Anda di halaman 1dari 19

Triase Modern Rumah Sakit dan Aplikasinya di Indonesia

Hadiki Habib, Septo Sulistio, Radi Muharris Mulyana, Imamul Aziz Albar

Instalasi Gawat Darurat RSCM


Pendahuluan
Perkembangan triase modern tak lepas dari pengembangan sistim layanan gawat darurat.
Kehidupan yang semakin kompleks menyebabkan terjadi revolusi sistem triase baik di luar
rumah sakit maupun dalam rumah sakit. Kata triase berasal dari bahasa perancis trier, yang
artinya menyusun atau memilah. Kata ini pada awalnya digunakan untuk menyebutkan proses
pemilahan biji kopi yang baik dan yang rusak. Proses pemilahan di dunia medis pertama kali
dilaksanakan sekitar tahun 1792 oleh Baron Dominique Jean Larrey, seorang dokter kepala di
Angkatan perang Napoleon.1 Pemilahan pada serdadu yang terluka dilakukan agar mereka
yang masih bisa ditolong mendapatkan prioritas penanganan. Seiring dengan berkembangnya
penelitian di bidang gawat darurat, sejak tahun 1950 an diterapkan metode triase di rumah sakit
di Amerika Serikat, namun belum ada struktur yang baku. Seiring dengan perkembangan
keilmuan dibidang gawat darurat, triase rumah sakit modern sudah berkembang menjadi salah
satu penentu arus pasien dalam layanan gawat darurat.
Triase menjadi komponen yang sangat penting di unit gawat darurat terutama karena
terjadi peningkatan drastis jumlah kunjungan pasien ke rumah sakit melalui unit ini. Berbagai
laporan dari UGD menyatakan adanya kepadatan (overcrowding) menyebabkan perlu ada
metode menentukan siapa pasien yang lebih prioritas sejak awal kedatangan. Ketepatan dalam
menentukan kriteria triase dapat memperbaiki aliran pasien yang datang ke unit gawat darurat,
menjaga sumber daya unit agar dapat fokus menangani kasus yang benar-benar gawat, dan
mengalihkan kasus tidak gawat darurat ke fasilitas kesehatan yang sesuai. Dalam rangka
meningkatkan performa pelayanan di UGD, revitalisasi peran dan fungsi triase harus dilakukan.
Untuk itu, perkembangan sistem triase rumah sakit diberbagai negara perlu diketahui, sehingga
dapat dijadikan bahan pertimbangan apakah sistim triase modern tersebut relevan diterapkan di
Indonesia.
Definisi
Triase adalah proses pengambilan keputusan yang kompleks dalam rangka menentukan
pasien mana yang berisiko meninggal, berisiko mengalami kecacatan, atau berisiko memburuk
keadaan klinisnya apabila tidak mendapatkan penanganan medis segera, dan pasien mana yang
dapat dengan aman menunggu. 3-7 Berdasarkan definisi ini, proses triase diharapkan mampu
menentukan kondisi pasien yang memang gawat darurat, dan kondisi yang berisiko gawat
darurat. Untuk membantu mengambil keputusan, dikembangkan suatu sistim penilaian kondisi
medis dan klasifikasi keparahan dan kesegeraan pelayanan berdasarkan keputusan yang diambil
dalam proses triase. Penilaian kondisi medis triase tidak hanya melibatkan komponen topangan
hidup dasar yaitu jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation) atau
disebut juga ABC approach, tapi juga melibatkan berbagai keluhan pasien dan tanda-tanda
fisik. Penilaian kondisi ini disebut dengan penilaian berdasarkan kumpulan tanda dan gejala
(syndromic approach). Contoh sindrom yang lazim dijumpai di unit gawat darurat adalah nyeri
perut, nyeri dada, sesak nafas, dan penurunan kesadaran. Triase konvensional yang
dikembangkan di medan perang dan medan bencana menetapkan sistim pengambilan keputusan
berdasarkan keadaan hidup dasar yaitu ABC approach dan fokus pada kasus-kasus trauma.
Setelah kriteria triase ditentukan, maka tingkat kegawatan dibagi dengan istilah warna, yaitu
warna merah, warna kuning, warna hijau dan warna hitam. Penyebutan warna ini kemudian
diikuti dengan pengembangan ruang penanganan medis menjadi zona merah, zona kuning, dan
zona hijau (tabel 1). Triase bencana bertujuan untuk mengerahkan segala daya upaya yang ada
untuk korban-korban yang masih mungkin diselamatkan sebanyak mungkin (do the most good
for the most people).
Tabel 1. Triase Bencana

