
dipraktikkan oleh orang-orang sukses lainnya. Kalau mau menjadi orang pintar, kita harus
berkonsultasi dengan orang-orang yang pintar dan melakukan kebiasaan-kebiasaan
mereka. Pastinya, mereka terbiasa belajar dan membaca! Kalau kita mau jadi pengusaha
sukses, berkonsultasinya dengan pengusaha sukses, mengikuti petunjuk dan melakukan
kebiasaan-kebiasaan mereka. Kunci untuk mengetahui apa saja kebiasaan-kebiasaan
sukses yang mereka lakukan, kita bisa berkonsultasi dengannya!
Lantas, bagaimana dengan cita-cita seseorang yang ingin menjadi penghuni surga?
Syaratnya, ketika hidup di dunia kita mesti berjuang dan berproses menjadi “Pribadi
Muslim yang sebenar-benarnya”. Idealnya, seperti pribadi Rasulullah Muhammad SAW.
Untuk itu, kita harus berkonsultasi dengan Beliau dan melakukan kebiasaan-kebiasaan
yang telah dicontohkan. Persoalannya, kebiasaan-kebiasaan Rasulullah amatlah banyak.
Lantas, dari mana kita mulai?
Sejalan dengan pertanyaan tersebut, terdapat pelajaran bagus dari seorang guru,
sebagaimana dikemukakan John McGrath dalam bukunya “You Don’t Have to be Born
Brilliant”. Seorang guru mengeluarkan dari bawah bangkunya sebuah gelas kimia yang
tingginya 30 cm. Ia juga mengeluarkan beberapa batu besar berukuran kepalan tangan.
Dengan hati-hati, ia masukkan satu persatu batu-batu tersebut sampai 10 buah. Ketika
memasukkan batu yang ke 11, gelas kimia tersebut tidak mampu memuatnya dan batunya
bergulir jatuh. Sang guru kemudian memandang murid-muridnya dan bertanya: “apakah
menurut kalian gelas kimia ini sudah penuh?” Murid-murid pun mengangguk. Sebab,
mereka melihat tidak ada celah lagi untuk memasukkan batu. Kemudian, guru tersebut
mengeluarkan ember berisi batu-batu kerikil seukuran kacang polong. Pelan-pelan ia tuang
kerikil tersebut ke dalam gelas kimia, sampai tidak ada lagi ruangan tersisa di antara batu-
batu besar.
Setelah itu, pertanyaan yang sama diajukan sang guru kepada murid-muridnya dan
mereka mengangguk. Setelah mendengar jawaban itu, sang guru mengeluarkan ember
berisi pasir. Ia menuang pasir di antara kerikil dan batu-batu besar sampai ruangan yang
tersisa menjadi penuh. Para murid heran akan daya tampung gelas kimia tersebut dan
bingung bagaimana menjawab pertanyaan guru mereka selanjutnya: “apakah gelas kimia
ini sekarang sudah penuh?” Sebelum mereka mampu menjawab, sebuah botol berisi air
dikeluarkan dari bawah bangku dan dituangkan ke dalam gelas kimia di antara batu, kerikil
dan pasir. Sang guru tersenyum dan berkata bahwa demonstrasinya telah usai. “Sekarang
beritahu saya, pelajaran apa yang bisa dipetik dari latihan ini?”.
Seorang murid dengan antusias menjawab: “guru, saya belajar bahwa seringkali kita
bisa memasukkan jauh lebih banyak daripada yang kita kira sebelumnya”. “Jawaban bagus!
Tetapi ada pelajaran lain yang saya ingin kalian temukan!” Para murid berpikir keras,
sampai akhirnya ada seorang yang menjawab: “guru, pelajaran yang bisa saya ambil adalah
jika kita tidak menaruh batu-batu besarnya terlebih dahulu, kita takkan mampu
memasukkan benda lainnya. Jadi pelajaran buat saya adalah menaruh batu besarnya
dahulu”. Mendengar jawaban itu, sang guru tersenyum dengan perasaan sangat bangga.
“Kalian pintar. Memang itulah pelajaran yang ingin saya berikan”.
Melihat pelajaran tersebut di atas, lantas kebiasaan-kebiasaan apa saja yang menjadi
“batu-batu besar” dalam proses menjadi Pribadi Muslim yang sebenar-benarnya? Terkait
dengan hal ini, kami tawarkan sembilan (9) kebiasaan menjadi “batu-batu besar” kita
dalam mewujudkan diri menjadi Pribadi Muslim yang sebenar-benarnya. Kami sering
menyebut sembilan (9) kebiasaan ini sebagai “The Nine Golden Habbits”.
Kesembilan kebiasaan tersebut adalah:
1. Kebiasaan Shalat;
(a) Shalat Wajib di awal waktu dan berjamaah diiringi shalat sunnah Rawatib;
(b) Shalat Tahajud (lail) di setiap sepertiga malam terakhir; dan
(c) Shalat Dhuha setiap pagi.

2. Kebiasaan Puasa,
Disamping melaksanakan puasa Ramadhan juga membiasakan berpuasa Sunnah.

3. Kebiasaan berzakat, infaq dan shadaqah (ZIS),


Senantiasa mengeluarkan >2,5% dari total pendapatan untuk ZIS.

4. Kebiasaan membaca al-Qur’an


Senantiasa membaca al-Qur’an pada waktu-waktu tertentu, misalnya: sehabis maghrib,
menjelang subuh, ba’da shubuh dan lain-lain serta mengkhatamkannya minimal 1 kali
dalam sebulan.
5. Kebiasaan membaca buku >1 jam setiap hari.

6. Kebiasaan beradab Islami dalam setiap aktivitas yang dilakukan.


7.Kebiasaan mengaji dan berada dalam komunitas orang shaleh >1 kali seminggu.

8. Kebiasaan berkata baik, beramal shaleh dan memberikan kemanfaatan bagi orang
lain.

9. Kebiasaan berpikir positif dan murah senyum.

Diposkan oleh Muhammadiyah di 07:38 0 komentar


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Makna BERMUHAMMADIYAH

Transkrip Pengajian Alm. Ust KH.Suprapto Ibnu Juraimi

Mengenang K.H. S Ibnu Juraemi. Allahumma, inna ustadzuna Suprapto Ibnu Juraimi, fi
dzimmatika wa habli jiwarika, faqihi fitnatal qabri wa-adzabannar, wa anta ahlul wafa-i wal
haq, faghfirlahu warhamhu, innaka antal ghafurur rahim.

