SKRINING
KANKER LEHER
RAHIM
DENGAN METODE
INSPEKSI VISUAL
DENGAN ASAM
ASETAT (IVA)
1
PANEL AHLI
2
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Kanker leher rahim adalah keganasan dari leher rahim (serviks) yang
disebabkan oleh virus HPV (Human Papiloma Virus). Diseluruh dunia, penyakit ini
merupakan jenis kanker ke dua terbanyak yang diderita perempuan.1
Saat ini di seluruh dunia diperkirakan lebih dari 1 juta perempuan menderita
kanker leher rahim1 dan 3-7 juta orang perempuan memiliki lesi prekanker derajat tinggi
(high grade dysplasia)2. Penelitian WHO tahun 2005 menyebutkan, terdapat lebih dari
500.000 kasus baru, dan 260.000 kasus kematian akibat kanker leher rahim, 90%
diantaranya terjadi di negara berkembang. Angka insidens tertinggi ditemukan di
negara-negara Amerika bagian tengah dan selatan, Afrika timur, Asia selatan, Asia
tenggara dan Melanesia 1,2,3
Di Indonesia, kanker leher rahim merupakan keganasan yang paling banyak
ditemukan dan merupakan penyebab kematian utama pada perempuan dalam tiga dasa
warsa terakhir. Diperkirakan insidens penyakit ini adalah sekitar 100 per 100.000
penduduk.4 Data patologi dari 12 pusat patologi di Indonesia (1997) menunjukkan
bahwa kanker leher rahim menduduki 26,4% dari 10 jenis kanker terbanyak pada
perempuan.5 Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, 39,5% penderita
kanker pada tahun 1998 adalah kanker serviks.6
Seiring dengan meningkatnya populasi, maka insidens kanker leher rahim juga
meningkat sehingga meningkatkan beban kesehatan negara.2 Padahal penyakit ini
dapat dicegah dengan deteksi dini lesi prankanker yang apabila segera diobati tidak
akan berlanjut menjadi kanker leher rahim.
Dalam beberapa dekade, angka penderita kanker leher rahim di negara-negara
maju mengalami penurunan yang tajam. Di Amerika Serikat, dalam 50 tahun terakhir
insidens kanker leher rahim turun sekitar 70%.7 Hal tersebut dimungkinkan karena
adanya program deteksi dini dan tatalaksana yang baik.2 Sebaliknya, di negara-negara
berkembang, angka penderita penyakit ini tidak mengalami penurunan, bahkan justru
meningkat akibat populasi yang meningkat.1,2, 8
Banyak alasan yang menyebabkan masih tingginya angka penderita. Diantara
alasan tersebut adalah belum adanya sistem pelayanan yang terorganisasi baik mulai
dari deteksi dini sampai penanganan kanker leher rahim stadium lanjut9. Selain itu
3
terbatasnya sarana dan prasana—termasuk tenaga ahli—yang kompeten menangani
penyakit ini secara merata1,2,9 menjadi tantangan tersendiri.
WHO menggariskan 4 komponen penting dalam program penanganan kanker
leher rahim nasional yaitu pencegahan primer, deteksi dini melalui peningkatan
kewaspadaan dan program skrining yang terorganisasi, diagnosis dan tatalaksana,
serta perawatan paliatif untuk kasus lanjut. 1
Deteksi dini kanker leher rahim meliputi program skiring yang terorganisasi
dengan target pada kelompok usia yang tepat dan sistim rujukan yang efektif di semua
tingkat pelayanan kesehatan. Beberapa metode skrining yang dapat digunakan adalah
pemeriksaan sitologi berupa Pap tes konvensional atau sering dikenal dengan Tes Pap
dan pemeriksaan sitologi cairan (liquid-base cytology /LBC), pemeriksaan DNA HPV,
dan pemeriksaan visual berupa inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) serta inspeksi
visual dengan lugol iodin (VILI).1 Metode yang disebut terakhir tidak memerlukan
fasilitas laboratorium, sehingga dapat dijadikan pilihan untuk masyarakat yang jauh dari
fasilitas laboratorium dan dapat dilakukan secara masal. Sedangkan untuk masyarakat
kota dan daerah-daerah dengan akses pelayanan kesehatan yang memadai, metode
skrining dengan pemeriksaan sitologi akan lebih tepat.
Saat ini banyak penelitian tentang skrining dengan metode IVA dilakukan di
berbagai negara berkembang. Skrining dengan metode IVA dilakukan dengan cara yang
sangat sederhana, murah, nyaman, praktis, dan mudah. Sederhana, yaitu dengan
hanya mengoleskan asam asetat (cuka) 3-5% pada leher rahim lalu mengamati
perubahannya, dimana lesi prakanker dapat terdeteksi bila terlihat bercak putih pada
leher rahim. Murah, karena biaya yang diperlukan hanya sekitar Rp. 3000,- sampai
Rp.5000,-/pasien. Nyaman, karena prosedurnya tidak rumit, tidak memerlukan
persiapan, dan tidak menyakitkan. Praktis, artinya dapat dilakukan dimana saja, tidak
memerlukan sarana khusus, cukup tempat tidur sederhana yang representatif, spekulum
dan lampu. Mudah, karena dapat dilakukan oleh bidan dan perawat yang terlatih.
Beberapa karakteristik metode ini sesuai dengan kondisi Indonesia yang memiliki
keterbatasan ekonomi dan keterbatasan sarana serta prasarana kesehatan. Karenanya
pengkajian penggunaan metode IVA sebagai cara skrining kanker leher rahim di daerah-
daerah yang memiliki sumber daya terbatas ini dilakukan sebagai salah satu masukan
dalam pembuatan kebijakan kesehatan nasional di Indonesia.
4
I.2 Permasalahan
1. Masih tingginya angka morbiditas dan mortalitas kanker leher rahim di Indonesia
2. Rendahnya cakupan skrining kanker leher rahim sebagai salah satu komponen
untuk menekan jumlah pasien kanker leher rahim. akibat keterbatasan sumber
daya.
3. Terdapat berbagai metode skrining kanker leher rahim, salah satu diantaranya
adalah metode IVA yang mudah dilaksanakan pada masyarakat dengan
sumber daya yang terbatas.
I.3 Tujuan
I.3.1 Tujuan Umum
Melakukan kajian ilmiah metode skrining IVA dalam upaya meningkatkan
cakupan skrining kanker leher rahim untuk menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas kanker leher rahim.
5
BAB II
METODOLOGI PENILAIAN
Derajat rekomendasi :
A. Evidence yang termasuk dalam level Ia dan Ib.
B. Evidence yang termasuk dalam level IIa dan IIb.
C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb dan IV.