Kriteria Deskripsi

Merah Korban dalam kondisi kritis dan membutuhkan pertolongan segera

Kuning Korban tidak dalam kondisi kritis namun membutuhkan pertolongan segera

Hijau Trauma minor dan masih mampu berjalan (walking wounded)

Hitam Meninggal

Sedangkan triase rumah sakit bertujuan menetapkan kondisi yang paling mengancam nyawa
agar dapat mengerahkan segala daya upaya dan fokus untuk melakukan pertolongan medis
pada pasien sampai keluhan pasien dan semua parameter hemodinamik terkendali. Prinsip yang
dianut adalah bagaimana agar pasien mendapatkan jenis dan kualitas pelayanan medik yang
sesuai dengan kebutuhan klinis (prinsip berkeadilan) dan penggunaan sumber daya unit yang
tepat sasaran (prinsip efisien). Selain tingkat kegawatan suatu kondisi medis, triase juga harus
menilai urgensi kondisi pasien. Urgensi berbeda dengan tingkat keparahan. Pasien dapat
dikategorikan memiliki kondisi tidak urgent tapi masih tetap membutuhkan rawat inap dirumah
sakit karena kondisinya. Setelah penilaian keparahan (severity) dan urgensi (urgency), maka
beberapa sistim triase menentukan batas waktu menunggu. Yaitu berapa lama pasien dapat
dengan aman menunggu sampai mendapatkan pengobatan di IGD. Sistim triase tidak pernah
dirancang untuk membuat diagnosis, namun seiring dengan berkembangnya ilmu kedokteran,
tindakan-tindakan penyelamatan nyawa sudah dapat dimulai secara simultan ketika triase
berjalan, seperti tindakan pembebasan jalan nafas dengan metode jaw thrust, pijat jantung luar,
penekanan langsung sumber perdarahan, pemasangan cervical collar. Triase modern yang
diterapkan di rumah sakit saat ini terbagi atas lima kelompok (tabel 2) dengan berbagai macam
penyebutan, dalam artikel ini akan diseragamkan dengan sebutan kategori.

Tabel 2. Kategori triase berdasarkan beberapa sistem


Level (ESI) Warna (MTS) Kriteria CTAS Kriteria ATS
Level 1 Merah Resusitasi Segera mengancam nyawa
Level 2 Oranye Emergensi Mengancam nyawa
Level 3 Kuning Segera (urgen) Potensi mengancam nyawa
Level 4 Hijau Segera (semi urgen) Segera
Level 5 Biru Tidak segera Tidak segera