Dua pertanyaan Kyai Ahmad Dahlan; Muhammadiyah Urung Menjadi Partai Politik Tahun
1921, ada Sidang Hoofdbestuur Muhammadiyah (PP Muhammadiyah). Di situ para assabiqunal
awwalun Muhammadiyah berkumpul, para pendiri dan generasi pertama pimpinan dan aktivis
Muhammadiyah. Yang menarik, dalam pertemuan itu ada tokoh yang tidak pernah kita kenal
sebagai orang atau aktivis Muhammadiyah. Yang menarik adalah beliau bisa tampil meyakinkan
dalam forum para pembesar, pimpinan Muhammadiyah generasi pertama berkumpul. Orang itu
adalah Haji Agus Salim.
Haji Agus Salim punya gagasan untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik. Kalau
pada masa Orde Baru Muhammadiyah disebut orsospol, dan beberapa pimpinan Muhammadiyah
menjadi anggota Dewan. Ternyata, menjelang akhir hayat Kiyai Haji Ahmad Dahlan, sudah
muncul juga “ambisi” menjadikan Muhammadiyah sebagai parpol. Sidang dipimpin oleh Kiyai
Ahmad Dahlan. Diketahui, Haji Agus Salim adalah seorang jurnalis, politisi dan diplomat yang
hebat. Tidak ada yang bisa mengalahkannya dalam berdebat. Dalam sidang Hoofdbestuur,
argumentasi yang disampaikan Haji Agus Salim membuat seluruh yang hadir terpukau,
terkesima dan setuju untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik. Kyai Dahlan,
karena menjadi pimpinan sidang, tidak berpendapat. Setelah Kyai Dahlan melihat bahwa
nampaknya yang hadir sepakat dengan gagasan Haji Agus Salim, Kyai Haji Ahmad Dahlan yang
memimpin sidang dengan duduk, lalu berdiri sambil memukul meja. Saya tidak sempat bertanya
kepada guru saya, Kiyai Hadjid, apakah Kyai Dahlan memukul mejanya keras apa tidak.
Kyai Ahmad Dahlan mengajukan dua pertanyaan yang sangat sederhana dan sangat mudah. Dan
kalau dijawab, sebenarnya juga gampang. Pertama, apa saudara-saudara tahu betul apa agama
Islam itu? Kedua, apa saudara berani beragama Islam? Tidak ada satu pun dari yang hadir yang
sanggup menjawab pertanyaan itu, termasuk Haji Agus Salim sendiri. Bukannya tidak bisa,
sebab mana mungkin ditanya soal Islam begitu saja tidak tahu. Tapi, ketika ditanya “Beranikah
kamu beragama Islam?”. Mereka tahu persis yang ditanyakan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu. Pak
Hadjid muda, bercerita kepada saya, “Bukan main tulusnya pertanyaan Kiyai Haji Ahmad
Dahlan itu”. Sebenarnya pertanyaan itu sederhana, tapi tidak ada yang sanggup menjawab.
Akhirnya gagasan Haji Agus Salim tidak kesampaian. Muhammadiyah urung jadi partai politik.
Dua pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan itu, sekarang baru terjawab satu. Yaitu pada waktu
Muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya tahun 1978. Jawaban itu berupa keputusan tentang
Ideologi Islam, Pokok-Pokok Pikiran tentang Dienul Islam, yang konsepnya dari Bapak
H.Djindar Tamimy. Jadi, setelah kira-kira 56 tahun baru terjawab satu pertanyaan. Sedangkan
pertanyaan yang kedua, sampai sekarang ini belum ada yang berani menjawab. Tahun 1960,
kebetulan saya masih sering mendengar, ada ungkapan Kyai Dahlan yang menarik, “Durung
Islam temenan, nek durung wani mbeset kuliti dewe” (Belum Islam sungguh-sungguh, kalau
belum berani mengelupas kulitnya sendiri).
Yang akan saya ungkap di sini, kaitannya dengan pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan tadi, apa
Islam itu, bisa dibuka pada Pelajaran Kiyai Haji Ahmad Dahlan. Bagi KHR Hadjid, Kyai Dahlan
dalam mengungkap ayat itu menarik sekali. Ayat yang diungkap adalah ayat yang sudah populer.
Bahkan menjadi bacaan harian mereka yang membaca doa iftitah shalat menggunakan hadis
riwayat Imam Muslim (Wajjahtu wajhiya….).Buku itu mengungkap dan mengajarkan
bagaimana Islam itu. Ternyata, setelah sekian tahun bermuhammadiyah Kyai Dahlan baru
sanggup mengaplikasikan dan merealisir ajaran Alquran tidak lebih dari 50 ayat. Dua ayat
diantaranya ada dalam surat Al An’am. Qul inna shalati wa-nusuqi wa mahyaaya, wa mamaati
lillaahi rabbil alamin. Laa syarikalah wa bidzalika umirtu.
Dalam salah satu kitab tafsir diungkap bahwa ayat ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim AS. Kata-
kata dalam ayat Alquran yang menyebut aslama-yuslimu-aslim, muncul dari Nabi Ibrahim AS.
Jadi, awwalul muslimin itu Ibrahim, sedang wa ana minal muslimin itu Rasulullah Saw. Maka di
dalam doa Iftitah yang diucapkan dalam bacaan shalat tadi boleh dipilih antara awwalul
muslimin atau wa ana minal muslimin. Qul, katakanlah (Muhammad), inna shalati, sungguh
shalatku; wa nusuqi, dan pengorbananku; wa mahyaya, dan kiprah hidupku; wa mamati, dan
tujuan matiku; lillah, hanya untuk dan karena Allah; raabil alamin, pengatur alam semesta. Laa
syariikalah, tidak ada sekutu bagi-Nya; wa bidzaalika umirtu, dan dengan itu aku diperintah; wa
ana awwalul muslimin, dan aku orang yang pertama, pasrah, setia tunduk kepada Allah
Subhanahu wataala. Amin ya rabbal alamin. Itu makna yang populer, kecuali kata nusuq yang
saya terjemahkan menjadi pengorbananku. Pada hampir semua terje-mahan, nusuq diartikan
ibadah. Mengenai tafsirnya, kebetulan tidak sempat saya catat tapi saya punya kitabnya, nusuq
bukan berarti ibadah. Yang berarti ibadah adalah nasaqun. Nusuq artinya menyembelih kurban.
Maka saya artikan, nusuqi adalah pengorbananku. Jadi, “shalatku, pengorbananku, hidup matiku,
lillahi rabbil alamin”.
Kyai Bakir Sholeh, seorang ulama besar Jogja yang dikenal sebagai kamus berjalan, memaknai
dengan liman kana yarju…… “Sungguh, shalatku, pengorbananku, hidup dan matiku hanya
untuk Allah”. Dalam terjemah Miftah Farid masih kelihatan biasa. Tetapi untuk terjemahan ini
orang bisa tertegun, “Hanya karena untuk Allah rabbil alamin.” Laa syarikalah, tidak ada sekutu
bagi-Nya. Pengertian ini oleh Kyai R.H. Hadjid, yang telah mendengar pelajarannya langsung
dari Kiyai Dahlan dengan terjemahan tafsir “itu tidak untuk selain Allah”. Karena syarikat
