Gis DLM Longsor PDF
Gis DLM Longsor PDF
Skripsi
Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang
menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke
tempat yang lebih rendah. Kondisi topografi yang berbukit dan bergunung, tingginya
tingkat kepadatan penduduk di wilayah perbukitan serta pemanfaatan lahan dan ruang
yang kurang baik menimbulkan tekanan terhadap ekosistem. Untuk menghindari jatuhnya
korban yang lebih besar dan banyak akibat bahaya tanah longsor, diperlukan upaya-upaya
yang mengarah kepada tindakan meminimalisir akibat yang akan ditimbulkan. Untuk dapat
memantau dan mengamati fenomena tanah longsor di suatu kawasan diperlukan adanya
suatu identifikasi dan pemetaan daerah rawan tanah longsor yang mampu memberikan
gambaran kondisi kawasan yang ada berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya tanah
longsor.
Penentuan daerah kerawanan tanah longsor dilakukan berdasarkan lima
parameter yaitu curah hujan, penutupan lahan, geologi, kemiringan lereng dan jenis tanah.
Masing-masing parameter tersebut dilakukan pembobotan atau pemberian nilai yang
mempunyai pengaruh terhadap terjadinya tanah longsor. Semakin besar nilai bobot yang
diberikan artinya semakin memiliki kepekaan terhadap terjadinya tanah longsor. Kelima
peta tersebut di overlay dan dilakukan penghitungan skor kumulatif dengan menggunakan
model pendugaan yang berasal dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
tahun 2004, sehingga didapatkan peta penyebaran daerah rawan longsor.
Penutupan lahan di daerah penelitian terdiri dari hutan, kawasan industri, kebun
campuran/semak belukar, lahan kosong, perkebunan, pemukiman, sawah dan badan air.
Daerah rawan longsor di daerah penelitian terbagi menjadi tiga kelas yaitu daerah kurang
rawan longsor (17.879,40 ha / 17 %), daerah rawan longsor (78.128,16 ha / 74,5 %) dan
daerah sangat rawan longsor (8.906,61 ha / 8,49 %). Ke tiga kelas kerawanan tersebut
terdapat pada semua tipe penutupan lahan dengan jenis batuan yang mendominasi adalah
bahan volkanik-1. Daerah kurang rawan longsor terdapat pada kemiringan lereng datar
hingga agak curam dan jenis tanah yang mendominasi adalah assosiasi latosol coklat
latosol kemerahan dengan kondisi curah hujan relatif sedang (2000-2500 mm/tahun).
Daerah rawan longsor terdapat pada kemiringan lereng datar hingga curam, jenis tanah
yang mendominasi podsolik merah kekuningan dengan kondisi curah hujan relatif tinggi
(2500-3000 mm/tahun). Daerah sangat rawan longsor terdapat pada kemiringan lereng
landai hingga sangat curam, didominasi oleh jenis tanah podsolik merah kekuningan
dengan kondisi curah hujan sangat tinggi (>3000 mm/tahun).
Nanggung dan Pamijahan merupakan kecamatan yang memiliki kelas kerawanan
daerah rawan longsor dan daerah sangat rawan longsor. Kecamatan Nanggung memiliki
daerah rawan longsor seluas 10.963,46 ha dan daerah sangat rawan longsor seluas
1.340,01 ha. Sementara itu, kecamatan Pamijahan memiliki daerah rawan longsor seluas
8.221,73 ha dan daerah sangat rawan longsor seluas 3.823,66 ha. Daerah kurang rawan
longsor tersebar luas terutama disekitar kecamatan Babakan Madang yaitu 4.201,35 ha.
Landslide soil is result of disturbance in the balance that cause movement of soil
mass and rock to a lower place. Mountainous topography, high number of settlement in
mountainous area, with an incorrect use of land is several factors that have a bad impact to
the ecosystem. Various actions need to be carried out to minimalize the negative
consequences due to each landslide case. This effort will allow related to one of it is
mapping and identification each area that I potent to landslide event. This effort will provide
a better picture of the region and allow a better observation based on the factor that cause
landslide.
An area that is potent to landslide is categorized based on five perimeters: level of
rainfall, land coverage, geology, slope, and soil condition. Each perimeter are scored
based on its impact on landslide case in the areas that became due object of this studies.
Higher score means higher effect of the perimeter to cause landslide. There are 5 (five)
map that is used, each contain one of the five perimeter. Those maps are overlayed and
cumulatively scored by estimation method of 2004 Vulcanology and Geological Disaster
Mitigation Directorat , that result a map of landslide area distribution.
Land coverage in areas of research consists of forest, industrial area, mixed
plantation/bush, abandoned land, plantation area, settlement, rice cultivation, and water
body. Areas potent to landslide are classified into three classes, which is areas that is lest
potent to landslide (17.879, 40 hectare/17%), intermediate potent to landslide (78.128,6
hectare / 74,5%) and highly potent to landslide (8.906,61 hectare / 8,49%). Each land
coverage contain all three classes of landslide potention (from low, intermediate, and high
potention) with volcanic-1 material dominating the type of rocks. Areas with a low potention
to landslide occurs in flat to a relatively steep slope with the type soil that dominating is
association of brown latosol and reddish latosol and iintermediate level of rainfall intensity
(2000-2500 mm per annum). Areas with an intermediate potention to landslide are
identified in areas with flat to steep slope, yellowish red podsolic soil type , and rainfall
intensity that is relatively high (2500-3000 mm annually). Areas that has a high potention of
llandslide happens in areas that is has a very steep slope, dominated by yellowish red
podsolic soil type and very intense rainfall (more than 3.000 mm per year).