Untuk membuat sistim triase yang efektif dan efisien, maka ada empat hal yang harus dinilai
yaitu utilitas, sistim triase harus mudah dipahami dan praktis dalam aplikasi oleh perawat gawat
darurat dan dokter. Valid, sistim triase harus mampu mengukur urgensi suatu kondisi sesuai
dengan seharusnya.reliabel, sistim triase dapat dilaksanakan oleh berbagai petugas medis dan
memberikan hasil yang seragam, dan keamanan, keputusan yang diambil melalui sistim triase
harus mampu mengarahkan pasien untuk mendapatkan pengobatan semestinya dan tepat waktu
sesuai kategori triase. Metode triase rumah sakit yang saat ini berkembang dan banyak diteliti
reliabilitas, validitas, dan efektivitasnya adalah triase Australia (Australia Triage System/ATS),
triase Kanada (Canadian Triage Acquity System/CTAS), triase Amerika Serikat (Emergency
Severity Index/ESI) dan triase Inggris dan sebagian besar Eropa (Manchester Triage Scale).
Metode terstruktur disertai pelatihan khusus ini dikembangkan sehingga proses pengambilan
keputusan triase dapat dilaksanakan secara metodis baik oleh dokter maupun perawat terlatih,
tidak berdasarkan pengalaman dan wawasan pribadi (educational guess) atau dugaan (best
guess) Metode triase lima kategori memiliki korelasi kuat dengan pemakaian sumber daya unit
gawat darurat, kebutuhan rawat inap dan rawat intensif pasien gawat darurat, angka mortalitas,
dan kesesuaian waktu yang dibutuhkan untuk pertolongan segera pada pasien baru
dibandingkan dengan metode konvensional. Triase lima kategori juga memiliki reliabilitas
interobserver yang lebih baik (κ = 0.68; p< 0.01) dibandingkan dengan triase konvensional (κ =
0.19-0.38). Dengan metode triase lima kategori ini, maka setiap pasien yang masuk ke unit
gawat darurat akan diterima oleh petugas triase. Petugas triase kemudian melakukan proses
pengambilan keputusan berdasarkan metode terstruktur yang ditetapkan dan dilakukan dalam
waktu singkat (2-5 menit), untuk kemudian mengarahkan pasien ke zona pelayanan medik yang
sesuaivkategori triase. Petugas triase harus menetapkan skala prioritas pasien, tidak melakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik mendalam, tidak perlu menetapkan rumusan masalah apalagi
menetapkan diagnosis.
Triase Australia
Sekitar tahun 1980an dimulai konsep triase lima tingkat di Rumah Sakit Ipswich,
Queensland, Australia. Konsep yang sama juga dikembangkan di rumah sakit Box Hill,
Victoria, Australia. Pembagian tingkatan ini berdasarkan tingkat kesegeraan (urgency) dari
kondisi pasien. Validasi sistim triase ini menunjukkan hasil yang lebih baik dan konsisten
dibandingkan triase konvensional dan mulai di adopsi unit gawat darurat di seluruh Australia.
Sistim nasional ini disebut dengan National Triage Scale (NTS) dan kemudian berubah nama
menjadi Australia
Triage Scale (ATS)
Australian Triage Scale (ATS) mulai berlaku sejak tahun 1994, dan terus mengalami
perbaikan. Saat ini sudah ada kurikulum resmi dari kementerian kesehatan Australia untuk
pelatihan ATS sehingga dapat diterapkan sesuai standar oleh perawat-perawat triase.
Konsep ATS ini kemudian menjadi dasar berkembangnya sistim triase di Inggris dan Kanada.
Berbeda dari fungsi awal pembentukan tingkatan triase, saat ini selain menetapkan prioritas
pasien, ATS juga memberikan batasan waktu berapa lama pasien dapat menunggu sampai
mendapatkan pertolongan pertama. Sistim ATS juga membuat pelatihan khusus triase untuk
pasien-pasien dengan kondisi tertentu seperti pasien anak-anak, pasien geriatri, pasien
gangguan mental.

Di Australia, proses triase dilakukan oleh perawat gawat darurat. Karena triase sangat
diperlukan
untuk alur pasien dalam UGD yang lancar dan aman, Australia memiliki pelatihan resmi triase
untuk perawat dan dokter. Tujuan pelatihan adalah untuk meningkatkan konsistensi peserta
dalam menetapkan kategori triase dan menurunkan lama pasien berada di UGD. Dalam sistim
triase ATS, dikembangkan mekanisme penilaian khusus kondisi urgen untuk pasien-pasien
pediatri, trauma,triase di daerah terpencil, pasien obstetri, dan gangguan perilaku.
Untuk memudahkan trier (orang yang melakukan triase) mengenali kondisi pasien, maka di
ATS terdapat kondisi-kondisi tertentu yang menjadi deskriptor klinis seperti yang tertera di
tabel 3, tujuan deskriptor ini adalah memaparkan kasus-kasus medis yang lazim dijumpai sesuai
dengan kategori triase sehingga memudahkan trier menetapkan kategori.

