Anda di halaman 1dari 9

Studi mengenai Tindakan Infantisida Perempuan di Masa Kolonial India

Abstrak
Tindakan infantisida perempuan di masyarakat India merupakan perilaku yang
sudah lama dilakukan. Infantisida perempuan adalah membunuh bayi perempuan secara
sengaja. Selain itu, juga terdapat tradisi lain yaitu aborsi yang selektif terhadap jenis
kelamin, yang dikenal dengan fetisida perempuan. Praktik-pratik yang banyak
dilakukan oleh komunitas di masa kolonial di India secara negatif mempengaruhi posisi
wanita India. Meskipun tindakan ini direfleksikan sebagai ancaman sosial pada zaman
India kuno, tindakan ini tidak berkurang dibawah serangan gencar kalangan pelajar
India pada periode waktu yang lama, sehingga mengurangi vitalitas masyarakat India
selama bertahun-tahun. Akan tetapi, untuk mengeliminasi praktik ini dari lingkungan
sosio-kultural India, kolonis Inggris mengambil inisiatif untuk menegakkan regulasi
secara ketat dalam usaha untuk menekan tindakan tersebut di India. Usaha mereka
sangat efektif pada beberapa daerah, tetapi sayangnya, tradisi infantisida perempuan ini
tidak sepenuhnya hilang dari masyarakat India.

Kata kunci: infantisida, perempuan, orang Inggris, orang India.

Latar belakang
Masyarakat India memiliki riwayat panjang terkait kejahatan sosial dan tradisi
sejak zaman kuno. Kejahatan sosial yang merajalela di masyarakat India saat
pemerintahan Inggris di India adalah terutama sistem sati, infantisida perempuan, sistem
purdah, sistem kasta, pernikahan anak-anak, devadasi, konsumsi alkohol, dan lain-lain.
Dari kejahatan-kejahatan ini, praktik infantisida perempuan masih sangat sedikit
diketahui oleh orang, namun praktiknya sangat dipercaya di keluarga India.
Infantisida perempuan umumnya didefinisikan sebagai perilaku untuk
membunuh bayi perempuan secara sengaja. Banyak komunitas terlepas dari kelas dan
kasta melakukan hal ini selama bertahun-tahun di masa kolonial, sehingga mengurangi
jumlah anak perempuan di India. Selain itu, juga terdapat praktik aborsi yang selektif
terhadap jenis kelamin di India, yang dikenal dengan fetisida perempuan. Akan tetapi,
praktik ini bukan merupakan fakta terbaru karena sudah diketahui sejak peradaban
Hindu kuno, dimana buktinya didapatkan dari kitab suci Hindu kuno yang berusia se-
tua Veda. Dinyatakan bahwa praktik ini berasal dari tindakan infantisida perempuan,
namun pertumbuhan dan penyebarannya telah dilaporkan sejak setelah masa kolonial.
Orang-orang kota, terutama dari kelas menengah lebih menyukai tindakan ini
dibandingkan orang-orang buta huruf yang kurang berada. Luaran (outcome) dari
tindakan ini adalah pengurangan jumlah anak saat lahir.
Korban utama infantisida perempuan pada masa kuno adalah komunitas yang
terutama berada di Negara Rajasthan, Uttar Pradesh, Bihar, Punjab, dan Bengal.
Dilaporkan bahwa praktik ini sangat luas di komunitas Rajput dan Bengali. Bahkan,
diantara masyarakat Rajputs, praktik ini sudah lazim dilakukan. Selain komunitas
Hindu, ancaman sosial ini juga terjadi pada orang-orang Muslim pada masa kolonial,
terutama pada orang Shia. Akan tetapi, orang-orang yang tinggal di negara timur laut
lebih beruntung karena tradisi ini sepenuhnya tidak diketahui oleh mereka. Di India
selatan, hanya sedikit kasta yang berkomitmen untuk melakukan tindakan infantisida
perempuan dibandingkan dengan di Utara. Akan tetapi, frekuensi kejadian infantisida di
beberapa daerah di India saat masa kolonial mengancam eksistensi anak perempuan di
masyarakat India. Selain di India, praktik ini juga sering dilakukan di beberapa provinsi
di China saat abad ke-19 era ini (current era/ CE).
Diasumsikan bahwa infantisida perempuan bermula dari kedekatan dan ritual
religius di masyarakat India. Sehingga, tidak ada yang berani menentang hal yang
bersifat takhyul ini. Tentunya, praktik ini diterima secara sosial. Dari awal abad ke-18
CE, terdapat beberapa contoh infantisida perempuan yang mengakibatkan berkurangnya
rasio jenis kelamin anak antara pria dan wanita secara drastis. Akan tetapi, terjadi
perubahan pada awal abad ke-19 CE, ketika beberapa intelijen India dan administrator
Inggris tertarik dengan hal ini dan menimbulkan serangan gencar terhadap perilaku ini.
Sebagai hasilnya, tindakan hukum diambil oleh kolonis Inggris untuk menjatuhkan hal
ini dari subkontinen India. Akan tetapi, praktik ini masih terjadi pada beberapa tempat.
Hal ini mengakibatkan wanita menempati posisi yang rendah di masyarakat India.
Artikel ini berfokus pada perilaku infantisida perempuan yang kuno, yang merajalela di
masyarakat India pada saat Inggris menguasai India. Metodologi yang digunakan untuk
menyusun artikel ini bersifat sejarah (historical) dan merupakan sebuah studi deskriptif
dan analitik. Artikel ini terutama berasal dari data sekunder yang dikumpulkan dari
buku referensi, jurnal, artikel penelitian, web dan majalah, dan lain-lain.