Nanggung and Pamijahan district is largest area that has an intermediate high
potention to landslide. There are 10.963,46 hectare of area that have an intermediate
potention and 1.340,01 hectare of area that is highly potention to landslide in Nanggung
district. Pamijahan district have an area of 8.221,73 hectares with a medium potention and
3.823,66 hectares with a high potention to landslide. An area that is less potention is widely
identified around Babakan Madang district with a total 4.201,35 hectare.
Menyetujui:
Dosen Pembimbing
Mengetahui:
Dekan Fakultas Kehutanan IPB
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
KATA PENGANTAR
Terima kasih atas semangat, keceriaan dan kenangan indah selama masa
kuliah.
13. Keluarga besar ForsGe : Adila, Dega, Bety, Arfan, Adit, Iis, Hery, Asep,
Anggit, Faery, Aan, Heru, Nanik, Nur, Mba Desy dan Mba. Siti. Terima kasih
untuk keceriaan dan kebersamaan kita selama ini
14. Dan semua pihak yang telah banyak membantu penulis baik selama kuliah
maupun penelitian yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
iv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. iv
DAFTAR TABEL......................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang.......................................................................... 1
1.2 Tujuan ...................................................................................... 3
1.3 Manfaat .................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bencana Tanah Longsor........................................................... 5
2.1.1 Definisi............................................................................ 5
2.1.2 Tanah longsor.................................................................. 6
2.1.3 Faktor penyebab longsor ................................................. 8
2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG) ........................................... 11
2.2.1 Definisi............................................................................ 11
2.2.2 Komponen SIG ............................................................... 12
2.2.3 Cara kerja SIG................................................................. 13
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................... 15
3.2 Alat dan Bahan......................................................................... 15
3.3 Metode Penelitian .................................................................... 17
3.3.1 Pengumpulan data ........................................................... 17
3.3.2 Pengolahan data spasial................................................... 17
3.3.3 Analisis data spasial ........................................................ 19
3.3.4 Analisis daerah rawan longsor ........................................ 23
BAB IV Kondisi Umum Lokasi
4.1 Letak Geografis dan Luas Daerah Penelitian........................... 25
4.2 Topografi.................................................................................. 25
v
4.3 Tanah........................................................................................ 26
4.4 Geologi..................................................................................... 26
4.5 Penutupan Lahan...................................................................... 26
4.6 Iklim ......................................................................................... 27
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Parameter Penyebab Tanah Longsor........................................ 28
5.1.1 Curah hujan ..................................................................... 28
5.1.2 Geologi............................................................................ 30
5.1.3 Jenis tanah ....................................................................... 32
5.1.4 Kemiringan lereng........................................................... 34
5.1.5 Penutupan lahan .............................................................. 36
5.2 Analisis Kerawanan Tanah Longsor ........................................ 39
5.2.1 Daerah kurang rawan longsor ......................................... 42
5.2.2 Daerah rawan longsor ..................................................... 44
5.2.3 Daerah sangat rawan longsor .......................................... 47
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan .............................................................................. 51
6.2 Saran......................................................................................... 52
PUSTAKA ACUAN ..................................................................................... 53
LAMPIRAN.................................................................................................. 55
vi
DAFTAR TABEL
No Halaman
1. Pengkelasan kemiringan lereng................................................................. 19
2. Sifat-sifat permeabilitas jenis tanah .......................................................... 20
3. Tingkat kepekaan tanah terhadap erosi ..................................................... 20
4. Pembagian kelas jenis tanah ..................................................................... 20
5. Klasifikasi intensitas curah hujan ............................................................. 21
6. Kelas penutupan lahan .............................................................................. 22
7. Pengkelasan jenis batuan .......................................................................... 22
8. Jumlah sample yang diambil pada setiap kelas kerawanan ...................... 24
9. Keadaan topografi di daerah penelitian..................................................... 25
10. Jenis tanah yang terdapat di daerah penelitian........................................ 26
11. Jenis batuan yang terdapat di daerah penelitian...................................... 26
12. Pola penutupan lahan di daerah penelitian.............................................. 27
13. Luas curah hujan daerah penelitian......................................................... 28
14. Luas formasi geologi daerah penelitian .................................................. 30
15. Luas jenis tanah daerah penelitian .......................................................... 32
16. Luas kelas kemiringan lereng daerah Penelitian..................................... 34
17. Luas penutupan lahan daerah penelitian ................................................. 36
18. Luas tingkat daerah rawan longsor di daerah penelitian......................... 39
vii
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1. Peta lokasi penelitian.................................................................................... 16
2. Bagan alir tahap penelitian........................................................................... 18
3. Peta curah hujan ........................................................................................... 29
4. Peta geologi.................................................................................................. 31
5. Peta tanah ..................................................................................................... 33
6. Peta kelas kemiringan lereng ....................................................................... 35
7. Peta penutupan lahan.................................................................................... 38
8. Peta tingkat daerah rawan longsor ............................................................... 40
9. Peta titik survey............................................................................................ 41
10. Lokasi longsor di daerah kurang rawan longsor ....................................... 44
11. Lokasi longsor di daerah rawan longsor .................................................... 47
12. Lokasi longsor di daerah sangat rawan longsor ......................................... 50
viii
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1. Wilayah rawan longsor di Provinsi Jawa Barat ........................................ 55
2. Desa-desa yang termasuk dalam lokasi penelitian.................................... 56
3. Luas kelas kerawanan per faktor penyebab longsor ................................. 61
BAB I
PENDAHULUAN
tanah longsor pada umumnya akan mengakibatkan kerugian material dan korban
jiwa yang tidak sedikit, terutama di wilayah yang padat penduduknya.