Tabel 3. Contoh Aplikasi triase versi ATS


Kategori Respon Deskripsi Kategori Deskripsi Klinis
ATS
Kategori 1 Segera, penilaian Kondisi yang Henti Jantung
dan tatalaksana mengancam
diberikan secara nyawa atau berisiko Henti nafas
simultan mengancam nyawa
bila Sumbatan jalan
tidak segera di nafas
intervensi mendadak yang
berisiko
menimbulkan henti
jantung
Pernafasan <
10x/menit

Distres pernafasan
berat

Tekanan darah
sistole < 80
(dewasa) atau anak
dengan
klinis shock berat

Kesadaran tidak ada


respon
atau hanya berespon
dengan
nyeri

Kejang
berkelanjutan

Gangguan perilaku
berat
yang mengancam
diri pasien
dan orang lain
Kategori 2 Penilaian dan Risiko mengancam Jalan nafas : ada
tatalaksana diberikan nyawa, stridor
secara simultan dimana kondisi pasien disertai distres
dalam waktu 10 dapat memburuk pernafasan
menit dengan berat
cepat, dapat segera
menimbulkan gagal Gangguan sirkulasi
organ - Akral dingin
bila tidak diberikan - Denyut nadi < 50
tatalaksana dalam kali per
waktu menit atau lebih dari
10 menit setelah 150x/menit pada
datang dewasa
atau - Hipotensi dengan
gangguan
Pasien memiliki hemodinamik lain
kondisi - Banyak kehilangan
yang memiliki periode darah
terapi efektif seperti
trombolitik pada ST Nyeri dada tipikal
Elevation Myocard
Infark (STEMI), Nyeri hebat apapun
trombolitik pada penyebabnya
stroke iskemik baru,
dan Delirum atau gaduh
antidotum pada kasus gelisah Defisit
keracunan atau neurologis akut
(hemiparesis,
Nyeri hebat (VAS 7- disfasia)
10)
nyeri harus diatasi Demam dengan
dalam waktu 10 menit letargi
setelah pasien datang
Mata terpercik zat
asam atau
zat basa

Trauma multipel
yang
membutuhkan
respon tim

Trauma lokal namun


berat
(traumatic
amputation,
fraktur terbuka
dengan
perdarahan)

Riwayat medis
berisiko
- Riwayat tertelan
bahan
beracun dan
berbahaya
- Riwayat tersengat
racun
binatang tertentu
- Nyeri yang diduga
berasal
dari emboli paru,
diseksi
aorta, kehamilan
ektopik

Gangguan perilaku
- Perilaku agresif
dan kasar
- Perilaku yang
membahayakan diri
sendiri dan orang
lain dan
membutuhkan
tindakan
restraint
Kategori 3 Penilaian dan Kondisi potensi Hipertensi berat
tatalaksana dapat berbahaya, Kehilangan darah
dilakukan dalam mengancam moderat
waktu 30 menit nyawa atau dapat Sesak nafas
menambah keparahan Saturasi oksigen 90-
bila 95%
penilaian dan
tatalaksana Paska kejang
tidak dilaksanakan
dalam Demam pada pasien
waktu 30 menit immunokompromais
(pasien
Atau AIDS, pasien
onkologi,
Kondisi segera, pasien dalam terapi
dimana steroid)
ada pengobatan yang
harus Muntah menetap
segera diberikan dalam dengan
waktu 30 menit untuk tanda dehidrasi
mencegah risiko
perburukan kondisi Nyeri kepala dengan
pasien atau nyeri riwayat
sedang yang harus pingsan, saat ini
diatasi dalam waktu 30 sudah sadar
menit
Nyeri sedang
apapun
penyebabnya