Motif di balik tindakan infantisida perempuan


Kebiasaan infantisida perempuan di India terjadi selama bertahun-tahun.
Beberapa pelajar memandang hal ini sebagai adanya suatu motif di balik praktik ini di
masyarakat India kontemporer. Salah satu motif adalah untuk menghindari beban
ekonomi yang besar. Tanggung jawab anak perempuan berada di orang tua karena
terdapat sistem mas kawin dimana orang tua wanita harus membayar mahar ke keluarga
pria saat pernikahan. Permintaan mas kawin saat itu mungkin sangat tinggi dan
umumnya terdiri dari sejumlah uang yang sangat banyak atau barang berharga.
Sehingga hal ini membuat orang tua menganggap anak perempuan sebagai tanggungan
ekonomi yang besar dan membuat anak laki-laki menjadi lebih disukai di masyarakat.
Atas nama mas kawin yang layak, permintaan uang dalam jumlah banyak untuk acara
pernikahan mungkin dianggap menindas orang tua wanita pada periode tersebut.
Permintaan yang tinggi tersebut melampaui kapasitas rata-rata mereka karena
kebanyakan hidup dibawah kemiskinan. Selain itu, juga disebutkan bahwa penguasa
Rajput, Raja Swai Jai Singh of Amber (1681-1743) mencoba untuk mengurangi
pengeluaran sehubungan dengan pernikahan anak perempuan. Hal ini merujuk pada
upacara pernikahan saat itu sangat mahal dan mas kawin menjadi hal yang penting pada
upacara pernikahan serta rata-rata dianggap untuk mencapai strata kasta tinggi di
masyarakat. Di sisi lain, berdasarkan sastra Hindu dikatakan bahwa pengaturan
pernikahan anak perempuan merupakan tugas utama orang tua dan kegagalan untuk
melaksanakan hal tersebut saat hidup dianggap sebagai penodaan terhadap sanksi
religius dan merupakan aib sosial. Tentunya, hal ini tidak terbatas hanya pada agama
Hindu. Hal ini juga berlaku pada Shia Muslim di masa kolonial India. Alasan dibalik
tindakan ini sama dengan pada agama Hindu. Pada komunitas mereka, kelahiran anak
perempuan juga dianggap sebagai pembawa sial untuk bentuk patriarki dan sistem mas
kawin. Sehingga, untuk menghindari kewajiban mas kawin, anggota keluarga
memutuskan untuk membunuh bayi perempuan dan lama kelamaan hal ini menjadi hal
yang biasa di masyarakat India.
Selain itu, pengaturan sosial di India terutama bersifat patriarki dimana wanita
tidak memiliki hak atas apa yang terjadi di kehidupan mereka. Hanya pria yang
menjalankan keluarga. Kepercayaan umum ini mengakar pada Rajputs dan kasta barat
lain serta India pusat saat abad ke-19 CE. Akan tetapi, merupakan struktur sosial
patriarki dimana wanita umumnya diberikan ke status bawahan di masyarakat dan
bahkan kelahiran seorang bayi perempuan dianggap sebagai kutukan. Disamping itu,
terdapat kepercayaan pada masyarakat bahwa hanya anak laki-laki yang dapat menjaga
orang tua mereka saat berusia tua dan melakukan ritual terakhir sesuai dengan sastra
religius Hindu. Tentunya, tepat untuk dikatakan bahwa warisan akan diwarisi oleh pria.
Pria juga dipercaya sebagai pencari nafkah keluarga dan mewarisi kemakmuran dari
kedua orang tua mereka. Untuk alasan ini, anak pria sangat disambut dan diinginkan
dibandingkan dengan anak wanita di lingkungan sosial dan kultural India.
Alasan lain dibalik tindakan ini adalah kebijaksanaan terkait kehormatan dan
kebanggaan kasta. Misalnya, bedis khutris, sebuah kasta yang dominan diantara Sikh
khutris dari daerah Punjab di India Utara melakukan hal ini secara luas. Alasan praktik
ini adalah lebih karena kebanggaan kasta dimana pernikahan anak perempuan mereka
hanya diperbolehkan dengan pria pada kasta yang sama, tetapi tidak boleh dengan laki-
laki yang memiliki status keluarga yang lebih rendah. Akan tetapi, anak laki-laki dapat
menikahi wanita dari keluarga dengan strata yang lebih rendah. Hal ini juga serupa di
Tamil Nadu di India Selatan, dimana kasta dominan, terutama Kallars dan Todas di
abad ke-19 CE melakukan hal ini. Hal ini menunjukkan bahwa motif dibalik tindakan
