Anda di halaman 1dari 76

PENINGKATAN KUALITAS PENGOLAHAN DATA GROUND

PENETRATING RADAR (GPR) MELALUI STUDI PEMODELAN


KEDEPAN

LAPORAN TUGAS AKHIR

Oleh :
ABI MAWALID
101116105

FAKULTAS TEKNOLOGI EKSPLORASI DAN PRODUKSI


PROGRAM STUDI TEKNIK GEOFISIKA
UNIVERSITAS PERTAMINA
2020

Universitas Pertamina - 1
PENINGKATAN KUALITAS PENGOLAHAN DATA GROUND
PENETRATING RADAR (GPR) MELALUI STUDI PEMODELAN
KEDEPAN

LAPORAN TUGAS AKHIR

Oleh:
ABI MAWALID
101116105

FAKULTAS TEKNOLOGI EKSPLORASI DAN PRODUKSI


PROGRAM STUDI TEKNIK GEOFISIKA
UNIVERSITAS PERTAMINA
JAKARTA
2020
Universitas Pertamina - 2
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tugas Akhir : Peningkatan Kualitas Pengolahan


Data Ground Penetrating Radar
(GPR) Melalui Studi Pemodelan
Kedepan
Nama Mahasiswa : Abi Mawalid
Nomor Induk Mahasiswa : 101116105
Program Studi : Teknik Geofisika
Fakultas : Fakultas Teknologi Eksplorasi dan
Produksi
Tanggal Lulus Sidang Tugas Akhir : 01 Juli 2020

Jakarta, 11 Juli 2020


MENGESAHKAN
Pembimbing I Pembimbing II

Soni Satiawan, M.Sc. Waskito Pranowo, M.T.


NIP. 119018 NIP. 116030

MENGETAHUI
Ketua Program Studi Teknik Geofisika

M. Husni Mubarak Lubis, M.Sc.


NIP. 116028

Universitas Pertamina - i
Universitas Pertamina - ii
ABSTRAK

Abi Mawalid. 101116105. Peningkatan Kualitas Pengolahan Data Ground


Penetrating Radar (GPR) Melalui Studi Pemodelan Kedepan.

Metode Ground Penetrating radar (GPR) merupakan metode yang


menggunakan gelombang elektromagnetik dengan resolusi tinggi. Kegunaan dari
metode ini adalah untuk mengidentifikasi adanya struktur geologi serta benda yang
terkubur pada kedalaman yang dangkal. Penelitian ini akan mensimulasikan data
GPR sintetis melalui pemodelan kedepan (forward modelling). Simulasi ini
bertujuan untuk dapat meningkatkan kualitas processing data GPR, mencari
tahapan pengolahan data yang tepat, serta mengetahui respon yang dihasilkan oleh
beberapa struktur geologi serta benda yang terkubur. Pengolahan data forward
modelling ini digunakan sebagai dasar dalam menentukan tahapan pengolahan data
lapangan. Pengolahan data yang standar (basic processing) dan pengolahan data
lanjutan (advance processing) diaplikasikan pada studi ini. Hasil pengolahan data
lanjutan memperlihatkan hasil yang lebih baik dibandingkan hasil dengan
pengolahan data yang standar. Dekonvolusi bekerja dalam menghilangkan sinyal
multiple yang terdapat pada data serta penggunaan analisis kecepatan dengan
metode fit diffraction hyperbola menghasilkan kecepatan yang baik untuk
digunakan dalam tahapan migrasi dan konversi waktu ke kedalaman. Tahapan
pengolahan data lanjutan yang diperoleh dalam studi pemodelan kedepan
digunakan dalam pengolahan data GPR lapangan dan memperlihatkan gambaran
bawah permukaan yang baik dimana fitur geologi dan objek terkubur tergambarkan
dengan baik.

Kata Kunci (sentence case): Forward Modelling, Advanced Processing, Basic


Processing

Universitas Pertamina - iii


ABSTRACT

Abi Mawalid. 101116105. Improvement the Quality of GPR Data Processing by


Using Forward Modelling Study.

Ground Penetrating radar (GPR) is a high-resolution electromagnetic


method. This method ussually used to identify the presence of geological structures
and buried objects at shallow depth. This is a forward modelling study of GPR data
which is intended to obtain the flow of GPR data processing that produce the good
result that ready to interpreted. Basic processing and advance processing will be
applied to syntethic GPR data from forward modelling. Result of advance
processing shows the good result and the same with the syntethic model than the
basic processing result. Deconvolution is effective to remove the multiple effect
and hyperbola diffraction also produce the match velocity that be used in migration
and time to depth conversion. The advanced processing flow was applied to process
the field data, the geological structures and burried object from field GPR data could
be imaged well.

Keywords (sentence case): Forward Modelling, Advanced Processing, Basic


Processing

Universitas Pertamina - iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir yang
berjudul “Peningkatan Kualitas Pengolahan Data Ground Penetrating Radar
(GPR) Melalui Studi Pemodelan Kedepan”. Penyusunan laporan tugas akhir
ini adalah untuk memenuhi persyaratan guna menyelesaikan pendidikan
strata satu (S1) pada Jurusan Teknik Geofisika Universitas Pertamina.
Laporan tugas akhir ini bukan semata-mata hasil dari penulis sendiri,
melainkan berkat jasa dan bantuan dari luar. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan rasa terimakasih secara tulus kepada:
1. Bapak Soni Satiawan, M.Sc. dan Bapak Waskito Pranowo, M.T. selaku
dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, serta pikiran
dalam membimbing penyusunan skripsi ini.
2. Bapak M. Husni Mubarak Lubis, M.Sc. selaku ketua progam studi dan
dosen wali yang telah memberikan informasi, saran, serta masukan
tentang tugas akhir.
3. Orang tua serta adik saya yang selalu memberikan semangat serta
bantuan dalam menjalani tugas akhir di tengah pandemi yang melanda.
4. Sahabat saya Pasek, Rizal, Pandu, Tilla dan teman-teman lainnya yang
telah memberikan kritik serta saran yang membangun dalam pengerjaan
tugas akhir ini.
5. Seluruh staf Teknik Geofisika Universitas pertamina yang telah
membantu dalam hal administrasi maupun non administrasi, terutama
mbak Novta, mas Daus, dan mas Diki.
Penulis menyadari bahwa laporan tugas akhir ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik serta saran yang
membangun demi kesempurnaan laporan tugas akhir ini. Akhirnya, penulis
berharap semoga laporan tugas akhir ini bermanfaat khususnya bagi
mahasiswa serta bagi generasi yang akan datang agar lebih aktif dalam
belajar.

Jakarta, 11 Juli 2020

Abi Mawalid

Universitas Pertamina - v
DAFTAR ISI
1
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. ii
ABSTRAK ............................................................................................................ iii
ABSTRACT .......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ ix
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 3
1.3 Batasan Masalah ................................................................................... 3
1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................. 3
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................ 4
1.6 Lokasi Penelitian................................................................................... 4
1.7 Waktu Penelitian ................................................................................... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................6
2.1. Teori Dasar Elektromagnetik ................................................................ 6
2.2. Koefisien Refleksi................................................................................. 8
2.3. Perambatan Gelombang Elektromagnetik ............................................ 9
2.4. Skin Depth ........................................................................................... 10
2.5. Fresnel Zone ....................................................................................... 11
2.6. Prinsip Kerja Ground Penetrating Radar ........................................... 12
2.7. Parameter Mendasar Ground Penetrating Radar ............................... 13
2.7.1. Permeabilitas Magnetik (μ) ......................................................... 13
2.7.2. Konduktivitas Elektrik (σ) ........................................................... 13
2.7.3. Konstanta Dielektrik / Permitivitas Relatif (K) ........................... 14
2.8. Keterbatasan Ground Penetrating Radar ........................................... 14
2.9. Tahap Pengolahan Data Ground Penetrating Radar .......................... 14
2.9.1. Koreksi Statik .............................................................................. 15
2.9.2. Gaining ........................................................................................ 15

Universitas Pertamina - vi
2.9.3. Filtering Data .............................................................................. 15
2.9.4. Horizontal Scalling...................................................................... 15
2.9.5. Analisis Kecepatan ...................................................................... 15
BAB III. METODE PENELITIAN ....................................................................17
3.1. Bentuk Penelitian ................................................................................ 17
3.2. Diagram Alir Tugas Akhir .................................................................. 17
3.3. Metode Pengumpulan Data ................................................................. 19
3.4. Alat dan Bahan.................................................................................... 19
3.4.1. Laptop .......................................................................................... 19
3.4.2. Perangkat Lunak .......................................................................... 19
3.4.3. Peta Kontur Lapangan Pengukuran ............................................. 20
3.4.4. Peta Lintasan GPR....................................................................... 20
3.4.5. Peta Geologi ................................................................................ 21
3.5. Metode Analisis Data.......................................................................... 22
3.5.1. Perangkat Lunak.............................................................................. 22
3.5.2. Pemodelan Kedepan yang Dibuat ................................................... 23
3.5.3. Kondisi Geologi Daerah Penelitian................................................. 24
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................26
4.1. Hasil Pengolahan Pemodelan Kedepan .............................................. 26
4.1.1 Tahapan Pengolahan Dasar ............................................................. 26
4.1.2 Tahapan Pengolahan Lanjut ............................................................ 30
4.2. Hasil Pengolahan Data Lapangan ....................................................... 34
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................44
5.1. Kesimpulan ......................................................................................... 44
5.2. Saran ................................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................46

Universitas Pertamina - vii


DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Timeline pengerjaan tugas akhir ............................................................ 4


Tabel 2.1. Kecepatan gelombang elektromagnetik (Annan & Cosway, 1992) .... 10
Tabel 3.1. Tabel panjang lintasan pengukuran GPR ............................................ 20
Tabel 3.2. Input electrical properties data sintetis (W.M. Telford, 1990) ........... 23
Tabel 3.3. Tabel sifat fisika batuan pada lapangan penelitian (W.M. Telford,
1990) ..................................................................................................................... 24
Tabel 4.1 Perbedaan antara basic processing dan advance processing ............... 34

Universitas Pertamina - viii


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Identifikasi pipa bawah permukaan tanah menggunakan metode