Nyeri dada atipikal

Nyeri perut tanpa


tanda akut
abdomen
Pasien dengan usia
> 65
tahun

Trauma ekstremitas
moderat
(deformitas,
laserasi, sensasi
perabaan menurun,
pulsasi
ekstremitas
menurun
mendadak,
mekanisme
trauma memiliki
risiko tinggi

Neonatus dengan
kondisi
stabil
Gangguan perilaku
yang
sangat tertekan,
menarik diri,
agitasi, gangguan isi
dan
bentuk pikiran akut,
potensi menyakiti
diri sendiri
Kategori 4 Penilaian dan Kondisi berpotensi Perdarahan ringan
tatalaksana dapat jatuh
dimulai dalam waktu menjadi lebih berat Terhirup benda
60 menit apabila asing tanpa
penlaian dan ada sumbatan jalan
tatalaksana nafas dan
tidak segera sesak nafas
dilaksanakan dalam
waktu 60 menit Cedera kepala
Kondisi segera, ringan tanpa
dimana riwayat pingsan
ada pengobatan yang
harus segera diberikan Nyeri ringan-sedang
dalam waktu 60 menit
untuk mencegah risiko Muntah atau diare
perburukan kondisi tanpa
pasien. ehidrasi

Kondisi medis Radang atau benda


kompleks, pasien asing di
membutuhkan mata, penglihatan
pemeriksaan yang normal
banyak, konsultasi
dengan berbagai Trauma ekstremitas
spesialis dan minor
tatalaksana diruang (keseleo, curiga
rawat inap nyeri ringan fraktur, luka
robek sederhana,
tidak ada
gangguan
neurovaskular
ekstremitas) sendi
bengkak

Nyeri perut non


spesifik

Gangguan perilaku
Pasien riwayat
gangguan
yang merusak diri
dan
mengganggu orang
lain, saat
ini dalam observasi
Kategori 5 Penilaian dan Kondisi tidak segera, Nyeri ringan
tatalaksana dapat yaitu
dimulai dalam waktu kondisi kronik atau Riwayat penyakit
120 menit minor tidak
diama gejala tidak berisiko dan saat ini
berisiko tidak bergejalan
memberat bila
pengobatan Keluhan minor yang
tidak segera diberikan saat
berkunjung masih
Masalah klinis dirasakan
administratif
Mengambil hasil lab Luka kecil (luka
dan lecet, luka robek
meminta penjelasan, kecil)
meminta sertifikat
kesehatan, meminta Kunjungan ulang
perpanjangan resep untuk ganti
verban, evaluasi
jahitan
Kunjungan untuk
imunisasi

Pasien kronis
psikiatri tanpa
gejala akut dan
hemodinamik
stabil

Triase Kanada
Triase Kanada disebut dengan The Canadian Triage and Acuity Scale (CTAS). Pertama kali
dikembangkan tahun 1990 oleh dokter yang bergerak dibidang gawat darurat. Konsep awal
CTAS mengikuti konsep ATS, dimana prioritas pasien disertai dengan waktu yang diperlukan
untuk mendapatkan penanganan awal. CTAS juga dilengkapi dengan rangkuman keluhan dan
tanda klinis khusus untuk membantu petugas melakukan identifikasi sindrom yang dialami
pasien dan menentukan level triase. Metode CTAS juga mengharuskan pengulangan triase
(retriage) dalam jangka waktu tertentu atau jika ada perubahan kondisi pasien ketika dalam
observasi. Pengambilan keputusan dalam sistim CTAS berdasarkan keluhan utama pasien, dan
hasil pemeriksaan tanda vital yang meliputi tingkat kesadaran, nadi, pernafasan, tekanan darah,
dan nyeri. Penilaian dilakukan selama 2-5 menit, namun bila pasien dianggap kategori CTAS 1
dan 2, maka harus segera dikirim ke area terapi. Seperti ATS, CTAS juga membuat batasan
waktu berapa lama pasien dapat menunggu penanganan medis awal. Batasan waktu yang
ditetapkan masih memiliki kelonggaran (tabel 4). karena kunjungan pasien yang tidak dapat
diprediksi dan dibatasi adalah realitas yang dihadapi oleh tiap unit gawat darurat.