infantisida perempuan ini adalah untuk menghindari tercampurnya darah sehingga
mereka dapat menjaga kejernihan keturunan mereka.
Menurut kepercayaan orang-orang, infantisida perempuan merupakan sebuah
sanksi religius. Namun tidak ada referensi tindakan infantisida perempuan ini pada
beberapa kitab agama Hindu serta kehadiran tindakan ini sudah terjadi dari masa pre-
kolonial, yang tampak nyata di film dokumenter di masa kolonial India. Akan tetapi,
kebiasaan ini sangat tersebar ke daerah-daerah di banyak komunitas, terlepas dari kasta
dan kelas, yang sebelumnya tidak menganut kebiasaan tersebut. Sehingga, dapat
dikatakan bahwa motif atau alasan untuk melakukan ritual infantisida perempuan pada
masa kolonial adalah terutama karena alasan sosial, kultural, dan ekonomi, dan bukan
karena alasan agama, namun hal ini dapat berbeda dari daerah ke daerah.
Metode pembunuhan bayi perempuan
Pada masa kolonial di India, anggota kasta tinggi dan kelompok etnik
melakukan infantisida perempuan. Dalam membunuh anak mereka saat lahir, mereka
mengikuti cara tradisional. Hal yang sangat disayangkan untuk anak perempuan adalah
kadang-kadang ibu mereka sendiri yang berperan besar dalam melakukan hal tersebut.
Kelalaian ibu dalam memberi makan ke anak perempuan merupakan cara yang umum di
masyarakat India. Ibu juga memberikan opium atau obat beracun kepada anak melalui
puting payudara. Tentunya, semua ibu pada masa tersebut tidak suka untuk melakukan
hal tersebut. Disamping itu, juga terdapat ibu-ibu yang tidak ingin melakukan tindakan
yang tidak manusiawi ini. Faktanya, takdir bayi perempuan bergantung sepenuhnya
pada keputusan ayah. Kadang-kadang, bidan juga terlibat dalam membunuh bayi
perempuan, dan hal ini tidak disetujui oleh ibu dari bayi tersebut. Hal ini merupakan
bukti bahwa tindakan infantisida perempuan merupakan salah satu cara diskriminasi
terhadap wanita dan mengindikasikan bahwa ibu memiliki hak yang kecil terhadap anak
yang dilahirkannya.
Cara lain dalam membunuh bayi perempuan adalah dengan membuang bayi
tersebut ke sungai. Orang-orang yang tinggal dekat sungai Ganga umumnya membuang
bayi perempuan mereka ke sungai tersebut. Hal ini dikarenakan sungai Ganga dipercaya
oleh komunitas, terutama yang beragama Hindu, sebagai sungai suci atau river God.
Mereka sangat percaya bahwa kejernihan sungai Ganga dapat menjernihkan segala dosa
mereka. Selain itu, juga dikatakan bahwa pada beberapa kondisi yang unik, beberapa
orang tua yang beragama Hindu memberikan anak pertama mereka ke sungai Ganga
dan menganggap diri mereka bebas dari dosa-dosa. Gambaran anak perempuan yang
dilempar ke sungai merupakan hal yang umum pada masa ini. Hal ini juga dapat diamati
dari fakta bahwa “Maharaja Dalip Singh, anak laki-laki Ranjit Singh, menyebutkan
bahwa saat kecil dia melihat adik perempuannya dimasukkan ke dalam karung dan
dilempar ke sungai”. Sehingga, dapat dikatakan praktik ini sangat umum dilakukan dan
merajalela di masyarakat India saat masa kolonial. Diduga bahwa preferensi anak laki-
laki sangat tertanam di sistem keluarga India dan bahkan orang tua atau anggota
keluarga tidak segan untuk melakukan tindakan barbar tersebut.
Cara pembunuhan lain meliputi menenggelamkan bayi mereka di sebuah
kontainer besar berisi susu atau air panas, memberi makan mereka garam, serta
mengubur mereka di dalam pot dalam keadaan hidup. Karena ini merupakan kejahatan
domestik, tindakan ini dirahasiakan di dalam keluarga. Hal yang menarik adalah
tindakan ini terdiri dari ritual-ritual bersifat takhyul di beberapa daerah. Akan tetapi,
tidak terdapat bukti yang menyatakan bahwa kitab agama Hindu menyetujui hal
tersebut. Setiap daerah memiliki cara mereka untuk membunuh bayi. Tindakan barbar
dalam membunuh bayi perempuan serta meningkatkan insidens fetisida perempuan
merupakan ancaman sosial kronik yang berkontribusi secara besar dalam menurunkan
posisi wanita di masyarakat India.

