Anda di halaman 1dari 79

PENERAPAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR


DI KABUPATEN BOGOR

FHENY FUZI LESTARI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
PENERAPAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM
PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR
DI KABUPATEN BOGOR

FHENY FUZI LESTARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat


untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN
FHENY FUZI LESTARI (E14103014). Penerapan Sistem Informasi Geografis dalam
Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan NINING
PUSPANINGSIH.

Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang
menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke
tempat yang lebih rendah. Kondisi topografi yang berbukit dan bergunung, tingginya
tingkat kepadatan penduduk di wilayah perbukitan serta pemanfaatan lahan dan ruang
yang kurang baik menimbulkan tekanan terhadap ekosistem. Untuk menghindari jatuhnya
korban yang lebih besar dan banyak akibat bahaya tanah longsor, diperlukan upaya-upaya
yang mengarah kepada tindakan meminimalisir akibat yang akan ditimbulkan. Untuk dapat
memantau dan mengamati fenomena tanah longsor di suatu kawasan diperlukan adanya
suatu identifikasi dan pemetaan daerah rawan tanah longsor yang mampu memberikan
gambaran kondisi kawasan yang ada berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya tanah
longsor.
Penentuan daerah kerawanan tanah longsor dilakukan berdasarkan lima
parameter yaitu curah hujan, penutupan lahan, geologi, kemiringan lereng dan jenis tanah.
Masing-masing parameter tersebut dilakukan pembobotan atau pemberian nilai yang
mempunyai pengaruh terhadap terjadinya tanah longsor. Semakin besar nilai bobot yang
diberikan artinya semakin memiliki kepekaan terhadap terjadinya tanah longsor. Kelima
peta tersebut di overlay dan dilakukan penghitungan skor kumulatif dengan menggunakan
model pendugaan yang berasal dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
tahun 2004, sehingga didapatkan peta penyebaran daerah rawan longsor.
Penutupan lahan di daerah penelitian terdiri dari hutan, kawasan industri, kebun
campuran/semak belukar, lahan kosong, perkebunan, pemukiman, sawah dan badan air.
Daerah rawan longsor di daerah penelitian terbagi menjadi tiga kelas yaitu daerah kurang
rawan longsor (17.879,40 ha / 17 %), daerah rawan longsor (78.128,16 ha / 74,5 %) dan
daerah sangat rawan longsor (8.906,61 ha / 8,49 %). Ke tiga kelas kerawanan tersebut
terdapat pada semua tipe penutupan lahan dengan jenis batuan yang mendominasi adalah
bahan volkanik-1. Daerah kurang rawan longsor terdapat pada kemiringan lereng datar
hingga agak curam dan jenis tanah yang mendominasi adalah assosiasi latosol coklat
latosol kemerahan dengan kondisi curah hujan relatif sedang (2000-2500 mm/tahun).
Daerah rawan longsor terdapat pada kemiringan lereng datar hingga curam, jenis tanah
yang mendominasi podsolik merah kekuningan dengan kondisi curah hujan relatif tinggi
(2500-3000 mm/tahun). Daerah sangat rawan longsor terdapat pada kemiringan lereng
landai hingga sangat curam, didominasi oleh jenis tanah podsolik merah kekuningan
dengan kondisi curah hujan sangat tinggi (>3000 mm/tahun).
Nanggung dan Pamijahan merupakan kecamatan yang memiliki kelas kerawanan
daerah rawan longsor dan daerah sangat rawan longsor. Kecamatan Nanggung memiliki
daerah rawan longsor seluas 10.963,46 ha dan daerah sangat rawan longsor seluas
1.340,01 ha. Sementara itu, kecamatan Pamijahan memiliki daerah rawan longsor seluas
8.221,73 ha dan daerah sangat rawan longsor seluas 3.823,66 ha. Daerah kurang rawan
longsor tersebar luas terutama disekitar kecamatan Babakan Madang yaitu 4.201,35 ha.

Kata Kunci : Pemetaan, Rawan longsor


SUMMARY
FHENY FUZI LESTARI (E14103014). Geographic Information System Application In
Mapping Areas With A Certain Of Landslide Potency In Bogor Regency. Under
Supervision of NINING PUSPANINGSIH.

Landslide soil is result of disturbance in the balance that cause movement of soil
mass and rock to a lower place. Mountainous topography, high number of settlement in
mountainous area, with an incorrect use of land is several factors that have a bad impact to
the ecosystem. Various actions need to be carried out to minimalize the negative
consequences due to each landslide case. This effort will allow related to one of it is
mapping and identification each area that I potent to landslide event. This effort will provide
a better picture of the region and allow a better observation based on the factor that cause
landslide.
An area that is potent to landslide is categorized based on five perimeters: level of
rainfall, land coverage, geology, slope, and soil condition. Each perimeter are scored
based on its impact on landslide case in the areas that became due object of this studies.
Higher score means higher effect of the perimeter to cause landslide. There are 5 (five)
map that is used, each contain one of the five perimeter. Those maps are overlayed and
cumulatively scored by estimation method of 2004 Vulcanology and Geological Disaster
Mitigation Directorat , that result a map of landslide area distribution.
Land coverage in areas of research consists of forest, industrial area, mixed
plantation/bush, abandoned land, plantation area, settlement, rice cultivation, and water
body. Areas potent to landslide are classified into three classes, which is areas that is lest
potent to landslide (17.879, 40 hectare/17%), intermediate potent to landslide (78.128,6
hectare / 74,5%) and highly potent to landslide (8.906,61 hectare / 8,49%). Each land
coverage contain all three classes of landslide potention (from low, intermediate, and high
potention) with volcanic-1 material dominating the type of rocks. Areas with a low potention
to landslide occurs in flat to a relatively steep slope with the type soil that dominating is
association of brown latosol and reddish latosol and iintermediate level of rainfall intensity
(2000-2500 mm per annum). Areas with an intermediate potention to landslide are
identified in areas with flat to steep slope, yellowish red podsolic soil type , and rainfall
intensity that is relatively high (2500-3000 mm annually). Areas that has a high potention of
llandslide happens in areas that is has a very steep slope, dominated by yellowish red
podsolic soil type and very intense rainfall (more than 3.000 mm per year).
Nanggung and Pamijahan district is largest area that has an intermediate high
potention to landslide. There are 10.963,46 hectare of area that have an intermediate
potention and 1.340,01 hectare of area that is highly potention to landslide in Nanggung
district. Pamijahan district have an area of 8.221,73 hectares with a medium potention and
3.823,66 hectares with a high potention to landslide. An area that is less potention is widely
identified around Babakan Madang district with a total 4.201,35 hectare.

Keyword: The hazardness of landslide, mapping


PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penerapan Sistem


Informasi Geografis dalam Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor
adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing
dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau
lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2008

Fheny Fuzi Lestari


NRP E14103014
Judul : Penerapan Sistem Informasi Geografis dalam Pemetaan
Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor
Nama : Fheny Fuzi Lestari
NRP : E14103014

Menyetujui:
Dosen Pembimbing

Dra. Nining Puspaningsih, M.Si


NIP. 131 918 662

Mengetahui:
Dekan Fakultas Kehutanan IPB

Dr.Ir. Hendrayanto, M. Agr


NIP. 131 578 788

Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada


tanggal 26 Februari 1986 dari pasangan Patullah, S.Pd dan
Euis Nurhayati. Penulis adalah anak pertama dari tiga
bersaudara.
Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun
1989 di TK Ibnu Sina dan lulus pada tahun 1991.
Kemudian melanjutkan ke jenjang sekolah dasar di SDN Cibening 1 (tahun 1991-
1997), sekolah menengah pertama di SMPN 1 Cibungbulang (tahun 1997-2000),
serta sekolah menengah umum di SMA KORNITA (tahun 2000-2003).
Pada tahun yang sama (2003) penulis diterima di Institut Pertanian Bogor,
Fakultas Kehutanan, Program Studi Manajemen Hutan melalui jalur USMI
(Undangan Seleksi Masuk IPB).
Selama masa studi di IPB, penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan
dan Pengelolaan Hutan (P3H) di KPH Ngawi, BKPH Getas Perum Perhutani Unit
II Jawa Timur pada bulan Agustus – September 2006, dan Praktek Kerja Lapang
(PKL) pada bulan April – Mei 2007 di HPHTI PT. Arara Abadi (Sinar Mas
Group) Provinsi Riau.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan
judul Penerapan Sistem Informasi Geografis dalam Pemetaan Daerah Rawan
Longsor di Kabupaten Bogor di bawah bimbingan Dra. Nining Puspaningsih,
M.Si.
i

KATA PENGANTAR

Alhamdulilah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena


berkat Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah
dengan judul Penerapan Sistem Informasi Geografis dalam Pemetaan Daerah
Rawan Longsor di Kabupaten Bogor.
Skripsi ini merupakan hasil pembahasan secara ilmiah terhadap
perkembangan teknologi Sistem Informasi Geografis yang diharapkan dapat
berguna dalam pemanfaatannya di dunia kehutanan masa kini dan masa yang akan
datang. Semoga tulisan ini dapat menjadi salah satu bagian dari ilmu pengetahuan
yang dapat berguna bagi kita semua. Penelitian ini dibimbing oleh Dra. Nining
Puspaningsih, M.Si.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi
menjadikan tulisan ini lebih baik dan bermanfaat.

Bogor, Maret 2008


Penulis
ii

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam perjalanan menyelesaikan studi untuk mendapatkan gelar sarjana


Kehutanan IPB, penulis mendapat banyak bantuan dan perhatian. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya.
2. Papa dan mama, yang selalu memberikan dukungan dan doa
3. Septiana dan Fathur atas semangat dan semua keceriaan yang sudah diberikan
sejak kecil hingga saat ini.
4. Dra. Nining Puspaningsih, M.Si. Selaku dosen pembimbing yang telah sabar
meluangkan waktu, tenaga dan fikiran dalam memberikan bimbingan,
pengarahan, dan saran selama penelitian hingga penyelesaian karya ilmiah
ini.
5. Bapak Dr. Ir. Gunawan Santosa, MS. selaku dosen penguji dari Departemen
Hasil Hutan dan Bapak Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, MS. selaku dosen
penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan.
6. Bapak dan ibu dosen Fakultas Kehutanan IPB yang dengan kemuliannya
telah membekali penulis dengan ilmu-ilmu yang tak ternilai hanya dengan
ucapan terima kasih.
7. Bapak Uus Saeful M. dan Mas Ewink atas ilmu dan bantuannya yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan laporan tugas akhir ini.
8. Maria Oktavia Peo Gambe, Novita Diah Arianti, Shinta Dewi Wisnu
Wijayanti dan Melda Rianita Aruan. Terima kasih untuk seikat persahabatan,
keceriaan, dan saat-saat indah yang pernah kita lalui bersama selama ini.
9. Aa Yana dan Botak yang selalu memberikan dukungan, doa, perhatian,
kesabaran dan kasih sayangnya selama ini.
10. Edy Saefrudin yang sudah membantu dalam pelaksanaan ground check
11. Teman satu perjuangan Danil dan Anna..terima kasih untuk kebersamaan kita
semenjak P3h, PKL, penelitian sampai selesainya skripsi ini
12. Seluruh MNH’40 : Ariz, Ichal, Agus, Nur, Ubai gila, Tante Lita, Aa Yandi,
Dhani, Zae, Elza, Maya, Broto, Achi, Latifah, Alim, Dwi, Irwan, Aziz, Dedi,
Dede, Dali, Azam, Tegar, Okky, Eko (Alm), Beno, Abu, Ika, dan Guruh.
iii

Terima kasih atas semangat, keceriaan dan kenangan indah selama masa
kuliah.
13. Keluarga besar ForsGe : Adila, Dega, Bety, Arfan, Adit, Iis, Hery, Asep,
Anggit, Faery, Aan, Heru, Nanik, Nur, Mba Desy dan Mba. Siti. Terima kasih
untuk keceriaan dan kebersamaan kita selama ini
14. Dan semua pihak yang telah banyak membantu penulis baik selama kuliah
maupun penelitian yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
iv

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. iv
DAFTAR TABEL......................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang.......................................................................... 1
1.2 Tujuan ...................................................................................... 3
1.3 Manfaat .................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bencana Tanah Longsor........................................................... 5
2.1.1 Definisi............................................................................ 5
2.1.2 Tanah longsor.................................................................. 6
2.1.3 Faktor penyebab longsor ................................................. 8
2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG) ........................................... 11
2.2.1 Definisi............................................................................ 11
2.2.2 Komponen SIG ............................................................... 12
2.2.3 Cara kerja SIG................................................................. 13
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................... 15
3.2 Alat dan Bahan......................................................................... 15
3.3 Metode Penelitian .................................................................... 17
3.3.1 Pengumpulan data ........................................................... 17
3.3.2 Pengolahan data spasial................................................... 17
3.3.3 Analisis data spasial ........................................................ 19
3.3.4 Analisis daerah rawan longsor ........................................ 23
BAB IV Kondisi Umum Lokasi
4.1 Letak Geografis dan Luas Daerah Penelitian........................... 25
4.2 Topografi.................................................................................. 25
v

4.3 Tanah........................................................................................ 26
4.4 Geologi..................................................................................... 26
4.5 Penutupan Lahan...................................................................... 26
4.6 Iklim ......................................................................................... 27
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Parameter Penyebab Tanah Longsor........................................ 28
5.1.1 Curah hujan ..................................................................... 28
5.1.2 Geologi............................................................................ 30
5.1.3 Jenis tanah ....................................................................... 32
5.1.4 Kemiringan lereng........................................................... 34
5.1.5 Penutupan lahan .............................................................. 36
5.2 Analisis Kerawanan Tanah Longsor ........................................ 39
5.2.1 Daerah kurang rawan longsor ......................................... 42
5.2.2 Daerah rawan longsor ..................................................... 44
5.2.3 Daerah sangat rawan longsor .......................................... 47
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan .............................................................................. 51
6.2 Saran......................................................................................... 52
PUSTAKA ACUAN ..................................................................................... 53
LAMPIRAN.................................................................................................. 55
vi