Tabel 4. Indikator Keberhasilan Triase CTAS Berdasarkan waktu respon


Kategori CTAS Waktu untuk segera ditangani

1 Pasien dengan kategori ini 98% harus segera ditangani oleh dokter

2 Pasien dengan kategori ini 95% harus ditangani oleh dokter dalam
waktu 15

menit

3 Pasien dengan kategori ini 90% harus ditangani oleh dokter dalam
waktu 30

menit
4 Pasien dengan kategori ini 85% harus ditangani oleh dokter dalam
waktu 60

menit

5 Pasien dengan kategori ini 80% harus ditangani oleh dokter dalam
waktu 120

menit

Tahun 2003, Jimenez mengevaluasi penerapan CTAS di unit gawat darurat rumah sakit
umum
dan menunjukkan bahwa dari 32,261 kunjungan ke UGD, sebanyak 85% di triase dalam waktu
10 menit, dan 98% pasien mengikuti proses triase dengan durasi kurang dari 5 menit. Waktu
menunggu sesuai kategori triase CTAS memiliki kesesuaian 96.3% dengan panduan baku.
Sistim
kategori CTAS juga berhubungan dengan angka rawat inap, lama rawat, dan penggunaan
pemeriksaan penunjang.
Triase Inggris
Triase Inggris disebut juga dengan Manchester Triage Scale (MTS). Metode ini digunakan
terutama di Inggris dan Jerman. Ciri khas MTS adalah identifikasi sindrom pasien yang datang
ke unit gawat darurat diikuti oleh algoritma untuk mengambil keputusan. Berdasarkan keluhan
utama pasien, ditetapkan 52 algoritma contohnya algoritma trauma kepala, dan algoritma nyeri
perut. Dalam tiap algoritma ada diskriminator yang menjadi landasan pengambilan keputusan,
diskriminator tersebut adalah kondisi klinis yang merupakan tanda vital seperti tingkat
kesadaran, derajat nyeri, dan derajat obstruksi jalan nafas.
Ketika ada pasien yang datang ke unit gawat darurat, petugas triase akan menentukan keluhan
utama yang pasien atau pengantar sampaikan lalu menyesuaikan masalah yang disampaikan
dengan algoritma yang ada, dan melakukan pengambilan keputusan sesuai yang telah
ditetapkan dalam masing-masing algoritma.
Triase Amerika Serikat
Triase Amerika Serikat disebut juga dengan Emergency Severity Index (ESI) dan pertama
kali dikembangkan di akhir tahun 90 an. Ditandai dengan dibentuknya Joint Triage Five Level
Task Force oleh The Emergency Nursing Association (ENA) dan American College of
Physician (ACEP) untuk memperkenalkan lima kategori triase untuk menggantikan tiga
kategori sebelumnya. Perubahan ini berdasarkan pertimbangan kebutuhan akan presisi dalam
menentukan prioritas pasien di UGD, sehingga pasien terhindar dari keterlambatan pengobatan
akibatkategorisasi terlalu rendah, atau sebaliknya pemanfaatan UGD yang berlebihan untuk
pasien yang non urgen akibat kategorisasi terlalu tinggi. Metode ESI menentukan prioritas
penanganan awal berdasarkan sindrom yang menggambarkan keparahan pasien dan perkiraan
kebutuhan sumber daya unit gawat darurat yang dibutuhkan (pemeriksaan laboratorium,
radiologi, konsultasi spesialis terkait, dan tindakan medik di unit gawat darurat).
Apabila ada pasien baru datang ke unit gawat darurat, maka petugas triase akan melakukan
dua tahap penilaian, tahap pertama adalah menentukan keadaan awal pasien apakah berbahaya
atau tidak, bila berbahaya maka kondisi pasien termasuk level 1 atau 2. Pasien dikelompokkan
kedalam level 1 apabila terjadi ganggguan di tanda vital yang mengancam nyawa seperti henti
jantung paru dan sumbatan jalan nafas. Pasien dengan tanda vital tidak stabil dan sindrom yang
potensial mengancam akan dikelompokkan ke level 2 seperti nyeri dada tipikal, perubahan
kesadaran mendadak, nyeri berat, curiga keracunan, dan gangguan psikiatri dengan risiko
membahayakan diri pasien atau orang lain. Pasien yang tidak memenuhi kriteria level 1 dan 2
akan memasuki tahap penilaian kedua yaitu perkiraan kebutuhan pemakaian sumber daya UGD
(pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, tindakan atau terapi intravena) dan
pemeriksaan tanda vital lengkap. Apabila saat triase diperkirakan pasien yang datang tidak
membutuhkan pemeriksaan penunjang dan terapi intravena, maka pasien termasuk kategori 5,
apabila pasien diperkirakan perlu menggunakan satu sumber daya UGD (laboratorium atau
xray atau EKG, atau terapi intravena) maka termasuk kategori 4, apabila pasien diperkirakan
membutuhkan lebih dari satu sumber daya UGD untuk mengatasi masalah medisnya, maka
akan masuk kategori 3 (apabila hemodinamik stabil) atau kategori 2 (apabila hemodinamik
tidak stabil). Analisis sistematik yang dilakukan Christ menunjukkan bahwa ESI dan CTAS
adalah sistim triase yang memiliki reliabilitas paling baik.
Skema 1. Alur Pengambilan Keputusan Triase Metode ESI