GPR (Akbar, 2016) ..................................................................................................2
Gambar 2.1. Penjalaran gelombang elektromagnetik.............................................8
Gambar 2.2 Jari-jari dari fresnel zone (rF) ...........................................................11
Gambar 2.3. Prinsip kerja GPR (Knödel et al, 2008) ...........................................12
Gambar 2.4. Perambatan kecepatan gelombang elektromagnetik vs konduktivitas
material (Davis & Annan, 1989) ............................................................................13
Gambar 3.1. Diagram alir pengerjaan Tugas Akhir .............................................17
Gambar 3.2. Diagram alir pengolahan model sintetis ..........................................18
Gambar 3.3. Diagram alir pengolahan data lapangan ..........................................18
Gambar 3.4. Peta kontur lapangan penelitian .......................................................20
Gambar 3.5. Peta lintasan gpr daerah penelitian ..................................................21
Gambar 3.6. Peta geologi daerah penelitian (P.H. Silitonga, 1973) .....................22
Gambar 3.7. Data sintetis penelitian .....................................................................23
Gambar 3.8. Kondisi geologi daerah penelitian ...................................................24
Gambar 4.1. Data mentah data sintetik GPR (a) 250 MHz, (b) 100 MHz, (c) 50
MHz .......................................................................................................................26
Gambar 4.2. Hasil inverse amplitude decay (a) Model 250 MHz (b) Model 100
MHz (c) Model 50 MHz ........................................................................................27
Gambar 4.3. Hasil automatic gain control (a) Model 250 MHz (b) Model 100
MHz (c) Model 50 MHz .......................................................................................28
Gambar 4.4. Hasil bandpass filter (a) Model 250 MHz (b) Model 100 MHz (c)
Model 50 MHz .......................................................................................................29
Gambar 4.5. Hasil predictive deconvolution (a) Model 250 MHz (b) Model 100
MHz (c) Model 50 MHz ........................................................................................30
Gambar 4.6. Parameter fit diffraction hyperbola dari ketiga model .....................31
Gambar 4.7. Hasil F-K migration (a) Model 250 MHz (b) Model 100 MHz (c)
Model 50 MHz .......................................................................................................32
Gambar 4.8 Hasil 1D time to depth conversion (a) Model 250 MHz (b) Model
100 MHz (c) Model 50 MHz .................................................................................33

Universitas Pertamina - ix
Gambar 4.9 Hasil pengolahan data lintasan 1 high frequency (a) Basic processing
(b) Advance processing ..........................................................................................35
Gambar 4.10 Hasil pengolahan data lintasan 1 low frequency (a) Basic
processing (b) Advance processing ........................................................................36
Gambar 4.11 Hasil pengolahan data lintasan 2 high frequency (a) Basic
processing (b) Advance processing ........................................................................36
Gambar 4.12 Hasil pengolahan data lintasan 2 low frequency (a) Basic
processing (b) Advance processing ........................................................................37
Gambar 4.13 Hasil pengolahan data lintasan 3 high frequency (a) Basic
processing (b) Advance processing ........................................................................37
Gambar 4.14 Hasil pengolahan data lintasan 3 low frequency (a) Basic
processing (b) Advance processing ........................................................................38
Gambar 4.15 Hasil pengolahan data lintasan 4 high frequency (a) Basic
processing (b) Advance processing ........................................................................39
Gambar 4.16 Hasil pengolahan data lintasan 4 low frequency (a) Basic
processing (b) Advance processing ........................................................................39
Gambar 4.17 Hasil pengolahan data lintasan 5 high frequency (a) Basic
processing (b) Advance processing ........................................................................40
Gambar 4.18 Hasil pengolahan data lintasan 5 low frequency (a) Basic
processing (b) Advance processing ........................................................................40
Gambar 4.19 Hasil pengolahan data lintasan 6 high frequency (a) Basic
processing (b) Advance processing ........................................................................41
Gambar 4.20 Hasil pengolahan data lintasan 6 low frequency (a) Basic
processing (b) Advance processing ........................................................................41
Gambar 4.21 Hasil pengolahan data lintasan 7 high frequency (a) Basic
processing (b) Advance processing ........................................................................42
Gambar 4.22 Hasil pengolahan data lintasan 7 low frequency (a) Basic
processing (b) Advance processing ........................................................................42

Universitas Pertamina - x
Universitas Pertamina - xi
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Indonesia terletak pada jalur subduksi yang membentang dari ujung Barat Pulau Sumatera
hingga ke bagian Timur Papua sehingga Indonesia menjadi daerah yang rawan terhadap bencana
geologi. Salah satu dari bencana geologi tersebut adalah bencana gempa bumi. Keberadaan pada jalur
subduksi juga mengakibatkan terbentuknya sesar-sesar yang dapat menjadi lokasi sumber gempa bumi.
Oleh karena itu keberadaan sesar sangat perlu diidentifikasi untuk dapat memitigasi bencana gempa bumi
yang terjadi.

Peranan geofisika sangat diperlukan dalam mengidentifikasi keberadaan sesar. Identifikasi sesar
dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode geofisika. Metode geofisika yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi sesar atau patahan antara lain Geolistrik, Ground Penetrating Radar
(GPR), Magnetik, dan Gravity. Setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, salah
satunya adalah resolusi dan penetrasi yang dihasilkan. GPR merupakan metode geofisika yang memiliki
resolusi yang baik secara horizontal dan vertikal untuk kedalaman yang dangkal. Sehingga, untuk
memetakan keberadaan sesar pada kedalaman yang dekat permukaan (near surface) ataupun rekahan
rekahan di dekat permukaan lebih baik dibandingkan metode yang lain. Sebuah study penggunaan
metode GPR memperlihatkan metode ini dapat memetakan batas lapisan, jenis sedimen, serta bidang
erosional yang terletak di dekat permukaan (Nur, 2007)

Ground Penetrating Radar (GPR) adalah suatu metode Geofisika yang memanfaatkan
gelombang elektromagnetik untuk memetakan kondisi bawah permukaan. Metode ini bersifat ramah
lingkungan karena tidak bersifat destruktif. GPR mempunyai rentang frekuensi antara 10 – 1000 MHz
(Syukur, 2009). Selain itu, metode GPR sangat baik dalam memetakan kondisi dekat permukaan atau
dapat dikategorikan sebagai shallow method karena penetrasinya dari 0.1 – 50m (sesuai antena yang
digunakan) di bawah permukaan tanah sehingga efektif dalam menentukan secara detail kondisi bawah
permukaan dengan kedalaman yang rendah (< 50m).

Meskipun metode GPR efektif untuk mengidentifikasi benda yang berada kurang dari 50m di
bawah permukaan tanah, namun metode ini masih sangat jarang pemakaiannya dalam mengidentifikasi
struktur geologi yang terletak dekat dengan permukaan tanah. Saat ini, metode ini sangat sering
digunakan untuk memetakan keberadaan utilitas bawah permukaan seperti keberadaan pipa, kabel listrik,
sumber air di bawah tanah, serta penelitian arkeologis (Oktafiani et al., 2010). Hal ini disebabkan oleh
hasil pengolahan data untuk menggambarkan struktur geologi kurang terlihat dengan jelas apabila
dibandingkan dengan hasil pengolahan data dengan target utilitas di bawah permukaan tanah.

Universitas Pertamina - 1
Penggunaan metode GPR ini telah dilakukan untuk beberapa penelitian antara lain adalah untuk
mengidentifikasi lapisan batubara (Jufri et al, 2015), untuk menginvestigasi struktur bawah permukaan
batuan megalitikum di Cagar Budaya Bondowoso (Pantariyadi, 2014), dan untuk menentukan posisi pipa
(Akbar, 2016). Namun, pengolahan data yang dilakukan masih memberikan hasil yang tidak optimal. Tidak
optimalnya hasil yang diperoleh dari pengolahan data GPR dapat disebabkan oleh tidak bakunya tahapan
pengolahan data sehingga memberikan hasil yang kurang maksimal dalam pengolahan data lapangan.
Penggunaan filter yang masih sangat standar (basic processing) seperti gain, background removal, dan
filter frekuensi dapat menjadi penyebab sehingga hasil yang diperoleh kurang maksimal. Terutama pada
data-data dengan tingkat noise yang tinggi, penerapan pengolahan data yang kurang maksimal dapat
ditunjukkan oleh gambar 1.1 berikut ini :

Gambar 1.1 Identifikasi pipa bawah permukaan tanah menggunakan metode GPR (Akbar, 2016)

Penelitian tersebut dilakukan untuk mengidentifikasi lokasi pipa di bawah permukaan (Akbar,
2016). Identifikasi posisi pipa tersebut ditunjukkan oleh lingkaran berwarna merah. Namun, interpretasi
penentuan pipa tersebut tidak maksimal akibat bentukan pipa yang masih terlihat tidak jelas dan
penggunaan traveltime dalam menentukan kedalaman pipa. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut
perlu dilakukan pemaksimalan pengolahan data berupa penambahan advanced processing
(Deconvolution filtering, migrasi, dan konversi dalam domain waktu) yang akan banyak menghilangkan
noise non-koheren serta mengubah domain traveltime menjadi kedalaman aktual.

Ketelitian dalam processing data seperti penentuan velocity dan penentuan parameter untuk
pengolahan data sangat perlu diperhatikan karena akan mempengaruhi keefektifan dari metode ini.
Penentuan parameter yang salah dapat mempengaruhi hasil dari interpretasi. Contohnya adalalah jika
penentuan parameter velocity salah, akan mengakibatkan hasil dari migrasi dan konversi kedalam domain
waktu akan berubah. Pengolahan data yang baik dan benar akan memberikan hasil data yang jelas dan
siap untuk diinterpretasi. Oleh karena itu, perlu diadakan suatu penelitian yang dapat membantu dalam
memaksimalkan pengolahan data GPR sehingga siap untuk diinterpretasi.

Studi ini fokus dalam melakukan pemodelan data kedepan (forward modelling) GPR dengan
membuat model sintetis dan menentukan parameter yang digunakan sehingga dapat diketahui dengan
secara pasti respon suatu benda atau struktur geologi yang terdapat di dekat permukaan tanah.
pengolahan data hasil pemodelan kedepan ini digunakan untuk memahami tahapan baku pengolahan
data GPR secara tepat. Setelah itu, tahapan advance processing akan diaplikasikan kedalam data sintetis
ini agar hasil yang diperoleh memberikan hasil yang lebih maksimal. Dengan cara membandingkan hasil
akhir pengolahan data dengan model sintetis yang telah dibuat. Apabila hasil pegolahan sesuai dengan
model sintetis, maka tahapan pengolahan data tersebut akan diaplikasikan kepada data lapangan. Data
lapangan yang digunakan adalah data hasil akuisisi GPR di sesar lembang, Jawa Barat pada tanggal 30
November 2019.
Universitas Pertamina - 2
Hasil yang diperoleh dalam studi diharapkan dapat menjadi standar baku dalam pengolahan data
GPR lapangan sehingga hasil yang diperoleh memiliki tingkat kepercayaan yang lebih baik. Selain itu
kondisi struktur geologi bawah permukaan dengan kedalaman dangkal dapat terpetakan dengan baik
menggunakan metode GPR.

Luaran yang diharapkan dalam penelitian ini adalah penulis dapat mengetahui secara pasti
respon benda yang terdapat di bawah permukaan tanah berdasarkan parameter yang telah dibuat. Selain
itu dengan diadakannya penelitian ini penulis dapat mengetahui apakah metode Ground Penetrating
Radar efektif dalam menentukan struktur geologi di suatu daerah.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah metode Ground Penetrating Radar efektif dalam mengidentifikasi struktur geologi bawah
permukaan?

2. Apakah dengan melakukan forward modelling Ground Penetrating Radar akan meningkatkan
kepercayaan terhadap hasil yang diperoleh dari processing data lapangan?