DAFTAR TABEL

No Halaman
1. Pengkelasan kemiringan lereng................................................................. 19
2. Sifat-sifat permeabilitas jenis tanah .......................................................... 20
3. Tingkat kepekaan tanah terhadap erosi ..................................................... 20
4. Pembagian kelas jenis tanah ..................................................................... 20
5. Klasifikasi intensitas curah hujan ............................................................. 21
6. Kelas penutupan lahan .............................................................................. 22
7. Pengkelasan jenis batuan .......................................................................... 22
8. Jumlah sample yang diambil pada setiap kelas kerawanan ...................... 24
9. Keadaan topografi di daerah penelitian..................................................... 25
10. Jenis tanah yang terdapat di daerah penelitian........................................ 26
11. Jenis batuan yang terdapat di daerah penelitian...................................... 26
12. Pola penutupan lahan di daerah penelitian.............................................. 27
13. Luas curah hujan daerah penelitian......................................................... 28
14. Luas formasi geologi daerah penelitian .................................................. 30
15. Luas jenis tanah daerah penelitian .......................................................... 32
16. Luas kelas kemiringan lereng daerah Penelitian..................................... 34
17. Luas penutupan lahan daerah penelitian ................................................. 36
18. Luas tingkat daerah rawan longsor di daerah penelitian......................... 39
vii

DAFTAR GAMBAR

No Halaman
1. Peta lokasi penelitian.................................................................................... 16
2. Bagan alir tahap penelitian........................................................................... 18
3. Peta curah hujan ........................................................................................... 29
4. Peta geologi.................................................................................................. 31
5. Peta tanah ..................................................................................................... 33
6. Peta kelas kemiringan lereng ....................................................................... 35
7. Peta penutupan lahan.................................................................................... 38
8. Peta tingkat daerah rawan longsor ............................................................... 40
9. Peta titik survey............................................................................................ 41
10. Lokasi longsor di daerah kurang rawan longsor ....................................... 44
11. Lokasi longsor di daerah rawan longsor .................................................... 47
12. Lokasi longsor di daerah sangat rawan longsor ......................................... 50
viii

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman
1. Wilayah rawan longsor di Provinsi Jawa Barat ........................................ 55
2. Desa-desa yang termasuk dalam lokasi penelitian.................................... 56
3. Luas kelas kerawanan per faktor penyebab longsor ................................. 61
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada masa 10 tahun terakhir ini, Kabupaten Bogor sebagai salah satu
“hinterland” yang terletak di bagian selatan Jakarta untuk sektor pemukiman,
industri maupun pariwisata. Tanpa disadari, perkembangan tersebut ternyata
merupakan ancaman bagi keberadaan fungsi Kabupaten Bogor sebagai daerah
konservasi air dan tanah. Perubahan penutupan lahan dan vegetasi yang sekaligus
meningkatkan wilayah pemukiman serta industri mempunyai andil yang cukup
signifikan dalam penurunan fungsinya sebagai daerah resapan.
Penurunan luas hutan dan peningkatan lahan kosong terjadi selama rentang
waktu 5 tahun (dari tahun 1998 ke tahun 2003), dimana luas hutan/vegetasi lebat
di kawasan hutan produksi menurun seluas 1.502 Ha (dari 4.385 Ha menjadi
2.883 Ha). Luas tanah kosong meningkat cukup drastis yaitu dari 13.508 Ha
menjadi 23.748 Ha, sedangkan luas tutupan hutan/vegetasi lebat menurun sekitar
1.357 Ha (dari 8.594 Ha menjadi 7.237 Ha). ( Jaya et al. 2003)
Peluang perubahan lahan yang tinggi sangat dipengaruhi oleh kepadatan
penduduk. Pertambahan jumlah penduduk yang pesat di wilayah Jakarta-Bogor-
Tangerang–Bekasi (Jabotabek) baik yang disebabkan oleh pertambahan alami
(pertumbuhan penduduk), maupun urbanisasi telah menimbulkan kebutuhan akan
sumberdaya alam lahan yang meningkat. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi
dan mengganggu pemanfaatan lahan dan keseimbangan ekosistem di wilayah
Jabotabek. Akibat selanjutnya adalah terjadinya dampak yang sering bersifat
negatif seperti bencana alam berupa banjir, erosi maupun tanah longsor.
Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang
menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi
ke tempat yang lebih rendah. Pergerakan tersebut terjadi karena adanya faktor
gaya yang terletak pada bidang tanah yang tidak rata atau disebut dengan lereng.
Selanjutnya, gaya yang menahan massa tanah di sepanjang lereng tersebut
dipengaruhi oleh kedudukan muka air tanah, sifat fisik tanah, dan sudut dalam
tahanan geser tanah yang bekerja di sepanjang bidang luncuran (Sutikno 1997).
2

Elemen-elemen yang ikut berpengaruh terhadap terjadinya longsor adalah


intensitas curah hujan, jenis tanah, faktor geologi atau batuan penyusunnya,
penutupan lahan yang terjadi dan kemiringan lahan. Selain faktor alamiah, juga
disebabkan oleh faktor aktivitas manusia yang mempengaruhi suatu bentang alam,
seperti kegiatan pertanian, pembebanan lereng, pemotongan lereng dan
penambangan.
Sepanjang tahun 1998-2006 tercatat berbagai bencana alam terjadi di
Indonesia, antara lain tanah longsor, banjir, badai, gunung meletus, tsunami dan
kebakaran hutan. Dan menurut Bakornas (2004) dari seluruh kejadian bencana
alam yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu lima tahun (1998-2003)
tercatat 85% adalah kejadian longsor dan banjir.
Provinsi Jawa Barat termasuk salah satu daerah yang sangat potensial
terjadinya bencana tanah longsor. Hal ini disebabkan topografi sebagian besar
wilayahnya yang berbukit dan bergunung. Disamping itu, juga disebabkan
tingginya tingkat kepadatan penduduk di wilayah perbukitan sehingga
menimbulkan tekanan terhadap ekosistem. Faktor lain yang menyebabkan cukup
tingginya kerentanan bahaya tanah longsor di wilayah Jawa Barat adalah
kesadaran lingkungan yang relatif rendah, serta pemanfaatan lahan dan ruang
yang kurang baik.
Menurut Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan diketahui bahwa kawasan
rawan longsor di provinsi Jawa Barat menyebar di sepuluh kabupaten/kota, antara
lain Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Majalengka, Sumedang, Ciamis,
Tasikmalaya, Kuningan, dan Purwakarta (Anonim 2002, diacu dalam Alhasanah
2006). Wilayah rawan longsor di provinsi Jawa Barat secara lengkap per
kecamatan disajikan pada Lampiran 1.
Dilihat dari aspek demografi, dua belas kabupaten/kota tersebut merupakan
kawasan padat penduduk dan pemukiman penduduk pada umumnya terletak pada
lereng perbukitan. Oleh sebab itu, untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih
besar dan banyak akibat bahaya tanah longsor di daerah-daerah tersebut,
diperlukan upaya-upaya yang mengarah kepada tindakan meminimalisir akibat
yang akan ditimbulkan. Upaya-upaya tersebut perlu dilakukan mengingat kejadian
3

tanah longsor pada umumnya akan mengakibatkan kerugian material dan korban
jiwa yang tidak sedikit, terutama di wilayah yang padat penduduknya.
Untuk dapat memantau dan mengamati fenomena tanah longsor di suatu
kawasan diperlukan adanya suatu identifikasi dan pemetaan daerah rawan tanah
longsor yang mampu memberikan gambaran kondisi kawasan yang ada
berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya tanah longsor. Salah satu kegiatan
mitigasi bencana tanah longsor adalah pemetaan daerah rawan tanah longsor skala
nasional dan skala wilayah/daerah. Peta ini secara umum dapat dijadikan panduan
bagi pihak-pihak terkait untuk mengantisipasi terjadinya tanah longsor di suatu
wilayah.
Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan teknologi yang mempunyai
kemampuan untuk memasukkan, mengelola, manipulasi dan melakukan analisis
data ruang spasial misalnya tanah, curah hujan, ataupun kemiringan lereng.
Teknik SIG adalah merupakan salah satu alternatif yang tepat untuk dijadikan
sebagai teknik analisis yang menghasilkan informasi tentang berbagai parameter
faktor penyebab kemungkinan terjadinya bahaya tanah longsor di suatu daerah.
Melalui proses penggabungan informasi dalam berbagai peta dengan cara
tumpang susun (map overlay) dengan sistem skoring atau pembobotan dari
masing-masing parameter akan menghasilkan bobot nilai baru yang akan
menentukan tingkat kerawanan suatu daerah terhadap kejadian tanah longsor.
Informasi akhir dari proses tersebut dapat menghasilkan peta sebaran daerah
rawan longsor yang dapat dijadikan sumber informasi bagi pihak-pihak yang
terkait.

1.2 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk
1. Memetakan tingkat daerah rawan longsor
2. Melakukan analisis daerah rawan longsor
4

1.3 Manfaat Penelitian


Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi
yang termuat dalam bentuk peta mengenai daerah rawan longsor dan memberikan
peringatan sedini mungkin (early warning system) atau antisipasi terhadap
kemungkinan kejadian longsor sehingga dapat mengurangi jumlah kerugian yang
akan ditimbulkan dan juga dapat membantu pemerintah dalam perencanaan
pengembangan wilayah serta mempercepat pengambilan keputusan dalam
pembangunan sarana dan prasarana wilayah. Selain itu juga sebagai salah satu
bagian dari upaya penyadaran kepada masyarakat untuk mengurangi tindakan
yang dapat memicu terjadinya longsoran, khususnya mereka yang tinggal di
kawasan rentan longsor dan sekitarnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bencana Tanah Longsor


2.1.1 Definisi
Quarantelli (1998) diacu dalam Alhasanah (2006) memberikan pengertian
bencana sebagai suatu kejadian aktual, lebih dari suatu ancaman yang potensial
atau dengan diistilahkan sebagai realisasi dari bahaya. Bencana pada dasarnya
merupakan fenomena sosial yang terjadi ketika suatu komunitas mengalami
kerugian akibat bencana tersebut. Secara lebih rinci, definisi bencana difokuskan
pada ruang dan waktu ketika suatu komunitas menghadapi bahaya yang besar dan
hancurnya berbagai fasilitas penting yang dimilikinya, jatuhnya korban manusia,
kerusakan harta benda dan lingkungan, sehingga berpengaruh pada kemampuan
komunitas tersebut untuk mengatasinya tanpa bantuan dari pihak luar.
Bencana tanah longsor adalah istilah umum dan mencakup ragam yang luas
dari bentuk-bentuk tanah dan proses-proses yang melibatkan gerakan bumi, batu-
batuan atau puing-puing pada lereng bawah di bawah pengaruh gravitasi.
Biasanya, terjadinya tanah longsor didahului oleh fenomena alam lainnya, yaitu
seperti gempa bumi, banjir dan gunung berapi. Kerusakan yang disebabkan oleh
tanah longsor pada selang waktu tertentu dapat menyebabkan kerugian properti
yang lebih banyak dibandingkan dengan kejadian geologi lain.
Bencana dapat terjadi karena saling bertemu dua faktor, yakni bahaya
(hazard) dan kerentanan (vulnerability). Oleh karena itu harus saling diketahui
faktor-faktor bahaya dan kerentanan yang terdapat disuatu daerah, agar daerah
tersebut dapat terbebas atau terhindarkan dari bencana. Istilah bahaya atau hazard
mempunyai kemungkinan terjadinya bahaya dalam suatu periode tertentu pada
suatu daerah yang berpotensi terjadinya bahaya tersebut. Bahaya berubah jadi
bencana apabila telah mengakibatkan korban jiwa, kehilangan atau kerusakan
harta dan kerusakan lingkungan.
6

2.1.2 Tanah longsor


Gerakan tanah atau lebih dikenal dengan istilah tanah longsor adalah suatu
produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan
bergeraknya massa tanah dan batuan ke tempat yang lebih rendah. Gaya yang
menahan massa tanah di sepanjang lereng tersebut dipengaruhi oleh sifat fisik
tanah dan sudut dalam tahanan geser tanah yang bekerja disepanjang lereng.
Perubahan gaya-gaya tersebut ditimbulkan oleh pengaruh perubahan alam
maupun tindakan manusia. Perubahan kondisi alam dapat diakibatkan oleh gempa
bumi, erosi, kelembaban lereng karena penyerapan air hujan dan perubahan aliran
permukaan. Pengaruh manusia terhadap perubahan gaya-gaya antara lain adalah
penambahan beban pada lereng dan tepi lereng, penggalian tanah di tepi lereng
dan penajaman sudut lereng. Tekanan jumlah penduduk yang banyak
mengokupasi tanah-tanah berlereng sangat berpengaruh terhadap peningkatan
resiko longsor. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah antara
lain: tingkat kelerengan, karakteristik tanah, keadaan geologi, keadaan vegetasi,
curah hujan/hidrologi dan aktivitas manusia di wilayah tersebut (Sutikno 1997).
Cruden (1991) diacu dalam Alhasanah (2006) mengemukakan longsoran
(landslide) sebagai pergerakan suatu massa batuan, tanah, atau bahan rombakan
material penyusun lereng (yang merupakan pencampuran tanah dan batuan)
menuruni lereng. Terjadinya longsoran pada umumnya disebabkan oleh batuan
hasil pelapukan yang terletak pada topografi yang mempunyai kemiringan terjal
sampai sangat terjal dan berada di atas batuan yang bersifat kedap air
(impermeable) sehingga berfungsi sebagai bidang luncur.
Secara teoritis, tanah longsor terjadi disebabkan adanya gaya gravitasi yang
bekerja pada suatu massa (tanah dan atau batuan). Dalam hal ini, besarnya
pengaruh gaya gravitasi terhadap massa tersebut, ditentukan oleh besarnya sudut
kemiringan lereng terhadap bidang horizontal (kelerengan). Semakin besar
kelerengan, akan semakin besar kemungkinan terjadinya gerakan massa, begitu
juga sebaliknya.
Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan
atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau batuan. kondisi
tersebut sebenarnya merupakan fenomena alam, yaitu alam mencari
7

keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya


dan menyebabkan terjadinya pengurangan kekuatan geser serta peningkatan
tegangan geser tanah (Suryolelono 2005, diacu dalam Alhasanah 2006).
Besarnya gaya penahan material pembentuk lereng atau disebut juga sebagai
kekuatan geser (shear strength) menjadi berkurang karena dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang berasal dari alam itu sendiri. Hal ini berkaitan erat dengan
kondisi geologi sebagaimana dikemukakan Sutikno (2000), yaitu sebagai berikut:
a. Komposisi dan tekstur material
b. Jenis material lempung, daya ikat antar butir lemah, bentuk butiran halus dan
seragam
c. Reaksi kimia
d. Perubahan ion, hidrasi lempung dan pengeringan lempung
e. Pengaruh tekanan air pori
f. Perubahan struktur material karena pengaruh pelapukan
g. Vegetasi/tutupan lahan yang berubah.
Selanjutnya, Sutikno (2000) juga menjelaskan bahwa peningkatan tegangan
geser dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain:
a. Hilangnya penahan lateral; karena aktifitas erosi, pelapukan, penambahan
kemiringan lereng, dan pemotongan lereng
b. Kelebihan beban; karena air hujan yang meresap ke tanah, pembangunan
diatas lereng dan genangan air di atas lereng
c. Getaran; karena gempa bumi atau mesin kendaraan
d. Hilangnya tahanan bagian bawah lereng; karena pengikisan air, penambangan
batuan, pembuatan terowongan dan eksploitasi air tanah berlebihan
e. Tekanan lateral; karena pengisian air di pori-pori antar butiran tanah dan
pengembangan tanah
f. Struktur geologi; yang berpotensi mendorong terjadinya longsor adalah kontak
antar batuan dasar dengan pelapukan batuan, adanya retakan, patahan,
rekahan, sesar dan perlapisan batuan yang terlampau miring
g. Sifat batuan; pada umumnya komposisi mineral dari pelapukan batuan
vulkanis yang berupa lempung akan mudah mengembang dan bergerak. Tanah
8

dengan ukuran batuan yang halus dan seragam, kurang padat atau kurang
kompak
h. Air; adanya genangan air, kolam ikan, rembesan, susut air cepat. Saluran air
yang terhambat pada lereng menjadi salah satu sebab yang mendorong
munculnya pergerakan tanah atau longsor
i. Vegetasi/tutupan lahan; peranan vegetasi pada kasus longsor sangat kompleks.
Jika tumbuhan tersebut memiliki perakaran yang mampu menembus sampai
lapisan batuan dasar maka tumbuhan tersebut akan sangat berfungsi sebagai
penahan masa lereng. Di sisi lain meskipun tumbuhan memiliki perakaran
yang dangkal tetapi tumbuh pada lapisan tanah yang memiliki daya kohesi
yang kuat sehingga menambah kestabilan lereng. Pada kasus tersebut
tumbuhan yang hidup pada lereng dengan kemiringan tertentu justru berperan
sebagai penambah beban lereng yang mendorong terjadinya longsor.
2.1.3 Faktor penyebab longsor
Terjadinya longsor ditandai dengan bergeraknya sejumlah massa tanah
secara bersama-sama dan terjadi sebagai akibat meluncurnya satu volume tanah di
atas satu lapisan agak kedap air yang jenuh air. Lapisan yang terdiri dari tanah liat
atau mengandung kadar tanah liat tinggi setelah jenuh air akan bertindak sebagai
peluncuran (Arsyad 1989).
Karnawati (2003) diacu dalam Febriana (2004) menyatakan salah satu
faktor penyebab terjadinya bencana tanah longsor adalah air hujan. Air hujan yang
telah meresap ke dalam tanah lempung pada lereng akan tertahan oleh batuan
yang lebih kompak dan lebih kedap air. Derasnya hujan mengakibatkan air yang
tertahan semakin meningkatkan debit dan volumenya dan akibatnya air dalam
lereng ini semakin menekan butiran-butiran tanah dan mendorong tanah lempung
pasiran untuk bergerak longsor. Batuan yang kompak dan kedap air berperan
sebagai penahan air dan sekaligus sebagai bidang gelincir longsoran, sedangkan
air berperan sebagai penggerak massa tanah yang tergelincir di atas batuan
kompak tersebut. Semakin curam kemiringan lereng maka kecepatan
penggelinciran juga semakin cepat. Semakin gembur tumpukan tanah lempung
maka semakin mudah tanah tersebut meloloskan air dan semakin cepat air
meresap ke dalam tanah. Semakin tebal tumpukan tanah, maka semakin besar
9

volume massa tanah yang longsor. Tanah yang longsor dengan cara demikian
umumnya dapat berubah menjadi aliran lumpur yang pada saat longsor sering
menimbulkan suara gemuruh.
Pengaruh hujan dapat terjadi di bagian lereng-lereng yang terbuka akibat
aktivitas makhluk hidup terutama berkaitan dengan budaya masyarakat saat ini
dalam memanfaatkan alam berkaitan dengan pemanfaatan lahan (tata guna lahan),
kurang memperhatikan pola-pola yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Penebangan hutan yang seharusnya tidak diperbolehkan tetap saja dilakukan,
sehingga lahan-lahan pada kondisi lereng dengan geomorfologi yang sangat
miring, menjadi terbuka dan lereng menjadi rawan longsor (Suryolelono 2005,
diacu dalam Purnamasari 2007).
Menurut Arsyad (1989) longsoran akan terjadi jika terpenuhi tiga keadaan
sebagai berikut:
a. Adanya lereng yang cukup curam sehingga massa tanah dapat bergerak atau
meluncur ke bawah
b. Adanya lapisan di bawah permukaan massa tanah yang agak kedap air dan
lunak, yang akan menjadi bidang luncur
c. Adanya cukup air dalam tanah sehingga lapisan massa tanah yang tepat di atas
lapisan kedap air tersebut menjadi jenuh.
Lapisan kedap air dapat berupa tanah liat atau mengandung kadar tanah liat
tinggi atau dapat juga berupa lapisan batuan, seperti Napal Liat (Clay shale).
Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) faktor
alam dan faktor manusia merupakan salah satu pemicu terjadinya tanah longsor.
a. Faktor alam
Meliputi lereng terjal yang diakibatkan oleh patahan dan lipatan kulit bumi,
erosi dan pengikisan, daerah longsoran lama, ketebalan tanah pelapukan bersifat
lembek, butiran halus, jenuh karena air hujan, adanya retakan karena proses alam
(gempa bumi, tektonik), air (hujan di atas normal, susut air cepat, banjir, aliran air
bawah tanah pada sungai lama), lapisan batuan yang kedap air miring ke atas
lereng yang berfungsi sebagai bidang longsoran.
10

b. Faktor manusia
Lereng menjadi terjal akibat pemotongan lereng dan penggerusan oleh air
saluran di tebing, tanah lembek dipicu oleh perubahan tata lahan menjadi lahan
basah, adanya kolam ikan, genangan air, retakan akibat getaran mesin, ledakan,
beban massa yang bertambah dipicu oleh beban kendaraan, bangunan dekat
tebing, tanah kurang padat karena material urugan atau material longsoran lama
pada tebing, bocoran air saluran, luapan air saluran, kolam ikan, penggundulan
hutan sehingga terjadi pengikisan oleh air permukaan.
Kebiasaan masyarakat dalam mengembangkan pertanian/perkebunan tidak
memperhatikan kemiringan lereng, pembukaan lahan-lahan baru di lereng-lereng
bukit menyebabkan permukaan lereng terbuka tanpa pengaturan sistem tata air
(drainase) yang seharusnya, dan bentuk-bentuk teras bangku pada lereng tersebut
perlu dilakukan untuk mengerem laju erosi. Bertambahnya penduduk
menyebabkan perkembangan perumahan ke arah daerah perbukitan (lereng-lereng
bukit) yang tidak sesuai dengan peruntukan lahan (tata guna lahan), menimbulkan
beban pada lereng (surcharge) semakin bertambah berat. Erosi di bagian kaki
lereng akibat aliran sungai, atau gelombang air laut mengakibatkan lemahnya
bagian kaki lereng, terjadinya kembang susut material pembentuk lereng, dan
lain-lain menyebabkan terjadinya peningkatan tegangan geser.
Longsor merupakan proses penghanyutan tanah oleh desakan-desakan atau
kekuatan air dan angin, baik yang berlangsung secara alamiah ataupun sebagai
tindakan/perbuatan manusia (Sutedjo et al. 1985). Sehubungan dengan proses-
prosesnya secara alami maupun buatan, dengan demikian secara keseluruhannya
yang menjadi penyebab dan mempengaruhi besarnya laju longsor terdapat lima
faktor utama dan satu faktor sebagai penyebab besarnya resiko terjadinya bencana
longsor, yaitu :
1. Iklim
2. Tanah
3. Topografi
4. Penutupan lahan/vegetasi
5. Geologi atau jenis batuan
6. Kegiatan/aktivitas manusia.
11

Faktor-faktor penyebab tersebut di atas saling mempengaruhi satu sama


lainnya dan menentukan besar dan luasnya bencana tanah longsor. Kepekaan
suatu daerah terhadap bencana tanah longsor ditentukan pula oleh pengaruh dan
kaitan faktor-faktor ini satu sama lainnya.

2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG)


2.2.1 Definisi
Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan suatu sistem berbasiskan
komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-
informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan
menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan
karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG
merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan untuk menangani
data bereferensi geografis, yaitu pemasukan data, pengelolaan atau manajemen
data (menyimpan atau pengaktifan kembali), analisis dan manipulasi data serta
keluaran data. Pemasukan data ke dalam SIG dilakukan dengan cara digitasi dan
tabulasi (Aronoff 1989, diacu dalam Prahasta 2001).
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem berbasis komputer yang
terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software),
data geografis dan sumberdaya manusia (brainware) yang mampu merekam,
menyimpan, memperbaharui, menampilkan dan menganalisis informasi yang
bereferensi geografis (Jaya 2002).
Kelebihan SIG terutama berkaitan dengan kemampuannya dalam
menggabungkan berbagai data yang berbeda struktur, format dan tingkat
ketepatan. Sehingga memungkinkan integrasi berbagai disiplin keilmuan yang
sangat diperlukan dalam pemahaman fenomena bahaya longsoran, dapat
dilakukan lebih cepat. Salah satu kemudahan utama penggunaan SIG dalam
pemetaan bahaya longsoran adalah kemampuannya menumpang-tindihkan
longsoran dalam unit peta tertentu sehingga dapat dianalisis secara kuantitatif
(Barus 1999).
12

2.2.2 Komponen SIG


Menurut Lo (1995) SIG paling tidak terdiri dari subsistem pemprosesan,
subsistem analisis data dan subsistem menggunakan informasi. Subsistem
pemprosesan data mencakup pengambilan data, input dan penyimpanan.
Subsistem analisis data mencakup perbaikan, analisis data dan keluaran informasi
dalam berbagai bentuk. Subsistem yang memakai informasi memungkinkan
informasi relevan diterapkan pada suatu masalah.
Dalam rancangan SIG komponen input dan output data memiliki peranan
dominan membentuk arsitektur suatu sistem. Hal tersebut penting untuk
memahami kedalam prosedur yang dipakai dalam kaitannya dengan masalah
input/output data, juga organisasi data dan pemprosesan data. Ada tiga kategori
data secara luas untuk input pada suatu sistem, yaitu: Alfanumerik, Piktorial atau
grafik dan data penginderaan jauh dari bentuk digital (Lo 1995).
Gistut (1994) diacu dalam Prahasta (2001) menyatakan bahwa SIG
merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan
sistem-sistem komputer yang lain ditingkat fungsional dan jaringan. Sistem ini
terdiri dari beberapa komponen, yaitu:
1. Perangkat keras (hardware)
SIG tersedia untuk berbagai platform perangkat keras mulai dari PC
(personal computer) desktop, workstation, hingga multiuser host yang dapat
digunakan oleh banyak orang secara bersamaan dalam jaringan komputer yang
luas, berkemampuan tinggi, memiliki ruang penyimpanan (hard disk) yang besar,
dan mempunyai kapasitas memori (RAM) yang besar. Walaupun demikian,
fungsionalitas SIG tidak terikat secara ketat terhadap karakteristik-karakteristik
fisik perangkat keras ini sehingga keterbatasan memori pada PC pun dapat diatasi.
Adapun perangkat keras yang sering digunakan untuk SIG adalah computer (PC),
mouse, keyboard, digitizer, printer, scanner dan CD-Writer.
2. Perangkat lunak (software)
SIG juga merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun secara modular
dimana basis data memegang peranan kunci. Setiap subsistem diimplementasikan
dengan menggunakan perangkat lunak yang terdiri dari beberapa modul sehingga
tidak mengherankan jika ada perangkat SIG yang terdiri dari ratusan modul
13

program yang masing-masing dapat dieksekusi sendiri. Saat ini terdapat banyak
sekali perangkat lunak SIG baik yang berbasis vektor maupun yang berbasis
raster. Nama perangkat lunak SIG yang berbasis vektor antara lain ARC/INFO,
Arc VIEW, Map INFO, CartaLINX dan AutoCAD Map. Sedangkan perangkat
lunak SIG yang berbasis raster antara lain ILWIS, IDRISI, ERDAS dan
sebagainya.
3. Data-data geografis
SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang
diperlukan baik secara tidak langsung dengan cara meng-import-nya dari
perangkat-perangkat lunak SIG yang lain maupun secara langsung dengan cara
mendigitasi data spasialnya dari peta dan memasukkan data atributnya dari tabel-
tabel dan laporan dengan menggunakan keyboard.
4. Manajemen
Komponen terakhir yang tak terelakan dari SIG adalah sumberdaya manusia
yang terlatih. Peranan sumberdaya manusia ini adalah untuk menjalankan sistem
yang meliputi pengoperasian perangkat keras dan perangkat lunak, serta
menangani data geografis dengan kedua perangkat tersebut. Sumberdaya manusia
juga merupakan sistem analis yang menerjemahkan permasalahan riil di
permukaan bumi dengan bahasa SIG, sehingga permasalahan tersebut bisa
teridentifikasi dan memiliki pemecahannya.