bermakna sekutu. Sekutu itu apa saja bisa dianggap sekutu. Lalu ayat tadi bermakna apa?
“Shalatku, pengorbananku, hidup dan matiku hanya untuk Allah pengatur alam semesta”. Laa
syarikalah, tidak ada sekutu selain Allah. “Aku diperintah untuk hidup dengan model cara yang
seperti itu. Tidak untuk maksud-maksud yang lain. Tidak untuk anak istriku. Tidak untuk orang
tuaku, juga tidak untuk bangsa dan tanah airku”. Tanah dan air itu kalau jadi satu namanya
blethokan. Hidupku tidak untuk itu. Pertanyaannya, lalu untuk apa? “Bela hakmu, perjuangkan
hakmu. Membela tanah air adalah sabilillah. Membela tanah air bukan karena kemauan tanah air,
tetapi karena Allah”. Di sini lalu maknanya, “berbuat baiklah kamu kepada orang tuamu”.
Bedanya dengan ihsan, tidak sekedar karena naluri, atau karena punya naluri berbakti kepada
orang tua, tetapi begitu lengkap. Sebab itu karena perintah Allah, dari kata “wa-ahsinuu,
…..birrul walidaini”. Jadi jelas sekarang ini. Lalu ditutup dengan “wa ana awwalul muslimin.
Oo.., ini to karepe (maksudnya) Islam itu. Islam, maksudnya, mendidik kita untuk hidup model
seperti itu. Tidak pakai tiru-tiru model yang lain.
Dalam setiap langkah selalu berusaha dan berkarya, tidak bisa yangnamanya hidup kecuali
semuanya dalam bentuk kepasrahan, niat yang tulus berbakti kepada Allah, apapun yang
dilakukan. Sebagaimana ayat yang populer, wamaa khalaqtul jinna wal-insaan illa liya’buduun.
Manusia ini hidup diciptakan oleh Allah, tidak lain, (satu kalimat yang dimulai dengan nafi, yang
di belakang ada illa itu, merupakan satu doktrin kepastian) hidup ini hanya untuk beribadah,
tidak lain. Maka, semua aktivitas hidup kita harus punya nilai dan nafas ibadah. Di situlah makna
hakekat dari Islam.
Dari ayat ini, beliau yang memang orang alim dan orang-orang generasi pertama, bisa
menangkap pertanyaan ini, walaupun tidak sanggup menjawab. Maaf, jika orang sudah bicara
politik, hampir bisa dipastikan yang dicari hanyalah kursi. Dulu, ketika sama-sama jadi
mubaligh, sama-sama aktif, masih bisa. Tapi, ketika sudah sampai pada soal kampanye, jangan
tanya. Disitulah letak bahayanya politik kalau tidak disinari oleh Islam. Sehingga, rasa-rasanya,
kita ini sepertinya tidak punya panutan, siapa politikus kita yang bisa membawa amanah Islam.
Rasanya jauh sekali dengan para pendahulu kita. Seperti Pak Muhammad Natsir, yang kalau mau
sidang ke DPR hanya naik becak, tidak mau dijemput mobil.
Pertama, Bermuhammadiyah adalah berislam.
Ungkapan ini memang cukup tandas.Masyarakat/umat Islam ketika itu di dalam berislam sudah
bukan main trampilnya. Seperti diungkap dalam sabda Nabi yang bernilai ramalan itu, “Akan
datang kepada kamu sekalian, suatu jaman dimana Alquran tidak kekal lagi, Islam tidak tegak
lagi kecuali hanya nama. Memang banyak orang mengaku dirinya muslim, tapi perilaku dan
tindakannya jauh sekali dari Islam. Masjid-masjidnya makmur, banyak jamaah, tapi sepi dari
kebaikan. Orang-orang yang paling dalam ilmu agamanya menjadi orang yang paling jahat di
kolong langit. Dari mereka keluar fitnah”. Tetapi fitnah itu kembali kepada orang-orang tadi.
Jika hal ini disebut oleh Rasulullah, ini yang jelas terjadinya sepeninggal Rasululah.
Rupanya, hampir 100 tahun yang lalu, fenomena ini terjadi, yakni di jaman sekitar hidup Kiyai
Haji Ahmad Dahlan. Bagaimana Alquran yang punya bobot yang luar biasa, kekuatan dahsyat,
lau anzalna haadzal qur’ana ala jabalin………min khasyatillah (Seandainya kami turunkan
Alquran kepada gunung, kamu akan tahu Muhammad, gunung itu akan menolak, tunduk, hancur
lumat karena takutnya kepada Allah. Itulah kekuatan dahsyat dari Alquran), tapi tidak diamalkan
lagi.
Sekarang ini, berapa juta kali Alquran dibaca setiap hari. Ratusan karya tafsir yang menjelaskan
dari kata maupun kalimat untuk menjelaskan ayat-ayat Alquran, berapa pula diangkat di dalam
seminar, simposium, diskusi, namun tetap juga sulit untuk mendapatkan pembaca Alquran itu
yang meneteskan air mata. Sudah susah kita menemui orang sesenggukan membaca Alquran.
Dan amat sukar kita dapati orang yang terisak-isak karena mendengarkan peringatan ayat-ayat
Alquran.
Tidak ada orang yang tersungkur karena mendengar ayat-ayat Alquran, kecuali tersungkurnya
karena sujud tilawah itu saja. Masih mending, kita masih mau setia mengikuti sunnah Nabi.
Setiap Jum’at Shubuh, Nabi selalu membaca surat As-Sajdah di rakaat pertama, dan surat Al-
Insan di rakaat kedua. Yang seperti ini sekarang di Jogja hampir tidak ada. Kita perlu mengelus
dada (prihatin) melihat hal ini. Dibaca saja tidak apalagi diamalkan.
Begitu pula, Islam hanya tinggal namanya. Secara minoritas, orang Indonesia, khususnya orang
Jawa, Islamnya cuma dalam tiga hal. Berislam ketika tetak (khitan), ketika menikah, dan saat
prosesi kematiannya. Kalau sudah ditetaki (dikhitan) sudah marem. Anakku wis diislami (anakku
sudah diislami), begitu batinnya. Kemudian kalau mau menikah, mereka sudah mantap
mengundang Pak Naib. Dan ketika meninggal mengundang ahli tahlil. Dengan ketiga hal itu,
sudah dianggap lengkap Islamnya.
Anehnya, diantara orang-orang yang beragamanya hanya tiga kali seumur hidup itu, malah ada
yang diangkat menjadi amirul haj Indonesia. Ini sungguh-sungguh pernah terjadi. Tidak hanya
cara berislamnya yang merusak tatanan Islam yang sebenarnya, bahkan dia juga termasuk
perusak dan pemecah belah ummat Islam. Sampai seperti ini yang terjadi di Indonesia yang
memang, katakanlah, sedikit atau banyak bersifat gado-gado. Ketika belum ada agama yang
masuk, orang Indonesia masih primitif, membakar kemenyan menjadi kebiasaan. Ketika datang
ajaran Hindu, diterima. Lalu ketika datang ajaran Budha, juga diterima, datang Islam juga
diterima, dan terakhir, Kristen juga diterima. Semuanya bergabung menjadi satu, Pancasila.