6
BAB III
KANKER LEHER RAHIM
III.1. Definisi
Kanker leher rahim adalah kanker primer yang terjadi pada jaringan leher rahim
(serviks)10 Sementara lesi prakanker, adalah kelainan pada epitel serviks akibat
terjadinya perubahan sel-sel epitel, namun kelainannya belum menembus lapisan basal
(membrana basalis).
III.2. Etiologi
Penyebab primer kanker leher rahim adalah infeksi kronik leher rahim oleh satu
atau lebih virus HPV (Human Papiloma Virus) tipe onkogenik yang beresiko tinggi
menyebabkan kanker leher rahim yang ditularkan melalui hubungan seksual (sexually
transmitted disease).3,11,12 Perempuan biasanya terinfeksi virus ini saat usia belasan
tahun, sampai tigapuluhan, walaupun kankernya sendiri baru akan muncul 10-20 tahun
sesudahnya.9 Infeksi virus HPV yang berisiko tinggi menjadi kanker adalah tipe 16, 18,
45, 5613 dimana HPV tipe 16 dan 18 ditemukan pada sekitar 70% kasus1. Infeksi HPV
tipe ini dapat mengakibatkan perubahan sel-sel leher rahim menjadi lesi intra-epitel
derajat tinggi (high-grade intraepithelial lesion/ LISDT) yang merupakan lesi prakanker.
Sementara HPV yang berisiko sedang dan rendah menyebabkan kanker (tipe non-
onkogenik) berturut turut adalah tipe 30, 31, 33, 35, 39, 51, 52, 58, 66 dan 6, 11, 42, 43,
44, 53, 54,55.13
III.3. Predisposisi
Faktor risiko terjadinya infeksi HPV adalah hubungan seksual pada usia dini,
berhubungan seks dengan berganti-ganti pasangan, dan memiliki pasangan yang suka
berganti-ganti pasangan.1 Infeksi HPV sering terjadi pada usia muda, sekitar 25-30%
nya terjadi pada usia kurang dari 25 tahun.
Beberapa ko-faktor yang memungkinkan infeksi HPV berisiko menjadi kanker
leher rahim adalah1 :
a. Faktor HPV :
- tipe virus
- infeksi beberapa tipe onkogenik HPV secara bersamaan
- jumlah virus (viral load)
7
b. Faktor host/ penjamu :
- status imunitas, dimana penderita imunodefisiensi (misalnya penderita
HIV positif) yang terinfeksi HPV lebih cepat mengalami regresi menjadi
lesi prekanker dan kanker.
- jumlah paritas, dimana paritas lebih banyak lebih berisiko mengalami
kanker
c. Faktor eksogen
- merokok
- ko-infeksi dengan penyakit menular seksual lainnya
- penggunaan jangka panjang ( lebih dari 5 tahun) kontrasepsi oral
8
Gambar 1. Patofisiologi Kanker1
Pembersihan Regresi
9
LISDR : Lesi Intraepitel Skuamosa Derajat Rendah
LISDT : Lesi Intraepitel Skuamosa Derajat Tinggi
(Dikutip dari Comprehensive Cervical Cancer Control. A Guide to Essential Practice,
Geneva : WHO, 2006)
Stadium Karakteristik
0 Lesi belum menembus membrana basa
I Lesi tumor masih terbatas di leher rahim
IA1 Lesi telah menembus membrana basalis kurang dari 3 mm dengan diameter
permukaan tumor < 7 mm
IA2 Lesi telah menembus membrana basalis > 3 mm tetapi < 5 mm dengan
dengan diameter permukaan tumor < 7 mm
IB1 Lesi terbatas di leher rahim dengan ukuran lesi primer < 4 cm
IB2 Lesi terbatas di leher rahim dengan ukuran lesi primer > 4 cm
II Lesi telah keluar dari leher rahim (meluas ke parametrium dan sepertiga
proksimal vagina)
IIA Lesi telah meluas ke sepertiga proksimal vagina
IIB Lesi telah meluas ke parametrium tetapi tidak mencapai dinding panggul
III Lesi telah keluar dari leher rahim (menyebar ke parametrium dan atau
sepertiga vagina distal)
IIIA Lesi menyebar ke sepertiga vagina distal
IIIB Lesi menyebar ke parametrium sampai dinding panggul
IV Lesi menyebar keluar organ genitalia
IVA Lesi meluas ke rongga panggul, dan atau menyebar ke mukosa vesika
urinaria
IVB Lesi meluas ke mukosa rektum an atau meluas ke organ jauh
10
sebanyak 76% kasus tidak menunjukkan gejala sama sekali.18 Jika sudah terjadi kanker
akan timbul gejala yang sesuai dengan tingkat penyakitnya, yaitu dapat lokal atau
tersebar. Gejala yang timbul dapat berupa perdarahan pasca sanggama atau dapat juga
terjadi perdarahan diluar masa haid dan pasca menopause. Jika tumornya besar, dapat
terjadi infeksi dan menimbulkan cairan berbau yang mengalir keluar dari vagina. Bila
penyakitnya sudah lanjut, akan timbul nyeri panggul, gejala yang berkaitan dengan
kandung kemih dan usus besar.18,19Gejala lain yang timbul dapat berupa gangguan
organ yang terkena misalnya otak (nyeri kepala, gangguan kesadaran), paru (sesak
atau batuk darah), tulang (nyeri atau patah), hati (nyeri perut kanan atas, kuning, atau
pembengkakan) dan lain-lain.20
11
TABEL GARIS BESAR PENANGANAN LESI PRAKANKER SERVIKS 21
Klasifikasi Penanganan
HPV Observasi
Medikamentosa
Destruksi: Krioterapi
Elektrokauterisasi/elektrokoagulasi
Eksisi: diatermi loop
Displasia ringan (NIS I) Observasi
Destruksi: Krioterapi
Elektrokoagulasi
Laser, Laser + 5 FU
Eksisi: diatermi loop
Displasia sedang (NIS II) Destruksi: krioterapi
Elektrogoagulasi
Laser, Laser + 5 FU
Eksisi: diatermi loop
Displasia keras (NIS III)/KIS Destruksi: krioterapi
Elektrokoagulasi
Laser
Eksisi: konisasi
Histerektomi
12
c. Elektrokauter
Metode elektrokauter dapat dilakukan pada pasien rawat jalan. Penggunaan
elektrokauter memungkinkan untuk pemusnahan jaringan dengan kedalaman 2
atau 3 mm. Lesi NIS I yang kecil di lokasi yang keseluruhannya terlihat pada
umumnya dapat disembuhkan dengan efektif.25
b. Diatermi Elektrokoagulasi Radikal
Diatermi elektrokoagulasi dapat memusnahkan jaringan lebih luas dan efektif jika
dibandingkan dengan elektrokauter, tetapi harus dilakukan dengan anestesi
umum. Tindakan ini memungkinkan untuk memusnahkan jaringan serviks
sampai kedalaman 1 cm, tetapi fisiologi serviks dapat dipengaruhi, terutama jika
lesi tersebut sangat luas. Dianjurkan penggunaannya hanya terbatas pada kasus
NIS 1/2 dengan batas lesi yang dapat ditentukan.26,27
d. CO2 Laser
Penggunaan sinar laser (light amplication by stimulation emission of radiation),
suatu muatan listrik dilepaskan dalam suatu tabung yang berisi campuran gas
helium, gas nitrogen, dan gas CO2 sehingga akan menimbulkan sinar laser yang
mempunyai panjang gelombang 10,6u. Perubahan patologis yang terdapat pada
serviks dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu penguapan dan nekrosis.