2.2.3 Cara kerja SIG


SIG dapat mempresentasikan real world (dunia nyata) di atas monitor
komputer yang kemudian mempresentasikan keatas kertas. Tetapi, SIG memiliki
kekuatan lebih dan fleksibilitas daripada lembaran peta kertas. Obyek-obyek yang
dipresentasikan diatas peta disebut unsur peta atau map features (contohnya
taman, sungai, kebun, jalan dan lain-lain). Peta yang ditampilkan bisa berupa titik,
garis dan polygon serta juga menggunakan simbol-simbol grafis dan warna untuk
membantu mengidentifikasi unsur-unsur berikut deskripsinya.
SIG menyimpan semua informasi deskriptif unsur-unsurnya sebagai atribut-
atribut basis data. Kemudian, SIG membentuk dan menyimpannya dalam tabel-
tabel. Setelah itu SIG menghubungkan unsur-unsur diatas dengan tabel-tabel
14

bersangkutan. Dengan demikian, atribut-atribut dapat diakses melalui lokasi-


lokasi unsur-unsur peta dan sebaliknya unsur-unsur peta juga dapat diakses
melalui atributnya. Karena itu, unsur itu bisa dicari dan dapat ditemukan
berdasarkan atribut-atributnya.
SIG menghubungkan sekumpulan unsur-unsur peta dengan atributnya di
dalam satuan-satuan yang disebut layer. Sungai, bangunan, jalan, laut, batas-batas
administratif, perkebunan dan hutan merupakan contoh layer. Kumpulan layer
tersebut membentuk basis data SIG. Dengan demikian, perancangan basis data
akan menentukan efektifitas dan efisiensi proses-proses masukan, pengelolaan dan
keluaran (Prahasta 2001).
SIG memiliki kemampuan untuk keperluan analisis keruangan. Beberapa
macam analisis keruangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Klasifikasi/Reklasifikasi
Digunakan untuk mengklasifikasikan atau reklasifikasi data spasial atau
data atribut menjadi data spasial baru dengan memakai kriteria tertentu.
b. Overlay
Analisis ini digunakan untuk mengetahui hasil interaksi atau gabungan dari
beberapa peta. Overlay beberapa peta akan menghasilkan satu peta yang
menggambarkan luasan atau polygon yang terbentuk dari irisan dari beberapa
peta. Selain itu, Overlay juga menghasilkan gabungan data dari beberapa peta
yang saling beririsan.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus-November 2007, dengan lokasi
penelitian di 18 Kecamatan di Kabupaten Bogor yaitu Kecamatan Babakan
Madang, Caringin, Ciampea, Ciawi, Cibungbulang, Cigombong, Cijeruk, Ciomas,
Cisarua, Dramaga, Leuwiliang, Leuwisadeng, Mega Mendung, Nanggung,
Pamijahan, Sukaraja, Tamansari dan Tenjolaya, yang disajikan pada Gambar 1.
Sedangkan untuk pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik
Remote Sensing Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

3.2 Alat dan Bahan


Peralatan yang digunakan adalah perangkat keras (hardware) terdiri dari PC
Komputer, Printer dan Scanner. Perangkat lunak (software) terdiri dari Arc View
versi 3.2 dan MS-Office, selain itu juga digunakan GPS (Global Positioning
System), kamera dan alat tulis.
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi:
1. Peta digital Rupa Bumi Bogor Skala 1: 250.000, BAKOSURTANAL,Bogor
2. Peta Geologi Lembar Bogor Skala 1 : 100.000 tahun 1998 diperoleh dari Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat (PUSLITTANAK), Bogor
3. Peta digital Curah Hujan Bogor Skala 1 : 100.000 tahun 2003 diperoleh dari
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (PUSLITTANAK), Bogor
4. Peta digital Kontur Bogor tahun 2001 , BAKOSURTANAL,Bogor
5. Peta digital Jenis Tanah Bogor Skala 1 : 250.000 tahun 2002 diperoleh dari
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (PUSLITTANAK), Bogor
6. Peta digital Penutupan Lahan Kabupaten Bogor tahun 2003 skala 1 : 100.000
7. Peta digital Administrasi kabupaten Bogor (Bapeda Bogor, 2005)
8. Peta digital Penggunaan Jalan (Bapeda Bogor, 2005)
16

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian


17

3.3 Metode Penelitian


3.3.1 Pengumpulan data
Kegiatan diawali dengan pengumpulan data dasar berupa peta-peta
pendukung, studi pustaka dan penelaahan data sekunder terutama berkaitan
dengan sejarah kejadian tanah longsor. Pada tahap ini, juga dilakukan konsultasi
ke instansi terkait untuk memperoleh informasi tentang kejadian tanah longsor.
Selain itu juga diperlukan data yang menyatakan posisi keberadaan suatu
tempat di permukaan bumi dalam bentuk koordinat yang disebut Ground Control
Points (GCP). Data GCP didapatkan dengan melakukan survey langsung di
lapangan. Data GCP ini selanjutnya dijadikan acuan dalam validasi kejadian
longsor di daerah penelitian.

3.3.2 Pengolahan data spasial


Data spasial dalam SIG dipresentasikan dalam dua format, yaitu format
vektor dan format raster. Data spasial itu sendiri merupakan data yang bersifat
keruangan. Data yang telah dikumpulkan sebelumnya dalam format vektor berupa
peta analog, yaitu Peta Geologi dan data GPS lokasi kejadian longsor. Peta analog
tersebut selanjutnya dikonversi menjadi peta digital melalui proses digitasi on
screen, kemudian dilakukan koreksi geometri atau georeferensi. Proses
pemasukan data GPS dan peta analog dilakukan melalui seperangkat komputer
dengan software Arc View 3.2.
Koreksi geometri atau georeferensi merupakan proses memproyeksi peta ke
dalam suatu sistem proyeksi peta tertentu. Penyeragaman data-data ke dalam
sistem koordinat dan proyeksi yang sama perlu dilakukan, guna mempermudah
proses pengintegrasian data-data. Proyeksi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah UTM (Universal Transverse Mercator) datum WGS 84 dan zone 48S,
menggunakan software ArcView versi 3.2 dengan extension Projection Utility
Wizard.
Setelah proses koreksi terhadap peta selesai, maka dilanjutkan dengan
pemotongan peta untuk menentukan daerah penelitian, dengan acuan peta batas
administrasi desa Kabupaten Bogor.
18

Mulai

Persiapan dan pengumpulan data

Peta analog Peta digital

Proses Digitasi dan


Peta Geologi Georeferensi Peta Tanah

Peta Curah Hujan

Peta Penutupan Lahan

Peta Lereng

Peta Geologi

Peta Kelas Peta Kelas Peta Kelas Peta Kelas Peta Kelas
Tanah Geologi Penutupan Lereng Curah Hujan
Lahan

Analisis spasial daerah rawan longsor

Peta tingkat daerah rawan longsor

Ground check

Analisi deskriptif daerah rawan longsor

Gambar 2 Bagan Alir Tahap Penelitian


19

3.3.3 Analisis data spasial


Setelah semua data spasial dimasukkan ke dalam komputer dalam bentuk
peta digital, kemudian dilakukan pemasukan data atribut dan pembobotan pada
setiap parameter. Parameter-parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat
kerawanan adalah penutupan lahan (landcover), jenis tanah, topografi, curah
hujan dan geologi (batuan induk).
Derajat dan panjang lereng adalah unsur yang mempengaruhi terjadinya
longsor. Semakin tinggi derajat lereng maka akan memberikan bahaya rawan
longsor yang lebih tinggi, sehingga diberi nilai bobot yang paling tinggi.
Pemberian skor dan pengkelasan lereng dapat dibagi dalam lima kelas yang
disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Pengkelasan kemiringan lereng


No Kelas (%) Bentuk lereng Skor
1. 0-8 Datar 1
2. 8-15 Landai 2
3. 15-25 Agak curam 3
4. 25-45 Curam 4
5. > 45 Sangat curam - Tegak 5
Sumber: Nicholas and Edmunson (1975) dalam Purnamasari (2007)

Pemberian skor kerawanan tanah longsor untuk masing-masing kelas jenis


tanah didasarkan pada ciri morfologi tanah berupa tekstur tanah (pasir, debu dan
lempung) dan sifat permeabilitasnya yang disajikan pada Tabel 2. Selain itu
dipengaruhi juga oleh tingkat kepekaan tanah terhadap erosi yang dapat
menyebabkan longsor, yang disajikan pada Tabel 3. Jenis tanah yang memiliki
potensi untuk terjadinya longsor terutama bila terjadi hujan adalah jenis tanah
yang kurang padat dalam hal ini adalah tanah yang mempunyai tekstur pasir dan
tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5m. Selain itu tanah
ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air
dan pecah ketika hawa terlalu panas. Air permukaan yang meresap ke dalam
lapisan tanah yang mempunyai tekstur pasir akan mempercepat kondisi tanah
tersebut menjadi jenuh air dan menjadi labil serta pada kemiringan lereng yang
relatif curam akan mempermudah terjadinya tanah longsor. Pemberian skor dan
pembagian kelas jenis tanah disajikan pada Tabel 4.
20

Tabel 2 Sifat-sifat permeabilitas jenis tanah


No Jenis tanah Tekstur Permeabilitas
1. Aluvial Liat; pasir < 50% Rendah
2. Glei Humik Lempung hingga liat Rendah
3. Latosol Liat, tetap dari atas hingga ke bawah Tinggi
4. Andosol Lempung hingga debu Tinggi
5. Litosol Aneka, umumnya berpasir Aneka
6. Regosol Pasir, kadar liat < 40% Tinggi
Sumber: Soepraptohardjo (1961)

Tabel 3 Tingkat kepekaan tanah terhadap erosi


Kelas Jenis tanah Kepekaan Tanah
1. Aluvial, Gleisol, Planosol, Hidromorf kelabu, Tidak peka
Laterik air tanah
2. Latosol Agak peka
3. Brown forest soil, Non calcik brown, Mideteranian Agak peka
4. Andosol, Laterik, Grumosol, Podsol, Podsolik Peka
5. Regosol, Litosol, Renzina Sangat peka
Sumber: Rahim, S.Effendi (2000)

Tabel 4 Pembagian kelas jenis tanah


No Jenis tanah Skor
1. Aluvial 1
2. Asosiasi latosol coklat latosol kekuningan, asosiasi latosol 2
merah latosol coklat kemerahan, kompleks latosol merah
kekuningan latosol coklat kemerahan dan asosiasi latosol
coklat latosol kemerahan.
3. Asosiasi latosol coklat regosol 3
4. Andosol, podsolik merah kekuningan, asosiasi andosol 4
regosol, podsolik kekuningan dan podsolik merah.
5. Regosol 5
Sumber: PUSLITANAK (1976)

Pada dasarnya ada dua tipe hujan pemicu terjadinya longsoran, yaitu hujan
deras yang mencapai 70 mm hingga 100 mm per hari dan hujan kurang deras
namun berlangsung terus menerus selama beberapa jam hingga beberapa hari
yang kemudian disusul dengan hujan deras sesaat (1-2 jam). (Subhan, 2006).
Faktor curah hujan yang mempengaruhi terjadinya tanah longsor, mencakup
terjadinya peningkatan curah hujan (tekanan air pori bertambah besar, kandungan
air dalam tanah naik dan terjadi pengembangan lempung dan mengurangi
tegangan geser, lapisan tanah jenuh air), rembesan air yang masuk dalam retakan
tanah serta genangan air. Adanya pengaruh curah hujan tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya gerakan tanah sehingga daerah yang mempunyai curah
21

hujan yang tinggi relatif akan memberikan bahaya gerakan tanah yang lebih
tinggi. Penentuan skor dan pembagian kelas intensitas curah hujan disajikan pada
Tabel 5.

Tabel 5 Klasifikasi intensitas curah hujan


No Intensitas hujan (mm/tahun) Parameter Skor
1. 2.000 – 2.500 Sedang/lembab 1
2. 2.500 – 3.000 Basah 2
3. > 3.000 Sangat basah 3
Sumber: PUSLITANAK (2004)

Pengetahuan tentang penggunaan lahan dan penutupan lahan penting untuk


berbagai kegiatan perencanaan dan pengelolaan yang berhubungan dengan
permukaan bumi dalam hal ini adalah pemetaan. Istilah penutupan lahan berkaitan
dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi sedangkan istilah
penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu
(Lillesand 1990). Karena keterbatasan data maka pada penelitian ini digunakan
data penutupan lahan. Pengaruh penutupan lahan terhadap terjadinya gerakan
tanah longsor merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan, dimana
penutupan lahan yang langsung berhubungan dengan kemungkinan menyebabkan
terjadinya tanah longsor diberikan nilai bobot yang paling tinggi sedangkan
daerah yang masih tertutup oleh hutan bila terkena gerakan tanah akan
memberikan bahaya yang paling rendah sehingga dalam pembobotannya
diberikan nilai bobot yang paling rendah. Ada beberapa pustaka yang digunakan
untuk menentukan skoring parameter penutupan lahan yaitu menurut Subhan
(2006), Febriana (2004), Alhasanah (2006) dan hasil wawancara dengan
beberapa ahli di PUSLITANAK. Maka pada penelitian ini di buat justifikasi nilai
skoring parameter penutupan lahan yang disesuaikan dengan lokasi penelitian.
Penutupan lahan dibagi kedalam enam kelas dengan nilai skoring dapat dilihat
pada Tabel 6.
22

Tabel 6 Kelas penutupan lahan


No Tipe penggunaan lahan Skor
1. Awan dan bayangan awan 0
2. Hutan / vegetasi lebat dan badan-badan air 1
3. Kebun campuran / semak belukar 2
4. Perkebunan dan sawah irigasi 3
5. Kawasan industri dan permukiman / perkampungan 4
6. Lahan-lahan kosong 5

Faktor geologi yang memicu terjadinya suatu longsor ditentukan oleh


struktur batuan dan komposisi mineralogi yang berpengaruh terhadap kepekaan
erosi dan longsor yang dicirikan dengan jenis batuan. Jenis batuan yang menyusun
suatu daerah mempunyai tingkat bahaya yang berbeda satu sama lain.
Berdasarkan besar butirnya, batuan yang berbutir halus pada umumnya
mempunyai bahaya terhadap gerakan tanah yang lebih tinggi, sedangkan bila
dilihat dari kekompakannya maka batuan yang kompak dan masif lebih kecil
kemungkinan terkena gerakan tanah. Pengkelasan jenis batuan disajikan pada
Tabel 7.