Untuk dapat memantau dan mengamati fenomena tanah longsor di suatu
kawasan diperlukan adanya suatu identifikasi dan pemetaan daerah rawan tanah
longsor yang mampu memberikan gambaran kondisi kawasan yang ada
berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya tanah longsor. Salah satu kegiatan
mitigasi bencana tanah longsor adalah pemetaan daerah rawan tanah longsor skala
nasional dan skala wilayah/daerah. Peta ini secara umum dapat dijadikan panduan
bagi pihak-pihak terkait untuk mengantisipasi terjadinya tanah longsor di suatu
wilayah.
Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan teknologi yang mempunyai
kemampuan untuk memasukkan, mengelola, manipulasi dan melakukan analisis
data ruang spasial misalnya tanah, curah hujan, ataupun kemiringan lereng.
Teknik SIG adalah merupakan salah satu alternatif yang tepat untuk dijadikan
sebagai teknik analisis yang menghasilkan informasi tentang berbagai parameter
faktor penyebab kemungkinan terjadinya bahaya tanah longsor di suatu daerah.
Melalui proses penggabungan informasi dalam berbagai peta dengan cara
tumpang susun (map overlay) dengan sistem skoring atau pembobotan dari
masing-masing parameter akan menghasilkan bobot nilai baru yang akan
menentukan tingkat kerawanan suatu daerah terhadap kejadian tanah longsor.
Informasi akhir dari proses tersebut dapat menghasilkan peta sebaran daerah
rawan longsor yang dapat dijadikan sumber informasi bagi pihak-pihak yang
terkait.
dengan ukuran batuan yang halus dan seragam, kurang padat atau kurang
kompak
h. Air; adanya genangan air, kolam ikan, rembesan, susut air cepat. Saluran air
yang terhambat pada lereng menjadi salah satu sebab yang mendorong
munculnya pergerakan tanah atau longsor
i. Vegetasi/tutupan lahan; peranan vegetasi pada kasus longsor sangat kompleks.
Jika tumbuhan tersebut memiliki perakaran yang mampu menembus sampai
lapisan batuan dasar maka tumbuhan tersebut akan sangat berfungsi sebagai
penahan masa lereng. Di sisi lain meskipun tumbuhan memiliki perakaran
yang dangkal tetapi tumbuh pada lapisan tanah yang memiliki daya kohesi
yang kuat sehingga menambah kestabilan lereng. Pada kasus tersebut
tumbuhan yang hidup pada lereng dengan kemiringan tertentu justru berperan
sebagai penambah beban lereng yang mendorong terjadinya longsor.
2.1.3 Faktor penyebab longsor
Terjadinya longsor ditandai dengan bergeraknya sejumlah massa tanah
secara bersama-sama dan terjadi sebagai akibat meluncurnya satu volume tanah di
atas satu lapisan agak kedap air yang jenuh air. Lapisan yang terdiri dari tanah liat
atau mengandung kadar tanah liat tinggi setelah jenuh air akan bertindak sebagai
peluncuran (Arsyad 1989).
Karnawati (2003) diacu dalam Febriana (2004) menyatakan salah satu
faktor penyebab terjadinya bencana tanah longsor adalah air hujan. Air hujan yang
telah meresap ke dalam tanah lempung pada lereng akan tertahan oleh batuan
yang lebih kompak dan lebih kedap air. Derasnya hujan mengakibatkan air yang
tertahan semakin meningkatkan debit dan volumenya dan akibatnya air dalam
lereng ini semakin menekan butiran-butiran tanah dan mendorong tanah lempung
pasiran untuk bergerak longsor. Batuan yang kompak dan kedap air berperan
sebagai penahan air dan sekaligus sebagai bidang gelincir longsoran, sedangkan
air berperan sebagai penggerak massa tanah yang tergelincir di atas batuan
kompak tersebut. Semakin curam kemiringan lereng maka kecepatan
penggelinciran juga semakin cepat. Semakin gembur tumpukan tanah lempung
maka semakin mudah tanah tersebut meloloskan air dan semakin cepat air
meresap ke dalam tanah. Semakin tebal tumpukan tanah, maka semakin besar
9
volume massa tanah yang longsor. Tanah yang longsor dengan cara demikian
umumnya dapat berubah menjadi aliran lumpur yang pada saat longsor sering
menimbulkan suara gemuruh.
Pengaruh hujan dapat terjadi di bagian lereng-lereng yang terbuka akibat
aktivitas makhluk hidup terutama berkaitan dengan budaya masyarakat saat ini
dalam memanfaatkan alam berkaitan dengan pemanfaatan lahan (tata guna lahan),
kurang memperhatikan pola-pola yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Penebangan hutan yang seharusnya tidak diperbolehkan tetap saja dilakukan,
sehingga lahan-lahan pada kondisi lereng dengan geomorfologi yang sangat
miring, menjadi terbuka dan lereng menjadi rawan longsor (Suryolelono 2005,
diacu dalam Purnamasari 2007).
Menurut Arsyad (1989) longsoran akan terjadi jika terpenuhi tiga keadaan
sebagai berikut:
a. Adanya lereng yang cukup curam sehingga massa tanah dapat bergerak atau
meluncur ke bawah
b. Adanya lapisan di bawah permukaan massa tanah yang agak kedap air dan
lunak, yang akan menjadi bidang luncur
c. Adanya cukup air dalam tanah sehingga lapisan massa tanah yang tepat di atas
lapisan kedap air tersebut menjadi jenuh.
Lapisan kedap air dapat berupa tanah liat atau mengandung kadar tanah liat
tinggi atau dapat juga berupa lapisan batuan, seperti Napal Liat (Clay shale).
Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) faktor
alam dan faktor manusia merupakan salah satu pemicu terjadinya tanah longsor.
a. Faktor alam
Meliputi lereng terjal yang diakibatkan oleh patahan dan lipatan kulit bumi,
erosi dan pengikisan, daerah longsoran lama, ketebalan tanah pelapukan bersifat
lembek, butiran halus, jenuh karena air hujan, adanya retakan karena proses alam
(gempa bumi, tektonik), air (hujan di atas normal, susut air cepat, banjir, aliran air
bawah tanah pada sungai lama), lapisan batuan yang kedap air miring ke atas
lereng yang berfungsi sebagai bidang longsoran.
10
b. Faktor manusia
Lereng menjadi terjal akibat pemotongan lereng dan penggerusan oleh air
saluran di tebing, tanah lembek dipicu oleh perubahan tata lahan menjadi lahan
basah, adanya kolam ikan, genangan air, retakan akibat getaran mesin, ledakan,
beban massa yang bertambah dipicu oleh beban kendaraan, bangunan dekat
tebing, tanah kurang padat karena material urugan atau material longsoran lama
pada tebing, bocoran air saluran, luapan air saluran, kolam ikan, penggundulan
hutan sehingga terjadi pengikisan oleh air permukaan.
Kebiasaan masyarakat dalam mengembangkan pertanian/perkebunan tidak
memperhatikan kemiringan lereng, pembukaan lahan-lahan baru di lereng-lereng
bukit menyebabkan permukaan lereng terbuka tanpa pengaturan sistem tata air
(drainase) yang seharusnya, dan bentuk-bentuk teras bangku pada lereng tersebut
perlu dilakukan untuk mengerem laju erosi. Bertambahnya penduduk
menyebabkan perkembangan perumahan ke arah daerah perbukitan (lereng-lereng
bukit) yang tidak sesuai dengan peruntukan lahan (tata guna lahan), menimbulkan
beban pada lereng (surcharge) semakin bertambah berat. Erosi di bagian kaki
lereng akibat aliran sungai, atau gelombang air laut mengakibatkan lemahnya
bagian kaki lereng, terjadinya kembang susut material pembentuk lereng, dan
lain-lain menyebabkan terjadinya peningkatan tegangan geser.
Longsor merupakan proses penghanyutan tanah oleh desakan-desakan atau
kekuatan air dan angin, baik yang berlangsung secara alamiah ataupun sebagai
tindakan/perbuatan manusia (Sutedjo et al. 1985). Sehubungan dengan proses-
prosesnya secara alami maupun buatan, dengan demikian secara keseluruhannya
yang menjadi penyebab dan mempengaruhi besarnya laju longsor terdapat lima
faktor utama dan satu faktor sebagai penyebab besarnya resiko terjadinya bencana
longsor, yaitu :
1. Iklim
2. Tanah
3. Topografi
4. Penutupan lahan/vegetasi
5. Geologi atau jenis batuan
6. Kegiatan/aktivitas manusia.
11
program yang masing-masing dapat dieksekusi sendiri. Saat ini terdapat banyak
sekali perangkat lunak SIG baik yang berbasis vektor maupun yang berbasis
raster. Nama perangkat lunak SIG yang berbasis vektor antara lain ARC/INFO,
Arc VIEW, Map INFO, CartaLINX dan AutoCAD Map. Sedangkan perangkat
lunak SIG yang berbasis raster antara lain ILWIS, IDRISI, ERDAS dan
sebagainya.
3. Data-data geografis
SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang
diperlukan baik secara tidak langsung dengan cara meng-import-nya dari
perangkat-perangkat lunak SIG yang lain maupun secara langsung dengan cara
mendigitasi data spasialnya dari peta dan memasukkan data atributnya dari tabel-
tabel dan laporan dengan menggunakan keyboard.
4. Manajemen
Komponen terakhir yang tak terelakan dari SIG adalah sumberdaya manusia
yang terlatih. Peranan sumberdaya manusia ini adalah untuk menjalankan sistem
yang meliputi pengoperasian perangkat keras dan perangkat lunak, serta
menangani data geografis dengan kedua perangkat tersebut. Sumberdaya manusia
juga merupakan sistem analis yang menerjemahkan permasalahan riil di
permukaan bumi dengan bahasa SIG, sehingga permasalahan tersebut bisa
teridentifikasi dan memiliki pemecahannya.
Mulai
Peta Lereng
Peta Geologi
Peta Kelas Peta Kelas Peta Kelas Peta Kelas Peta Kelas
Tanah Geologi Penutupan Lereng Curah Hujan
Lahan
Ground check
Pada dasarnya ada dua tipe hujan pemicu terjadinya longsoran, yaitu hujan
deras yang mencapai 70 mm hingga 100 mm per hari dan hujan kurang deras
namun berlangsung terus menerus selama beberapa jam hingga beberapa hari
yang kemudian disusul dengan hujan deras sesaat (1-2 jam). (Subhan, 2006).
Faktor curah hujan yang mempengaruhi terjadinya tanah longsor, mencakup
terjadinya peningkatan curah hujan (tekanan air pori bertambah besar, kandungan
air dalam tanah naik dan terjadi pengembangan lempung dan mengurangi
tegangan geser, lapisan tanah jenuh air), rembesan air yang masuk dalam retakan
tanah serta genangan air. Adanya pengaruh curah hujan tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya gerakan tanah sehingga daerah yang mempunyai curah
21
hujan yang tinggi relatif akan memberikan bahaya gerakan tanah yang lebih
tinggi. Penentuan skor dan pembagian kelas intensitas curah hujan disajikan pada
Tabel 5.