Larangan untuk infantisida perempuan


Tindakan membunuh bayi perempuan secara sistematis dalam 1 tahun kelahiran
merupakan tindakan yang sangat keji dan tidak manusiawi. Tindakan barbar ini telah
mempengaruhi masyarakat India sejak zaman kuno. Meskipun ini merupakan ancaman
sosial, hal ini tidak menarik perhatian intelektual India atau Raja untuk menekan hal ini
dalam jangka waktu yang lama. Akan tetapi, pada saat Mughal menguasai India, Akbar
mencoba untuk mengeradikasi hal ini. Namun hal ini masih tetap berlangsung.
Pada masa kolonial di India, kebiasaan infantisida perempuan pada komunitas
India diperhatikan oleh orang Inggris pada tahun 1789 ketika tindakan tersebut
dilakukan secara terbuka diantara Rajputs di bagian Timur negara Uttar Pradesh.
Prevalensi tindakan ini juga ditemukan sepanjang pantai barat diantara Jharija Rajputs
dari Surat dan Kutch dari Gujarat. Cukup beruntung masih ada lima keluarga di Kutch
yang tidak melakukan tindakan ini. Namun banyak keluarga Hindu, Rathors dari Jaipun
dan Jodhpur melakukan hal ini secara besar-besaran. Selain itu, juga terdapat kasta lain
seperti Jats dan Mewatis yang tidak memiliki sistem mas kawin, namun juga melakukan
tindakan ini. Kebiasaan ini terus berlangsung hingga lebih dari 150 tahun.
Disebutkan bahwa pada tahun 1857 pada masa kolonial di Punjab, John Cave-
Brown mendokumentasikan tindakan pembunuhan bayi perempuan yang pertama
diantara Jats. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian infantisida perempuan banyak
terjadi saat abad ke 18 dan 19 CE dan terjadi di India Utara atau Barat, namun akhirnya
menyebar ke beberapa daerah di India. Selain itu, juga dikatakan bahwa karena
kebiasaan ini tidak ada satu pun anak perempuan yang lahir di kerajaan selama 100
tahun di abad ke-19 CE.
Di Calcutta, William Carey, sebuah misioner beragama Kristen melihat tindakan
infantisida perempuan ini ketika sedang melakukan survei di area yang berbeda.
Laporan yang detail kemudian diserahkan ke Lord Wellesley, Gubernur Umum dari
India Inggris untuk mengambil inisiatif terhadap kejahatan sosial ini. Sementara itu,
sikap pejabat Inggris dan orang India terhadap infantisida perempuan tampak serupa
pada masa kolonial. Sehingga, administrator pada masa kolonial pertama kali
mengadopsi metode persuasif dan koersif untuk meredam ancaman kronik ini. Namun
hal ini tidak efektif. Kemudian, sebuah regulasi yang dikenal dengan Bengal Regulation
XXI tahun 1795 pertama kali diatur dan mendeklarasikan infantisida sebagai tindakan
ilegal, yang ekivalen dengan pembunuhan. Selain itu, setelah beberapa tahun pada tahun
1804, satu lagi regulasi yang dikenal dengan Regulation III tahun 1804 diberlakukan di
India. Dengan regulasi ini, pembunuhan sistematis bayi perempuan dideklarasikan
sebagai sebuah kejahatan dan orang-orang yang terlibat dalam tindakan ini diperlakukan
sebagai kriminal dan dihukum dengan berat. Dengan cara ini, dan dengan bantuan
residen dan agen Politik di India, kelompok etnik yang melakukan tindakan tidak
manusiawi ini terpaksa dibuang. Namun, hal ini tidak berlangsung lama di kultur India,
yang kemungkinan terjadi karena kekurangan kerja sama antara penguasa asli India dan
orang yang konservatif. Sehingga, keberlangsungan tindakan infantisida dilaporkan
bahkan setelah adanya regulasi di beberapa bagian di India, terutama di provinsi barat
laut dan Rajputana. Dan dikatakan bahwa tidak ada usaha dari orang Inggris untuk