Tabel 7 Pengkelasan jenis batuan


No Jenis batuan Skor
1. Bahan Aluvial (Qav, Qa, a) 1
2. Bahan Volkanik-1 (Qvsl, Qvu, Qvcp, Qvl, Qvpo, Qvk, 2
Qvba)
3. Bahan Sediment-1 (Tmn, Tmj) 3
4. Bahan Volkanik-2 (Qvsb, Qvst, Qvb, Qvt) dan bahan 4
Sediment-2 (Tmb, Tmbl, Tmtb)
Sumber: PUSLITANAK (2004)

Cara untuk mengetahui sebaran daerah rawan tanah longsor dilakukan


dengan menggunakan software Arc View 3.2. Dengan melakukan analisis
tumpang susun (map overlay) peta – peta tematik yang merupakan parameter fisik
penentu daerah rawan longsor, yaitu peta kelas lereng, peta geologi, peta jenis
tanah, peta curah hujan dan peta penutupan lahan.
Penentuan tingkat daerah rawan longsor diperoleh dari pengolahan dan
penjumlahan bobot nilai dari masing-masing parameter. Sehingga akan
menghasilkan bobot nilai baru yang merupakan nilai potensi rawan longsor
setelah parameter-parameter tersebut ditumpang susunkan (overlay).
23

Nilai skor kumulatif untuk menentukan tingkat daerah rawan longsor


diperoleh melalui model pendugaan sedangkan pemberian bobot untuk
menentukan tingkat daerah rawan longsor disesuaikan dengan faktor dominan
atau faktor terbesar penyebab terjadinya tanah longsor.
Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana (2004) Curah hujan
merupakan faktor dominan penyebab terjadinya bencana longsor sehingga
nilainya lebih tinggi dari parameter lainnya. Curah hujan memiliki bobot sebesar
30% dari total pembobotan, sedangkan tanah dan geologi memiliki bobot yang
sama yaitu 20% dan 15% merupakan bobot yang diberikan untuk faktor
penggunaan lahan dan kemiringan lereng. Model pendugaan tersebut dapat dilihat
sebagai berikut:

Skor Kumulatif = (30% x Faktor Curah Hujan) + (20% x Faktor Tanah) +


(20% x Faktor Geologi) + (15% x Faktor Penggunaan
Lahan) + (15% x Faktor Kemiringan Lereng)

Sumber: Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2004)

Berdasarkan hasil skor kumulatif maka daerah rawan (potensial) tanah


longsor dikelompokkan ke dalam tiga kelas, yaitu (i) sangat rawan; (ii) rawan; dan
(iii) kurang rawan. Dengan skor kelas kerawanan:

1. Kurang rawan (≤ 2,5)

2. Rawan (≥ 2,6 – ≤ 3,6)

3. Sangat rawan (≥ 3,7)

3.3.4 Analisis daerah rawan longsor


Pada penelitian ini analisis daerah rawan longsor dilakukan dengan cara
deskriptif yaitu melakukan pengecekan kejadian longsor yang ada di lapangan
pada setiap tingkat kerawanan daerah rawan longsor. Ground check di lakukan
secara purposif sampling pada setiap kelas kerawanan dengan jumlah sample yang
diambil dapat dilihat pada Tabel 8.
24

Tabel 8 Jumlah sample yang diambil pada setiap kelas kerawanan


Kelas Jumlah Titik koordinat
No.
kerawanan sample X Y keterangan
707382 9259754 Cibedug 1
Daerah kurang 707369 9259750 Cibedug 2
1. 6 708068 9259302 Cibedug 3
rawan longsor 708372 9258915 Cibedug 4
708577 9259802 Bojong Murni
717550 9259614 Tugu Selatan
Daerah rawan 717982 9260715 Tugu Utara
2. 3 710578 926217 Kopo 1
longsor 710569 926218 Kopo 2
667520 926274 Malasari
Daerah sangat
3. 4 667557 926362 Curug Bitung 1
rawan longsor 667614 926363 Curug Bitung 2
668361 926527 Curug Bitung 3
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI

4.1 Letak Geografis dan Luas Daerah Penelitian


Penelitian dilakukan di 18 kecamatan yang dipilih berdasarkan daerah rawan
longsor yang ada di Kabupaten Bogor. Daerah ini secara geografis terletak di
antara 106º21' - 107º13' BT dan 6º19' - 6º47' LS. Secara administratif, batas-batas
dari daerah penelitian adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kec.Cigudeg, Kec.Rumpin, Kec.Cibinong
Sebelah Selatan : Banten, Cianjur, Sukabumi
Sebelah Barat : Kec. Sukajaya
Sebelah Timur : Kec. Citeureup, Kec. Sukamakmur
Luas derah penelitian sekitar 104.914,17 Ha yang mencakup 187 desa yang
terletak di 18 kecamatan. Luas wilayah selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran
2.

4.2 Topografi
Kabupaten Bogor berada pada ketinggian berkisar antara 15-2.500 M Dpl,
dengan penyebarannya sebagai berikut:
• Wilayah dataran rendah 15-100 m terletak diwilayah bagian Utara
• Wilayah dataran bergelombang 100-500 m terletak di wilayah bagian
Tengah,
Pegunungan 500-1.000 m, serta pegunungan tinggi dan daerah Puncak
2.000-2.500 meter ada dibagian Selatan
Luas dan penyebaran kelas lereng daerah penelitian, disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Keadaan topografi di daerah penelitian


No Kelas lereng Luas (ha)
1. 0-8 46.603,40
2. 8-15 16.371,19
3. 15-25 17.417,87
4. 25-45 22.231,29
5. >45 2.290,42
Sumber : BAKOSURTANAL (2001)
26

4.3 Tanah
Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Bogor khususnya didaerah
penelitian terdiri dari 9 jenis. Luas dan penyebaran masing-masing jenis tanah di
daerah penelitian di perlihatkan pada Tabel 10.

Tabel 10 Jenis tanah yang terdapat di daerah penelitian


No Jenis tanah Luas (ha)
1. Aluvial 1.387,36
2. Andosol 3.078,74
3. Assosiasi Latosol merah Latosol coklat kemerahan 6.570,31
4. Assosiasi Latosol coklat Latosol kekuningan 9.141,30
5. Assosiasi Andosol Regosol 1.605,54
6. Kompleks Latosol merah kekuningan Latosol coklat
kemerahan dan Litosol 6.662,93
7. Podsolik merah kekuningan 27.909,96
8. Podsolik kekuningan 2.433,69
9. Podsolik merah 5.243,27
10. Regosol 7.923,48
11. Tidak ada data 677,89
12. Assosiasi Latosol coklat Latosol kemerahan 16.727,23
13. Assosiasi Latosol coklat Regosol 15.552,45
Sumber : PUSLITANAK (2002)

4.4 Geologi
Wilayah Kabupaten Bogor dari struktur geologi tersusun dari jenis batuan
Aluvial, Volkanik dan Sedimen. Luas dan penyebaran masing-masing batuan
tersebut disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Jenis batuan yang terdapat di daerah penelitian


No Jenis batuan Luas (ha)
1. Bahan Aluvial 6.534,56
2. Bahan Sedimen-1 5.423,26
3. Bahan Sedimen-2 4.729,32
4. Bahan Volkanik-1 53.617,21
5. Bahan Volkanik-2 34.131,25
Sumber : PUSLITANAK (1998)

4.5 Penutupan Lahan


Penutupan lahan di kabupaten Bogor secara umum terdiri dari 9 jenis
tutupan lahan. Luas dan penyebaran masing-masing jenis penutupan lahan
disajikan pada Tabel 12.
27

Tabel 12 Pola penutupan lahan di daerah penelitian


No Tutupan lahan Luas (ha)
1. Awan dan bayangan awan 7.390,69
2. Badan-badan air 41,14
3. Hutan/vegetasi lebat 33.879,06
4. Kawasan Industri 601,51
5. Kebun campuran/semak belukar 53.934,03
6. Lahan-lahan kosong 503,62
7. Perkebunan 1.762,39
8. Permukiman/perkampungan 6.019,71
9. Sawah irigasi 782,02
Sumber : Hasil klasifikasi Citra Spot 5, K/J 284-363, 2003-07-10

4.6 Iklim
Iklim di Kabupaten Bogor menurut klasifikasi Schimdt dan Ferguson
termasuk Iklim Tropis tipe A (Sangat Basah) di bagian Selatan dan tipe B (Basah)
di bagian Utara. Suhu berkisar rata-rata antara 200 C sampai 300 C. Curah hujan
tahunan antara 2.500 mm sampai lebih dari 5.000 mm/tahun, kecuali di wilayah
utara yang berbatasan dengan DKI Jakarta, Tangerang dan Bekasi curah hujannya
kurang dari 2.500 mm/tahun.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Parameter Penyebab Tanah Longsor


5.1.1 Curah hujan
Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang besar perannya
terhadap kejadian longsor. Infiltrasi air hujan ke dalam lapisan tanah akan
menjenuhi tanah dan melemahkan material pembentuk lereng sehingga memicu
terjadinya longsor. Hujan dengan curahan dan intensitas yang tinggi akan
memberikan bahaya gerakan tanah yang lebih tinggi.
Berdasarkan Tabel 13 dapat dijelaskan bahwa daerah penelitian terbagi ke
dalam 3 wilayah curah hujan rata-rata tahunan yaitu curah hujan dengan kisaran
2.000-2.500 mm/tahun dengan luasan 20.419,28 ha (19,46%), kisaran 2.500-3.000
mm/tahun dengan luas 71.706,70 ha (68,35%) dan kisaran >3.000 dengan luas
12.788,19 (12,19%). Curah hujan dengan kisaran 2.500-3.000 mm/tahun
mendominasi daerah penelitian, hal ini berarti daerah penelitian berada pada
kawasan yang mempunyai curah hujan rata-rata tahunan yang relatif tinggi.
Sebaran spasial curah hujan dapat dilihat pada Gambar 3.

Tabel 13 Luas curah hujan daerah penelitian


No Kelas curah hujan (mm/tahun) Luas (ha) Persentase (%)
1. 2.000-2.500 20.419,28 19,46
2. 2.500-3.000 71.706,70 68,35
3. >3.000 12.788,19 12,19
Jumlah 104.914,17 100
Sumber : PUSLITANAK (2003)
29

Gambar 3 Peta Curah Hujan


30

5.1.2 Geologi
Struktur batuan dan komposisi mineralogi merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan terjadinya longsor. Di daerah pegunungan, jenis batuan didominasi oleh
bahan Sedimen dan Volkanik. Dimana batuan ini terbentuk dari batu liat, batu liat
berkapur dan batu berkapur yang mempunyai sifat kedap air sehingga pada kondisi
jenuh air dapat berfungsi sebagai bidang luncur pada kejadian longsor.
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bogor dari BPPT, batuan dasar/induk daerah
penelitian dapat dikelompokkan menjadi 4 satuan batuan yaitu Bahan Aluvial, Bahan
Volkanik-1, Bahan Sedimen-1, Bahan Volkanik-2 dan Bahan Sedimen-2. Daerah
penelitian didominasi oleh formasi geologi bahan vulkanik-1 yaitu 53.617,21 ha
(51,34%) dari luas daerah penelitian sedangkan formasi geologi bahan Sedimen-2
merupakan formasi geologi dengan luasan terkecil di daerah penelitian dengan luasan
4.729,32 ha (4,53%) (Tabel 14). Sebaran spasial geologi di daerah penelitian
selengkapnya disajikan pada Gambar 4.

Tabel 14 Luas formasi geologi daerah penelitian


No Jenis batuan Luas (ha) Persentase (%)
1. Bahan Aluvial 6.534,56 6,23
2. Bahan Sedimen-1 5.423,26 5,17
3. Bahan Sedimen-2 4.729,32 4,51
4. Bahan Volkanik-1 53.617,21 51,10
5. Bahan Volkanik-2 34.131,25 32,50
6. Tidak ada data 478,57 0,46
Jumlah 104.914,17 100
Sumber : PUSLITANAK (1998)
31

Gambar 4 Peta Geologi


32

5.1.3 Jenis tanah


Kedalaman atau solum, tekstur dan struktur tanah menentukan besar
kecilnya air limpasan permukaan dan laju penjenuhan tanah oleh air. Pada tanah
bersolum dalam (>90 cm), struktur gembur dan penutupan lahan rapat, sebagian
besar air hujan terinfiltrasi ke dalam tanah dan hanya sebagian kecil yang menjadi
air limpasan permukaan. Sebaliknya, pada tanah bersolum dangkal, struktur padat
dan penutupan lahan kurang rapat, hanya sebagian kecil air hujan yang terinfiltrasi
dan sebagian besar menjadi aliran permukaan.
Jenis tanah yang bersifat lempung dan pasir merupakan jenis tanah yang
mudah meloloskan air. Sifat tersebut menjadikan tanah bertambah berat bobotnya
jika tertimpa hujan. Apabila tanah tersebut berada diatas batuan kedap air pada
kemiringan tertentu maka tanah tersebut akan berpotensi menggelincir menjadi
longsor. Berdasarkan tabel 15 dapat dijelaskan bahwa jenis tanah yang
mendominasi daerah penelitian adalah Podsolik merah kekuningan dengan luas
27.909,96 ha (26,6%), sedangkan jenis tanah Aluvial merupakan jenis tanah yang
luasannya tersempit yaitu 1.387,36 ha (1,32%). Sebaran spasial jenis tanah di
daerah penelitian selengkapnya disajikan pada Gambar 5

Tabel 15 Luasan jenis tanah daerah penelitian


No Jenis tanah Luas (ha) Persentase (%)
1. Aluvial 1.387,36 1,32
2. Andosol 3.078,74 2,93
3. Assosiasi Latosol merah Latosol coklat
kemerahan 6.570,31 6,26
4. Assosiasi Latosol coklat Latosol
kekuningan 9.141,30 8,71
5. Assosiasi Andosol Regosol 1.605,54 1,53
6. Kompleks Latosol merah kekuningan
Latosol coklat kemerahan dan Litosol 6.662,93 6,35
7. Podsolik merah kekuningan 27.909,96 26,6
8. Podsolik kekuningan 2.433,69 2,32
9. Podsolik merah 5.243,27 5
10. Regosol 7.923,48 7,55
11. Tidak ada data 677,89 0,65
12. Assosiasi Latosol coklat Latosol
kemerahan 16.727,23 15,9
13. Assosiasi Latosol coklat Regosol 15.552,45 14,8
Jumlah 104.914,17 100
Sumber : PUSLITANAK (2002)
33

Gambar 5 Peta Tanah


34

5.1.4 Kemiringan lereng


Unsur topografi yang paling besar pengaruhnya terhadap bencana longsor
adalah kemiringan lereng. Semakin curam lerengnya maka semakin besar dan
semakin cepat longsor terjadi. Pada lereng > 40% longsor sering terjadi, terutama
disebabkan oleh pengaruh gaya gravitasi. Namun pada kenyataannya tidak semua
lahan/wilayah berlereng mempunyai potensi terjadinya longsor melainkan
tergantung pada karakter lereng beserta materi penyusunnya terhadap respon
tenaga pemicu, terutama respon lereng tersebut terhadap curah hujan, selain itu
potensi terjadinya longsor tergantung dari keberadaan vegetasi pada kondisi
lereng tersebut karena lereng mampu bertahan dalam kondisi kestabilan vegetasi
yang terbatas.
Berdasarkan hasil pengolahan peta kontur daerah penelitian menjadi peta
kelas lereng dengan menggunakan analisis DEM (Digital Elevation Model),
daerah penelitian diklasifikasikan menjadi lima kelas kemiringan lereng, yaitu
kelas kemiringan lereng datar dengan sudut lereng berkisar antara 0-8%, kelas
kemiringan lereng landai (8-15%), kelas kemiringan lereng agak curam (15-25%),
kelas kemiringan lereng curam (25-45%) dan kelas kemiringan lereng sangat
curam (>45%). Kelas kemiringan lereng landai mendominasi daerah penelitian
dengan luas sekitar 46.603,40 ha (44,4%) sedangkan kelas kemiringan lereng
sangat curam merupakan kelas kemiringan dengan luasan terkecil di daerah
penelitian luas sekitar 2.290,42 ha (2,18%) (Tabel 16). Sebaran spasial
kemiringan lereng daerah penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 6.