4.2 Topografi
Kabupaten Bogor berada pada ketinggian berkisar antara 15-2.500 M Dpl,
dengan penyebarannya sebagai berikut:
• Wilayah dataran rendah 15-100 m terletak diwilayah bagian Utara
• Wilayah dataran bergelombang 100-500 m terletak di wilayah bagian
Tengah,
Pegunungan 500-1.000 m, serta pegunungan tinggi dan daerah Puncak
2.000-2.500 meter ada dibagian Selatan
Luas dan penyebaran kelas lereng daerah penelitian, disajikan pada Tabel 9.
4.3 Tanah
Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Bogor khususnya didaerah
penelitian terdiri dari 9 jenis. Luas dan penyebaran masing-masing jenis tanah di
daerah penelitian di perlihatkan pada Tabel 10.
4.4 Geologi
Wilayah Kabupaten Bogor dari struktur geologi tersusun dari jenis batuan
Aluvial, Volkanik dan Sedimen. Luas dan penyebaran masing-masing batuan
tersebut disajikan pada Tabel 11.
4.6 Iklim
Iklim di Kabupaten Bogor menurut klasifikasi Schimdt dan Ferguson
termasuk Iklim Tropis tipe A (Sangat Basah) di bagian Selatan dan tipe B (Basah)
di bagian Utara. Suhu berkisar rata-rata antara 200 C sampai 300 C. Curah hujan
tahunan antara 2.500 mm sampai lebih dari 5.000 mm/tahun, kecuali di wilayah
utara yang berbatasan dengan DKI Jakarta, Tangerang dan Bekasi curah hujannya
kurang dari 2.500 mm/tahun.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.2 Geologi
Struktur batuan dan komposisi mineralogi merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan terjadinya longsor. Di daerah pegunungan, jenis batuan didominasi oleh
bahan Sedimen dan Volkanik. Dimana batuan ini terbentuk dari batu liat, batu liat
berkapur dan batu berkapur yang mempunyai sifat kedap air sehingga pada kondisi
jenuh air dapat berfungsi sebagai bidang luncur pada kejadian longsor.
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bogor dari BPPT, batuan dasar/induk daerah
penelitian dapat dikelompokkan menjadi 4 satuan batuan yaitu Bahan Aluvial, Bahan
Volkanik-1, Bahan Sedimen-1, Bahan Volkanik-2 dan Bahan Sedimen-2. Daerah
penelitian didominasi oleh formasi geologi bahan vulkanik-1 yaitu 53.617,21 ha
(51,34%) dari luas daerah penelitian sedangkan formasi geologi bahan Sedimen-2
merupakan formasi geologi dengan luasan terkecil di daerah penelitian dengan luasan
4.729,32 ha (4,53%) (Tabel 14). Sebaran spasial geologi di daerah penelitian
selengkapnya disajikan pada Gambar 4.
belukar akan meningkatkan potensi terjadinya tanah longsor karena semak belukar
pada umumnya tidak memiliki sistem perakaran yang kuat dan dalam yang
mampu mengikat agregat tanah terutama bila tejadi hujan lebat dan cukup lama.
Lahan yang arealnya tidak di tumbuhi oleh vegetasi apapun diatasnya atau
belum dimanfaatkan oleh masyarakat disebut sebagai areal lahan kosong, jika
hujan turun dengan intensitas yang cukup tinggi maka akan langsung terserap oleh
tanah sehingga tanah menjadi cepat jenuh terhadap air yang mengakibatkan bobot
tanah menjadi bertambah dan lebih labil. Dengan kondisi tersebut maka areal
lahan kosong sangat beresiko terhadap terjadinya bahaya longsor, sehingga perlu
dilakukan upaya konservasi melalui rehabilitasi /penghijauan kembali lahan
kosong oleh penduduk maupun oleh pemerintah setempat.
Pemukiman merupakan tipe penutupan lahan yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan papan penduduk di sekitar daerah penelitian. Areal
pemukiman ini tersebar merata diseluruh lokasi penelitian dengan luasan 6.019,71
ha atau sekitar 5,74% dari luas total daerah penelitian. Pemukiman yang terletak
pada kemiringan lereng agak curam hingga sangat curam sangat rentan terhadap
resiko terkena bahaya longsoran, sehingga menimbulkan dampak negatif yang
besar.
Tipe penutupan lahan berupa sawah di daerah penelitian memiliki luasan
782,02 ha atau sekitar 0,75% dari luas total daerah penelitian. Lahan sawah ini
akan sangat berpengaruh sebagai pemicu terjadinya tanah longsor apabila lahan
sawah ini terletak pada daerah yang agak terjal atau daerah yang berlereng karena
dalam keadaan tersebut lereng bersifat jenuh air yang berakibat bobot massa tanah
bertambah sehingga sering menjadi labil oleh karena itu perlu adanya teknik
konservasi yang cukup memadai yang berupa pembuatan terasering, sehingga
tidak meningkatkan bahaya longsor.
38
(a) (b)
44
(c)
Gambar 10 Lokasi Longsor di (a) Desa Tugu Selatan Kecamatan Cisarua,
(b) Desa Cibedug Kecamatan Ciawi ,(c) Desa Bojong Murni Kecamatan Ciawi
Tanah longsor besar maupun kecil dapat terjadi terutama di daerah yang
berbatasan dengan lembah sungai, gawir, pinggir jalan yang memotong kontur
45
dan pada lereng yang mengalami gangguan umumnya pada lereng yang
mempunyai vegetasi penutup yang kurang sampai sangat kurang.
Berdasarkan hasil ground check pada beberapa titik longsor yang terjadi
di Desa Tugu Utara Kecamatan Cisarua terlihat adanya pemotongan lereng dalam
upaya pembangunan infrasturktur jalan dan pemukiman dengan penutupan lahan
berupa tegakan tanaman keras yang memiliki kerapatan tinggi dengan kelerengan
66.67%. Dimana lahan berlereng yang sangat dipadati pepohonan dapat
memperbesar kemungkinan resiko longsor karena tiupan angin terhadap pohon
dapat merambatkan getaran terhadap tanah yang dapat mengakibatkan retakan
sehingga meningkatkan laju infiltrasi secara setempat dari aliran permukaan
hingga mencapai bidang luncur.