Lapisan paling luar dari mukosa serviks menguap karena cairan intraselular
mendidih, sedangkan jaringan yang mengalami nekrotik terletak di bawahnya.
Volume jaringan yang menguap atau sebanding dengan kekuatan dan lama
penyinaran.28
b. Konisasi.31, 32
13
Di dalam praktiknya, tindakan konisasi juga sering merupakan tindakan
diagnostik.
c. Histerektomi 33
Tindakan histerektomi pada NIS kadang-kadang merupakan terapi terpilih pada
beberapa keadaan, antara lain, sebagai berikut.
1) Histerektomi pada NIS dilakukan pada keadaan kelanjutan konisasi.
2) Konisasi akan tidak adekuat dan perlu dilakukan histerektomi dengan
mengangkat bagian atas vagina.
3) Karena ada uterus miomatosus; kecurigaan invasif harus disingkirkan.
4) Masalah teknis untuk konisasi, misalnya porsio mendatar pada usia lanjut.
14
BAB IV
DETEKSI DINI KANKER LEHER RAHIM
Kanker leher rahim adalah penyakit yang diawali oleh infeksi virus HPV yang
merubah sel-sel leher rahim sehat menjadi displasia dan bila tidak diobati pada
gilirannya akan tubuh menjadi kanker leher leher rahim.4,34 Prinsip dasar kontrol
penyakit ini adalah memutus mata rantai infeksi, atau mencegah progresivitas lesi
displasia sel-sel leher rahim (disebut juga lesi prakanker) menjadi kanker. Bila lesi
displasia ditemukan sejak dini dan kemudian segera diobati, hal ini akan mencegah
terjadinya kanker leher rahim dikemudian hari.9 Lesi prakanker yang perlu
diangkat/diobati adalah jenis LISDT (lesi intraepitelial skuamosa derajat tinggi), adapun
jenis LISDR (lesi intraepitelial skuamosa derajat rendah) dianggap lesi yang jinak dan
sebagian besar akan mengalami regresi secara spontan.7 Perempuan yang terkena lesi
prakanker diharapkan dapat sembuh hampir 100%, sementara kanker yang ditemukan
pada stadium dini memberikan harapan hidup 92%. Karenanya deteksi sedini mungkin
sangat penting untuk mencegah dan melindungi perempuan dari kanker leher rahim.7
WHO menyebutkan 4 komponen penting yang menjadi pilar dalam penanganan
kanker leher rahim, yaitu : pencegahan infeksi HPV, deteksi dini melalui peningkatan
kewaspadaan dan program skrining yang terorganisasi, diagnosis dan tatalaksana,
serta perawatan paliatif untuk kasus lanjut. 1, 9
Deteksi dini kanker leher rahim meliputi program skirining yang terorganisasi
dengan sasaran perempuan kelompok usia tertentu, pembentukan sistem rujukan yang
efektif pada tiap tingkat pelayanan kesehatan, dan edukasi bagi petugas kesehatan dan
perempuan usia produktif1
Skrining dan pengobatan lesi displasia (atau disebut juga lesi prakanker)
memerlukan biaya yang lebih murah bila dibanding pengobatan dan penatalaksanaan
kanker leher rahim.
Beberapa hal penting yang perlu direncanakan dalam melakukan deteksi dini
kanker, supaya skrining yang dilaksanakan terprogram dan terorganisasi dengan baik,
tepat sasaran dan efektif, terutama berkaitan dengan sumber daya yang terbatas :
1. Sasaran yang akan menjalani skrining
WHO mengindikasikan skrining dilakukan pada kelompok berikut1 :
15
a. setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah
menjalani tes Pap sebelumnya, atau pernah mengalami tes Pap 3 tahun
sebelumnya atau lebih.
b. Perempuan yang ditemukan lesi abnormal pada pemeriksaan tes Pap
sebelumnya
c. perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan
pasca sanggama atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda
dan gejala abnormal lainnya
d. perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada leher rahimnya
16
Pedoman pencegahan dan skrining kanker di Eropa dan Amerika
European ACS ACOG (American ASCCP US Preventive Service Task Force;
guidelines for (American College of (American 2003
quality Cancer Obstetricians & Society for http://www.preventiveservices.ahrq.gov
assurance in Society); Gynecologists); Colposcopy
cervical cancer 2007 2003 & Cervical
screening; 2007 http://www.acog.org Pathology);
2006
Waktu awal Usia 20–30 tahun Kira-kira 3 Kira-kira 3 tahun Tidak ada Kira-kira 3 tahun setelah aktivitas
skrining tahun setelah aktivitas laporan seksual yang pertama, namun tidak
dengan tes setelah seksual yang lebih dari usia 21 tahun
Pap aktivitas pertama, namun
seksual tidak lebih dari usia
yang 21 tahun
pertama,
namun tidak
lebih dari
usia 21
tahun
Penggunaan Belum Bersamaan Bersamaan Tidak cukup evidens
tes HPV direkomendasikan, dengan dengan
pada masih menunggu pemeriksaan pemeriksaan
program hasil penelitian sitologi pada sitologi pada
skrining wanita ≥ 30 wanita ≥ 30
tahun tahun
Interval
Skrining
- Tes Pap Tiap 3–5 tahun Tiap tahun; Tiap tahun; atau Tidak ada Sekurang-kurangnya tiap 3 tahun
konvensional atau tiap 2– tiap 2–3 tahun laporan
3 tahun untuk wanita usia ≥
untuk wanita 30 tahun dengan 3
usia ≥ 30 kali berturut-turut
tahun hasil skrining
17
dengan 3 negatif
kali berturut-
turut hasil
skrining
negatif
- skrining Tidak ada laporan Tiap 3 tahun Tiap 3 tahun bila Tidak ada Tidak cukup evidens
dengan tes bila hasil tes hasil tes HPV dan laporan
HPV HPV dan sitologi negatif
sitologi
negatif
Penghentian Setelah usia 60– Wanita usia Dari bukti-bukti Tidak ada Untuk wanita usia ≥ 65 tahun dengan
skrining 65 tahun dengan ≥ ≥ 70 tahun yang ada tidak laporan hasil tes negatif, yang bukan risiko
3 kali berturut-turut dengan ≥ 3 dapat ditarik tinggi kanker serviks
hasil skrining kali berturut- kesimpulan untuk
negatif turut hasil menentukan batas
tes negatif usia penghentian
dan tanpa skrining .