1.3 Batasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Penelitian difokuskan pada pemodelan data GPR menggunakan MatGPR yang dibuat oleh Dr.
Andreas Tzanis terhadap satu model geologi sintetis yang diukur dengan menggunakan 3 antena
yang berbeda.

2. Flow Chart pengolahan data hasil forward modelling akan diaplikasikan pada data lapangan
pengukuran Sesar Lembang, Bandung, Jawa Barat.

3. Processing data hanya akan sampai pada 1-D time to depth conversion.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Memahami karakter dari data Ground Penetrating Radar dari setiap pengukuran dengan antena
yang berbeda.

2. Menentukan standar baku pengolahan data GPR sehingga tingkat kepercayaan citra GPR
meningkat dan siap untuk diinterpretasi.

3. Mengetahui kedalaman event dari suatu struktur geologi menggunakan 1-D time to depth
conversion.

Universitas Pertamina - 3
1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Dapat menjadi tahapan pengolahan data Ground Penetrating Radar yang baku.

2. Dapat membantu dalam menaikan kualitas interpretasi data Ground Penetrating Radar pada data
yang akan diolah selanjutnya.

1.6 Lokasi Penelitian

Penelitian berupa forward modelling dan pengolahan data lapangan Ground Penetrating Radar
sepenuhnya dilakukan di Universitas Pertamina. Sedangkan data lapangan yang digunakan adalah data
lapangan hasil pengukuran di Sesar Lembang, Jawa Barat.

1.7 Waktu Penelitian

Perencanaan waktu penelitian adalah sebagai berikut:

Tabel 1.1. Timeline pengerjaan tugas akhir

Universitas Pertamina - 4
Universitas Pertamina - 5
2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Dasar Elektromagnetik

Hubungan medan listrik dan medan magnet dapat diketahui melalui persamaan Maxwell.
Persamaan Maxwell ini merupakan pengembangan hasil eksperimen (empiris) yang didapatkan dari
Gauss, Ampere, Faraday, Coloumb, serta Maxwell sendiri. Secara diferensial, persamaan Maxwell
yang tergantung terhadap frekuensi dapat ditulis sebagai berikut:
∂B
∇XE= − (1a)
∂t

∂D
∇XH= j+ (1b)
∂t

∇∙D= q (1c)

∇∙B= 0 (1d)

Dengan :

E = Medan listrik (Volt/m)


B = Fluks atau induksi magnetik (Weber/m2 atau Tesla)
H = Medan magnet (Ampere/m)
j = Rapat arus (Ampere/m2)
D = Perpindahan listrik (Coulomb/m2)
q = Rapat muatan listrik (Coulomb/m3)

Hukum Faraday dinyatakan pada persamaan (1a) menyatakan jika perubahan fluks medan
magnet terhadap waktu akan menyebabkan medan listrik yang mempunyai Gaya Gerak Listrik (GGL)
berlawanan dengan variasi fluks magnetiknya. Teori Ampere dapat digeneralisasi menjadi persamaan
(1b). Persamaan tersebut menyatakan jika fluks total arus listrik yang disebabkan arus konduksi dan
arus perpindahan dapat menyebabkan medan magnet. Hukum Gauss dinyatakan dalam persamaan
(1c) yang menyatakan jika muatan total yang terdapat dalam suatu ruangan akan sebanding dengan
fluks elektrik dalam ruangan tersebut. Sedangkan dalam persamaan (1d) menyatakan medan magnet
tidak ada yang monopol.

Hubungan antara intensitas medan dengan fluks yang terjadi pada medium dinyatakan oleh
persamaan berikut:

B = μH (2a)

D= εH (2b)
E
j= σE= ρ
(2c)

Universitas Pertamina - 6
Dengan :

µ = Permeabilitas magnetik (Henry/m)


ε = Permitivitas listrik (Farad/m)
σ = Konduktivitas (Ohm-1/m atau Siemens/m)
ρ = Tahanan-jenis (Ohm.m)

Jika asumsi sifat fisik medium tidak bervariasi terhadap waktu dan posisi, maka persamaan
diatas dapat disederhanakan. Dengan asumsi tersebut, akumulasi muatan seperti pada persamaan
(1c) tidak akan terjadi sehingga persamaan Maxwell dapat ditulis kembali sebagai berikut :
∂H
∇ X E = −μ ∂t (3a)
∂E
∇ X H = σ E + ε ∂t (3b)

∇∙E= 0 (3c)

∇∙H= 0 (3d)

Setelah dilakukan penyederhanaan, maka akan tampak jika persamaan (3) hanya
menghasilkan 2 variabel, yaitu medan magnet (H) dan medan listrik (E). Jika operasi curl dilakukan
terhadap persamaan (3a) dan (3b) serta mensubtitusikan persamaan (3c) dan (3d) kedalamnya akan
diperoleh pemisahan variabel E dan H sehingga dapat ditulis sebagai berikut:
∂E ∂2 E
∇ X ∇ X E = − μ σ ∂t − με ∂t2
(4a)

∂H ∂2 H
∇X∇X H=−μσ − με (4b)
∂t ∂t2

Persamaan gelombang (persamaan Helmholtz) untuk medan magnet dan medan listrik dapat
diperoleh dengan memperhatikan identitas vektor ∇ × ∇ × x = ∇∇ ∙ x - ∇2x dimana x adalah E atau
H. Persamaan tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
∂E ∂2 E
∇2 E = μ σ ∂t + με ∂t2
(5a)

∂H ∂2 H
∇2 H = μ σ ∂t
+ με ∂t2
(5b)

Pada persamaan diatas, variabel E dan H merupakan fungsi dalam posisi dan waktu. Jika
variasi terhadap waktu pada persamaan di atas dapat dituliskan dengan fungsi periodik sinusoidal
dinyatakan sebagai :

𝐸(𝑟, 𝑡) = 𝐸0 (𝑟)𝑒 𝑖𝜔𝑡 (6a)

𝐻(𝑟, 𝑡) = 𝐻0 (𝑟)𝑒 𝑖𝜔𝑡 (6b)

Dengan :

E0 = Amplitudo medan listrik

H0 = Amplitudo medan magnet

ω = Frekuensi gelombang elektromagnet

Universitas Pertamina - 7
Maka persamaan (5) dapat ditulis kembali sebagai berikut :

∇2 E = (iωμσ − ω2 με)E (7a)

∇2 H = (iωμσ − ω2 με)H (7b)

Dari persamaan diatas dapat disederhanakan kembali menjadi:

∇2 E = 𝑘 2 E (8a)

∇2 H = 𝑘 2 H (8b)

Dengan k = ±√𝑖𝜔𝜇𝜎 adalah bilangan gelombang. Bilangan tersebut juga dapat ditulis
𝜔𝜇𝜎
sebagai k = ± (α + i β) dengan α = β = √ 2
. Gambar berikut ini adalah ilustrasi penjalaran dari
gelombang elektromagnetik:

Gambar 2.1. Penjalaran gelombang elektromagnetik

2.2. Koefisien Refleksi

Perbandingan energi yang dipantulkan dengan energi yang datang disebut juga dengan
koefisien refleksi (R). Nilai dari kostanta dielektrik relatif (ε) pada lapisan 1 dan lapisan 2 akan
mempengaruhi nilai dari koefisien refleksinya. Persamaan koefisien refleksi (R) dapat ditulis dengan:
v1 −v2 √K1 −√K2
R= = (9)
v1 + v2 √K1 +√K2

Dengan :

R = Koefisien refleksi

v = Kecepatan fasa

K = Konstanta dielektrik

Universitas Pertamina - 8
Amplitudo yang didapatkan pada rekaman georadar adalah hasil dari konvolusi dari koefisien
refleksi, impulse georadar, serta noise yang ditunjukan dengan persamaan:

A(t) = R(t) ∗ F(t) ∗ n(t) (10)

Dengan :

A = Amplitudo rekaman georadar

R = Koefisien refleksi

F = Impulse radar

n = noise radar

2.3. Perambatan Gelombang Elektromagnetik

Pemancaran gelombang elektromagnetik pada permukaan tanah akan menimbulkan


gelombang tersebut akan merambat, terefleksi, atau terdifraksi ketika gelombang tersebut melewati
batas lapisan atau kontras dielektrik yang berbeda. Sifat gelombang elektromagnetik tersebut akan
lebih mudah dikenali jika kecepatan perambatan gelombang elektromagnetik dapat diukur. Kecepatan
relatif gelombang elektromagnetik pada material homogen dan material isotropik dapat dihitung
menggunakan persamaan:
c
Vr = (11)
√K

Dengan :

Vr = Kecapatan relatif gelombang elektromagnetik (m/s)

c = Kecepatan cahaya (3,00 x 108 m/s)

K = Permitivitas relatif / konstanta dielektrik

Dengan mengetahui kecepatan gelombang elektromagnetik, maka kedalaman lapisan


(mempertimbangkan two way travel time gelombang refleksi) dapat diketahui dengan persamaan:
t
d = Vr 2 (12)

Universitas Pertamina - 9
Dengan t merupakan waktu tiba gelombang elektromagnetik pada target. Berikut merupakan tabel
contoh kecepatan beberapa material:

Tabel 2.1. Kecepatan gelombang elektromagnetik (Annan & Cosway, 1992)

2.4. Skin Depth

Skin depth dapat didefinisikan sebagai kedalaman dimana amplitudo gelombang


elektromagnet akan berkurang secara eksponensial (sebesar e-1 atau 37%) dari nilai amplitudo
permukaan (Stratton, 1941). Pada awalnya, skin depth hanya dikembangkan untuk media homogen.
Namun penggunaan skin depth telah diperluas untuk metode heterogen pada formasi geologi.