Kejadian longsor juga terjadi di Desa Kopo Kecamatan Cisarua, dimana
longsor terjadi pada tebing lereng yang penutupan lahan di sekitranya berupa
sawah dengan kelerengan 88,89%. Cara pengolahan tanah sangat mempengaruhi
struktur tanah alami yang baik yang terbentuk karena penetrasi akar, apabila
pengolahan tanah terlalu intensif maka struktur tanah akan rusak. Kebiasaan
petani yang mengolah tanah secara berlebihan dimana tanah diolah sampai bersih
permukaannya merupakan salah satu contoh yang keliru karena kondisi seperti ini
mengakibatkan butir tanah terdispersi oleh butir hujan dan menyumbat pori–pori
tanah. Demikian halnya dengan sawah, pengolahan sawah yang terlalu intensif
mengakibatkan pori–pori tanah tersumbat sehingga dapat mengakibatkan
genangan air yang berlebih. Genangan air yang berlebih tersebut dapat
mengakibatkan bobot massa tanah bertambah, dengan didukung kemiringan
lereng yang sangat curam maka bobot massa tanah yang meningkat tersebut dapat
dengan mudah bergerak kebawah secara gravitasi.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan tingkat
kerawanan pada daerah rawan longsor yaitu berupa pembuatan bangunan penguat
tebing atau bronjong (susunan batu diikat kawat) pada tebing-tebing jalan yang
memotong lereng, pembuatan terasering pada lahan sawah, pengaturan pola tanam
pada bidang olah serta peningkatan kesuburan tanah dan ketersediaan air. Salah
satu model dari sistem pertanaman adalah pengelolaan yang mensinergiskan
46
antara komponen pohon dan tanaman semusim dalam ruang dan waktu yang sama
atau lebih dikenal dengan agroforestri.
Agroforestri adalah nama kolektif untuk sistem dan teknologi
pemanfaatan lahan dimana tumbuhan berkayu parennial (pohon, semak belukar,
palma, bambu dan sebagainya) secara sengaja digunakan pada unit pengelolaan
lahan yang sama dengan tanaman pertanian dan atau hewan-hewan, dalam
beberapa bentuk susunan ruang atau urutan waktu. Dalam sistem agroforestri
terdapat interaksi ekologis dan ekonomis antara komponen-komponen yang
berbeda. Agroforestri ditujukan untuk memaksimalkan penggunaan energi
matahari, meminimalkan hilangnya unsur hara di dalam sistem, mengoptimalkan
efisiensi penggunaan air dan meminimalkan run off dan erosi.
Curah hujan yang jatuh pada suatu kawasan, sebagian akan ditahan oleh
tajuk pohon dan sebagian lagi oleh tajuk tanaman semusim, dan lainnya lolos
kepermukaan tanah di bawah pohon dan di bawah tanaman semusim. Air yang di
tahan oleh tajuk pohon dan tanaman semusim sebagian besar menguap sehingga
tidak berpengaruh kepada simpanan (cadangan) air dalam tanah. Tajuk pohon dan
tanaman semusim yang berbeda mengakibatkan perbedaan jumlah air yang
ditahan tajuk kedua jenis tanaman itu. Akibatnya jumlah air yang lolos dan
mencapai permukaan tanah di bawah pohon dan di bawah tanaman semusim juga
berbeda. Air hujan yang lolos dari tajuk tanaman akan mencapai permukaan tanah
dan sebagian masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi, sebagian lagi
mengalir di permukaan tanah sebagai limpasan permukaan. Sifat-sifat tanah
dibawah pohon dan tanaman semusim dan jumlah air yang jatuh dibawah kedua
tanaman yang berbeda menyebabkan kecepatan infiltrasi dan limpasan permukaan
dibawah tanaman semusim dan pohon juga berbeda. Dalam kondisi tertentu
infiltrasi dibawah pohon bisa cukup tinggi sehingga tidak hanya cukup
menurunkan limpasan permukaan dibawah pohon menjadi nol, tetapi mampu
menampung limpasan permukaan dari areal dibawah tanaman semusim. Air yang
berada di permukaan tanah akan menguap dengan kecepatan evaporasi tanah dari
bawah pohon dan evaporasi tanah dibawah tanaman semusim. Kecepatan ini
berbeda karena adanya perbedaan kerapatan penutupan tajuk pohon dan tanaman
47
semusim. Evaporasi akan terus berlangsung selama ada suplai air dari lapisan
dibawahnya (Suryanto 2005).
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sistem pertanaman dengan model
agroforestri mampu menyerap air secara maksimal dan penggunaannya yang
efisien. Konsep kesetimbangan air dalam agroforestri inilah mendudukkan
agroforestri pada posisi yang strategis untuk mengurangi peluang peran air dalam
terjadinya tanah longsor.
(a) (b)
Gambar 11 Lokasi Longsor di (a) Desa Tugu Utara Kecamatan Cisarua,
b) Desa Kopo Kecamatan Cisarua
dari yang landai hingga sangat curam. Curah hujan yang relatif tinggi
mendominasi kelas kerawanan ini yaitu > 3.000 mm/tahun.
Berdasarkan hasil ground check pada kelas kerawanan ini kasus longsor
terjadi di Desa Malasari dan Desa Curug Bitung Kecamatan Nanggung, longsor
terjadi pada pinggir jalan yang memotong kontur dengan kelerengan 111,11%.
