MANAJEMEN NYERI
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Definisi
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang diakibatkan adanya kerusakan
jaringan yang sedang atau akan terjadi, atau pengalaman sensorik dan emosional yang
merasakan seolah-olah terjadi kerusakan jaringan. (International Association for the Study of
Pain)
Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas, memiliki hubungan
temporal dan kausal dengan adanya cedera atau penyakit.
Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama. Nyeri kronik
adalah nyeri yang terus ada meskipun telah terjadi proses penyembuhan dan sering sekali
tidak diketahui penyebabnya yang pasti.
B. Asesmen Nyeri
1. Anamnesis
a. Riwayat penyakit sekarang
b. Onset nyeri: akut atau kronik, traumatik atau non-traumatik.
c. Karakter dan derajat keparahan nyeri: nyeri tumpul, nyeri tajam, rasa terbakar, tidak
nyaman, kesemutan, neuralgia.
d. Pola penjalaran / penyebaran nyeri, durasi dan lokasi nyeri
e. Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal, kesemutan, mual/muntah, atau
gangguan keseimbangan / kontrol motorik.
f. Faktor yang memperberat dan memperingan
g. Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya, termasuk respons terapi
h. Gangguan / kehilangan fungsi akibat nyeri / luka
i. Penggunaan alat bantu
j. Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas hidup dasar (activity of
daily living)
k. Singkirkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan, seperti adanya fraktur yang
tidak stabil, gejala neurologis progresif cepat yang berhubungan dengan sindrom
kauda ekuina.
l. Riwayat pembedahan / penyakit dahulu
m. Riwayat psiko-sosial
n. Riwayat konsumsi alkohol, merokok, atau narkotika
o. Identifikasi pengasuh / perawat utama (primer) pasien
p. Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi menimbulkan eksaserbasi
nyeri
q. Pembatasan /restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial yang berpotensi
menimbulkan stres. Pertimbangkan juga aktivitas penggantinya.
r. Masalah psikiatri (misalnya depresi, cemas, ide ingin bunuh diri) dapat menimbulkan
pengaruh negatif terhadap motivasi dan kooperasi pasien dengan program
penanganan / manajemen nyeri ke depannya. Pada pasien dengan masalah psikiatri,
diperlukan dukungan psikoterapi / psikofarmaka.
s. Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan stres bagi pasien /
keluarga.
t. Riwayat pekerjaan
Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti mengangkat benda
berat, membungkuk atau memutar; merupakan pekerjaan tersering yang berhubungan
dengan nyeri punggung.
u. Obat-obatan dan alergi
Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi nyeri (suatu studi
menunjukkan bahwa 14% populasi di AS mengkonsumsi suplemen / herbal, dan 36%
mengkonsumsi vitamin)
v. Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, durasi, efektifitas, dan efek
samping.
w. Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan obat-obatan dengan efek
samping kognitif dan fisik.
x. Riwayat keluarga
Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetik.
y. Asesmen sistem organ yang komprehensif
z. Evaluasi gejala kardiovaskular, psikiatri, pulmoner, gastrointestinal, neurologi,
reumatologi, genitourinaria, endokrin, dan muskuloskeletal).
2. Asesmen nyeri
a. Visual Analog Scale ( VAS ) untuk pasien berusia lebih dari 7 tahun.
