Anda di halaman 1dari 2

Emergency severity index

Triase adalah tingkatan klasifikasi pasien berdasarkan penyakit, keparahan, prognosis, dan
ketersediaan sumber daya (3). Definisi ini lebih tepat diaplikasikan pada keadaan bencana atau
korban masal. Dalam kegawatdaruratan sehari-hari, triase lebih tepat dikatakan sebagai metode
untuk secara cepat menilai keparahan kondisi, menetapkan prioritas, dan memindahkan pasien ke
tempat yang paling tepat untuk perawatan (1).

Sebagian besar rumah sakit di Indonesia masih menggunakan sistem triase "klasik". Sistem triase
ini sebenarnya mengadaptasi sistem triase bencana, dengan membuat kategori cepat dengan
warna hitam, merah, kuning, dan hijau. Hitam untuk pasien meninggal, merah untuk pasien
gawat (ada gangguan jalan nafas, pernafasan, atau sirkulasi), kuning untuk pasien darurat, dan
sisanya hijau. Sistem tiga level ini tidak cocok bagi IGD rumah sakit modern yang perlu
mempertimbangkan evidence-based medicine atau kedokteran berbasis bukti.

Sejauh penelusuran yang bisa dilakukan penulis, ada beberapa sistem triase berbasis bukti yang
bisa diacu. Sistem tersebut antara lain Canadian Triage and Acuity Scale (CTAS) dari Canada,
Manchester Triage Scale (MTS) dari Inggris, Austraian Triage Scale (ATS) dari Australia, dan
Emergency Severity Index (ESI) dari Amerika Serikat. Berbeda dengan sistem triase "klasik",
sistem-sistem ini mengelompokkan pasien ke dalam lima level berjenjang. Sistem penjenjangan
lima level ini lebih terpercaya dibanding dengan pengelompokan tiga level seperti pada sistem
triase "klasik" (1,3).

Emergency Severity Index (ESI) dikembangkan sejak akhir tahun sembilan puluhan di Amerika
Serikat. Sistem ESI bersandar pada perawat dengan pelatihan triase secara spesifik. Pasien yang
masuk digolongkan dalam ESI 1 sampai ESI 5 sesuai pada kondisi pasien dan sumber daya
rumah sakit yang diperlukan oleh pasien (1,3,4). ESI tidak secara spesifik mempertimbangkan
diagnosis untuk penentuan level triase dan tidak memberikan batas waktu tegas kapan pasien
harus ditemui dokter.

Menarik untuk membahas ESI dalam konteks IGD rumah sakit di Indonesia. Ada sedikitnya tiga
alasan mengapa ESI lebih cocok diterapkan di sebagian besar IGD di Indonesia. Pertama,
perawat triase dipandu untuk melihat kondisi dan keparahan tanpa harus menunggu intervensi
dokter. Alasan kedua, pertimbangan pemakaian sumber daya memungkinkan IGD
memperkirakan utilisasi tempat tidur. Ketiga, sistem triase ESI menggunakan skala nyeri 1-10
dan pengukuran tanda vital yang secara umum dipakai di Indonesia.

Triase ESI bersandar pada empat pertanyaan dasar (4) algoritme pada gambar 1. Kategorisasi
ESI 1, ESI 2, dan ESI 5 telah jelas. Kategori ESI 2 dan ESI 3 mensyaratkan perawat triase
mengetahui secara tepat sumber daya yang diperlukan. Contoh sumber daya adalah pemeriksaan
laboratorium, pencitraan, pemberian cairan intravena, nebulisasi, pemasangan kateter urine, dan
penjahitan luka laserasi. Pemeriksaan darah, urine, dan sputum yang dilakukan bersamaan
dihitung satu sumber daya. Demikian pula CT Scan kepala, foto polos thorax, dan foto polos
ekstremitas bersamaan dihitung sebagai satu sumber daya.
Sejarah Indeks Keparahan Darurat
ESI adalah skala triase lima tingkat yang dikembangkan oleh dokter ED Richard Wuerz dan
David Eitel di AS Wuerz dan Eitel percaya bahwa peran utama untuk instrumen triase
departemen darurat adalah untuk memudahkan memprioritaskan pasien berdasarkan urgensi
pengobatan untuk kondisi pasien. Perawat triase menentukan prioritas dengan mengajukan
pertanyaan, "Siapa yang harus dilihat dulu?" Wuerz dan Namun, Eitel menyadari bahwa ketika
lebih dari satu pasien prioritas utama hadir pada saat bersamaan, Pertanyaan operasi menjadi,
"Berapa lama setiap pasien bisa menunggu dengan aman?" ESI unik karena juga untuk pasien
yang kurang akut, memerlukan perawat triase untuk mengantisipasi yang diharapkan kebutuhan
sumber daya (misalnya, tes dan prosedur diagnostik), selain untuk menilai ketajaman.
Singkatnya, ketajaman penilaian dialamatkan lebih dulu dan didasarkan pada stabilitas fungsi
vital pasien kemungkinan adanya ancaman hidup atau organ segera, atau presentasi berisiko
tinggi. Bagi pasien tidak ditentukan untuk menghadapi risiko ketajaman tinggi dan dianggap
"stabil," kebutuhan sumber daya yang diharapkan ditangani berdasarkan Prediksi perawat triase
yang berpengalaman mengenai sumber daya yang dibutuhkan untuk menggerakkan pasien ke
yang tepat disposisi dari ED. Kebutuhan sumber daya bisa berkisar dari tidak sampai dua atau
lebih; bagaimanapun, triase Perawat tidak pernah memperkirakan lebih dari dua sumber daya
yang didefinisikan.

Perawat menggunakan ESI telah melaporkan bahwa alat tersebut memudahkan komunikasi
ketajaman pasien lebih
efektif daripada skala triase triase tiga sebelumnya yang digunakan di lokasi. Misalnya, perawat
triase bisa
Katakan pada perawat bayaran, "Saya memerlukan tempat tidur untuk pasien tingkat 2," dan
melalui bahasa umum ini,
Perawat biaya memahami apa yang dibutuhkan tanpa penjelasan rinci tentang pasien dengan
triase
perawat. Administrator rumah sakit dapat menggunakan campuran kasus secara real time untuk
membantu membuat keputusan mengenai
membutuhkan sumber daya tambahan atau mungkin mengalihkan kedatangan ambulans. Jika
ruang tunggu memiliki banyak
Tingkat 2 pasien dengan lama menunggu, rumah sakit mungkin perlu mengembangkan rencana
untuk disposisi itu
pasien yang sedang menunggu tempat tidur rawat inap dan menempati ruang di ED.

Anda mungkin juga menyukai