menekan infantisida perempuan di India Selatan saat Inggris menguasai India.
Tentunya, dibandingkan dengan bagian utara, sangat sedikit kasta di selatan yang
melakukan hal ini. Dikatakan bahwa pada saat abad ke-19 CE, sistem mas kawin tidak
berlaku di sebagian besar India Selatan.
Karena kegagalan tersebut, Pemerintah India kemudian memberlakukan undang-
undang untuk menahan orang yang melakukan infantisida perempuan. Undang-undang
(UU) ini terutama merupakan tindakan pencegahan. Berdasarkan UU, sejumlah petugas
ditunjuk untuk mempertahankan sistem registrasi kelahiran dan kematian pada bayi-
bayi di setiap desa. Setiap orang tua diwajibkan untuk mendaftarkan semua bayi mereka
dan untuk mengesahkan anak perempuan untuk beberapa tahun setelah kelahiran. Hal
ini menjadi sangat efektif karena mendapat dukungan dari raja asli dan para intelektual.
Dan para pembaharu asli bersikap suportif kepada orang Inggris, dimana Lord William
Bentinck dibujuk oleh direktur pengadilan untuk dapat memberlakukan regulasi untuk
menekan praktik imoral ini secara ketat.
Isu wanita kemudian diangkat untuk pertama kalinya di India pada abad ke-19
CE dan selanjutnya banyak pembaharu sosial di India juga tertarik dengan praktik
kejahatan ini. Beberapa dari mereka terinspirasi oleh ide laissez-faire dari barat, namun
beberapa lebih cenderung untuk mengembalikan kejayaan tradisi India kuno. Dikatakan
bahwa ayah dari renaisans India, Raja Rammohan Roy secara terbuka mengutuk
tindakan ini, sedangkan para revivalis, seperti Dayananda Swarswati dan Vivekananda
tidak kenal lelah dan berusaha untuk meningkatkan status wanita dengan membawa
kembali norma India kuno. Hal yang menarik adalah kebanyakan mencari kredibilitas
untuk ide dan tindakan mereka di teks Sansekerta kuno. Akan tetapi, dikatakan karena
sebagian besar wanita India pada masa ini buta huruf, pejabat Inggris pada masa
kolonial mengadopsi program edukasi dan hal ini berefek dalam menurunkan biaya
untuk upacara pernikahan. Karena hal ini, banyak wanita di keluarga Hindu mengagumi
administrator pada masa kolonial. Akibatnya, pada beberapa daerah di masa kolonial
India, tindakan infantisida perempuan menjadi dianggap berlebihan. Namun hal yang
sangat disayangkan adalah tidak seluruhnya masyarakat India dapat bebas sepenuhnya
dari tradisi kejahatan ini dan prevalensi tindakan ini masih dilaporkan pada masa post-
kolonial.

Kesimpulan
Tindakan infantisida perempuan merupakan salah satu karakteristik terpenting
dari masyarakat India pada masa kolonial. Banyak komunitas di India, terlepas dari
kasta, kepercayaan, dan kelas melakukan infantisida perempuan secara luas, yang
mempengaruhi vitalitas masyarakat India dalam waktu yang lama. Tindakan tradisi ini
juga melibatkan beberapa ritual yang bersifat takhyul. Usaha administrator Inggris dan
intelijen India untuk menekan infantisida perempuan secara ketat telah diamati sejak
Inggris menguasai India. Akan tetapi, tindakan ini masih tetap terjadi. Faktanya,
tindakan membunuh bayi perempuan dan melenyapkan janin perempuan merupakan
tanda diskriminasi gender dan ketidakdilan gender serta merupakan tindakan yang
bersifat sadis terhadap wanita, sehingga menurunkan posisi wanita India. Dukungan dan
aktivitas wanita di keluarga tidak dianggap sebagai nilai untuk membentuk masyarakat
India yang lebih baik. Sehingga, pemberdayaan wanita di lingkungan masyarakat India
harus dibahas secara signifikan untuk memberikan derajat yang sama (ekual) dengan
pria.

Anda mungkin juga menyukai