b. FLACC Scale (Face, Leg, Activity, Cry, Consolability) : untuk pasien berusia 2 bulan –
7 tahun
SKOR
KATEGORI
Scoring
Category
0 1 2
Tidak ada
Sesekali meringis atau Dagu bergetar terus
ekspresi yang
Wajah mengerutkan kening, menerus dan rahang
jelas atau
tidak tertarik mengunci
F senyuman
No particular Occasional grimace or Frequent to constant
Face
expression or frown, withdrawn, quivering chin,
smile disinterested clenched jaw
Menendang-
Posisi normal
Tungkai Gelisah, tegang nendang, kaki
atau relax
L terangkat
Normal position Kicking, or legs
Legs Uneasy, restless, tense
or relaxed drawn up
Berbaring
tenang, posisi Pinggang menggeliat Badan melengkung
Aktivitas normal, kedepan dan kaku atau
bergerak belakang, tegang menyentak-nyentak
A
dengan mudah
Lying quietly,
Squirming, shifting Arched, rigid or
Activity normal position,
back and forth, tense jerking
move easly
Tidak ada Terus menangis,
Mengerang atau
tangisan (saat menjerit atau
Tangisan merengek, sesekali
bangun atau mengisak, sering
mengeluh
C tidur) mengeluh
Crying stedily,
No cry (awake or Moans or whimpers,
Cry screams or sobs,
asleep) occasional complaint
frequent complaints
Dapat ditenangkan
Membuat dengan sesekali Sulit untuk
Mudah
tenang & sentuhan, pelukan ditenangkan atau
ditenangkan
nyaman atau diajak bicara dibuat nyaman
C untuk mengalihkan
Reassured by
occasional touching, Difficult to console or
Consolability Content, relaxed
hugging or being talked comfort
to, distractible
c. CRIES Scale (Crying, Requires oxygen, Increased vital signs, Expression, Sleep) :
untuk pasien berusia 0 hari – 2 bulan
Skor
0 1 2
Komponen
Peningkatan tanda- Baik nadi dan Nadi atau tekanan Nadi atau tekanan darah
tanda vital (BP & HR) tekanan darah tak darah meningkat tapi meningkat di atas >
berubah atau masih dibawah <20% 20% nilai dasar
dibawah nilai nilai dasar
normal
Ekspresi wajah Tidak ada ekspresi Wajah meringis Wajah meringis,
wajah menangis menangis tanpa suara
d. CCPOT Scale (Critical Care Pain Observation Tool) untuk pasien yang mengalami
penurunan kesadaran/ terpasang ventilator
Skor
Komponen 1 2 3 4
Ekspresi wajah Tak tampak Sedikit mengerut secara Meringis
kontraksi otot mengerut, misal: penuh/ misal hingga
wajah/relaks mengerutkan menutup kelopak
dahi mata
Gerakan tubuh Tidak bergerak Gerakan lambat Berusaha mencabut
sama sekali berusaha selang (tube),
menyentuh berusaha duduk,
daerah nyeri gerakan tangan/ kaki
tidak mematuhi
perintah, mencoba
melompat
Ketegangan otot Tak ada tahanan Ada tahanan saat Tahanan kuat sampai
saat digerakkan digerakkan tidak bisa dikerjakan
Mengikuti Alarm tidak Alarm bunyi tapi Asinkroni, alarm
ventilator/ bunyi, ventilasi berhenti sendiri sering bunyi
terintubasi lancar
Vokalisasi Bicara secara Mengeluh atau Menangis atau
(ekstubasi) normal mengerang berteriak
Penggunaan Tidak Menggunakan Menggunakan
analgetika/sedatif menggunakan analgetika atau analgetika atau sedatif
analgetik atau sedatif secara secara kontinue
sedative intermitten
TOTAL SKOR :
e. Comfort Scale
Tanggal /
Kategori Skor waktu
Pada pasien dalam pengaruh obat anestesi atau dalam kondisi sedasi sedang,
asesmen dan penanganan nyeri dilakukan saat pasien menunjukkan respon berupa ekspresi
tubuh atau verbal akan rasa nyeri.
Asesmen ulang nyeri: dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari beberapa jam
dan menunjukkan adanya rasa nyeri, sebagai berikut:
Lakukan asesmen nyeri yang komprensif setiap kali melakukan pemeriksaan fisik
pada pasien
Dilakukan pada: pasien yang mengeluh nyeri, 1 jam setelah tatalaksana nyeri, setiap
empat jam (pada pasien yang sadar/ bangun), pasien yang menjalani prosedur
menyakitkan, sebelum transfer pasien, dan sebelum pasien pulang dari rumah sakit.
Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan asesmen ulang setiap
5 menit setelah pemberian nitrat atau obat-obat intravena
Pada nyeri akut / kronik, lakukan asesmen ulang tiap 30 menit – 1 jam setelah
pemberian obat nyeri.