Dalam menginvestigasi kedalaman bumi yang heterogen, gelombang elektromagnetik ini


akan selalu di rusak oleh skin effect dari media konduktor. Oleh karena itu dilakukan beberapa
penelitian untuk mengurangi skin effect tersebut. Salah satu metode yang ditemukan untuk
mengurangi skin effect adalah metode yang menghubungkan antara skin depth dengan effective depth
(Bostick, 1977), dan effective skin depth (Reid and Macnae, 1999) yang didasarkan pada konsep skin
depth. Skin depth dapat dituliskan sebagai:
503.3
𝛿𝑇 = (13)
√𝑓𝜎

Dengan :

𝛿𝑇 = Skin depth (m)

f = Perambatan frekuensi di bawah permukaan (Hz)

σ = Konduktivitas benda (ohm-1/m)

Effective skin depth dapat disebut juga dengan local source skin depth (LSSD) dapat
didefinisikan sebagai nilai kedalaman maksimum dimana konduktor dapat dikenali oleh gelombang
elektromagnetik. Nilai dari effective skin depth ini adalah sekitar 1/5 dari skin depth (Kearey and
Brooks, 2002). Formula effective depth dapat dituliskan sebagai:
1 100
𝛿eff ≈ 𝛿
5 𝑇
≈ (14)
√𝑓𝜎

Universitas Pertamina - 10
2.5. Fresnel Zone

Resolusi spasial pada data ground penetrating radar bergantung kepada karakteristik
sinyal radar, sifat elektromagnetik dari suatu medium, dan jarak dari antena ke target. Seperti
yang diketahui, resolusi spasial akan bertambah seiring dekatnya jarak antara target objek
dengan antena. Selain itu, resolusi spasial juga akan bertambah seiring dengan
bertambahnya atenuasi dan atenuasi tersebut bergantung kepada frekuensi serta sifat
elektromagnetik dari suatu medium. Terlepas dari dependensi tersebut, resolusi spasial
memiliki keterkaitan erat dengan footprint dari antena (area yang teriluminasi oleh antena)
yang dapat dihitung pada zona fresnel pertama. Zona fresnel pertama dapat dirumuskan
sebagai berikut:
𝒉𝟏 𝒉 𝟐 𝒗 𝒉𝒗 𝒗 𝒕 𝟏 𝟏
𝒓𝒇 = √ = √𝟐𝒇 = √𝒇 = 𝟐 √𝝀𝑳 = 𝟐 √𝝀𝟐𝒉 (15)
𝒇𝑳 𝟐

Dengan:

rf = radius dari zona fresnel pertama

h1 = jarak antara objek dengan transmitter dipermukaan

h2 = jarak antara objek dengan receiver dipermukaan

L = hasil penjumlahan h1 dan h2

f = frekuensi

v = kecepatan gelombang

λ = dominant wavelength

t = two way travel time

Gambar 2.2 Jari-jari dari fresnel zone (rF)

Universitas Pertamina - 11
2.6. Prinsip Kerja Ground Penetrating Radar

Prinsip kerja dari metode ini sama dengan radar konvensional. Ground Penetrating Radar
akan mengirim gelombang elektromagnetik berfrekuensi 10 sampai 1000 MHz ke dalam tanah melalui
antena. Gelombang elektromagnetik ini akan memantul jika mengenai suatu struktur / benda dan akan
merekamnya dalam waktu yang sangat singkat (Benson, 1995). Prinsip kerja dari GPR dapat dilihat
pada gambar 2.3 berikut:

Gambar 2.3. Prinsip kerja GPR (Knödel et al, 2008)

Meskipun Ground Penetrating Radar memiliki prinsip seperti sistem radar konvensional,
namun Ground Penetrating Radar memiliki tiga perbedaan mendasar yang membedakannya dengan
radar konvensional yaitu:

▪ Untuk mendapatkan kedalaman penetrasi yang memadai ke dalam tanah, bandwith Ground
Penetrating Radar harus berada pada frekuensi yang rendah. Berbeda dengan radar
konvensional yang harus melakukan operasi puluhan hingga ratusan megahertz untuk
meningkatkan kedalaman penetrasi.

▪ Ground Penetrating Radar beroperasi di dekat permukaan tanah. Hal ini menimbulkan bentuk
permukaan tanah serta ketidakhomogenan tanah dapat meningkatkan clutter. Clutter
merupakan suatu ketidakjelasan struktur yang terdapat di bawah permukaan tanah.

▪ Kebanyakan Ground Penetrating Radar merupakan sistem radar jarak dekat sehingga jarak
antena menjadi suatu hal penting yang harus diperhatikan.

Universitas Pertamina - 12
2.7. Parameter Mendasar Ground Penetrating Radar

Ground Penetrating Radar mengukur kontras batuan yang mengandung electrical properties.
Untuk menentukan electrical properties batuan, maka hal yang harus dilakukan adalah mengukur
physical properties dari batuan. Physical properties batuan ini sangat penting untuk menentukan
respon dari Ground Penetrating Radar serta untuk keperluan interpretasinya. Physical properties dari
batuan yang digunakan dalam Ground Penetrating Radar adalah:

2.7.1. Permeabilitas Magnetik (μ)

Permeabilitas magnetik merupakan kemampuan suatu benda dalam mempengaruhi


/ dipengaruhi oleh medan magnet. Efek dari permeabilitas magnetik ini sangat sedikit kecuali
jika pengukuran Ground Penetrating Radar dilakukan pada batuan yang kaya akan unsur
magnetit, pyrrhotite, dan titanomagnetite.

2.7.2. Konduktivitas Elektrik (σ)

Konduktivitas elektrik erat hubungannya dengan medan listrik (E). Hubungan medan
listrik akan menghasilkan arus konduksi (J). Hal yang harus diperhatikan adalah konduktivitas
elektrik dan resistivitas (ρ) berhubungan secara langsung. Hubungan tersebut dapat
dituliskan sebagai berikut :

J = σE (11a)

Atau
E
J=ρ (11b)

Konduktivitas elektrik sebuah batuan dapat menjelaskan mekanisme energi


gelombang elektromagnetik yang hilang dan pengaruhnya dalam penetrasi kedalaman serta
kecepatan gelombang elektromagnetik.

Gambar 2.4. Perambatan kecepatan gelombang elektromagnetik


vs konduktivitas material (Davis & Annan, 1989)

Universitas Pertamina - 13
2.7.3. Konstanta Dielektrik / Permitivitas Relatif (K)

Konstanta dielektrik / permitivitas relatif adalah rasio perbandingan permitivitas


suatu benda relatif terhadap ruang hampa. Persamaan dari konstanta dielektrik dapat ditulis
sebagai berikut:
𝜀
𝐾= 𝜀0
(12)

Dengan :

K = Konstanta dielektrik / permitivitas relatif

ε = Permitivitas benda (F/m)

ε0 = Permitivitas vakum (F/m)

Permitivitas suatu benda tidak mungkin memiliki nilai nol. Bahkan, pada ruang
vakum permitivitas memiliki nilai sebesar 8.85 x 10-12 F/m (Farads per meter). Pada setiap
batuan, nilai konstanta dielektrik dipengaruhi oleh mineralogi, porositas, water saturation,
litologi batuan, komponen geometri, dan interaksi electrochemical. Seiring berjalannya waktu,
peneliti juga menemukan bahwa konstanta dielektrik dari tanah sangat dipengaruhi oleh
presentasi air di dalam tanah. Konstanta dielektrik tersebut akan naik seiring dengan
bertambahnya presentasi air di dalam tanah.

2.8. Keterbatasan Ground Penetrating Radar

Selain kelebihan yang telah disebutkan sebelumnya, Ground Penetrating Radar juga
mempunyai keterbatasan. Keterbatasan ini meliputi tingkat penetrasi ke bawah permukaan tanah yang
terbatas. Hal ini disebabkan oleh komposisi lapisan tanah yang mengandung konduktivitas yang tinggi
sehingga menghambat pencapaian resolusi serta kedalaman penetrasi yang tinggi. Selain itu, kondisi
dari material tanah yang berbeda pada setiap lokasi di bawah permukaan tanah (tidak homogen) juga
dapat menyebabkan resolusi kedalaman penetrasi yang berubah-ubah. Untuk mengatasi hal tersebut,
maka frekuensi serta durasi dari pulsa harus diubah. Oleh karena itu, beberapa sistem Ground
Penetrating Radar dilengkapi dengan pembangkit pulsa dengan durasi yang berbeda untuk
kedalaman penetrasi yang berbeda. Namun secara umum antena Ground Penetrating Radar hanya
dioptimalisasi untuk durasi pulsa tertentu sehingga dibutuhkan antena yang berbeda untuk dapat
menghasilkan impuls yang berbeda.

Universitas Pertamina - 14
2.9. Tahap Pengolahan Data Ground Penetrating Radar

Proses pengolahan data GPR secara umum dibagi menjadi beberapa tahap. antara lain:

2.9.1. Koreksi Statik

Proses ini bertujuan untuk mengkoreksi posisi dari antena dan receiver. Selain itu,
koreksi statik juga menghilangkan efek dari direct wave yang masuk kedalam permukaan
tanah secara manual. Contoh penggunaan dari koreksi statik ini dapat ditemukan pada
fungsi move start time.

2.9.2. Gaining

Proses ini bertujuan untuk menguatkan amplitudo yang dianggap lemah pada data
lapangan GPR. Contoh penggunaan dari gain ini adalah fitur inverse amplitude decay serta
amplitude gain control (AGC)

2.9.3. Filtering Data

Proses ini bertujuan untuk memisahkan data dengan noise yang memiliki beda
frekuensi. Filtering data ini akan membatasi data dimana sinyal yang dianggap data dan mana
yang tidak. Contoh penggunaan filter ini adalah pada bandpass filter.

2.9.4. Horizontal Scalling

Proses ini bertujuan untuk menghilangkan noise dengan arah horizontal. Sinyal GPR
yang dianggap data dapat tertutup oleh noise tersebut sehingga data yang seharusnya
didapatkan jadi tidak terlihat. Maka untuk menghilangkan noise ini dapat digunakan horizontal
scalling seperti contoh remove global background dan F-K filter.

2.9.5. Analisis Kecepatan

Proses ini bertujuan untuk mendefinisikan kecepatan lapisan batuan yang terdeteksi.
Model kecepatan ini akan digunakan untuk menentukan posisi reflektor sebenarnya serta
kedalaman aktual dari data GPR.

Universitas Pertamina - 15
Universitas Pertamina - 16
3 BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Bentuk Penelitian

Bentuk penelitian pada tugas akhir ini adalah simulasi data GPR dengan melakukan pemodelan
kedepan (forward modelling). Pemodelan data GPR dilakukan terhadap 1 model sintetis yang diukur
dengan menggunakan 3 antena frekuensi berbeda, yaitu 50 MHz, 100 MHz, dan 250 MHz. Hasil dari
pengolahan data dari simulasi pemodelan kedepan ini menjadi dasar dalam pengolahan data
lapangan yang diaplikasikan pada data lapangan GPR yang telah diukur pada Sesar Lembang, Jawa
Barat. Interpretasi hasil data lapangan akan didasarkan kepada hasil yang diperoleh dari simulasi
pemodelan kedepan (forward modelling) data GPR.

3.2. Diagram Alir Tugas Akhir

Diagram alir tugas akhir adalah sebagai berikut:

Gambar 3.1. Diagram alir pengerjaan Tugas Akhir

Pada tahap awal, penelitian dilakukan dengan membuat membuat sebuah model sintetis
yang akan digunakan dalam pemodelan kedepan data GPR (ground penetrating radar) menggunakan
aplikasi MATGPR. Model tersebut menggambarkan kondisi geologi bawah permukaan dengan
kedalaman dangkal yang memiliki informasi sifat kelistrikan (electrical properties) dari material bawah
permukaan. Model sintetis ini digunakan sebagai model dalam melakukan pemodelan kedepan data
GPR dengan menggunakan 3 frekuensi yang berbeda. Data GPR sintetis yang diperoleh dari 3 antena
yang berbeda akan dianalisis untuk melihat karakteristik dari tiap data GPR termasuk perbedaan
ketiga jenis data yang diperoleh.