hasil tes
abnormal
dalam 10
tahun
terakhir
Manajement ASC-US: reflex Tidak ada Tidak ada laporan ASC-US: Tidak ada laporan
hasil skrining HPV testing; laporan HPV tes,
yang LSIL: ulang atau ulang
abnormal pemeriksaan tes sitologi,
- ASC-US sitologi atau atau lakukan
- ASC-H kolposkopi; kolposkopi
- LSIL ASC-H: pada wanita
- HSIL kolposkopi; ≥ 20 tahun;
HSIL: kolposkopi ASC-H:
dan biopsi. kolposkopi
LSIL:
18
kolposkopi
HSIL:
segera
lakukan
LEEP atau
kolposkopi
dengan
endocervical
assessment.
(Dikutip dari Barzon et al. Infectious Agents and Cancer 2008 3:14 doi:10.1186/1750-9378-3-14)
19
2. Interval skrining
American Cancer Society (ACS) merekomendasikan idealnya skrining dimulai 3
tahun setelah dimulainya hubungan seksual melalui vagina.7 Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa risiko munculnya lesi prakanker baru terjadi setelah 3-5
tahun setelah paparan HPV yang pertama.7
Interval yang ideal untuk dilakukan skrining adalah 3 tahun.9 Skrining 3 tahun
sekali memberi hasil yang hampir sama dengan skrining tiap tahun. 9 ACS
merekomendasikan skrining tiap tahun dengan metode tes Pap konvensional
atau 2 tahun sekali bila menggunakan pemeriksaan sitologi cairan (liquid-based
cytology), setelah skrining yang pertama.7 Setelah perempuan berusia 30 tahun,
atau setelah 3 kali berturut-turut skrining dengan hasil negatif, skrining cukup
dilakukan 2-3 tahun sekali.7 Bila dana sangat terbatas skrining dapat dilakukan
tiap 10 tahun atau sekali seumur hidup dengan tetap memberikan hasil yang
signifikan.9,36,37
WHO merekomendasikan1 :
- Bila skrining hanya mungkin dilakukan 1 kali seumur hidup maka
sebaiknya dilakukan pada perempuan antara usia 35-45 tahun.
- Untuk perempuan usia 25-49 tahun, bila sumber daya memungkinkan,
skrining hendaknya dilakukan 3 tahun sekali.
- Untuk perempuan dengan usia diatas 50 tahun, cukup dilakukan 5 tahun
sekali
- Bila 2 kali berturut-turut hasil skrining sebelumnya negatif, perempuan
usia diatas 65 tahun, tidak perlu menjalani skrining.
- Tidak semua perempuan direkomendasikan melakukan skrining setahun
sekali
20
Tes Pap atau pemeriksaan sitologi diperkenalkan oleh Dr. George
Papanicolau sejak tahun 1943. Sejak tes ini dikenal luas, kejadian
kanker leher rahim di negara-negara maju menurun drastis.
Pemeriksaan ini merupakan suatu prosedur pemeriksaan yang
mudah,murah, aman, dan non-invasif. Beberapa penulis melaporkan
sensitivitas pemeriksaan ini berkisar antara 78-93%, tetapi
pemeriksaan ini tak luput dari hasil positif palsu sekitar 16-37% dan
negatif palsu 7-40% Sebagian besar kesalahan tersebut disebabkan
oleh pengambilan sediaan yang tidak adekuat, kesalahan dalam
proses pembuatan sediaan dan kesalahan interpretasi. 20,38, 39,40,41
b. Pemeriksaan sitologi cairan (Liquid-base cytology/LBC)
Dikenal juga dengan Thin Prep atau monolayer. Tujuan metode ini
adalah mengurangi hasil negatif palsu dari pemeriksaan Tes Pap
konvensional dengan cara optimalisasi teknik koleksi dan preparasi
sel. Pada pemeriksaan metode ini sel dikoleksi dengan sikat khusus
yang dicelupkan ke dalam tabung yang sudah berisi larutan fiksasi.
Keuntungan penggunaan teknik monolayer ini adalah sel abnormal
lebih tersebar dan mudah tertangkap dengan fiksasi monolayer
sehingga mudah dikenali. Kerugiannya adalah butuh waktu yang
cukup lama untuk pengolahan slide dan biaya yang lebih mahal. 20, 42
2. Metode pemeriksaan DNA-HPV
Deteksi DNA HPV dapat dilakukan dengan metode hibridisasi berbagai
cara mulai dari cara Southern Blot yang dianggap sebagai baku emas,
filter in situ, Dot Blot, hibridisasi in situ yang memerlukan jaringan biopsi,
atau dengan cara pembesaran, seperti pada PCR (Polymerase Chain
Reaction) yang amat sensitif. 20, 42, 43, 44, 45, 46
3. Metode inspeksi visual
a. Inspeksi visual dengan lugol iodin (VILI)
b. Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA)
Selain dua metode visual ini, dikenal juga metode visual kolposkopi
dan servikografi.
Setiap metode skrining mempunyai sensitifitas dan spesifisitas berbeda.