Derajat nyeri yang meningkat hebat secara tiba-tiba, terutama bila sampai
menimbulkan perubahan tanda vital, merupakan tanda adanya diagnosis medis atau bedah
yang baru (misalnya komplikasi pasca-pembedahan, nyeri neuropatik).
3. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan umum
1) Tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh
2) Ukurlah berat badan dan tinggi badan pasien
3) Periksa apakah terdapat lesi / luka di kulit seperti jaringan parut akibat operasi,
hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas jarum suntik
4) Perhatikan juga adanya ketidaksegarisan tulang (malalignment), atrofi otot,
fasikulasi, diskolorasi, dan edema.
b. Status mental
1) Nilai orientasi pasien
2) Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek, dan segera.
3) Nilai kemampuan kognitif
4) Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi, tidak ada
harapan, atau cemas.
c. Pemeriksaan sendi
Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimetrisan. Nilai dan catat pergerakan
aktif semua sendi, perhatikan adanya keterbatasan gerak, diskinesis, raut wajah
meringis, atau asimetris.
Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat abnormal / dikeluhkan
oleh pasien (saat menilai pergerakan aktif). Perhatikan adanya limitasi gerak, raut
wajah meringis, atau asimetris. Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri ,
pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cedera ligamen.
d. Pemeriksaan motorik
Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan menggunakan kriteria di bawah ini.
Derajat Definisi
5 Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan tahanan
kuat
4 Mampu melawan tahanan ringan
3 Mampu bergerak melawan gravitasi
2 Mampu bergerak / bergeser ke kiri dan kanan tetapi tidak
mampu melawan gravitasi
1 Terdapat kontraksi otot (inspeksi / palpasi), tidak
menghasilkan pergerakan
0 Tidak terdapat kontraksi otot
e. Pemeriksaan sensorik
Lakukan pemeriksaan: sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum-pin prick), getaran,
dan suhu.
f. Pemeriksaan neurologis lainnya
Evaluasi nervus kranial I – XII, terutama jika pasien mengeluh nyeri wajah
atau servikal dan sakit kepala, periksa refleks otot, nilai adanya asimetris dan klonus.
Untuk mencetuskan klonus membutuhkan kontraksi > 4 otot.
4. Pemeriksaan radiologi
Indikasi:
a. Pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degeneratif tulang belakang, pasien dengan
kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang belakang, penyakit inflamatorik, dan
penyakit vascular.
b. Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung kemih, atau ereksi.
c. Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang
d. Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu
e. Pemilihan pemeriksaan radiologi: bergantung pada lokasi dan karakteristik nyeri.
f. Foto polos: untuk skrining inisial pada tulang belakang (fraktur, ketidaksegarisan
vertebra, spondilolistesis, spondilolisis, neoplasma)
g. MRI: gold standard dalam mengevaluasi tulang belakang (herniasi diskus, stenosis
spinal, osteomyelitis, infeksi ruang diskus, keganasan, kompresi tulang belakang,
infeksi)
h. CT-scan: evaluasi trauma tulang belakang, herniasi diskus, stenosis spinal.
i. Radionuklida bone-scan: sangat bagus dalam mendeteksi perubahan metabolisme
tulang (mendeteksi osteomyelitis dini, fraktur kompresi yang kecil/minimal,
keganasan primer, metastasis tulang).