Inilah yang kita lihat di sekitar kita, wajah keberagamaan umat Islam. Masih lumayan, masih ada
sekelompok (besar) orang, yang beranggapan kalau sudah berhaji itu sudah lengkap Islamnya.
Hal ini bisa dilihat kalau, misalnya, ada satu orang berangkat haji, rombongan bis yang
mengantar bisa sampai tujuh buah, disebabkan oleh penghormatan kepada orang yang mau
berangkat haji yang demikian besarnya. Bahkan ketika mengantar sampai di Bandara pun
menangisnya bisa sampai sesenggukan.
Memang bagus dan elok bisa pergi berhaji. Tapi dengan beribadah haji itu belum tuntas
kewajibannya sebagai muslim. Sebenarnya ibadah haji masih dalam tataran pondasi. Buniyal
islamu ala khomsin…. Islam itu dibangun di atas lima perkara, yang kita kenal dengan rukun
Islam. Lima perkara itu adalah syahadat, shalat, puasa, zakat, dan berhaji, itu baru pondasi.
Untuk membangun Keluarga Sakinah memang harus lima perkara itu dulu yang ditata. Sebab,
ada orang yang berhaji berkali-kali, tapi ternyata keluarganya tidak juga kunjung menjadi
keluarga sakinah.
Nah, ini merupakan catatan penting untuk dakwah Muhammadiyah, bagaimana umat ini
dikenalkan dengan berislam yang sebenarnya. Saya tidak menyinggung lebih jauh lagi apa
kemudian pedomannya, pelatihannya, dan sebagainya, bukan sekarang saatnya untuk
mengungkap masalah ini. Kita bermuhammadiyah yang paling mendasar adalah berislam. Itulah
yang dituntutkan kepada kita. Bagaimana kita punya sikap hidup setia dan pasrah dengan tatanan
aturan hidup Islam. Termasuk yang dulu juga pernah diungkap Kyai Haji Ahmad Dahlan, saya
kurang tahu persis kalimat itu, hanya mendengar sepintas, “Hidup sepanjang kemauan Islam”.
Inilah semangat muhammadiyyin tempo dulu, bagaimana hidup ini dijalani menurut kemauan
Islam. Bukan menurut kemauan adat, bukan pula menurut kemauan nenek moyang ataupun
tradisi, tapi menurut kemauan Islam. Ini yang menjadi semboyan para pendahulu kita. Saya
hanya sempat mendengar-dengar pada awal tahun 1960. Inilah makna pertama dari
bermuhammadiyah itu.
Para pimpinan dan aktivis Muhammadiyah dituntut untuk tahu dan faham apa makna berislam
itu. Tahu dan faham, tidak boleh hanya tahu saja. Doa yang dituntunkan dari Alquran, Rabbi
zidni ilma war zuqni fahma. Pertama, tentang ilmunya sendiri, kuncinya memang harus tahu.
Tapi, tahu saja belum bisa melaksanakan, sehingga diikuti dengan yang kedua, warzuqni fahma,
memohon diberikan kefahaman. Dengan faham itu baru ada jalan untuk meraih kebaikan,
sebagaimana sabda Nabi man yurudillahu khairan yufaqqihhu fiddin, siapa yang dikehendaki
baik oleh Allah maka orang tadi difahamkan agamanya oleh Allah.
Soal tahu ini, dengan hanya sekali mendengar saja orang sudah bisa tahu. Sekali mendengar
ceramah sudah bisa tahu. Tetapi untuk bisa faham, tidak cukup dengan sekali mendengar. Maka,
Nabi mesti mengulang sesuatu sampai tiga kali. Hal ini kita dapati pada kitab Riyadush-shalihin.
Setiap kali men-datangi suatu kaum Rasulullah mengucapkan salam sampai tiga kali. Sementara,
banyak di anatara kita yang malas mengucap salam diulang sampai tiga kali. Malahan mungkin
kuatir disebut sebagai orang NU, karena biasanya orang NU itu yang mengamalkan hal ini.
Kedua, Bermuhammadiyah adalah Berdakwah
Sedikit mengenang orang-orang tua kita, mengenang bagaimana semangat mereka dalam “wa-
tawashau bil haq”. Ada sebutan yang cukup populer pada waktu itu, yaitu mubaligh cleleng.
Cleleng adalah sebutan untuk jangkrik, yang kalau diberi makan daun kecubung ngengkriknya
berkurang, tapi kalau diadu walaupun kakinya sudah patah dua-duanya nggak mau mengalah,
kalau perlu sampai mati. Nah, mubaligh yang seperti itu disebut mubaligh cleleng.
Termasuk salah satu yang disebut sebagai mubaligh cleleng ini adalah Prof. Abdul Kahar
Muzakkir. Ceritanya, beliau ini jarang ketemu dengan mahasiswanya. Ketika suatu kali
mahasiswa menemui beliau dengan mengucap salam, “Selamat pagi, Pak!”. Beliau bertanya,
“Kamu siapa?” “Saya mahasiswa Bapak”, katanya. “Kembali sana, ucapkan dulu
“Assalamu’alaikum”. Suatu kali ada orang bertamu ke rumah beliau. Mengucap salam dengan
“kulonuwun“. Berkali-kali diucapkannya salam itu, tidak dijawab, padahal beliau ada di rumah
dan tahu kalau ada tamu. Karena berkali-kali salam tidak dibukakan pintu, tamu itu akhirnya
bermaksud pergi. Sebelum sampai orang itu pergi, pintu dibuka oleh Prof. Kahar Muzakkir
sambil berkata, “Kibir kamu ya?” “Kenapa?” tanya orang itu. Al-kibru umsibunnas wa jawahul–
haq. Kibir itu meremehkan orang Islam dan tidak mau memakai aturan Islam. Sudah jelas ada
tuntunannya mengucap salam “Assalamu’alaikum” kalau bertamu ke rumah orang koq malah
“kulonuwun”. Inilah contohnya mubaligh cleleng.
Menjadi anggota Muhammadiyah itu tidak sekedar hanya menjadi anggota saja. Kalau anda
pernah tinggal di sekitar kampung Suronatan, dan kalau masih ingat, ada yang namanya Haji
Khamdani. Saya masih sempat kenal orangnya, ketua Cabang Muhammadiyah Ngampilan.
Pekerjaannya tukang kayu. Beliau termasuk orang yang telah mendapatkan sentuhan-sentuhan
dari Kyai Ahmah Dahlan. Padahal, Pak Khamdani ini tidak termasuk orang terpelajar.
Sekolahnya paling hanya sampai sekolah Ongko Loro. Beliau juga tidak termasuk orang kaya.
Tetapi karena terkena sentuhan Kyai Ahmad Dahlan, merasa mau bertabligh nggak bisa, mau
berdakwah pakai uang juga nggak ada uangnya, lalu beliau mengumpulkan tukang kayu,
menyumbang untuk Muhammadiyah lewat keahliannya sebagai tukang kayu ketika sedang
dibangun SR Muhammadiyah I (sekarang SD Muhammadiyah Suronatan). Ini adalah SD
Muhammadiyah yang didirikan Kyai Haji Ahmad Dahlan berkat orang-orang yang punya ghiroh,
diantaranya mujahid kayu tersebut. Jadi, apa yang bisa disumbangkan kepada Muhammadiyah,
disumbangkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Yang bisa bertabligh dengan
kemampuan bertablighnya. Sampai-sampai, walaupun ilmu agamanya masih minim, ada
mubaligh yang membaca saja pating pletot. Rabbil ’alamin dibaca rabbil ngalamin. Bismillah
dibaca semillah. Laa haula walaa quwwata illa billah dibaca walawalabila, nekat untuk
bertabligh.
Itulah, karena sentuhan dakwah Kyai Haji Ahmad Dahlan, walaupun cara membacanya belum
fasih, tapi berani bertabligh. Mubaligh yang demikian ini sekarang ini memang sering dicibir
oleh orang-orang NU. Membaca Quran saja nggak bisa koq berani bertabligh. Oleh Kyai pasti
dijawab, “Dari pada kamu, bisa baca Quran tapi nggak berani bertabligh. Inilah wajah
Muhammadiyah yang kedua, yaitu bermuhammadiyah itu adalah bertabligh.
Sejarah mengakui bagaimana penampilan anggun dakwah Muhammadiyah. Dosennya Pak
Amien Rais di Fisipol UGM, Pak Usman Tampubolon, orang Batak, beliau aktif di Dewan
Dakwah Islamiyah (DDI), tinggal diJogjakarta. Disertasinya tentang adat Jawa. Beliau mengorek
tentang adat Jawa yang hal itu bisa sangat menyinggung orang-orang Jawa. Promotornya tidak
mau, mengembalikannya dan menyuruh Pak Usman Tampubolon untuk merubahnya. Pak
Usman tidak mau merubah, “Wong saya sendiri yang menyusun koq disuruh merubah”, kata Pak
Usman. Pak Usman berkomentar tentang Kyai Haji Ahmad Dahlan. Aneh, katanya, dalam
sejarah, ketika bangkit gerakan modern di Timur Tengah, dengan tampilnya Syeh Muhammad
Abdul Wahab, yang karya paling terkenalnya kitab tauhid, “Al Ushulust-tsalasah”,30) ketika
ajarannya diambil, mesti ada perang dan darah yang mengalir. Kuburan-kuburan di tanah Arab
yang sudah begitu rupa, oleh Syeh Abdul Wahab diratakan. Maka, yang namanya Syeh Abdul
Wahab ini, di Indonesia juga sangat ditakuti. Tentu kita juga ingat perjuangan Imam Bonjol
dengan perang Paderinya.
Ternyata Kyai Haji Ahmad Dahlan yang lahir di Kauman, dan bahkan menjadi pegawai Keraton,
koq bisa tenang, rukun dan asyik duduk bersama orang Kraton yang masih mempercayai nenek
moyang dengan agama jahiliyahnya. Tidak ada sruduk-srudukan di antara mereka. Hal ini
membuat Pak Usman Tampubolon heran. Sosiologi apa yang dimiliki Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Seandainya Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir dan mendirikan Muhammadiyah di Sumatera Barat,
maka Muhammadiyah hanya ada di sana. Keadaan ini menarik. Fenomena apa ini, koq Kyai Haji
Ahmad Dahlan tenang–tenang saja, mengapa tidak terjadi benturan.
Pada sisi lain, kita juga menyadari adanya kepercayaan tradisi yang masih melekat di kalangan
aktifis Muhammadiyah, terutama soal kematian. Memang Muhammadiyah telah membersihkan
hal-hal bid’ah. Tetapi nampaknya masalah ini sekarang mulai bermunculan lagi. Dihidupkan lagi
tradisi lama. Apalagi Sidang Tanwir di Bali yang lalu membicarakan topik Dakwah Kultural.
Orang belum tahu persis koq sudah melangkah lebih lanjut. Jujur saja, dan harus kita akui,
bahwa Muhammadiyah yang tadinya cukup anggun, dengan jasa besarnya yang telah ikut
mencerdaskan bangsa ini, selama lebih kurang 93 tahun berdakwah, ternyata belum dan tidak
sanggup menggoyang kekuatan Nyai Roro Kidul. 93 tahun bukan waktu yang singkat.
Ini merupakan masalah yang serius, sebab kekuatan kaum itu sedemikian besarnya. Mereka
punya seragam khusus dan punya pos-pos ribuan banyaknya. Yang kita kaget ketika Pemilu
tahun 1999 kemarin, kekuatan mereka seperti itu. Itulah barangkali yang melatar-belakangi
Sidang Tanwir membicarakan masalah dakwah kultural. Hampir-hampir Muhammadiyah tidak
menyadari tentang adanya budaya-budaya itu. Masalah bagai-mana menari yang Islami,
Muhammadiyah tidak bisa menjawab. Kalau saya ada jawaban lain kenapa perlu ada dakwah
kultural. Saya lebih cenderung memakai alat yang lain. Apa Kyai Ahmad Dahlan waktu itu
memakai dakwah kultural? Tidak. Yang memakai itu kan Walisongo, Sunan Kalijogo. Lalu, apa
rahasianya Kyai Ahmad Dahlan?
Satu keunggulan Muhammadiyah yang tidak dimiliki oleh yang lain, adalah adanya karya amal
Muhammadiyah. Kyai Haji Ahmad Dahlan sanggup menampilkan Islam yang bisa dilihat dan
dinilai bermanfaat oleh ummat. Tidak tanggung-tanggung, Muhammadiyah telah melahirkan dua
presiden, terlepas dari presidennya itu seperti apa. Bung Karno dan Soeharto adalah anak didik
Muhammadiyah. Inilah jasa besar Muhammadiyah di bidang pendidikan.
Ketika berada di Boyolali dalam tugas Rihlah Dakwah, di sebuah panti asuhan yang gedungnya
berlantai dua, sangat megah, saya diberitahu bahwa yang membangun gedung itu adalah seorang
pensiunan dari Jakarta. Ia datang ke Boyolali mencari-cari orang Muhammadiyah. Ia mengakui
dulunya lulusan SMP Muhammadiyah Nogosari Boyolali. Setelah lama menjadi pegawai di
Jakarta kemudian ia ingat kembali Muhammadiyah. Sementara, kadang-kadang, kita kalau sudah
jadi pegawai tidak kober lagi mikir Muhammadiyah, karena sibuk mikirin duit terus. Apalagi
kita ini termasuk sebagai pewaris falsafah “sendu” (seneng duit), merasa senang dengan hal itu.
Harus secara jujur kita akui bahwa kita memang senang terhadap duit. Nah, pensiunan dari
Jakarta tadi punya tabungan dan ingin menyumbangkannya kepada Muhammadiyah. Semua
tukang yang bekerja membangun panti itu ia yang bayar. Inilah salah satu contoh bagaimana
pengaruh pendidikan Muhammadiyah.
Kita juga bisa merasakan bagaimana sentuhan-sentuhan darah kita yang memang belum bisa
dicerna dan baru sedikit sekali. Kalau kita lihat ke sekretariat PP Muham-madiyah, anggota
Muhammadiyah sekarang sudah mencapai jumlah deretan 6 angka, tapi angka pertama baru 8.
Artinya, belum ada 1 juta orang, itu pun masih dikurangi lagi dengan yang sudah meninggal.
Inilah wajah Muhammadiyah yang kedua, wajah dari Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah
yang perlu dibenahi.