Tabel 16 Luas kelas kemiringan lereng daerah penelitian


No Kelas lereng Luas (ha) Persentase (%)
1. 0-8 46.603,40 44,4
2. 8-15 16.371,19 15,6
3. 15-25 17.417,87 16,6
4. 25-45 22.231,29 21,2
5. >45 2.290,42 2,18
Jumlah 104.914,17 100
Sumber : BAKOSURTANAL (2001)
35

Gambar 6 Peta Kelas Kemiringan Lereng


36

5.1.5 Penutupan lahan


Banyaknya perubahan vegetasi (sebagai tutupan lahan) dari areal tegakan
hutan atau vegetasi lebat menjadi kebun campuran, semak beukar, pemukiman,
atau menjadi lahan kosong akan sangat berpengaruh besar terhadap kestabilan
lereng terutama pada area hutan yang diubah menjadi lahan pertanian
(agricultural). Dalam pengamatan, kejadian longsor juga terjadi pada daerah
dengan penutupan lahan berupa tegakan tanaman keras yang memiliki kerapatan
tinggi. Sutikno (2000) meyatakan bahwa peranan vegetasi pada kasus longsor
sangat kompleks. Pada kasus tertentu tumbuhan yang hidup pada lereng dengan
kemiringan tertentu justru berperan sebagai penambah beban lereng yang
mendorong terjadinya longsor.
Berdasarkan hasil up-dating peta penutupan lahan tahun 2003 , diketahui
bahwa jenis dan persentase penutupan lahan di daerah penelitian sebagian besar
didominasi oleh hutan dan kebun campuran/semak belukar (Tabel 17). Sebaran
spasial penutupan lahan selengkapnya disajikan pada Gambar 7.

Tabel 17 Luas penutupan lahan daerah penelitian


No Tutupan lahan Luas (ha) Persentase (%)
1. Awan dan bayangan awan 7.390,69 7,04
2. Badan-badan air 41,14 0,04
3. Hutan/vegetasi lebat 33.879,06 32,3
4. Kawasan Industri 601,51 0,57
5. Kebun campuran/semak belukar 53.934,03 51,4
6. Lahan-lahan kosong 503,62 0,48
7. Perkebunan 1.762,39 1,68
8. Permukiman/perkampungan 6.019,71 5,74
9. Sawah irigasi 782,02 0,75
Jumlah 104.914,17 100
Sumber : Hasil klasifikasi Citra Spot 5, K/J 284-363, 2003-07-10

Berdasarkan Tabel 17, terlihat bahwa kebun campuran/semak belukar


merupakan penutupan lahan yang terluas yang terdapat di daerah penelitian yaitu
53.934,03 ha atau sekitar 51,4% dari luas total daerah penelitian. Kebun campuran
memiliki sistem perakaran yang dalam dan kuat sehingga mampu mengikat
agregat tanah pada tempatnya, dan dapat mengurangi potensi terjadinya bencana
tanah longsor. Akan tetapi pada kebun campuran yang sudah menjadi semak
37

belukar akan meningkatkan potensi terjadinya tanah longsor karena semak belukar
pada umumnya tidak memiliki sistem perakaran yang kuat dan dalam yang
mampu mengikat agregat tanah terutama bila tejadi hujan lebat dan cukup lama.
Lahan yang arealnya tidak di tumbuhi oleh vegetasi apapun diatasnya atau
belum dimanfaatkan oleh masyarakat disebut sebagai areal lahan kosong, jika
hujan turun dengan intensitas yang cukup tinggi maka akan langsung terserap oleh
tanah sehingga tanah menjadi cepat jenuh terhadap air yang mengakibatkan bobot
tanah menjadi bertambah dan lebih labil. Dengan kondisi tersebut maka areal
lahan kosong sangat beresiko terhadap terjadinya bahaya longsor, sehingga perlu
dilakukan upaya konservasi melalui rehabilitasi /penghijauan kembali lahan
kosong oleh penduduk maupun oleh pemerintah setempat.
Pemukiman merupakan tipe penutupan lahan yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan papan penduduk di sekitar daerah penelitian. Areal
pemukiman ini tersebar merata diseluruh lokasi penelitian dengan luasan 6.019,71
ha atau sekitar 5,74% dari luas total daerah penelitian. Pemukiman yang terletak
pada kemiringan lereng agak curam hingga sangat curam sangat rentan terhadap
resiko terkena bahaya longsoran, sehingga menimbulkan dampak negatif yang
besar.
Tipe penutupan lahan berupa sawah di daerah penelitian memiliki luasan
782,02 ha atau sekitar 0,75% dari luas total daerah penelitian. Lahan sawah ini
akan sangat berpengaruh sebagai pemicu terjadinya tanah longsor apabila lahan
sawah ini terletak pada daerah yang agak terjal atau daerah yang berlereng karena
dalam keadaan tersebut lereng bersifat jenuh air yang berakibat bobot massa tanah
bertambah sehingga sering menjadi labil oleh karena itu perlu adanya teknik
konservasi yang cukup memadai yang berupa pembuatan terasering, sehingga
tidak meningkatkan bahaya longsor.
38

Gambar 7 Peta Penutupan Lahan


39

5.2 Analisis Daerah Rawan Longsor


Skor kumulatif untuk menentukan tingkat daerah rawan longsor diperoleh
melalui model pendugaan yang bersumber dari Direktorat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi (2004). Pada model pendugaan ini bobot nilai terbesar
diberikan terhadap parameter curah hujan yaitu sebesar 30%, hal ini disebabkan
karena tanah longsor sering terjadi pada saat musim hujan dan tanah longsor
dipicu oleh adanya curah hujan dengan intensitas yang sangat tingi. Parameter
geologi dan tanah memiliki bobot nilai yang sama yaitu 20%, parameter ini
merupakan yang terpenting kedua setelah parameter curah hujan karena kawasan
yang kondisi batuan dasar (geologi) dan tanah pelapukannya rawan longsor akan
terjadi longsor, meskipun kemiringan lerengnya landai (8-15%) dan tipe
penutupan lahannya terdiri dari vegetasi yang cukup rapat. Sebaliknya, tidak akan
terjadi longsor apabila kondisi batuan dasar dan tanahnya tidak rawan longsor
meskipun kemiringan lerengnya sangat curam (>45%) dan tipe penutupan
lahannya terdiri dari vegetasi yang jarang.
Parameter penutupan lahan dan kemiringan lereng memiliki bobot nilai
sama yaitu sebesar 15%. Kedua parameter ini memiliki bobot nilai yang tidak
berbeda jauh dengan parameter geologi dan tanah, hal ini berarti kedua parameter
tersebut mempunyai peranan yang hampir sama dengan ketiga parameter yang
lainnya.
Hasil analisis spasial pada setiap parameter penyebab tanah longsor di
daerah penelitian menghasilkan peta tingkat daerah rawan longsor dengan 3 kelas
kerawanan tanah longsor, yaitu daerah kurang rawan longsor, daerah rawan
longsor dan daerah sangat rawan longsor. Rincian luasan setiap kelas kerawanan
tanah longsor selengkapnya disajikan dalam Tabel 18 dan luas kelas kerawanan
per faktor penyebab longsor disajikan pada lampiran 3. Sebaran spasial kerawanan
tanah longsor dan titik survey dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9.

Tabel 18 Luas tingkat daerah rawan longsor di daerah penelitian


No Kelas kerawanan tanah longsor Luas (ha) Persentase (%)
1 Kurang rawan 17.879,40 17
2 Rawan 78.128,16 74,5
3 Sangat rawan 8.906,61 8,49
Jumlah 104.914.17 100
40

Gambar 8 Peta Tingkat Daerah Rawan Longsor


41

Gambar 9 Peta Titik Survey


42

5.2.1 Daerah kurang rawan longsor


Daerah kurang rawan longsor merupakan daerah yang secara umum
mempunyai tingkat kerawanan rendah untuk terjadinya tanah longsor. Di daerah
penelitian zona yang memiliki tingkat daerah kurang rawan longsor memiliki
luasan sebesar 17.879,40 ha atau 17% dari luas total daerah penelitian. Untuk tipe
penutupan lahan, kelas kerawanan ini didominasi oleh tipe penutupan lahan
berupa kebun campuran/semak belukar seluas 12.021,68 ha. Kebun campuran
memiliki sistem perakaran yang dalam dan kuat sehingga mampu mengikat
agregat tanah pada tempatnya, dan dapat mengurangi potensi terjadinya bencana
tanah longsor.
Batuan bahan Volkanik-1 merupakan formasi geologi yang terluas di
daerah kurang rawan longsor kurang rawan dengan luas 6.188,21 ha sedangkan
formasi geologi terluas kedua adalah batuan bahan Aluvial dengan luas 5.711,46
ha. Bahan Volkanik terbentuk dari batu liat, batu liat berkapur dan batu kapur
yang mempunyai sifat kedap air dimana pada saat penampang tanah jenuh air
dapat berfungsi sebagai bidang luncur.
Jenis tanah yang mendominasi kelas kerawanan ini adalah assosiasi
Latosol coklat Latosol kemerahan dengan luas 4.425,86 ha dan jenis tanah
assosiasi Latosol coklat Regosol dengan luas 3.267,07 ha, yang mempunyai
tekstur berpasir dan agak peka terhadap erosi. Sedangkan untuk kemiringan
lereng, daerah kurang rawan longsor ini bentuk lahannya datar hingga agak curam
yang didominasi dengan kemiringan lereng 0-8% dengan luasan 15.943,28 ha.
Kondisi curah hujan daerah ini didominasi oleh curah hujan yang relatif sedang
dengan kisaran 2.000-2.500 mm/tahun.
Di daerah ini jarang terjadi gerakan tanah jika tidak ada gangguan pada
lereng, sedangkan jika terdapat gerakan tanah itu terjadi pada tebing aliran sungai
akibat dari aliran permukaan yang dapat menimbulkan penggerusan tanah (erosi)
sehingga lereng bagian bawah menjadi lebih curam dan dapat mempercepat
terjadinya tanah longsor pada lereng bagian atasnya.
Berdasarkan hasil ground check pada lokasi daerah kurang rawan longsor
terdapat kasus longsor dalam skala kecil. Kasus ini terjadi di desa Cibedug dan
desa Bojong Murni Kecamatan Ciawi, dimana longsor terjadi pada gawir sungai
43

yang penutupan lahan sekitarnya berupa semak dengan kelerengan 77,78%.


Semak pada umumnya memiliki sistem perakaran yang dangkal sehingga tidak
dapat mengikat agregat tanah terutama bila terjadi hujan lebat dan cukup lama.
Kasus lainnya terjadi di Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua, longsor terjadi
pada tebing jalan yang memiliki kelerengan tanah sebesar 122,22% dengan
penutupan lahan disekitarnya berupa perumahan dan tanah kosong. Pada tanah
kosong jika hujan turun dengan intensitas yang cukup tinggi maka akan langsung
terserap oleh tanah sehingga tanah menjadi cepat jenuh air yang mengakibatkan
bobot tanah menjadi bertambah dan lebih labil.
Untuk menurunkan tingkat kerawanan pada daerah kurang rawan longsor
perlu dilakukan upaya-upaya konservasi yang berupa penanaman pohon yang
memiliki perakaran dalam dan berdaun banyak untuk memecah butiran hujan
sebelum jatuh ke tanah dengan akar tanamannya bisa berjangkar melalui massa
tanah hingga masuk retakan batuan sehingga dapat berfungsi sebagai angker yang
dapat mencegah terjadinya longsor dan penanaman pohon disekitar tempat tinggal
untuk mengurangi air larian (run off).

(a) (b)
44

(c)
Gambar 10 Lokasi Longsor di (a) Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua,
(b) Desa Cibedug Kecamatan Ciawi ,(c) Desa Bojong Murni Kecamatan Ciawi

5.2.2 Daerah rawan longsor


Daerah ini mempunyai tingkat kecenderungan terjadinya tanah longsor
menengah. Kelas kerawanan ini lebih luas dibandingkan dengan kelas kerawanan
yang lain, dengan luasnya sekitar 78.128,16 ha atau 74,5% dari luas total daerah
penelitian, dengan tipe penutupan lahan yang mendominasi adalah kebun
campuran dengan luas sekitar 39.929,22 ha.
Batuan bahan Volkanik-1 merupakan formasi geologi yang mempunyai
luasan terbesar di kelas kerawanan ini yaitu seluas 42.245,93 ha dan bahan
Volkanik-2 seluas 29.366,78 ha. Bahan Volkanik terbentuk dari batu Liat, batu
Liat berkapur dan batu Kapur yang mempunyai sifat kedap air dimana pada saat
penampang tanah jenuh air dapat berfungsi sebagai bidang luncur. Sedangkan
untuk jenis tanah didominasi oleh jenis Podsolik merah kekuningan seluas
24.648,09 ha, yang memiliki tekstur lempung hingga debu yang peka terhadap
erosi. Kemiringan lereng dari mulai daerah datar hingga curam terdapat pada
kelas kerawanan ini, yang didominasi oleh kemiringan lereng datar dengan luas
30.658,25 ha. Kondisi curah hujan daerah ini didominasi oleh curah hujan yang
relatif tinggi dengan kisaran 2.500–3.000 mm/tahun.
kg kjj