C. Manajemen Nyeri
Dalam manajemen nyeri, terdapat empat teknik yang bisa digunakan, antara lain :
1. Stimulas kutaneus
Merupakan teknik reduksi nyeri dengan melakukan stimulasi pada kulit untuk
menghilangkan nyeri. Beberapa teknik untuk stimulasi kulit antara lain :
a. Kompres dingin
b. Analgetic ointments
d. Contralateral stimulation, yaitu massage kulit pada area yang berlawanan dengan area
nyeri
2. Distraksi
Merupakan teknik reduksi nyeri dengan mengalihkan perhatian kepada hal lain
sehingga kesadaran terhadap nyerinya berkurang. Teknik distraksi dapat dilakukan
diantaranya dengan cara :
a. Nafas dalam lambat dan berirama
b. Massage and slow, rhythmic breating
d. Active listening
e. Guided imagery (kekuatan imajinasi klien bisa dengan mendengarkan musik yang
lembut)
3. Anticipatory Guidance
Merupakan teknik reduksi yang dilakukan oleh perawat dengan cara memberikan
informasi yang dapat mencegah terjadinya misinterpretasi dari kejadian yang dapat
menimbulkan nyeri dan membantu pemahaman apa yang diharapkan. Informasi yang
diberikan kepada klien diantaranya:
a. Penyebab nyeri
b. Proses terjadinya nyeri
d. Berat-ringannya nyeri
e. Lokasi nyeri
f. Informasi tentang keamanan yang akan diberikan kepada klien
4. Relaksasi
Teknik relaksasi terutama efektif untuk nyeri kronik dan memberikan beberapa
keuntungan, antara lain :
a. Relaksasi akan menurunkan ansietas yang berhubungan dengan nyeri atau stres.
b. Menurunkan nyeri
f. Menurunkan perasaan tak berdaya dan depresi yang timbul akibat nyeri
Stewart (1976: 959), menganjurkan beberapa teknik relaksasi antara lain sebagai berikut :
Klien menarik nafas dalam dan menahannya di dalam paru
Secara perlahan-lahan keluarkan udara dan rasakan tubuh menjadi kendor dan
rasakan betapa nyaman hal tersebut
Klien mengambil nafas dalam kembali dan keluarkan secara perlahan - lahan, pada
saat ini biarkan telapak kaki relaks. Perawat minta kepada klien untuk
mengkonsentrasikan pikiran pada kakinya yang terasa ringan dan hangat.
Ulangi langkah diatas dan konsentrasikan pikiran pada lengan, perut, punggung dan
kelompok otot-otot yang lain.
Setelah klien merasa relaks, klien dianjurkan bernafas secara perlahan. Bila nyeri
menjadi hebat klien dapat bernafas secara dangkal dan cepat.
Anti-konvulsan
Carbamazepine: efektif untuk nyeri neuropatik. Efek samping: somnolen, gangguan berjalan,
pusing. Dosis: 400 – 1800 mg/hari (2-3 kali perhari). Mulai dengan dosis kecil (2 x 100 mg),
ditingkatkan perminggu hingga dosis efektif.
Gabapentin: Merupakan obat pilihan utama dalam mengobati nyeri neuropatik. Efek samping
minimal dan ditoleransi dengan baik. Dosis: 100-4800 mg/hari (3-4 kali sehari).
Tramadol
Merupakan analgesik yang lebih poten daripada OAINS oral, dengan efek samping yang lebih
sedikit / ringan. Berefek sinergistik dengan medikasi OAINS.
Indikasi: Efektif untuk nyeri akut dan kronik intensitas sedang (nyeri kanker, osteoarthritis, nyeri
punggung bawahm neuropati DM, fibromyalgia, neuralgia pasca-herpetik, nyeri pasca-operasi.
Efek samping: pusing, mual, muntah, letargi, konstipasi.
Jalur pemberian: intravena, epidural, rektal, dan oral.
Dosis tramadol oral: 3-4 kali 50-100 mg (perhari). Dosis maksimal: 400mg dalam 24 jam.
Titrasi: terbukti meningkatkan toleransi pasien terhadap medikasi, terutama digunakan pada pasien
nyeri kronik dengan riwayat toleransi yang buruk terhadap pengobatan atau memiliki risiko tinggi
jatuh.
Opioid
Merupakan analgesik poten (tergantung-dosis) dan efeknya dapat ditiadakan oleh nalokson.
Contoh opioid yang sering digunakan: morfin, sufentanil, meperidin.
Dosis opioid disesuaikan pada setiap individu, gunakanlah titrasi.
Adiksi terhadap opioid sangat jarang terjadi bila digunakan untuk penatalaksanaan nyeri akut.
Efek samping:
Depresi pernapasan, dapat terjadi pada:
Overdosis : pemberian dosis besar, akumulasi akibat pemberian secara infus, opioid long acting
Pemberian sedasi bersamaan (benzodiazepin, antihistamin, antiemetik tertentu)
Adanya kondisi tertentu: gangguan elektrolit, hipovolemia, uremia, gangguan respirasi dan
peningkatan tekanan intrakranial.