Sampai saat ini belum ada metode yang ideal dimana sensitivitas dan spesifisitas
21
100% (absolut). Oleh karena itu, dalam pemeriksaan skrining, setiap wanita harus
mendapat penjelasan dahulu (informed consent)
Berikut adalah tabel perbandingan metode dengan kelemahan dan
kelebihannya masing-masing :
22
Tes DNA HPV Tes DNA HPV Pengambilan Hasil tes tidak Digunakan
secara sampel lebih didapat secara komersial
molekuler. mudah dengan segera di negara-negara
Pengambilan Proses pembacaan Biaya lebih maju sebagai
sampel dapat otomatis oleh alat mahal tambahan
dilakukan khusus Fasilitas pemeriksaan
sendiri oleh Dapat dikombinasi laboratorium sitologi
wanita dan dengan Tes Pap lebih mahal dan
dibawa ke untuk canggih
laboratorium meningkatkan Perlu reagen
sensitivitas khusus
Spesifitas tinggi Spesifitas
terutama pada rendah pada
perempuan >35 perempuan
tahun muda (,35
tahun)
23
BAB V
METODE IVA
Di negara maju, skrining secara luas dengan metode pemeriksaan sitologi tes
Pap telah menunjukkan hasil yang efektif dalam menurunkan insidens kanker leher
rahim. Namun di negara-negara berkembang yang hanya memiliki sumber daya
terbatas, skrining hanya menjangkau sebagian kecil perempuan saja, terutama di
daerah perkotaan. Ada beberapa kelemahan tes Pap diantaranya keterbatasan jumlah
laboratorium sitologi dan tenaga sitoteknologi terlatih, sehingga menyebabkan hasil tes
Pap baru didapat dalam rentang waktu yang relatif lama (berkisar 1 hari- 1 bulan).20,47
Skrining dengan metode tes Pap memerlukan tenaga ahli, sistem transportasi,
komunikasi dan tindak lanjut (follow-up) yang belum dapat dipenuhi oleh negara-negara
berkembang.48 Hanya sebagian kecil dari perempuan yang menjalani dan mendapatkan
hasil tes Pap juga menjalani evaluasi dan pengobatan yang semestinya bila ditemukan
abnormalitas.47 Sebagai konsekuensinya, angka insidens kanker leher rahim tetap tinggi
dan kebanyakan pasien datang pada stadium lanjut.48
Masalah yang berkembang akibat keterbatasan metode tes Pap inilah yang
mendorong banyak penelitian untuk mencari metode alternatif skrining kanker leher
rahim. Salah satu metode yang dianggap dapat dijadikan alternatif adalah metode
inspeksi visual dengan asam asetat (IVA).47,48,49,50,51,52,53,54 Efektivitas IVA sudah di teliti
oleh banyak peneliti. Walaupun demikian perbandingan masing-masing penelitian
tentang IVA agak sulit dievaluasi karena perbedaan protokol dan populasi. Secara
umum dapat dikatakan bahwa sensitivitas IVA untuk mendeteksi High Grade SIL
berkisar 60-90 %., sehingga dapat dikatakan bahwa sensitifitas IVA setara dengan
sitologi walaupun spesifisitasnya lebih rendah. 47-54
Metode IVA memberi peluang dilakukannya skrining secara luas di tempat-tempat
yang memiliki sumberdaya terbatas, karena metode ini memungkinkan diketahuinya
hasil dengan segera dan terutama karena hasil skrining dapat segera ditindaklanjuti.49-51
Metode satu kali kunjungan (single visit approach) dengan melakukan skrining metode
IVA dan tindakan bedah krio untuk temuan lesi prakanker (see and treat) memberikan
peluang untuk peningkatan cakupan deteksi dini kanker leher rahim, sekaligus
mengobati lesi prakanker.
24
V.1. Dasar Pemeriksaan IVA
Pemeriksaan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah pemeriksaan yang
pemeriksanya (dokter/bidan/paramedis) mengamati leher rahim yang telah diberi asam
asetat/asam cuka 3-5% secara inspekulo dan dilihat dengan penglihatan mata telanjang.
46,49,55
Pemeriksaan IVA pertama kali diperkenalkan oleh Hinselman (1925) dengan cara
memulas leher rahim dengan kapas yang telah dicelupkan dalam asam asetat 3-
5%.56Pemberian asam asetat itu akan mempengaruhi epitel abnormal, bahkan juga akan
meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler yang bersifat
hipertonik ini akan menarik cairan dari intraseluler sehingga membran akan kolaps dan
jarak antar sel akan semakin dekat. Sebagai akibatnya, jika permukaan epitel mendapat
sinar, sinar tersebut tidak akan diteruskan ke stroma, tetapi dipantulkan keluar sehingga
permukaan epitel abnormal akan berwarna putih, disebut juga epitel putih (acetowhite).57
Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan akan berwarna putih juga
setelah pemulasan dengan asam asetat tetapi dengan intensitas yang kurang dan cepat
menghilang. Hal ini membedakannya dengan proses prakanker yang epitel putihnya
lebih tajam dan lebih lama menghilang karena asam asetat berpenetrasi lebih dalam
sehingga terjadi koagulasi protein lebih banyak. Jika makin putih dan makin jelas, main
tinggi derajat kelainan jaringannya.58 Dibutuhkan 1-2 menit untuk dapat melihat
perubahan-perubahan pada epitel. Leher rahim yang diberi 5% larutan asam asetat
akan berespons lebih cepat daripada 3% larutan tersebut. Efek akan menghilang sekitar
50-60 detik sehingga dengan pemberian asam asetat akan didapatkan hasil gambaran
leher rahim yang normal (merah homogen) dan bercak putih (mencurigakan displasia).
Lesi yang tampak sebelum aplikasi larutan asam asetat bukan merupakan epitel putih,
tetapi disebut leukoplakia; biasanya disebabkan oleh proses keratosis.59
25
endoserviks rahim dalam kanalis servikalis sehingga tidak bisa dilihat dengan inspeksi
spekulum.1
Perempuan yang akan diskrining berada dalam posisi litotomi, kemudian dengan
spekulum dan penerangan yang cukup, dilakukan inspeksi terhadap kondisi leher
rahimnya. Setiap abnormalitas yang ditemukan, bila ada, dicatat. Kemudian leher rahim
dioles dengan larutan asam asetat 3-5% dan didiamkan selama kurang lebih 1-2 menit.
Setelah itu dilihat hasilnya. Leher rahim yang normal akan tetap berwarna merah muda,
sementara hasil positif bila ditemukan area, plak atau ulkus yang berwarna putih.48,60
Lesi prakanker ringan/jinak (NIS 1) menunjukkan lesi putih pucat yang bisa berbatasan
dengan sambungan skuamokolumnar. Lesi yang lebih parah (NIS 2-3 seterusnya)
menunjukkan lesi putih tebal dengan batas yang tegas, dimana salah satu tepinya selalu
berbatasan dengan sambungan skuamokolumnar (SSK)2 . Beberapa kategori temuan
IVA tampak seperti tabel berikut :
26
sambungan skuamokolumnar
- lesi acetowhite yang luas, circumorificial, berbatas tegas, tebal
dan
padat
-pertumbuhan pada leher rahim menjadi acetowhite
Baku emas untuk penegakan diagnosis lesi prakanker leher rahim adalah biopsi
yang dipandu oleh kolposkopi.1,48 Apabila hasil skrining positif, perempuan yang
diskrining menjalani prosedur selanjutnya yaitu konfirmasi untuk penegakan diagnosis
melalui biopsi yang dipandu oleh kolposkopi. Setelah itu baru dilakukan pengobatan lesi
prakanker. Ada beberapa cara yang dapat digunakan yaitu kuretase endoservikal,
1
krioterapi, atau loop electrosurgical excision procedure (LEEP) , laser, konisasi, sampai
histerektomi simpel.
27
Penelitian Universitas Zimbabwe dan JHPIEGO Cervical cancer project yang
melibatkan 2.203 perempuan di Zimbabwe melaporkan bahwa skrining dengan metode
IVA dapat mengidentifikasi sebagian besar lesi prakanker dan kanker. Sensitivitas IVA
dibanding pemeriksaan sitologi (Tes Pap) berturut-turut adalah 76,7% dan 44,3%.