Universitas Pertamina - 17
Setelah pemodelan kedepan dilakukan, diperoleh data sintetis GPR dengan berbagai antena.
Tahapan selanjutnya adalah tahap pengolahan data GPR hingga diperoleh hasil akhir yang sama
dengan model sintetis. Urutan pengolahan data sintetis secara umum adalah meningkatkan sinyal dan
menghilangkan noise yang merusak data. Secara detail tahapan pengolahan dari data sintetis yang
diperoleh adalah dengan melakukan inverse amplitude decay, automatic gain control, band-pass filter,
predictive deconvolution, fit diffraction hyperbola, 1-D F-K migration, dan 1-D time to depth conversion.

Secara umum, tahapan pengolahan data dibagi menjadi dua bagian, yaitu basic processing
dan advance processing. Basic processing terdiri dari pengolahan data seperti inverse amplitude
decay, automatic gain control, dan band-pass filter. Sedangkan, advance processing dilakukan
dengan menambahkan filter seperti predictive deconvolution, fit diffraction hyperbola, 1-D F-K
migration, dan 1-D time to depth conversion.

Parameter dari setiap tahapan pengolahan akan dilakukan sebaik mungkin untuk dihasilkan
hasil akhir yang sama dengan model sintetis. Seluruh tahapan dari pengolahan data yang
memperlihatkan hasil akhir yang sama dengan model sintetis akan diterapkan dalam pengolahan data
lapangan sehingga hasil dari pengolahan data lapangan memiliki tingkat kepercayaan yang baik untuk
siap diinterpretasi. Berikut ini merupakan diagram alir pengolahan data model sintetis:

Gambar 3.2. Diagram alir pengolahan model sintetis

Setelah dilakukan pengolahan data sintetis, selanjutnya dilakukan pengolahan data


lapangan. Pengolahan model lapangan akan didasarkan kepada pengolahan data model sebelumnya.
Akan tetapi, terdapat beberapa tahapan yang akan sedikit berbeda dari data model, tergantung
dengan kebutuhan data lapangan tersebut. Urutan pengolahan data lapangan adalah dengan
melakukan inverse amplitude decay, remove global background, automatic gain control, band-pass
filter, predictive deconvolution, F-X deconvolution, fit diffraction hyperbola, 1-D F-K migration, dan 1-D
time to depth conversion. Output dari data lapangan tersebut akan dilakukan quick interpretation
dengan didasarkan kepada hasil data pemodelan data kedepan untuk memastikan data yang
dihasilkan telah dapat di interpretasi atau tidak. Berikut ini merupakan diagram alir pengolahan data
lapangan:

Universitas Pertamina - 18
Gambar 3.3. Diagram alir pengolahan data lapangan

3.3. Metode Pengumpulan Data

Tahapan pemodelan kedepan (forward modeling) dilakukan dalam penelitian ini sebagai data
utama dengan terlebih dahulu membuat model sintetis geologi bawah permukaan dengan kedalaman
yang dangkal (±15 meter). Model sintetis dan tahapan pemodelan kedepan dilakukan menggunakan
perangkat lunak opensource MATGPR (Andreas Tzanis, 2016). Sedangkan data lapangan yang
digunakan pada penelitian ini diperoleh dari kegiatan akusisi yang telah dilakukan pada mata kuliah
Geofisika Teknik dan Lingkungan di daerah Gunung Batu, Jawa Barat pada 30 November 2019.

3.4. Alat dan Bahan

Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

3.4.1. Laptop

Laptop yang digunakan untuk penelitian ini adalah laptop Lenovo IdeaPad 300-14ISK.

3.4.2. Perangkat Lunak

Perangkat lunak yang digunakan untuk melakukan penelitian adalah:


3.4.3.1. MATLAB R2014A
3.4.3.2. MatGPR versi 3.1
3.4.3.3. Global Mapper14
3.4.3.4. Google Earth
3.4.3.5. QGIS 3.12.3
3.4.3.6. Corel Draw 2019

Universitas Pertamina - 19
3.4.3. Peta Kontur Lapangan Pengukuran

Peta kontur dibuat dengan interval kontur sebesar 25m menggunakan aplikasi
QGIS. Berikut ini merupakan peta kontur lapangan pengukuran:

Gambar 3.4. Peta kontur lapangan penelitian

3.4.4. Peta Lintasan GPR

Penelitian dilakukan dengan cara membuat 7 lintasan berupa garis yang memotong
arah sesar. Panjang masing – masing lintasan bervariasi tergantung medan yang dapat
dilalui oleh alat. Berikut ini merupakan tabel masing masing panjang lintasan:

Tabel 3.1. Tabel panjang lintasan pengukuran GPR

Universitas Pertamina - 20
Penamaan setiap lintasan dimulai dari barat ke timur. Sedangkan pengukuran pada
setiap lintasan dilakukan dari arah selatan ke utara. Berikut merupakan peta lintasan data
lapangan:

Gambar 3.5. Peta lintasan GPR daerah penelitian

3.4.5. Peta Geologi

Peta geologi daerah penelitian disajikan untuk mengkonfirmasi jenis batuan yang
terdapat di lapangan penelitian. Berikut ini merupakan peta geologi daerah penelitian:
Pada peta geologi tersebut, dapat dikonfirmasi keberadaan batuan yang
terdapat di lapangan. Pada peta geologi tersebut disebutkan bahwa lapangan penelitian
didominasi oleh batuan andesit-basalt yang bersudut dengan banyak bongkah dan
pecahan batuan apung. Selain itu, terdapat juga batuan lain seperti pasir, lempung,
tufaan, lapili, serta lava berongga.

Universitas Pertamina - 21
Gambar 3.6. Peta geologi daerah penelitian (P.H. Silitonga, 1973)

3.5. Metode Analisis Data

3.5.1. Perangkat Lunak

Perangkat Lunak yang digunakan untuk forward modelling dan pengolahan data
lapangan Ground Penetrating Radar (GPR) adalah MATGPR. Software ini merupakan
ciptaan dari Dr. Andreas Tzanis yang berbasis MATLAB14. Perangkat lunak tersebut
merupakan software open source yang dapat diakses secara gratis.

Universitas Pertamina - 22
3.5.2. Pemodelan Kedepan yang Dibuat

Model sintetis penelitian yang dibuat adalah sebagai berikut:

Pasir Basah Pasir Basah


Pasir Basah

Pipa Pipa Air


Metal
Batugamping
Batugamping

Pipa Pipa Air


Batulempung Metal
Batu
lempung Batulempung

Gambar 3.7. Data sintetis penelitian

Data sintetis terdiri dari pasir basah, batugamping, batulempung, pipa metal, dan
pipa air. Data sintetis dibentuk sedemikian rupa agar menyerupai bentukan struktur geologi
yang terdapat di alam. Data sintetis ini mempunyai panjang lintasan 100 m. Data sintetis
dibuat dengan 3 frekuensi berbeda, yaitu 250 Mhz, 100 MHz, dan 50 MHz. Masing-masing
komponen tersebut mempunyai electrical properties sebagai berikut:

Tabel 3.2. Input electrical properties data sintetis (W.M. Telford, 1990)

Universitas Pertamina - 23
3.5.3. Kondisi Geologi Daerah Penelitian

Daerah penelitian GPR terletak di sisi barat gawir Gunung Batu. Pada daerah
penelitian tersebut, dapat ditemukan beberapa batuan seperti batu andesit, pasir, lempung,
serta soil. Berikut ini merupakan gambar kondisi geologi lapangan penelitian:

Gambar 3.8. Kondisi geologi daerah penelitian

Masing – Masing batuan yang dapat di temukan pada daerah tersebut memiliki sifat
fisika seperti konstanta dielektrik, resistivitas, serta kecepatan rambat gelombang. Berikut
merupakan tebel dari sifat fisika batuan yang dapat ditemukan pada lapangan pengukuran:

Tabel 3.3. Tabel sifat fisika batuan pada lapangan penelitian (W.M. Telford, 1990)

Universitas Pertamina - 24
Universitas Pertamina - 25
4 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengolahan Pemodelan Kedepan

4.1.1 Tahapan Pengolahan Dasar

Penelitian dilakukan dengan membuat data sintetis seperti yang terlampir pada bab 3
sebelumnya dengan 3 antena yang berbeda. Lalu, data sintetis tersebut selanjutnya akan
diproses menjadi model sintetis. Model sintetis yang digunakan pada tahapan pemodelan
kedepan telah menghasilkan 3 data GPR sintetis dengan frekuensi antena yang berbeda. Ketiga
data sintetis GPR inilah yang diolah dengan tahapan pengolahan data GPR agar menghasilkan
model yang serupa dengan model sintetis. Berikut ini merupakan tampilan dari data mentah data
sintetis GPR yang diperoleh:
(a) (b)

Amplitude Amplitude

(c)

Amplitude

Gambar 4.1. Data mentah data sintetik GPR (a) 250 MHz, (b) 100 MHz, (c) 50 MHz

Universitas Pertamina - 26
Pada data mentah model sintetis, dapat terlihat dengan jelas perbedaan dari model
pada ketiga antena. Pada model dengan antena 250 MHz, resolusi data pada kedalaman dangkal
akan terlihat dengan bagus. Namun, penetrasi antena pada 250 MHz tidak dapat mencapai
kedalaman maksimum. Hal ini dapat dilihat pada tidak terlihatnya struktur geologi berupa graben
serta 2 pipa pada kedalaman yang dalam. Pada antena 100 MHz, resolusi yang dihasilkan lebih
buruk dari model 250 MHz. akan tetapi, kedalaman penetrasi bertambah dengan dibuktikan
adanya batas lapisan yang mulai terlihat pada kedalaman 13m. Sedangkan pada antena 50 MHz
resolusi yang dihasilkan tidak maksimal, namun penetrasi kedalaman telah mencakup seluruh
data model sintetis. Pengolahan data yang selanjutnya akan dilakukan diharapkan dapat
memaksimalkan hasil data yang terdapat pada raw data tersebut.

Tahap pertama pengolahan data model sintetis adalah dilakukannya inverse amplitude
decay. Hasil pengolahan inverse amplitude decay adalah sebagai berikut:

(a) (b)

Amplitude Amplitude

(c)

Amplitude

Gambar 4.2. Hasil inverse amplitude decay (a) Model 250 MHz (b) Model 100 MHz (c) Model 50 MHz

Universitas Pertamina - 27
Setelah dilakukan Inverse amplitude decay, maka beberapa reflektor pada model
sintetis terlihat menguat. Terlihat pada lingkaran berwarna merah bahwa reflektor yang awalnya
tidak terlihat pada model 250 MHz dan 100 MHz mulai terlihat setelah dilakukan inverse
amplitude decay. Sedangkan pada model 50 MHz lingkaran merah menunjukkan reflektor yang
awalnya lemah terlihat menguat setelah proses ini.