Obstructive sleep apnoes atau obstruksi jalan nafas intermiten
Sedasi: adalah indikator yang baik untuk dan dipantau dengan menggunakan skor sedasi, yaitu:
0 = sadar penuh
1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah dibangunkan
2 = sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk, mudah dibangunkan
3 = sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan
S = tidur normal
Pemberian Oral:
sama efektifnya dnegan pemberian parenteral pada dosis yang sesuai.
Digunakan segera setelah pasien dapat mentoleransi medikasi oral.
Injeksi intramuscular:
merupakan rute parenteral standar yang sering digunakan.
Namun, injeksi menimbulkan nyeri dan efektifitas penyerapannya tidak dapat diandalkan.
Hindari pemberian via intramuscular sebisa mungkin.
Injeksi subkutan
Injeksi intravena:
Pilihan perenteral utama setelah pembedahan major.
Dapat digunakan sebagai bolus atau pemberian terus-menerus (melalui infus).
Terdapat risiko depresi pernapasan pada pemberian yang tidak sesuai dosis.
Injeksi supraspinal:
Lokasi mikroinjeksi terbaik: mesencephalic periaqueductal gray (PAG).
Mekanisme kerja: memblok respons nosiseptif di otak.
Opioid intraserebroventrikular digunakan sebagai pereda nyeri pada pasien kanker.
Injeksi spinal (epidural, intratekal):
Secara selektif mengurangi keluarnya neurotransmitter di neuron kornu dorsalis spinal.
Sangat efektif sebagai analgesik.
Harus dipantau dengan ketat
Injeksi Perifer
Pemberian opioid secara langsung ke saraf perifer menimbulkan efek anestesi lokal (pada
konsentrasi tinggi).
Sering digunakan pada: sendi lutut yang mengalami inflamasi2
Nyeri visceral:
Nosiseptor visceral lebih setikit dibandingkan somatic, sehingga jika terstimulasi akan
menimbulkan nyeri yang kurang bisa dilokalisasi, bersifat difus, tumpul, seperti ditekan benda
berat.
Penyebab: iskemi/nekrosis, inflamasi, peregangan ligament, spasme otot polos, distensi organ
berongga / lumen.
Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual, muntah, hipotensi, bradikardia, berkeringat.
Nyeri neuropatik:
Berasal dari cedera jaringan saraf
Sifat nyeri: rasa terbakar, nyeri menjalar, kesemutan, alodinia (nyeri saat disentuh), hiperalgesia.
Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat cedera (sementara pada nyeri
nosiseptif, nyeri dialami pada tempat cederanya)
Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple sclerosis, herniasi diskus, AIDS, pasien
yang menjalani kemoterapi / radioterapi.
Berikut adalah algoritma pemberian opioid intermiten (prn) intravena untuk nyeri akut, dengan
syarat:
Hanya digunakan oleh staf yang telah mendapat instruksi
Tidak sesuai untuk pemberian analgesik secara rutin di ruang rawat inap biasa
Efek puncak dari dosis intravena dapat terjadi selama 15 menit sehingga semua pasien harus
diobservasi dengan ketat selama fase ini.
Algoritma Pemberian Opioid Intermiten Intravena untuk Nyeri Akut8
ya
tidak
Saat dosis telah diberikan, lakukan Apakah diresepkan opioid IV? Minta untuk diresepkan
monitor setiap 5 menit selama
minimal 20 menit.
Tunggu hingga 30 menit dari
Gunakan spuit 10ml
pemberian dosis terakhir sebelum
ya Ambil 10mg morfin sulfat
mengulangi siklus.
dan campur dengan NaCl
Dokter mungkin perlu untuk
0,9% hingga 10ml (1mg/ml)
meresepkan dosis ulangan
Berikan label pada spuit
Siapkan NaCl
ATAU
Ya, tetapi telah
diberikan dosis Gunakan spuit 10ml
total Ambil 100mg petidin dan
ya campur dengan NaCl 0,9%
Observasi rutin hingga 10ml (10mg/ml)
tidak
Berikan label pada spuit
ya
Nyeri Skorya
sedasi 0 atau 1? tidak Minta saran ke dokter senior
Tunda dosis hingga skor sedasi <2 dan
kecepatan pernapasan > 8 kali/menit.