Meskipun begitu, dilaporkan juga bahwa metode IVA ini kurang spesifik, angka
spesifisitas IVA hanya 64,1% dibanding sitologi 90,6%.48 Penelitian lainnya mengambil
sampel 1997 perempuan di daerah pedesaan di Cina, dilakukan oleh Belinson JL dan
kawan-kawan untuk menilai sensitivitas metode IVA pada lesi prakanker tahap NIS 2
atau yang lebih tinggi, dikonfirmasi dengan kolposkopi dan biopsi leher rahim. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa angka sensitivitas IVA untuk NIS 2 atau yang lebih tinggi
adalah 71%, sementara angka spesifisitas 74%.2
Beberapa penelitian menunjukkan sensitivitas IVA lebih baik daripada sitologi.
Claey et al.3 melaporkan penelitiannya di Nikaragua, bahwa metode IVA dapat
mendeteksi kasus LDT (Lesi Derajat Tinggi) dan kanker invasif 2 kali lebih banyak
daripada Tes Pap. Demikian juga laporan dari Basu et al.17
Berikut adalah tabel tampilan beberapa kajian tentang IVA yang telah dilakukan
oleh beberapa peneliti terdahulu.
28
(2000)65 Selatan dan lebih
berat
Sankaranarayan India 3.000 90 92 Sitoteknisi Displasia
et al (1998)45 sedang,
berat
atau
lebih
berat
Sankaranarayan India 1.351 96 68 Perawat Displasia
et al (1999)46 sedang,
berat
atau
lebih
berat
Londhe et al. India 372 72 54 Tidak spesifik LISDT
(1997)55 dan lebih
berat
Megevand et al. Afrika 2.426 65 98 Perawat LISDT
(1996)49 dan lebih
berat
Cecchini et al. Itali 2.105 88 83 Bidan NIS 2
(1993)52 dan lebih
berat
Slawson et al. USA 2.827 29 97 Klinikus NIS 2
(1992)54 dan lebih
berat
Ottaviano M., Itali 2.400 Tidak di uraikan jelas Kolposkopist, NIS 1-2
LaTorreP (1982) postgrad.train dan
50
Berat
LISDT : Lesi Intraepitel Skuamosa Derajat Tinggi
Nama Peneliti Jumlah Hasil Tes IVA Sensitivitas Spesifisitas Nilai Prediksi Baku
Subjek Positif (%) (%) (%) Positif Emas
Prevalensi (%)
Lesi
Prakanker
(%)
Hanafi, dkk67. 1000 1.2 90.9 99.8 83.3 Tes Pap
(Indonesia, 2002) 1.3 - - 16.7 Kolp-biopsi
(LDR+LDT)
0.5 (LDT)
Nuranna L20 1260 1.98 92.3 98.8 48 Tes Pap
(Indonesia, 2005) 0.92
(LISDR+DT)
0.2 (LISDT)
29
Ocviyanti D66 1250 10.4 - - 51.5 Kolposkopi
(Indonesia, 2006) 5.4 (biopsi)
(LDR+LDT)
0.2 (LDT)
30
Tabel sensitifitas, spesifisitas berbagai metode skrining terhadap CIN 2.162
Metode Sensitivitas(%) Spesifisitas (%)
Berbagai penelitian telah menyatakan bahwa skrining dengan metode IVA lebih
mudah, praktis dan lebih sederhana, mudah, nyaman, praktis dan murah. Pada tabel
dibawah ini dapat dilihat perbandingkan antara pap smear dan IVA dalam berbagai
aspek pelayanan.
Skrinner/ Sitologis/Patologis
Sensitivitas 70 % - 80% 65% - 96%
Spesifisitas 90% - 95% 54% - 98%
Hasil 1 hari – 1 bulan Langsung
Sarana Spekulum Spekulum
Lampu sorot Lampu sorot
Kaca benda (slide) Asam asetat
Laboratorium
Biaya Rp. 15.000 – Rp. 75.000 Rp. 3.000
Dokumentasi Ada (dapat dinilai ulang) Tidak ada
31
Tabel Persiapan fasilitas kesehatan dan sumber daya manusia untuk program
skrining kanker leher rahim di Indonesia66
32
Komponen Biaya Tes Pap (Rp) IVA (Rp)
1. Komponen diagnostik untuk alat habis pakai :
a. Lidi kapas (tes Pap 2 bh, IVA 3 bh) 500 750
b. Spatula 500 --
c. Cito brush 3000 --
d. Kaca benda (object glass/slide) 2000 --
e. Alkohol 95% 500 --
f. Asam asetat 3-5% -- 500
g. Sarung tangan 1000 1000
h. Reagen (untuk pewarnaan) 10.000 --
33
BAB VI
DISKUSI
1. Hasil kajian perbandingan akurasi skrining metode IVA dengan metode-metode yang
lain.
Meskipun protokol pelaksanaan pemeriksaan ini bervariasi, hasil penelitian yang
dilakukan di beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa metode IVA
mempunyai sensitivitas yang sebanding dengan tes Pap dalam mendeteksi lesi
prakanker derajat tinggi meskipun spesifisitasnya lebih rendah dari tes Pap. 66 Kurang
spesifiknya skrining dengan metode ini diantaranya karena subyektivitas petugas medis
yang melakukan pemeriksaan di lapangan, selain dipengaruhi juga oleh prevalensi
kasus. Pada daerah dengan prevalensi kasus yang rendah, angka kejadian positif palsu
dari pemeriksaan akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah yang memiliki
prevalensi kasus lebih tinggi.68,69,70,71 Hal tersebut dapat diperbaiki dengan meningkatkan
supervisi atau melakukan pemeriksaan triase.
Upaya lain adalah dengan triase untuk meningkatkan efektivitas suatu
pemeriksaan dengan menambahkan pemeriksaan lain, jika hasil pemeriksaan pertama
menunjukkan hasil positif (dilakukan pemeriksaan dua tahap, yaitu pemeriksaan
gabungan dengan cara serial) 68-71
Dalam penerapan skrining kanker leher rahim di Indonesia, usia target saat ini
adalah antara usia 30-50 tahun, meskipun begitu pada perempuan usia 50-70 tahun
34
yang belum pernah diskrining sebelumnya masih perlu diskrining untuk menghindari
lolosnya kasus kanker leher rahim.
Selain sasaran diatas, semua perempuan yang pernah melakukan aktivitas
seksual perlu menjalani skrining kanker leher rahim.