Tahapan selanjutnya setelah melakukan Inverse amplitude decay adalah dilakukan


Automatic Gain Control (AGC). Berikut ini adalah hasil model setelah dilakukan automatic gain
control:

(a) (b)

Amplitude Amplitude

(c)
c

Amplitude

Gambar 4.3. Hasil automatic gain control (a) Model 250 MHz (b) Model 100 MHz (c) Model 50 MHz

Parameter AGC pada tiap model didefinisikan pada nilai yang sama, yaitu 200ns. Hasil
yang didapatkan setelah dilakukan AGC adalah reflektor terlihat menguat secara merata pada
seluruh model. Terlihat bahwa struktur geologi berupa graben dapat diidentifikasi pada seluruh
model sintetis. Struktur graben ini terlihat jelas pada tempat yang dilingkari dengan garis merah.
Namun berbeda dengan model 100 Mz dan 50 MHz, model 250 MHz tidak dapat
memvisualisasikan struktur graben pada kedalaman yang dalam dengan baik.
Universitas Pertamina - 28
Setelah dilakukan penguatan reflektor, tahapan selanjutnya adalah dengan
menghilangkan noise. Proses menghilangkan noise yang akan dilakukan adalah band-pass filter.
Berikut ini merupakan hasil proses band-pass filter pada model sintetis:

(a) (b)

Amplitude Amplitude

(c)
c

Amplitude

Gambar 4.4. Hasil bandpass filter (a) Model 250 MHz (b) Model 100 MHz (c) Model 50 MHz

Hasil yang didapatkan setelah dilakukan bandpass filter adalah frekuensi tinggi dan
frekuensi rendah yang dianggap noise akan menghilang. Terlihat jelas pada ketiga model diatas
bahwa beberapa noise frekuensi tinggi dalam lingkaran merah yang sebelumnya ada dapat
berkurang setelah dilakukan bandpass filter. Namun, dalam bandpass filter ini belum bisa
menghilangkan noise berupa multiple yang dihasilkan oleh pipa air. Multiple tersebut masih dapat
terlihat jelas pada model 100 MHz dan 50 MHz. Sedangkan pada model 250 MHz multiple
tersebut tidak terlihat sebesar model yang lain.

Universitas Pertamina - 29
Gambar 4.4 merupakan hasil pengolahan data yang hanya menerapkan tahapan
pengolahan data (dari gain sampai bandpass). Dari hasil yang diperoleh masih terlihat efek
seperti multiple serta noise non-koheren dan jika dibandingkan dengan model sintetis maka hasil
ini belum menunjukkan hasil yang sama dengan model sintetis yang telah dibuat. Oleh karena
itu maka masih perlu dilakukan tahapan-tahapan pengolahan data lanjut seperti predictive
deconvolution, fit diffraction hyperbola, F-K migration, dan 1D time to depth conversion.

4.1.2 Tahapan Pengolahan Lanjut

Untuk menghilangkan noise berupa multiple, maka dilakukan filter predictive


deconvolution. Parameter yang digunakan pada filter ini disamakan untuk semua model, yaitu
filter length sebesar 40 ns, lag sebesar 20 ns, dan prewhitening sebesar 0.1. berikut ini adalah
hasil dari predictive deconvolution pada ketiga model:

(a) (c)
c c

Amplitude Amplitude

(c)
c

Amplitude

Gambar 4.5. Hasil predictive deconvolution (a) Model 250 MHz (b) Model 100 MHz (c) Model 50 MHz

Universitas Pertamina - 30
Hasil yang didapatkan setelah dilakukan predictive deconvolution menunjukkan bahwa
noise berupa multiple yang ditandai dengan lingkaran merah dapat di kurangi. Hasil maksimal
pada predictive deconvolution ditunjukkan oleh model 250 MHz. Pada frekuensi tersebut, multiple
dapat berkurang secara drastis. Meskipun pada frekuensi 100 MHz dan 50 MHz multiple tersebut
telah berkurang. Multiple merupakan noise tidak bisa dihilangkan. Namun, nilai dari multiple
tersebut dapat dikurangi dengan cara mencoba-coba parameter predictive deconvolution agar
filter tersebut dapat bekerja dengan maksimal dalam mengurangi multiple. Namun, parameter
predictive deconvolution harus benar benar diperhatikan karena jika parameter tersebut tidak
sesuai, maka akan muncul suatu difraksi baru yang sebenarnya tidak terdapat pada lapangan
penelitian seperti yang ditunjukkan oleh lingkaran berwarna putih.
Sebelum masuk ke tahap selanjutnya, perlu dilakukan fit diffraction hyperbola untuk
menentukan model kecepatan dari suatu difraksi. Dalam model sintetis yang dibuat, telah
diketahui diameter dari pipa air adalah 1 m, maka nilai untuk radius pada fit diffraction hyperbola
akan digunakan nilai radius tersebut. Setelah itu, didapatkan kecepatannya adalah 0.107 m/ns.
Ketiga model sintetis akan diberikan parameter yang sama karena bentuk dari data sintetis yang
digunakan adalah sama. Berikut ini merupakan hasil dari fit diffraction hyperbola:

Gambar 4.6. Parameter fit diffraction hyperbola dari ketiga model

Penentuan kecepatan ini merupakan hal yang sangat penting karena dapat
mempengaruhi proses selanjutnya. Maka dari itu, salah satu parameter dari difraksi tersebut
terlebih dahulu harus ditentukan. Untuk model sintetis diatas, dapat diketahui benda yang
terkubur beserta dimensinya sehingga penentuan kecepatan, kedalaman, posisi, dan diameter
benda akan diketahui dengan mudah. Namun, pada data lapangan parameter tersebut masih
terkesan interpretatif. Maka dari itu perlu dilakukan studi lapangan dan studi literatur secara lanjut
dalam menentukan parameter dari kecepatan dari suatu difraksi.

Setelah kecepatan dari difraksi ditentukan, maka dilakukan F-K Migration. Berikut ini
adalah hasil pengolahan ketiga model yang didapatkan setelah melakukan F-K Migration:

Universitas Pertamina - 31
(a) (b)
c c

Amplitude Amplitude

(c)
c

Amplitude

Gambar 4.7. Hasil F-K migration (a) Model 250 MHz (b) Model 100 MHz (c) Model 50 MHz

Hasil dari F-K migration menunjukkan bahwa terdapat perubahan yang sangat drastis
pada ketiga model. Perubahan tersebut adalah kembalinya reflektor ke posisi yang
sesungguhnya. Jika dalam pengolahan data sebelumnya reflektor masih dalam bentuk respon
gelombang, maka dalam F-K filter ini reflektor sudah membentuk struktur yang sesungguhnya.
Contohnya dapat dilihat pada lingkaran berwarna merah. respon dari pipa dan struktur geologi
telah sesuai dengan model sintetis yang dibuat. Namun ada beberpa perbedaan mendasar pada
ketiga model tersebut. Pada model 50 MHz, pipa yang terletak pada kedalaman yang dalam
masih belum bisa terlihat. Namun, pada model 100 dan 50 MHz pipa tersebut sudah terlihat
meskipun lemah. Hal tersebut juga terjadi pada struktur graben pada kedalaman yang dalam.
Reflektor graben sama sekali tidak terlihat pada frekuensi 250 MHz. Namun, reflektor graben
pada model 100 MHz dan 50 MHz terlihat dengan sangat jelas.

Universitas Pertamina - 32
Tahap terakhir yang dilakukan pada pengolahan data adalah 1D time to depth
conversion. Hasil dari 1D time to depth conversion pada ketiga model sintetis dapat diamati pada
gambar berikut:
(a) (b)
c c

Amplitude Amplitude

(c)
c

Amplitude

Gambar 4.8 Hasil 1D time to depth conversion (a) Model 250 MHz (b) Model 100 MHz (c) Model 50 MHz

Hasil yang dapat diamati pada time to depth conversion ini adalah bahwa kedalaman
pada proses sebelumnya yang awalnya dalam bentuk traveltime (ns), berubah menjadi
kedalaman aktual (m). Kedalaman yang didapatkan pada pengolahan ini sangat sesuai dengan
model awal yang dibuat. Hal ini dikarenakan pemilihan kecepatan yang akurat pada fit diffraction
hyperbola.

Hasil akhir secara keseluruhan didapatkan perbedaan mendasar antara 3 antena yang
digunakan pada data sintetis. Perbedaan pertama terletak pada penetrasi kedalaman yang
dihasilkan. Pada model 250 MHz, penetrasi kedalaman tidak dapat menjangkau pipa air dan pipa
meter yang terletak pada kedalaman yang cukup dalam. Namun, pada model 100 MHz dan 50
MHz pipa masih dapat terlihat meskipun lemah. Selain itu struktur geologi berupa graben juga
dapat diamati dengan jelas pada model 100 MHz dan 50 Mhz. Perbedaan kedua terletak pada
resolusi yang dihasilkan oleh ketiga antena. Model 250 MHz mempunyai resolusi yang paling

Universitas Pertamina - 33
bagus diantara kedua model yang lain, sehingga untuk kedalaman dangkal data dapat tercitrakan
dengan sangat baik.

Gambar 4.8 merupakan hasil pengolahan data yang telah diterapkan tahapan
pengolahan data lanjutan (dari predictive deconvolution sampai 1D time to depth conversion).
Dari hasil yang diperoleh, efek seperti multiple serta noise non-koheren sudah berkurang secara
signifikan dan jika dibandingkan dengan model sintetis maka hasil ini sudah menunjukkan hasil
yang sama dengan model sintetis yang telah dibuat. Berikut ini merupakan tabel perbedaan dari
basic processing dan advance processing:
Tabel 4.1 Perbedaan antara basic processing dan advance processing

4.2. Hasil Pengolahan Data Lapangan

Pengolahan data model sintetis sebelumnya akan diaplikasikan pada data lapangan yang telah
dilakukan di Gunung Batu, Lembang, Jawa Barat. Secara garis besar, proses pengolahan data dari awal
sampai akhir tidak banyak berubah. Namun, pada pengolahan pada data lapangan terdapat beberapa
filter yang ditambahkan ke pengolahan data seperti remove global background dan F-X deconvolution.
Filter tersebut ditambahkan karena data lapangan mempunyai noise yang bersifat lateral serta memiliki
random noise yang lebih banyak daripada model sintetis.

Pengolahan data lapangan juga harus memperhatikan ketelitian dari komponen fit diffraction
hyperbola. Jika parameter kecepatan pada fit diffraction hypperbola terlalu besar, maka bisa
mengakibatkan overmigration. Untuk memvalidasi kecocokan dari kecepatan suatu difraksi, maka
diperlukan studi lebih lanjut mengenai geologi lokasi pengukuran menggunakan metode geofisika yang

Universitas Pertamina - 34
lain seperti seismik refraksi, geolistrik, gravity, atau magnetik untuk mengetahui jenis batuan pada
lapangan penelitian serta memperbanyak literatur.