Tanah longsor besar maupun kecil dapat terjadi terutama di daerah yang
berbatasan dengan lembah sungai, gawir, pinggir jalan yang memotong kontur
45

dan pada lereng yang mengalami gangguan umumnya pada lereng yang
mempunyai vegetasi penutup yang kurang sampai sangat kurang.
Berdasarkan hasil ground check pada beberapa titik longsor yang terjadi
di Desa Tugu Utara Kecamatan Cisarua terlihat adanya pemotongan lereng dalam
upaya pembangunan infrasturktur jalan dan pemukiman dengan penutupan lahan
berupa tegakan tanaman keras yang memiliki kerapatan tinggi dengan kelerengan
66.67%. Dimana lahan berlereng yang sangat dipadati pepohonan dapat
memperbesar kemungkinan resiko longsor karena tiupan angin terhadap pohon
dapat merambatkan getaran terhadap tanah yang dapat mengakibatkan retakan
sehingga meningkatkan laju infiltrasi secara setempat dari aliran permukaan
hingga mencapai bidang luncur.
Kejadian longsor juga terjadi di Desa Kopo Kecamatan Cisarua, dimana
longsor terjadi pada tebing lereng yang penutupan lahan di sekitranya berupa
sawah dengan kelerengan 88,89%. Cara pengolahan tanah sangat mempengaruhi
struktur tanah alami yang baik yang terbentuk karena penetrasi akar, apabila
pengolahan tanah terlalu intensif maka struktur tanah akan rusak. Kebiasaan
petani yang mengolah tanah secara berlebihan dimana tanah diolah sampai bersih
permukaannya merupakan salah satu contoh yang keliru karena kondisi seperti ini
mengakibatkan butir tanah terdispersi oleh butir hujan dan menyumbat pori–pori
tanah. Demikian halnya dengan sawah, pengolahan sawah yang terlalu intensif
mengakibatkan pori–pori tanah tersumbat sehingga dapat mengakibatkan
genangan air yang berlebih. Genangan air yang berlebih tersebut dapat
mengakibatkan bobot massa tanah bertambah, dengan didukung kemiringan
lereng yang sangat curam maka bobot massa tanah yang meningkat tersebut dapat
dengan mudah bergerak kebawah secara gravitasi.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan tingkat
kerawanan pada daerah rawan longsor yaitu berupa pembuatan bangunan penguat
tebing atau bronjong (susunan batu diikat kawat) pada tebing-tebing jalan yang
memotong lereng, pembuatan terasering pada lahan sawah, pengaturan pola tanam
pada bidang olah serta peningkatan kesuburan tanah dan ketersediaan air. Salah
satu model dari sistem pertanaman adalah pengelolaan yang mensinergiskan
46

antara komponen pohon dan tanaman semusim dalam ruang dan waktu yang sama
atau lebih dikenal dengan agroforestri.
Agroforestri adalah nama kolektif untuk sistem dan teknologi
pemanfaatan lahan dimana tumbuhan berkayu parennial (pohon, semak belukar,
palma, bambu dan sebagainya) secara sengaja digunakan pada unit pengelolaan
lahan yang sama dengan tanaman pertanian dan atau hewan-hewan, dalam
beberapa bentuk susunan ruang atau urutan waktu. Dalam sistem agroforestri
terdapat interaksi ekologis dan ekonomis antara komponen-komponen yang
berbeda. Agroforestri ditujukan untuk memaksimalkan penggunaan energi
matahari, meminimalkan hilangnya unsur hara di dalam sistem, mengoptimalkan
efisiensi penggunaan air dan meminimalkan run off dan erosi.
Curah hujan yang jatuh pada suatu kawasan, sebagian akan ditahan oleh
tajuk pohon dan sebagian lagi oleh tajuk tanaman semusim, dan lainnya lolos
kepermukaan tanah di bawah pohon dan di bawah tanaman semusim. Air yang di
tahan oleh tajuk pohon dan tanaman semusim sebagian besar menguap sehingga
tidak berpengaruh kepada simpanan (cadangan) air dalam tanah. Tajuk pohon dan
tanaman semusim yang berbeda mengakibatkan perbedaan jumlah air yang
ditahan tajuk kedua jenis tanaman itu. Akibatnya jumlah air yang lolos dan
mencapai permukaan tanah di bawah pohon dan di bawah tanaman semusim juga
berbeda. Air hujan yang lolos dari tajuk tanaman akan mencapai permukaan tanah
dan sebagian masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi, sebagian lagi
mengalir di permukaan tanah sebagai limpasan permukaan. Sifat-sifat tanah
dibawah pohon dan tanaman semusim dan jumlah air yang jatuh dibawah kedua
tanaman yang berbeda menyebabkan kecepatan infiltrasi dan limpasan permukaan
dibawah tanaman semusim dan pohon juga berbeda. Dalam kondisi tertentu
infiltrasi dibawah pohon bisa cukup tinggi sehingga tidak hanya cukup
menurunkan limpasan permukaan dibawah pohon menjadi nol, tetapi mampu
menampung limpasan permukaan dari areal dibawah tanaman semusim. Air yang
berada di permukaan tanah akan menguap dengan kecepatan evaporasi tanah dari
bawah pohon dan evaporasi tanah dibawah tanaman semusim. Kecepatan ini
berbeda karena adanya perbedaan kerapatan penutupan tajuk pohon dan tanaman
47

semusim. Evaporasi akan terus berlangsung selama ada suplai air dari lapisan
dibawahnya (Suryanto 2005).
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sistem pertanaman dengan model
agroforestri mampu menyerap air secara maksimal dan penggunaannya yang
efisien. Konsep kesetimbangan air dalam agroforestri inilah mendudukkan
agroforestri pada posisi yang strategis untuk mengurangi peluang peran air dalam
terjadinya tanah longsor.

(a) (b)
Gambar 11 Lokasi Longsor di (a) Desa Tugu Utara Kecamatan Cisarua,
b) Desa Kopo Kecamatan Cisarua

5.2.3 Daerah sangat rawan longsor


Kelas kerawanan ini merupakan daerah yang secara umum mempunyai
tingkat kerawanan tinggi untuk terjadinya tanah longsor. Daerah ini sangat tidak
stabil dan sewaktu-waktu dapat terjadi tanah longsor dalam ukuran kecil maupun
besar. Luas kerawanan tanah longsor tinggi ini merupakan luasan yang tersempit
di daerah penelitian yaitu sekitar 8.906,61 ha atau sekitar 8,49% dimana tipe
penutupan lahan yang mendominasi adalah hutan dengan luas sekitar 4.567,61 ha.
Formasi geologi pada kelas ini sama dengan kelas kerawanan tanah
longsor rawan , yang didominasi oleh bahan Volkanik-1 dengan luas 5.183,07 ha
dan bahan Volkanik-2 dengan luas 3.706,51 ha. Sedangkan jenis tanah yang
mendominasi kelas ini adalah Podsolik merah kekuningan dengan luas 3.140,04
ha. Kemiringan lereng pada kelas kerawanan tanah longsor sangat rawan ini
didominasi oleh kemiringan lereng yang curam seluas 5.580,81 ha. Selain pada
kemiringan lereng tersebut, kelas ini terdapat pula pada kemiringan lereng mulai
48

dari yang landai hingga sangat curam. Curah hujan yang relatif tinggi
mendominasi kelas kerawanan ini yaitu > 3.000 mm/tahun.
Berdasarkan hasil ground check pada kelas kerawanan ini kasus longsor
terjadi di Desa Malasari dan Desa Curug Bitung Kecamatan Nanggung, longsor
terjadi pada pinggir jalan yang memotong kontur dengan kelerengan 111,11%.
Pemotongan lereng ini selain dapat menambah kemiringan lereng, juga beresiko
meningkatkan tegangan geser lereng (shear strength) yang menyebabkan
kemantapan lereng berkurang. Sehingga menyebabkan lereng menjadi rawan
terhadap gerakan tanah dan kejadian longsor, terutama saat berlangsungnya hujan
lebat dalam waktu lama. Disekitar lereng hanya tumbuh anakan pinus dan semak,
sebagian semak belukar tersebut sebelumnya adalah berupa tegakan hutan pinus,
namun karena perawatan yang tidak intensif dan adanya perambahan hutan oleh
masyarakat setempat, tegakan pinus tersebut terlantar dan berubah menjadi semak
belukar. Longsor juga tejadi di punggung bukit yang penutupan lahannya berupa
tanaman tumpang sari.
Pada bagian atas dan tengah lereng sebaiknya ditanami pohon berakar kuat
mengikat tanah, tetapi berbatang ringan. Lebih tepat bila beranting dan berdaun
banyak untuk memecah butiran hujan sebelum jatuh di tanah. Di bagian kaki atau
bawah lereng barulah ditanami jenis pohon berakar kuat menahan batu dan berat
seperti pohon jati (Tectona grandis Linn.f). Menanam pohon berat dan berakar
serabut di bagian atas lereng justru akan memicu dan memperparah dampak
longsor. Ancaman tanah longsor ini senantiasa dapat terjadi meski area tanah
longsor itu diperkuat oleh vegetasi atau pepohonan. Lereng mampu bertahan
dalam kondisi kestabilan vegetasi yang terbatas. Jadi, lereng di bagian tengah dan
atas akan aman apabila ditanami tanaman bertajuk ringan dan berakar dalam.
Sementara lereng di bagian bawah dapat ditanami dengan beban tanaman yang
cukup berat sehingga dapat menahan gerakan tanah.
Untuk menurunkan atau meminimalisir tingkat kerawanan pada daerah
sangat rawan longsor perlu dilakukan upaya konservasi baik vegetatif maupun
mekanik. Upaya-upaya tersebut antra lain : penanaman tumbuhan atau tanaman
yang menutupi tanah secara terus-menerus, penanaman dalam strip, sistem
pertanian hutan, pemanfaatan sisa-sisa tanaman atau tumbuhan (mulsa),
49

pengolahan tanah menurut kontur, pembuatan guludan bersaluran, parit pengelak,


pembuatan dam penghambat serta perbaikan drainase dan irigasi. Pada daerah ini
harus diupayakan sebagai kawasan konservasi dan kawasan lindung, melihat
kemiringan lerengnya yang sangat curam dengan curah hujan yang tinggi dan
jenis tanah yang peka terhadap erosi.

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)
50

(g)
Gambar 12 Lokasi Longsor di (a), (b) dan (c) Desa Malasari
Kecamatan Nanggung
(d), (e), (f), dan (g) Desa Curug Bitung Kecamatan Nanggung
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat dikemukakan berdasarkan hasil penelitian ini
adalah:
1. Kerawanan tanah longsor di daerah penelitian terbagi menjadi tiga kelas yaitu
daerah kurang rawan longsor (17.879,39 ha/17%), daerah rawan longsor
(78.128,159 ha/74.5%) dan daerah sangat rawan longsor (8.906,614
ha/8,49%).
2. Kecamatan Pamijahan dan Nanggung memiliki potensi bahaya longsor pada
tingkat sangat rawan paling luas dengan luas masing-masing sebesar
3.823,662 ha dan 1.340,01 ha.
3. Tiap parameter penyebab longsor memiliki karakteristik yang berbeda. (a)
Pada daerah kurang rawan longsor penutupan lahan yang mendominasi adalah
kebun campuran dengan batuan bahan Volkanik-1 dan jenis tanah asosiasi
Latosol coklat Latosol kemerahan. Daerah ini didominasi oleh curah hujan
dengan kisaran 2000-2500 mm/tahun dengan kemiringan lereng datar. (b)
Pada daerah rawan longsor penutupan lahan yang mendominasi adalah kebun
campuran dengan batuan bahan Volkanik-1 dan jenis tanah Podsolik merah
kekuningan, curah hujannya 2500-3000 mm/tahun dengan kemiringan lereng
datar. (c) Pada daerah sangat rawan longsor penutupan lahan yang
mendominasi adalah hutan dengan jenis tanah Podsolik merah kekuningan
dengan batuan bahan Volkanik-1 yang didominasi oleh curah hujan dengan
kisaran > 3000 mm/tahun dengan kemiringan lereng yang curam.
52

6.2 Saran
Upaya yang dapat dilakukan dalam mengurangi dan memperkecil
kemungkinan terjadinya peningkatan tingkat daerah rawan longsor, meliputi:
1. Pada kemiringan lereng 8-25% disarankan untuk dijadikan lahan agroforestri
dan pada kemiringan > 25% disarankan untuk dijadikan kawasan konservasi
dan kawasan lindung.
2. Agroforestri dengan pemilihan jenis pohon perakaran dalam tetapi berbatang
ringan dan beranting serta berdaun banyak lebih dianjurkan.
PUSTAKA ACUAN

Alhasanah. 2006. Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor Serta
Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus
Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang,
Provinsi Jawa Barat). [Tesis]. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB. In Press.
Barus, B. 1999. Pemetaan Bahaya Longsoran Berdasarkan Klasifikasi Statistik
Peubah Tunggal Menggunakan SIG Studi Kasus Daerah Ciawi-Puncak-
Pacet Jawa Barat. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 2:7-16 Jurusan Ilmu
Tanah, In Press (April 1999).
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2005. Manajemen
Bencana Tanah Longsor. http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/0305/22
/0802.htm. [15 Desember 2007].
Effendi, R. S. 2002. Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka Pelestarian
Lingkungan Hidup. Bumi Aksara. Jakarta.
Febriana, I. 2004. Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Rawan Bencana Tanah
Longsor dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem
Informasi Geografis (Studi Kasus Di Kawasan Gunung Mandalawangi dan
sekitarnya, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat). [Skripsi]. Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
Jaya, I. N. S. 2002. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Kehutanan.
Laboratorium Inventarisasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
Bogor.
Jaya, I. N. S., N. Puspaningsih dan S. Sutarahardja. 2003. Analisis Perubahan
Tutupan Lahan Berdasarkan Citra Satelit Spot 5 di Wilayah Kabupaten
Bogor.Kerjasama antara Badan Perencanaan Daerah Pemerintah Kabupaten
Bogor dengan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Lillesand, T. M. dan R. W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan InterpretasiCitra
(Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
54

Lo, C. P. 1995. Penginderaan Jauh Terapan Terjemahan. Penerbit Universitas


Indonesia Jakarta.
Purnamasari. D. C. 2007. Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi
Geografis dalam Evaluasi Daerah Rawan Longsor di Kabupaten
Banjarnegara (Studi Kasus di Gunung Pawinihan dan Sekitarnya, Desa
Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara). [Skripsi].
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Prahasta, E. 2001. Konsep-konsep Dasar SIG. Informatika. Bandung.
Soepraptohardjo, M. 1961. Jenis-jenis Tanah di Indonesia. Lembaga Penelitian
Tanah. Bogor.
Subhan. 2006. Identifikasi dan Penentuan Faktor-faktor Utama Penyebab Tanah
Longsor di Kabupaten Garut, Jawa Barat. [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana.
Institut Pertanian Bogor.
Suryanto, P. Dan W. Wilopo. 2005. Agroforestri Alternatif Model Rekayasa
Vegetasi pada Kawasan Rawan Longsor. Jurnal Hutan Rakyat Vol. VII No.
1/ISSN: 1411-1861.
Sutedjo M, M.G. Kartasapoetra, A.G.Kartasapoetra, 1985. Teknologi Konservasi
Tanah dan Air edisi Kedua. PT. Abdi Mahasatay. Jakarta.
Sutikno. 1997. Penanggulangan Tanah Longsor. Bahan Penyuluhan Bencana
Alam Gerakan Tanah. Jakarta.
Sutikno. 2000. Penyuluhan Bencana Alam Gerakan Tanah. Direktorat Geologi
Tata Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung.
LAMPIRAN
55