WHO tidak merekomendasikan perempuan yang sudah menopause menjalani
skrining dengan metode IVA karena zona transisional leher rahim pada kelompok ini
biasanya berada pada endoleher rahim dalam kanalis servikalis sehingga tidak bisa
dilihat dengan inspeksi spekulum.1 Namun untuk pelaksanaan di Indonesia, perempuan
yang sudah mengalami menopause tetap dapat diikut sertakan dalam program skrining,
untuk menghindari terlewatnya penemuan kasus kanker leher rahim. Perlu disertakan
informed consent pada perempuan golongan ini, mengingat alasan di atas. Tidak
ditemukannya lesi prekanker tidak berarti tidak ada lesi prakanker pada golongan
perempuan ini.
4. Implementasi metode IVA dalam program skrining kanker leher rahim di berbagai
tingkat pelayanan kesehatan di Indonesia.
Jika tim skrining sudah cukup kompeten, terapi dengan krioterapi dapat langsung
dilakukan pada hasil IVA positif. Namun jika masih ada keraguan, pada hasil skrining
IVA positif dapat dimasukkan ke alur triase sebagai mana yang diusulkan pada hasil
kajian Ocviyanti. 66
35
BAB VII
REKOMENDASI
1. Tes Pap merupakan pilihan utama metode skrining kanker leher rahim. Namun
dalam penerapan di pelayanan primer yang lebih luas, metode IVA
direkomendasikan menjadi metode skrining alternatif pada kondisi yang tidak
memungkinkan dilakukan pemeriksaan yang berbasis sitologi. ( rekomendasi
B)
2. Sasaran skrining IVA adalah perempuan usia 30-50 tahun. Pada usia diatas 50
tahun, atau sudah menopause, dianjurkan untuk melakukan skrining yang
berbasis sitologi. Bila tes Pap tidak mungkin dilakukan, tetap dianjurkan
melakukan pemeriksaan inspekulo untuk tujuan downstaging. (rekomendasi C)
36
DAFTAR PUSTAKA
4 Aziz, MF. Masalah pada kanker serviks. Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta, 2001:
133;5-7.
5 Dirjen Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI, Badan Registrasi Kanker IAPI,
Yayasan Kanker Indonesia. Kanker di Indonesia tahun 1997, Data histopatologik.
37
16
Nasiell K.Nasiell M. Vaclavinkova V. Behavior of moderate cervical dysplasia during
long-term follow-up. Obste-Gynecol 1983;61:609-614.
17
Benedet JL, Ngan HYS, Hacker NF. Staging Classifications and clinical practice
guidelines of gyneecologic cancers. Int J Gynecol Cancer. 2000;70:207-312.
18
Boon ME, Suurmeijer AJH. The Tes Pap. Leyden: Coulomb: 1991.
19
Pretoriun R, Semrad N, Watring W, Fotherongham N, Presentation of cervical cancer.
Gynecol Oncol 1991; 42: 48 – 52
20
Nuranna, L. Penanggulangan Kanker Leher rahim yang Sahih dan Andal dengan
metode Proaktif-VO (Proaktif, koordinatif dengan skrining IVA dan terapi krio).
Desertasi program Doktor. FKUI, Jakarta 2005.
21
Sjamsuddin S. Terapi destruksi local pada neoplasia intraepitel serviks. Dalam :
Sjamsuddin S, Indarti J. Kolposkopi dan Neoplasia Intraepitel Serviks. Ed ke-
2.Jakarta. Perhimpunan Patologi Serviks dan Kolposkopi Indonesia .2001: 90 – 8.
22
Nuranna L. Terapi NIS dengan eksisi. Dalam : Sjamsuddin S, Indarti J. Kolposkopi
Dan Neoplasia Intraepitel Serviks. Ed ke-2.Jakarta. Perhimpunan Patologi Serviks
dan Kolposkopi Indonesia .2001: 99–110.
23
Meryman HT. Mechanics of freezing in living cells and tissues. Science 1986;
124:515:19.
24
Singer AS. Managing the young women with an abnormal cervical smear. The
Practitioner 1983;227:725-31.
25
Ordell LD, Rimker K, Hagerty C. Electrocautery for cervical neoplasia. J Reprod Med
1971;6:143 - 46
26
Chanen W, Hollyock VE, Colposcopy and electrocoagulation diathermy for cervical
dysplasia and carcinoma in situ. Obstet Gynaecol 1971; 37: 623–28.
27
Rome RM. Electrocoagulation diathermy for cervical intraepithelial neoplasia. Am J.
Obstet Gynaecol 1983; 61: 673–77
28
Belina JH, Wright VC, Voros JL, Riopelle MA, Hohenschutz V. Carbodioxide laser
management of cervical intraepitethelial neoplasia. By laser vaporisation.Br.J. Obstet
Gynecol 1985; 92: 394–98.
29
Cartier R. Practical Colposcopy. Besel – Munchen – Paris – New York – Sydney : S
Kanger, 1977: 94–109.
30
Prendiville W, Lullimore NS. Large Loop excision of the transformation zone (LLETZ).
A new methode of management for women which cervical intraepithelial neoplasia.
Brit J Obstet Gynecol. 1989; 96 :1054 - 60.
38
31
Campion Michael. Preinvasive Disease in : Berek JS, Hacker NF, eds. Practical
Gynecologic Oncology. 3 rd ed. Philadelphia-Baltimore : Lippincott Williams and
Wilkins ,2000 : 271–344.
32
Monaghan JM. Surgical Technique on precancer cervix. In : Burghardt E, Monaghan
JM, Kindermann G, Tamussino K. Eds. Surgical Gynecologic Oncology. New York :
George Thieme Verlag Stuttgart, Thieme Medical Publishers Inc, 1993: 265–76.
33
Hacker NF. Cervical Cancer. In: Berek JS, Hacker NF. (eds). Practical gynecologic
oncology. 3rd edit, Philadelphia-Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins, 2000: 345–
405.
34
Park TW, Fuiwara H, Wright TC. Molecular biology of cervical cancer and its
precursor. Cancer 1995;76:1902-1913.
35
Barzon et al.Guidelines of the Italian Society for Virology on HPV testing and
vaccination for cervical cancer prevention. Infectious Agents and Cancer 2008 3:14
doi:10.1186/1750-9378-3-14
36
IARC Working group on evaluation of cervical cancer screening
programmes.Screening for squamous cervical cancer: duration of low risk after
negative results of cervical cytology and its implication for screening policies. British
Medical Journal 293:659-664 (September 13, 1986)
37
Miller AB, Cervical cancer screening programmes : managerial guidelines. Geneva :
WHO 1992.