Pertimbangkan nalokson IV (100ug)
Kecepatan pernapasan
ya
> 8 kali/menit?
tidak
Non-farmakologi:
Olah raga
Imobilisasi
Pijat
Relaksasi
Stimulasi saraf transkutan elektrik8
Pencegahan
Edukasi pasien:
Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien, serta tatalaksananya.
Diskusikan tujuan dari manajemen nyeri dan manfaatnya untuk pasien
Beritahukan bahwa pasien dapat mengubungi tim medis jika memiliki pertanyaan / ingin
berkonsultasi mengenai kondisinya.
Pasien dan keluarga ikut dilibatkan dalam menyusun manajemen nyeri (termasuk penjadwalan
medikasi, pemilihan analgesik, dan jadwal control).
Kepatuhan pasien dalam menjalani manajemen nyeri dengan baik
Anamnesis dan
pemeriksaan fisik
Asesmen nyeri
ya
Apakah etiologi nyeri Prioritas utama: identifikasi
bersifat reversibel? dan atasi etiologi nyeri
tidak
Nyeri bersifat tajam, Nyeri bersifat difus, seperti Nyeri bersifat menjalar, rasa
menusuk, terlokalisir, seperti ditekan benda berat, nyeri terbakar, kesemutan, tidak
ditikam tumpul spesifik.
Algoritma Manajemen Nyeri Akut7
tidak
Kembali ke kotak Mekanisme Analgesik adekuat?
‘tentukan tidak nyeri sesuai?
mekanisme ya
nyeri’
ya
Efek samping Manajemen
pengobatan? efek samping
tidak
Follow-up /
nilai ulang
MANAJEMEN NYERI KRONIK
Lakukan asesmen nyeri:
anamnesis dan pemeriksaan fisik (karakteristik nyeri, riwayat manajemen nyeri sebelumnya)
pemeriksaan penunjang: radiologi
asesmen fungsional:
nilai aktivitas hidup dasar (ADL), identifikasi kecacatan / disabilitas
buatlah tujuan fungsional spesifik dan rencana perawatan pasien
nilai efektifitas rencana perawatan dan manajemen pengobatan
Asesmen lainnya:
Asesmen psikologi: nilai apakah pasien mempunyai masalah psikiatri (depresi, cemas, riwayat
penyalahgunaan obat-obatan, riwayat penganiayaan secara seksual/fisik.verbal, gangguan tidur)
Masalah pekerjaan dan disabilitas
Faktor yang mempengaruhi:
Kebiasaan akan postur leher dan kepala yang buruk
Penyakit lain yang memperburuk / memicu nyeri kronik pasien
Hambatan terhadap tatalaksana:
Hambatan komunikasi / bahasa
Faktor finansial
Rendahnya motivasi dan jarak yang jauh terhadap fasilitas kesehatan
Kepatuhan pasien yang buruk
Kurangnya dukungan dari keluarga dan teman
1. Tetapkan tujuan
Perbaiki skor kemampuan fungsional (ADL) menjadi:____ pada tanggal: _________
Kembali ke aktivitas spesifik, hobi, olahraga____________ pada tanggal: _________
a. ____________________________________________
b. ____________________________________________
c. ____________________________________________
Kembali ke kerja terbatas/ atau kerja normal pada tanggal: __________
5. Kurangi nyeri (level nyeri terbaik minggu lalu: ____/10, level nyeri terburuk minggu lalu: ____/10)
Tatalaksana non-medikamentosa
a. Dingin/panas ___________________________________________
b. ______________________________________________________
Medikasi
a. ______________________________________________________
b. ______________________________________________________
c. ______________________________________________________
d. ______________________________________________________
Terapi lainnya: ___________________________________________________
nyeri otot
lakukan skrining terhadap patologi medis yang serius, faktor psikososial yang dapat menghambat
pemulihan
berikan program latihan secara bertahap, dimulai dari latihan dasar / awal dan ditingkatkan secara
bertahap.