Ketiga, Bermuhammadiyah adalah Berorganisasi
Pemahaman KHA. Dahlan terhadap Alquran surat Ali Imran ayat 104 telah melahirkan
pergerakan Muhammadiyah. Tidak bisa dibayangkan bagaimana ulama pendahulu kita itu bisa
menangkap isyarat-isyarat Alquran, sehingga memilih organisasi sebagai alat dakwah. Sebab,
sebelum itu, organisasi yang ada sifatnya masih sederhana. SDI atau SI yang muncul sebelumnya
karena kebutuhan yang mendesak. SDI muncul untuk mengim-bangi perdagangan Cina. Sedang
kelahiran SI tidak lepas dari pengaruh politik. Kita tahu, di dunia politik ada dua rayuan, rayuan
surga dan rayuan kursi. Sedang, di Majelis Tabligh yang ada cuma surga saja yang menjadi
harapannya.
Berorganisasi, oleh beliau-beliau ini, walaupun saat itu belum ada Majelis Tabligh, tapi di benak
para pemimpin kita itu sudah jauh sekali yang dijangkau untuk nanti bagaimana rencana ke
depannya. Mengapa begitu yakin? Sebab tidak mungkin tegaknya Islam, izzul Islam wal
muslimin, itu ditangani oleh orang per-orang. Saya tidak tahu persis, penduduk Indonesia saat itu
berapa jumlahnya. Saya hanya ingat ada sekitar 77 jutaan penduduk Indonesia di tahun 1960-an.
Jadi, pada jaman Kyai Dahlan itu kira-kira ada 30 jutaan penduduk Indonesia, pada saat lahirnya
Muhammadiyah.
Yang dihadapi Rasulullah pada jaman beliau, menurut Pak AR, hanya sekitar 700 ribu. Perkiraan
ini didasarkan pada perhitungan bahwa saat Haji Wada’ jumlah jama’ah yang hadir ada 140 ribu.
Jika setiap orang punya lima anggota keluarga, maka jumlahnya sekitar 700 ribu. Dibulatkan
lagi, misalnya, menjadi 1 juta. Ummat yang sekitar 700 ribu sampai 1 juta itu bisa ditangani
karena ada figur Nabi Muhammad SAW, ada Abu Bakar, ada Umar bin Khattab, dan lain-lainya.
Dan yang kita kenal lainnya, ada sepuluh sahabat Nabi yang dijamin bakal masuk surga sebelum
Rasullah meninggal.
Sekarang ini, kita kesulitan menentukan orang-orang yang seperti itu. Kalau toh ada hanya
segelintir. Katakanlah, kalau saya membuat contoh tentang uswah hasanah, jujur saja, siapa
orang Jogja yang layak menjadi uswah hasanah, kita kesulitan mencarinya. Belum lagi di
Temanggung, siapa yang layak menjadi uswatun hasanah. Padahal Muhammadiyah telah
berkembang sedemikian luas. Ini baru dari sisi soal uswah hasanah saja.
Ketika Kyai Dahlan menyampaikan pengajian di Pekajangan Pekalongan, ada audien/peserta
pengajian itu, yang memper-hatikan betul terhadap Kyai Dahlan. Rupanya orang ini adalah orang
alim dan orang saleh. Ia memperhatikan secara seksama wajah Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Diawasinya ekspresi wajah dan mimik Kyai Haji Ahmad Dahlan. Apalagi Kyai Dahlan waktu itu
mengaku sebagai pimpinan Persyarikatan yang didirikan di Jogjakarta. Hanya dengan melihat
wajah, orang saleh ini bisa menentukan apakah seseorang itu saleh, jujur, dan sebagainya. Ia tahu
hal itu tentang Kyai Haji Ahmad Dahlan, tapi ia merasa tidak puas dengan hanya melihat
penampilan Kyai Dahlan waktu itu. Ketika Kyai Haji Ahmad Dahlan pulang ke Jogja orang tadi
mengikuti. Sampai di Jogja ia bertanya kepada orang, di masjid mana Kyai Dahlan sholat. Ia
tidak bertanya tentang apa, tapi cukup bertanya tentang sholatnya Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Setengah jam sebelum adzan shubuh, orang itu sudah datang ke masjid, maksudnya mau
menunggu jam berapa Kyai Haji Ahmad Dahlan datang. Ia tertegun karena orang yang
ditunggunya sudah ada di Masjid itu. Lalu komentarnya, “Pantas kalau Kyai Haji Ahmad Dahlan
mengaku sebagai pemimpin Muhammadiyah”. Orang itu tidak lain adalah Buya A.R. Sutan
Mansur muda. Beliau adalah saudara dari Sutan Ismail, seorang mubaligh terkenal di
Pekalongan, yang berasal dari negeri Minangkabau.
Lain lagi cerita tentang Pak AR Fahruddin. Di mata saya beliau adalah orang yang paling zuhud
di Muhammadiyah, satu-satunya ketua PP Muhammadiyah yang tidak punya rumah sendiri.
Tempat tinggalnya di Jalan Cik di Tiro adalah milik persyarikatan Muhammadiyah. Ketika
beliau meninggal, istrinya kemudian ikut salah seorang anaknya, Sukriyanto AR. Sekarang,
bekas rumah beliau itu telah dipugar dan dibangun gedung berlantai tiga yang menjadi kantor PP
Muhammadiyah Jogjakarta yang baru, yang juga baru diresmikan pada 1 Muharram yang lalu.
Namun bukan ini persoalannya. Para pengurus PP Muhammadiyah kalau sakit biasanya memang
dilayani oleh Rumah Sakit Muhammadiyah. Seperti RSU PKU di Jogja atau RSI di Jakarta.
Lukman Harun ketika sakit, sebelum meninggal, juga dilayani oleh Muhammadiyah di RSI
Jakarta.
Ketika Pak AR kebetulan sakit dan mau operasi karena sakit, tidak ada satupun orang
Muhammadiyah yang tahu. Pak AR sendiri juga tidak ingin diberi fasilitas. Tapi, sebuah
kelompok pengajian kecil yang tidak jauh dari kediaman Pak AR tahu kalau Pak AR sakit dan
mau operasi. Mereka tahu betul bagaimana keadaan Pak AR itu, seorang pensiunan pegawai
Penerangan Agama Jawa Tengah yang gaji pensiunannya hanya 80 ribu, bukan ratusan ribu.
Kelompok pengajian tadi lalu menyebarkan warta, dan terkumpullah uang sebanyak 600 ribu
yang kemudian diserahkan kepada keluarga Pak AR untuk biaya berobat. Namun, setelah Pak
AR sembuh, pengurus kelompok pengajian itu diundang Pak AR. Pak AR mengucapkan terima
kasih atas bantuan tersebut, kemudian Pak AR memberikan bingkisan. Supaya puas, pengurus
tadi membuka bingkisan itu. Di dalamnya ada uang 300 ribu. Pengurus kelompok pengajian itu
kaget dan berkata bahwa mereka telah ihlas. Pak AR menjelaskan bahwa operasinya hanya
menghabiskan biaya 300 ribu, maka sisanya dikembalikan.
Coba, apa ada sekarang orang yang seperti Pak AR itu. Yang ada malah sebaliknya, ada
mubaligh yang sampai menawar harga untuk sekali ceramahnya. Saya pernah pergi ke Sulawesi,
berdampingan dengan seseorang yang bercerita bahwa ia pernah sekali mengundang penceramah