38
IARC working group on Evaluation of Cervical Cancer Programmes. Screening for
Squamous Cervical cancer: duration of low risk after negative result of cervical
citology and its implications for screening policies. Brit Med J 1986 ; 293: 659-64 (88)
39
Soepardiman HM, Sianturi MHR, Lubis M. Manual Pap Smir. Jakarta. Subbagian
Sitopatologi Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI 1988. (89)
40
The 1988 Bethesda system for reporting cervical/vaginal cytologic diagnoses,
developed and approved at the national cancer institute workshop, Bethesda,
Maryland USA December 12-13, 1988. Acta Cytol 1989; 33 (5) : 567- 74 (90)
41
Solomon D, Davey DD, Kurman R. The Bethesda system: Terninology for reporting of
cervical cytology. J Am Med Assoc 2002; 287; 2114-119 (91)
42
Manos NM, Ting Y, Wright DK. Use of Polymerase Chain reaction amplification for
the detection of genital human papilomavirus. Cancer cells 1989; 2009- 12 (105)
43
Cuzick J, Szarewski A, Terry G, Ho L, Hanby A, Maddoc P. Human papilomavirus
testing on frimary cervical screening.Lancet 1995; 345: 1533-36 (106)
44
Manos NM, Lommeu WK, Hurley LB, Sherman ME, Shieh-Ngai J, Kurman RJ, et al.
Identifying women with cervical neoplasia : using human papilomavirus DNA testing
for equivocal Papanicolau result. J AmMed Assoc 1999; 281: 1605-610. (107)
39
45
Sankaranarayan R, Pisani P. Franco E, Monsonego J. Prevention measures in the
third world: are they practical? New developments in cervical cancer screening and
prevention. Oxford : Blackwell Science, 1997:70-83
46
Sankaranarayan R, Shyamalakumary B., wesley R. Visual inspection with acetic acid
in the early detection of cervical cancer and precursors. Int J Cancer 1999: 80(1);
161-63
47
Jeronimo J, et al. Visual Inspection with acetic acid for cervical cancer screening
outside of low-resource settings. Pan Am J Public Health 17 (1),2005.
48
Visual inspection with acetic acid for cervical cancer screening test qualities in a
primary care setting. University of Zimbabwe/JHPIEGO Cervical cancer
project.Lancet 1999;363(9156):869-73.
49
Megevand E, Denny L, Dehaeck K, Soeters R, Bloch B. Acetic acid visualization of
the cervix : an alternative to cytologic screening. Obstet Gynecol. 1996;88(3):383-6.
50
Ottaviano M, La Torre P,. Examination of the cervix with the naked eye using acetic
acid test. Am J Obstet Gynaecol 1982; 143: 139-42
51
Van Le L, Broekhuizen FF, Janzer-Steele R, Behare M, Samler T. Acetic acid
visualization of the cervix to detect cervical dysplasia. Obstet Gynecol 1993; 81:293-
95
52
Cecchini S, Bonardi R, Mazzotta A, Grazzini G, Iossa A, Ciatto S. Testing
cervicosgraphy and cervicoscopy as screening tests for cervical cancer. Tumori
1993;79;22-25
53
Abrams J. A preliminary study of the Gynoscope: an adjunct to cytologic screenings
of the cervix. Am J Gynecol Health 1990;4:37-43
54
Slawson DC, Bennet JH, Herman JM. Are Papanicolaou smears enough? Acetic acid
washes of the cervix as adjunctive therapu: a HARNET study: Harrisburg Area
Research Network. J Fam Pract 1992;35:271-77.
55
Londhe M.,George S.S., Seshadri L., Detection of NIS by naked eyes visualization
after application of acetic acid. Indian J Cancer. 1997: 34 (2): 88-91 (109)
56
Sherris JD, Wells ES, Tsu VD, Bishop A. Cervical cancer in developing countries : a
situation analysis. Program for Appropriate Technology in Health (PATH) 1993.
57
Singer A.. Monaghan JM, Examinaation for cervical precancer use colposcopy. In :
Singer A.. Monaghan JM,eds. Lower genital tract cervical pre colposcopy, pathology
and treatment. 1st ed. Boston : Blackwell, 1994 : 10-5
58
Singer A.. Monaghan JM, Examinaation for cervical precancer use colposcopy. In :
Singer A.. Monaghan JM,eds. Lower genital tract cervical pre colposcopy, pathology
and treatment. 1st ed. Boston : Blackwell, 1994 : 10-5
40
59
Burghardt E. Histopathology of cervical epithelium. In : Burghardt E. Colposcopy
cervical pathology. Textbook and atlas. 2nd revised and enlarged ed. Stutgart-New
York Georg Thieme Verlag, 1991 : 8-60
60
Nazeer S. Cervical cancer screening training module 2 : Aided visual inspection of the
cervix ―acetic acid test‖. Geneva Foundation for Medical Education and Research.
Diakses pada http://www.gfmer.ch/
61
Sankaranarayan R, et.al. Test characteristics of visual inspection with 4% acetic acid
(VIA) and lugol’s iodine (VILI) in cervical cancer screening in Kerala, India. Int. J.
Cancer : 106, 404-408 (2003)
62
Arbyn, Marc. et al. Pooled analysis of the accuracy of five cervical cancer screening
test assessed in eleven studies in Africa and India. Int. J. Cancer :123, 153-160
(2008)
63
Doh AS, Nkele NN, Achu P, Essimbi F, Essame O, Nkeogum B. Visual inspection with
acitic acid and cytology as screening methods for cervical lesions in Cameroon. Int J of
Gynecology and Obstetrics. 2005 : 89 (2); 167-73
64
Ghaemmaghami F, Behtash N, Modares Gilani M, et al. Visual Inspection with acetic
acid as a feasible screening test for cervical neoplasia in Iran. Int J Gynecological
Cancer. 2004: 14 (3); 465-69
65
Denny L, Kuhn L, Pollack A. et al. Evaluation of alternative methods of cervical cancer
screening for resource-poor settings. Cancer 2000: 89(4):826-33
66
Ocviyanti D. Tes Pap, tes HPV, dan servikografi sebagai pemeriksaan triase untuk
tes IVA positif : upaya tindak lanjut deteksi dini kanker serviks pada fasilitas
kesehatan dengan sumber daya terbatas beserta analisis sederhana efektivitas
biayanya. Ringkasan Disertasi. Program Doktor Ilmu Epidemiologi Program
Pascasarjana Fakultas Kedokteran Masyarakat Universitas Indonesia. Jakarta, 2006.
68
Fletcher RW, Fletcher SW. Clinical Epidemiology- the Esentials. 4th ed. Baltimore :
Lippincot Williams & Wilkins, 2005; 35-56
69
Gordis L. Epidemiology. 3rd ed. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2004; 71-94.
70
Browner SW, Newman TB, Cummings SR, Hulley SB. Designing a New Study : III.
Diagnostic Tests. In : Hulley SB, Cummings SR. Designing Clinical Research.
Baltimore, Lippincot Williams & Wilkins 1988: 87-97
71
Greenberg RS, Daniels SR, Flanders WD, Eley JW, Boring JR. Diagnostic Testing. In
: Medical Epidemiology 3rd ed. USA, Lange Medical Books/ McGraw Hill, 2001: 77-
90.
41