Rehabilitasi fisik:
Fitness: angkat beban bertahap, kardiovaskular, fleksibilitas, keseimbangan
mekanik
pijat, terapi akuatik
manajemen perilaku:
stress / depresi
teknik relaksasi
perilaku kognitif
ketergantungan obat
manajemen amarah
terapi obat:
analgesik dan sedasi
antidepressant
opioid jarang dibutuhkan
nyeri inflamasi
control inflamasi dan atasi penyebabnya
obat anti-inflamasi utama: OAINS, kortikosteroid
Keterangan:
Skor 7-13: tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
Skor 14-21: sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
Intervensi: injeksi spinal, blok saraf, stimulator spinal, infus intratekal, injeksi intra-sendi, injeksi
epidural
Terapi pelengkap / tambahan: akupuntur, herbal
Manajemen level 2
meliputi rujukan ke tim multidisiplin dalam manajemen nyeri dan rehabilitasinya atau pembedahan
(sebagai ganti stimulator spinal atau infus intratekal).
Indikasi: pasien nyeri kronik yang gagal terapi konservatif / manajemen level 1.
Biasanya rujukan dilakukan setelah 4-8 minggu tidak ada perbaikan dengan manajemen level 1. 9
Asesmen nyeri
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fungsi Pasien dapat mengalami
jenis nyeri dan faktor yang
mempengaruhi yang
Tentukan mekanisme nyeri beragam
Perifer (sindrom nyeri Nyeri miofasial Artropati inflamasi Nyeri punggung bawah
regional kompleks, (rematoid artritis) Nyeri leher
neuropati HIV, gangguan Infeksi Nyeri musculoskeletal
metabolik) Nyeri pasca-oparasi (bahu, siku)
Sentral (Parkinson, multiple Cedera jaringan Nyeri viseral
sclerosis, mielopati, nyeri
pasca-stroke, sindrom
fibromyalgia)
tidak
Apakah nyeri kronik? Pantau dan observasi
ya
ya
Apakah etiologinya dapat Atasi etiologi nyeri sesuai
dikoreksi / diatasi? indikasi
tidak
Asesmen lainnya
Prinsip level 1
Asesmen hasil
MANAJEMEN NYERI PADA PEDIATRIK
Prevalensi nyeri yang sering dialami oleh anak adalah: sakit kepala kronik, trauma, sakit perut dan
faktor psikologi
Sistem nosiseptif pada anak dapat memberikan respons yang berbeda terhadap kerusakan jaringan
yang sama atau sederajat.
Neonates lebih sensitif terhadap stimulus nyeri
Berikut adalah algoritma manajemen nyeri mendasar pada pediatrik:
Obat Non-obat
Analgesik Kognitif
Analgesik adjuvant Fisik
anestesi perilaku
Berikan umpan balik mengenai penyebab dan faktor yang mempengaruhi nyeri kepada orang tua (dan anak)
Berikan rencana manajemen yang rasional dan terintegrasi
Asesmen ulang nyeri pada anak secara rutin
Evaluasi efektifitas rencana manajemen nyeri
Revisi rencana jika diperlukan
Pemberian analgesik:
‘By the ladder’: pemberian analgesik secara bertahap sesuai dengan level nyeri anak (ringan,
sedang, berat).
Awalnya, berikan analgesik ringan-sedang (level 1).
Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik level 1, naiklah ke level 2 (pemberian analgesik
yang lebih poten).
Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol tetap diaplikasikan sebagai
analgesik adjuvant.
Analgesik adjuvant
Merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan untuk nyeri tetapi dapat berefek analgesik
dalam kondisi tertentu.
Pada anak dengan nyeri neuropatik, dapat diberikan analgesik adjuvant sebagai level 1.
Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi nyeri neuropatik.
Kategori:
Analgesik multi-tujuan: antidepressant, agonis adrenergic alfa-2, kortikosteroid, anestesi topical.