Hasil yang didapatakan setelah mengolah data lapangan secara umum menunjukkan bahwa
batas antar lapisan dapat diketahui dengan jelas. Hasil lain yang didapatkan pada data lapangan adalah
kenampakan fitur geologi berupa rekahan yang dapat terlihat pada hasil pengolahan data khususnya pada
low frequency. Berikut ini merupakan hasil dari aplikasi pengolahan data sintetis ke data lapangan:

(a) (b)
c c

Amplitude Amplitude

Gambar 4.9 Hasil pengolahan data lintasan 1 high frequency (a) Basic processing (b) Advance processing

Perbedaan yang sangat jelas dapat dilihat pada pengolahan basic processing (gambar 4.9.a).
dan advance processing pada lintasan 1 high frequency (gambar 4.9.b). Setelah dilakukan advance
processing, noise non-koheren terlihat berkurang secara drastis. Pada lintasan 1 high frequency, terdapat
ketidakmenerusan pada sekitar meter ke 80 dan 140 dari titik pengukuran awal. Hal ini diakibatkan adanya
difraksi yang terdapat ditengah ketidakmenerusan tersebut sehingga ketidakmenerusan tersebut dapat
diinterpretasikan sebagai bodi dari suatu batuan. Selain itu, terdapat reflektor yang berbentuk seperti
cekungan yang terdapat pada meter ke 40 sampai 80 dari titik awal pengukuran.

Universitas Pertamina - 35
(a) (b)
c c

Amplitude Amplitude

Gambar 4.10 Hasil pengolahan data lintasan 1 low frequency (a) Basic processing (b) Advance processing

Pada lintasan 1 low frequency, basic processing (gambar 4.10.a) juga tidak menunjukkan hasil
yang maksimal untuk processing data. Masih banyak noise non-koheren yang terdapat pada basic
processing. Setelah dilakukan advance processing (gambar 4.10.b), akan terlihat bahwa data berupa
batas lapisan juga dapat terlihat dengan cukup jelas. Batas lapisan yang awalnya terganggu oleh noise
non-koheren akan muncul setelah dilakukan advance processing. Selain itu, struktur berupa cekungan
yang dapat dilihat pada high frequency juga dapat dikonfirmasi keberadaannya pada low frequency.

(a) (b)
c c

Amplitude Amplitude

Gambar 4.11 Hasil pengolahan data lintasan 2 high frequency (a) Basic processing (b) Advance processing

Setelah dilakukan advance processing (gambar 4.11.b) pada lintasan 2, terdapat suatu
ketidakmenerusan yang dapat dilihat dengan jelas pada meter ke 40, 50 serta 80 dari titik awal
pengukuran. Sebelum dilakukan advance processing (gambar 4.11.a), ketidakmenerusan tersebut masih
terlihat tidak terlalu jelas kerena terhalang oleh noise non-koheren. Selain itu, batas lapisan juga dapat
terlihat dengan jelas setelah dilakukan advance processing.

Universitas Pertamina - 36
(a) (b)
c c

Amplitude Amplitude

Gambar 4.12 Hasil pengolahan data lintasan 2 low frequency (a) Basic processing (b) Advance processing

Pada lintasan 2 low frequency reflektor yang terlihat lemah pada high frequency akan menguat.
Hal ini dikarenakan kemampuan penetrasi kedalaman dari low frequency lebih optimal dibandingkan
dengan high frequency. Keberadaan cekungan tidak dapat terlihat pada high frequency dapat dilihat
dengan jelas pada meter ke 5 sampai ke 35 dari titik awal pengukuran. Selain itu, jumlah rekahan yang
dapat terlihat jelas pada low frequency juga semakin banyak. Rekahan tersebut dapat dilihat pada garis
berwarna hitam. Jika dibandingkan dengan basic processing (gambar 4.12.a), hasil yang dihasilkan oleh
advance processing (gambar 4.12.b). menunjukkan hasil yang lebih dapat dipercaya untuk dilakukan
interpretasi data.

(a) (b)
c c

Amplitude
Amplitude

Gambar 4.13 Hasil pengolahan data lintasan 3 high frequency (a) Basic processing (b) Advance processing

Universitas Pertamina - 37
Pada lintasan 3 dapat terlihat dengan jelas perbedaan dari advance processing dan basic
processing. Perbedaan tersebut terletak pada kebersihan data yang dihasilkan keduanya. Pada basic
processing (gambar 4.13.a) lintasan ke 3, data masih penuh dengan noise non-koheren. Namun, noise
tersebut dapat dikurangi secara signifikan pada advanced processing (gambar 4.13.b). Lintasan 3 hanya
menunjukkan adanya anomali berupa difraksi pada meter ke 50 dari titik awal pengukuran. Anomali ini
akan dikonfirmasi oleh pengukuran low frequency.

(a) (b)
c c

Amplitude Amplitude

Gambar 4.14 Hasil pengolahan data lintasan 3 low frequency (a) Basic processing (b) Advance processing

Lintasan 3 low frequency menunjukkan adanya struktur berupa turunan pada meter ke 30 – 60
dari titik awal pengukuran. Turunan ini tidak dapat dilihat pada high frequency akibat kurang maksimalnya
penetrasi yang dihasilkan oleh high frequency. Pada low frequency, terlihat konfirmasi anomali yang
ditunjukkan oleh high frequency pada meter ke 50. Namun, pada basic processing (gambar 4.14.a)
anomali tersebut masih dalam bentuk difraksi gelombang dan belum dapat dipercaya sepenuhnya untuk
dilakukan interpretasi. Berbeda dengan advance processing (gambar 4.14.b) yang menggambarkan
anomali tersebut dengan reflektor yang terlihat lebih real akibat dilakukannya migrasi pada data tersebut.
Noise non-koheren pada basic processing juga dapat berkurang secara maksimal setelah dilakukan
advance processing. Selain itu, pada low frequency dapat ditemukan struktur berupa rekahan yang
ditunjukkan oleh garis berwarna hitam.

Universitas Pertamina - 38
(a) (b)
c c

Amplitude Amplitude

Gambar 4.15 Hasil pengolahan data lintasan 4 high frequency (a) Basic processing (b) Advance processing

Lintasan 4 high frequency menunjukkan adanya reflektor kuat pada meter ke 60 – 130 dari titik
awal pengukuran. Namun, reflektor pada meter ke 0 – 60 dari titik awal pengukuran menunjukkan nilai
yang masih lemah. Oleh karena itu, data low frequency sangat diperlukan untuk membantu interpretasi
data lintasan 4. Basic processing (gambar 4.15.a) pada lintasan ke 4 belum dapat menunjukkan hasil
yang maksimal dalam memproses data karena data masih memiliki noise non-koheren yang cukup
banyak. Sedangkan advance processing (gambar 4.15.b) menunjukkan data yang sudah layak untuk
interpretasi data.

(a) (b)
c c

Amplitude Amplitude

Gambar 4.16 Hasil pengolahan data lintasan 4 low frequency (a) Basic processing (b) Advance processing

Pada lintasan 4 low frequency, reflektor pada 0 – 60 meter dari titik awal pengukuran akan
terlihat sedikit menguat. Selain itu, rekahan yang ditunjukkan oleh garis hitam juga lebih banyak terlihat
pada low frequency. Selain itu, pada lintasan 4 low frequency juga dapat dilihat adanya turunan pada
meter ke 60 – 130 dari titik awal pengukuran pada kedalaman 1 - 1.5 meter yang tidak dapat dilihat pada
high frequency. Setelah dilakukan advance processing (gambar 4.16.b), data akan terlihat lebih bersih
dari noise non-koheren daripada basic processing (gambar 4.16.a).

Universitas Pertamina - 39
(a) (b)
c c

Amplitude Amplitude

Gambar 4.17 Hasil pengolahan data lintasan 5 high frequency (a) Basic processing (b) Advance processing

Pada lintasan 5 high frequency, terdapat turunan yang dapat dilihat pada meter ke 0 – 15 dari titik
awal pengukuran pada kedalaman 1 meter. Namun, setelah turunan yaitu pada meter ke 15 – 25, reflektor
tersebut terlihat melemah. Seperti pada lintasan sebelumnya, basic processing (gambar 4.17.a) tidak
menghasilkan hasil yang maksimal karena masih terdapat banyak noise non-koheren yang terdapat pada data.
Namun, setelah dilakukan advance processing (gambar 4.17.b) noise tersebut dapat dikurangi secara maksimal
sehingga data menjadi siap diinterpretasi.

(a) (b)

Amplitude Amplitude

Gambar 4.18 Hasil pengolahan data lintasan 5 low frequency (a) Basic processing (b) Advance processing

Pada lintasan 5 low frequency, keberadaan turunan pada high frequency di meter 0 – 15m dapat
dikonfirmasi. Reflektor yang hilang pada meter ke 15 – 25 juga terlihat menguat pada low frequency. Batas
lapisan juga dapat terlihat jelas pada low frequency. Selain itu, keberadaan rekahan juga dapat diidentifikasi
dengan garis berwarna hitam. Data di bawah reflektor kuat pada basic processing (gambar 4.18.a) belum bisa
diidentifikasi dengan maksimal karena adanya noise non-koheren yang menutupi data tersebut. Akan tetapi,
setelah dilakukan advance processing (gambar 4.18.b) data tersebut dapat terlihat karena berkurangnya noise
non-koheren yang ada pada data sebelumnya.

Universitas Pertamina - 40
(a) (b)
c

Amplitude Amplitude

Gambar 4.19 Hasil pengolahan data lintasan 6 high frequency (a) Basic processing (b) Advance processing

Pada lintasan 6 high frequency dapat ditemukan turunan pada meter ke 5 – 18 dari titik awal
pengukuran pada kedalaman 0.5 – 1.5 meter. Namun, pada basic processing (gambar 4.19.a) reflektor turunan
tersebut terganggu oleh adanya noise non-koheren. Noise tersebut akan terlihat berkurang setelah dilakukan
advance processing (gambar 4.19.b). Selain itu batas lapisan belum dapat diidentifikasi secara maksimal akibat
kurangnya penetrasi pada high frequency.

(a) (b)
c c

Amplitude Amplitude

Gambar 4.20 Hasil pengolahan data lintasan 6 low frequency (a) Basic processing (b) Advance processing

Pada lintasan ke 6 low frequency, penetrasi kedalaman dapat mencapai 3 meter sehingga beberapa
batas lapisan dapat terlihat dengan jelas. Selain itu, ditemukan beberapa rekahan yang dapat dilihat pada garis
berwarna hitam. Sama seperti lintasan sebelumnya, data pada basic processing (gambar 4.20.a) masih banyak
terganggu oleh noise sehingga masih belum dapat dilakukan interpretasi. Berbeda dengan data yang sudah
dilakukan advance processing (gambar 4.20.b). Data advance processing memiliki tingakat kebersihan data
yang maksimal dan sudah siap untuk diinterpretasi.

Universitas Pertamina - 41
(a) (b)

Amplitude Amplitude

Gambar 4.21 Hasil pengolahan data lintasan 7 high frequency (a) Basic processing (b) Advance processing

Pada lintasan 7 high frequency, belum dapat ditemukan suatu anomali serta batas lapisan karena
penetrasi kedalaman yang sangat kurang. Namun, dapat dilihat dengan jelas perbedaan dari basic processing
(gambar 4.21.a) dan advance processing (gambar 4.21.b). Data yang sebelumnya tertutup oleh noise non-
koheren pada basic processing akan terlihat dengan jelas pada advanced processing.

(a) (b)

Amplitude Amplitude

Gambar 4.22 Hasil pengolahan data lintasan 7 low frequency (a) Basic processing (b) Advance processing

Pada lintasan 7 low frequency, data pada advanced processing (gambar 4.22.b) sudah dapat terlihat
dengan jelas dan siap untuk diinterpretasi. Terdapat beberapa rekahan pada lintasan 7 yang ditandai dengan
garis berwarna hitam. Selain itu, terdapat anomali pada meter ke 8 dari titik awal pengukuran. Namun, pada
basic processing (gambar 4.22.a) anomali tersebut masih dalam bentuk difraksi gelombang. Setelah dilakukan
advance processing, anomali tersebut memiliki bentukan yang lebih real dari sebelumnya. Data pada advance
processing juga lebih bersih dari noise sehingga lebih mudah untuk diinterpretasi.

Universitas Pertamina - 42
Universitas Pertamina - 43
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang didapatkan setelah melakukan penelitian yang telah dilakukan adalah:
1. Terdapat kemiripan hasil antara pengolahan data GPR yang diukur pada frekuensi yang
berbeda. Pada frekuensi tinggi, GPR menghasilkan resolusi yang lebih bagus, Namun
penetrasi kedalaman yang dihasilkan tidak maksimal. Berbeda dengan hasil yang
didapatkan frekuensi rendah, GPR menghasilkan resolusi yang lebih rendah daripada
frekuensi tinggi, namun penetrasi kedalaman yang dihasilkan akan mencapai kedalaman
yang lebih maksimal. Hal ini dikarenakan skin depth yang dihasilkan batuan yang sama pada
frekuensi yang berbeda akan diperoleh hasil yang berbeda. Skin depth pada frekuensi
rendah memiliki nilai yang lebih tinggi daripada skin depth pada frekuensi tinggi.
2. Advance processing memperlihatkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan basic
processing. Noise berupa multiple dan noise non-koheren dapat berkurang secara signifikan
sehingga data dapat lebih dipercaya untuk dilakukan interpretasi. Advanced processing ini
merupakan proses pengolahan data yang dimulai dari inverse amplitude decay, remove
global background, automatic gain control, bandpass filter, predictive deconvolution, F-X
deconvolution, fit diffraction hyperbola, F-K migration, dan 1D time to depth conversion.
3. Forward modelling yang dilakukan dapat meningkatkan tingkat kepercayaan terhadap
pengolahan data serta interpretasi data. Hal ini dikarenakan struktur serta karakteristik data
yang didapatkan pada forward modelling dapat menyerupai hasil dari data lapangan.
4. 1D time to depth conversion memiliki peranan penting dalam menentukan kedalaman dari
suatu event. Namun, nilai 1D time to depth conversion ini sangat tergantung kepada
pemilihan kecepatan pada fit diffraction hyperbola yang dilakukan sebelumnya. Jika nilai
kecepatan yang dimasukkan salah, maka akan mengakibatkan nilai 1D time to depth
conversion menjadi tidak akurat.

5.2. Saran

Saran yang ingin penulis sampaikan pada penelitian selanjutnya adalah:


1. Selain dilakukan forward modelling, physical modelling juga perlu dilakukan untuk lebih
meyakinkan interpretasi data lapangan. Dengan dilakukannya physical modelling, maka
kedalaman, ukuran, serta dimensi suatu benda akan terlihat responnya secara lebih akurat
sehingga interpretasi data akan lebih mudah dipercaya.
2. Pemodelan 3D diperlukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang bawah
permukaan. Pemodelan 3D akan memberikan komponen berupa X, Y, dan Z sehingga data akan
dapat dilihat dari berbagai arah yang berbeda. Oleh karena itu, pemodelan 3D akan
mempermudah dalam interpretasi data lapangan.
3. Pada suatu lapangan pengukuran GPR, setidaknya pengukuran dilakukan secara inline dan
crossline. Tujuan dilakukan pengukuran secara cross line dan inline ini adalah untuk
memudahkan proses pembuatan data 3D sehingga korelasi antar data lapangan akan mudah
untuk didapatkan. Hal ini akan membuat proses interpretasi data lapangan GPR akan semakin
mudah.

Universitas Pertamina - 44
Universitas Pertamina - 45
5 DAFTAR PUSTAKA
6
Akbar, M. (2016). Penentuan Posisi Pipa Mengunakan Metode Gpr. Seminar Nasional Pendidikan
Dan Saintek , 255-256.

Andreas Tzanis, P. (2016). Matgpr Release 3.5 Manual And Technical Reference. Athens:
Department Of Geophysics University Of Athens.

Annan, A. A. (1994). Gpr Frequency Selection: Proceedings Of The Fifth International Conference
On Ground-Penetrating Radar. Ontario.

Benson. (1995). Applications Of Ground Penetrating Radar In Assessing Some Geological Hazards:
Examples Of Ground Water Contamination, Faults, Cavities. 177-193.

Daniels, J. J. (2000). Ground Penetrating Radar Fundamentals. Ohio.

Davis, J. E. (1989). Ground Penetration Radar For High Resolution Mapping Of Soil And Rock
Stratigraphy. Geophys Prospect, 531-551.

Elfarabi. (2017). Pengolahan Data Ground Penetrating Radar (Gpr) Dengan Menggunakan Software
Matgpr R-3.5. Jurnal Teknik Its, 47-50.

Geo, G. (2018). Mala Easy Locator Pro Widerange Hdr User Manual. Skolgatan: Mala Team.

George, N. J. (2016). Approximate Relationship Between Frequency-Dependent Skin Depth


Resolved From Geoelectromagnetic Pedotransfer Function And Depth Of Investigation
Resolved From Geoelectrical Measurements: A Case Study Of Coastal Formation, Southern
Nigeria. Calabar: Crossmark.

Grandis, H. (2010, Januari). Metoda Magnetotellurik (Mt). Bandung, Jawa Barat, Indonesia.

Hermawan, W. (2018). Pemodelan Ground Penetrating Radar Menggunakan Split Step Dan Finite
Difference Time Domain (Fdtd) Modelling Pada Saluran Air Sungai Cikapayang. Jurnal
Lingkungan Dan Bencana Geologi, 29-37.

Jufri, N. E. (N.D.). Aplikasi Metode Ground Penetrating Radar (Gpr) Untuk Identifikasi Seam
Batubara. Makassar.

Jung Ho K. Et Al (2007). Removal Of Ringing Noise In Gpr Data By Signal Processing. Geosciences
Journal, 75-81.

Kanata, B. E. (2008). Aplikasi Metode Geolistrik Tahanan Jenis Konfigurasi Wennerschlumberger


Untuk Survey Pipa Bawah Permukaan. Mataram.

Knödel, K. L. (2008). Environmental Geology: Handbook Of Field Methods And Case Studies. Berlin.

Mori, G. (2009). The Use Of Ground Penetrating Radar And Alternative Geophysical Techniques For
Assessing Embankments And Dykes Safety. Bologna.
Universitas Pertamina - 46
Nur, A. A. (2007). Perubahan Karakteristik Elektromagnetik Menggunakan Metode Ground
Penetrating Radar Hubungannya Dengan Karakteristik Sedimen Bawah Permukaan. Bulletin
Of Scientific Contribution, 1-2.

Oktafiani, F. Et Al (N.D.). Sistem Ground Penetrating Radar Untuk Mendeteksi Benda-Benda Di


Bawah Permukaan Tanah. Jakarta: Lipi.

Stratton, J. A. (1941). Electromagnetic Theory. New York: Mcgraw-Hill Book Co.

Supriyanto, M. (2007). Perambatan Gelombang Elektromagnetik. Depok: Departemen Fisika-Fmipa.

Syukur, A. (2009). Pemetaan Batuan Dasar Sungai Dengan Menggunakan Metode Ground
Penetrating Radar. Depok: Fakultas Mipa Universitas Indonesia.

Vega Perez Et Al. (2008). Horizontal Resolution In A Non-Destructive Shallow Gpr Survey: An
Experimental Evaluation. Ndt&E International 41, 611-620.

Universitas Pertamina - 47
Universitas Pertamina - 48
Universitas Pertamina - 49
Universitas Pertamina - 50
Universitas Pertamina - 51
Universitas Pertamina - 52
Universitas Pertamina - 53
Universitas Pertamina - 54
LAMPIRAN
1. Lampiran 1

Processing model sintetis 250 MHz:

Lampiran 4.1. Info dan Tahapan Pengolahan Data Sintetik 250 MHz

Processing model sintetis 100 MHz:

Lampiran 4.2. Info dan Tahapan Pengolahan Data Sintetik 100 MHz

Universitas Pertamina - 55
Processing model sintetis 50 MHz:

Lampiran 4.3. Info dan Tahapan Pengolahan Data Sintetik 50 MHz

2. Lampiran 2

1.1 Processing Data Lapangan High Frequency:

Lampiran 4.4. Info dan Tahapan Pengolahan Data Lapangan High Frequency Pada Lintasan 1

Universitas Pertamina - 56
Lampiran 4.5. Info dan Tahapan Pengolahan Data Lapangan High Frequency Pada Lintasan 2

Lampiran 4.6. Info dan Tahapan Pengolahan Data Lapangan High Frequency Pada Lintasan 3

Universitas Pertamina - 57
Lampiran 4.7. Info dan Tahapan Pengolahan Data Lapangan High Frequency Pada Lintasan 4

Lampiran 4.8. Info dan Tahapan Pengolahan Data Lapangan High Frequency Pada Lintasan 5

Universitas Pertamina - 58
Lampiran 4.9. Info dan Tahapan Pengolahan Data Lapangan High Frequency Pada Lintasan 6

Lampiran 4.10. Info dan Tahapan Pengolahan Data Lapangan High Frequency Pada Lintasan 7

Universitas Pertamina - 59
1.2 Processing Data Lapangan Low Frequency:

Lampiran 4.11. Info dan Tahapan Pengolahan Data Lapangan Low Frequency Pada Lintasan 1

Lampiran 4.12. Info dan Tahapan Pengolahan Data Lapangan Low Frequency Pada Lintasan 2

Universitas Pertamina - 60
Lampiran 4.13. Info dan Tahapan Pengolahan Data Lapangan Low Frequency Pada Lintasan 3

Lampiran 4.14. Info dan Tahapan Pengolahan Data Lapangan Low Frequency Pada Lintasan 4

Universitas Pertamina - 61
Lampiran 4.15. Info dan Tahapan Pengolahan Data Lapangan Low Frequency Pada Lintasan 5

Lampiran 4.16. Info dan Tahapan Pengolahan Data Lapangan Low Frequency Pada Lintasan 6

Universitas Pertamina - 62
Lampiran 4.17. Info dan Tahapan Pengolahan Data Lapangan Low Frequency Pada Lintasan 7

Universitas Pertamina - 63

Anda mungkin juga menyukai