Membutuhkan intervensi
segera untuk
menyelamatkan hidup
1

Kondisi risiko tinggi


Atau

2
Disorientasi/letargi
Atau
Nyeri hebat/distres
pernafasan

Berapa banyak sumber daya yang diperlukan

Tak ada Satu Banyak

5 4 3

Triase Indonesia
Sistem triase modern rumah sakit yang saat ini berkembang disusun sedemikian rupa untuk
membantu mengambil keputusan yang konsisten. Semua metode triase lima level menetapkan
petugas yang melaksanakan triase adalah perawat yang sudah terlatih. Namun tidak menutup
kemungkinan dokter terlatih yang melakukan triase untuk kondisi-kondisi unit gawat darurat
khusus (pusat rujukan nasional, pusat rujukan trauma).
Meski sudah ada petugas khusus triase, konsep triase harus dipahami oleh semua petugas
medis (dokter, perawat gawat darurat, dokter spesialis, dan dokter spesialis konsultan) dan non
medis (petugas keamanan, petugas administrasi, petugas porter), karena unit gawat darurat
adalah sebuah tim, dan kinerja tim yang menentukan efektivitas, efisiensi, dan keberhasilan
pertolongan medis.
Manajemen unit gawat darurat yang efisien membutuhkan satu tim yang mampu
mengidentifikasi kebutuhan pasien, menetapkan prioritas, memberikan pengobatan,
pemeriksaan, dan disposisi yang tepat sasaran. Semua target tersebut harus dapat dilakukan
dengan waktu yang sesuai, sehingga menghindari kejadian pengobatan terlambat dan pasien
terabaikan. Di Indonesia belum ada kesepakatan tentang metode triase apa yang digunakan di
rumah sakit. Belum ditemukan adanya literatur nasional yang mengidentifikasi metode-metode
triase yangdigunakan tiap-tiap unit gawat darurat di Indonesia. Secara empiris penulis
mengetahui bahwa pemahaman triase dalam pendidikan kesehatan sebagian besar- kalau tidak
bisa dikatakan seluruhnya- masih menggunakan konsep triase bencana (triase merah,,kuning,
hijau, dan hitam).
Beberapa rumah sakit yang mengikuti akreditasi internasional seperti Rumah Sakit Pusat
Nasional dr. Ciptomangunkusumo sudah mulai mencoba mengikuti penerapan triase lima
kategori di Instalasi Gawat Darurat. Konsep lima kategori di RSCM merupakan penyesuaian
dari konsep ATS. Banyak perbedaan pendapat antara petugas medis di IGD RSCM ketika
sistim ini diterapkan karena sebagian masih menganut paham triase bencana. Selain belum kuat
dari aspek sosialisasi dan pelatihan, pelaksanaan triase di Indonesia juga masih lemah dari
aspek ilmiah. Minimnya penelitian dan publikasi dibidang gawat darurat dapat menyebabkan
kerancuan dalam menerapkan metode triase, apakah tetap menggunakan metode konvensional,
menyadur sistim dari luar negeri setelah dilakukan uji validasi dan uji reliabilitas, atau
membuat sistim sendiri yang sesuai dengan karakteristik pasien-pasien di Indonesia. Beberapa
karakteristik pasien di Indonesia yang berbeda dengan diluar negeri antara lain di Indonesia
kasus-kasus berat diantar ke IGD oleh keluarga atau pendamping, bukan dengan ambulans
medik, sehingga perlu ada evaluasi singkat mengenai keluhan utama pasien atau mekanisme
trauma, pasien yang datang ke IGD memiliki komorbid lebih banyak, cara menyampaikan
keluhan berbeda-beda tergantung dari latar belakang budaya, serta banyak dijumpai kasus
penyakit tropik dan infeksi seperti demam berdarah dengue, demam typhoid, malaria,
chikunguya, dan leptospirosis.