Pemotongan lereng ini selain dapat menambah kemiringan lereng, juga beresiko
meningkatkan tegangan geser lereng (shear strength) yang menyebabkan
kemantapan lereng berkurang. Sehingga menyebabkan lereng menjadi rawan
terhadap gerakan tanah dan kejadian longsor, terutama saat berlangsungnya hujan
lebat dalam waktu lama. Disekitar lereng hanya tumbuh anakan pinus dan semak,
sebagian semak belukar tersebut sebelumnya adalah berupa tegakan hutan pinus,
namun karena perawatan yang tidak intensif dan adanya perambahan hutan oleh
masyarakat setempat, tegakan pinus tersebut terlantar dan berubah menjadi semak
belukar. Longsor juga tejadi di punggung bukit yang penutupan lahannya berupa
tanaman tumpang sari.
Pada bagian atas dan tengah lereng sebaiknya ditanami pohon berakar kuat
mengikat tanah, tetapi berbatang ringan. Lebih tepat bila beranting dan berdaun
banyak untuk memecah butiran hujan sebelum jatuh di tanah. Di bagian kaki atau
bawah lereng barulah ditanami jenis pohon berakar kuat menahan batu dan berat
seperti pohon jati (Tectona grandis Linn.f). Menanam pohon berat dan berakar
serabut di bagian atas lereng justru akan memicu dan memperparah dampak
longsor. Ancaman tanah longsor ini senantiasa dapat terjadi meski area tanah
longsor itu diperkuat oleh vegetasi atau pepohonan. Lereng mampu bertahan
dalam kondisi kestabilan vegetasi yang terbatas. Jadi, lereng di bagian tengah dan
atas akan aman apabila ditanami tanaman bertajuk ringan dan berakar dalam.
Sementara lereng di bagian bawah dapat ditanami dengan beban tanaman yang
cukup berat sehingga dapat menahan gerakan tanah.
Untuk menurunkan atau meminimalisir tingkat kerawanan pada daerah
sangat rawan longsor perlu dilakukan upaya konservasi baik vegetatif maupun
mekanik. Upaya-upaya tersebut antra lain : penanaman tumbuhan atau tanaman
yang menutupi tanah secara terus-menerus, penanaman dalam strip, sistem
pertanian hutan, pemanfaatan sisa-sisa tanaman atau tumbuhan (mulsa),
49
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
50
(g)
Gambar 12 Lokasi Longsor di (a), (b) dan (c) Desa Malasari
Kecamatan Nanggung
(d), (e), (f), dan (g) Desa Curug Bitung Kecamatan Nanggung
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat dikemukakan berdasarkan hasil penelitian ini
adalah:
1. Kerawanan tanah longsor di daerah penelitian terbagi menjadi tiga kelas yaitu
daerah kurang rawan longsor (17.879,39 ha/17%), daerah rawan longsor
(78.128,159 ha/74.5%) dan daerah sangat rawan longsor (8.906,614
ha/8,49%).
2. Kecamatan Pamijahan dan Nanggung memiliki potensi bahaya longsor pada
tingkat sangat rawan paling luas dengan luas masing-masing sebesar
3.823,662 ha dan 1.340,01 ha.
3. Tiap parameter penyebab longsor memiliki karakteristik yang berbeda. (a)
Pada daerah kurang rawan longsor penutupan lahan yang mendominasi adalah
kebun campuran dengan batuan bahan Volkanik-1 dan jenis tanah asosiasi
Latosol coklat Latosol kemerahan. Daerah ini didominasi oleh curah hujan
dengan kisaran 2000-2500 mm/tahun dengan kemiringan lereng datar. (b)
Pada daerah rawan longsor penutupan lahan yang mendominasi adalah kebun
campuran dengan batuan bahan Volkanik-1 dan jenis tanah Podsolik merah
kekuningan, curah hujannya 2500-3000 mm/tahun dengan kemiringan lereng
datar. (c) Pada daerah sangat rawan longsor penutupan lahan yang
mendominasi adalah hutan dengan jenis tanah Podsolik merah kekuningan
dengan batuan bahan Volkanik-1 yang didominasi oleh curah hujan dengan
kisaran > 3000 mm/tahun dengan kemiringan lereng yang curam.
52
6.2 Saran
Upaya yang dapat dilakukan dalam mengurangi dan memperkecil
kemungkinan terjadinya peningkatan tingkat daerah rawan longsor, meliputi:
1. Pada kemiringan lereng 8-25% disarankan untuk dijadikan lahan agroforestri
dan pada kemiringan > 25% disarankan untuk dijadikan kawasan konservasi
dan kawasan lindung.
2. Agroforestri dengan pemilihan jenis pohon perakaran dalam tetapi berbatang
ringan dan beranting serta berdaun banyak lebih dianjurkan.
PUSTAKA ACUAN
Alhasanah. 2006. Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor Serta
Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus
Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang,
Provinsi Jawa Barat). [Tesis]. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB. In Press.
Barus, B. 1999. Pemetaan Bahaya Longsoran Berdasarkan Klasifikasi Statistik
Peubah Tunggal Menggunakan SIG Studi Kasus Daerah Ciawi-Puncak-
Pacet Jawa Barat. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 2:7-16 Jurusan Ilmu
Tanah, In Press (April 1999).
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2005. Manajemen
Bencana Tanah Longsor. http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/0305/22
/0802.htm. [15 Desember 2007].
Effendi, R. S. 2002. Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka Pelestarian
Lingkungan Hidup. Bumi Aksara. Jakarta.
Febriana, I. 2004. Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Rawan Bencana Tanah
Longsor dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem
Informasi Geografis (Studi Kasus Di Kawasan Gunung Mandalawangi dan
sekitarnya, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat). [Skripsi]. Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
Jaya, I. N. S. 2002. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Kehutanan.