Lampiran 1. Wilayah Rawan Longsor di Provinsi Jawa Barat

No. Kabupaten/kota Kecamatan


1. Kab. Bandung Pangalengan, Lembang, Ibun, Gununghalu,
Cipongkor, Marga Asih, Cikalong Wetan, Cililin,
Cicalengka, Parogong, Soreang, Ngamprah,
Sindangkerta, Cisarua, Cimenyan, Rajamandala,
Batujajar
2. Kota Bandung Coblong, Cilengkrang
3. Kab. Cianjur Cipanas, Cibeber, Bojong Picung, Pacet, Sindang
Barang, Sukaresmi, Campaka, Cilotom, Cikalong,
Cibinong
4. Kab. Sumedang Darmaraja, Cimalaka, Rancakalong, Wado,
Sumedang Selatan, Tanjungsari, Tanjungkerta,
Sumedang Utara, Jatigede
5. Kab. Bogor Cileungsi, Cijeruk, Cisarua, Cigudeg, Ciawi,
Jasinga, Cariu, Megamendung, Panyawangan,
Cihaurbeuti, Jatinagara, Rancah, Cibungbulang,
Jonggol, Cileksa
6. Kota Bogor Bogor Tengah, Bogor Timur, Bogor Selatan
7. Kab. Ciamis Cisaga, Panawangan, Panjalu, Ciamis, Kota,
Jatinagara, Jatinaga, Kawali
8. Kab. Tasikmalaya Salawu, Singaparna, Bantarkalong, Tasikmalaya
Selatan
9. Kab. Majalengka Sindangwangi, Bantarujeg, Majalengka, Maja,
Sukahaji, Argapura, Lemahsugih, Rajagaluh,
Panyingkiran, Cingambul, Rancabalong
10. Kab. Kuningan Kuningan Barat, Selatan dan Timur yang berbatasan
dengan Brebes, Waled, Kandangserang
11. Kab. Sukabumi Sukabumi Selatan, Jampang
12 Kab. Purwakarta Bagian Timur
Sumber : RTRW Provinsi Jawa Barat 2010 (2002)
56

Lampiran 2. Desa-desa yang termasuk dalam lokasi penelitian

No. Kecamatan Desa Luas (Ha)


1 BABAKANMADANG Babakanmadang 294,221
Bojongkoneng 1.903,994
Cijayanti 1.664,605
Cipambuan 204,169
Citaringgul 287,942
Kadumanggu 448,048
Karangtengah 3456,75
Sentul 441,266
Sumurbatu 536,773
Jumlah 9.237,768
2 CARINGIN Caringin 205,208
Ciderum 353,404
Ciherangpondok 458,233
Cimande 1.333,174
Cimandehilir 214,617
Cinagara 716,63
Lemahduhur 399,239
Muarajaya 136,321
Pancawati 1.215,846
Pasirbuncir 1.043,042
Pasirmuncang 208,609
Tangkil 1.326,474
Jumlah 7.610,797
3 CIAMPEA Benteng 293,412
Bojongjengkol 214,351
Bojongrangkas 113,43
Ciampea 296,161
Ciampea Udik 257,408
Cibadak 178,444
Cibanteng 159,969
Cibuntu 250,865
Cicadas 287,735
Cihideunghilir 188,25
Cihideungudik 314,587
Cinangka 388,882
Tegalwaru 360,889
Jumlah 3.304,383
4 CIAWI Banjarwangi 111,767
Banjarwaru 147,697
Bantarsari 174,035
Bendungan 155,862
57

Bitungsari 169,587
Bojongmurni 1.335,886
Ciawi 145,389
Cibedug 526,379
Cileungsi 843,996
Citapen 290,306
Jambuluwuk 357,453
Pandansari 225,452
Telukpinang 155,194
Jumlah 4.639,003
5 CIBUNGBULANG Cemplang 235,435
Ciaruteunilir 535,907
Ciaruteunudik 261,14
Cibatok I 202,999
Cibatok II 190,909
Cijujung 353,235
Cimanggu I 196,57
Cimanggu II 122,291
Dukuh 175,326
Galuga 226,049
Girimulya 195,467
Leuweungkolot 210,597
Situilir 291,823
Situudik 455,073
Sukamaju 192,563
Jumlah 3.845,384
6 CIGOMBONG Ciadeg 287,767
Ciburayut 334,52
Ciburuy 207,405
Cigombong 106,223
Cisalada 214,181
Pasirjaya 661,434
Srogol 1.099,464
Tugujaya 706,781
Watesjaya 539,629
Jumlah 4.157,404
7 CIJERUK Cibalung 457,106
Cijeruk 814,419
Cipelang 841,511
Cipicung 414,96
Palasari 423,923
Sukaharja 788,896
Tajurhalang 491,041
Tanjungsari 208,339
58

Warungmenteng 286,054
Jumlah 4.726,249
8 CIOMAS Ciapus 170,296
Ciomas 120,997
Ciomasrahayu 84,775
Kotabatu 249,386
Laladon 151,551
Mekarjaya 74,985
Padasuka 160,072
Pagelaran 206,865
Parakan 213,733
Sukaharja 192,342
Sukamakmur 188,449
Jumlah 1.813,451
9 CISARUA Batulayang 273,902
Cibeureum 1.086,448
Cilember 296,687
Cisarua 246,974
Citeko 583,042
Jogjogan 236,321
Kopo 659,464
Leuwimalang 131,534
Tugu Selatan 2.162,924
Tugu Utara 1.137,844
Jumlah 6815,14
10 DRAMAGA Babakan 392,305
Ciherang 266,934
Cikarawang 283,365
Dramaga 217,071
Neglasari 190,059
Petir 328,266
Purwasari 222,266
Sinarsari 130,405
Sukadamai 361,416
Sukawening 243,176
Jumlah 2.635,263
11 LEUWILIANG Barengkok 545,757
Cibeber I 453,163
Cibeber II 560,761
Karacak 694,573
Karehkel 453,476
Karyasari 461,218
Leuwiliang 275,696
59

Leuwimekar 317,438
Pabangbon 1.320,225
Purasari 2.186,472
Puraseda 1.608,494
Jumlah 8.877,273
12 LEUWISADENG Babakansadeng 366,932
Kalong I 353,664
Kalong II 301,798
Leuwisadeng 542,367
Sadeng 629,167
Sadengkolot 531,643
Sibanteng 563,458
Wangunjaya 248,395
Jumlah 3.537,424
13 MEGAMENDUNG Cipayungdatar 972,972
Cipayunggirang 192,684
Gadog 191,574
Kuta 552,486
Megamendung 2.495,278
Sukagalih 405,646
Sukakarya 435,046
Sukamahi 258,211
Sukamaju 247,796
Sukamanah 189,611
Sukaresmi 301,506
Jumlah 6242,81
14 NANGGUNG Bantarkaret 3.016,813
Cisarua 1.354,432
Curugbitung 1353,92
Hambaro 239,252
Kalongliud 434,722
Malasari 4.585,538
Nanggung 1.093,214
Pangkaljaya 369,603
Parakanmuncang 670,704
Sukaluyu 383,537
Jumlah 13.501,735
15 PAMIJAHAN Ciasihan 934,035
Ciasmara 2.908,299
Cibening 329,892
Cibitungkulon 308,491
Cibitungwetan 315,934
Cibunian 1.600,258
60

Cimayang 168,989
Gunungbunder I 384,778
Gunungbunder II 822,653
Gunungmenyan 295,461
Gunungpicung 806,647
Gunungsari 1.707,047
Pamijahan 430,202
Pasarean 299,85
Purwabakti 775,378
Jumlah 12.087,914
16 SUKARAJA Cadasngampar 260,888
Cibanon 331,797
Cijujung 408,591
Cikeas 320,819
Cilebut Barat 336,423
Cilebut Timur 162,476
Cimandala 338,94
Gununggeulis 601,829
Nagrak 601,606
Pasirjambu 202,162
Pasirlaja 363,187
Sukaraja 250,14
Sukatani 168,165
Jumlah 4.347,023
17 TAMANSARI Pasireurih 244,327
Sirnagalih 162,527
Sukajadi 326,67
Sukajaya 212,27
Sukaluyu 276,496
Sukamantri 331,506
Sukaresmi 298,784
Tamansari 1.559,392
Jumlah 3.411,972
18 TENJOLAYA Cibitungtengah 323,349
Cinangneng 271,349
Gunungmalang 1.853,714
Situdaun 369,259
Tapos I 1.051,298
Tapos II 254,206
Jumlah 4.123,175
Jumlah Total 104.914,168
61

Lampiran 3. Luas Kelas kerawanan per faktor penyebab longsor

Luas Kelas kerawanan tanah longsor pada tiap kecamatan


KURANG SANGAT
RAWAN TOTAL
KECAMATAN RAWAN RAWAN
(ha) (ha)
(ha) (ha)
BABAKANMADANG 4.201,355 5.035,988 0,425 9.237,768
CARINGIN 429,805 6.822,05 358,942 7.610,797
CIAMPEA 581,06 2.707,194 16,129 3.304,383
CIAWI 232,426 4.215,42 191,157 4.639,003
CIBUNGBULANG 1.431,795 2.404,177 9,412 3.845,384
CIGOMBONG 115,702 3.701,099 340,603 4.157,404
CIJERUK 96,775 4.277,481 351,993 4.726,249
CIOMAS 34,818 1.770,235 8,398 1.813,451
CISARUA 1.465,706 5.296,417 53,017 6.815,14
DRAMAGA 430,239 2.176,66 28,364 2.635,263
LEUWILIANG 1.450,342 7.232,246 194,685 8.877,273
LEUWISADENG 1.770,634 1.754,721 12,069 3.537,424
MEGAMENDUNG 1.317,64 4.897,224 27,946 6.242,81
NANGGUNG 1.198,264 10.963,461 1340,01 13.501,735
PAMIJAHAN 42,52 8.221,732 3.823,662 12.087,914
SUKARAJA 3.047,995 1.298,103 0,925 4.347,023
TAMANSARI 17,384 2.486,481 908,107 3.411,972
TENJOLAYA 14,935 2.867,47 1240,77 4.123,175
TOTAL (ha) 17.879,395 78.128,159 8.906,614 104.914,168

Luas Kelas kerawanan tanah longsor berdasarkan kelerengan


KELAS KURANG SANGAT
RAWAN TOTAL
KELERENGAN RAWAN RAWAN
(ha) (ha)
(%) (ha) (ha)
>45 - 807,648 1.482,774 2.290,422
0-8 15.943,283 30.658,251 1,866 46.603,4
15-25 594,254 15.080,018 1.743,595 17.417,867
25-45 0,061 16.650,42 5.580,81 22.231,291
8-15 1.341,797 14.931,822 97,569 16.371,188
TOTAL (ha) 17.879,395 78.128,159 8.906,614 104.914,168
62

Luas Kelas kerawanan tanah longsor berdasarkan jenis tanah


KURANG SANGAT
RAWAN TOTAL
JENIS TANAH RAWAN RAWAN
(ha) (ha)
(ha) (ha)
Aluvial 1.306,917 80,389 0,055 1.387,361
Andosol 8,142 1.362,389 1.708,212 3.078,743
Assosiasi latosol merah
latosol coklat
kemerahan 2.706,361 3.057,421 806,532 6.570,314
Assosiasi andosol
regosol 804,94 800,602 1.605,542
Assosiasi latosol coklat
latosol kekuningan 889,713 8.205,827 45,763 9.141,303
Assosiasi Latosol coklat
latosol kemerahan 4.425,863 12.059,526 241,84 16.727,229
Assosiasi latosol coklat
regosol 3.267,066 12.192,415 92,967 15.552,448
Kompleks Latosol
merah kekuningan
latosol coklat
kemerahan dan litosol 2.601,783 4.047,36 13,791 6.662,934
Podsolik merah
kekuningan 121,826 24.648,091 3.140,044 27.909,961
Podsolik kekuningan 0,217 1.818,161 615,316 2.433,694
Podsolik merah 2.021,152 3.181,805 40,313 5.243,27
Regosol 0,079 6.527,591 1.395,808 7.923,478
Tidak ada data 530,276 142,244 5,371 677,891
TOTAL (ha) 17.879,395 78.128,159 8.906,614 104.914,168

Luas Kelas kerawanan tanah longsor berdasarkan Curah Hujan


KURANG SANGAT
CURAH HUJAN RAWAN TOTAL
RAWAN RAWAN
(mm/th) (ha) (ha)
(ha) (ha)
2.500-3.000 5.862,374 63.664,368 2.179,961 71.706,703
>3.000 1,331 6.060,747 6.726,111 12.788,189
2.000-2.500 12.015,69 8.403,044 0,542 20.419,276
TOTAL (ha) 17.879,395 78.128,159 8.906,614 104.914,168
63

Luas Kelas kerawanan tanah longsor berdasarkan penutupan lahan


KURANG SANGAT
RAWAN TOTAL
PENUTUPAN LAHAN RAWAN RAWAN
(ha) (ha)
(ha) (ha)
Awan (no data) 799,318 3.007,727 887,7 4.694,745
Badan-badan air 28,257 12,661 0,221 41,139
Bayangan awan (no data) 503,541 1.696,962 495,446 2.695,949
Hutan/vegetasi lebat 3.135,684 26.175,759 4.567,613 33.879,056
Kawasan Industri 39,746 337,87 223,897 601,513
Kebun campuran/semak
belukar 12.021,68 39.929,224 1.983,123 53.934,027
Lahan-lahan kosong 74,053 282,331 147,234 503,618
Perkebunan 175,195 1.270,797 316,398 1.762,39
Permukiman/perkampungan 959,753 4.879,145 180,81 6.019,708
Sawah irigasi 142,168 535,683 104,172 782,023
TOTAL (ha) 17.879,395 78.128,159 8.906,614 104.914,168

Luas Kelas kerawanan tanah longsor berdasarkan batuan geologi


KURANG SANGAT
RAWAN TOTAL
JENIS BATUAN RAWAN RAWAN
(ha) (ha)
(ha) (ha)
Bahan Aluvial 5.711,462 811,654 11,443 6.534,559
Bahan Sedimen-1 2.725,66 2.694,856 2,741 5.423,257
Bahan Sedimen-2 1.864,503 2.864,268 0,547 4.729,318
Bahan Volkanik-1 6.188,209 42.245,933 5.183,067 53.617,209
Bahan Volkanik-2 1.057,967 29.366,776 3.706,508 34.131,251
Tidak ada data 331,594 144,672 2,308 478,574
TOTAL 17.879,395 78.128,159 8.906,614 104.914,168

Anda mungkin juga menyukai