Analgesik untuk nyeri neuropatik: antidepressant, antikonvulsan, agonis GABA, anestesi oral-lokal
Analgesik untuk nyeri musculoskeletal: relaksan otot, benzodiazepine, inhibitor osteoklas,
radiofarmaka.
Berikut adalah tabel obat-obatan non-opioid yang sering digunakan untuk anak:
Obat-obatan non-opioid
Obat Dosis Keterangan
Parasetamol 10-15mg/kgBB oral, setiap Efek antiinflamasi kecil, efek gastrointestinal
4-6 jam dan hematologi minimal
Ibuprofen 5-10mg/kgBB oral, setiap Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien
6-8 jam dengan gangguan hepar/renal, riwayat
perdarahan gastrointestinal atau hipertensi.
Naproksen 10-20mg/kgBB/hari oral, Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien
terbagi dalam 2 dosis dengan disfungsi renal. Dosis maksimal
1g/hari.
Diklofenak 1mg/kgBB oral, setiap 8- Efek antiinflamasi. Efek samping sama
12 jam dengan ibuprofen dan naproksen. Dosis
maksimal 50mg/kali.
Terapi non-obat
Terapi kognitif: merupakan terapi yang paling bermanfaat dan memiliki efek yang besar dalam
manajemen nyeri non-obat untuk anak
Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal lain seperti music, cahaya, warna,
mainan, permen, computer, permainan, film, dan sebagainya.
Terapi perilaku bertujuan untuk mengurangi perilaku yang dapat meningkatkan nyeri dan
meningkatkan perilaku yang dapat menurunkan nyeri.
Terapi relaksasi: dapat berupa mengepalkan dan mengendurkan jari tangan, menggerakkan kaki
sesuai irama, menarik napas dalam.10
Terapi non-obat10
Kognitif Perilaku Fisik
Informasi latihan pijat
Pilihan dan control terapi relaksasi fisioterapi
Distraksi dan atensi umpan balik positif stimulasi termal
Hypnosis modifikasi gaya hidup / perilaku stimulasi sensorik
psikoterapi akupuntur
TENS (transcutaneous
electrical nerve stimulation)
Intervensi non-farmakologi
Terapi termal: pemberian pendinginan atau pemanasan di area nosiseptif untuk menginduksi
pelepasan opioid endogen.
Stimulasi listrik pada saraf transkutan / perkutan, dan akupuntur
Blok saraf dan radiasi area tumor
Intervensi medis pelengkap / tambahan atau alternatif: terapi relaksasi, umpan balik positif,
hypnosis.
Fisioterapi dan terapi okupasi.
Risiko efek samping OAINS meningkat pada lansia. Insidens perdarahan gastrointestinal meningkat
hampir dua kali lipat pada pasien > 65 tahun.
Semua fase farmakokinetik dipengaruhi oleh penuaan, termasuk absorbsi, distribusi, metabolisme,
dan eliminasi.
Pasien lansia cenderung memerlukan pengurangan dosis analgesik. Absorbs sering tidak teratur
karena adanya penundaan waktu transit atau sindrom malabsorbsi.
Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia.
Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih singkat.
Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis pengobatan.
Efek samping penggunaan opioid yang paling sering dialami: konstipasi.
Penyebab tersering timbulnya efek samping obat: polifarmasi (misalnya pasien mengkonsumsi
analgesik, antidepressant, dan sedasi secara rutin harian.)
Prinsip dasar terapi farmakologi: mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan hingga
tercapai dosis yang diinginkan.
Semua pasien yang mengkonsumsi opioid, sebelumnya harus diberikan kombinasi preparat senna
dan obat pelunak feses (bulking agents).
Pemilihan analgesik: menggunakan 3-step ladder WHO (sama dengan manajemen pada nyeri akut).
Nyeri ringan-sedang: analgesik non-opioid
Nyeri sedang: opioid minor, dapat dikombinasikan dnegan OAINS dan analgesik adjuvant
Nyeri berat: opioid poten
Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini adalah penyesuaian dosis dan hati-hati dalam
memberikan obat kombinasi
REFERENSI