Laboratorium Inventarisasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
Bogor.
Jaya, I. N. S., N. Puspaningsih dan S. Sutarahardja. 2003. Analisis Perubahan
Tutupan Lahan Berdasarkan Citra Satelit Spot 5 di Wilayah Kabupaten
Bogor.Kerjasama antara Badan Perencanaan Daerah Pemerintah Kabupaten
Bogor dengan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Lillesand, T. M. dan R. W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan InterpretasiCitra
(Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
54
Bitungsari 169,587
Bojongmurni 1.335,886
Ciawi 145,389
Cibedug 526,379
Cileungsi 843,996
Citapen 290,306
Jambuluwuk 357,453
Pandansari 225,452
Telukpinang 155,194
Jumlah 4.639,003
5 CIBUNGBULANG Cemplang 235,435
Ciaruteunilir 535,907
Ciaruteunudik 261,14
Cibatok I 202,999
Cibatok II 190,909
Cijujung 353,235
Cimanggu I 196,57
Cimanggu II 122,291
Dukuh 175,326
Galuga 226,049
Girimulya 195,467
Leuweungkolot 210,597
Situilir 291,823
Situudik 455,073
Sukamaju 192,563
Jumlah 3.845,384
6 CIGOMBONG Ciadeg 287,767
Ciburayut 334,52
Ciburuy 207,405
Cigombong 106,223
Cisalada 214,181
Pasirjaya 661,434
Srogol 1.099,464
Tugujaya 706,781
Watesjaya 539,629
Jumlah 4.157,404
7 CIJERUK Cibalung 457,106
Cijeruk 814,419
Cipelang 841,511
Cipicung 414,96
Palasari 423,923
Sukaharja 788,896
Tajurhalang 491,041
Tanjungsari 208,339
58
Warungmenteng 286,054
Jumlah 4.726,249
8 CIOMAS Ciapus 170,296
Ciomas 120,997
Ciomasrahayu 84,775
Kotabatu 249,386
Laladon 151,551
Mekarjaya 74,985
Padasuka 160,072
Pagelaran 206,865
Parakan 213,733
Sukaharja 192,342
Sukamakmur 188,449
Jumlah 1.813,451
9 CISARUA Batulayang 273,902
Cibeureum 1.086,448
Cilember 296,687
Cisarua 246,974
Citeko 583,042
Jogjogan 236,321
Kopo 659,464
Leuwimalang 131,534
Tugu Selatan 2.162,924
Tugu Utara 1.137,844
Jumlah 6815,14
10 DRAMAGA Babakan 392,305
Ciherang 266,934
Cikarawang 283,365
Dramaga 217,071
Neglasari 190,059
Petir 328,266
Purwasari 222,266
Sinarsari 130,405
Sukadamai 361,416
Sukawening 243,176
Jumlah 2.635,263
11 LEUWILIANG Barengkok 545,757
Cibeber I 453,163
Cibeber II 560,761
Karacak 694,573
Karehkel 453,476
Karyasari 461,218
Leuwiliang 275,696
59
Leuwimekar 317,438
Pabangbon 1.320,225
Purasari 2.186,472
Puraseda 1.608,494
Jumlah 8.877,273
12 LEUWISADENG Babakansadeng 366,932
Kalong I 353,664
Kalong II 301,798
Leuwisadeng 542,367
Sadeng 629,167
Sadengkolot 531,643
Sibanteng 563,458
Wangunjaya 248,395
Jumlah 3.537,424
13 MEGAMENDUNG Cipayungdatar 972,972
Cipayunggirang 192,684
Gadog 191,574
Kuta 552,486
Megamendung 2.495,278
Sukagalih 405,646
Sukakarya 435,046
Sukamahi 258,211
Sukamaju 247,796
Sukamanah 189,611
Sukaresmi 301,506
Jumlah 6242,81
14 NANGGUNG Bantarkaret 3.016,813
Cisarua 1.354,432
Curugbitung 1353,92
Hambaro 239,252
Kalongliud 434,722
Malasari 4.585,538
Nanggung 1.093,214
Pangkaljaya 369,603
Parakanmuncang 670,704
Sukaluyu 383,537
Jumlah 13.501,735
15 PAMIJAHAN Ciasihan 934,035
Ciasmara 2.908,299
Cibening 329,892
Cibitungkulon 308,491
Cibitungwetan 315,934
Cibunian 1.600,258
60
Cimayang 168,989
Gunungbunder I 384,778
Gunungbunder II 822,653
Gunungmenyan 295,461
Gunungpicung 806,647
Gunungsari 1.707,047
Pamijahan 430,202
Pasarean 299,85
Purwabakti 775,378
Jumlah 12.087,914
16 SUKARAJA Cadasngampar 260,888
Cibanon 331,797
Cijujung 408,591
Cikeas 320,819
Cilebut Barat 336,423
Cilebut Timur 162,476
Cimandala 338,94
Gununggeulis 601,829
Nagrak 601,606
Pasirjambu 202,162
Pasirlaja 363,187
Sukaraja 250,14
Sukatani 168,165
Jumlah 4.347,023
17 TAMANSARI Pasireurih 244,327
Sirnagalih 162,527
Sukajadi 326,67
Sukajaya 212,27
Sukaluyu 276,496
Sukamantri 331,506
Sukaresmi 298,784
Tamansari 1.559,392
Jumlah 3.411,972
18 TENJOLAYA Cibitungtengah 323,349
Cinangneng 271,349
Gunungmalang 1.853,714
Situdaun 369,259
Tapos I 1.051,298
Tapos II 254,206
Jumlah 4.123,175
Jumlah Total 104.914,168
61