dari Jakarta. Amplopnya mesti 6 juta, belum termasuk tiket pesawatnya, dan ini harga mati.
Begitulah. Tapi, kalau kita aktif di Muhammadiyah tidak boleh seperti itu.
Yang kita garap sekarang ini adalah ummat yang jumlahnya lebih dari 200 juta. Jika pada masa
Kyai Haji Ahmad Dahlan itu kira-kira ada 30 juta ummat yang juga sudah memerlukan kekuatan
untuk berdakwah, dan kekuatan itu berupa organisasi, maka sehebat-hebatnya Zainuddin MZ,
yang dikenal sebagai da’i sejuta ummat, beliau tidak sanggup membangun ummat. Di Jogja juga
ada mubaligh terkenal. Tapi, paling-paling beliau juga cuma bisa dikenal. Tidak akan bisa
membangun ummat, karena untuk membangun ummat diperlukan kekuatan massa, dan kita
harus mau serius.
Saya cukup tajam untuk menggugat tentang masalah pendidikan Muhammadiyah di sini. Saya
buat global saja, baik UMS, UMM, UMY, UHAMKA dan sekitar 130 PTM, ditambah puluhan
ribu sekolah Muham-madiyah, 90% siswa atau mahasiswanya adalah bukan putra
Muhammadiyah. Termasuk di UMY, ketika saat itu ada training untuk mahasiswa baru, rata–rata
sholatnya memakai usholli. Memang ada sedikit yang berasal dari IPM/IRM. Gugatan saya, baik
yang di sekolah maupun yang di PTM, kalau mereka masuk di lembaga pendidikan
Muhammadiyah, masuk dengan usholli dan keluar tetap usholli, maka Muhammadiyah sudah
gagal dalam menyelenggarakan pendidikannya. Sehebat apapun sekolah Muhammadiyah, koq
setelah sholat malah yasinan. Yang lebih ngeri lagi, karena kita tidak memikirkan hal itu, setiap
tahun kita meluluskan sekitar 40 ribu siswa/mahasiswa. Dari sebanyak itu, berapa yang
kemudian menjadi mujahid dakwah?
Saya pernah berbicara dengan Pak Umar Anggoro Jenie (mantan Ketua Majelis Diktilitbang PP
Muhammadiyah), ketika menjelang Muktamar di Jakarta tentang hal ini. Siapa di antara alumni
perguruan Muhammadiyah itu, yang tampil menjadi mujahid dakwah, pada hal mereka, kurang
lebih lima tahun, di tangan kita, merah hijaunya para sarjana itu kita yang membuatnya. Juga
yang di sekolah-sekolah Muhammadiyah itu, paling tidak selama tiga tahun mereka kita didik.
PKI, waktu itu, tidak punya lembaga pendidikan, tapi mereka mampu melahirkan kader-kader
yang militan. Sedangkan di Muhammadiyah, siapa di antara kita yang pantas di sebut sebagai
kader militan. Ini perlu menjadi PR kita, bagaimana mengurus Muhammadiyah secara serius.
Jangan-jangan di Muhammadiyah ini malah cuma sekedar mencari penghidupan saja. Apakah
kalimat semboyan “Hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di
Muhammadiyah” masih relevan? Padahal, waktu itu semboyan ini sangat terkenal dan biasa
ditulis di majalah dan di dinding-dinding gedung amal usaha Muhammadiyah. Bagaimana kita
menjawab pertanyaan ini, dan bagaimana reaksi kita atas ungkapan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu.
Namun, alhamdulillah, dapat kita perkembangan Muhammadiyah saat ini sudah sebegitu pesat.
Kita mungkin tidak tahu, yang namanya sholat Ied di lapangan pada waktu itu belum ada di kota
Jogjakarta. Sebab saat itu sholat Ied hanya ada di Masjid Besar Kauman. Oleh Pak Sultan, tidak
boleh shalat Ied di Alun-alun, kalau ingin shalat Ied di lapangan disuruh cari tempat sendiri,
sehingga Muhammadiyah membeli lapangan Asri di Wirobrajan. Dan sekarang ini sudah
menyebar ke mana-mana kalau sholat Ied itu diseleng-garakan di lapangan, sesuai dengan
sunnah Nabi. Memang ada 9 hadis tentang masalah ini, tapi hanya ada satu hadis yang menyebut
shalat Ied di masjid dan itu pun hadis dhoif. Kalau kita lihat di masjid-masjid, jika ada garis shaf
yang miring tidak sejajar dengan bangunan masjid (karena menyesuaikan arah kiblat), itu adalah
hasil dari perjuangan Kyai Dahlan. Dulu, untuk memperjuangkan lurusnya arah kiblat ini,
langgar Kyai Dahlan di Kauman dirobohkan oleh tentara Kraton, karena Kyai Dahlan
membetulkan arah kiblat di Masjid Besar Kauman. Itu adalah salah satu contoh pengorbanan
beliau.
Orang tidak tahu bagaimana jasa-jasa Kyai Haji Ahmad Dahlan. Termasuk dalam hal qurban
yang dilaksanakan di kantor-kantor, sekolahan-sekolahan, dan lain-lainnya. Semua itu adalah
jasa Kyai Ahmad Dahlan. Sekarang, dapat kita lihat sudah merebak di mana-mana, misalnya di
kantor bupati menyembelih qurban seekor lembu, gubernur juga seekor lembu, dan sebagainya.
Padahal menyembelih qurban di kantor dan sekolahan itu tidak ada nashnya. Alasanya hanya
satu, yaitu latihan. Dan masih banyak lagi amal usaha Muhammadiyah yang dengan itu orang
menjadi tahu Islam yang sebenarnya, melalui karya-karya Islami Muhammadiyah tersebut. Yang
namanya surat Al-Maun, dulu hanya menjadi hafalan orang saja. Tapi di benak Kyai Dahlan,
jadilah pengamalan dari surah itu, panti-panti asuhan, rumah sakit-rumah sakit, yang merupakan
pemahaman beliau atas surat Al-Maun.
Di sinilah keberhasilan dakwah Muhammadiyah dapat dilihat. Tanpa ada benturan yang berarti
ia menjadi diminati oleh ummat. Cuma, sekarang masalahnya terletak pada diri kita sendiri,
karena kita ini sudah menjadi pewaris amal usaha Kyai Haji Ahmad Dahlan. Pertanyaannya,
untuk apa amal usaha yang telah diwariskan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu. Mau diapakan,
misalnya, anak-anak asuh panti asuhan yang hidup, makan, dan semuanya dicukupi
Muhammadiyah, mau diapakan lagi mereka ini kalau tidak kita jadikan kader kita.
Keempat dan Kelima, Bermuhammadiyah adalah Berjuang dan Berjihad serta Berkorban.
Yang keempat, bermuhammadiyah itu berjuang dan berjihad. Yang kelima, bermuhammadiyah
adalah berkorban. Untuk dua hal yang terakhir ini belum sempat saya angkat. Sebenarnya mau
saya sampaikan karena waktunya belum ada, maka saya minta maaf.
*) Transkrip Ceramah Ustadz Ibnu Juraimi dalam Pengajian di PDM Temanggung Jawa Tengah.
Ditranskrip oleh Arief Budiman Ch.