Daftar Pustaka
1. Robertson-Steel I. Evolution of triage systems. Emerg Med J. 2006;23:154-6.
2. Moskop JC, Sklar DP, Geiderman JM, Schears RM, Bookman KJ. Emergency department
crowding, part 1- concept, causes, and moral consequences. Ann Emerg Med. 2009;53:605–
11.
3. Australian Government Department of Health and Aging. Emergency Triage Education Kit.
Department of Health and Aging. 2009.
4. Beveridge RC, Clarke B, Janes L, Savage N, Thompson J, Dodd G. Implementation
guidelines for the canadian emergency department triage and acuity scale. CTAS version 16.
1998.
5. Christ M, Grossmann F, Winter D, Bingisser R, Platz E. Modern triage in the emergency
department Dtsch Arztebl Int 2010;107(50):892–8.
6. Fitzgerald G, Jelinek GA, Scott D, Gerdtz MF. Emergency department triage revisited.
Emerg Med J. 2010;27:85-92.
7. Mackway-Jones K, Marsden J, Windle J. Emergency triage : Manchester Triage Group.
BMJ Books. 2006;2:1-20.
8. Lee CH. Disaster and mass casualty triage. American Medical Association Journal of Ethics.
2010;12(6):466-70.
9. Manos D, Petrie DA, Beveridge RC, Walter S, Ducharme J. Inter-observer agreement using
the Canadian emergency department triage and acuity scale. CJEM 2002;4:16–22.
10. van Veen M, Steyerberg EW, Ruige M ea. Manchester triage system in paediatric
emergency care: prospective observational study. BMJ. 2008;337: a1501.
11. Jimenez JG, Murray MJ, Beveridge R ea. Implementation of the Canadian Emergency
Department Triage and Acuity Scale (CTAS) in the principality of Andorra: can triage
parameters serve as emergency department quality indicators? . CJEM. 2003;5:315–22.
https://www.researchgate.net/profile/Hadiki_Habib/publication/311715654_Triase_Modern_R
umah_Sakit_dan_Aplikasinya_di_Indonesia/links/58576da608aeff086bfbd53d/Triase-Modern-
Rumah-Sakit-dan-Aplikasinya-di-Indonesia.pdf ( 2 September 2020 23:52 WIB )

Anda mungkin juga menyukai