Diposkan oleh Muhammadiyah di 07:21 0 komentar


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Posting Lama Beranda
Langganan: Entri (Atom)

MUTIARA AL QUR'AN
Dan tiada seorang nabipun datang kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-
olokkannya.
(QS. AZ ZUKHRUF:7)
RANDOM HADITS
KAJIAN ISLAM
1. Qur'an Search Engine

2. Al Qur'an & Hadits

3. Bahasa Arab

4. Himpunan Putusan Tarjih

Pedoman Hidup Islami

DAFTAR LINK
 PP Muhammadiyah
 PP 'Aisyiyah
 Majelis Ulama Indonesia
 LPPOM MUI
 Kalkulator Zakat

INFO PALESTINA
22/06/2012 - 10:31
Organisasi HAM: Kematian Bayangi Tawanan Raikhawi

22/06/2012 - 11:17
Ada Pihak Keamanan Berusaha Gagalkan Rekonsiliasi Palestina

22/06/2012 - 11:15
Pejuang Palestina Hadapi Alat Perang Israel dengan Nikah Massal

22/06/2012 - 10:36
Israel Kembali Tangkap 15 Mantan Tawanan Yang Baru Bebas Dalam Pertukaran

22/06/2012 - 11:13
Israel Geledah dan Pasang Perlintasan di Jenin
JUMLAH PENGUNJUNG
20003

Entri Populer
 Khutbah Jum'at : AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR
 Gerakan Jamaah & Dakwah Jamaah Dalam Muhammadiyah
 Kupas Tuntas KA'BAH
 Tarjih Dalam Bidang Ibadah dan Mu'amalah
 Meneladani Kepemimpinan Tokoh-tokoh Muhammadiyah

JADWAL SHALAT
JATI DIRI

Muhammadiyah
Adalah Organisasi Dakwah Islam Amar Ma'ruf Nahi Munkar Berdasar Al Qur'an dan As
Sunah
Lihat profil lengkapku

ARSIP BLOG:
 ▼ 2012 (8)
o ▼ Juni (6)
 "The Nine Golden Habbits" menuju Pribadi Muslim Ya...
 Makna BERMUHAMMADIYAH
 Makna dan Konsekwensi “Lā Ilāha illa Allāh”
 Membangun Kembali Ruh (Spirit) Fastabiqû al-Khairâ...
 Islam Satu-satunya Agama Yang Benar
 GHIBAH
o ► Februari (2)

 ► 2011 (17)

 ► 2010 (15)
Mutiara AL QUR'AN hari ini:
ِ ْ‫شيْخا ً َكبِيرا ً فَ ُخ ْذ أَ َح َد َنا َمكَا َنهُ إِ َّنا َن َراكَ ِمنَ ا ْل ُمح‬
َ‫سنِين‬ َ ً ‫يز إِنَّ َلهُ أَبا‬
ُ ‫قَالُواْ َيا أَيُّهَا ا ْل َع ِز‬
Merekapun merayu dengan berkata: "Wahai datuk menteri! Sesungguhnya ia (Bunyamin),
mempunyai bapa yang sudah tua, lagi berpangkat. Oleh itu, ambilah salah seorang di antara kami
sebagai gantinya; sesungguhnya kami memandangmu dari orang-orang yang sentiasa berbudi ".
Surah Yusuf ayat 78

Powered by WaktuSolat.net

Template Travel. Gambar template oleh konradlew. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai