Anda di halaman 1dari 161

KOMUNIKASI TERAPEUTIK DOKTER GIGI DALAM

MENANGANI PASIEN

(Studi Kasus Tentang Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi yang Praktek


Bersama dalam Menangani Pasien Anak di Kota Medan)

SKRIPSI

DEASY SONIA BR MELIALA

110904114

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015

Universitas Sumatera utara


KOMUNIKASI TERAPEUTIK DOKTER GIGI DALAM
MENANGANI PASIEN

(Studi Kasus Tentang Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi yang


Praktek Bersama dalam Menangani Pasien Anak di Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana


Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Sumatera Utara

DEASY SONIA BR MELIALA

110904114

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015

Universitas Sumatera utara


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip
maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di
kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya
bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : Deasy Sonia Br M

NIM : 110904114

Tanda Tangan :

Tanggal :

ii Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


KATA PENGANTAR

Kemuliaan bagi Allah Bapa yang Maha Kuasa karena hanya oleh anugerah
dan berkat-Nyalah saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Saya sangat
bersyukur oleh karena kasih dan pertolongan-Nya dan dukungan orang-orang
sekitar, saya dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu. Penulisan skripsi ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas
Sumatera Utara (USU).

Dalam pengerjaan skripsi ini, saya menyadari keterbatasan saya dalam hal
pengetahuan, pengalaman dan kelemahan lainnya sebagai mahasiswa. Namun, hal
tersebut tidak menjadi penghalang bagi saya untuk selalu berjuang memberikan
yang terbaik sebagai mahasiswa. Saya menyadari penyelesain skripsi ini tidak
terlepas dari dukungan, doa dan kerja sama dari berbagai pihak, baik dukungan
moral maupun materil. Oleh sebab itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua saya yaitu Bapak Demuriah Milala dan Mama Kartini
Sembiring, S.Pd yang telah memberikan semangat, dukungan, dan doa
di dalam setiap keterbatasannya sebagai manusia, tetapi terus berusaha
memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Demikian juga untuk
kakak dan abang Denni Sarai Milala, Amd, drg. Della Novela Talenta
Milala, dan Jhon Paskal Milala ST yang telah memberikan dukungan,
doa dan semangat kepada saya. Juga untuk keponakan saya Dika,
Farrel, Vayo, Sharon, Gladys dan Daffin yang senantiasa menghibur
dan menyemangati saya. Kiranya kasih dan damai Tuhan senantiasa
beserta kita selamanya.
2. Bapak Prof. Dr.Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Fatma Wardi Lubis, M.A selaku ketua Departemen Ilmu
Komunikasi.
4. Ibu Dra. Dayana, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi.
iii Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


5. Ibu Lusiana Andriani Lubis, M.A, Ph.D selaku dosen pembimbing
saya. Beliau yang telah memberikan pengajaran arahan, serta nasehat
kepada penulis selama pengerjaan skripsi ini.
6. Seluruh dosen dan staf pengajar yang telah membimbing saya selama
perkuliahan di Departemen Ilmu Komunikasi.
7. Seluruh informan dan pihak-pihak yang telah bersedia meluangkan
waktunya dan membantu menyelesaikan skripsi ini.
8. Laboratorium Ilmu Komunikasi yang telah membantu saya
mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
9. Staf administrasi kampus, kak Maya dan Pak Tangkas.
10. Para informan yaitu drg. Martha, drg. Berna, drg. Juli, drg. Cristy, drg.
Ida, drg. Erni, drg. Ridwan, drg. Indira, drg. Afrida, Ibu Sity, Ibu Indri,
Ibu Mery dan Kak Merta yang sudah berpartisipasi dalam skripsi ini.
11. Masmur Purba, SH yang telah menyemangati, mendoakan dan
membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
12. Yesie Meirisa dan Erawati Siagian yang telah menjadi teman terdekat
penulis dan juga telah menyemangati dan membantu penulis dalam
mengerjakan skripsi ini.
13. Teman-teman Ilmu Komunikasi stambuk 2011 yang telah menjadi
teman terbaik penulis, khususnya Zikra, Hans, Putri, Gita, Sebrina,
Mira, Elsa, Sondang, terima kasih atas semangat dan bantuannya.
14. Rekan-rekan penulis yang tidak dapat dituliskan satu per satu.

Akhir kata penulis berharap agar Tuhan Yang Maha Esa senantiasa
memberkati, melindungi dan melimpahkan kasih karunia-Nya kepada semua
pihak yang sudah berpartisipasi dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini
dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu.

Medan, Maret 2015

Deasy Sonia Br Meliala

iv Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan
di bawah ini:
Nama : Deasy Sonia Br M
NIM : 110904114
Departemen : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas : Sumatera Utara
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-ekslusive
Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi dalam Menangani Pasien (Studi Kasus
tentang Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi yang Praktek Bersama dalam
Menangani Pasien Anak di Kota Medan).

Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak
menyimpan, mengaihmediakan/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan
data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta
izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta
dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan
Pada Tanggal :
Yang Menyatakan

(Deasy Sonia Br M)
v Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi yang Praktek


Bersama dalam Menangani Pasien Anak di Kota Medan. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui bagaimana proses komunikasi terapeutik dokter gigi dalam
menangani pasien anak, mengetahui manfaat pelaksanaan komunikasi terapeutik
dan pelayanan dokter gigi kepada pasien anak, dan untuk mengetahui hambatan
pelaksanaan komunikasi terapeutik di tempat praktek bersama dokter gigi di Kota
Medan.
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus yaitu metode analisis data
kualitatif yang menekankan pada kasus-kasus tertentu yang terjadi pada objek
analisis. Dengan menggunakan teknik wawancara mendalam, diharapkan dapat
mengumpulkan data sebanyak-banyaknya. Penelitian ini juga dilengkapi dengan
teknik triangulasi untuk mengembangkan validitas data. Subjek penelitiannya
adalah sembilan orang dokter gigi yang praktek bersama sebagai informan kunci
dan tiga orang tua pasien dan seorang perawat gigi sebagai informan tambahan
untuk memperkuat hasil penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi terapeutik dokter gigi
dalam menangani pasien anak telah berjalan dengan lancar dan berhasil. Secara
keseluruhan hal yang sangat dibutuhkan dokter gigi ketika melakukan komunikasi
terapeutik adalah kesabaran, sikap yang ramah, hangat, bersahabat, empati dan
mampu membawakan diri selayaknya anak-anak. Jika dokter gigi memiliki semua
sifat tersebut, maka mereka dapat mengubah mindset anak tentang dokter gigi,
mereka juga dapat mengurangi rasa takut anak dan pada akhirnya dapat mengubah
sikap dan perilaku anak sesuai dengan yang diinginkan sehingga dapat dilakukan
perawatan gigi dan mulut yang optimal.

Kata Kunci:
Komunikasi Terapeutik, Pasien Anak, Rasa Takut Anak.

vi Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


ABSTRACT

This research titled Therapeutic Communication of Dentist who Work


Together when Handling Paediatric Patients in Medan, North Sumatera. The
purposes of this research are to knowing about the process of dentist therapeutic
communication when handling paediatric patients, and then to knowing the
benefits of the implementation of therapeutic communication and dental services
to paediatric patients, and to identify the barriers of the therapeutic
communication implementation.
This research uses the case study method, that is a method of qualitative
data analysis that emphasizes the specific cases that occurred on the object of
analysis. By using the technique of in-depth interviews expected to collect the
results as much as possible. This study is also equipped with a triangulation
technique to develop the validity of the results. Subjects of this research are nine
dentists who work together as core informants and three parents of patients and a
dental nurse as addition informants to strengthening the research results.
The results of this research showed that dentist therapeutic
communications when handling paediatric patients has been doing comfortly and
successfully. Overall a very necessary thing when doing therapeutic
communication is patience, friendly attitude, warm, friendly, empathetic and able
to present themselves appropriately children. If a dentist has all of these
properties, then they can change the mindset of a child about the dentist, they also
can reduce the fear of the child and could ultimately change the attitudes and
behavior of children in accordance with the desired order to take care of oral
health.

Keywords:
Therapeutic Communication, Paediatric Patients, The Fear of The Child.

vii Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS........................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………… iii
KATA PENGANTAR……………………………………………………... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………….. vi
ABSTRAK………………………………………………………………….. vii
DAFTAR ISI……………………………………………………………….. ix
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………. xi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………............ xii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Konteks Masalah……………………………………………….... 1
1.2 Fokus Masalah……………………………………………………. 6
1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………. 7
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………….. 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA


2.1 Paradigma Kajian………………………………………………… 9
2.2 Kajian Pustaka……………………………………………………. 10
2.2.1 Komunikasi Antar Pribadi………………………………… 10
2.2.1.1 Defenisi Komunikasi Antar Pribadi……………… 10
2.2.1.2 Tujuan Komunikasi Antar Pribadi………………. . 10
2.2.1.3 Karakteristik Komunikasi Antar Pribadi…………. 11
2.2.1.4 Komunikasi Verbal dan Non Verbal……………... 13
2.2.2 Komunikasi Terapeutik…………………………………… 15
2.2.2.1 Defenisi Komunikasi Terapeutik………………… 15
2.2.2.2 Tujuan Komunikasi Terapeutik………………….. 16
2.2.2.3 Teknik Komunikasi Terapeutik………………….. 16
2.2.2.4 Fase Hubungan Komunikasi Terapeutik.………… 18
2.2.2.5 Prinsip-prinsip Komunikasi Terapeutik………….. 20
2.2.2.6 Sikap Komunikasi Terapeutik…………………… 21
2.3 Model Teoritis……………………………………………………. 22

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


3.1 Metode Penelitian……………………………………………….. 23
3.2 Objek Penelitian…………………………………………………. 23
3.3. Lokasi Penelitian dan Subjek Penelitian………………………... 23
8 Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


9

3.4 Kerangka Analisis……………………………………………….. 25


3.5 Teknik Pengumpulan Data………………………………………. 25
3.6 Teknik Analisis Data……………………………………………. 27

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Deskripsi Subjek Penelitian…………………………………….. 31
4.2 Hasil Wawancara dan Pengamatan…………………………….. 32
4.3 Pembahasan…………………………………………………….. 114
4.3.1 Proses Komunikasi Terapeutik......................................... 115
4.3.2 Manfaat Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik................. 119
4.3.3 Hambatan Komunikasi Terapeutik................................... 120

BAB V SIMPULAN DAN SARAN


5.1 Simpulan……………………………………………………….. 133
5.2 Saran……………………………………………………………. 133
5.3 Implikasi Teoritis……………………………………………….. 134
5.4 Implikasi Praktis………………………………………………... 134

DAFTAR REFERENSI………………………………………………….. 135

LAMPIRAN
Surat Izin Penelitian
Biodata Peneliti
Karakteristik Informan
Daftar Pertanyaan Wawancara
Daftar Bimbingan Skripsi
Foto Dokumentasi

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


10

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Model Teoritis 22

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


11

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Izin Penelitian

2. Biodata Peneliti

3. Karakteristik Informan

4. Daftar Pertanyaan Wawancara

5. Daftar Bimbingan Skripsi

6. Foto Dokumentasi

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi yang Praktek


Bersama dalam Menangani Pasien Anak di Kota Medan. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui bagaimana proses komunikasi terapeutik dokter gigi dalam
menangani pasien anak, mengetahui manfaat pelaksanaan komunikasi terapeutik
dan pelayanan dokter gigi kepada pasien anak, dan untuk mengetahui hambatan
pelaksanaan komunikasi terapeutik di tempat praktek bersama dokter gigi di Kota
Medan.
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus yaitu metode analisis data
kualitatif yang menekankan pada kasus-kasus tertentu yang terjadi pada objek
analisis. Dengan menggunakan teknik wawancara mendalam, diharapkan dapat
mengumpulkan data sebanyak-banyaknya. Penelitian ini juga dilengkapi dengan
teknik triangulasi untuk mengembangkan validitas data. Subjek penelitiannya
adalah sembilan orang dokter gigi yang praktek bersama sebagai informan kunci
dan tiga orang tua pasien dan seorang perawat gigi sebagai informan tambahan
untuk memperkuat hasil penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi terapeutik dokter gigi
dalam menangani pasien anak telah berjalan dengan lancar dan berhasil. Secara
keseluruhan hal yang sangat dibutuhkan dokter gigi ketika melakukan komunikasi
terapeutik adalah kesabaran, sikap yang ramah, hangat, bersahabat, empati dan
mampu membawakan diri selayaknya anak-anak. Jika dokter gigi memiliki semua
sifat tersebut, maka mereka dapat mengubah mindset anak tentang dokter gigi,
mereka juga dapat mengurangi rasa takut anak dan pada akhirnya dapat mengubah
sikap dan perilaku anak sesuai dengan yang diinginkan sehingga dapat dilakukan
perawatan gigi dan mulut yang optimal.

Kata Kunci:
Komunikasi Terapeutik, Pasien Anak, Rasa Takut Anak.

vi Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


ABSTRACT

This research titled Therapeutic Communication of Dentist who Work


Together when Handling Paediatric Patients in Medan, North Sumatera. The
purposes of this research are to knowing about the process of dentist therapeutic
communication when handling paediatric patients, and then to knowing the
benefits of the implementation of therapeutic communication and dental services
to paediatric patients, and to identify the barriers of the therapeutic
communication implementation.
This research uses the case study method, that is a method of qualitative
data analysis that emphasizes the specific cases that occurred on the object of
analysis. By using the technique of in-depth interviews expected to collect the
results as much as possible. This study is also equipped with a triangulation
technique to develop the validity of the results. Subjects of this research are nine
dentists who work together as core informants and three parents of patients and a
dental nurse as addition informants to strengthening the research results.
The results of this research showed that dentist therapeutic
communications when handling paediatric patients has been doing comfortly and
successfully. Overall a very necessary thing when doing therapeutic
communication is patience, friendly attitude, warm, friendly, empathetic and able
to present themselves appropriately children. If a dentist has all of these
properties, then they can change the mindset of a child about the dentist, they also
can reduce the fear of the child and could ultimately change the attitudes and
behavior of children in accordance with the desired order to take care of oral
health.

Keywords:
Therapeutic Communication, Paediatric Patients, The Fear of The Child.

vii Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


12

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah


Seiring dengan perkembangan zaman, berbagai macam inovasi baru
bermunculan dalam dunia kesehatan. Dewasa ini dunia kesehatan semakin
mengutamakan komunikasi dalam proses penyembuhan yang dapat menunjang
kesembuhan para pasiennya. Terdapat banyak metode pengobatan dengan
menggunakan komunikasi terapeutik yang telah dilakukan kepada masyarakat
luas. Terapeutik merupakan kata sifat yang dihubungkan dengan seni dari
penyembuhan. Maka dapat diartikan bahwa terapeutik adalah segala sesuatu yang
memfasilitasi proses penyembuhan. Sehingga komunikasi terapeutik itu adalah
komunikasi yang direncanakan dan dilakukan untuk membantu
penyembuhan/pemulihan pasien (Damaiyanti, 2008 : 11).
Komunikasi tentu sangat berperan penting dalam proses pengobatan dan
pemulihan kondisi kesehatan pasien. Seluruh tenaga medis seperti dokter, perawat
atau bidan harus dapat berkomunikasi dan berinteraksi langsung dengan pasien
sehingga dapat melayaninya baik secara fisik maupun mental. Seorang dokter atau
perawat biasanya akan melakukan tindakan medis semaksimal mungkin untuk
dapat membantu mengobati pasiennya. Namun, tidak hanya usaha maksimal yang
dibutuhkan oleh dokter dan perawat pada saat ini, mereka juga dituntut untuk
memiliki keterampilan berkomunikasi yang baik agar dapat lebih terbuka dalam
berinteraksi dengan pasien. Terlebih lagi dalam ilmu kedokteran gigi dengan
seorang anak sebagai pasiennya. Tentu ia harus dapat memahami psikologis
pasiennya untuk dapat membujuk dan menghilangkan rasa takut dan cemas dalam
diri anak tersebut. Komunikasi terapeutik digunakan oleh dokter gigi untuk
membantu dan membimbing pasien agar dapat mengelola rasa takut dan
kecemasan yang ada didalam dirinya.
Shannon dan Weaver (1949) menyatakan bahwa komunikasi adalah bentuk
interaksi manusia yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja
ataupun tidak sengaja. Tidak terbatas pada bentuk komunikasi yang menggunakan
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


13

bahasa ataupun kata-kata (verbal), tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan,
seni, teknologi dan gerakan tubuh (Cangara, 2006 : 19). Sesuai dengan pengertian
komunikasi diatas, seorang dokter gigi tentu dapat menjalin hubungan dan
kedekatan dengan pasiennya dengan berinteraksi yang saling pengaruh
mempengaruhi satu sama lainnya. Hanya saja komunikasi yang biasa dipakai oleh
ilmu kedokteran dalam membantu proses penyembuhan pasiennya dinamakan
‘Komunikasi Terapeutik’.
Proses komunikasi terapeutik dalam ilmu kedokteran gigi akan diawali
dengan pemberian sugesti berupa pemberian kata-kata yang positif dan
menenangkan kepada pasien. Setelah pasien merasa nyaman dan tenang, barulah
dokter gigi mulai melakukan pengobatan dengan tindakan medis. Dalam
menghadapi pasien anak, tentu seorang dokter tersebut harus dapat mengambil
perhatian anak terlebih dahulu, kemudian mampu bersikap ramah sehingga anak
akan merasa nyaman dengan dokter tersebut, dan kemudian barulah membujuk
dia untuk menghilangkan rasa takut yang ada didalam dirinya dengan mengatakan
bahwa proses pengobatan tersebut tidak akan menimbulkan rasa sakit yang lama
dan proses penyembuhannya tidak akan berlangsung lama.
Kasus mengenai rasa cemas dan takut dalam diri anak jika berurusan dengan
dokter gigi merupakan masalah yang sudah banyak terdapat di kehidupan
masyarakat saat ini. Kemajuan zaman juga tidak dapat mengubah kebiasaan ini
secara drastis karena melihat kehidupan modernisasi pada sekarang ini ternyata
masih banyak anak-anak yang merasa sangat takut ketika diajak orang tuanya
untuk pergi ke dokter gigi. Padahal kesehatan gigi dan mulut adalah kesehatan
yang sangat perlu dijaga dari usia dini karena mulut adalah salah satu organ tubuh
yang sangat berpengaruh dalam proses pencernaan di dalam tubuh sehingga jika
kesehatannya terganggu maka akan berpengaruh juga terhadap proses pencernaan
di dalam tubuh anak tersebut. Namun dengan hadirnya ilmu komunikasi
terapeutik dalam ilmu kedokteran gigi diharapkan dapat mengubah citra dokter
gigi yang tadinya dianggap sebagai seorang yang menakutkan, kini berubah
menjadi sosok yang ramah dan bersahabat.
Rasa takut dan cemas yang ada dalam diri anak telah diakui selama
bertahun-tahun membuat anak sering menunda dan menolak untuk melakukan
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


14

perawatan kesehatan gigi dan mulut mereka ke dokter gigi. Banyak anak yang
merasa bingung ketika merasakan sakit gigi, karena disatu sisi ketika orang tuanya
mengajak dia untuk berobat ke dokter gigi, ia akan merasa sangat takut untuk
berurusan dengan seorang dokter gigi, namun disisi yang lain ia akan merasa
sangat tersiksa untuk menahan rasa sakit pada giginya.
Salah satu aspek terpenting dalam mengatur rasa takut dan cemas anak
dalam perawatan kesehatan gigi dan mulut yang dapat dilakukan oleh seorang
dokter gigi adalah dengan mengontrol rasa sakit, karena dengan pengalaman yang
tidak menyenangkan ketika melakukan perawatan gigi akan berdampak negatif
terhadap perawatan giginya di masa mendatang. Bahkan pengalaman yang tidak
menyenangkan ketika berobat ke dokter gigi, dapat menimbulkan rasa trauma
dalam diri anak. Kebiasaan menunda perawatan gigi untuk menghindari rasa takut
juga akan mengakibatkan semakin menurunnya tingkat kesehatan gigi dan mulut
anak, dan terkadang menambah ketakutan dalam diri anak untuk berobat ke dokter
gigi.
Umumnya perawatan gigi anak dimulai saat usia sekolah dasar, dimana
banyak diantaranya mengalami pengalaman pertama yang kurang menyenangkan
sehingga menumpuk menjadi suatu kecemasan yang berkembang menjadi rasa
takut dan kemudian menetap hingga anak beranjak dewasa.
Perkembangan emosi tentunya sangat berhubungan dengan seluruh aspek
perkembangan anak. Perkembangan sosial dan emosi anak merupakan hal yang
mendasar dalam perkembangan kepribadiannya di masa yang akan datang. Setiap
orang akan mempunyai emosi rasa senang, marah, kesal dalam menghadapi
lingkunganya setiap hari.
Menurut Beaty (1994) ada beberapa emosi yang umum pada anak sebagai
berikut : (a) kemarahan, terjadi saat keinginan tidak terpenuhi; (b) kasih sayang,
sesuatu yang sangat dibutuhkan anak setiap saat; (c) cemburu, apabila ada hal
yang dilakukan anak lain melebihi apa yang dia lakukan; (d) takut akan sesuatu
yang baru, (e) sedih yang disebabkan hilangnya anggota keluarga, mainan, atau
teman; dan (f) senang dan malu (Susanto, 2011). Setiap anak tentunya mengalami
perkembangan emosi yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


15

Rasa cemas dan takut yang ada di dalam diri pasien anak, tentunya
berpengaruh pada sikapnya ketika diajak untuk konsultasi ke dokter gigi oleh
orangtuanya. Adapun sikap adalah cara seseorang menerima atau menolak sesuatu
yang didasarkan pada cara dia memberikan penilaian terhadap objek tertentu yang
berguna ataupun tidak bagi dirinya. Sikap seseorang dapat muncul sebagai hasil
dari proses pengamatan dan dari apa yang diterima dan dipelajari melalui
inderanya (Nuryanti, 2008 : 61). Pada umumnya, anak-anak akan menolak untuk
pergi ke dokter gigi karena dipenuhi rasa takut dan cemas yang selalu
dirasakannya.
Kecemasan terhadap perawatan gigi seringkali dinyatakan dengan
penolakan perawatan gigi atau ketakutan terhadap dokter gigi. Banyak hal yang
menyebabkan timbulnya kecemasan atau rasa takut anak terhadap perawatan gigi,
antara lain: a) pengalaman negatif selama kunjungan ke dokter gigi sebelumnya,
b) kesan negatif dari perawatan gigi yang didapatkan dari pengalaman keluarga
atau temannya, c) perasaan yang asing selama perawatan gigi misalnya
penggunaan sarung tangan, masker, pelindung mata oleh dokter gigi, takut jarum
suntik, dan lain-lain, d) merasa diejek atau disalahkan oleh karena keadaan
kesehatan rongga mulut yang tidak baik, e) bunyi dari alat-alat kedokteran gigi
misalnya bunyi bur, ultra skeler, dan lain-lain, f) kecemasan yang tidak diketahui
penyebabnya.
Rasa sakit dalam menjalani perawatan gigi sering disamakan persepsi oleh
pasien, terutama pada masalah pertumbuhan gigi yang mengharuskan untuk
dilakukannya pencabutan, penyakit gigi yang harus ditanggulangi dengan
tindakan bedah, atau gigi yang harus dirawat melalui saluran akar. Oleh karenanya
dokter gigi dianggap perlu untuk mengetahui cara mengontrol rasa sakit untuk
membantu anak dalam menanggulangi situasi seperti ini baik sebelum dan
sesudah perawatan. Adapun teknik yang dapat dilakukan adalah dengan
menggunakan anastesi lokal atau obat anti sakit. Anastesi lokal adalah cara untuk
menghilangkan rasa nyeri sementara dibagian tubuh tertentu tanpa menghilangkan
tingkat kesadaran. Pencegahan rasa nyeri selama prosedur perawatan gigi dapat
memelihara dan menjaga hubungan yang terjalin antara dokter gigi dengan pasien,

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


16

yaitu dalam membangun kepercayaan, menghilangkan rasa cemas dan takut


pasien, dan juga memberikan sikap positif terhadap perawatan gigi.
Selain menggunakan anastesi lokal, ada satu cara yang sangat efektif yang
dapat dilakukan seorang dokter gigi untuk menjalin hubungan dengan pasiennya,
yaitu dengan menggunakan komunikasi. Rogers bersama D. Lawrence Kincaid
(1981) melahirkan sebuah defenisi komunikasi, yaitu komunikasi adalah suatu
proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran
informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling
pengertian yang mendalam (Cangara, 2006 : 19). Merujuk pada pengertian
komunikasi di atas, seorang dokter tentu dapat menggunakan komunikasi sebagai
‘alat’ untuk mendekatkan diri dengan seorang pasiennya. Ia dan pasiennya dapat
saling berbagi informasi untuk dapat saling mengerti satu sama lain sehingga
pasien anak tersebut akan merasa nyaman dan menganggap dokter tersebut
sebagai seorang teman dan bukan sebagai sosok yang patut untuk ditakuti.
Proses komunikasi terapeutik dalam ilmu kedokteran gigi akan diawali
dengan pemberian sugesti berupa pemberian kata-kata yang positif dan
menenangkan kepada pasien. Setelah pasien merasa nyaman dan tenang, barulah
dokter gigi mulai melakukan pengobatan dengan tindakan medis. Dalam
menghadapi pasien anak, tentu seorang dokter tersebut harus dapat mengambil
perhatian anak terlebih dahulu. Kemudian mampu bersikap ramah sehingga anak
akan merasa nyaman dengan dokter tersebut, dokter gigi harus mampu membujuk
anak untuk menghilangkan rasa takut yang ada pada dirinya dengan mengatakan
bahwa proses pengobatan tersebut tidak akan menimbulkan rasa sakit yang lama
dan proses penyembuhannya juga tidak akan berlangsung lama.
Dalam memilih lokasi penelitian, peneliti sempat mengunjungi poli gigi
Rumah Sakit Adam Malik Medan. Namun peneliti menemukan ada beberapa
hambatan dalam mengurus surat izin penelitian di sana. Selain proses pengurusan
surat izin yang memakan waktu lama, peneliti juga melihat bahwa pasien anak
yang berobat disana jumlahnya sangat sedikit. Ketika peneliti menanyakan jumlah
pasien per hari dan jumlah dokter gigi yang dinas di bagian poli gigi, pihak
rumah sakit tidak bersedia memberikan data kepada peneliti karena tidak adanya
surat izin penelitian. Oleh karenanya, peneliti memutuskan untuk menghitung
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


17

secara manual jumlah pasien yang mengantri di poli gigi rumah sakit tersebut.
Hari Senin, Selasa, Rabu adalah hari dimana banyak pasien poli gigi yang datang
mengantri. Peneliti kemudian bertanya kepada Ibu Sitepu, salah satu pasien yang
mengantri di poli gigi terkait alasan beliau datang pada hari Senin. Beliau
mengatakan jika datang hari Senin, biasanya dokter gigi yang dinas disini datang
semua, jadi penanganannya bisa lebih cepat dan efektif.
Setelah meneliti selama tiga hari yaitu dari tanggal 23 Februari 2015 sampai
tanggal 25 Februari 2015, peneliti kemudian mendapatkan jumlah pasien yaitu
sebagai berikut : pada hari Senin ada 29 pasien yang mengantri, tetapi tidak ada
satu pun pasien anak. Pada hari Selasa, ada sebanyak 23 pasien yang mengantri,
dan tetap tidak ada pasien anak. Pada hari Rabu, hanya ada 18 pasien yang
mengantri, dan pasien anak tetapi tidak ada.
Pada akhirnya peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian kepada
dokter gigi yang praktek bersama, karena di tempat praktek bersama peneliti dapat
langsung menemui dua orang atau lebih dokter gigi yang menangani pasien anak,
sehingga peneliti dapat mengumpulkan data yang lengkap mengenai proses
pelaksanaan komunikasi terapeutik ini di tempat praktek. Selain itu, di tempat
prakteknya masing-masing dokter gigi akan dapat meluangkan waktunya lebih
banyak untuk bercerita mengenai komunikasi terapeutik ini. Selanjutnya, peneliti
dapat langsung melakukan observasi atau pengamatan mengenai komunikasi
terapeutik antara dokter gigi dan pasien anak tersebut. Peneliti juga akan
melakukan wawancara dengan orang tua pasien anak tersebut. Sehingga peneliti
sangat berharap hasil penelitian akan lebih maksimal karena berhubungan
langsung dengan dokter gigi dan orang tua pasien anak. Peneliti sangat tertarik
untuk membahas topik ini, karena peneliti ingin mengetahui bagaimana
sebenarnya proses komunikasi terapeutik ini dalam praktek bersama ataupun
klinik bersama dokter gigi di Kota Medan.

1.2 Fokus Masalah


Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan diatas, maka peneliti
merumuskan fokus masalah dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


18

pelaksanaan komunikasi terapeutik dokter gigi yang praktek bersama dalam


menangani pasien anak di Kota Medan?”.
Secara mikro masalah yang ingin diteliti adalah:
1. Bagaimana proses komunikasi terapeutik dokter gigi dalam menangani pasien
anak di Kota Medan?
2. Apa manfaat pelaksanaan komunikasi terapeutik dan pelayanan dokter gigi
kepada pasien anak?
3. Apa hambatan dalam pelaksanaan komunikasi terapeutik yang dirasakan oleh
dokter gigi dalam menangani pasien anak?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui proses komunikasi terapeutik dokter gigi dalam menangani
pasien anak di tempat praktek.
2. Untuk mengetahui manfaat pelaksanaan komunikasi terapeutik dan pelayanan
dokter gigi kepada pasien anak.
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam pelaksanaan komunikasi
terapeutik oleh dokter gigi kepada pasien anak di tempat praktek.

1.4 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat penelitian ini yaitu sebagai berikut :
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan mampu memperluas atau menambah khasanah
penelitian komunikasi dan mampu memberikan konstribusi positif
terhadap perkembangan ilmu mahasiswa, khususnya bagi mahasiswa Ilmu
komunikasi FISIP USU.
2. Manfaat Teoritis
Penelitian ini untuk menerapkan ilmu yang sudah didapat selama menjadi
mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU serta diharapkan
mampu menambah pengetahuan dan memperluas wawasan peneliti
mengenai komunikasi terapeutik antara dokter gigi dan pasien anak.
3. Manfaat Praktis
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


19

Melalui penelitian ini, diharapkan bisa memberikan pandangan dan


pengetahuan kepada siapa saja mengenai komunikasi terapeutik antara
dokter gigi dan pasien anak, baik mengenai prosesnya maupun manfaat
yang didapatkan dari penerapan komunikasi terapeutik oleh doker gigi.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian


Istilah konstruksi sosial atas realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan
oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya yang berjudul “The
Social Constuction of Reality, a Treatise in The Sociological of Knowledge”
(Bungin, 2006 : 189). Lalu ia kemudian menggambarkan proses sosial memalui
tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus menerus
suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.
Dalam aliran filsafat, konstruktivisme muncul sejak Socrates menemukan
jiwa dan tubuh manysia dan sejak Plato menemukan akal budi dan ide. Gagasan
tersebut lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah informasi,
relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya. Ia juga mengatakan
bahwa manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan
kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan
adalah fakta (Bungin, 2006 : 189).
Asumsi dasar dalam pendekatan konstruktivisme adalah realitas tidak dapat
dibentuk seecara ilmiah, namun juga, turun karena campur tangan Tuhan. Tapi
sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Pandangan konstruktivisme memandang
realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil
konstruksi. Sehingga realitas yang sama bisa ditanggapi, dimaknai dan
dikonstruksi secara berbeda-beda oleh setiap orang karena setiap orang
mempunyai pengalaman, pendidikan dan lingkungan sosial yang berbeda-beda.
Selain itu, paradigma konstruktivisme juga memandang realitas sebagai
suatu bentukan secara simbolik melalui interaksi sosial. Keberadaan simbol
ataupun bahasa menjadi penting dalam membentuk realitas. Dalam artian hanya
melihat bagaimana bahasa dan simbol diproduksi dan direproduksi lewat berbagai
hubungan yang terbatas antara sumber dan narasumber yang menyertai proses
hubungan tersebut. Dalam bahasa sederhanya, hanya menyentuh level mikro
(konsep diri sumber) dan level meso (lingkungan dimana sumber itu berada) dan

20 Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


21

tidak menyentuh hingga level makro (sistem politik, budaya, ekonomi, dan lain-
lain).
Konsentrasi analisis pada paradigma ini adalah menemukan bagaimana
suatu peristiwa ataupun realitas dikonstruksi, dan dengan cara apa konstruksi itu
dibentuk.

2.2 Kajian Pustaka


2.2.1 Komunikasi Antar Pribadi
2.2.1.1 Defenisi Komunikasi Antar Pribadi
Komunikasi memegang peranan penting dalam kehidupan manusia sebagai
makhluk sosial. Komunikasi antar pribadi merupakan salah satu bagian ilmu
komunikasi yang membahas mengenai proses pertukaran pesan antar dua atau tiga
orang baik secara tatap muka maupun melalui media. Melalui komunikasi antar
pribadi manusia dapat mengenal dirinya sendiri dan orang lain, dia juga dapat
mengetahui dunia luar, dan bisa menjalin hubungan yang lebih bermakna juga
dapat memperoleh hiburan ataupun menghibur orang lain.
Menurut Joseph A. Devito komunikasi antar pribadi adalah proses
pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau diantara
sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik
seketika (Fajar, 2009 : 78). Berdasarkan defenisi tersebut, komunikasi antar
pribadi dapat berlangsung antara dua orang atau lebih yang memang sedang
berdua atau bertiga dalam suatu situasi tertentu ataupun antara dua atau tiga orang
yang sedang dalam suatu kegiatan.
Fungsi komunikasi antar pribadi adalah mengendalikan lingkungan guna
memperoleh imbalan-imbalan tertentu berupa fisik, ekonomi dan sosial.
Keberhasilan yang relatif dalam melakukan pengendalian lingkungan melalui
komunikasi menambah kemungkinan menjadi bahagia, kehidupan pribadi yang
produktif. Kegagalan relatif mengarah kepada ketidakbahagiaan akhirnya bisa
terjadi krisis identitas diri (Budyatna & Leila, 2012 : 27).

2.2.1.2 Tujuan Komunikasi Antar Pribadi


Tujuan komunikasi antar pribadi adalah
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


22

1) Mengenal diri sendiri dan orang lain


Melalui komunikasi antar pribadi kita dapat belajar mengenai bagaimana
dan sejauhmana kita harus membuka diri pada orang lain, dan juga akan
membuat kita mengetahui nilai, sikap dan prilaku orang lain.
2) Mengetahui dunia luar
Komunikasi antar pribadi memungkinkan kita untuk memahami
lingkungan di sekitar kita dengan baik, yaitu tentang objek dan kejadian-
kejadian orang lain.
3) Menciptakan dan memelihara hubungan menjadi bermakna
Dengan berkomunikasi antar pribadi kita dapat menciptakan dan
memelihara hubungan dengan orang lain yang dapat membantu
mengurangi kesepian dan ketegangan serta membuat kita merasa kita lebih
positif tentang diri kita sendiri.
4) Mengubah sikap dan prilaku
Komunikasi antar pribadi sering digunakan untuk mempengaruhi orang
lain dengan persuasi.
5) Bermain dan mencari hiburan
Bermain dan mencari hiburan sangat diperlukan dalam kehidupan
manusia, karena bisa memberi suasana yang lepas.
6) Membantu
Komunikasi antar pribadi sering digunakan oleh psikiater dan ahli terapi
untuk menolong orang lain (Fajar, 2009 : 78).

2.2.1.3 Karakteristik Komunikasi Antar Pribadi

Karakteristik komunikasi antar pribadi menurut Richard L. Weaver adalah


a) Melibatkan paling sedikit dua orang
Komunikasi antar pribadi melibatkan paling sedikit dua orang.
b) Adanya umpan balik atau feedback
Umpan balik merupakan pesan yang dikirim kembali oleh penerima
kepada pembicara. Dalam komunikasi antar pribadi hampir selalu
melibatkan umpang balik langsung. Sering kali bersifat segera, nyata dan
berkesinambungan.
c) Tidak harus tatap muka
Bagi komunikasi antar pribadi yang sudah terbentuk, adanya saling
pengertian antara dua individu, kehadiran fisik dalam berkomunikasi
tidaklah terlalu penting, karena bisa melalui media seperti telepon, e-mail
dan lain-lain. Tetapi menurut Weaver komunikasi tanpa interaksi tatap
muka tidaklah ideal walaupun tidak harus dalam komunikasi antar pribadi.
Bentuk idealnya memang adanya kehadiran fisik dalam berinteraksi secara
antar pribadi, walaupun tanpa kehadiran fisik masih dimungkinkan.
d) Tidak harus bertujuan
Komunikasi antar pribadi tidak harus selalu disengaja atau dengan
kesadaran.
e) Menghasilkan beberapa pengarauh atau effect

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


23

Untuk dapat dianggap sebagai komunikasi antar pribadi yang benar, maka
sebuah pesan harus menghasilkan atau memiliki efek atau pengaruh. Efek
atau pengaruh tersebut tidak harus segera dan nyata, tetapi harus terjadi.
f) Tidak harus melibatkan atau menggunakan kata-kata
Bahwa kita berkomunikasi tanpa kata-kata seperti pada komunikasi non
verbal karena komunikasi non verbal memiliki makna yang jauh lebih
besar dibandingkan kata-kata.
g) Dipengaruhi oleh konteks
Konteks merupakan tempat dimana pertemuan komunikasi terjadi
termasuk apa yang mendahului dan mengikuti apa yang dikatakan.
Konteks meliputi :
(1) Jasmaniah, seperti suhu udara, pencahayaan, jarak antara
komunikator, pengaturan tempat dan waktu mengenai hari.
(2) Sosial, apakah komunikasi terjadi atau mengambil tempat diantara
anggota keluarga, teman-teman, kenalan-kenalan, mitra kerja, atau
orang asing mempengaruhi apa dan bagaiman pesan-pesan dibentuk,
diberikan dan dimengerti.
(3) Historis, merupakan latar belakang yang diperoleh melalui peristiwa
komunikasi sebelumnya antara para partisipan.
(4) Psikologis, meliputi suasana hati dan perasaan dimana setiap orang
membawakannya kepada pertemuan antar pribadi.
(5) Keadaan kultural yang mengelilingi peristiwa komunikasi, seperti
nila-nilai, keyakinan, makna, hierarki sosial agama dan lain-lain.
h) Dipengaruhi oleh kegaduhan atau noise
(1) Kegaduhan/kebisingan eksternal berupa penglihatan, suara, dan
rangsangan lainnya
(2) Kegaduhan internal berupa pikiran dan perasaan yang bersaing guna
mendapatkan perhatian dan menggangu proses komunikasi.
(3) Kegaduhan semantic, berupa lambing-lambang tertentu yang
menjauhkan kita dari pesan-pesan yang utama (Budyatna & Leila,
2012 : 15).

Dalam komunikasi antar pribadi terdapat proses transaksional yaitu adanya


proses saling memberi dan menerima di antara pelaku yang terlibat dalam
kegiatan komunikasi tersebut. Komunikasi antar pribadi dianggap sebagai suatu
proses, dimana komunikasi antar pribadi merupakan rangkaian tindakan, kejadian
dan kegiatan yang terjadi secara terus menerus atau bisa dikatakan dinamis,
dimana semua hal yang tercakup dalam komunikasi tersebut selalu dalam keadaan
yang berubah, baik itu pelaku, pesan maupun lingkungannya.
Sebagai suatu sistem, komponen-komponen yang ada dalam komunikasi
antar pribadi saling terkait satu sama lain. Setiap komponen komunikasi antar
pribadi mempunyai kaitan baik dengan komponen lain maupun dengan komponen
secara keseluruhan. Oleh sebab itu, dalam komunikasi antar pribadi tidak ada
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


24

pengirim tanpa penerima, tidak ada pesan tanpa pengirim, dan tidak ada umpan
balik tanpa penerima. Jika terdapat perubahan pada para pelaku komunikasi maka
juga akan menyebabkan perubahan pada aspek lainnya.

2.2.1.4 Komunikasi Verbal dan Non Verbal


Komunikasi verbal adalah komunikasi yang dilakukan dengan
menggunakan kata-kata, bicara ataupun tertulis. Komunikasi verbal merupakan
bentuk komunikasi yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan
dengan cara tertulis ataupun lisan. Komunikasi verbal menurut Dedy Mulyana
adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata secara lisan dengan secara sadar
dilakukan oleh manusia ntuk berhubungan dengan manusia lain (Fajar 2009:110).
Komunikasi verbal ini menempati porsi besar, karena pada kenyataannya
ide-ide, pemikiran atau keputusan lebih mudah disampaikan secara verbal
dibandingkan non verbal. Dengan harapan, seluruh komunikan (baik pendengar
atau pembaca) bisa lebih mudah memahami pesan-pesan yang disampaikan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh dokter gigi dalam berkomunikasi
secara verbal menurut Ellis dan Nowlis (1994) adalah
a. Penggunaan Bahasa
Dalam penggunaan bahasa oleh dokter gigi haruslah mempertimbangkan
pendidikan pasien, tingkat pengalaman dan kemahiran pasien dalam
berbahasa. Sebaiknya, dokter gigi menggunakan bahasa yang jelas, ringkas
dan sederhana agar dapat lebih mudah dipahami oleh pasiennya.
b. Kecepatan
Kecepatan dalam berbicara juga merupakan sesuatu yang sangat berpengaruh
dalam efektivitas komunikasi. Pada umumnya, orang yang sedang dalam
keadaan cemas atau sibuk akan lupa untuk berhenti berbicara dan biasanya
berbicara dengan sangat cepat. Hal ini tentu menyebabkan pendengar kurang
bisa memahmi pesan yang disampaikan oleh komunikator. Untuk itu,
seorang dokter gigi baiknya menggunakan kecepatan yang sesuai, agar
pasien tersebut dapat mendengar dan memahami pesan yang disampaikan
dengan baik.
c. Nada Suara
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


25

Nada suara merupakan gambaran gaya dari ekspresi yag digunakan pada saat
berbicara. Pasien yang mendengar pesan dengan suara lembut akan lebih
mudah mengerti dan merasa nyaman dibandingkan pesan yang diterimanya
dengan suara keras (Musliha & Siti Fatmawati, 2010: 14).
Salah satu komunikasi verbal yang sering dilakukan dokter gigi adalah
wawancara. Wawancara digunakan oleh dokter gigi untuk mencari tahu penyakit-
penyakit yang ada dalam diri pasiennya, dan kemudian untuk mengidentifikasi
kebutuhan kesehatan pasiennya, dan lain-lain. Sedangkan komunikasi nonverbal
merupakan komunikasi yang tidak kalah pentingnya. Banyak komunikator verbal
tidak efektif dikarenakan oleh komunikator yang tidak menggunakan komunikasi
non verbal dengan baik dalam waktu yang bersamaan. Melalui komunikasi non
verbal dengan baik, orang bisa mengambil suatu kesimpulan mengenai perasaan
senang, benci, cinta, sayang, dan lain-lain.
Edward T. Hall menamai komunikasi non verbal sebagai “bahasa diam”
(silent language) dan “dimensi tersembunyi” (hidden dimension) suatu budaya
(Mulyana, 2007 : 344). Dikatakan diam dan tersembunyi karena pesan-pesan non
verbal tersebut, tertanam dalam konteks komunikasi. Selain isyarat situasional dan
relasional dalam transaksi komunikasi, pesan non verbal juga memberi isyarat-
isyarat kontekstual. Pesan non verbal kemudian membantu dalam menafsirkan
seluruh makna komunikasi.
Tujuan komunikasi non verbal menurut Stuart dan Sundeen (1995) adalah
a. Mengekspresikan emosi
b. Mengekspresikan tingkah laku interpersonal
c. Membangun, mengembangkan dan memelihara interaksi sosial
d. Menunjukkan diri
e. Mendukung komunikasi verbal (Musliha & Siti Fatmawati, 2010 : 15).

Komunikasi non verbal terdiri dari:


1. Kinesics
Kinesics merupakan komunikasi verbal yang melibatkan gerakan tubu,
terdiri dari:
1) Ekspresi muka;
2) Gesture (gerak, isyarat, sikap);
3) Gerakan tubuh dan postur;
4) Gerak mata atau kontak mata.
2. Paralanguage

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


26

Vocal dapat membedakan emosi yang dirasakan oleh orang lain.


Komponnen paralanguage adalah
1). Kualitas suara : irama, volume, kejernihan
2). Vocal tanpa bahasa : sedu sedan, mendengkur, tertawa, hembusan nafas
panjang, dan lain-lain.
3. Proxemics
Proxemics membahas mengenai jarak hubungan dalam interaksi sosial.
Menurut Hall Cit. Linberg proxemics terbagi 3 (dikutip dari Musliha &
Siti Fatmawati, 2010) yaitu:
1) Jarak intim (sampai dengan 18 inchi)
2) Jarak personal ( 18 inchi sampai 4 kaki) untuk berinteraksi mengenai
suatu urusan tetapi bukan kepada orang khusus atau tertentu.
3) Jarak public (lebih dari 12 kaki) untuk pembicaraan formal.
4. Sentuhan
Sentuhan adalah alat komunikasi yang sangat kuat, karena dapat
menimbulkan reaksi positif dan negative tergantung dari orang yang
terlibat dan lingkungan sekeliling interaksi tersebut.
5. Cultural Artifact
Artifact merupakan hal-hal yang ada dalam interaksi seseorang dengan
orang lain yang mungkin bertindak sebagai rangsangan non verbal, seperti
baju, perhiasan, kacamata, kosmetik, dan lain-lain.
6. Gaya berjalan
Gaya berjalan dapat menggambarkan kondisi fisik seseorang. Seseorang
yang berjalan dengan lemas dan lunglai, hal itu menunjukkan bahwa
tubuhnya dalam kondisi sakit.
7. Penampilan Fisik Umum
Pola nafas yang cepat menunjukkan seseorang dalam keadaan cemas, pipi
bengkak menunjukkan adanya penyakit dalam gigi pasien (Musliha & Siti
Fatmawati, 2010 : 16).

2.2.2 Komunikasi Terapeutik


2.2.2.1 Defenisi Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik sangatlah penting dalam membantu mempercepat
proses penyembuhan pasien. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang
direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk
kesembuhan pasien (Musliha & Siti Fatmawati, 2010 : 111). Komunikasi
terapeutik ini termasuk dalam komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling
memberikan pengertian antara tenaga kesehatan dengan pasiennya. Adapun yang
menjadi persoalan yang mendasar dari komunikasi ini adalah adanya rasa saling
membutuhkan antara tenaga kesehatan dengan pasien, sehingga dapat
dikategorikan ke dalam komunikasi antar pribadi di antara tenaga kesehatan
dengan pasien, dokter membantu dan pasien menerima bantuan.
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


27

Komunikasi terapeutik bukan pekerjaan yang bisa dikesampingkan, tetapi


harus direncanakan, disengaja, dan merupakan tindakan yang professional. Akan
tetapi jangan sampai karena terlalu asik bekerja, kemudian melupakan pasien
sebagai manusia dengan beragam latar belakang dan masalahnya (Musliha & Siti
Fatmawati, 2010 : 112).
Bagi seorang dokter gigi, sudah biasa menghadapi ketakutan pasien dalam
menjalani perawatan gigi dan mulut mereka. Namun yang menjadi permasalahan
adalah perbedaan cara menghadapi rasa takut pasien dewasa dan anak-anak.
Dalam melayani pasien anak, seorang dokter gigi harus bisa bersikap lebih ramah
dan bersabar, hal ini disebabkan lebih susahnya menghadapi rasa takut anak
dibanding rasa takut orang dewasa. Komunikasi terapeutik sangatlah dibutuhkan
oleh dokter dalam menghadapi rasa takut pasien anak.

2.2.2.2 Tujuan Komunikasi Terapeutik


Bila seorang dokter memiliki keterampilan berkomunikasi terapeutik yang
baik, maka ia akan lebih mudah menjalin hubungan saling percaya dengan
pasiennya, sehingga dapat lebih efektif lagi dalam mencapai tujuan perawatan
kesehatan pasien tersebut, juga dapat memberikan kepuasan yang professional
dalam diri pasien yang bersangkutan.
Kualitas pelayanan yang diberikan dokter kepada pasien sangat dipengaruhi
oleh kualitas hubungan yang terjalin antara dokter dengan pasien, bila tenaga
kesehatan tidak memperhatikan hal ini, hubungan antara dokter gigi dengan
pasien tersebut bukanlah hubungan yang memberikan dampak terapeutik yang
mempercepat kesembuhan pasien, namun hanya hubungan sosial yang biasa.
Menurut Purwanto tujuan komunikasi terapeutik adalah sebagai berikut:
1. Membantu pasien untuk memperjelas juga mengurangi beban perasaan dan
pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada
bila pasien percaya pada hal yang diperlukan;
2. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang
efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.
3. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri
(Damaiyanti, 2008 : 11).
2.2.2.3 Teknik Komunikasi Terapeutik
Teknik komunikasi terapeutik kreatif pada anak adalah sebagai berikut :
1. Teknik Verbal
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


28

a. Pesan ‘Saya’
Nyatakan perasaan tentang perilaku dalam istilah ‘saya’. Hindari
penggunaan kata ‘anda’ (kamu) yamg banyak.. Pesan ‘Anda’
adalah perlawanan yang menghakimi dan menghasut.
b. Teknik ‘Orang ketiga’
Teknik ini biasanya menggunakan orang terdekat pasien. Teknik
ini kurang mengancam dibandingkan dengan menanyakan pada
anak secara langsung bagaimana perasaannya, karena hal ini
memberi kesempatan pada mereka untuk setuju atau tidak setuju
tanpa merasa dibantah.
c. Respon ‘Fasilitatif’
Libatkan teknik mendengar dengan perhatian dan cerminkan
kembali pada pasien perasaan dan isi pernyataan yang mereka
ungkapkan. Respon yang dilakukan dokter gigi tidak menghakimi
dan empati.
d. Storytelling (bercerita)
Gunakan bahasa anak untuk masuk ke dalam area berpikir mereka
sementara menembus batasan kesadaran atau rasa takut anak.
Teknik paling sederhana adalah dengan menjelaskan proses
perawatan giginya dengan menggunakan kata-kata yang sederhana.
e. Saling bercerita
Tunjukkan pikiran anak dan upayakan untuk mengubah persepsi
anak atau rasa takutnya dengan menceritakan kembali suatu cerita
yang berbeda (pendekatan yang lebih terapeutik dibandingkan
bercerita). Dikatakan lebih efektif daripada bercerita karena
melalui cara ini anak akan merasa lebih dekat dengan dokternya.
f. Biblioterapi
Digunakan dalam proses terapeutik dan suportif. Beri kesempatan
pada anak untuk mengeksplorasi kejadian yang serupa dengan
mereka sendiri tetapi cukup berbeda. Anak diajak untuk
menceritakan kembali isi buku tersebut sehingga dapat meringkas
pesan moral atau arti dari cerita tersebut.
g. Dreams (mimpi)
Minta anak untuk menceritakan tentang mimpi-mimpi mereka dan
kemudian gali bersamanya tentang kemungkinan arti mimpi
tersebut. Hal ini dilakukan agar anak merasa diperhatikan oleh
dokter tersebut.
h. Pertanyaan ‘Bagaimana jika’
Dorong anak untuk menggali situasi potensial dan untuk
mempertimbangkan pilihan pemecahan masalah yang berbeda. Jika
si anak tetap tidak mau melakukan perawatan gigi dan mulutnya
meskipun sudah dilakukan pendekatan, dokter perlu melakukan
metode ini.
i. Tiga harapan
Libatkan pertanyaan ‘Bila kamu memiliki tiga hal di dunia ini, hal
apa sajakah itu?’ Bila anak menjawab, ‘semua harapan saya
menjadi kenyataan’, lalu tanya kepadanya harapan khusus

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


29

tersebut. Hal ini dilakukan agar anak mau membuka dirinya kepada
dokter (Damaiyanti, 2008 : 15).

2. Teknik Non Verbal


a. Menulis
Merupakan pendekatan komunikasi alternatif untuk anak yang
lebih besar dan orang dewasa. Jika pasien anak yang dihadapi
sangat susah membuka dirinya dan bahkan jarang menjawab jika
ditanya, sebaiknya dokter menggunakan cara ini, yaitu menyuruh
pasien anak tersebut menulis apa-apa saja yang menjadi
keluhannya.
b. Menggambar
Merupakan salah satu bentuk komunikasi paling dapat diterima
baik non verbal (dari melihat gambar) maupun verbal (dari cerita
anak tentang gambar). Gambar anak menceritakan semua tentang
mereka, karena gambar ini adalah proyeksi diri mereka dari dalam.
c. Magis
Gunakan trik magis sederhana untuk membantu membuat
hubungan dengan anak, dorong kepatuhan dengan intervensi
kesehatan, dan berikan distraksi efektif selama prosedur yang
menyakitkan.
d. Play (bermain)
Merupakan bahasa umum dan ‘pekerjaan’ anak. Bermain dengan
arahan mencakup arahan yang lebih spesifik, seperti memberi
peralatan medis atau boneka untuk memfokuskan alasan, seperti
menggali rasa takut anak terhadap injeksi atau menggali hubungan
keluarga (Damaiyanti, 2008 : 19).

2.2.2.4 Fase Hubungan Komunikasi Terapeutik


Dalam melaksanakan komunikasi terapeutik ada beberapa tahap yang akan
dilalui. Dan disetiap tahap tersebut, terdapat tugas-tugas yang harus diselesaikan
oleh tenaga kesehata, agar tujuan komunikasi terapeutik dapat tercapai. Adapun
tahap-tahap tersebut adalah
a. Fase Preinteraksi
Tahap ini merupakan masa tenaga kesehatan untuk melakukan persiapan
sebelum berinteraksi langsung dengan pasiennya. Seorang dokter gigi
haruslah dapat mempersiapkan dirinya dengan baik, jika sedang
mempunyai masalah, baiknya dokter melupakan terlebih dahulu masalah
tersebut karena dapat mempengaruhi emosinya pada saat menghadapi
pasien anak. Karena jika dengan emosi yang tidak stabil, seorang dokter
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


30

gigi tidak akan bisa sabar dalam menghadapi keluhan-keluhan dari pasien
anak yang cenderung lebih cengeng dan rewel dibandingkan pasien
dewasa.
Adapun tugas tenaga kesehatan pada fase ini adalah :
a. Mengeksplorasi perasaan, harapan dan kecemasannya
b. Menganalisa kekuatan dan kelemahan diri, dengan analisa diri ia akan
terlatih untuk memaksimalkan dirinya agar bernilai terapeutik bagi
klien, jika merasa tidak siap maka perlu belajar kembali
c. Mengumpulkan data tentang klien, sebagai dasar dalam membuat
rencana interaksi
d. Membuat rencana pertemuan secara tertulis, yang akan di
implementasikan saat bertemu dengan klien (Musliha & Siti
Fatmawati, 2010 : 116).

b. Fase Orientasi
Pada masa inilah kesempatan bagi tenaga kesehatan untuk menjalin
hubungan yang baik dengan pasiennya, karena pada fase inilah ia akan
membentuk citranya melalui pertemuan pertama dengan pasiennya.
Baiknya pada fase ini, tenaga kesehatan memberikan sikap yang ramah
dan menunjukkan sikap empatinya dalam menerima kedatangan pasien.
Adapun tugas-tugas tenaga kesehatan pada tahap ini adalah :
a. Membina hubungan saling percaya, menunjukkan sikap penerimaan
dan komunikasi terbuka. Misalnya seperti bersikap jujur, iklas, ramah,
menepati janji dan menghargai pasiennya.
b. Merumuskan kontrak bersama pasien, seperti waktu pertemuan
berikutnya.
c. Menggali perasaan dan pikiran serta mengidentifikasi masalah pasien.
d. Merumuskan tujuan dengan klien, seperti proses yang akan dilalui
dalam pengobatan pasien Musliha & Siti Fatmawati, 2010 : 116).

c. Fase Kerja
Tahap ini merupakan tahap yang paling penting, dimana dalam menjalani
proses pengobatan pasien, seorang tenaga kesehatan juga harus tetap
menerapkan komunikasi terapeutik. Teknik komunikasi terapeutik yang
biasa digunakan oleh tenaga kesehatan adalah mendengarkan dengan aktif,
refleksi, memberikan persepsi yang positif, dan kemudian membantu
meyakinkan pasien bahwa pengobatan tersebut dapat membantu
penyembuhan pasien.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


31

d. Fase Terminasi
Terminasi merupakan tahap akhir dalam komunikasi terapaeutik ini dan
akhir dari pertemuan antara dokter gigi dan pasiennya. Terbagi menjadi
dua, yaitu:
a. Terminasi sementara, berarti masih ada pertemuan lanjutan;
b. Terminasi akhir, terjadi bila pengobatan giginya sudah benar-benar
sembuh dan tidak diperlu lagi melakukan perawatan rutin dengan
dokter gigi yang bersangkutan (Musliha & Siti Fatmawati, 2010 :
117).

2.2.2.5 Prinsip-prinsip Komunikasi Terapeutik


Prinsip-prinsip komunikasi terapeutik menurut Carl Rogers adalah
1. Dokter gigi harus mengenal dirinya sendiri yang berarti menghayati,
memahami dirinya sendiri serta nilai yang dianut.
2. Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling percaya
dan saling menghargai.
3. Dokter gigi harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien baik fisik
maupun mental.
4. Dokter gigi harus menciptakan suasana yang memungkinkan pasien bebas
berkembang tanpa rasa takut.
5. Dokter gigi harus dapat menciptakan suasana yang memungkinkan pasien
memiliki motivasi untuk mengubah dirinya baik sikap, tingkah lakunya
sehingga tumbuh makin matang dan dapat memecahkan masalah-masalah
yang dihadapi.
6. Dokter gigi harus mampu menguasai perasaan sendiri secara bertahap
untuk mengetahui dan mengatasi perasaan gembira, sedih, marah,
keberhasilan, maupun frustasi.
7. Mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan dapat mempertahankan
konsistensinya.
8. Memahami betul arti empati sebagai tindakan yang terapeutik dan
sebaliknya simpati bukan tindakan yang terapeutik.
9. Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar dari hubungan
terapeutik.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


32

10. Mampu berperan sebagai role model agar dapat menunjukkan dan
meyakinkan orang lain tentang kesehatan, oleh karena itu dokter gigi perlu
mempertahankan suatu keadaan sehat fisik terlebih giginya, mental,
spiritual, dan gaya hidup.
11. Disarankan untuk mengeskpresikan perasaan bila dianggap mengganggu.
12. Altruisme untuk mendapatkan kepuasan dengan menolong orang lain
secara manusiawi.
13. Berpegang pada etika dengan cara berusaha sedapat mungkin mengambil
keputusan berdasarkan prinsip kesejahteraan manusia.
14. Bertanggung jawab dalam dua dimensi yaitu tanggung jawab terhadap diri
sendiri atas tindakan yang dilakukan dan tanggung jawab terhadap orang
lain yaitu pasiennya (Damaiyanti, 2008 : 13).

2.2.2.6 Sikap Komunikasi Terapeutik


Menurut Egan terdapat lima sikap ataupun cara yang dapat dilakukan oleh
dokter gigi yang dapat memfasilitasi komunikasi yang terapeutik, yaitu:
1. Berhadapan, arti dari posisi ini adalah menunjukkan bahwa dokter gigi
tersebut sudah siap dalam melayani pasiennya.
2. Mempertahankan kontak mata. Dengan mempertahankan kontak mata
dengan pasien, dapat membuktikan bahwa dokter gigi tersebut menghargai
pasiennya dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.
3. Membungkuk ke arah klien, posisi ini menunjukkan bahwa dokter gigi
sedang ingin memberitahukan sesuatu ataupun mendengar sesuatu dengan
seksama.
4. Mempertahankan sikap terbuka, dengan tidak melipat tangan atau kaki
berarti dokter gigi menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi.
5. Tetap rileks, dokter gigi harus tetap dapat menyeimbangkan antara
ketegangan dan relaksasi dalam memberi respon kepada pasiennya
(Musliha, 2010 : 121).

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


33

2.3 Model Teoritis

DOKTER Komunikasi Terapeutik PASIEN

GIGI ANAK

PERAWATAN GIGI

YANG OPTIMAL

Gambar 2.1 Model Teoritis

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian


Metode penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif yang bertujuan
untuk menjelaskan fenomena sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data
sedalam-dalamnya. Penelitian ini tidak akan mengutamakan besarnya populasi
atau sampling, bahkan sampling yang digunakan akan sangat terbatas, jika data
yang terkumpul sudah sangat mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang
sedang diteliti, maka tidak akan perlu mencari sampling lainnya. Penelitian
kualitatif akan lebih menekankan persoalan kedalaman (kualitas) data bukan
banyaknya (kuantitas) data (Krisyantono, 2007 : 58).
Metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan
data, yang salah satunya berbentuk deskriptif kualitatif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilakunya diamati. Penelitian kualitatif terdiri
dari beberapa jenis, salah satunya adalah studi kasus. Ciri khas penelitian studi
kasus pada penelitian kualitatif terletak pada studi kasus yang memiliki sifat yang
lebih alami, holistik, dan unsur budaya serta didekati secara fenomenologi. Studi
kasus merupakan kajian yang rinci atas suatu latar atau peristiwa tertentu.
Dalam penelitian studi kasus, seorang peneliti akan meneliti suatu
individu atau unit sosial tertentu secara lebih mendalam (Prastowo, 2001). Studi
kasus dalam penelitian ini akan membahas dan terpusat pada individu yang terkait
dalam kegiatan penelitian ini, yaitu dokter gigi, orang tua dan pasien anak.

3.2 Objek Penelitian


Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah komunikasi terapeutik yang
digunakan oleh dokter gigi dalam melayani pasien anak.

3.3 Lokasi Penelitian dan Subjek Penelitian


Lokasi penelitian kualitatif tentang studi kasus komunikasi terapeutik dokter
gigi yang praktek bersama dalam menangani pasien anak adalah di Kota Medan.
34 Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


35

Dalam penelitian kualitatif tidaklah menggunakan populasi seperti yang ada


di penelitian kuantitaif. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa
penelitian kualitatif lebih menekankan kepada kualitas dan bukan kepada
kuantitas. Subjek penelitian dalam penelitian kualitatif adalah informan yaitu
orang dalam penelitian. Informan juga akan dimanfaatkan untuk memberikan
informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian.
Kegunaan informan menurut Lincoln, Guba, Bogdan dan Biklen adalah
1. Membantu agar secepatnya dan tetap seteliti mungkin dapat
membenamkan diri dalam konteks setempat terutama bagi peneliti yang
belum mengalami latihan etnografi.
2. Agar dalam waktu yang relatif singkat banyak informasi yang terjaring,
sebagai sampling internal informan diharapkan untuk berbicara, bertukar
pikiran, atau membandingkan suatu kejadian yang ditemukan dari subjek
lainnya (Moleong 2006 : 132).

Subjek penelitian dalam studi kasus komunikasi terapeutik ini adalah dokter
gigi yang praktek bersama, baik dua orang atau lebih dan juga orang tua dari
pasien anak yang bersangkutan. Peneliti memilih dokter gigi yang praktek
bersama karena dengan melakukan penelitian di tempat praktek bersama, peneliti
dapat langsung mewawancarai dua orang atau lebih dokter gigi sekaligus dan
dalam proses observasi pun peneliti akan dapat mengamati cara kerja dua orang
atau lebih dokter gigi tersebut sekaligus, sehingga akan lebih efektif dan efisien.
Pemilihan ini juga didasarkan kepada banyaknya jumlah dokter gigi yang ada di
kota Medan, untuk itu peneliti memutuskan untuk melakukan pemilihan dokter
gigi yang praktek bersama sebagai subjek penelitian agar subjek penelitian lebih
spesifik.
Unit analisis adalah satuan yang diteliti yang bisa berupa individu,
kelompok, benda atau suatu latar peristiwa sosial (Hamidi, 2004). Menurut
Spradly, unit analisis meliputi tiga komponen, yakni actor (individu atau
kelompok), Place (latar tempat peliputan data), dan activity (kegiatan atau sikap
yang dilakukan individu dalam situasi terkait penelitian) maka berdasarkan
komponen tersebut, unit analisis dalam penelitian ini adalah :
1. Para dokter gigi dan orang tua pasien anak di tempat praktek yang
bersangkutan (Actor).
2. Tempat praktek dokter gigi di Kota Medan (Place).
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


36

3. Komunikasi Terapeutik antara dokter gigi dan pasien anak dalam


perawatan gigi anak yang optimal. (Activity) (Hamidi, 2004).

3.4 Kerangka Analisis Data


Analisis data kualitatif sesungguhnya sudah dimulai saat peneliti mulai
mengumpulkan data, dengan cara memilah mana data yang sesungguhnya penting
atau tidak. Di dalam penelitian lapangan bisa saja terjadi perubahan fokus
penelitian karena peneliti memperoleh data yang sangat menarik. Ini bisa
dilakukan karena perjalanan penelitian kualitatif bersifat siklus, sehingga fokus
yang sudah didesain sejak awal bisa berubah di tengah jalan karena peneliti
menemukan data yang sangat penting, yang sebelumnya tidak terbayangkan.
Analisi data kualitatif (Seiddel, 1998). Prosesnya berjalan sebagai berikut:
a. Mencatat data yang dihasilkan di lapamhan, dengan hal itu diberi kode agar
sumber datanya tetap dapat ditelusuri.
b. Mengumpulkan, mengklasifikasikan, mensistensiska, membuat ikhtisar dan
membuat indekanya,
c. Berfikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna,
mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan membuat
temuan-temuan umum.
Menurut Janice McDrury tahapan analisis data kualitatif adalah sebagai
berikut :
1. Membaca / mempelajari data, menandai kata-kata kunci dan agagsan yang
ada dalam data,
2. Mempelajari kata-kata kunci itu, berupaya menemukan tema-tema yang
berasal dari data,
3. Menuliskan ‘model’ yang ditemukan,
4. Koding yang telah dilakukan (Moeloeng, 2006 : 248).

3.5 Teknik Pengumpulan Data


Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah :
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


37

a. Penelitian Lapangan
Data primer adalah data yang didapatkan dari sumber pertama atau tangan
pertama di lapangan tempat penelitian.

1. Penelitian lapangan / Observasi


Kegiatan observasi ini merupakan pengamatan langsung yang dilakukan
peneliti berkaitan dengan permasalahan yang sedang diamati. Pengamatan dapat
mengoptimalkan kemampuan peneliti baik dari segi motif, kepercayaan,
perhatian, perilaku tidak sadar, kebiasaan dan sebagainya (Moelong, 2006: 175).
Pengamatan langsung juga merupakan alat yang ampuh untuk mengetes suatu
kebenaran karena dengan melakukan pengamatan, peneliti mendapatkan
kesempatan untuk mengamati sendiri dan kemudian dapat mencatat perilaku dan
kejadian yang terjadi sebagaimana adanya.
Jenis observasi yang dilakukan adalah observasi langsung, yaitu hanya
melakukan observasi tanpa ikut melakukan seperti yang dilakukan informan.
Observasi langsung merupakan proses pemilihan dan pencatatan serangkaian
perilaku dan suasana yang berhubungan dengan kasus yang diteliti dan sesuai
dengan tujuan yang hendak dicapai sebelumnya. Observasi ini berguna untuk
menjelaskan, memaparkan dan merinci gejala yang terjadi. Peneliti terlibat
langsung dengan pihak-pihak yang diteliti. Adapun hal-hal yang akan diamati
dalam penelitian ini adalah cara kerja dokter gigi, suasana hati pasien saat
berkunjung ke tempat praktek dan bagaimana kerja sama orang tua pasien.

2. Wawancara mendalam (in-dept interview)


Wawancara mendalam adalah suatu cara mengumpulkan data atau informasi
dengan cara langsung bertatap muka dengan informan agar mendapatkan data
lengkap dan mendalam. Wawancara yang dimaksudkan disini adalah semua yang
berkaitan dengan komunikasi terapeutik antara dokter gigi dengan pasien anak
dalam menghadapi rasa takut anak. Sasaran wawancara disini adalah para dokter
gigi yang praktek bersama dan juga orang tua pasien anak yang ada di tempat
praktek dokter gigi yang bersangkutan.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


38

Pada wawancara mendalam ini, pewawancara relatif tidak mempunyai


kontrol atas respon informan, artinya bebas memberikan jawaban. Semua
pertanyaan akan dipersiapkan guna mencari informasi sebanyak-banyaknya
mengenai komunikasi terapeutik. Adapun bahan acuan pertanyaan yang
dipersiapkan untuk dokter gigi akan membahas seputar cara dokter gigi dalam
mengatasi rasa takut anak, cara dokter gigi dalam mendekatkan diri dengan pasien
anak, manfaat pelaksanaan komunikasi terapeutik yang dirasakan dokter gigi, dan
hambatan-hambatan yang dihadapi dokter gigi dalam menangani pasien anak.
Sedangkan bahan acuan pertanyaan yang dipersiapkan untuk mewawancarai
orang tua pasien adalah cara orang tua untuk mengajak anak ke dokter gigi,
seberapa sulit orang tua mengajak anak ke dokter gigi, pendapat orang tua
mengenai pelayanan dokter gigi dan bagaimana kerja sama orang tua saat anak
sedang dirawat dokter gigi (untuk lebih jelasnya, daftar pertanyaan dapat dilihat di
bagian lampiran).

b. Penelitian Kepustakaan (Library Research)


Data kepustakaan didapat dengan cara mempelajari dan mengumpulkan data
melalui literatur sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian. Dari
berbagai sumber bacaan yang dikumpulkan, seperti situs-situs, jurnal atau
dokumentasi ilmiah lainnya, diharapakan peneliti bisa mendapatkan banyak data-
data dan fakta-fakta yang dapat mendukung proses penelitian ini.

3.6 Teknik Analisis Data


Menurut Bogdan & Biklen (Moelong, 2006 : 248), analisis data kualitatif
adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat yang
dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan
apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat
diceritakan kepada orang lain.
Proses analisis data ditempuh melalui proses reduksi data. Reduksi data
merupakan data yang diperoleh melalui observasi dan pengumpulan dokumen
yang masih berupa uraian panjang dan perlu direduksi. Mereduksi kata diartikan
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


39

sebagai suatu proses pemilihan, pemusatan perhatian, pengabsahan, dan


transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan di lapangan. Data-data
tersebut akan dipisahkan sesuai dengan permasalahan yang dimunculkan.
Menurut Seiddel analisis data kualitatif memiliki tahapan sebagai berikut :
1. Mencatat hasil temuan di lapangan, diberi kode agar sumber datanya
tetap dapat ditelusuri.
2. Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, membuat
ikhtisar dan membuat indeksnya.
3. Berpikir dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai
makna, mencari dan menemukan pola hubungan-hubungan dan
membuat temuan-temuan umum (Moelong, 2006 : 248).

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, maka dapat disederhanakan bahwa


dalam penelitian ini, sejumlah data yang telah terkumpul melalui observasi,
wawancara dan studi pustaka akan digabung menjadi satu, dan kemudian akan
dicoba untuk membakukannya dengan mengolah serta memilah-milah menurut
jenis-jenis ataupun golongan pokok bahasannya karena tidak jarang data yang
diterima masih dalam bentuk uraian panjang maka untuk itu sangat diperlukan
proses reduksi data.
Data yang telah terorganisir dan diabstraksi akan disajikan dan dianalisis
dengan tidak menggunakan metode statistic (yaitu analisis yang berdasarkan pada
perhitungan angka), tetapi dalam bentuk pernyataan yang akan dijabarkan secara
deskriptif. Penyajian data yang dimaksudkan adalah sebagai langkah
pengumpulan informasi yang tersusun dan memberikan kemungkinan adanya
penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Setelah melakukan reduksi dan
menyajikan data, maka langkah selanjutnya adalah menarik kesimpulan.
Kesimpulan yang dijabarkan tidak bersifat mutlak tetapi memiliki kemungkinan
berubah setelah diperoleh data yang baru.
Langkah-langkah yg akan dilakukan oleh peneliti dalam analisi data adalah :
a. Reduksi Data
Dalam melakukan penelitian, peneliti akan melakukan wawancara
mendalam bagi setiap subjek penelitian. Setelah melakukan wawancara
maka peneliti akan mendapatkan sejumlah data. Kemudian data tersebut
akan ditulis dalam bentuk uraian atau laporan terperinci. Laporan yang
disusun kemudian akan direduksi, dirangkum, difokuskan pada hal-hal
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


40

yang penting. Apabila data yang diperoleh dari informan memiliki banyak
kesamaan maka peneliti akan mengklasifikasikan dan jawabannya akan di
generalisasikan.
b. Display Data
Setelah peneliti melakukan reduksi data, maka data akan diklasifikasikan
menurut pokok permasalahan dan dibuat dalam bentuk matriks agar dapat
memudahkan peneliti untuk melihat hubungan antara suatu data dengan
data lainnya.
c. Triangulasi Data
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara
terhadap objek penelitian (Moloeng, 2006 : 330)
Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang berbeda
yaitu wawancara, observasi dan dokumen. Triangulasi ini selain digunakan
untuk mengecek kebenaran data juga dilakukan untuk memperkaya data.
Menurut Nasution, selain itu triangulasi juga dapat berguna untuk
menyelidiki validitas tafsiran peneliti terhadap data, karena itu triangulasi
bersifat reflektif (Nasution, 2003 : 115).
Adapun untuk mencapai kepercayaan itu, maka ditempuh langkah sebagai
berikut :
- Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara
- Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa
yang dikatakan secara pribadi.
- Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
- Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan masyarakat dari berbagai kelas.
- Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


41

d. Mengambil Kesimpulan
Pada bagian akhir penelitian ini setelah melakukan reduksi data dan
display data, peneliti akan mermbuat kesimpulan berdasarkan data yang
telah diperoleh yang disajikan dalam bentuk narasi. Dalam kasus ini
kesimpulannya berupa penjelasan mengenai komunikasi terapeutik dokter
gigi yang praktek bersama dalam melayani pasien anak di Kota Medan.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab IV ini, peneliti akan memaparkan hasil- hasil yang sudah
ditemukan di lapangan, baik data yang telah didapatkan melalui wawancara
mendalam dengan dokter gigi dan orang tua pasien anak dan juga data yang
diperoleh dari pengamatan peneliti di tempat praktek ketika dokter gigi sedang
menangani pasien anak.

4.1 Deskripsi Subjek Penelitian


Dalam penelitian ini, peneliti menentukan sembilan orang dokter gigi yang
praktek bersama di Kota Medan sebagai informan dalam penelitian ini. Namun,
peneliti tidak hanya mewawancarai kesembilan dokter gigi tersebut tetapi juga
mewawancarai seorang perawat gigi dan tiga orang tua pasien anak untuk melihat
seberapa besar kepuasan mereka terhadap komunikasi terapeutik dokter gigi
dalam membujuk-bujuk anak mereka.
Bukanlah hal yang mudah bagi peneliti untuk mencari dan menentukan ke-
13 informan tersebut, karena sewaktu peneliti meminta izin penelitian ada tiga
tempat praktek yang tidak memberikan izin bagi peneliti untuk melakukan
penelitian di tempat tersebut. Hingga pada akhirnya peneliti memutuskan untuk
mencari tempat praktek bersama dokter gigi yang lain. Dan peneliti pun mendapat
izin untuk melakukan penelitian di empat tempat praktek bersama dokter gigi.
Dengan demikian keseluruhan jumlah informan dalam penelitian ini ada sebanyak
13 (tiga belas) orang. Penelitian ini dimulai bulan Januari 2015 hingga Februari
2015. Karakteristik ke-13 informan tersebut dapat dilihat di bagian lampiran.

42 Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


43

4.2 Hasil Wawancara dan Pengamatan


Berikut adalah hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan peneliti
terhadap informan penelitian.

Kasus Pertama :
Nama Informan : drg. Martha, Sp. Ort
Usia : 54 tahun
Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 548, Pasar 1
Medan

Dokter gigi spesialis orthodonti inilah informan yang pertama sekali


peneliti wawancarai, yaitu pada tanggal 27 Januari 2015. Peneliti sudah sampai di
tempat praktek beliau pukul 16.00 tetapi tempat prakteknya belum dibuka. Sampai
pada akhirnya pukul 16.15 perawatnya keluar dan membersihkan tempat praktek.
Peneliti bertemu dengan dua orang perawat pada saat itu yang bekerja bersama
beliau. Kemudian peneliti memberitahukan maksud dan tujuan peneliti datang
kepada perawat tersebut dan dia meminta peneliti untuk menunggu drg. Martha
karena pada saat itu beliau belum sampai di tempat prakteknya. Sambil menunggu
kedatangan beliau, peneliti sempat berbincang-bincang dengan perawatnya, untuk
menanyakan beberapa informasi mengenai dokter Martha. Perawatnya pun
tampak dengan senang hati menjawab semua pertanyaan yang peneliti sampaikan.
Dari perawatnya, peneliti mendapatkan info bahwa dokter ini sudah memiliki
empat orang anak, tiga laki-laki dan satu perempuan. Beliau juga ditugaskan di
Rumah Sakit Umum Kabanjahe, dan ternyata beliau membuka tempat prakteknya
ini dua kali sehari, yaitu pada pukul 09.00-12.00 WIB dan juga pada pukul 16.00-
20.00.
Pada pukul 16.30 beliau datang ke tempat prakteknya karena kebetulan
ada sales obat yang juga ingin bertemu dengannya. Lalu peneliti pun
menyampaikan keinginan peneliti kepada beliau dan kemudian beliau langsung
mengizinkannya. Dari informasi yang peneliti dapatkan dari proses wawancara
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


44

ternyata beliau dulunya membuka praktek di Kota Berastagi, namun ketika


mengambil pendidikan spesialis di Fakultas Kedokteran Gigi USU maka beliau
memutuskan untuk memindahkan tempat prakteknya ke Medan, di tempat praktek
yang sekarang. Awalnya, beliau berkeinginan untuk membuka praktek di daerah
Setia Budi, namun mengingat bahwa target pasarnya adalah mahasiswa, maka
beliau akhirnya membuka tempat prakteknya di Jln. Jamin Ginting No. 548, Pasar
1 Padang Bulan Medan.
Setelah lulus dari spesialis orthodonti, beliau lebih memfokuskan
pelayanannya di pasien yang ingin merapikan gigi, ataupun sering disebut
pengguna behel. Itu sebabnya ketika peneliti menyampaikan judul penelitian ini
kepada beliau, beliau tampaknya kurang tertarik dalam membahas topik ini karena
beliau sudah jarang melayani pasien anak.
Melihat pasien umum juga masih sering datang ke tempat prakteknya,
terkadang beliau merasa kelabakan dalam melayani pasien sehingga ia
membutuhkan seorang rekan kerja yang dapat diajak untuk bekerja sama. Begitu
mengetahui drg. Berna yang merupakan keponakannya juga sedang mencari
tempat praktek, beliau pun menawarkan untuk membuka praktek bersama dan
drg. Berna pun langsung menyetujuinya. Kesepakatan mereka dalam pembagian
pasien adalah drg. Martha melayani pasien orthodonti dan drg. Berna melayani
pasien umum.

“Sebenarnya tidak bisa dipastikan, mungkin tiga sampai empat


oranglah perminggu. Tapi bisa juga seminggu itu tidak ada pasien
anak.”

Drg. Martha menyampaikan bahwa jumlah pasien anak mereka per


minggunya tidak bisa dipastikan. Terkadang ada tiga sampai empat orang
perminggu dan terkadang tidak ada pasien anak yang datang. Hal ini disebabkan
karena dokter ini bukanlah dokter gigi spesialis anak sehingga umur pasien yang
dilayani pun beragam.
“Tergantung anaknya, kadang ada anak yang berani, dan kadang
ada yang takut. Dan rasa takut itupun bermacam-macam, kadang

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


45

ada yang bisa dibujuk dan kadang ada yang tidak. Pola asuh orang
tua di rumah tentunya sangat mempengaruhi, ada orang tua yang
dengan bijaksana memperkenalkan anaknya ke dokter gigi tetapi
banyak juga orang tua yang sering mengancam anaknya dirumah
jika tidak bisa dibilangi akan di bawa ke dokter agar disuntik. Hal
ini tentunya membentuk image dokter yang menyeramkan di
dalam pikiran anak. Banyak anak yang berpikiran kalau dokter itu
identik dengan jarum suntik. Ini yang membuat dokter gigi harus
bekerja keras dalam menangani pasien anak.”

Beliau juga mengatakan bahwa tidak semua pasien anak merasa takut
ketika datang ke praktek dokter gigi, ada juga pasien anak yang tidak takut ketika
diajak ke dokter gigi. Hal yang sangat berpengaruh terhadap rasa takut anak
adalah bagaimana orang tua mampu menunjukkan kebijaksanaannya dalam
memperkenalkan anaknya terhadap dunia kedokteran gigi. Kebiasaan orang tua
ketika mengancam akan membawa anaknya untuk disuntik oleh dokter ketika ia
berbuat salah juga dapat menimbulkan rasa takut anak terhadap dokter.
“Pasien anak disini kebanyakan terkena kasus gigi berlubang.
Gigi yang berlubang sebaiknya dirawat terlebih dahulu. Karena
gigi orang dewasa sekalipun kalau dalam keadaan sakit tidak bisa
dicabut. Jadi biasanya akan dilakukan perawatan untuk
membersihkan kuman-kumannya.”

Drg. Martha juga mengatakan bahwa kasus yang sering dihadapi pasien
anak yang datang ke prakteknya adalah karies atau gigi berlubang. Mengingat
umur pasien anak yang datang berkisar tiga sampai sepuluh tahun, maka gigi yang
berlubang tidak boleh sembarang di cabut. Gigi tersebut haruslah dirawat terlebih
dahulu, agar bisa menetralkan saraf sekaligus juga untuk membersihkan kuman-
kuman yang ada di dalamnya.
“Kemarin ada pasien anak yang datang kesini bersama ibu dan
adiknya. Kedua-duanya ingin mengobati gigi mereka yang sakit.
Setelah memeriksanya ternyata giginya belum dicabut karena
masih dalam keadaan yang sakit, jadi harus diberikan obat
peringan rasa sakit dulu agar beberapa hari lagi bisa dicabut.
Berbeda dengan kasus dirinya, ternyata adiknya memiliki
penyakit jantung bawaan, saya lupa stadium berapa. Jadi saya
meminta orang tuanya untuk membawanya dulu ke dokter jantung
untuk memeriksakan kondisi jantung anaknya dan menyuruh
dokternya untuk membuat surat pernyataan kalau si anak bisa
menjalani pencabutan gigi. Agar nanti kalau terjadi apa-apa

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


46

dengan anak tersebut setelah melakukan pencabutan gigi, saya


tidak akan dituntut keluarganya.”

Ketika peneliti menanyakan bagaimana pengalaman beliau dalam


menangani pasien anak yang tidak senormal anak biasanya, beliau pun langsung
menceritakan bagaimana pengalamannya ketika melayani pasien yang mempunyai
masalah khusus.

“Kalau dalam menghadapi pasien anak, kendala terbesar yaitu


rasa takut anak, rata-rata sih begitu. Cuma kadar rasa takutnya aja
yang berbeda-beda. Jadi yang dibutuhkan adalah bagaimana cara
dokter gigi dalam membujuk anak tersebut. Tetapi kalau
pengalaman yang saya ingat yaitu ketika menghadapi pasien anak
yang punya penyakit jantung, untung saja orangtuanya
memberitahu saya, kalau tidak mungkin hal buruk akan terjadi.”

Beliau menyampaikan sejauh ini belum ada pasien anak yang begitu
berkesan ketika dilayani, karena pada umumnya masalah terbesar dalam
menghadapi pasien anak adalah rasa takutnya, hanya yang membedakan adalah
besar/kecilnya rasa takut tersebut. Namun ketika ditanyakan pengalaman yang
paling berkesan dalam melayani pasien anak, beliau mengatakan ketika melayani
pasien anak yang memiliki penyakit jantung yang sangat berbahaya jika orang
tuanya tidak memberitahukannya terlebih dahulu.
“Ada juga beberapa orang tua yang saya jumpai mempunyai sifat
yang tempramen. Dia mau memukul atau berlaku kasar kepada
anaknya karena tidak sabar untuk membujuk anaknya. Tetapi
sebenarnya sih tidak bisa, kalau memaksa anak dengan
menggunakan kekesaran, sama saja rasa takut yang ada dalam
dirinya tidak akan hilang. Bayangkan saja, anak yang sedang
ketakutan justru malah dipukuli, bukannya diam malah si anak
tambah menangis.”

Ada beberapa orang tua yang tidak sabar dalam membujuk anaknya,
sehingga mendorong mereka tidak segan berlaku kasar di depan dokter gigi.
Padahal drg. Martha sangat tidak setuju dengan sikap orang tua yang seperti itu,
karena bukannya dapat menghilangkan rasa takut anak, tapi justru membuat rasa
takut anak semakin besar. Tak heran jika pasien anak tersebut akan menangis
lebih keras lagi ketika ia di pukul oleh orang tuanya, karena ia merasa terancam.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


47

“Cara mendekatkan diri dengan anak biasanya dengan


menggunakan komunikasi, misalnya dengan menanyakan nama,
sekolah, dan kondisi mulutnya. Biasanya saya akan menggunakan
panggilan tante atau bibi, agar anak merasa dekat dengan kita.
Dalam kunjungan pertamanya, biasanya rasa takut anak lebih
besar karena dia sama sekali belum pernah ke dokter gigi. Jadi
biasanya saya akan memperkenalkan alat-alat yang saya gunakan,
fungsinya untuk apa, dan saya juga akan menjelaskan tindakan
apa yang akan saya lakukan terhadap mulut anak tersebut. Tentu
kesabaran dokter gigi sangat berpengaruh dalam kesuksesan
pengobatan gigi anak, karena dalam menghadapi anak yang
sangat takut, bujukan dokter gigi sangat diperlukan. Juga dalam
menghadapi pasien anak yang sangat ketakutan tetapi mau
dirawat giginya, hendaknya dokter gigi menyembunyikan alat-alat
yang menyeramkan anak, seperti jarum suntik, tang, dan lain-lain.
Dan jika ingin digunakan, sebaiknya alat tersebut disimpan
dipunggung dokter agar si anak tidak melihatnya.”

Pada fase orientasi dalam komunikasi terapeutik, dokter gigi memiliki


kesempatan untuk membentuk citranya didepan pasien. Pada kesempatan inilah
harusnya dokter gigi mampu bersikap ramah dan menunjukkan sikap empatinya
dalam menerima kedatangan pasien. Drg. Martha menunjukkan sikap ramahnya
dengan menggunakan panggilan tante atau bibi, agar pasien anaknya merasa lebih
nyaman berkomunikasi dengan beliau.
Salah satu teknik komunikasi terapeutik adalah storytelling ataupun
bercerita. Beliau juga menggunakan teknik ini untuk memperkenalkan semua
nama dan fungsi alat-alat yang digunakannya sewaktu mengobati gigi anak. Hal
ini dilakukan agar anak merasa tidak asing lagi dengan benda-benda tersebut.
Kesabaran juga diakui oleh dokter gigi ini sangat dibutuhkan dalam
melayani pasien anak. Sebelum melakukan tindakan medis terhadap pasien anak,
seorang dokter gigi harus mampu bersifat ramah dan bersahabat agar bisa lebih
akrab lagi dengan pasien anak tersebut. Dalam kunjungan yang pertamanya,
seorang anak harus dibuat senyaman mungkin dengan layanan dokter gigi agar
kemudian tidak menumbuhkan rasa trauma dalam diri anak tersebut.
“Biasanya saya akan memberinya obat penghilang rasa sakit dulu.
Kalau dalam kondisi yang sakit kan gigi tidak boleh dicabut
karena dapat merusak sarafnya. Jadi diberikan obat penghilang
rasa sakit dulu barulah beberapa hari kemudian datang lagi kesini.
Kadang saya dan perawat juga sering menakut-nakuti anak,
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


48

misalnya dengan mengatakan kalau ada monster yang akan keluar


dari gigi yang busuk, tetapi jika itupun sudah tidak bisa lagi
terkadang saya juga tidak sabar lagi membujuknya. Mungkin
karena pengaruh umur saya juga ya, dalam menghadapi pasien
anak yang sangat susah untuk dibujuk, kadang saya kehabisan
kesabaran juga. Biasanya saya akan menyerahkannya kepada
orang tuanya. Mungkin juga karena sudah terbiasa melayani
pasien yang memasang behel, kan itu lebih enak ngerjainnya, jadi
kalau harus membujuk-bujuk dan memakan waktu yang lama,
saya terkadang malas membujuknya, maka saya serahkan ke
orang tuanya.”

Gigi yang sedang dalam keadaan sakit tidak bisa dipaksa untuk dicabut,
biasanya drg. Martha akan memberikan obat penghilang rasa sakit terlebih dahulu
kepada pasien anaknya agar kemudian ketika giginya sudah tidak sakit lagi dapat
dilakukan tindakan medis. Peneliti melihat bahwa dokter ini, kurang banyak
menerapkan komunikasi terapeutik dalam proses pengobatan terhadap pasien
anaknya. Beliau juga mengakui bahwa ia sering menakut-nakuti anak dengan
mengatakan jika tidak dibersihkan maka akan ada monster yang keluar dari gigi
yang busuk tersebut.

“Cara saya untuk memotivasi pasien anak biasanya dengan


menyuruhnya untuk merawat kesehatan giginya, yaitu dengan
rajin menyikat gigi minimal dua kali sehari agar kuman penyakit
yang ada di mulut bisa dihilangkan.”

Ketika peneliti menanyakan kepada drg. Martha bagaimana cara beliau


dalam memotivasi kesembuhan pasien, dia mengatakan dengan meningkatkan
kesadaran anak akan pentingnya merawat kebersihan gigi dan mulut. Caranya
dengan mengingatkan anak agar rajin menyikat gigi minimal dua kali sehari
setelah sarapan pagi dan sebelum tidur malam.

“Biasanya dengan melakukan komunikasi terapeutik dapat


mengurangi rasa takut anak, dengan melakukan komunikasi untuk
mendekatkan diri dengan anak sekaligus juga membujuk-bujuk
anak agar mau membuka mulutnya agar bisa diperiksa bagaimana
keadaan giginya. Jadi, komunikasi sangat peting bagi dokter gigi
agar bisa meluluhkan rasa takut anak.”

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


49

Manfaat komunikasi terapeutik menurut Purwanto adalah membantu


pasien untuk memperjelas juga mengurangi beban perasaan dan pikiran serta
dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada, yang kedua yaitu
untuk mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang
efektif, dan yang terakhir adalah untuk mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik
dan diri pasien sendiri (Damaiyanti, 2008:11). Manfaat yang didapatkan oleh
beliau setelah melakukan komunikasi terapeutik adalah dapat mengurangi rasa
takut anak terhadap dokter gigi. Ketika anak melihat sosok dokter gigi yang
ramah dan sabar dalam membujuk-bujuk, maka anak akan merasa nyaman dengan
dokter gigi tersebut.

“Sebenarnya menghadapi pasien anak itu tidak susah, karena


kalau dari segi tindakan medisnya kasus gigi anak jauh lebih
mudah, kadang hanya lima sampai sepuluh menit langsung
selesai. Tapi dalam hal membujuknya ini yang susah, kadang
memakan waktu yang lama sampai setengah jam. Apalagi kalau
saya lihat sudah ada beberapa pasien yang mengantri, pasti saya
jadi malas membujuknya. Faktor penghambat terbesar adalah rasa
takut anak, karena rasa takutlah mendorong anak tidak mau
mengikuti saran dokter gigi seperti membuka mulut, kumur-
kumur, dan lain-lain. Jadi, bagi anak yang tidak takut dengan
dokter gigi maka proses pengobatannya akan lebih cepat dan
mudah. Sedangkan faktor penghambat yang datangnya dari saya
adalah kesabaran yang kadang sudah habis kalau harus membujuk
sampai setengah jam. Kalau faktor penghambat dari anaknya
yaitu rasa takut terhadap dokter gigi beserta dengan alat-alat yang
digunakannya yang membuat dokter gigi susah untuk mengobati
gigi anak tersebut.”

Ketika peneliti menanyakan apakah drg. Martha merasa kesulitan dalam


melayani pasien anak, beliau mengatakan tidak. Hanya saja, beliau mengakui
bahwa kesabarannya kadang habis jika harus membujuk anak sampai setengah
jam, ditambah lagi ketika beliau melihat sudah banyak pasien yang mengantri di
ruangannya. Hal ini membuat beliau langsung putus asa dan menyerahkan anak
tersebut kepada orang tuanya.

“Saya menganggap kalau sudah sepantasnya dokter yangs


seumuran saya sudah tidak sabar lagi dalam membujuk anak-
anak, sehingga terkadang dalam menghadapi anak yang

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


50

menangis, cengeng dan tidak mau mendengarkan perkataan saya,


saya hanya akan mendiamkannya dan menyerahkannya kepada
orangtuanya untuk dibujuk. Menurut saya umur sangat
mempengaruhi kesabaran saya, makanya saya tidak begitu sabar
lagi dalam membujuk dan melakukan pendekatan dengan anak.”

Ketika peneliti menanyakan tindakan yang dilakukan beliau dalam


menghadapi hambatan tersebut, beliau hanya membela dirinya dengan
mengatakan bahwa sudah sepantasnya dokter gigi yang seumuran dengannya
memiliki kesabaran yang lebih sedikit dibandingkan dengan dokter gigi yang
masih muda. Mengingat jam terbang dokter ini yang juga sudah padat, membuat
beliau merasa mudah bosan dalam melayani pasien anak yang sangat susah diajak
untuk bekerja sama.
Dengan berakhirnya jawaban dari drg. Martha tadi, maka peneliti
mengakhiri wawancara dengan beliau pada saat itu.

Kasus Kedua :
Nama Informan : drg. Christy Nora Sembiring
Usia : 34 tahun
Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 193 A Medan

Dokter gigi inilah informan kedua yang peneliti wawancarai. Setelah


melakukan survey sambil melihat-lihat semua tempat praktek bersama dokter gigi
yang ada di sekitaran Jalan Jamin Ginting, akhirnya peneliti mendapatkan tempat
praktek ini. Berselang beberapa hari setelah mewawancarai informan pertama,
lalu kemudian peneliti memutuskan untuk mewawancarai dokter gigi ini.
Pada kunjungan pertama pada tanggal 30 Januari 2015, peneliti sampai di
tempat praktek pada pukul 15.00 WIB, namun tempat prakteknya belum buka,
dan setelah melihat ke pamfletnya, peneliti baru tersadar bahwa tempat praktek
dokter gigi ini ternyata di buka pada pukul 16.00. Setelah menunggu hampir
sejam, tempat praktek tersebut dibuka oleh seorang perawat gigi yang sedang
membersihkan ruangan dokter gigi tersebut. Maka peneliti pun menanyakan
kepada perawat tersebut, apakah dokter giginya sudah datang atau belum.
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


51

Ternyata perawat tersebut memberitahukan saya bahwa dokter gigi yang bertugas
hari ini adalah drg. Christy dan beliau belum datang, sehingga perawat tersebut
meminta saya untuk menunggu dokter diruangan tunggu. Tetapi karena
perawatnya terlihat sangat sibuk membersihkan ruangan tersebut sehingga peneliti
merasa segan untuk bertanya-tanya kepadanya.
Setelah menunggu beberapa menit, pada pukul 16.10 drg. Christy datang
ke tempat prakteknya. Ketika melihat beliau datang, akhirnya saya pun
menemuinya diruangan dokter, dan menjelaskan maksud dan tujuan saya datang
ke tempat prakteknya. Dan berhubung pada saat itu belum ada pasien yang
datang, sehingga peneliti dapat langsung melakukan wawancara dengan dokter
gigi tersebut.
Peneliti pun memulai wawancara dengan menanyakan beberapa informasi
mengenai dokter tersebut. Dari wawancara dengan informan, peneliti mengetahui
bahwa beliau sudah membuka tempat praktek bersama tersebut sejak pertengahan
tahun 2011. Dan untuk saat ini, beliau hanya bekerja di tempat praktek ini, tidak
ada tempat yang lain, karena mengingat usia anaknya yang masih balita, sehingga
membuat beliau merasa belum tega untuk meninggalkannya dirumah dalam
jangka waktu yang lama. Karena alasan ini jugalah beliau memutuskan untuk
membuka tempat praktek bersama, jika membuka praktek bersama beliau bisa
membagi waktunya dengan rekan kerjanya sehingga beliau tidak harus masuk
kerja setiap hari.
Drg. Christy juga menceritakan bahwa rekan kerjanya dalam praktek
bersama ini adalah teman dekatnya dan teman satu stambuk beliau ketika masih
kuliah di FKG USU, sehingga ketika rekannya mengajak beliau untuk membuka
praktek bersama, beliau pun langsung menyetujuinya. Dalam membagi pasien di
tempat praktek bersamanya, mereka memiliki kesepakatan bersama yaitu untuk
berbagi hari kerja, dimana drg. Christy masuk setiap hari Senin dan Jumat
sedangkan rekannya masuk setiap hari Selasa, Rabu, dan Kamis. Beliau juga
sering memberitahukan kepada pasiennya mengenai jadwalnya itu, jadi jika ada
pasien yang ingin dilayani oleh drg. Christy haruslah datang pada hari Senin atau
Jumat. Beliau juga mengatakan bahwa mereka tidak pernah mempermasalahkan

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


52

mengenai pembagian pasien, siapa yang sedang dinas di praktek maka dialah yang
berkewajiban untuk melayani pasien yang datang, kecuali pasien orto (behel).

“Tidak menentu, kadang seminggu tidak ada pasien anak, tetapi


kadang-kadang sampai 5 pasien per minggunya.”

Ketika peneliti menanyakan jumlah pasien anak per minggunya, drg.


Christy mengatakan bahwa jumlah pasien anaknya tidak menentu setiap
minggunya. Terkadang tidak ada pasien anak yang datang dalam seminggu, dan
terkadang sampai lima pasien anak per minggunya.

“Selama ini sih tergantung anaknya, gak semua takut, kadang ada
anak yang langsung mau buka mulut, namun ada yang jangan kan
disuruh buka mulut, untuk masuk keruangan ini aja dia ga berani.
Sebagian besar sih rasa takutnya dipengaruhi oleh orang tua dan
lingkungannya. Banyak orang tua ketika anaknya susah untuk
dibilangin atau bandel lalu mengancamnya akan dibawa ke dokter
untuk disuntik. Jadi si anak akan ingat terus kalau dokter itu
adalah sosok yang sangat menyeramkan karena dia mempunyai
jarum suntik. Bahkan kadang bisa membuat anak trauma dengan
dokter. Namun begitu, masih ada juga orang tua yang bijaksana
dalam memberikan pengertian akan pentingnya menjaga
kesehatan gigi dan mulut bagi anak-anaknya. Mereka juga
menyadarkan anaknya tentang peran dokter gigi dalam membantu
menjaga kesehatan giginya dan bukan menyakitinya. Sehingga
anak akan merasa dokter bukanlah sosok yang menyeramkan
tetapi akan membantunya dalam merawat giginya. Hal yang
berpengaruh berikutnya adalah lingkungan, misalnya ada teman
atau saudara yang sudah pernah ke dokter gigi sebelumnya dan
ternyata mengalami pengalaman yang buruk. Dan ketika si anak
mendengar pengalaman yang kurang menyenangkan tersebut,
maka ia akan dengan mudah mempercayainya dan bahkan dapat
memperbesar rasa takutnya kepada dokter gigi.”

Drg. Christy menjelaskan bahwa sebenarnya tidak semua anak takut ketika
berhadapan dengan dokter gigi, ada anak yang gampang diajak bekerja sama
namun ada juga anak yang sangat susah untuk diajak bekerja sama. Hal yang
sangat berpengaruh dalam rasa takut anak tersebut menurut beliau adalah pola
asuh orang tua dirumah yang sering menakut-nakuti anaknya dengan mengancam
akan dibawa kedokter supaya di suntik ketika anaknya melakukan kesalahan di

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


53

rumah dan juga pengaruh dari lingkungan anak itu sendiri, yaitu kakak, abang,
adik, teman sepermainannya yang sudah pernah mengalami pengalaman buruk
dengan dokter gigi. Rasa takut ini termasuk ke dalam rasa takut subjektif yaitu,
rasa takut yang disebabkan oleh perasaan dan sikap yang dibisikkan atau didengar
dari orang lain tanpa mengalami sendiri sebelumnya (Diktat Bahan Kuliah Ilmu
Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara,
2014 : 20).

“Umumnya sih yang kesini dicabut giginya, karena sudah


waktunya pertumbuhan gigi yang baru jadi gigi susunya dicabut.
Alasan yang kedua karena giginya sakit, berlubang atau akar
giginya sudah melukai gusinya. Biasanya gigi tersebut akan
dicabut, namun kalau giginya berlubang dan belum saatnya untuk
dicabut pasti kakak dibersihin dulu, lalu dirawat dan ditambal.”

Beliau juga menjelaskan kepada peneliti berhubung karena rata-rata usia


pasien anak yang datang ke tempat praktek beliau adalah umur lima tahun ke atas
maka kebanyakan kasus gigi anak yang datang adalah pencabutan gigi dan kasus
gigi sakit, berlubang dan akarnya sudah melukai gusi. Maka yang akan beliau
lakukan adalah mencabutnya atau merawatnya terlebih dahulu sebelum kemudian
dilakukan penambalan.

“Selama ini belum pernah sih,namun pengalaman yang paling


saya ingat ketika melayani pasien anak yaitu beberapa waktu yang
lalu saya sempat melayani pasien anak yang sangat tidak
koperatif, disuruh buka mulut aja dia ngga mau padahal udah
dibujuk-bujuk oleh saya dan orang tuanya. Saya sempat merasa
kesal karena memakan waktu yang lama untuk membujuk anak
ini, hingga pada akhirnya saya menyuruh orang tuanya untuk
membawanya pulang ke rumah dulu, lalu membujuknya dirumah
dan kemudian datang di lain waktu. Sempat datang ke tempat
praktek saya tiga kali, namun tetap tidak mau, tapi pas datang
untuk yang ke empat kalinya dia sudah mau diajak untuk bekerja
sama. Saya ngeliat anak ini memang sudah dibujuk, jadi saya
berpikir yang penting tercabutlah giginya segera, memang dia
ngerasa agak sakit kemaren karena pas disuntik bius dia meronta-
ronta, jadinya biusnya tidak masuk semua. Lagian jika anak yang
dalam kondisi ketakutan pasti akan tetap ngerasa sakit ketika
giginya disentuh meskipun sudah dibius. Tetapi ada kepuasan
tersendiri didalam hati saya ketika saya bisa menaklukkan rasa
takut pasien anak tersebut.”
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


54

Ketika peneliti menanyakan pengalaman beliau dalam menghadapi pasien


anak yang berkebutuhan khusus seperti autis ataupun penyakit berbahaya lainnya
seperti jantung, dan lain-lain, beliau mengatakan kalau dia belum pernah bertemu
dengan pasien anak yang seperti itu. Kemudian beliau menceritakan
pengalamannya dalam melayani pasien anak, yang sudah tiga kali datang ke
tempat prakteknya dan tetap tidak mau diajak untuk bekerja sama. Hingga pada
akhirnya bersama dengan orang tuanya, drg.Christy pun agak memaksa anak
tersebut, beliau juga mengatakan kalau si anak sempat merasakan sakit karena
obat biusnya tidak masuk semua ke dalam. Rasa takut yang dialami anak ini
termasuk ke rasa takut objektif, yaitu rasa takut yang disebabkan rangsangan fisik
secara langsung pada alat perasa (Diktat Bahan Kuliah Ilmu Kedokteran Gigi
Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, 2014 : 22).
Kemungkinan rasa sakit yang dirasakan anak tersebut sebenarnya tidaklah
besar, tetapi karena dia yang sudah terlebih dahulu takut dengan semua peralatan
dokter gigi, maka ia akan selalu merasa ketakutan dengan semua tindakan dokter
gigi.

“Pernah sih kemaren itu ada orang tua yang gak sabaran untuk
ngebujuk anaknya, dia sampai menampar, menjewer dan
memukul kepala anaknya. Padahal sebenarnya anaknya bukan
tipe yang sangat susah untuk dibujuk, saya yakin meskipun
tadinya tidak dipukul oleh orang tuanya, pasti si anak akan mau
membuka mulutnya. Tetapi karena orang tuanya tempramen, saya
merasa sangat kasihan dengan anak tersebut.”

Salah satu hal yang juga sering terjadi pada saat berlangsungnya proses
perawatan gigi anak adalah sikap orang tua yang dapat merusak psikologis anak.
Anak yang sedang ketakutan jika dimarahi dan dipukul maka akan membuat rasa
takutnya semakin besar.

“Biasanya sih untuk menghadapi anak yang penakut saya tidak


memanggil nama saya dengan panggilan dokter tetapi saya
menggunakan kata tante untuk bisa mendekatkan diri dengan
anak tersebut. Tetapi jika berhadapan dengan anak yang nakal dan
susah diatur biasanya saya menggunakan panggilan dokter supaya
anak tersebut merasa segan dengan saya. Saya juga akan
menanyakan nama anak tersebut, sudah sekolah atau belum,

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


55

sudah kelas berapa dan sekolah dimana. Tidak jarang juga saya
memuji kegantengan dan kecantikannya, terkadang saya juga
memuji barang-barang yang dipakainya seperti baju, sepatu, dan
lain-lain. Intinya sih harus tetap sabar dalam menghadapinya,
harus dibujuk-bujuk. Sesuai dengan pelajaran saya dulu, kalau
pasien anak itu tidak boleh ditakut-takutin atau dibohongi karena
bisa menimbulkan rasa trauma dalam diri anak tersebut. Saya
hanya menggunakan kata-kata sewajarnya saja, tidak
menggunakan kata-kata monsters atau hal yang menakutkan
lainnya, paling hanya menggunakan kata-kata kuman dan
penyakit. Dan dalam penggunaan alat-alat medis pun harus hati-
hati dalam menghadapi anak yang penakut, baiknya alat-alat
seperti jarum suntik, tang pencabut gigi disembunyikan dan
jangan sampai terlihat oleh anak. Dan kalau saya biasanya
menyembunyikannya di tempat yang jauh dari kursi duduk pasien
dan jika ingin digunakan maka saya akan memegang alat tersebut
tetapi menaruh tangan saya dipunggung jadi si anak tidak akan
dapat melihatnya. Saya juga sering membujuk anak-anak dengan
menggunakan kalimat seperti ini, ‘kamu kan ganteng/cantik masa
mau punya gigi yang rusak, nanti malu dong kalau teman-teman
mainnya tahu kamu punya gigi busuk?’. Jika dengan seperti
itupun dia tetap tidak mau maka saya akan menyuruh orang
tuanya untuk memegang tubuh pasien anak itu agar dapat
dilakukan perawatan giginya. Jika hal itu pun tidak dapat
dilakukan, maka saya akan meminta orang tuanya supaya
membawanya kerumah dulu dan membujuknya sehingga jika
dilain waktu ia sudah mau dirawat hendak membawanya lagi
kembali kesini.”

Drg. Christy memulai pendekatannya dengan memuji


kegantengan/kecantikan pasien anak tersebut. Sesuai dengan tujuan komunikasi
antar pribadi, drg. Christy menggunakan komunikasi untuk mengenal pasiennya,
menciptakan dan memelihara hubungan beliau dengan pasiennya, mengubah
sikap dan prilaku pasien anaknya, dan membantu anaknya untuk mengobati
penyakit giginya (Marhaeni Fajar, 2009 : 78).
Beliau juga mengatakan bahwa beliau sering menyembunyikan alat-alat
medis yang menyeramkan bagi anak supaya tidak kelihatan olehnya. Jika tidak
melihat alat medis secara langsung, kemungkinan rasa takut anak akan semakin
berkurang.

“Saya sering bilang ke pasien anak, kalau disuntik nggak akan


sakit dan nggak akan lama, dan begitu setelah selesai disuntik

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


56

maka tidak akan sakit lagi (karena sudah dalam keadaan kebas)
dan jika sudah diobati maka kuman penyakitnya akan mati dan
tidak akan menganggu kesehatan gigi yang lain. Dengan begitu
anak menjadi mau diajak bekerja sama dan kemudian dia tidak
akan takut lagi berhadapan dengan dokter gigi.”

Manfaat komunikasi terapeutik yang dirasakan oleh drg. Christy adalah


selain dapat mempengaruhi pasien anaknya, beliau juga dapat mengurangi
keraguan dalam diri anak tersebut, dan kemudian anak tidak akan merasa takut
lagi ketika harus berurusan dengan dokter gigi.

“Sejauh ini sih ngga ada hambatan yang begitu besar ya. Mungkin
rasa kesal pasti ada karena kadang habis juga kesabaran dalam
membujuk pasien anak ini. Tapi karena dulunya, saya juga
seorang guru sekolah minggu jadi saya lebih sabar dan sudah
terbiasa dalam membujuk anak. Faktor penghambat lainnya,
kadang kesabaran saya habis juga untuk membujuk-bujuk anak.
Yang menjadi faktor yang paling berpengaruh dalam hambatan
terapeutik ini biasanya dari pasien anaknya yang sangat susah
untuk dibujuk-bujuk. Kadang selama sepuluh sampai lima belas
menit saya membujuk-bujuk anak tersebut, namun jika sudah
dibujuk pun tetap tidak mau bekerja sama maka saya akan
menyuruh orang tua untuk membawanya pulang dulu biar dibujuk
dirumah, nanti lain waktu kalau anaknya sudah berani dan mau
dibujuk barulah datang kembali kesini.”

Beliau ternyata sudah memiliki banyak pengalaman dalam dunia anak,


seperti yang sudah dijelaskan, bahwa beliau sempat menjadi guru sekolah minggu
di gerejanya sewaktu ia masih muda. Pengalaman tersebutlah yang kemudian
membuat beliau lebih memahami psikologi anak-anak, sehingga ketika
berhadapan dengan pasien anak beliau selalu berusaha untuk memahami jiwa
anak tersebut.

“Ketika anak tidak mau diajak bekerja sama maka saya akan
membujuk-bujuk anak tersebut, jika sudah dibujuk pun tetap tidak
mau maka saya menggunakan metode ‘modelling’ yaitu dengan
mencontohkannya ke orang lain ntah ke kakaknya atau ke
adeknya yang lebih berani. Kalau tidak bisa juga kadang saya
menyuruh orang tuanya untuk memegang anaknya. Sejauh ini sih
kondisi fisik saya tidak berpengaruh, karena saya tidak mau asal-
asalan dalam melayani pasien anak, saya menganggap bahwa
pasien itu adalah anak saya jadi sebisa saya, saya akan berikan
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


57

yang terbaik, meskipun kadang dalam kondisi tidak enak badan


tetapi saya masih bisa mengontrol emosi saya. Dan saya ngga
ngerasa keberatan dalam menghadapi pasien anak, sejauh ini sih
enjoy aja.”

Pada proses ini, drg. Christy menggunakan teknik komunikasi terapeutik


‘teknik orang ketiga’, dimana beliau melibatkan orang terdekat pasien. Teknik ini
dianggap kurang memaksa dibandingkan jika harus memaksa anak yang
bersangkutan untuk membuka mulutnya. Jika anak tetap tidak mau membuka
mulutnya, maka beliau akan mencontohkannya kepada kakak/adik pasien yang
lebih berani. Jawaban diatas menutup wawancara peneliti dengan drg. Christy.
Peneliti kemudian meminta beliau untuk menghubungi peneliti jika nantinya ada
pasien anak yang datang, agar kemudian peneliti dapat melakukan observasi.

Kasus Ketiga :
Informan terdiri dari:
Nama Informan : drg. Juli Perangin-angin
Usia : 34 tahun
Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 193 A Medan

Informan ketiga ini memiliki tempat praktek yang sama dengan informan
kedua, yang membedakannya adalah hari kerjanya. Beberapa hari setelah selesai
mewawancarai informan kedua yaitu pada tanggal 4 Februari 2015, peneliti
akhirnya memutuskan untuk datang kembali ke tempat praktek yang sama tetapi
mewawancarai dokter gigi yang berbeda.
Berbeda kondisi dengan informan kedua, ketika peneliti sampai di tempat
praktek drg. Juli, peneliti melihat sudah ada dua orang pasien yang mengantri di
ruang tunggu, dan beliau sedang sibuk melayani pasien di ruang kerjanya. Oleh
karena itu, peneliti memutuskan untuk menunggu beliau menuntaskan
pekerjaanya.
Pada pukul 17.30 beliau selesai melayani pasiennya sehingga meminta
perawatnya untuk menyuruh peneliti masuk ke dalam ruang kerjanya.
Sesampainya di dalam, peneliti langsung menjelaskan apa tujuan peneliti datang

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


58

ke tempat praktek tersebut, lalu kemudian beliau mengizinkannya. Berhubung


karena pada saat itu tidak ada pasien yang mengantri, maka peneliti langsung
memulai pembicaraan dengan beliau.
Drg. Juli ternyata sudah membuka tempat praktek ini dari pertengahan
tahun 2011, bersama rekannya drg. Christy. Dari proses wawancara tersebut,
beliau juga memberitahukan kepada peneliti bahwa selama ini beliau juga terikat
dinas di RS. Elisabeth, namun kontraknya sudah selesai beberapa hari yang lalu
karena disana beliau hanya menggantikan temannya yang sedang sibuk di luar
kota.
Beliau memutuskan untuk membuka praktek bersama karena menurutnya
memang lebih baik membuka praktek bersama dibanding praktek sendirian.
Beban yang ditanggung pun akan dibagi dua. Beliau juga mengaku bahwa beliau
sangat tidak terbiasa kalau harus disuruh bekerja sendirian, beliau merasa lebih
semangat jika ada rekan sekerjanya yang bisa diajak berdiskusi, sehingga setiap
permasalahan yang ada akan mereka selesaikan secara bersama-sama.
Drg. Juli juga menceritakan bahwa beliau dan rekan sekerjanya adalah
teman dekat sewaktu kuliah di FKG USU. Mereka berdua sangat akrab, sehingga
pada tahun 2011 mereka merencanakan untuk membuka praktek bersama, namun
karena masih banyak yang harus dipersiapkan seperti tempat praktek, alat-alat
medis, dan lain-lain membuat rencana mereka tertunda, hingga pada pertengahan
2011-lah mereka berhasil membuka tempat praktek bersamanya.
Dalam hal pembagian pasien, mereka sudah memiliki kesepakatan
bersama, yaitu dengan membaginya per hari. Jadi pasien yang datang pada hari
Selasa, Rabu, Kamis adalah pasien drg. Juli dan pasien yang datang pada hari
Senin dan Jumat adalah pasien drg. Christy, kecuali pasien orto karena semua
pasien orto ditangani oleh drg. Juli. Namun, ketika ada pasien beliau yang
berhalangan hadir pada hari yang ditentukan, maka beliau akan mentransfernya ke
rekan sekerjanya, karena pada prinsipnya mereka tidak mau mempermasalahkan
mengenai jumlah pasien mereka.

“Tidak menentu,kadang tidak ada kadang sampai 5 orang per


minggunya.”

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


59

Ketika peneliti menanyakan jumlah pasien anak per minggunya, beliau


mengatakan bahwa jumlahnya tidak dapat ditentukan, terkadang tidak ada pasien
anak tetapi kadang sampai lima orang per minggunya.

“Pasien anak yang datang kesini sih beragam ya, ada yang takut
namun kadang ada yang santai aja datang kesini. Kebanyakan sih
yang mempengaruhi rasa takut itu adalah rasa trauma yang pernah
dialami sebelumnya maka ia akan takut setiap bertemu dengan
dokter gigi. Faktor yang mempengaruhi berikutnya adalah
informasi yang dia terima tentang dokter gigi ataupun berobat
gigi yang membuat dia takut untuk datang kesini. Ntah bukan dia
yang trauma tetapi orang tua, jadi orang tuanya mungkin sering
menakut-nakutinya, banyak orang tua mengancam akan
membawa anaknya ke dokter biar disuntik ketika anak tersebut
nakal. Jadi si anak sudah punya image kalau ke dokter itu
menyeramkan termasuk ke dokter gigi. Kalau faktor umur sih
menurut saya tidak terlalu mempengaruhi rasa takut anak, karena
banyak anak yang sudah kelas 4 SD tetapi masih takut aja sama
dokter gigi.”

Beliau menjelaskan bahwa tidak semua anak yang datang memiliki


masalah ketakutan yang sama, bahkan ada yang tidak takut sama sekali. Rasa
takut terbagi ke dalam tiga jenis yaitu, rasa takut objektif, subjektif dan sugesti
(Diktat Bahan Kuliah Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara, 2014 : 20). Rasa takut pertama yang dijelaskan oleh
drg. Juli adalah rasa takut subjektif yaitu rasa takut yang disebabkan oleh perasaan
setelah mendengar pengalaman orang lain mengenai pengalaman buruk mereka
pada saat proses pengobatan gigi mereka. Sebelumnya mungkin anak pernah
mendengar pengalaman buruk saudaranya pada saat berobat gigi, sehingga
membuat rasa takut tersebut tertanam dalam diri anak dan susah untuk
dihilangkan.
Selanjutnya, rasa takut objektif adalah rasa takut yang disebabkan oleh
rangsangan fisik pada alat perasa, seperti yang dijelaskan beliau bahwa ada anak
yang memiliki pengalaman buruk ketika berobat gigi sehingga membuat dia
trauma dengan dokter gigi.

“Kebanyakan sih pasien disini datang dengan kondisi gigi yang


sudah hancur, bisa dibilang lubangnya sudah besar sehingga harus

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


60

dilakukan perawatan. Banyak juga kasus anak disini, dimana gigi


tersebut sudah mengganggu gusinya sehingga menimbulkan rasa
nyeri dan menyebabkan anak tersebut mengeluh karena susah
makan dan susah tidur, barulah orang tua akan membawanya ke
dokter gigi. Kasus berikutnya adalah keadaan gigi anak yang
sudah melewati batas untuk dicabut sehingga gigi yang baru
sudah tumbuh dibelakang yang sering disebut dengan gigi
persisten. Gigi persisten yaitu keadaan dimana gigi susu masih
menetap sedangkan gigi tetapnya sudah tumbuh, maka gigi susu
tersebut harus dicabut. Kalau tindakan saya sih tergantung
kasusnya, kebanyakan sih kalau kasusnya sudah tahap lanjut
(sudah sangat sakit) maka akan dilakukan perawatan. Karena
biasanya gigi susu anak ini tidak bisa dicabut secara
sembarangan. Misalnya ada yang datang dengan kondisi gigi yang
sudah parah, jadi hanya ada satu pilihan yaitu
mempertahankannya sampai ada gigi baru yang tumbuh lagi,
maka yang akan saya lakukan adalah melakukan perawatan saraf.
Sedangkan masalah gigi susu yang masih menetap meskipun gigi
tetapnya sudah tumbuh dibelakang, maka gigi susu tersebut
haruslah dicabut. Hal itu juga yang sering membuat anak takut ke
dokter gigi karena dia tahu kalau gigi susunya tersebut pasti akan
dicabut”.

Beliau menyampaikan bahwa rata-rata umur pasien anak yang datang ke


tempat prakteknya berkisar antara tiga sampai sembilan tahun. Kebanyakan
diantaranya datang dengan kondisi gigi yang hancur, misalnya akar gigi masih
tertinggal di gusi sehingga melukai bibir anak tersebut sehingga membuatnya
terus mengeluh karena susah makan dan susah tidur. Pada usia tersebutlah
biasanya anak mengalami pertumbuhan gigi tetap, sehingga gigi susu haruslah
dicabut terlebih dahulu. Hal ini juga di akui oleh drg. Juli yang membuat anak
takut ke dokter gigi, karena dia tahu bahwa giginya akan dicabut.

“Kemarin saya pernah menjumpai pasien yang mengalami


keterbatasan mental jadi kalau diajak untuk berkomunikasi pun
dia tidak akan mengerti, dia hanya menangis saja. Jadi atas izin
orang tuanya saya pun mengambil tindakan tetapi agak memaksa
sedikit dan dibantu oleh orang tuanya untuk menahan kepalanya.
Dan setelah berhasil mencabut giginya saya langsung memeluk
anak tersebut dan meminta maaf meskipun mungkin dia tidak
mengerti. Tujuan saya agar ia tidak trauma dengan dokter gigi.
Beberapa waktu yang lalu saya juga pernah menghadapi anak
yang sangat susah dibujuk. Dia juga tidak segan meludahi orang
tuanya, perawat disini termasuk saya juga. Dan sebenarnya orang

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


61

tuanya yang memang memaksa untuk ke dokter gigi, karena


kondisi giginya yang sudah mengganggu kenyamanan anak
tersebut, dimana gigi barunya sudah tumbuh tetapi akar gigi
susunya masih menetap dan melukai bibirnya. Memang kondisi
seperti ini mengharuskan saya untuk mencabutnya, karena jika
dipertahankan maka akar tersebut akan selalu menyiksa anak
tersebut. Tetapi tetap saja, pada kunjungan pertamanya, saya tidak
akan melakukan tindakan yang melukai anak, jadi saya hanya
akan mengajak dia untuk bercerita. Namun dikunjungan yang
pertama tersebut pun sudah terlihat bahwa anaknya memang
susah diajak bekerja sama, anaknya terus memukul kedua
orangtuanya, dia juga sudah berkeringat karena kelamaan
menangis. Berselang dua hari dan atas izin orang tuanya,
meskipun anaknya tetap menangis dan tetap meludah , saya harus
tetap mencabut akar gigi tersebut dengan sedikit memaksa. Saya
bekerja sama dengan orang tuanya, dimana kedua orang tuanya
memegang badan anak tersebut sehingga saya dapat mencabut
akar gigi tersebut. Setelah berhasil mencabut giginya, saya
langsung memeluk anak tersebut dan meminta maaf agar
kemudian tidak menimbulkan rasa trauma dalam diri anak itu.
Dan ternyata berhasil, pada kunjungan berikutnya anak tersebut
sudah tidak takut lagi datang kesini.”

Ketika peneliti menanyakan pengalaman beliau dalam melayani pasien


anak, beliau pun langsung menceritakannya dengan senang hati. Dari jawaban
beliau, peneliti dapat melihat bagaimana drg. Juli begitu menerapkan komunikasi
terapeutik bagi para pasien anaknya. Beliau mengaku tidak pernah memaksa anak
untuk langsung dilakukan tindakan medis pada kunjungan pertamanya. Beliau
memanfaatkan kunjungan pertama untuk berkenalan dan mendekatkan diri dengan
pasien anaknya. Hal ini sesuai dengan fase kedua dalam komunikasi terapeutik
yaitu ‘fase orientasi’, dimana tenaga medis menjalin hubungan yang baik dengan
pasiennya, karena pada fase inilah ia akan membentuk citranya melalui pertemuan
pertama dengan pasiennya (Musliha & Siti Fatmawati, 2010 : 117).
Salah satu bagian dari komunikasi non verbal adalah ‘sentuhan’ (Musliha
& Siti Fatmawati, 2010 : 16). Drg. Juli mengaku sering memeluk dan meminta
maaf kepada pasien anaknya ketika perawatan giginya sudah selesai. Hal ini
dilakukannya supaya di kemudian hari anak tersebut tidak takut lagi untuk datang
ke dokter gigi.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


62

“Ada beberapa saya lihat orang tua yang tempramen. Kadang


tidak segan membentak bahkan memukul anaknya di sini. Saya
pun tidak tega melihatnya. Jika saya melihat orang tua yang
seperti itu, maka saya akan meminta orang tuanya untuk bersabar
dan jika memang masih tetap membentak anaknya maka saya
akan memberitahukan orang tua tersebut kalau diruangan saya
tidak boleh membentak ataupun memukul anak, hal ini saya
lakukan agar dapat meredakan emosi orang tuanya.”

Beliau mengakui bahwa ada beberapa orang tua yang tidak sabar ketika
anaknya susah untuk dibujuk, terkadang mereka tidak segan memukul anaknya di
depan beliau. Hal ini diakui beliau dapat mengganggu kenyamanannya dalam
mendekatkan diri dengan pasien, sehingga terkadang beliau mengingatkan orang
tua tersebut agar tidak memukul anaknya.

"Dalam melayani pasien anak jarang sekali saya menggunakan


sebutan dokter, saya sering menggunakan panggilan kakak, agar
anak tersebut merasa dekat dengan saya. Karena bagi sebagian
anak, panggilan dokter itu memiliki image yang buruk dan
menyeramkan. Biasanya saya akan kenali dulu pasien anaknya,
kalau anak tersebut tipe yang koperatif dan tidak ada rasa takut
maka saya akan lebih rileks dan langsung mengerjakan perawatan
giginya, tetapi walaupun koperatif saya tidak akan langsung
mengambil tindakan, melainkan saya akan permisi dulu kepada
pasien anak tersebut, dan kemudian barulah saya memberitahukan
apa yang akan saya lakukan kepada anak tersebut tetapi dengan
menggunakan bahasa anak-anak yang mudah dimengerti dan
tidak menakuti anak tersebut. Sedangkan dalam menghadapi
pasien anak yang sangat ketakutan, maka pada kunjungan pertama
kita lebih banyak cerita-cerita terlebih dahulu. Cara ini dilakukan
untuk mengurangi rasa takut dalam dirinya. Jadi saya akan
terlebih dahulu memperkenalkan alat-alat yang digunakan disini
dan biasanya pada kunjungan pertama saya tidak akan langsung
mengambil tindakan seperti pencabutan dan lain-lain yang
langsung menyakiti anak, melainkan saya hanya akan melakukan
tindakan yang sederhana seperti menunjukkan gigi anak yang
bermasalah dan menceritakan apa yang akan saya lakukan
nantinya. Dan kemudian saya akan meminta orang tuanya untuk
membawanya kembali ke sini berselang satu atau dua hari agar
terkesan tidak terlalu buru-buru hingga anak tidak merasa terlalu
disakiti. Hal yang sangat perlu diperhatikan adalah psikologi
anak, karena pas dia masuk ke ruangan praktek kita, kita langsung
bisa lihat dia tipe anak yang mau dibujuk atau tidak, dia takut atau
tidak, tipe anak yang manja atau tidak. Karena itu semua akan
berpengaruh. Misalnya anak yang tipe manja akan sangat susah
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


63

penanganannya, karena membujuknya akan sangat lama. Kadang


orang tuanya juga harus disuruh keluar supaya anak tidak selalu
bergantung sama orang tuanya. Karena orang tua sangat
berpengaruh dalam rasa takut anak, cara asuh mereka dirumah
juga mempengaruhi sikap anak. Jadi, seorang dokter gigi harus
dapat mengenali pasiennya dan tahu bagaimana cara mengambil
hati pasiennya agar kemudian mau diajak bekerja sama.”

Drg. Juli mengakui bahwa komunikasi sangat dibutuhkan dalam


pelayanannya kepada pasien anak. Komunikasi dilakukan untuk membantu beliau
dalam mendekatkan diri dengan anak. Beliau sering menggunakan teknik
“storytelling (bercerita)’ kepada pasien anaknya. Beliau sering menunjukkan
kepada anak gigi mana yang sakit, dan kemudian apa tindakan yang akan
dilakukannya kepada pasien anak tersebut. Beliau juga sering meminta izin
kepada anak sebelum melakukan tindakan medis, hal ini dilakukan supaya anak
tidak merasa diancam dan merasa dihormati.

Beliau juga sering menggunakan teknik ‘respon fasilitatif’ yaitu


melibatkan teknik mendengar dengan penuh perhatian dan kemudian
mencerminkan kembali kepada pasien perasaan dan isi pernyataan yang mereka
ungkapkan (Damaiyanti, 2008 : 15). Teknik ini digunakan oleh drg. Juli ketika
beliau bertemu dengan pasien anak yang mau diajak berbicara, sehingga ketika
anak menjawab pertanyaannya dan menyampaikan keluhannya, beliau pun
menggunakan teknik respon fasilitatif.

“Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, semampu saya,


saya akan mencoba untuk membujuk anak tersebut dengan
mengambil hatinya ataupun dengan mendekatkan diri dengan
anak. Bagi anak yang sudah dibujuk tetapi ia tetap berkeras hati
untuk tidak mau membuka mulut dan keadaan gigi mereka sudah
sangat parah, maka dengan seijin orang tuanya saya akan sedikit
memaksa anak tersebut untuk membuka mulutnya, kadang ada
beberapa pasien dimana ayahnya memegang kepalanya, ibunya
memegang tangannya dan perawat memegang kakinya, dan
kemudian saya akan mengobati giginya. Namun karena masalah
gigi anak yang datang kesini kebanyakan bermasalah di gigi
depannya, jadi itu sangat memudahkan saya. Karena meskipun
dia menutup mulutnya, tapi dengan membuka bibirnya saja saya
sudah dapat mengobati gigi anak tersebut. Tetapi biasanya dalam
menghadapi beberapa pasien anak, saya langsung bisa melihat
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


64

anak tersebut bisa dibujuk atau tidak. Tetapi setiap anak pasti
akan saya bujuk-bujuk agar melawan rasa takutnya. Memang
sebagian anak berhasil tetapi ada juga beberapa yang tidak
berhasil dibujuk, jadi ketika anak tersebut tidak mau melakukan
perawatan gigi meskipun sudah dibujuk-bujuk maka saya tidak
akan memaksa anak tersebut. Saya akan meminta orang tuanya
agar membawanya dulu ke rumah, agar dia bisa menenangkan
anaknya terlebih dahulu, karena memang peran orang tua juga
sangat penting dalam menghilangkan rasa takut anak terhadap
dokter gigi. Dalam memotivasi pasien anak, saya selalu
mengatakan kalau tindakan yang saya lakukan tidak akan
menyakiti mereka. Dan saya mengatakan kepada anak tersebut
jika giginya tidak diobati maka dapat membuat kuman
penyakitnya bertambah banyak, tetap jika diobati maka giginya
akan bersih dari kuman penyakit sehingga tidak akan sakit lagi.
Manfaat yang saya rasakan setelah melakukan komunikasi
terapeutik adalah anak yang tadinya datang dengan perasaan
takut, menangis ataupun terkadang marah tetapi setelah saya
bujuk-bujuk akhirnya dia mau bekerja sama. Ada juga beberapa
pasien anak yang saya jumpai, malah dipertemuan berikutnya
sudah tidak takut lagi bertemu dengan saya, malah ada yang
menyuruh orang tuanya untuk menunggu diluar.”

Dari jawaban yang diberikan oleh drg. Juli, peneliti dapat melihat
bagaimana komunikasi terapeutik sangat diperlukan oleh dokter gigi dalam
menangani pasien anak. Anak cenderung lebih sensitif dibandingkan pasien
dewasa. Beliau dengan sabarnya berusaha untuk tidak terburu-buru dalam
melakukan tindakan medis terhadap pasien anak, semampunya beliau berusaha
untuk mendekatkan diri dengan anak yaitu dengan menimbulkan rasa nyaman
dalam diri anak terhadap dokter gigi.

Dengan melakukan komunikasi terapeutik drg. Juli dapat mempercepat


kesembuhan pasien anaknya, karena dengan membujuk, anak akan berani
melawan rasa takutnya. Perubahan juga terjadi dalam pola pikir anak, yang
tadinya menganggap dokter adalah sosok yang menyeramkan kini dikalahkan oleh
rasa nyaman yang dirasakannya ketika berada di dekat dokter gigi. Oleh
karenanya, dengan komunikasi terapeutik, dokter gigi dapat merubah prilaku
pasiennya.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


65

“Sejauh ini sih saya tidak merasa kesulitan. Semampu saya, saya
akan mencoba mengerti mereka karena dengan begitu saya bisa
lebih sabar dalam membujuk-bujuk mereka. Terkadang yang
menjadi penghambatnya adalah kesabaran saya. Apalagi dalam
waktu setengah jam sudah membujuk anak tetapi dia tetap tidak
mau diajak bekerja sama, dan kadang saya melihat sudah banyak
pasien yang lain mengantri maka kadang kesabaran saya juga
sudah habis. Yang sering saya lakukan untuk mengatasi hambatan
tersebut adalah dengan lebih bersabar lagi dalam menangani
pasien anak tersebut. Dengan mendekatkan diri dengannya dan
membujuk-bujuknya. Karena jika saya tidak bersabar dalam
membujuknya dapat menimbulkan rasa trauma dalam dirinya”.

Ketika peneliti menanyakan apakah beliau merasa kesulitan dalam


melayani pasien anak, beliau menawab tidak. Beliau mengakui bahwa dalam
melayani pasien anak sangat dibutuhkan kesabaran yang maksimal, karena jika
tidak berhasil melakukan pendekatan dengan anak, bisa berakibat kepada
gagalnya tindakan medis. Bisa saja anak tidak mau membuka mulutnya karena
merasa tidak nyaman dengan dokter gigi tersebut. Untuk itu hal yang juga akan
dilakukan beliau dalam mengatasi hambatan tersebut adalah dengan lebih
menyabarkan diri ketika sedang melayani pasien anak.

“Terkadang sih iya. Tetapi semampu saya, saya berusaha untuk


meminimalisirnya sehingga bisa mengerti mengenai keadaan
pasien anak tersebut. Saya selalu berusaha mengesampingkan
urusan pribadi agar bisa total dalam melayani pasien anak”.

Beliau juga mengakui bahwa terkadang kondisi fisik/moodnya


berpengaruh terhadap rasa sabarnya. Namun ia tetap berusaha untuk
mendewasakan diri dengan melupakan sejenak masalah yang sedang dihadapinya
sehingga beliau dapat bekerja lebih maksimal lagi. Jawaban tersebut menutup
pembicaraan informan dengan drg. Juli. Beliau tampak sangat antusias dalam
menjawab pertanyaan peneliti, dan meminta peneliti untuk jangan merasa segan
kepada beliau apabila di kemudian hari masih membutuhkan bantuan beliau.
Peneliti pun mengucapkan terima kasih dan berpamitan untuk pulang.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


66

Kasus Keempat :
Informan terdiri dari :
Nama Informan : drg. Ida Kristina
Usia : 50 tahun
Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 180 P. Bulan,
Simpang Kwala, Medan

Dokter gigi inilah informan keempat yang peneliti wawancarai. Sewaktu


dijalan pulang ketika selesai mewawancarai informan ketiga, peneliti melihat
tempat praktek dokter ini. Jadi, peneliti berencana untuk mengunjungi tempat
penelitian ini beberapa hari mendatang. Tepat pada hari Sabtu, peneliti datang ke
tempat praktek ini pada pukul 16.00, karena kebetulan tempat praktek ini satu
gedung dengan apotek, maka peneliti menanyakan kepada penjaga apotek
mengenai dokter gigi ini. Namun, ia mengatakan bahwa tempat praktek ini hanya
buka di hari Senin sampai hari Jumat sehingga peneliti memutuskan untuk datang
di hari berikutnya.
Pada hari Kamis tanggal 5 Februari 2015, peneliti kembali mengunjungi
tempat praktek ini. Pada pukul 16.00 peneliti sudah sampai di tempat prakteknya,
namun dokternya belum ada yang datang. Setelah hampir menunggu selama satu
setengah jam, akhirnya salah seorang dokter gigi datang ke tempat praktek itu.
Kemudian peneliti pun langsung menemuinya dan meminta izin melakukan
wawancara dengan dokter gigi tersebut. Beliau pun langsung menyetujuinya tetapi
meminta peneliti untuk menunggu sebentar karena beliau ingin membersihkan
terlebih dahulu tempat prakteknya. Selang beberapa menit, seorang dokter gigi
pun datang dan menanyakan tujuan kedatangan saya. Dan ternyata dokter gigi
yang sebelumnya sudah menjelaskan kepada dokter tersebut mengenai maksud
dan tujuan saya datang ke tempat praktek mereka.
Pada pukul 18.00 barulah peneliti memiliki kesempatan untuk
mewawancarai mereka. Karena mereka masuknya setiap hari secara bersamaan,
maka peneliti pun meminta izin mereka untuk diwawancarai secara personal dan
tidak bisa sekaligus berdua. Dan akhirnya mereka pun menyetujuinya.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


67

Kemudian saya pun meminta izin untuk mewawancarai drg. Ida Kristina
terlebih dahulu. Setelah melakukan wawancara dengan beliau, peneliti akhirnya
mengetahui beberapa informasi mengenai tempat praktek mereka. Drg. Ida
Kristina ternyata sudah membuka praktek bersama rekannya mulai tahun 2005
tetapi bukan di daerah ini. Pada tahun 2009lah mereka membuka tempat praktek
disini. Selain bekerja di tempat praktek ini, beliau juga dinas di puskesmas Desa
Singa. Beliau juga menceritakan alasan mengapa ia membuka tempat praktek
bersama. Awalnya, ia dan drg. Erni mengikuti tes pegawai negeri tetapi tidak
lulus, dan mengingat umur mereka juga yang sudah melewati batas umur tertua
untuk mengikuti tes CPNS maka mereka memutuskan untuk membuka tempat
praktek bersama daripada tidak ada kerjaan sama sekali. Lalu beberapa saat
kemudian, pemerintah ternyata membuka jalur penerimaan CPNS melalui jalur
honor, sehingga pada akhirnya mereka berdua lulus menjadi PNS.
Perkenalan diantara keduanya dimulai pada saat beberapa tahun lalu
dimana mereka sama-sama PTT di Kabupaten Karo, drg. Ida di Tiganderket dan
drg. Erni di Simpang IV. Urusan dinas mengharuskan mereka untuk sering datang
ke kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Karo, karena sering bertemu akhirnya
mereka menjadi dekat sehingga pada akhirnya memutuskan untuk membuka
tempat praktek bersama.
Peneliti melihat ada hal yang unik dalam pasangan rekan kerja ini. Jika
kebanyakan dokter gigi yang praktek bersama membagi pasien mereka
berdasarkan hari kerja mereka, sedangkan kedua dokter gigi ini membagi
pasiennya secara bergantian. Mereka berdua akan masuk setiap hari kerja, dan jika
ada pasien yang datang maka mereka secara bergantian akan melayani pasien
tersebut. Hasil yang mereka dapatkan dalam satu hari, akan dikumpulkan di satu
laci dan kemudian jika waktu untuk menutup praktek sudah dekat maka mereka
membagi sama rata hasil yang diperoleh selama satu hari tersebut. Peneliti melihat
rekan kerja ini jauh lebih kompak jika dibandingkan dengan pasangan dokter gigi
praktek bersama lainnya. Karena alasan kekompakan ini jugalah mereka tidak
membutuhkan bantuan perawat dalam praktek mereka, mereka saling bahu-
membahu dalam urusan praktek, mulai dari membersihkan tempat praktek hingga
melayani pasiennya.
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


68

“Tidak menentu, kadang sampai enam orang kadang lebih,


kadang tidak ada”.

Ketika peneliti menanyakan jumlah pasien anak beliau per minggunya,


beliau mengatakan bahwa jumlahnya tidak menentu. Terkadang bisa sampai enam
orang per minggu, tetapi terkadang tidak ada pasien anak per minggunya.

“Tergantung anaknya, karena anak-anak ini kan banyak macam-


macamnya. Ada yang penakut sekali dan sangat susah diajak
bekerja sama, tetapi ada juga yang sangat koperatif sehingga
gampang mengobati giginya. Saya rasa alasan anak takut ke
dokter gigi karena melihat alatnya yang terlihat asing bagi
sebagian besar anak-anak. Apalagi misalnya dia mendengar suara
bur dan membayangkan apa yang dilakukan bur tersebut terhadap
giginya, hal ini bisa memperbesar rasa takut anak. Terlebih lagi
orang tua yang sering menakut-nakuti anaknya dirumah, sering
mengancam jika anaknya nakal maka akan dibawa ke dokter biar
disuntik. Ini juga sangat mempengaruhi rasa takut anak terhadap
dokter gigi.”

Beliau juga menjelaskan bahwa kebanyakan anak yang datang ke tempat


praktek beliau sering merasa ketakutan dengan alat-alat medis yang mungkin
asing baginya, seperti misalnya bunyi bur. Ditambah lagi dengan pola asuh orang
tua di rumah yang sering mengancam akan membawa anaknya ke dokter agar
disuntik jika anak tersebut nakal. Hal ini membuat anak terus menerus dibayangi
oleh pikiran yang menganggap bahwa sosok dokter itu yang sangat menyeramkan.

“Kasus pasien anak yang sering datang kesini kebanyakan sih


karena giginya berlubang dan sudah sakit. Tetapi ada juga
sebagian orang tua yang sudah mengerti kesehatan gigi anaknya,
meskipun belum berlubang dan belum sakit tetapi karena sudah
goyang maka ia akan membawa anaknya kesini supaya dilakukan
pencabutan. Tindakan medis saya tergantung umurnya, kalau
umurnya masih memungkinkan giginya untuk dirawat maka
giginya akan dirawat namun kalau umur anak sudah mendekati
masa pergantian gigi maka saya akan mencabutnya. Karena
mencabut gigi anak tidak boleh sembarangan, dapat
mempengaruhi pertumbuhan rahangnya di masa mendatang.”

Berhubung karena rata-rata umur anak yang datang ke tempat praktek


dokter ini berkisar antara tiga sampai sepuluh tahun, maka kasus gigi anak yang
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


69

sering dihadapi beliau adalah gigi berlubang dan masalah pergantian gigi susu
dengan gigi tetap. Kesadaran orang tua dalam memelihara kesehatan gigi anaknya
sangat dibutuhkan agar perawatan gigi anak dapat optimal. Membawa anak ke
dokter gigi dalam keadaan sakit tentu lebih merepotkan bagi dokter gigi
dibandingkan membawa anak dalam keadaan yang tidak sakit. Karena anak yang
sedang sakit gigi cenderung lebih sensitif dan susah diajak berbicara dibandingkan
dengan anak yang tidak sakit gigi.

“Kemarin kami pernah mengobati pasien anak laki-laki yang


autis, dimana giginya harus dicabut karena tidak bisa
dipertahankan lagi. Jadi kami meminta kerja sama dari ibunya,
karena kalau tidak ada kerja sama dari ibunya pasti tidak akan
berhasil. Susah sih sebenarnya karena untuk diajak berkomunikasi
pun si anak tersebut tidak akan mengerti, jadi lebih baik meminta
ibunya untuk bekerja sama. Butuh waktu yang lama sehingga
pada akhirnya kami berhasil mencabut gigi anak tersebut, mereka
sempat datang tiga kali ke tempat praktek ini, namun pas datang
yang ke empat kalilah baru kami berhasil mencabut giginya itu.
Pernah juga kemarin ada pasien anak yang datang ke tempat
praktek ini, saya melihat anak ini bukanlah tipe anak yang
penakut dan manja karena dia datang dalam kondisi yang ceria
dan tidak menangis ataupun marah-marah. Dia justru banyak
bertanya kepada saya, ini apa itu apa, ini fungsinya apa, itu
fungsinya apa. Namun setelah saya menjelaskan semua
pertanyaannya, dia malah takut dan tidak mau diobati. Jadinya,
saya menyuruh orang tuanya untuk membawanya pulang terlebih
dahulu lalu besok atau lusa baru dibawa kembali ke tempat
praktek ini”.

Menurut pengalaman yang beliau sampaikan dalam melayani pasien anak


yang berkebutuhan khusus, komunikasi terapeutik jarang dilakukan karena untuk
diajak berbicara pun anak autis jarang mengerti akan makna kata yang kita
sampaikan. Jadi, beliau lebih mengutamakan bantuan orang tuanya.
Berbeda dengan pengalaman beliau yang kedua, dimana anak pada saat
datang tidak merasa takut kepada dokter gigi dan dia aktif bertanya kepada drg.
Ida, namun setelah beliau menjelaskan mengenai pertanyaan tersebut, hal itu
justru membuat anak menjadi takut dengan peralatan dokter gigi. Dalam hal ini
peneliti melihat adanya kekurangan komunikasi terapeutik drg. Ida dalam
menjelaskan alat-alat medisnya kepada anak sehingga menyebabkan anak

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


70

semakin takut dengan semua peralatan tersebut. Dalam penyampaian


penjelasannya, mungkin beliau kurang dapat menjelaskannya dengan
menggunakan bahasa anak-anak, sehingga membuat anak menjadi semakin takut.

“Pernah tetapi bukan sering. Ada beberapa orang tua yang mau
memukul, dan mencubit karena mereka tidak sabar. Jadi, saya
biasanya akan menyuruhnya berhenti memukul atau mencubit
anaknya, lebih baik dibawa ke rumah dulu, kalau memang tidak
mau lebih baik di bujuk daripada dikasari, kasian kan kalau anak-
anak dipukul dan dicubit hanya karena orang tua yang kurang
sabar.”

Beliau juga mengakui terkadang ada orang tua pasien anak yang kurang
bersabar dalam membujuk-bujuk anaknya. Anak yang takut akan dokter gigi
harusnya diberikan penjelasan secara pelan-pelan agar ia tidak takut lagi, tetapi
jika langsung dipukul atau dimarahi bisa saja membuat anak semakin merasa
terancam sehingga membuat rasa takutnya semakin besar.

“Pertama-tama saya akan mengajaknya berkenalan terlebih


dahulu. Saya akan menanyakan namanya (meskipun sebelumnya
saya sudah mengetahui namanya dari orang tuanya), sekolah
dimana, rumahnya dimana, sudah kelas berapa dan tak jarang juga
saya memuji kecantikan dan kegantengannya begitu juga memuji
barang-barang yang ia gunakan seperti baju, tas, jam tangan, jepit
rambut,dll. Ini saya lakukan agar bisa membangun komunikasi
yang baik dengan pasien anak tersebut sehingga ia bisa merasa
lebih dekat dan lebih nyaman. Biasanya pasien anak yang
berkunjung untuk pertama kalinya pasti saya akan ajak berbicara
terlebih dahulu, saya akan menjalin pendekatan dengan anak
tersebut. Lebih banyak bercerita aja biar anaknya tidak takut.
Kalau saya langsung memintanya untuk membuka mulut, bisa aja
anak tersebut malah makin takut sama dokter gigi. Dan juga saya
tidak langsung menyuruhnya untuk duduk di kursi pasien,
melainkan saya menyuruhnya untuk duduk di kursi yang
berhadapan dengan saya selain dapat mengefektifkan proses
komunikasi tetapi juga ternyata dapat mengurangi rasa takut anak,
karena menurut pengalaman saya ada beberapa anak yang takut
dengan kursi pasien, dan ketika disuruh duduk di kusi pasien dia
langsung merasa gugup ketika melihat peralatan-peralatan yang
ada di kursi tersebut. Jadi, lebih baik saya memintanya duduk
berhadapan dengan saya terlebih dahulu. Hal terpenting yang
perlu diperhatikan dokter gigi adalah bagaimana ia dapat dengan
sabar membujuk pasien anaknya agar mau melawan rasa

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


71

takutnya. Intinya dalam melayani pasien anak, janji harus di


tepati. Jadi kalau diawal kita bilang kita hanya akan memeriksa
mulutnya, maka kita harus menepati janji tersebut dan jangan
melakukan tindakan yang menyakiti anak tersebut di kunjungan
pertama, agar si anak tidak merasa kecewa karena dibohongi.”

Dalam melakukan pendekatan dengan pasien anaknya drg. Ida selalu


berusaha dengan sabar menanyakan nama pasien tersebut, tidak jarang juga dia
memuji kecantikan / kegantengan pasiennya tersebut. Hal ini diakui beliau dapat
membuat anak merasa lebih nyaman lagi ketika berkomunikasi dengan beliau.
Beliau juga tidak memaksa pasiennya untuk langsung duduk di kursi pasien,
karena banyak anak yang langsung merasa ketakutan ketika disuruh duduk di
kursi pasien, beliau akan memintanya duduk di kursi yang berhadapan dengan
dokter tersebut, agar proses komunikasinya juga bisa berlangsung lebih lancar.

“Bagi anak yang mempunyai masalah gigi serius, pengobatannya


tidak harus dilakukan di hari itu juga, jika sudah sangat
mengganggu kenyamanan mulutnya biasanya kami akan
memberikan obat pengurang rasa sakit, dan kemudian meminta
orang tua untuk membujuk anaknya dirumah lalu meminta
mereka untuk datang keesokan harinya, karena jika harus dipaksa
pun kasihan anaknya, bisa menimbulkan trauma dalam dirinya.
Biasanya saya akan membujuknya maksimal setengah jam, jika ia
tetap tidak mau melakukan perawatan gigi maka saya akan
meminta orang tuanya untuk memberinya hadiah karena terbukti
dari beberapa pasien anak cara ini berhasil dalam membantu anak
untuk melawan rasa takutnya. Tetapi pernah juga kami menyuruh
orang tuanya untuk menunggu diluar supaya anak tidak terlalu
bergantung kepada orang tua. Dan ternyata cara ini juga berhasil
bagi sebagian anak.”

Beliau tidak pernah memaksakan akan melakukan tindakan medis pada


hari itu juga, jika beliau melihat kondisi anak yang sangat ketakutan, maka pada
kunjungan pertama anak tersebut akan beliau manfaatkan untuk melakukan
pendekatan dengan anak. Jika anak tetap merasa ketakutan, maka beliau akan
memberikan obat pengurang rasa sakit. Jalan keluar lain yang beliau dapatkan
adalah dengan bantuan orang tua pasien. Orang tua yang menjanjikan akan
memberikan hadiah kepada anaknya jika ia mau mengikuti petunjuk dokter gigi,

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


72

akan membuat anak mau menahan rasa takutnya demi mendapatkan hadiah dari
orang tuanya.

“Saya sering mengatakan kalau gigi yang rusak itu dipenuhi oleh
kuman penyakit dan bisa merusak gigi yang lainnya juga, jadi
kalau tidak di bersihkan kumannya maka bisa merusak gigi yang
lainnya. Sering sekali saya menjelaskan kepada anak mengenai
apa yang terjadi dengan giginya tetapi dengan menggunakan
bahasa anak agar dapat mudah dimengerti olehnya. Hal ini saya
harapkan dapat memotivasi dia supaya mau melakukan perawatan
dan mengobati gigi yang bermasalah. Manfaat yang saya rasakan
setelah melakukan komunikasi terapeutik yaitu dapat mengurangi
rasa takut anak. Karena sering sekali, anak yang sewaktu datang
kesini dipenuhi oleh perasaan takut dan marah, tetapi karena
merasa nyaman dengan pendekatan yang kami lakukan dan
merasa tidak terlalu disakiti dalam proses pengobatannya maka
dalam kunjungan berikutnya, anak tersebut tidak akan takut lagi
ketika diajak pergi ke dokter gigi.”

Seperti itulah jawaban beliau ketika peneliti menanyakan bagaimana cara


beliau memotivasi kesembuhan pasiennya. Manfaat komunikasi terapeutik yang
dirasakan oleh drg. Ida adalah dapat membuat pasien anaknya lebih terbuka
dengan dokter gigi, pasien yang tadinya dipenuhi perasaan takut kepada dokter
gigi kini dalam kunjungan berikutnya sudah tidak takut lagi.

“Saya tidak merasa kesulitan dalam menghadapi pasien anak.


Saya juga tidak merasa terbebani dalam menghadapi pasien anak.
Malah kalau saya sudah berhasil mengobati gigi anak tersebut,
saya ngerasa bangga dan puas sekali karena pada akhirnya saya
bisa menaklukkan rasa takut anak tersebut. Faktor penghambat
yang saya rasakan adalah kesabaran saya sewaktu membujuk-
bujuk anak tersebut kadang tidak maksimal. Apalagi jika si anak
sangat susah untuk dibujuk dan saya melihat sudah banyak pasien
yang mengantri dibelakangnya, biasanya kesabaran saya akan
berkurang jika dalam kondisi seperti itu. Kalau dari saya faktor
penghambatnya adalah kesabaran saya yang kadang tidak
maksimal, kalau dari pasien anaknya kadang ada anak yang
memang sangat susah dibujuk sehingga membutuhkan waktu
yang lama untuk membujuknya, dan kalau dari orang tua
hambatannya adalah kurangnya kesabaran dalam membujuk anak,
sehingga ada beberapa orang tua yang sampai memukul dan
mencubit anaknya di depan saya. Yang saya lakukan untuk
mengatasi hambatan tersebut adalah semampu saya, saya
berusaha melatih kesabaran saya agar bisa lebih maksimal lagi
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


73

dalam membujuk pasien anak. Kalau yang berkaitan dengan


emosi orang tua, biasanya saya akan mengingatkan orang tua
tersebut agar tidak memukul dan mencubit anaknya di depan
saya.

Ketika peneliti menanyakan apakah beliau merasa kesulitan dalam


melayani pasien anak, beliau menjawab tidak. Bahkan beliau mengaku merasa
sangat bangga ketika berhasil membujuk anak sehingga ia tidak takut lagi dirawat
giginya. Meskipun ada beberapa hambatan yang beliau rasakan ketika melakukan
komunikasi terapeutik terhadap pasien anak, sejuah ini beliau masih menemukan
cara untuk mengatasi hambatan tersebut.

“Tidak. Saya sangat berusaha untuk tidak mencampurkan antara


urusan pribadi saya dengan kualitas pelayanan saya di praktek ini,
agar saya bisa memberikan pelayanan yang maksimal bagi
seluruh pasien saya.”

Beliau mengakui bahwa kondisi fisik/umurnya tidak berpengaruh terhadap


kesabarannya dalam melayani pasien anak. Beliau sangat berusaha untuk
memberikan pelayanan yang terbaik bagi setiap pasiennya. Demikianlah
wawancara peneliti dengan informan keempat. Namun, berhubung setelah
menyelesaikan wawancara dengan beliau hari sudah sangat sore dan peneliti
melihat sudah ada beberapa pasien yang mengantri diluar, maka peneliti
memutuskan untuk mewawancarai drg. Erni besok hari.

Kasus Kelima :
Informan terdiri dari :
Nama Informan : drg. E. Erni Ginting
Usia : 44 tahun
Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 180 P. Bulan,
Simpang Kwala, Medan

Drg. E. Erni Ginting merupakan informan kelima peneliti. Peneliti


mewawancarai beliau sehari setelah mewawancarai informan keempat yaitu pada

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


74

tanggal 6 Februari 2015. Mereka berdua selalu bersikap ramah kepada peneliti,
dan menjawab pertanyaan peneliti dengan senang hati.
Hampir sama dengan yang diceritakan oleh drg. Ida, mereka sudah
membuka praktek dari tahun 2005 tetapi tidak di tempat ini. Pada tahun 2009lah
mereka membuka tempat praktek disini. Drg. Erni dinas di Puskesmas Munthe.
Dan ketika menanyakan beberapa pertanyaan seperti alasan mengapa ia membuka
tempat praktek bersama, bagaimana ia mencari rekan sekerja dalam praktek
bersamanya, dan bagaimana cara pembagian pasien mereka, jawaban beliau sama
seperti jawaban rekan kerjanya drg. Ida.

“Tidak menentu, terkadang tidak ada dan kadang bisa pasien anak
semua yang datang dalam satu hari itu.”

Ketika peneliti menanyakan rata-rata jumlah pasien beliau per minggu,


beliau menjawab bahwa jumlahnya tidak menentu. Terkadang tidak ada sama
sekali pasien yang datang ke tempat prakteknya selama seminggu, namun pernah
juga dalam satu hari pasien anak semua yang datang ke praktek beliau.

“Saya harus bisa mengkondisikannya dengan pasien anak yang


bersangkutan, karena anak-anak kan banyak tipenya ada yang
penakut, ada yang manja, ada yang susah diajak bekerja sama
tetapi ada juga yang pemberani dan gampang diajak bekerja sama.
Semuanya tergantung anak tersebut. Menurut saya ada dua hal
yang mempengaruhi rasa takut anak, yang pertama adalah pola
asuh orang tua di rumah. Ada sebagian orang tua yang sering
mengancam akan membawa anaknya ke dokter dan akan disuntik
ketika anak tersebut berbuat jahat. Mungkin orang tua tersebut
tidak sadar bahwa ucapan mereka tersebut akan terekam di benak
anak bahwa sosok dokter itu sangat menakutkan. Apalagi
terkadang saya mendengar orang tua tersebut mengancam
anaknya di tempat praktek ini, kadang ada orang tua yang
mengancam akan menyuruh dokter untuk menyuntik si anak jika
ia tidak mau membuka mulut untuk diperiksa. Padahal cara ini
sangatlah tidak baik karena bukannya dapat membuat anak
menurut justru akan dapat memperbesar rasa takut anak tersebut.
Faktor yang kedua yang juga sangat berpengaruh adalah
informasi yang diterima anak dari orang tua, saudara ataupun
temannya yang memiliki pengalaman yang buruk dengan dokter
gigi, sehingga membuat anak merasa semakin takut ketika diajak
pergi ke dokter gigi.”
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


75

Beliau menjelaskan bahwa tidak semua pasien anak yang datang ke tempat
prakteknya takut dengan dokter gigi, ada juga beberapa anak yang mau diajak
bekerja sama. Ada dua hal yang mempengaruhi rasa takut dan berani anak
tersebut menurut beliau, yaitu pertama pola asuh orang tua yang sering
mengancam akan membawanya ke dokter dan disuntik jika anaknya nakal dan
tanpa disadari oleh orang tua perkataan tersebut tertanam di dalam pikiran anak,
sehingga membuat anak selalu menganggap dokter gigi itu sebagai sosok yang
sangat menyeramkan. Faktor kedua adalah informasi yang sering diterima oleh
anak dari orang lain misalnya kakak/adik, teman sepermainan yang memiliki
pengalaman buruk ketika berobat gigi membuat anak juga dengan mudan percaya
akan informasi tersebut. Rasa takut ini sering disebut dengan rasa takut subjektif,
yaitu jenis rasa takut yang paling sukar untuk mengatasinya (Diktat Bahan Kuliah
Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera
Utara, 2014 : 20).

“Kebanyakan pasien anak yang datang ke sini mengalami gigi


berlubang yang sudah sakit yang menunjukkan bahwa kurangnya
perhatian orang tua akan kesehatan gigi anaknya. Memakan
makanan yang banyak mengandung gula dan juga kurang rajinnya
menyikat gigi menyebabkan banyak anak yang terkena gigi
berlubang. Biasanya saya akan membersihkan terlebih dahulu gigi
yang berlubang tersebut, lalu merawatnya. Karena mencabut gigi
anak tidak bisa dilakukan secara sembarangan, takutnya bisa
mengganggu pertumbuhan rahangnya”.

Beliau mengatakan bahwa kasus gigi pasien anak yang sering ditangani
beliau adalah kasus gigi berlubang yang sudah menimbulkan rasa sakit.
Mengingat umur rata-rata pasien yang datang ke tempat praktek beliau adalah tiga
sampai sepuluh tahun, yang pada umumnya belum dapat dengan maksimal
menjaga kesehatan gigi dan mulutnya sendiri, disinilah peran orang tua sangat
dibutuhkan. Orang tua perlu mengontrol makanan anaknya agar tidak memakan
makanan yang banyak mengandung gula, selain itu beliau juga mengatakan
bahwa orang tua hendaknya selalu mengingatkan anak untuk rajin menyikat gigi
minimal dua kali sehari.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


76

Gigi yang berlubang tersebut biasanya akan dibersihkan terlebih dahulu,


barulah kemudian di rawat. Beliau tidak mau melakukan pencabutan gigi secara
sembarangan karena dapat menganggu pertumbuhan rahang anak di kemudian
hari.

“Pernah sekali kami melayani seorang anak laki-laki yang autis.


Tentunya sangat susah untuk membujuk anak yang seperti itu,
karena terkadang kalau kita berbicara pun dia tidak mengerti.
Kami sempat kebingungan menghadapinya, karena sudah datang
tiga kali ke sini tapi tetap dia tidak mau bekerja sama padahal
kondisi giginya sudah semakin parah. Namun, pas kunjungannya
yang ke empat kali atas izin orang tuanya kami sedikit memaksa
anak tersebut, ibunya memegang kepalanya, lalu saya juga
berusaha memegang tangannya, barulah drg. Ida berhasil
mencabut giginya. Kami berusaha melakukannya dengan tidak
terburu-buru agar anak tersebut tidak merasa kesakitan sehingga
dia tidak akan trauma untuk datang kesini lagi. Dalam
menghadapi pasien anak yang paling saya ingat kebanyakan anak-
anak biasanya membutuhkan kesabaran yang besar dari dokter
gigi dalam membujuk-bujuk anak tersebut. Saya hanya mengingat
sebagian besar pasien anak memang harus dibujuk agar dapat
melawan rasa takutnya, tapi kalau kasus pasien anak yang datang
kesini masih dalam tahap yang wajar, tidak ada kasus yang luar
biasa sekali, paling yang susah kalau anaknya susah diajak
kerjasama dan ternyata sudah banyak orang yang mengantri
diluar. Terus orang tuanya juga tidak merasa jika sudah banyak
orang yang mengantri, dan terus memaksa anaknya untuk
membuka mulut. Terkadang ada perasaan kesal dalam diri saya,
setidaknya orang tua tersebut bisa mengerti dan mau mengalah
agar pasien yang lain duluan di tangani, karena kan tidak enak
juga sama pasien yang lama menunggu dan ternyata si anak juga
tetap tidak mau bekerja sama. Biasanya saya akan mengingatkan
orang tua tersebut, tetapi terkadang saya juga ngerasa segan untuk
mengingatkannya karena saya takut orang tua tersebut
menganggap saya tidak sabar.”

Dalam menghadapi pasien anak yang berkebutuhan khusus seperti autis,


komunikasi terapeutik tidak bisa dijalankan, karena meskipun beliau membujuk-
bujuknya, ia tidak akan dapat mengerti perkataan yang diucapkan oleh beliau.
Oleh karena itu dalam pengerjaannya beliau sangat membutuhkan peran orang tua
pasien, agar dapat bersama-sama memegang anak, dan kemudian salah satu dokter
gigi dapat melakukan tindakan medis di mulut anak tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


77

Drg. Erni juga mengatakan bahwa kebanyakan pasien anak yang datang ke
tempat beliau memiliki rasa takut yang normal, sehingga beliau masih bisa
menguasai pasien anaknya dengan melaksanakan komunikasi terapeutik.

“Iya terkadang ada beberapa orang tua yang tidak sabar dalam
membujuk anaknya, sehingga tidak segan memukul, mencubit
ataupun mengasari anaknya di depan saya. Biasanya saya akan
meminta orang tua tersebut agar tidak bersikap kasar kepada
anaknya, karena saya merasa kasihan. Lebih baik dibawa ke
rumah dulu dan dibujuk supaya anaknya bisa merasa lebih
tenang.”

Agar perawatan gigi anak dapat dilakukan secara optimal, bukan hanya
dokter gigi saja yang dituntut untuk bersabar, para orang tua juga harus ikut
bersabar dalam menghadapi anaknya. Anak yang sedang dalam rasa ketakutan
lebih baik dibujuk-bujuk daripada harus dimarahi dan dipukul. Hal ini dapat
membuat anak semakin merasa diancam, dan bisa saja membuat anak trauma
dengan proses berobat giginya.

“Saya akan membuat anak tersebut seperti teman saya sendiri.


Saya akan menanyakan nama, tinggal dimana, kelas berapa dan
sering juga saya memuji wajahnya dan barang-barang yang ia
gunakan. Saya juga menanyakan siapa yang membelinya, dimana
dibeli, dan lain-lain. Saya berusaha bersikap seriang mungkin
seperti anak-anak agar si anak tersebut bisa merasa nyaman
dengan saya. Karena kalau kita tidak menempatkan diri kita
seperti anak-anak bisa saja si anak tersebut tetap merasa segan
dan takut dengan kita. Dan sebelum mengambil tindakan terhadap
gigi anak, biasanya saya akan menjelaskan kepada anak tersebut
bagaimana keadaan giginya, dan kemudian saya akan
menjelaskan mengenai tindakan yang akan saya lakukan tetapi
dengan kata-kata yang tidak menakuti anak-anak. Kemudian saya
juga akan memperkenalkan alat-alat yang saya gunakan beserta
dengan fungsinya. Misalnya mengidupkan bur agar ia bisa
mendengar suaranya yang hampir sama dengan suara mobil-
mobilannya dirumah. Dengan begitu iya dapat mengalahkan rasa
takutnya. Kalau dalam kunjungan pertama, saya selalu berusaha
untuk mendekatkan diri dengan anak tersebut. Saya berusaha
menghidari melakukan tindakan yang menyakiti anak, meskipun
terkadang gigi anak sudah sangat parah biasanya saya hanya akan
melihat keadaannya saja dan akan memberikan obat pengurang

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


78

rasa sakit. Karena kalau di pertemuan pertama pun kita langsung


mencabut giginya, bisa saja di kesempatan berikutnya dia malah
semakin takut dengan dokter gigi. Hal yang perlu diperhatikan
dokter gigi adalah kesabaran dalam membujuk pasien anak.
Karena penanganan pasien anak memang membutuhkan
kesabaran yang jauh lebih besar dibandingkan pasien orang
dewasa. Dan satu hal yang perlu diingat, kalau berjanji hendaklah
ditetapi. Misalnya di awal pertemuan kita berjanji hanya akan
melihat keadaan mulutnya, hendaknya kita menjalankan janji
tersebut, jangan sampai kita melanggar janji tersebut lalu
mencabut giginya karena hal ini akan merusak kepercayaan anak
terhadap kita.”

Beliau menjelaskan bahwa beliau selalu berusaha agar dapat menempatkan


diri sebagai teman ataupun sahabat dari pasien anak tersebut. Diawal perjumpaan
mereka, beliau berusaha untuk menanyakan nama, sekolah, tempat tinggal, dan
lain-lain. Hal ini beliau tanyakan supaya anak dapat merasa lebih dekat lagi
dengan dokter giginya. Begitu juga dalam kunjungan pertama anak, beliau selalu
berusaha untuk tidak melakukan tindakan yang menimbulkan rasa sakit anak,
karena rasa sakit inilah yang nantinya dapat menumbuhkan rasa trauma dalam diri
anak. Oleh karena itu, dalam kunjungan pertama, beliau hanya berusaha untuk
melihat kondisi gigi anak dan juga untuk melakukan pendekatan dengan anak,
sehingga dalam kunjungan berikutnya anak tidak akan merasa takut lagi untuk
bertemu dengan beliau.

“Kan tindakannya tidak harus dilakukan dihari itu juga. Jadi


biasanya ketika keadaan gigi anak sudah parah tetapi dia belum
mau diajak untuk bekerja sama maka saya akan memberikan obat
pengurang rasa sakit, dan meminta orang tuanya agar
membawanya kembali ke sini sehari atau dua hari berikutnya. Hal
ini dilakukan agar si anak tidak merasa terlalu dipaksa karena hal
itu dapat membuat anak benci dengan dokter gigi. Biasanya saya
selalu berusaha untuk membujuk anak, maksimal setengah jam.
Banyak strategi yang kami lakukan, misalnya dengan menyuruh
orang tuanya keluar ruangan agar anaknya tidak selalu bergantung
kepada orang tuanya, kadang kami suruh orang tuanya untuk
membujuk anaknya terlebih dahulu dirumah, jangan langsung
dipaksakan, atau mungkin cara lain dengan meminta orang tuanya
untuk memberikan hadiah ketika ia mau bekerja sama dengan
dokter gigi. Dan kalau dengan cara seperti itu pun si anak tidak
mau, maka kami meminta orang tuanya untuk membawanya dulu
ke rumah dan jangan terlalu memaksa anaknya untuk melakukan
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


79

perawatan di hari itu juga, tetapi tetap akan kami berikan obat
pengurang rasa sakit.”

Bahkan dalam kondisi gigi yang sudah sangat kritis pun beliau tidak mau
terburu-buru dalam melakukan tindakan medis. Terlebih dahulu beliau akan
memberikan obat peringan rasa sakit, agar dikemudian hari ketika rasa sakit itu
sudah berkurang barulah tindakan medis dapat dilakukan. Beliau juga
menjelaskan bahwa jika dalam keadaan yang sakit, gigi tidak boleh dicabut atau
ditambal karena dapat menyebabkan infeksi di bagian sarafnya, untuk itu hal yang
dilakukan beliau pada saat gigi anak sakit adalah dengan memberikannya obat
penghilang rasa sakit.

“Saya berusaha untuk tidak menakut-nakuti pasien dengan


mengatakan hal yang berlebihan seperti monster, gigi drakula,
dan lain-lain, tetapi dengan menggunakan bahasa yang sederhana
saya berusaha menjelaskan bahwa kuman penyakit akan
berkembang jika kita tidak membersihkan dan mengobati gigi
yang sakit. Selain itu saya juga mengingatkan pasien untuk
menyikat giginya minimal dua kali dalam sehari agar dapat
membantu merawat kesehatan giginya sendiri dan mengurangi
mengkonsumsi makanan yang mengandung kadar gula yang
tinggi. Manfaat pelaksanaan komunikasi terapeutik adalah anak
akan merasa lebih dimengerti, sehingga ia merasa tidak
disalahkan ketika mengalami rasa takut terhadap dokter gigi.
Tugas dokter gigi adalah untuk menghilangkan rasa takut
tersebut, dengan merubah citra dokter yang tadinya di dalam
pikiran anak bahwa dokter itu menyeramkan, kini berubah
menjadi sosok yang baik, ramah dan bersahabat. Dengan
komunikasi terapeutik ini, dokter gigi dapat mengakrabkan diri
dengan pasien anaknya.”

Dalam memotivasi kesembuhan pasiennya, drg. Erni selalu mengingatkan


anak agar rajin menyikat gigi minimal dua kali sehari, karena pada masa
pertumbuhannya anak sangat suka mengkonsumsi makanan yang banyak
mengandung gula seperti coklat, permen, dan lain-lain yang dapat merusak gigi.
Oleh karenanya beliau juga mengingatkan pasien anaknya agar mengurangi
mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung gula.
Setelah melakukan komunikasi terapeutik, beliau menyadari betul
manfaatnya. Karena dengan komunikasi terapeutik beliau dapat mengubah citra

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


80

dokter gigi di dalam pikiran anak yang tadinya menyeramkan, kini berubah
menjadi sosok yang ramah dan bersahabat.

“Tidak. Saya sangat menikmati ketika menghadapi pasien anak,


karena menghadapi pasien anak ini susah-susah gampang, bukan
hanya keahlian teknis aja yang perlu diberikan tetapi keahlian
dalam berkomunikasi juga sangat dibutuhkan. Ada perasaan puas
dan bangga dalam diri saya ketika saya berhasil membujuk anak
untuk mau melakukan perawatan gigi disini. Masing-masing
mempunyai hambatan tersendiri, kalau saya hambatannya akan
kehabisan masa sabar jika sudah setengah jam membujuk anak
apalagi melihat ada pasien yang mengantri di belakangnya. Kalau
hambatan dari orang tua, biasanya juga berkaitan dengan
kesabaran. Banyak orang tua yang tidak sabar membujuk
anaknya, sehingga membuat dia memukul ataupun mencubit
anaknya di depan kami. Hambatan yang dirasakan anak mungkin
besarnya rasa takut yang ada dalam dirinya sehingga membuatnya
tetap berkeras hati meskipun sudah dibujuk-bujuk oleh orang tua
dan dokter giginya. Kalau mengatasi hambatan yang datangnya
dari saya ya tentu saya akan melatih kesabaran saya agar ke
depannya bisa lebih sabar lagi dalam membujuk-bujuk dan
mendekatkan diri dengan anak.”

Ketika peneliti menanyakan apakah beliau merasa kesulitan dalam


menangani pasien anak, beliau menjawab tidak. Beliau justru sangat tertarik
dalam menangani pasien anak, karena bukan hanya kemampuan medis saja yang
hanya diperlukan tetapi juga kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anak
juga sangat diperlukan ketika sedang melayani pasien anak. Beberapa hambatan
yang beliau hadapi tidak membuatnya merasa bosan ataupun jenuh dalam
melayani pasien anak, melainkan beliau berusaha untuk mengintrospeksi diri agar
dapat lebih bersabar lagi dalam melayani pasien anak.

“Tidak.Urusan pribadi akan saya lupakan ketika ada di praktek


ini. Agar bisa memberikan pelayan yang terbaik bagi pasien
saya.”

Beliau juga mengatakan bahwa kondisi fisiknya sama sekali tidak


mempengaruhi kesabarannya dalam membujuk-bujuk anak. Beliau berusaha

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


81

melupakan segala urusan pribadinya ketika berada di tempat praktek, sehingga


membuatnya lebih maksimal lagi dalam melayani pasien anak.

Kasus Keenam :
Nama Informan : drg. Bernadetta Sembiring
Usia : 30 tahun
Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 548 , Pasar 1,
Medan

Drg. Bernadetta adalah informan keenam yang peneliti wawancarai, yaitu


pada tanggal 9 Februari 2015. Setelah peneliti menyelesaikan proses wawancara
dengan lima informan, peneliti kembali mewawancarai dokter gigi di tempat
praktek bersama yang pertama peneliti datangi. Perawat sempat memberitahu
peneliti bahwa jadwal kedatangan drg. Berna ke tempat praktek tidak menentu,
terkadang hanya kalau ada pasien saja beliau datang ke tempat prakteknya.
Namun karena peneliti sempat meminta nomor handphone perawat di tempat
praktek tersebut maka peneliti menanyakan jadwal drg. Berna memalui telepon.
Ketika peneliti menanyakan jadwal kedatangan beliau kepada perawatnya,
ternyata perawatnya memberitahukan peneliti bahwa drg. Berna sedang ada di
praktek. Maka peneliti pun langsung bergegas datang ke tempat praktek beliau.
Sesampainya di tempat praktek beliau, peneliti melihat drg. Berna sedang
asik duduk di kursinya sambil memainkan handphone-nya, sedangkan drg.
Martha sedang menangani pasien orto di kursi pasien. Peneliti pun langsung
menghampiri drg. Berna dan kemudian menyampaikan maksud dan tujuan
peneliti datang ke tempat praktek tersebut. Beliau pun langsung mengizinkannya,
dan berhubung karena tidak ada pasien yang mengantri pada saat itu, peneliti
langsung memulai kegiatan wawancara.
Drg. Berna sudah bekerja di tempat praktek tersebut selama lima tahunan
semenjak drg. Martha lulus dari pendidikan spesialis orthodontinya. Selain
bekerja di tempat itu, beliau juga dinas PTT di Puskesmas Kuta Buluh. Beliau
mengatakan bahwa alasannya membuka praktek bersama adalah untuk mengisi
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


82

waktu kosongnya. Mengingat jadwal beliau yang setiap hari Rabu dan Kamis
dinas PTT di Kuta Buluh, sehingga untuk hari Senin, Selasa dan Jumat beliau
bekerja di praktek bersamanya. Berhubung karena drg. Martha adalah bibi
kandungnya, yaitu adik kandung dari ayahnya membuat mereka dapat langsung
bekerja sama dalam melayani pasien anak.
Kesepakatan mereka dalam membagi pasiennya, drg. Martha khusus
melayani pasien dengan kasus ortho ataupun ingin merapikan gigi, sedangkan
pasien umum seperti penambalan, pencabutan, termasuk pasien anak diserahkan
kepada drg. Berna.

“Tidak bisa dipastikan, tapi kalau dirata-ratakan tiga orang per


minggu.”

Begitulah jawaban beliau ketika peneliti menanyakan rata-rata jumlah


pasien anak per minggunya. Beliau tidak bisa memastikan berapa jumlah pasien
anaknya, tetapi jika dirata-ratakan ada sekitar tiga orang per minggunya.

“Tergantung pada pasien anaknya, tidak semua yang takut. Tetapi


pada umumnya sih kebanyakan yang takut, toh orang dewasa juga
banyak yang takut sama dokter gigi apalagi anak-anak. Tapi ada
beberapa anak juga yang berani dan enak diajak untuk bekerja
sama. Faktor yang mempengaruhi menurut saya adalah
pengajaran orang tua di rumah. Banyak orang tua yang sering
mengancam anaknya, misalnya kalau tidak mau makan nanti
dibawa ke dokter biar disuntik. Lama-kelamaan kan anak menjadi
takut, masa karena tidak mau makan aja langsung dibilang
disuntik ke dokter. Faktor berikutnya adalah kurang bijaksananya
orang tua dalam memperkenalkan dokter gigi kepada anaknya.
Rata-rata pasien anak yang datang kesini sudah dalam keadaan
yang sakit, hendaknya orang tua yang bijaksana haruslah
memperkenalkan anaknya dengan dunia dokter gigi agar kelak
tidak asing lagi dengan dokter gigi dan jangan ditunggu sampai
ada masalah dengan gigi anaknya dulu baru dibawa ke dokter
gigi. Ada baiknya orang tua membawa anaknya ke tempat praktek
dokter gigi untuk sekedar mengenal dan memberitahukan bahwa
tempat praktek dokter gigi itu tidaklah menyeramkan.”

Drg, Berna menjelaskan bahwa tidak semua pasien yang datang ke tempat
praktek beliau merasa takut dengan dokter gigi, ada juga anak yang sudah terbiasa

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


83

bertemu dengan dokter gigi. Menurut beliau, sangatlah wajar jika anak takut
kepada dokter gigi karena orang dewasa saja terkadang merasa takut ketika harus
melakukan perawatan gigi.
Hal yang mempengaruhi rasa takut tersebut menurut drg. Berna adalah
pengajaran orang tua dirumah, ada beberapa orang tua yang sering mengancam
akan menyuntik anaknya ke dokter jika anaknya susah diatur. Tanpa disadari,
orang tua tersebut sudah menanamkan image buruk tentang dokter kepada
anaknya. Hal kedua yang juga mempengaruhi adalah belum banyak orang tua
yang dengan bijaksana mau memperkenalkan dunia kedokteran gigi kepada
anaknya. Jika dunia kedokteran gigi sudah diperkenalkan kepada anak sebelum ia
merasakan sakit gigi, maka hal itu dapat membuat anak dapat mengenal alat-alat
medis yang digunakan sehingga ia tidak akan merasa takut dengan dokter gigi.

“Banyak anak terkena gigi berlubang dan pencabutan gigi susu


yang sudah goyang. Kalau yang terkena gigi berlubang biasanya
dirawat dulu giginya, setelah itu baru ditambal, karena kalau gigi
anak tidak boleh di cabut secara sembarangan kan. Dan untuk
pasien yang gigi susunya sudah goyang ataupun gigi tetapnya
yang sudah tumbuh meskipun gigi susunya masih menetap disitu,
harus dicabut.”

Kebanyakan kasus gigi anak yang datang ke tempat praktek drg. Berna
adalah gigi berlubang dan pencabutan gigi susu yang sudah goyang. Mengingat
rata-rata umur anak yang datang adalah tiga sampai sepuluh tahun, dimana pada
masa itulah biasanya anak mengalami pergantian gigi susu menjadi gigi tetap.
Tindakan medis yang biasa dilakukan oleh beliau adalah mencabut gigi susu yang
sudah goyang.

“Pernah kemarin ada pasien autis yang datang kepada saya.


Dalam kunjungan pertama saya sempat berhasil menanganinya,
karena melihat giginya yang butuh perawatan, jadi saya
merawatnya aja dulu, tidak melakukan tindakan medis yang
menyakitkan untuk menghindari munculnya rasa trauma dalam
diri anak tersebut. Meskipun berhasil tetap saja memakan waktu
hampir dua jam dalam mengobati giginya tersebut karena setiap
saya mau pegang giginya dia menggigit tangan saya jadi
bagaimana mungkin saya bisa mengobati giginya. Namun dalam
kunjungan keduanya, saya membuat rujukan ke dokter gigi

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


84

spesialis pedodonsia, karena menurut saya mereka lebih paham


bagaimana cara menangani pasien anak yang berkebutuhan
khusus. Ada juga pernah pasien anak saya datang bersama
keluarga dari daerah Lau Baleng ke tempat praktek ini. Itu kan
daerahnya jauh kali, berapa jam juga dari sini. Jadi mungkin
kebetulan mereka lagi ada urusan di Medan dan katanya kurang
percaya sama dokter gigi yang ada di sana. Ketika saya mengajak
ngobrol si anak, ternyata dia sangat ketakutan, sudah saya lakukan
pendekatan dan juga sudah saya bujuk-bujuk biar mau buka
mulut. Sudah memakan waktu yang lama, tetapi tetap dia tidak
mau diajak bekerja sama. Dia hanya menangis, dan menjatuhkan
badannya di lantai, di ajak duduk di kursi antrian pun dia tidak
mau, dia hanya menangis sambil tidur di lantai. Orang tuanya
sempat emosi, karena mungkin sudah datang jauh tetapi tetap
tidak mau diajak bekerja sama, ayahnya hampir memukul
anaknya.Tapi saya bilang kalau di pukul pun tidak akan ada
gunanya. Jadi saya bilang sama orang tuanya, kalo ke Medan gini
kan terlalu jauh, jadi mending ke dokter gigi yang ada di
Puskesmas Lau Baleng aja. Kemudian saya memberitahukan
kepada ayahnya, siapa-siapa saja teman saya yang dinas di dekat
daerah tersebut agar dikunjungan berikutnya mereka tidak perlu
datang jauh-jauh ke Medan.”

Dalam melayani pasien anak yang berkebutuhan khusus pun seperti autis,
beliau selalu berusaha untuk tidak menyakiti pasiennya pada kunjungan
pertamanya, karena hal itu dapat menimbulkan rasa trauma dalam diri anak
tersebut. Untuk menghindari resiko dalam melayani pasien anak autis, beliau
langsung memberikan rujukan kepada dokter gigi spesialis pedodonsia yang lebih
mengerti dan memahami bagaimana cara menghadapi anak-anak berkebutuhan
khusus seperti itu.
Dalam melayani pasien anak yang susah dibujuk pun beliau tidak pernah
memaksakan agar anak tersebut tetap menjadi pasiennya, seperti pasien anak yang
datang dari Desa Lau Baleng, ia justru memberikan nama teman dokter giginya
yang lebih dekat dengan tempat tinggal pasien agar pasien dapat lebih mudah
bertemu dengan dokter tersebut. Beliau tidak pernah memaksakan bahwasanya
anak harus mau diperiksa olehnya, jika anak tetap tidak mau dibujuk maka ia akan
menyerahkannya kepada orang tuanya.

“Ada beberapa saya jumpai orang tua yang tempramen. Kadang


ada orang tua yang tidak sabar dalam membujuk-bujuk anaknya.
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


85

Begitu juga dengan anak, kadang ada tipe anak yang dikasari dulu
baru mau nurut, kalau dibujuk-bujuk malah makin merengek-
rengek”.

Beliau mengaku sudah pernah bertemu dengan orang tua yang tempramen
sebelumnya, tetapi di satu sisi beliau juga tidak sepenuhnya menyalahkan orang
tua ketika ia marah dan mencubit anaknya, karena ada sebagian anak yang
memang harus dimarahi terlebih dahulu sehingga kemudian ia mau mengikuti
perkataan dokter gigi meskipun sambil menangis.

“Sebelum melakukan tindakan medis, saya akan mengajaknya


untuk berkomunikasi terlebih dahulu. Menanyakan siapa
namanya, sekolah dimana, kelas berapa untuk membuyarkan
mindsetnya kalau ke dokter gigi itu menyeramkan. Biasanya saya
tidak langsung menyuruhnya untuk duduk di kursi pasien, tetapi
saya menemani dia duduk di kursi antrian sambil berkenalan
dengannya. Kadang saya ajak bermain, bercerita atau menonton
TV, setelah anak merasa nyaman dan dekat dengan saya, barulah
saya menanyakan kondisi mulutnya, dan kemudian memintanya
untuk membuka mulut biar diperiksa. Saya juga tidak
menggunakan panggilan dokter karena kalau dipanggil dokter kan
sepertinya kayak ada jenjang. Jadi saya akan menggunakan
panggilan kakak atau tante supaya anak tersebut merasa lebih
dekat dengan saya. Ketika menghadapi pasien anak yang baru kali
itu ke dokter gigi, saya akan menjelaskan semua peralatan yang
saya gunakan untuk menyembuhkan giginya, mulai dari namanya
hingga fungsinya apa. Hal ini saya lakukan supaya anak tidak
merasa asing lagi dengan semua peralatan yang ada di tempat
praktek saya. Dan ketika dia sudah mau diajak bekerja sama
untuk membuka mulutnya supaya diperiksa, saya tidak akan
melakukan tindakan medis yang langsung menyakitinya. Saya
tidak akan mencabut giginya di waktu kunjungan pertamanya
tersebut, saya akan mengobati gigi yang sakitnya lebih ringan,
dan kemudian saya akan memberi obat pengurang rasa sakit.
Karena jika saya langsung melakukan tindakan yang menyakiti
dia, dapat menimbulkan rasa trauma dalam dirinya terhadap
dokter gigi di masa yang akan datang. Tak jarang juga saya
mengakal-akali pasien anak tersebut, ketika dia bertanya giginya
mau diapai, maka saya akan mengatakan bahwa saya mau
menghitung jumlah giginya padahal yang sebenarnya mungkin
saya ingin mengorek bagian giginya. Hal ini saya lakukan supaya
anak tidak takut dengan alat yang saya masukkan ke giginya. Hal
yang sangat perlu diperhatikan tentunya kesabaran, karena

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


86

merupakan hal yang terpenting ketika kita sedang melayani


pasien anak. Karena ketika kita menghadapi pasien anak sangat
dibutuhkan kesabaran tingkat tinggi. Sebenarnya ngerjain
tindakan medisnya cepat, kadang sepuluh menit sudah selesai.
Tapi membujuknya ini yang susah, kadang sampai berjam-jam”.

Pada masa pendekatan, hal yang paling diperlukan oleh dokter gigi adalah
sikap yang ramah, menyenangkan dan bersahabat. Jika anak merasa nyaman
bercerita dengan dokter giginya, hal itu membuktikan bahwasaya dokter gigi
sudah berhasil mendekatkan diri dengan anak. Hal selanjutnya yang perlu
dilakukan oleh dokter gigi pada masa kunjungan pertama anak adalah
memperkenalkan semua alat medis yang digunakan beserta dengan fungsinya
tetapi haruslah menggunakan bahasa anak-anak, agar ia dapat lebih mudah
mengerti. Dokter gigi harus mampu bersabar dalam menjawab semua pertanyaan
yang disampaikan oleh anak karena disatu sisi dengan bercerita, dokter gigi dapat
mengalihkan perhatian anak.

“Saya akan memberikan obat peringan rasa sakit terlebih dahulu.


Mana mungkin saya melakukan tindakan medis jika kondisi
giginya sedang sakit, takutnya malah memperburuk keadaan.
Sedangkan pasien dewasa aja kalau giginya dalam kondisi sakit,
saya tidak berani melakukan tindakan media seperti mencabut.
Jadi saya akan meminta orang tuanya untuk datang beberapa hari
berikutnya agar dapat memeriksakan kondisi gigi anaknya. Kalau
menghadapi pasien yang susah dibujuk biasanya sih saya akan
berusaha semaksimal mungkin dalam membujuk pasien anak,
kalau memang sudah susah sekali dibujuk maka harus dibantu
sama orang tuanya. Terkadang ada orang tua yang menjanjikan
akan memberikan hadiah kepada anaknya jika anaknya mau
mengikuti saran dokter gigi, ada juga yang kadang diajak ke
indomaret dulu buat jajan supaya anak tersebut mau diajak
bekerja sama, dan kadang ada yang dihadiahi main timezone
sepuasnya agar mau diperiksa giginya. Tetapi jika sudah dibujuk
selama berjam-jam, dan dihadiahi pun tetap tidak mau juga
kadang saya akan menyuruh orang tuanya untuk membawanya
dulu ke rumah, besok atau lusa dibawa lagi kesini biar dia
menenangkan hatinya dulu sambil di berikan penjelasan-
penjelasan, biar nantinya tidak trauma. Buat apa kita berhasil
mencabut giginya tetapi psikologisnya terganggu, itu lebih berat
lagi.”

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


87

Dengan memberikan obat peringan rasa sakit pada saat anak mengalami
rasa sakit gigi bisa jadi membuat anak merasa dokter gigi adalah sosok orang
yang baik. Karena pada saat merasakan sakit gigi, anak cenderung lebih sensitif
jadi ketika dalam keadaan sakit dokter gigi langsung melakukan tindakan medis
dapat membuat anak merasa trauma dengan dokter gigi tersebut.

“Saya memotivasinya dengan menanyakan cita-cita mereka.


Misalnya kalau anak perempuan sering sekali cita-citanya adalah
menjadi dokter, jadi saya bilang mana bisa jadi dokter kalau
giginya kayak gini, harus bersih dan terawat, tidak boleh ada yang
busuk. Kalau untuk anak laki-laki kan biasanya cita-citanya jadi
polisi atau tentara, itu juga saya bilang hal yang sama, kalau jadi
polisi atau tentara mana bisa giginya busuk, harus bersih dan
terawat. Jadi dari kecil harus pintar merawat giginya, harus rajin
sikat gigi dua kali sehari. Terus kalau ada gigi yang sakit harus
diobati ke dokter gigi biar kuman penyakitnya hilang. Biasanya
sih untuk beberapa anak cara seperti ini ampuh. Manfaat
komunikasi terapeutik yang saya rasakan adalah anak jadi mau
bekerja sama dengan kita. Kalau menghilangkan rasa takutnya
100% mungkin sangat susah, setidaknya meskipun dia masih
merasa takut tetapi dia mau melakukan perawatan gigi. Kan
sebelumnya sudah dibujuk-bujuk dan diberikan penjelasan oleh
dokter gigi, mungkin orang tuanya juga sudah menjanjikan hadiah
jika ia mau mengikuti kata dokter gigi, jadi si anak akan berusaha
untuk menekan rasa takutnya”.

Salah satu cara yang juga bisa dilakukan dokter gigi untuk menimbulkan
semangat dalam diri anak adalah dengan menggali cita-cita yang ada di dalam diri
anak tersebut. Cita-cita adalah hal yang ingin dicapai oleh anak, sehingga jika kita
meminta dia melakukan sesuatu agar dia kemudian dapat menggapai cita-citanya,
maka kemauan anak untuk mengikuti petunjuk dokter gigi akan semakin besar.
Ada beberapa orang tua yang mengaku sulit untuk menyuruh anaknya
rajin menyikat gigi. Oleh sebab itu, mereka meminta dokter gigi yang
mengatakannya kepada anak karena anak cenderung lebih mendengarkan
perkataan dokter dibanding perkataan orang tuanya sendiri.
Setelah melakukan komunikasi terapeutik, selain dapat menjalin hubungan
yang harmonis dengan pasiennya, dokter gigi juga dapat mengubah sikap dan
prilaku pasiennya. Rasa takut yang dimiliki anak dapat diubah menjadi perasaan
yang nyaman dan bersahabat setiap bertemu dengan dokter gigi. Tentunya
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


88

kemampuan dan keahlian komunikasi dokter gigilah yang mampu menciptakan


perubahan tersebut.

“Saya tidak merasa kesulitan kok, hanya saja kesabaran dalam


membujuk anak ini yang sangat diperlukan. Itu tadi kan saya
sudah jelaskan bagaimana menghadapi pasien anak yang takut,
kadang ada juga anak yang sangat kritis dalam bertanya, semua di
tanya, ini fungsinya apa itu fungsinya apa dan kalau kita
masukkan obat atau alat ke mulutnya, dia langsung bertanya itu
apa dan fungsinya apa. Jadi akan memakan waktu yang sangat
lama untuk menjelaskan semua alat dan obat yang saya gunakan
mengingat kalau alat yang digunakan dokter gigi kan banyak
jumlahnya. Padahal sepuluh menit saya sudah selesai melakukan
tindakan medisnya, membujuk dan menjelaskan inilah yang
memakan waktu lama. Faktor penghambatnya mungkin kadang
kesabaran saya tidak stabil, apalagi ketika melihat sudah banyak
pasien yang mengantri. Kan tidak mungkin saya terus membujuk
dia sampai berjam-jam sedangkan pasien yang mengantri sudah
banyak. Nanti pasien yang mengantri tersebut akan merasa kesal
dengan saya. Kalau dari orang tua juga sama, kadang ada orang
tua yang langsung emosi dan tidak sabar membujuk-bujuk
anaknya. Kalau dari pasien anak, kadang ada anak yang rasa
takutnya sangat besar dan dia tidak berani melawan rasa takut
tersebut sehingga ia tidak akan mendengarkan apa pun yang kita
katakan, ia hanya akan menangis dan teriak-teriak. Bagaimana
bisa kita membujuknya jika dia menangis dengan suara yang kuat,
pasti dia tidak akan mendengarkan kita. Untuk mengatasi
hambatan yang datangnya dari saya, saya berusaha untuk
menstabilkan emosi saya. Semaksimal mungkin saya akan
membujuk anak tersebut agar mau diperiksa mulutnya. Kalau
hambatannya datang dari anak atau orang tua, biasanya saya akan
menyuruh orang tua untuk membawanya dulu ke rumah, dirumah
diberikan penjelasan agar anak bisa mengerti nantinya, jangan
dipaksa ataupun dipukul, karena percuma saja, malah bisa
membuat anak semakin takut”.

Ketika peneliti menanyakan apakah beliau merasa kesulitan dalam


melayani pasien anak, beliau menjawab tidak. Hanya saja, beliau sadar bahwa
dalam melayani pasien anak kesabaran maksimal sangat dibutuhkan. Dengan
menjawab semua pertanyaan yang diberikan oleh anak kepada dokter gigi,
mungkin anak akan merasa lebih tenang karena rasa penasaran yang ada di dalam
dirinya sudah terjawab. Namun yang menjadi masalah adalah ketika drg. Berna
merasa terganggu dengan pertanyaan tersebut. Pekerjaan yang biasanya dapat

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


89

dilakukan dalam sepuluh menit, kini selesainya lebih lama lagi karena sebelum
melakukan tindakan beliau harus menjelaskan terlebih dahulu kepada anak
mengenai alat dan obat yang ia gunakan.
Meskipun ada beberapa hambatan yang beliau temukan pada saat
melakukan komunikasi terapeutik kepada pasien anak, namun beliau masih
mempunyai cara yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Beliau sangat
berusaha semaksimal mungkin untuk melayani pasien anaknya.

“Terkadang mempengaruhi juga, tapi jarang kok. Saya akan


berusaha menetralkan pikiran dan mood saya agar bisa dengan
maksimal membujuk pasien tersebut. Agar dapat mengubah
mindset anak mengenai citra dokter gigi yang tadinya
menyeramkan kini menjadi sosok yang ramah dan bersahabat”.

Kondisi fisik ataupun mood diakui beliau terkadang mempengaruhi rasa


sabarnya dalam membujuk anak. Namun, ia tetap pada tujuannya yaitu untuk
mengubah mindset anak mengenai citra dokter gigi. Demikianlah wawancara
peneliti dengan informan keenam.

Kasus Ketujuh :
Nama Informan : drg. M. Ridwan Muchlis
Usia : 24 tahun
Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 2, Rumah Sakit Siti
Hajar, Medan.

Dokter gigi ini adalah informan ketujuh yang peneliti wawancarai, yaitu
pada tanggal 12 Februari 2015. Rumah Sakit Siti Hajar merupakan lokasi
penelitian pertama yang peneliti kunjungi, namun karena pada saat itu ada salah
seorang pekerja kliniknya yang menyuruh peneliti untuk meneliti di praktek
dokter gigi spesialis anak atau pedodonsia yaitu di tempat drg. Siti Salmiah Sp.
KGA maka peneliti menunda untuk melakukan penelitian di rumah sakit tersebut.
Pada kunjungan peneliti berikutnya ke Rumah Sakit Siti Hajar, peneliti
melihat pekerja di klinik tersebut tidak lagi sama dengan yang sebelumnya,

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


90

sehingga ketika peneliti meminta izin untuk penelitian di Rumah Sakit tersebut,
beliau langsung mengizinkannya dan menyampaikan kepada dokter yang sedang
bertugas di Rumah Sakit tersebut.
Pada saat peneliti masuk ke ruangan tempat dokter bekerja, peneliti
melihat ada dua orang dokter gigi yang sedang sibuk menangani pasiennya. Oleh
karena itu, peneliti memutuskan untuk menunggu di ruangan tunggu. Setelah
menunggu hampir satu jam, akhirnya ada seorang dokter yang memanggil peneliti
untuk masuk ke dalam ruangan prakteknya, dan beliau adalah drg. M. Ridwan
Muchlis. Peneliti pun meminta izin kepada dokter tersebut untuk melakukan
wawancara dengan beliau, dan beliau pun mengizinkannya.
Drg. Ridwan merupakan dokter gigi termuda yang peneliti wawancarai.
Beliau sudah bekerja di RS. Siti Hajar selama sebulan, mengingat bahwa beliau
merupakan mahasiswa FKG USU yang baru saja wisuda sehingga beliau belum
lama bertugas di tempat tersebut. Beliau sempat bekerja di tempat praktek
temannya di daerah setia Budi karena pada saat itu teman beliau sedang ada
urusan di luar kota, maka beliaulah yang menggantikan temannya untuk berdinas
di tempat praktek tersebut. Namun karena temannya sudah menyelesaikan
urusannya di luar kota maka kontrak mereka sudah berakhir.
Ketika ditanyakan mengenai alasan beliau membuka praktek bersama,
beliau mengatakan bahwa beliau masih sangat membutuhkan pengajaran dari
dokter gigi senior dalam melayani pasien. Dengan membuka praktek bersama
seperti ini beliau merasa lebih lega karena ada patner kerja yang bisa diajak untuk
berdiskusi.
Sebelum beliau ikut bergabung dengan dokter gigi yang ada di Siti Hajar,
sudah ada dua orang dokter gigi yang bertugas di tempat praktek tersebut. Namun,
ketika beliau mendapatkan tawaran untuk bekerja disana, beliau langsung
menyetujuinya karena beliau berharap dapat menambah pengalamannya dalam hal
melayani pasien gigi di tempat tersebut.
Mereka membagi waktu dinas di Siti Hajar, dimana drg. Ridwan bertugas
setiap hari Selasa dan Kamis. Dalam hal pembagian pasien, drg. Ridwan biasanya
lebih menangani pasien umum seperti penambalan, pembersihan karang gigi,

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


91

pencabutan, perawatan saraf, dan lain-lain. Sedangkan kalau urusan orto biasanya
diserahkan kepada dokter gigi yang lebih berpengalaman.

“Disini jarang sih pasien anak, kadang ada, kadang tidak ada.
Kadang cuma satu orang aja seminggu, kadang ada dua atau tiga
orang”.

Beliau mengatakan bahwa pasien anak jarang datang ke tempat praktek


mereka. Tetapi kalau diratakan ada sekitar satu sampai tiga orang per minggu.

“Tidak semua pasien anak yang datang kesini merasa takut,


terkadang ada juga beberapa anak yang langsung bisa diajak
bekerja sama. Mungkin yang membuat mereka takut itu ketika
melihat peralatan-peralatan yang digunakan oleh dokter gigi,
seperti tang, jarum suntik, suara bur, dan lain-lain. Apalagi kalau
dia melihat benda asing dimasukkan ke dalam mulutnya, kadang
ada beberapa anak yang merasa ngeri jika ada benda asing yang
dimasukkan ke dalam mulutnya”.

Beliau juga menambahkan bahwa tidak semua pasien anak yang datang ke
tempat praktek beliau memiliki rasa takut kepada dokter gigi, ada beberapa anak
yang langsung mau ketika diperintah oleh dokter gigi untuk membuka mulutnya.
Hal yang mempengaruhi rasa takut tersebut menurut beliau adalah peralatan-
peralatan medis yang digunakan oleh dokter gigi yang mungkin bentuknya terlihat
asing dan menyeramkan bagi anak.

“Kebanyakan sih terkena kasus gigi berlubang, apalagi jika anak


aktif mengkonsumsi susu botol dan setelahnya jarang kumur-
kumur dengan air putih, maka gula yang terdapat di dalam susu
tersebutlah yang dapat merusak gigi anak, belum lagi ditambah
dengan hobi anak yang suka makan permen dan coklat akan .
Tindakan saya tergantung umurnya, kalau kita lihat keadaan
giginya sudah parah dan berdasarkan umurnya kita tahu akan ada
penumbuhan gigi tetap maka gigi tersebut bisa dicabut, tetapi
terkadang ada anak yang umurnya belum sampai kepada
pertumbuhan gigi tetap maka gigi yang berlubang tersebut
haruslah dirawat dengan membersihkan kuman-kuman yang ada
di dalamnyamemperparah keadaan giginya”.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


92

Kebanyakan kasus gigi anak yang dihadapi oleh drg. Ridwan adalah gigi
berlubang. Mengingat rata-rata umur pasien anak yang datang berkisar lima tahun
ke atas, dimana anak pada usia tersebut pada umumnya masih aktif dalam
mengkonsumsi susu botol. Kurangnya perhatian orang tua untuk menyuruh
anaknya menyikat gigi ataupun kumur-kumur setelah minum susu membuat sisa-
sisa gula yang ada di dalam susu berpotensi menimbulkan kuman-kuman yang
kemudian dapat merusak gigi anak.
Tindakan medis drg. Ridwan tergantung kepada umur anak tersebut, jika
ia melihat umur anak tersebut sedang pada masa pertumbuhan gigi yang baru
maka ia akan mencabutnya. Beliau tidak mau sembarangan dalam melakukan
tindakan medis kepada anak, karena dapat mempengaruhi pertumbuhan giginya di
masa mendatang.

“Mungkin karena pengalaman saya belum banyak dalam


mengahadapi pasien anak, jadi saya belum pernah menjumpai
pasien dengan kasus seperti autis dan penyakit jantung. Kemarin
saya pernah mengobati pasien anak perempuan, sebenarnya kasus
giginya adalah penambalan, kan kalau penambalan itu tidak
menimbulkan rasa sakit sebenarnya, tetapi karena dia susah diajak
untuk bekerja sama sehingga proses penambalannya berlangsung
cukup lama, yaitu dari jam 9 pagi sampai jam 12 siang. Si anak
tidak mau membuka mulutnya lama-lama, dia hanya mau
membukanya selama 30 detik dan kemudian menutupnya, jadi dia
berhitung di dalam hati sampai 30 lalu ditutup, begitu seterusnya.
Kan saya jadi susah menambal giginya, padahal obat tambalan itu
kan harus ditunggu kering dulu, tidak bisa langsung terkena air
liur. Saya sempat kelabakan mengahadapinya, tetapi karena
bantuan teman saya, beliau akhirnya berhasil mengalihkan
perhatian anak tersebut dengan menunjukkan mainan kepadanya
sehingga si anak tidak sadar kalau giginya sedang ditambal.
Barulah saya langsung mengerjakan tambalan giginya sampai
selesai.”

Ketika peneliti menanyakan pengalaman beliau dalam melayani pasien


anak yang memiliki kebutuhan khusus seperti autis ataupun penyakit berbahaya
lainnya, beliau mengaku belum pernah bertemu dengan pasien yang seperti itu.
Namun kemudian belau menceritakan pengalaman yang paling berkesan baginya
ketika melayani pasien anak.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


93

“Belum pernah, karena selama praktek disini kan masih beberapa


saja pasien anak yang saya obati. Kalau dulu di Rumah Sakit
Kesehatan Gigi dan Mulut FKG USU, baru banyak pasien anak
yang saya obati. Tapi peraturan disana kan kalau ada pasien anak
yang sedang diobati, orang tuanya tidak bisa ikut ke ruangan.
Sehingga saya belum pernah melihat orang tua yang tempramen
sama anaknya.”

Beliau juga mengaku belum pernah bertemu dengan orang tua pasien anak
yang tempramen. Berhubung karena masih beberapa orang saja pasien anak yang
sudah beliau tangani selama di praktek ini, maka beliau belum memiliki banyak
pengalaman dalam hal melayani pasien anak.

“Biasanya dengan berkenalan terlebih dahulu, menanyakan nama


panggilannya, sekolah dimana, rumah dimana, sudah kelas
berapa. Karena jika kita memanggil dia dengan nama panggilan
biasanya si anak akan merasa lebih dekat dengan kita. Tak jarang
juga saya memberikannya mainan agar dia merasa lebih dekat lagi
dengan saya. Tetapi kalau anak yang belum pernah ke dokter gigi
sama sekali biasanya pasti takut kan karena melihat benda-benda
asing yang digunakan, oleh sebab itu ada baiknya kalau pas
dikunjungan pertama saya memperkenalkan semua alat yang saya
gunakan, beserta dengan fungsinya yang tujuannya untuk
membuat anak mengerti dan bukan untuk menakut-nakuti anak,
tentunya dengan menggunakan bahasa anak-anak agar dia lebih
mudah mengerti. Yang terpenting bagi dokter gigi dalam
melayani pasien anak adalah harus bisa membawakan diri,
maksudnya kita harus bisa bersikap seperti anak-anak juga,
menggunakan bahasa anak-anak juga dan ada baiknya kalau kita
mengerti mengenai mainan anak dan film kartun yang sedang
banyak diminati anak. Jika kita bisa membawakan diri, tentu si
anak akan merasa lebih nyaman dengan kita. Jika ia sudah
nyaman, barulah kita memeriksa mulutnya.”

Beliau berusaha mendekatkan diri dengan mengajak anak tersebut


berkenalan terlebih dahulu, ia juga memanggil anak dengan nama panggilan anak
supaya anak tersebut merasa lebih dekat dengannya. Beliau juga tak segan
memberikan mereka mainan. Dalam kunjungan pertama anak ke dokter gigi,
beliau berusaha untuk memperkenalkan semua benda-benda yang ada di tempat
prakteknya, yang fungsinya agar dapat menghilangkan rasa penasaran anak dan
bukan untuk menakut-nakuti anak. Beliau berusaha mampu membawakan diri
selayaknya anak-anak, agar dapat berkomunikasi dan bertindak seperti teman
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


94

pasien anaknya tersebut. Hal ini dilakukan beliau agar anak merasa lebih nyaman
dengan dokter gigi.

“Terlebih dahulu saya akan memberinya obat penghilang rasa


sakit, karena jika dalam keadaan yang sakit maka kita tidak boleh
mengambil tindakan medis seperti penambalan dan pencabutan.
Setelah rasa sakitnya mereda barulah kita bisa melakukan
tindakan medis. Jadi bisasanya setelah memberikan obat
penghilang rasa sakit, baru kemudian saya meminta mereka untuk
datang kembali besok atau lusanya. Jika pasien anak tetap tidak
mau dibujuk, saya akan menyerahkan keputusan kepada orang
tuanya, jika orang tuanya menyuruh saya untuk memaksa anak
tersebut, maka terkadang saya menyuruh perawat untuk
memegang tangan atau kepalanya. Tapi biasanya saya akan
mencoba membujuknya terlebih dahulu, jika dia tidak mau
barulah saya melakukan hal tersebut. Sering juga saya tidak mau
memaksa anaknya, karena takut malah membuatnya semakin
takut dengan dokter gigi, biasanya saya akan meminta orang
tuanya untuk membawanya dulu kerumah, agar dia bisa
menenangkan dirinya”.

Ketika menghadapi pasien anak yang krisis tetapi tidak mau dilakukan
pemeriksaan, maka drg. Ridwan akan memberikan obat pengurang rasa sakit
terlebih dahulu. Jika dalam beberapa hari sakitnya sudah mulai hilang, barulah
beliau melakukan tindakan medisnya. Dalam melayani pasien anak yang susah
dibujuk, peneliti melihat drg. Ridwan kurang dapat bersabar untuk mengambil
hati pasiennya. Beliau langsung menyerahkan keputusan kepada orang tuanya.

“Keterampilan berkomunikasi yang baik sangat diperlukan dalam


menghadapi pasien anak jika dibandingkan dengan pasien
dewasa. Terkadang jika kita bisa berkomunikasi dengan baik
kepada anak, maka anak mau mengikuti petunjuk kita seperti
membuka mulut, kumur-kumur, dan lain-lain. Saya sering
mengingatkan kepada pasien saya bagaimana cara menyikat gigi
yang benar dengan menggunakan model gigi agar ia dapat lebih
mudah untuk mengerti, saya juga menyuruh mereka untuk
sarapan terlebih dahulu baru mandi, agar kuman dari sisa sarapan
kita pagi hari bisa hilang ketika kita menyikat gigi saat mandi di
pagi hari, jadi kumannya tidak akan menempel lagi. Jika kita
dapat berkomunikasi yang baik dengan anak, tentunya dapat
mempengaruhi mereka agar mau mengikuti petunjuk dokter gigi.
Biasanya jika si anak sudah merasa dekat dan nyaman dengan

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


95

saya, maka dia sudah mau membuka mulutnya untuk saya


periksa.”

Beliau menyadari betapa pentingnya peran komunikasi dalam melayani


pasien anak. Bahkan dalam memotivasi pasiennya pun, beliau menggunakan
bahasa yang sederhana agar mudah dimengerti anak. Manfaat komunikasi
terapeutik yang beliau rasakan adalah kedekatan dan perubahan sikap yang terjadi
pada pasien anaknya yang disebabkan karena beliau berusaha melakukan
komunikasi yang efektif kepada pasien anaknya.

“Sulit sih tidak, tetapi dalam hal membujuknya ini yang sangat
menantang. Mengingat kasus gigi mereka juga masih sangat
sederhana, jadi dalam proses pengobatannya tidak akan memakan
waktu yang lama, tapi membujuknya ini yang sampai berjam-jam.
Yang menjadi penghambatnya adalah rasa takut anak yang sangat
besar kadang membuat saya sangat susah membujuknya. Apalagi
ketika menghadapi pasien anak yang nangis terus-terusan,
terkadang ketika saya ingin mengajaknya untuk berbicara pun
tidak kedengaran karena suara tangisannya yang begitu kuat. Oleh
karenanya aktor penghambat yang paling besar itu datangnya dari
anak yaitu rasa takut anak. Tapi kadang tidak bisa dipungkiri,
kesabaran saya dalam membujuk anak pun kadang menjadi faktor
penghambat komunikasi terapeutik dalam menghadapi pasien
anak. Yang saya lakukan dalam menghadapi pasien anak yang
terus-terusan menangis biasanya saya akan menyerahkannya
kepada orang tuanya, tetapi kalau anak yang masih bisa diajak
berkomunikasi pasti saya sangat berusaha untuk membujuknya
agar mau diajak bekerja sama. Dan kalau mengatasi hambatan
yang datangnya dari saya, saya lebih mengintrospeksi diri agar
lebih bisa membawakan diri dalam menghadapi pasien anak.”

Peneliti melihat tantangan terbesar drg. Ridwan dalam melayani pasien


anak adalah kesabaran dalam membujuk anak tersebut. Karena berdasarkan
jawaban dari dokter tersebut, peneliti bisa melihat hambatan komunikasi
terapeutik yang datang dari dalam diri beliau adalah kesabaran yang menurun jika
menghadapi anak yang susah dibujuk dan hanya menangis terus menerus.

“Terkadang sih iya, apalagi kalau si anak tersebut sudah masuk


antrian pasien ke berapa. Kalau jadi pasien pertama sih biasanya
saya masih sangat sabar dalam membujuknya, tetapi kalau
sebelum melayani dia saya sudah kecapekan dalam melayani

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


96

pasien sebelumnya, maka otomatis akan mempengaruhi rasa sabar


saya dalam membujuk pasien anak tersebut.”

Kondisi fisik dan mood beliau juga terkadang mempengaruhi rasa


sabarnya dalam melayani pasien anak. Apalagi jika sebelumnya beliau sudah
melayani beberapa pasien yang menyebabkan tenaganya sudah berkurang. Peneliti
melihat bahwa drg. Ridwan kurang bijaksana jika hanya dapat dengan sabar
melayani pasien anak dalam urutan pertama, jika dalam urutan terakhir beliau
mengakui kurang dapat bersabar dalam melayaninya. Deminikanlah wawancara
peneliti dengan informan ketujuh.

Kasus Kedelapan :
Nama Informan : drg. Afrida Hanum Sitepu
Usia : 34 tahun
Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 2, Rumah Sakit Siti
Hajar, Medan.

Setelah mewawancarai informan ketujuh, keesokan harinya pada tanggal


13 Februari 2015 peneliti kembali datang ke RS Siti Hajar untuk mewawancarai
dokter gigi yang lainnya. Drg. Afrida merupakan informan kedelapan peneliti.
Peneliti tiba di RS Siti Hajar pada pukul 14.00 tetapi beliau belum datang.
Setelah menunggu selama setengah jam, beliau pun datang ke tempat praktek.
Peneliti pun langsung menemui beliau untuk meminta izin mewawancarai beliau.
Beliau langsung menyetujuinya dan mengajak peneliti untuk berbicara di dalam
ruang praktek.
Drg. Afrida sudah bekerja selama delapan tahun di praktek gigi RS. Siti
Hajar. Selain bertugas disana, beliau juga dinas di Puskesmas Kebang di dekat
daerah Brandan. Alasan beliau membuka tempat praktek bersama karena beliau
mengaku belum memiliki modal yang cukup untuk membuka tempat praktek
sendiri di rumah, mengingat banyak hal yang harus dipersiapkan seperti kursi
pasien, dan alat-alat medis yang mahal harganya.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


97

Beliau mengaku bahwa dulu awalnya beliau bertugas di sana karena


sedang menggantikan teman yang sedang ada urusan di luar kota. Teman tersebut
merupakan kenalan beliau sewaktu PTT di Binjai. Namun setelah temannya
tersebut menikah dan mengikut suaminya pindah ke Bogor, maka beliaulah yang
menggantikan temannya tersebut hingga sekarang ini.
Di praktek gigi RS Siti Hajar ini, mereka sudah memiliki kesepakatan
tersendiri mengenai pembagian pasiennya. Bagi pasien umum yang baru pertama
kali datang ke RS. Siti Hajar maka akan diberikan kebebasan kepadanya untuk
memilih siapa dokter gigi yang diinginkannya untuk mengobati giginya.
Sedangkan untuk pasien orto (behel) biasanya ditetapkan per dokternya, jadi
pasien orto drg. Afrida akan tetap menjadi pasiennya sampai gigi pasien tersebut
sembuh.

“Tidak bisa ditentukan, disini sih rata-rata pasien dewasa. Kalau


dirata-ratakan sih lima orang per bulan.”

Beliau mengatakan bahwa jumlah pasien anak mereka di RS Siti Hajar


tidak bisa ditentukan. Tetapi beliau pernah melihat daftar buku pasien mereka,
dan beliau melihat dalam sebulan hanya ada rata-rata lima orang pasien anak yang
datang.

“Tergantung anaknya, kadang ada yang takut ya dibujuk-bujuk,


tapi kadang ada juga pasien anak yang langsung mau diajak
bekerja sama. Rasa takut tersebut kadang dipengaruhi oleh pola
asuh orang tua dirumah, yang sering mengancam anaknya jika
nakal maka akan dibawa ke dokter gigi supaya disuntik. Siapa
pun kalau di bilang disuntik pasti akan ketakutan. Makanya si
anak jadi takut sama dokter karena dianggap sebagai sosok yang
menyeramkan. Terkadang orang tua tidak sadar kalau sebenarnya
faktor pemicu anak takut dengan dokter gigi yaitu karena dirinya
sendiri yang sering mengancam anaknya dirumah.”

Tidak semua pasien anak yang beliau layani takut dengan dokter gigi. Ada
beberapa anak yang justru sudah terbiasa berhubungan dengan dokter gigi. Pola
asuh orang tua di rumah yang sering mengancam akan membawa anaknya untuk
disuntik ke dokter dapat membuat anak selalu mengingat bahwa sosok dokter

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


98

adalah orang yang menyeramkan. Kesadaran orang tua sangat diperlukan dalam
hal ini, agar ia dapat memberikan penjelasan mengenai dokter gigi kepada
anaknya sehingga anak tidak akan takut lagi ketika bertemu dengan dokter gigi.

“Kebanyakan sih kena kasus karies (gigi berlubang) karena


banyak anak yang tidak mengerti cara membersihkan sisa-sisa
makanan di mulut setelah makan ataupun ngemil. Kalau gigi yang
berlubang belum pernah sakit bisa langsung ditambal, tapi kalau
sudah pernah sakit ya harus dirawat dulu, biar sarafnya tidak sakit
lagi,kalau langsung ditambal nanti bisa bengkak. Setelah dirawat
barulah akan ditambal.”

Rata-rata umur pasien anak yang sering beliau layani adalah lima tahun ke
atas. Anak yang masih dalam umur lima sampai sepuluh tahun banyak sekali yang
belum mnegrti bagaimana cara membersihkan gigi yang benar. Oleh sebab itu
meskipun mereka rajin menyikat giginya tapi karena belum paham bagaiman cara
yang benar, maka tetap saja kuman-kumannya akan tinggal dan merusak gigi anak
tersebut.
Peneliti melihat drg. Afrida tidak sembarangan dalam mengobati penyakit
pasiennya. Beliau terlebih dahulu melihat kondisi gigi pasien anaknya. Jika
memungkinkan untuk dirawat, maka beliau akan merawatnya. Namun jika
giginya sudah tidak pantas lagi dipertahankan dan gigi tetapnya akan segera
tumbuh maka beliau akan mencabut gigi yang bermasalah tersebut.

“Belum pernah sih, karena biasanya kalau pasien anak yang autis
gitu lebih baik dibawa ke spesialis pedodonsia (dokter gigi anak)
karena disana mereka lebih telaten lagi dalam menghadapi pasien
yang seperti itu. Karena mereka kan sudah belajar bagaimana
teknik-teknik khusus untuk menghadapi semua anak-anak,
pastinya mereka lebih berpengalaman dalam menghadapi pasien
yang seperti itu. Kalau anak normal kebanyakan sih sama
kasusnya, yaitu rasa takut. Selama ini saya belum pernah bertemu
dengan pasien yang kasusnya luar biasa sehingga membuat saya
berkesan. Sejauh ini sih sama-sama aja semuanya, ya kalau takut
dibujuk pelan-pelan sampai dia mau, tapi kalau tidak mau pun
saya akan meminta orang tuanya untuk datang lagi besok.”

Peneliti melihat bahwa drg. Afrida tidak mau mengambil resiko dalam
melayani pasien anak yang berkebutuhan khusus, seperti autis. Beliau lebih

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


99

memilih untuk meminta orang tua anak tersebut agar membawa anaknya ke
dokter gigi spesialis pedodonsia.
Dalam melayani pasien anak biasa, beliau juga tidak pernah memaksa agar
ketika anak itu datang ke tempat prakteknya harus dilakukan tindakan medis.
Ketika anak sudah dibujuk tetapi tetap tidak mau diperiksa, maka beliau akan
meminta orang tuanya membawanya dulu ke rumah dan datang kembali besok
harinya.

“Pernah sih, ada beberapa orang tua yang tidak segan memukul,
dan kadang membentak anaknya. Hal itu disebabkan karena
mereka tidak sabar membujuk anaknya. Tapi biasanya saya akan
mengingatkan orang tua tersebut agar jangan memaksa anaknya
dengan kekerasan seperti itu, karena jika dipaksa pun dapat
menyebabkan anak trauma dengan dokter gigi, apalagi kalau
traumanya bertahan sampai dia dewasa. Masalahnya akan
menjadi semakin rumit.”

Sikap orang tua yang tempramen terkadang mengganggu konsentrasi


beliau dalam melayani pasien anak. Ketika beliau berusaha untuk membujuk-
bujuk anak tetapi orang tuanya malah memukulnya, hal ini dapat membuat anak
menjadi trauma setiap datang ke dokter gigi karena takut di pukul orang tuanya
ketika anak tersebut tidak mau diperiksa.

“Biasanya saya akan ajak kenalan dulu, saya tanya siapa


namanya, sekolah dimana, sudah kelas berapa, dan lain-lain, dan
juga saya tidak menggunakan panggilan dokter tetapi ibu supaya
anak merasa nyaman dengan saya. Saya tidak akan langsung
memintanya untuk membuka mulut, karena jika begitu dia akan
merasa terancam dan malah semakin takut. Tak jarang juga saya
memberikan mainan kepada mereka, toko obat kan sering ngasi
hadiah-hadiah seperti odol, sikat gigi ataupun model gigi sebagai
bentuk promosi, langsung saya berikan aja ke anak itu, biar dia
merasa kalau dokter gigi itu bukanlah sosok yang menyeramkan
tetapi sosok yang bersahabat bagi mereka. Kalau dalam
kunjungan pertama kan biasanya dia belum tahu apa-apa tentang
tindakan dokter gigi. Jadi saya akan menjelaskan terlebih dahulu
mengenai alat-alat yang saya gunakan juga fungsi alat itu, tetapi
dengan menggunakan bahasa yang sederhana agar mudah
dimengerti. Kalau obat bius anak kan ada dua macam, satu yang
menimbulkan efek dingin dan satu lagi pakai suntik bius.
Biasanya kalau yang memakai efek dingin itu, saya buatkan dulu

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


100

sedikit ke tangannya, biar dia tahu gimana nanti rasanya jika obat
itu sudah ada dimulutnya. Dan kalau yang menggunakan suntik
bius, biasanya akan saya suntikkan sedikit ke jari jempol saya,
kan kulit di dekat kuku jari jempol tebal, jadi saya bilang aja, ini
lihat tangan ibu aja disuntik tidak sakit dan tidak berdarah, nanti
di giginya juga gitu, kayak di gigit semut api aja kok sakitnya,
cuma sedikit. Dan kalau menghadapi anak yang takut dengan bur,
biasanya saya akan member sedikit kuku saya, supaya
membuktikan kalau bur itu tidak akan menimbulkan darah di
dalam mulutnya. Faktor yang diperlukan dalam melayani pasien
anak tentunya kesabaran, karena kesabaran sangat mempengaruhi
berhasil tidaknya perawatan gigi anak. Kalau dokternya sabar
pasti bisa membujuk pasien anaknya. Kreativitas dokter yang
tinggi juga sangat diperlukan dalam menghadapi pasien anak
yang dapat mengalihkan perhatian anak, misalnya memeriksa gigi
sambil menonton film kartun dan anak diajak mengobrol tentang
film kartun tersebut, tentu anak akan lupa kalau giginya sedang
diobati dan mereka akan cenderung mengabaikan rasa sakitnya.”

Peneliti sangat tertarik dengan teknik yang digunakan oleh drg. Afrida.
Selain mengajak anak untuk berkenalan, beliau juga sering memberikan hadiah
kepada anak sebagai cara untuk mendekatkan diri dengan anak. Teknik beliau
yang mau mencontohkan suntikan ke kuku jempol tangannya membuat peneliti
merasa tertarik. Peneliti belum pernah mendapatkan teknik seperti ini dari dokter
gigi sebelumnya. Drg. Afrida juga mencontohkan cara kerja bur di kukunya, hal
ini beliau lakukan supaya dapat meyakinkan anak bahwa tindakan yang
dilakukannya tidak akan menyakiti anak.
Teknik beliau berikutnya adalah mengajak anak untuk menonton film
kartun sewaktu diobati membuat anak tidak sadar kalau giginya sedang diperiksa.
Peneliti sangat tertarik dengan kreativitas beliau dalam melayani pasien anak.

“Biasanya akan saya berikan obat penghilang rasa sakit karena


saya tidak akan mau memaksa anak yang kondisi giginya sedang
sakit untuk langsung dilakukan tindakan medis. Jadi ketika rasa
sakitnya sudah berkurang barulah saya melakukan tindakan
medisnya. Namun jika saya sudah membujuk anak dan ternyata
dia tetap tidak mau, saya tidak akan memaksanya, karena saya
takut nantinya bisa membuat dia trauma dengan dokter gigi. Maka
saya akan menyuruh orangtuanya untuk membawanya dulu ke
rumah dan memberikan dia penjelasan mengenai dokter gigi agar
kemudian dia dapat melawan rasa takutnya.”

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


101

Ketika melayani pasien anak yang sudah kritis tetapi tidak mau diperiksa,
beliau akan memberikan obat penghilang rasa sakit terlebih dahulu. Peneliti
melihat bahwa drg. Afrida tidak mau memaksa pasien anaknya untuk diperiksa
ketika anak tersebut tidak mau diperiksa, karena beliau tidak ingin jika nantinya
muncul perasaan trauma dalam diri anak tersebut setiap kali berhubungan dengan
dokter gigi.

“Saya akan mengingatkan dan mencontohkan bagaimana cara


menyikat gigi yang benar kepada anak tersebut. Saya juga
mengingatkan mereka untuk sarapan dulu baru setelahnya mandi
dan sikat gigi agar sisa-sisa makanan yang dimulut tidak merusak
giginya. Manfaat komunikasi terapeutik yaitu dapat merubah
sikap anak yang tadinya tidak mau diperiksa giginya kini setelah
diajak berkomunikasi dan dilakukan pendekatan dia tidak takut
lagi dan sudah mau diajak untuk bekerja sama.”

Beliau juga sering mengingatkan pasien anaknya agar rajin menyikat gigi
minimal dua kali dalam sehari. Kepedulian beliau terhadap pasien anaknya juga
terlihat ketika beliau menyempatkan waktunya dalam mengajarkan bagaimana
cara menyikat gigi yang baik dan benar dengan menggunakan model gigi.
Manfaat yang beliau rasakan setelah melaksanakan komunikasi terapeutik adalah
dapat mengubah sikap pasien anaknya sehingga sudah mau diperiksa dan tidak
takut lagi ketika berhubungan dengan dokter gigi.

“Kesulitan sih tidak, tapi kadang kalau anaknya tipe yang tidak
bisa dibujuk capek juga menghadapinya. Apalagi disini kan
dokter gigi umum dan bukan spesialis pedodonsia, jadi kalau saya
sudah liat banyak pasien yang mengantri terkadang saya menjadi
tidak sabar dalam membujuk pasien anak tersebut. Terkadang rasa
takut anak yang berlebihan membuat saya susah untuk melakukan
pendekatan dengan dia, karena jika diajak berkomunikasi pun dia
tidak akan mendengar yang ada hanya menangis sekeras
mungkin, jadi percuma saya ajak berbicara. Lagipula disini kan
tidak ada pernak pernik anak-anak seperti sticker kartun, mainan
gigi anak-anak, dan lain-lain, kalau yang spesialis pedodonsia
biasanya pasti lengkap semuanya, sampai kursi giginya pun
dibuat sarung yang bergambar kartun supaya anak tidak merasa
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


102

asing lagi. Selain itu, terkadang kesabaran saya juga tidak stabil
dalam mengadapi pasien anak ini, apalagi jika sudah dibujuk-
bujuk sampai lima belas menit dan tetap tidak mau kadang
membuat saya menyerah dan menyuruh orang tuanya untuk
membawanya dulu ke rumah dan jangan dipaksa. Yang saya
lakukan untuk mengatasi faktor penghambat yang datang dari
saya adalah dengan menyabarkan diri dalam menghadapi pasien
anak tersebut, dan untuk mengatasi faktor penghambat dari anak-
anak biasanya saya akan membujuknya, tetapi jika dia tetap tidak
mau maka saya akan meminta orang tuanya untuk membawanya
kerumah dulu dan jangan dipaksa.”

Peneliti melihat bahwa drg. Afrida tidak merasa kesulitan dalam melayani
pasien anak. Hanya saja yang menjadi faktor penghambat beliau adalah kesabaran
yang terkadang akan berkurang jika melihat sudah banyak pasien yang mengantri
di luar. Hal ini tentunya membuat pelayanan beliau tidak maksimal kepada pasien
anaknya. Namun begitu, beliau tetap berusaha untuk lebih menyabarkan dirinya
ketika sedang melayani pasien anak, agar komunikasi teraepeutik beliau dapat
berjalan dengan maksimal.

“Terkadang sih pengaruh juga, apalagi kalau sudah menangani


beberapa pasien sebelum si anak itu. Otomatis kan badan kita
capek, jadi kadang terpengaruh juga ke kesabaran saya, jadi tidak
sabar lagi membujuk-bujuknya. Kalau saya lagi capek kadang
tidak sampai sepuluh menit pun saya langsung menyerah dalam
membujuk anak tersebut.”

Beliau mengakui bahwa terkadang kondisi fisik atau mood beliau


mempengaruhi kesabarannya dalam membujuk anak. Terlebih jika sebelumnya
beliau sudah menangani beberapa pasien sebelumnya, membuat tenaga beliau
semakin berkurang sehingga berpengaruh terhadap kesabarannya juga.
Demikianlah wawancara peneliti dengan informan kedepalan.

Kasus Kesembilan :
Nama Informan : drg. Indira Sembiring
Usia : 37 tahun

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


103

Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 2, Rumah Sakit Siti
Hajar, Medan.

Drg. Indira Sembiring adalah informan terakhir yang peneliti wawancarai.


Dihari yang sama yaitu pada tanggal 13 Februari 2015, setelah mewawancarai
drg. Afrida, peneliti melihat beliau sedang tidak menangani pasiennya. Sehingga
peneliti memutuskan untuk meminta izin barulah kemudian peneliti
mewawancarai dokter ini, beliau pun langsung mengajak peneliti untuk
melakukan wawancara di ruangan kerjanya.
Drg. Indira sudah bekerja di RS Siti Hajar selama tujuh tahun, dimulai
pada tahun 2008. Selain bertugas disana, beliau juga terikat dinas di Puskesmas
Dolat Rayat. Ketika peneliti bertanya mengenai alasan beliau membuka tempat
praktek bersama, beliau pun mengatakan bahwa ia lebih nyaman jika membuka
praktek bersama, selain itu alat-alat yang mereka perlukan juga sudah dilengkapi
oleh pihak rumah sakit sehingga tidak memerlukan modal yang besar untuk
bekerja disana.
Awalnya beliau diajak oleh teman satu stambuknya sewaktu kuliah di
FKG USU untuk bekerja di tempat praktek itu, beliau pun menyetujuinya. Namun
karena temannya tersebut sedang mengambil spesialis di luar kota sehingga dokter
gigi yang lain menggantikan posisi teman beliau tersebut. Mengingat bahwa
pemilik RS Siti Hajar merupakan dosen mereka sewaktu kuliah, maka mereka
tidak merasakan kesulitan pada proses pengurusan surat izin untuk bekerja di
rumah sakit tersebut.
Dokter gigi yang bekerja di RS. Siti Hajar memiliki kesepakatan dalam
masalah pembagian pasien mereka. Bagi pasien yang baru pertama kali datang ke
sana biasanya akan diberikan kebebasan untuk memilih dokter gigi mana yang dia
inginkan untuk mengobati giginya. Berbeda untuk pasien orto (behel) yang tetap
akan di layani oleh dokter yang sama sampai giginya sembuh.

“Tidak terlalu banyak sih, kalau di rata-ratakan kadang dua orang


perminggu. Tetapi terkadang tidak ada juga.”

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


104

Jumlah pasien anak yang datang ke tempat praktek beliau tidak terlalu
banyak. Jika rata-ratakan ada sekitar dua orang per minggu, namun terkadang
tidak ada pasien anak yang datang dalam seminggu.

“Beragam sih ya, kadang ada yang koperatif yang langsung enak
diajak untuk bekerja sama, disuruh buka mulut juga langsung
mau. Tapi terkadang ada juga pasien anak yang histeris ketakutan,
kadang nangis ada juga yang tidak mau masuk ke tempat praktek
ini. Ketakutan mereka mungkin karena alat-alat yang kami
gunakan disini tampak asing bagi anak-anak. Bisa saja ketika
mendengar suara bur dia ketakutan karena menganggap giginya
akan dihancurkan oleh bur tersebut. Belum lagi melihat tang
untuk mencabut gigi, tentunya sangat menyeramkan bagi anak-
anak.”

Tidak semua pasien anak yang datang ke tempat praktek beliau merasa
takut ketika berhubungan dengan dokter gigi. Namun pada umumnya kebanyakan
anak takut ketika diajak untuk berobat gigi. Hal yang mempengaruhi rasa takut
mereka menurut drg. Indira adalah alat-alat medis yang terdapat di tempat praktek
gigi yang terlihat asing bagi anak-anak. Suara bur dan bunyi alat lainnya yang
nyaring membuat anak semakin takut ketika sedang berada di dalam ruangan
praktek. Tak heran jika ada beberapa anak yang tidak mau masuk ke dalam
ruangan kerja dokter gigi.

“Kasus yang paling sering sih biasanya gigi berlubang dan gigi
yang sudah goyang. Kalau giginya sedang sakit biasanya akan
dirawat terlebih dahulu, kalau memang umurnya sudah untuk
dicabut ya kita cabut. Tapi pada umumnya anak yang datang itu
kan dalam kondisi gigi yang sakit, jadi lebih baik kita obati dulu
rasa sakitnya, barulah beberapa hari lagi datang kembali supaya
dilakukan tindakan selanjutnya.”

Anak yang sedang berumur empat tahun ke atas sangat rentan terkena gigi
berlubang, karena pada umur tersebut anak belum sepenuhnya memahami
bagaimana cara merawat dan menjaga kesehatan giginya. Drg. Indira selalu
berusaha untuk tidak sembarangan dalam mengambil tindakan medis untuk
pasiennya. Ia selalu mempertimbangkan tindakannya. Jika anak tersebut sudah
mendekati masa pertumbuhan gigi maka beliau akan mencabut giginya, tetapi jika
belum beliau tidak akan mencabut gigi anak tersebut.
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


105

“Autis pernah kemarin sewaktu saya bertugas di sekolah Siti


Hajar, cuma anak itu kan ada pendampingnya, dia kan sekolahnya
di sekolah biasa bukan di SLB karena otaknya memang mampu
menerima pelajaran, jadi kemana pun dia pergi pendampingnya
itu selalu menemani. Jadi kalau kita suruh buka mulut, kita
sampaikan dulu ke pendampingnya barulah pendampingnya
menyampaikan pesan itu kepada dia. Karena kalau
pendampingnya kan pasti sudah tahu bagaimana cara
berkomunikasi dengan anak itu. Berhasil juga sih kemarin, tapi
repotnya disitu, kita ngomongnya harus pakai perantara. Dan juga
dalam pengerjaan giginya pun saya harus cepat-cepat karena
kalau terlalu lama dia bisa tidak fokus lagi. Jadi pas dia lagi mau
buka mulut, saya harus segera menyelesaikan proses pengobatan
mulutnya. Kalau ditanya tentang pengalaman khusus dalam
melayani pasein anak tidak ada, karena rata-rata anak kasusnya
sama aja, yaitu rasa takut yang ada di dalam dirinya. Perbedaanya
hanya di besar kecil rasa takutnya tersebut. Ada anak yang merasa
ketakutan tetapi setelah dibujuk-bujuk maka akan mau mengikuti
petunjuk saya, tapi ada juga anak yang kerasa kepala, jadi dia
tetap mempertahankan rasa takutnya itu, pasien yang begitu yang
susah. Tapi biasanya sih di hari itu juga haruskan ada tindakan
ntah misalnya menghilangkan rasa sakitnya aja dulu, kalau
kasusnya belum selesai maka saya akan meminta orang tuanya
untuk membawanya kembali kesini dan saya akan melakukan
tindakan lanjutan.”

Peneliti melihat drg. Indira salah satu dokter gigi yang dapat dikatakan
cekatan. Meskipun beliau merasa agak susah ketika melayani pasien anak autis
karena harus berbicara lewat perantara, beliau berusaha semaksimal mungkin
untuk dapat menyelesaikan proses pengobatan gigi anak tersebut. Ketika anak
mau membuka mulutnya, disitulah beliau berusaha secepat mungkin
menyelesaikan tindakan medis beliau. Dalam melayani pasien anak yang takut,
beliau juga selalu berusaha untuk membujuk-bujuk anak agar mau bekerja sama
dengan beliau.

“Kalau orang tua yang mengancam sih sering, tapi kalau yang
langsung main fisik belum pernah. Biasanya orang tua tersebut
mengatakan kalau anaknya tidak mau membuka mulut nanti
dicubit ya atau dipukul. Kebanyakan sih gitu.”

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


106

Karena beliau belum pernah bertemu dengan orang tua pasien yang
tempramen, maka beliau belum mengetahui bagaimana cara mengatasi orang tua
yang tempramen. Tetapi beliau tidak merasa terganggu jika ada orang tua yang
mengancam anaknya, tetapi hanya menggunakan kata-kata.

“Biasanya di ajak perkenalan dulu, ditanyakan siapa nama


panggilannya, sekolah dimana, sudah kelas berapa, pokoknya
diajak berkomunikasi dulu, karena dengan mnegobrol kita bisa
mendekatkan diri dengan pasien tersebut. Dan kalau dia masih
tetap ketakutan biasanya saya akan peragakan tindakan medis
saya ke model gigi, untuk menyatakan bahwasaya tidak akan sakit
dan tidak akan lama prosesnya. Kalau anak yang dalam
kunjungan pertamanya pastinya diajak ngobrol dulu, di ajak
cerita-cerita dengan menggunakan bahasa anak agar dia merasa
nyaman. Selanjutnya saya akan memperkenalkan alat-alat yang
saya gunakan kepada anak tersebut, agar ia tidak takut dengan
benda yang asing di tempat praktek dokter gigi. Kadang saya
memberikan kesempatan kepada anak untuk memegang alat saya,
supaya semakin dapat meyakinkan dia kalau alat tersebut tidak
akan membahayakan dirinya. Dan kalau untuk pasien yang baru
kali itu ke dokter gigi maka saya akan meminta orang tuanya
untuk mendampinginya agar ia merasa lebih aman. Kesabaran
merupakan hal yang paling penting dalam menangani pasien
anak. Dengan membujuk-bujuknya, dengan melakukan
komunikasi dengannya biasanya dapat membuat dia lebih berani
lagi dan melawan rasa takutnya. Tapi setidaknya dokter gigi
jangan menambah rasa sakitnya, kan kalau biasanya anak datang
dalam kondisi gigi yang sakit jadi dalam penanganannya jangan
sampai dokter gigi tersebut memaksakan tindakannya sehingga
membuat anak merasa lebih sakit, jika terjadi hal seperti itu maka
bisa saja nantinya dapat membuat rasa takutnya semakin besar.”

Pendekatan yang dilakukan oleh drg. Indira hampir sama dengan dokter
gigi lainnya, yaitu dengan mengajak anak berkenalan. Dalam kunjungan
pertamanya, pasien anak biasanya hanya akan diajak mengobrol untuk
mengakrabkan diri. Beliau berusaha untuk tidak menambah rasa sakit anak yang
dapat berujung kepada rasa trauma. Hampir sama dengan dokter gigi lainnya,
sebelum memulai tindakan medisnya beliau terlebih dahulu mengenalkan alat-alat
medisnya supaya anak tidak takut lagi.

“Biasanya kalau masalah giginya sudah sangat serius saya akan


memberikannya obat penghilang rasa sakit, karena kalau dalam
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


107

kondisi yang sakit tidak mungkin kita melakukan tindakan


medisnya pada saat itu juga, yang ada bisa memperparah keadaan
giginya. Jadi saya akan suruh untuk minum obat dulu biar tidak
sakit lagi. Sebenarnya dengan memberikan obat peringan rasa
sakit, secara tidak langsung kita bisa melakukan pendekatan
dengan anak tersebut. Jika besok setelah dia meminum obat rasa
sakitnya hilang, maka hal itu akan membuat dia percaya kalau
kita dapat menghilangkan rasa sakit giginya. Sehingga dalam
kunjungan berikutnya dia akan mau dirawat oleh saya. Pernah
juga kemarin ada pasien anak yang dibujuk sampai setengah jam.
Saya sudah melakukan pendekatan, mengajak dia ngobrol dan
berkenalan dengannya. Tapi ternyata dia tetap tidak mau
membuka mulutnya, maka saya menyuruh orang tuanya untuk
membawa dulu kerumah, jangan dipaksakan hari itu juga karena
dapat menimbulkan efek trauma dalam diri anak tersebut.”

Beliau tidak mau mengambil resiko untuk melakukan tindakan medis pada
saat gigi pasiennya sedang sakit. Ketika gigi anak sedang sakit, beliau tidak akan
memaksa untuk melakukan tindakan medisnya pada hari itu juga, beliau akan
memberikan obat penghilang rasa sakit dan meminta orang tuanya untuk
membawa anak itu kembali ke rumah dulu. Jika nanti rasa sakitnya sudah hilang
barulah ia melakukan tindakan medisnya.

“Biasanya saya akan mengajari pasien saya bagaimana cara


menyikat gigi yang benar, saya akan mencontohkan di model gigi
agar dia bisa lebih mengerti. Dan sales obat kan sering
memberikan sampel-sampel odol atau sikat gigi ke sini, jadi saya
akan berikan itu ke pasien anak itu, supaya dia lebih tertarik lagi
untuk mengikuti saran saya. Karena kalau anak dikasi hadiah kan
biasanya lebih bersemangat untuk menjaga kesehatan gigi dan
mulutnya. Manfaat komunikasi terapeutik tentu dapat membuat
anak mau bekerja sama dengan kita. Anak yang tadinya menangis
karena ketakutan ketika diajak orang tuanya ke dokter gigi, kini
dalam kunjungan berikutnya akan senang ketika diajak ke dokter
gigi karena ia sudah merasa nyaman dengan dokter gigi, itulah
manfaatnya.”

Dalam memotivasi kesembuhan pasiennya, beliau sering mengingatkan


anak bagaimana cara menyikat gigi yang benar. Beliau juga mencontohkannya di
model gigi agar anak bisa lebih mengerti. Dengan menjalankan komunikasi
terapeutik kepada pasien anaknya, beliau dapat mengubah sikap dan prilaku
pasien anaknya, terbukti dari pasien anak yang sebelumnya sangat takut ketika

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


108

berhubungan dengan dokter gigi kini berubah menjadi rasa senang ketika diajak
untuk berobat gigi.

“Kalau menghadapi anak yang tidak koperatif pasti sulit, karena


membutuhkan kesabaran yang tinggi agar dapat membujuk-
bujuknya supaya mau dirawat giginya. Anak yang terlalu takut
sama dokter gigi membuat saya sangat susah untuk membujuk
anak itu. Karena kalau dia sangat takut terkadang kita ajak
berkomunikasi pun dia tidak mau, pas kita tanya pun dia tidak
mau menjawab karena takut sama kita. Itu sih yang membuat saya
merasa kesulitan dalam menghadapi pasien anak. Dominan
hambatan saya datang dari anak. Karena jika rasa takutnya tak
kunjung hilang meskipun sudah dibujuk-bujuk akan membuat
saya kehabisan kesabaran dalam membujuknya. Dan terkadang
rasa sabar saya juga lama-lama semakin habis kalau sampai
membujuk anak setengah jam dan dia tetap tidak mau diajak
bekerja sama. Kalau untuk menghadapi masalah pasien anak,
sebisa mungkin saya akan membujuknya dengan melakukan
pendekatan. Saya bayangkan aja kalau pasien anak itu adalah
anak kandung saya sendiri supaya saya lebih sabar lagi dalam
membujuknya.”

Beliau mengaku merasa kesulitan ketika melayani pasien anak yang tidak
koperatif, karena beliau harus membujuk-bujuknya sampai berjam-jam. Rasa
takut anak yang sangat besar juga diakuinya sebagai salah satu hambatan terbesar
dalam proses pengobatan gigi anak. Faktor penghambat berikutnya adalah rasa
sabarnya yang kadang sudah habis jika harus membujuk anak sampai setengah
jam. Namun, beliau selalu berusaha untuk mengatasi hambatan tersebut dengan
menganggap pasien anak tersebut sebagai anak kandungnya sehingga beliau lebih
bersabar dalam membujuknya.

“Saya berusaha untuk tidak terpengaruh dengan masalah yang


sedang saya hadapi. Jadi kalau saya sedang berada di praktek ini
semua masalah yang ada saya lupakan dulu, biar bisa dengan
maksimal melayani semua pasien saya.”

Drg. Indira sangat berusaha untuk mengesampingkan urusan pribadinya


ketika beliau berada di tempat praktek agar dapat semaksimal mungkin melayani
pasiennya. Demikianlah hasil wawancara peneliti dengan informan terakhir.
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


109

Kasus Ke-10 :
Nama Informan : Merta, AMKG (Perawat Gigi)
Usia : 24 tahun

Keesokan hari setelah peneliti mewawancarai informan pertama yaitu pada


tanggal 28 Januari 2015 pukul 16.00 WIB, peneliti kembali datang ke tempat
praktek beliau untuk menanyakan kembali informasi mengenai drg. Martha
kepada perawatnya, karena sebenarnya peneliti merasa kurang puas dengan
jawaban dari beliau. Oleh karena itu peneliti memutuskan untuk bertanya kepada
perawatnya secara singkat bagaimana sebenarnya beliau menghadapi pasien anak.

“Sebelumnya maaf ya kak, mungkin semalam kakak kurang puas


sama jawaban kak Martha. Kakak itu memang gitu kak, karena
kalau sedang melayani pasien anak kakak itu memang kurang
sabar dalam membujuknya, terkadang lebih banyak kami pun
yang bujuk-bujuk pasiennya. Dan kakak juga tau kan, kakak itu
kan udah spesialis orto, jadi dia lebih suka melayani pasien orto
kak. Coba kakak bayangkan, kalau menghadapi pasien orto pasti
kan tidak perlu dibujuk-bujuk kak, yang penting dikerjai aja
behelnya, udah gitu uang yang didapat pun kan lebih banyak kak.
Sedangkan dalam menghadapi pasien anak, udah harus dibujuk-
bujuk, harus banyak bercerita, uang yang didapatkan pun tidak
terlalu banyak. Dan kita juga bisa ngerti lah sama umur kakak itu
kak, dia kan udah lima puluhan, mungkin pengalamannya dalam
kedokteran gigi pun udah banyak, jadi kalau menghadapi pasien
anak mungkin kakak ini udah mulai ngerasa jenuh, jadi biasanya
kakak ini menyuruh orang tuanya untuk membujuk anak itu kak.
Dan kalau anaknya memang susah kali untuk di bujuk, biasanya
kami gak pernah maksa dia, pasti kami suruh dibawa pulang dulu
sama orang tuanya, biar gak merepotkan juga disini kak.”

Dari jawaban perawat tersebut, peneliti menyadari bahwa kondisi umur


drg. Martha sangat mempengaruhi kesabarannya dalam membujuk pasien
anaknya. Terlebih lagi pendidikan spesialis orto yang sudah didapatkannya,
membuat beliau lebih merasa tertarik untuk melayani pasien orto yang juga
memberikannya pendapatan yang lebih besar dibandingkan perawatan gigi anak.
Demikianlah wawancara peneliti dengan perawat di tempat praktek Drg. Martha.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


110

Namun, diakhir kegiatan ketika peneliti meminta foto dokumentasi kepada beliau,
beliau sama sekali tidak mengizinkannya, dengan alasan beliau sedang tidak
dalam keadaan yang rapi sehingga membuat beliau enggan untuk difoto. Oleh
karena itu, peneliti tidak mendapatkan foto dokumentasi ketika mewawancarai
drg. Martha.

Kasus Ke-11 :
Nama Informan : Ibu Mery (Orang Tua Pasien)
Usia : 42 tahun

Pada tanggal 16 Februari 2015, drg. Ida menghubungi peneliti dan


mengatakan bahwa ada seorang pasien anak yang sedang berobat gigi ditempat
prakteknya. Mendengar hal tersebut, peneliti langsung pergi ke tempat praktek
beliau.
Sesampainya di tempat praktek beliau, peneliti melihat seorang anak
perempuan memakai baju berwarna merah jambu dan celana pendek, yang datang
bersama ibunya sedang duduk di kursi antrian. Peneliti melihat anak tersebut terus
berbicara kepada ibunya sambil sedikit merengek. Tidak lama kemudian, drg. Ida
keluar dari ruang kerjanya sambil memanggil anak itu dengan nama ‘Garet’. Pada
saat itu peneliti langsung mengerti bahwa pasien anak ini pasti sudah beberapa
kali datang mengunjungi tempat praktek drg. Ida sehingga beliau mengetahui
nama anak tersebut.
Ketika peneliti mengikuti Margaret masuk ke ruangan kerja drg. Ida,
peneliti melihat Garet langsung duduk di kursi pasien, seolah-olah dia langsung
mengerti apa yang harus dilakukannya di ruangan praktek dokter gigi tersebut.
Sedangkan ibunya hanya menunggu di depan pintu, tanpa harus mengikutinya
duduk di dekat kursi pasien. Drg. Ida pun langsung menyapanya dengan ramah,
menanyakan bagaimana kabarnya, bagaimana persekolahannya dan juga memuji
pakaian yang sedang ia kenakan. Margaret tampak senang menjawab semua
pertanyaan yang dilontarkan oleh drg Ida. Drg. Ida juga menanyakan apakah

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


111

Margaret sudah rajin menyikat giginya atau belum, sambil malu-malu Garet
mengakui kalau malam hari dia sering lupa menyikat giginya.
Peneliti mendengar dalam berkomunikasi dengan Garet, drg.Ida
menggunakan panggilan tante, untuk mendekatkan diri dengan pasien anaknya.

“Nah, sekarang tante lihat dulu ya gimana keadaan giginya. Jadi


Garet buka mulut dulu, biar tante bisa lihat.”

Drg. Ida tampak dengan lembut mengarahkan kepala Garet agar posisi
duduknya dapat lebih nyaman. Garet tampak memejamkan matanya. Mungkin dia
takut karena kali ini drg. Ida akan mencabut giginya.

“Garet pernah nggak digigit semut merah? Atau dicubit sama


mama?”

Lalu Margaret pun mengangguk, sambil berkata : “Pernah tante”.

“Nanti tante akan kasi obat penghilang rasa sakitnya dulu, rasa
sakitnya cuma dikit aja kok. Kayak digigit semut merah, abis itu
langsung hilang. Kalau Garet nggak percaya, nanti kalau Garet
rasa sakit langsung angkat tangan aja, biar tante berhenti ngasi
obatnya.”

Lalu Garet pun mengangguk menyatakan bahwa ia setuju. Drg. Ida sengaja
tidak mengatakan bahwa ia ingin menyuntik gigi Garet, karena beliau tahu hal itu
dapat membuat rasa takut Garet semakin besar. Peneliti juga melihat drg. Ida
menyembunyikan alat suntik di belakang punggungnya agar Garet dapat tidak
melihatnya.
Ketika drg. Ida sedang menyuntik bius, peneliti melihat Garet
memejamkan matanya, mungkin ia sedang menahan rasa sakit yang ditimbulkan
oleh jarum suntik. Setelah selesai menyuntik, drg. Ida kembali mengajak Garet
untuk berbicara sambil menunggu obat biusnya bekerja.
Selang beberapa menit, Garet tampak memegang-megang bibirnya
sehingga membuat drg. Ida tertawa.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


112

“Garet udah ngerasa kebas ya nak? Pasti Garet pikir bibirnya


udah tebal kan? Coba lihat di cermin ini, bibir garet nggak
bengkak kok, itu Cuma pengaruh obat yang tadi tante kasi.”

Garet pun tampak melihat-lihat keadaan bibirnya di dalam cermin. Setelah


itu, drg. Ida pun mengetes obat biusnya, apakah sudah sepenuhnya bekerja atau
belum. Setelah yakin obat biusnya sudah bekerja, drg. Ida pun langsung mencabut
gigi Garet.
Sambil mencabut gigi Garet, drg. Ida selalu berusaha bercerita kepada
Margaret. Banyak topik yang mereka bahas, mulai dari film kartun Masha yang
suka memakai baju berwarna merah jambu, sama seperti Garet, dan sampai ke
cita-cita Garet yang ingin menjadi dokter. Drg. Ida berusaha untuk mengalihkan
pikiran Garet dengan mengajaknya bercerita tanpa henti.
Setelah selesai mencabut giginya, drg. Ida pun langsung memuji Garet di
depan rekan kerjanya, yaitu drg. Erni.

“Garet pinter kan te, jarang-jarang kita dapat pasien anak yang
pinter kayak Garet, udah cantik, nggak cengeng, nurut lagi. Garet
udah nggak takut lagi kan nak kalo cabut gigi? Sakitnya cuma
sebentar kok kayak tadi, abis itu langsung selesai.”

Garet pun hanya membalas perkataan dokter tersebut dengan senyuman


saja, mungkin ia masih susah untuk berbicara, karena gigi yang dicabut adalah
gigi depannya. Kemudian setelah itu, drg. Ida pun kembali mengingatkan Garet
untuk rajin menyikat giginya dirumah dan menyuruhnya untuk mengurangi
mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung gula, agar kesehatan giginya
dapat lebih terawat.
Peneliti pun kemudian menunggu Margaret dan ibunya di tempat atrian.
Dan setelah mereka keluar dari ruangan kerja dokter, peneliti pun meminta izin
wawancara kepada Ibu Mery dan beliau pun mengizinkannya.

“Enggak dek. Beberapa minggu yang lalu kami udah pernah


datang kesini. Kemarin Garet nambal gigi ke sini. Kami ke sini
udah dua kali. Yang kemarin sama yang sekarang. Kalau ke
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


113

tempat lain kami belum pernah dek, masih ini aja tempat praktek
dokter gigi yang kami datangi. Udah lama sih kakak tahu tentang
tempat praktek ini karena tempat prakteknya kan dipinggir jalan,
jadi semua orang kalau sering lewat sini pasti tahu tentang tempat
praktek ini. Dulu pertamanya kakak yang ngajak dia ke sini, tapi
karena udah pernah ke sini sebelumnya dan Garet juga suka,
yaudah tadi dia yang minta ke sini. Kalau dulu awalnya kami
cuma coba-coba ajanya datang kesini, tapi karena pelayanan
dokternya baik, jadi kami tetap datang kesini.”

Ibu Mery mengatakan bahwa awalnya ia hanya mencoba-coba datang ke


tempat praktek drg. Ida. Karena sering lewat di sekitaran daerah Jalan Jamin
Ginting, beliau sering melewati tempat praktek tersebut sehingga ia tahu bahwa
ada tempat praktek dokter gigi di sekitaran rumahnya. Namun setelah merasakan
langsung dan puas dengan pelayanan drg. Ida dan drg. Erni, Ibu Mery pun
terdorong untuk tetap membawa anggotanya berobat gigi ke tempat praktek
dokter tersebut.

“Kalau dulu sih kurang dek, tapi semenjak kemarin sepulang dari
tempat praktek ini kakak jadi sering mengingatkan Garet untuk
rajin sikat gigi minimal dua kali sehari. Nggak bisa dipastikan
berapa bulan sekali kakak bawa dia ke sini, kalau ada masalah
giginya baru kakak bawa dia ke dokter gigi kalau nggak ada
ngapain juga kakak bawa dia ke dokter gigi. Dulu awalnya Garet
takut kali sama dokter gigi mungkin karena dia takut sama alat-
alat di tempat praktek dokter gigi ini, tapi lama-kelamaan rasa
takutnya itu berkurang mungkin karena dokter giginya juga pintar
mengambil hati si Garet. Sekarang pun masih adanya rasa
takutnya, tapi tinggal sedikit. Mungkin karena dia belum terbiasa
aja dengan semua alat-alat dokter gigi ini.”

Peneliti melihat masih kurangnya perhatian orang tua dalam merawat


kesehatan gigi dan anak mereka. Ibu Mery mengaku hanya akan membawa
anaknya ke dokter gigi jika ada masalah dengan gigi anaknya, padahal seharusnya
orang tua harus rajin memeriksa kesehatan gigi anak mereka secara rutin dalam
enam bulan sekali.

“Akar gigi Garet yang di depan sudah melukai bibirnya, kadang


bisa buat bibirnya berdarah juga. Jadi karena umurnya juga sudah
dekat sama usia pertumbuhan gigi anak, makanya dokter
menyarankan untuk dicabut aja sebelum terlambat. Takutnya
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


114

nanti ada gigi tetap yang tumbuh di belakang gigi susu itu,
malahan dapat membuat giginya jadi berantakan. Waktu kakak
ajak ke dokter gigi dia langsung setuju kok. Mungkin karena
pengalaman sebelumnya juga tidak mengerikan baginya sehingga
dia tidak trauma diajak ke dokter gigi. Kakak sering berjanji akan
memberikan hadiah jika Garet mau ke dokter gigi. Hadiahnya
terserah Garet, kadang boneka atau mainan masak-masakan. Yang
penting dia mau ke dokter gigi aja kakak udah lega. Gak lama sih
kakak ngebujuknya, tapi biasanya sehari sebelum mengajaknya ke
dokter gigi kakak pasti meminta izinnya dulu. Supaya dia merasa
dihargai dan bukan dipaksa.”

Orang tua juga dapat membantu memudahkan dokter gigi dalam


menangani pasien anak yang susah dibujuk. Selain dokter gigi yang harus
berjuang untuk melakukan pendekatan dengan pasien anaknya agar mau berobat
gigi, orang tua juga harus dapat membujuk anak mereka dengan cara yang
berbeda. Salah satunya dengan memberikan anak hadiah yang diinginkannya
ketika ia mau diajak untuk berobat gigi. Hal ini dapat memotivasi anak agar ia
bersemangat ketika diajak berobat gigi.

“Bagus kok, disini kan dokternya ada dua, jadi mereka saling
membantu dalam mengobati pasiennya. Terus mereka juga
ramah-ramah, mau berkenalan dengan pasien. Jadi anak kan
merasa dekat kalau diajak ngomong-ngomong terus. Mereka juga
pintar dalam mengalihkan perhatian anak. Tempatnya juga
nyaman kok, bersih. Sambil menunggu kita bisa nonton TV di
apotiknya, jadi nggak terlalu bosan. Cuma menurut kakak
ruangan prakteknya terlalu sempit, jadi susah bergerak kalau kita
nunggu di dalam. Itu aja sih kekurangannya. Kakak puas kok
sama pelayanannya. Buktinya si Garet aja ketagihan datang ke
sini hehe. Nanti kalau kakak juga kena sakit gigi, pasti kakak juga
datang ke sini. Dokternya juga ramah-ramah jadi bikin kita
nyaman.”

Ibu Mery mengaku puas dengan pelayanan yang diberikan oleh drg. Ida
dan drg. Erni. Bahkan beliau juga memuji keramahan dan kenyamanan tempat
praktek drg. Ida. Demikianlah wawancara peneliti dengan informan tambahan
yaitu Ibu Mery.
Peneliti melihat dalam penanganan pasiennya, drg. Ida sangat
berpengalaman. Mungkin sudah banyak pengalaman yang beliau pernah alami
dalam menangani pasien anak. Oleh karena itu beliau tampak dengan mudah
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


115

menaklukkan rasa takut pasiennya. Mengajak pasien anaknya untuk bercerita


mengenai film kartun ataupun persekolahan anak dilakukan beliau untuk
mengalihkan perhatian anak, agar anak tidak tersadar kalau giginya sedang diobati
oleh dokter gigi.

Kasus Ke-12 :
Nama Informan : Ibu Siti Agustina (Orang Tua Pasien)
Usia : 32 tahun

Pada tanggal 23 Februari 2015, drg. Juli kemudian menghubungi peneliti


dan mengatakan bahwa sedang ada pasien anak yang datang ke tempat
prakteknya. Peneliti pun langsung bergegas untuk datang ke tempat praktek
beliau.
Sesampainya di tempat praktek beliau, peneliti melihat ada seorang anak
perempuan yang sedang menangis karena ketakutan. Dia datang bersama ayah,
ibu dan adiknya yang masih bayi. Namanya adalah Khansa Nativa, berumur
empat tahun. Peneliti melihat drg. Juli sedang mengajak Khansa untuk
berkenalan. Namun, Khansa hanya memeluk ibunya sambil ketakutan. Drg. Juli
sudah berusaha untuk melakukan pendekatan, dengan menanyakan siapa
namanya, sekolah dimana, dan menanyakan cita-citanya. Khansa pun sudah mulai
mau menjawab pertanyaan beliau.
Namun ketika dokter menyuruhnya duduk di kursi pasien, dia menangis
ketakutan sehingga ibunya memutuskan untuk ikut duduk dikursi tersebut. Lalu
ibunya memangku Khansa sambil mengarahkan mulut Khansa kearah dokter
gigi. Khansa tetap menangis ketakutan, meskipun begitu ia tetap membuka
mulutnya. Drg. Juli berkata kepada ibu Khansa, “Dia mau kok dirawat buktinya
dia masih buka mulutnya, tapi dia sedikit takut.” Khansa yang terus menangis
sempat membuat drg. Juli dan bu Siti kebingungan, karena Khansa sambil
menangis juga berusaha membelakangkan dokter, sedangkan dokter sedang
berusaha untuk membur giginya. Kabel bur yang tidak begitu panjang membuat
drg. Juli tidak dapat menjangkau gigi Khansa, sehingga drg. Juli berusaha untuk
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


116

memberhentikan sebentar pekerjaannya lalu membujuk Khansa agar Khansa tidak


merasa dipaksa.
Peneliti melihat drg. Juli tidak memakai sarung tangan ketika mengobati
Khansa, hal ini ia dilakukan agar Khansa tidak merasa ketakutan. Sempat berhasil
mengebur giginya beberapa menit, namun karena mesin pengisi angin drg. Juli
berbunyi membuat Khansa merasa takut sehingga ia kembali menangis. Drg. Juli
pun menghentikan pekerjaannya, sambil membujuk-bujuk Khansa. Setelah mesin
tersebut berhenti berbunyi barulah kemudian dokter melanjutkan pekerjaannya.
Namun Khansa tetap menangis.
Peneliti pun mendengar drg. Juli terus mengajak Khansa berbicara sambil
mengebur giginya.

“Khansa kan anak pintar, cita-citanya mau jadi dokter. Kalo mau
jadi dokter, giginya harus sehat, nggak boleh ada yang busuk.
Coba buka mulutnya sebentar ya, biar kakak bisa lihat giginya.”

Namun Khansa tetap menangis tanpa mendengarkan perkataan dokter.


Lalu beberapa saat kemudian terdengar suara pintu depan tempat praktek yang
sedang di tutup oleh perawat. Selang beberapa detik, terdengar suara adik Khansa
yang sedang digendong oleh ayahnya menangis di luar ruangan praktek. Maka
drg. Juli pun kembali berbicara kepada Khansa.

“Tuh liat, kakak perawatnya udah mau nutup kita di dalam. Ini
kan udah sore, jadi kakak perawatnya mau pulang. Sebentar ajaaa
Khansa buka mulutnya, biar kita cepat selesai lalu kita pulang.
Nanti kakak itu ngunci kita di dalam ruangan, jadi kita nggak bisa
pulang. Udah gitu adik Khansa kan juga lagi nangis diluar, nanti
kalau kelamaan nunggu Khansa bisa buat adik makin kuat suara
nangisnya.”

Dokter pun seolah-oleh berbicara dengan suara nyaring kepada perawat


yang ada di depan tempat prakteknya.

“Kak, jangan dikunci dulunya pintunya. Kami masih di dalam.


Bentar ya kak, Khansanya baik kok, bentar lagi giginya udah siap.
Bentar ya kak….”
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


117

Khansa terlihat mempercayai kata-kata drg. Juli, selama dokter berbicara,


Khansa tampak diam mendengarkan perkataan dokter tersebut. Tanpa disadari
Khansa, drg. Juli ternyata sudah selesai membersihkan giginya sehingga dia sudah
boleh pulang.
Khansa pun terlihat sangat senang ketika dokter mengatakan bahwa
pengobatannya sudah selesai. Khansa pun tersenyum bahagia dan ketika ibunya
menyuruh Khansa untuk menyalam dokter dan mengucapkan terima kasih, ia pun
langsung melakukannya.
Drg. Juli pun berkata, “Nggak sakit kan Khansa? Nanti jangan nangis lagi
ya kalau mama ngajak ke dokter gigi.” Drg. Juli pun langsung menyalam Khansa
sambil mengelus rambutnya, hal ini beliau lakukan selain untuk membuat Khansa
merasa nyaman dan dekat dengannya, juga agar membuat Khansa tidak trauma
untuk bertemu dengannya lagi.
Kemudian sesampainya di luar, peneliti pun meminta izin kepada bu Siti
untuk melakukan wawancara mengenai pelayanan drg. Juli. Beliau pun
mengizinkannya sehingga peneliti pun langsung memulai wawancara dengannya.
Khansa merupakan anak sulung beliau. Sebelumnya, Khansa belum pernah
ke dokter gigi jadi ini merupakan pengalaman pertamanya. Oleh karena itu ketika
dia melihat peralatan dokter gigi yang terlihat asing baginya dan mengeluarkan
suara yang nyaring membuat ia semakin takut.

“Iya dek, dia baru pertama kali ke dokter gigi. Makanya dia takut
kali ngeliat tempat praktek ini. Tapi bibinya juga dokter gigi kok,
giginya sering diperiksa oleh bibinya tapi dia belum pernah di
bawa ke tempat praktek dokter gigi. Kalau mengenai tempat
praktek ini kakak udah lama taunya, tapi kakak belum pernah
kesini. Yang pilih tempat praktek ini kakak dek, kalau Khansa
mau di bawa kemana pun tetap nangisnya itu, karena dia takut
kali memang sama alat- alat dokter gigi itu. Alasan kakak pilih
tempat praktek ini selain karena dekat sama rumah, kakak dengar
dari tetangga kalau dokter gigi disini masih muda dek. Kalau
masih muda kan biasanya lebih sabar ngadapi anak, jadi kalau
anak kita rewel pun biasanya pasti dibujuk dek.”

Khansa Nativa yang merupakan anak sulung dari Ibu Siti sebelumnya
tidak pernah diajak ke dokter gigi. Peneliti melihat bahwa Khansa merupakan tipe

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


118

anak yang penakut dan cengeng. Mengingat usianya yang masih empat tahun,
memang masih pantas jika anak bersifat cengeng. Meskipun ia takut dan terus
menangis ketika melihat peralatan dokter gigi, namun ia tetap mau membuka
mulutnya walaupun kepalanya dipegang oleh ibunya.
Ibu Siti mengaku bahwa yang memilih untuk pergi ke tempat praktek drg.
Juli adalah dirinya, dengan alasan selain tempat praktek tersebut dengan dengan
rumahnya, juga informasi yang didapatkannya dari tetangga bahwa dokter yang
bekerja di praktek itu masih muda membuatnya tertarik untuk datang ke tempat
praktek tersebut. Ia berharap dokter gigi yang bertugas di praktek itu dapat dengan
sabar membujuk anaknya yang penakut.

“Kadang kalau ingat dan nggak sibuk kakak sikat giginya setiap
pagi dan malam. Tapi kan adik khansa ini masih kecil, jadi kakak
sering kerepotan dek. Kakak sering nyuruh si Khansa mandi
sendiri, otomatis kalo sikat gigi sendiri kan pasti kurang bersih.
Terus kadang Khansa ini nggak bisa dibilangi dek, kalau kakak
larang makan permen atau coklat pasti dia langsung nangis.
Makanya giginya bisa sakit kek gitu, soalnya keseringan makan
coklat sama permen. Sebenarnya baru kali ini kakak periksakan
giginya ke dokter gigi, tapi kakak berusahalah untuk sering
memeriksakan gigi Khansa ke dokter gigi, biar kesehatan giginya
bisa lebih terawatt lagi.”

Ibu Siti mengakui bahwa dirinya kurang memperhatikan kesehatan gigi


anaknya. Kurangnya pengawasan beliau dalam memeriksa apakah Khansa sudah
menyikat gigi dengan bersih atau belum, membuat keadaan gigi Khansa semakin
buruk. Namun Ibu Siti berniat akan lebih memperhatikan kesehatan gigi dan
mulut anaknya, agar ke depannya Khansa tidak terkena gigi berlubang lagi.

“Iya dek, takut kali pun. Liat aja dari tadi kan dia nangis terus.
Sampe kakak aja harus ikut duduk di bangku pasien itu, untunglah
dokternya sabar makanya bisa berhasil diobati giginya.
Sebelumnya dia sering ngeluh kesakitan dek pas lagi makan,
apalagi kalau ada makanan yang masuk ke lubang giginya, dia
langsung nangis. Pas malam lagi sebelum dia tidur, dia sering
nangis karena giginya berdenyut. Kakak aja sering diganggunya
pas tidur malam karena dia udah nggak tahan sama rasa sakitnya,
jadi kadang-kadang kakak sering kesal juga. Jadi kakak pikir
lebih baik kakak bawa aja ke dokter gigi, biarlah dia nangis
sebentar asal siap itu nggak mengganggu lagi setiap malam. Tapi
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


119

waktu kakak aja ke dokter gigi, dia langsung nolak dek. Tapi
kakak kasi penjelasanlah, kakak bilang biar giginya nggak sakit
lagi kita harus ke dokter biar dihilangkan semua kuman-
kumannya. Tadi pas di rumah udah iya nya katanya, tapi ternyata
pas sampe disini nangis lagi dia. Kalau untuk membujuknya ya
kakak bilang aja, Khansa kan cita-citanya mau jadi dokter
gigi,kalau mau jadi dokter gigi nggak boleh giginya berlubang.
Nanti nggak bisa jadi dokter. Terus kakak bilang juga kalau mau
jadi dokter gigi harus berani sama dokter gigi, kalau penakut
mana bisa jadi dokter. Udah tiga hari juga kakak bujuk-bujuk dia
dek. Jadi setiap dia nangis waktu giginya sakit, kakak selalu
bilang kan mama udah ngajak ke dokter gigi tapi tetap nggak
mau, yaudah biarin aja kumannya hidup di gigi Khansa. Jadi
lama-lama dia kan nggak tahan juga sama sakit giginya itu,
makanya tadi dia mau kakak ajak ke sini.”

Kasus gigi berlubang yang diderita Khansa membuatnya merasa terganggu


sewaktu ingin makan dan tidur. Ketika ia memberitahukannya kepada ibunya, Ibu
Siti malah mengajaknya ke dokter gigi, hal ini membuat Khansa semakin takut.
Oleh karena itu ia berusaha untuk menahan rasa sakitnya tersebut. Namun karena
sudah tidak tahan dan sudah dibujuk juga oleh ibunya, akhirnya Khansa mau
berobat gigi.
Beliau membutuhkan waktu selama tiga hari untuk membujuk anaknya
agar mau diajak berobat gigi. Namun karena Khansa juga sudah tidak dapat
menahan rasa sakitnya setiap malam, membuat Khansa akhirnya menuruti kata
ibunya untuk berobat gigi.

“Bagus kok, tadi kakak liat dokternya pinter kali mengalihkan


perhatian Khansa, dia juga bisa mengendalikan rasa takut Khansa.
Makanya proses pengobatannya bisa cepat selesai. Dokternya
juga cekatan dalam mengobati gigi pasiennya. Kondisi tempat
prakteknya bagus kok, bersih. Cuma yang kurang menurut kakak
adalah stiker atau pajangannya kurang banyak disini, jadi anak
kan nggak bisa ngelihat yang lain, paling Cuma TVlah. Padahal
kalau banyak pernak-perniknya disini pasti anak-anak lebih
tertarik lagi dengan tempat praktek ini. Kakak puas kok sama
pelayanannya, nanti kalau Khansa atau saudara yang lain sakit
gigi saya akan bawa mereka ke sini. Hehe.”

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


120

Ketika peneliti menanyakan tentang pendapat Ibu Siti mengenai pelayanan


drg. Juli, beliau mengaku puas dengan hasil kerja drg. Juli yang dapat
mengalihkan perhatian anaknya. Ibu Siti juga berniat akan membawa anggota
keluarga lainnya berobat ke tempat praktek drg. Juli ketika mereka sakit gigi.
Ketika drg. Juli menangani Khansa, peneliti terus mengamati cara kerja
beliau. Peneliti melihat drg. Juli sudah berpengalaman dalam menangani pasien
anak. Terbukti dari keahlian beliau untuk mengalihkan perhatian anak. Sewaktu
beliau membur gigi Khansa, peneliti melihat beliau terus bercerita kepada Khansa,
mulai dari masalah perawat yang ingin menutup tempat praktek sampai suara
menangis adik Khansa yang semakin kuat. Ketika ingin menggunakan alat medis
yang agak menyeramkan bagi anak, drg. Juli selalu menyembunyikannya di balik
punggungnya sehingga Khansa tidak dapat melihatnya.
Drg. Juli juga sangat cekatan dalam menyelesaikan pengobatan gigi
Khansa, hanya membutuhkan waktu sepuluh menit, beliau langsung selesai
membersihkan gigi Khasa sehingga belum sempat membuatnya bosan. Meskipun
proses pembersihan giginya sudah selesai, drg. Juli tetap menjalin pendekatan
dengan pasien anaknya, yaitu dengan menyalam dan mengelus rambut Khansa
sesudah ia menyelesaikan tindakan medisnya.

Kasus Ke-13 :
Nama Informan : Ibu Indri (Orang Tua Pasien)
Usia : 37 tahun

Pada tanggal 24 Februari 2015, drg. Erni menghubungi peneliti dan


mengatakan bahwa ada pasien anak yang sedang mengantri di tempat prakteknya.
Peneliti pun langsung bergegas mendatangi tempat praktek beliau.
Sesampainya di tempat praktek beliau, peneliti melihat seorang anak laki-
laki bersama ibunya sedang duduk di kursi antrian sambil menonton televisi.
Setelah selesai menangani pasiennya, drg. Erni pun keluar dan memanggil nama
“Daniel”. Ketika drg. Erni memanggil nama Daniel, peneliti langsung

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


121

menyimpulkan bahwa anak ini sudah pernah datang beberapa kali ke tempat
praktek ini sehingga dokter sudah mengetahui namanya.
Daniel terkena kasus gigi persistensi, dimana gigi gerahamnya sudah
berlubang sehingga sering menimbulkan rasa ngilu dan sakit jika ada makanan
yang masuk. Oleh karenanya drg. Erni ingin melakukan perawatan saluran akar
agar kemudian dapat dilakukan penambalan.
Peneliti melihat sepertinya Daniel sudah terbiasa berhubungan dengan
dokter gigi. Ia tidak lagi merasa takut ketika masuk ke dalam ruangan dokter gigi.
Namun tetap saja, drg. Erni mengajaknya mengobrol terlebih dahulu, untuk
mencairkan suasana. Daniel adalah anak yang pendiam dan tidak banyak bicara
sehingga ia hanya menjawab pertanyaan dokter seadanya. Drg. Erni dan drg. Ida
saling bergantian mengajak Daniel berbicara.
Setelah itu barulah drg. Erni memeriksa keadaan gigi Daniel. Daniel bukan
tipe anak yang susah diajak bekerja sama, jadi ketika dokter memintanya
membuka mulut, ia pun langusng melakukannya. Namun pada saat drg. Erni
menyuruhnya untuk berkumur, ia pun merasakan ngilu di gigi gerahamnya
tersebut sehingga sempat membuatnya merintih kesakitan.

“Daniel, giginya kan sudah berlubang. Jadi tante harus bersihkan


dulu lubangnya. Memang agak sakit sedikit, tapi setelah
dibersihkan nantinya pasti nggak sakit lagi. Daniel tahan dikit
sakitnya ya, nanti kalau sudah nggak tahan lagi, angkat aja
tangannya. Nanti kalau Daniel angkat tangan, tante langsung
berhenti.”

Meskipun umurnya sudah delapan tahun, tetapi Daniel tetap saja masih
takut dengan alat-alat medis seperti bur, tang, dan lain-lain. Oleh karena itu, drg.
Erni tetap menyembunyikan alat-alat yang menyeramkan tersebut di tempat yang
tersembunyi. Dan jika ingin memakainya, beliau akan menyembunyikannya di
balik punggungnya.
Karena keadaan gigi Daniel yang sudah agak parah, membuat drg. Erni
susah untuk bekerja. Sedikit saja beliau membur giginya, Daniel langsung merasa
ngilu dan mengangkat tangannya. Oleh karena itu, drg. Erni harus bersabar dalam
melayani Daniel. Setiap beberapa detik sekali, drg. Erni harus memberhentikan

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


122

pekerjaanya. Namun drg. Erni terlihat sangat sabar dalam mengobati gigi Daniel.
Selama giginya proses pengobatan giginya, Daniel selalu menutup matanya.
Hingga pada akhirnya drg. Erni menyelesaikan pekerjaannya. Begitu
beliau mengatakan bahwa pengobatannya sudah selesai, Daniel langsung
membuka matanya.

“Daniel, matanya udah bisa dibuka. Tante udah selesai mengobati


giginya. Tante nggak maksa Daniel kan? Kalau Daniel kesakitan
kan tante berhenti ngobatin giginya. Lain kali, nggak usah takut
lagi ya sama tante. Nggak mungkinlah tante buat yang sakit-sakit
sama Daniel, nanti mama Daniel pasti marahlah sama tante.
Jangan takut lagi ya nak. Oh iya, jangan lupa rajin sikat gigi pagi
hari setelah sarapan dan malam hari sebelum tidur ya. Biar
giginya sehat dan nggak berlubang kayak gini. Terus makan
coklat sama permen jangan banyak-banyak ya nak, nanti giginya
busuk semua. Oke?”

Drg. Erni pun langsung mengelus kepala Daniel, Daniel pun tersenyum
sambil mengucapkan terima kasih kepada beliau. Peneliti kemudian menunggu
Daniel dan ibunya di ruang antrian untuk meminta izin wawancara. Setelah Ibu
Indri mengizinkannya, peneliti langsung memulai wawancara.

“Enggak dek, kami sudah tiga kali datang kesini. Kemarin sempat
kami datang untuk mencabut giginya, tapi sekarang mau merawat
giginya. Kakak udah lama tahu tentang praktek ini, kan tempat
praktek ini sudah buka selama bertahun-tahun, udah gitu
lokasinya strategis lagi, di pinggir jalan jamin ginting. Pasti
orang gampang menemukannya. Yang pilih tempat praktek ini
kakak dek, kalau anak-anak kan pasti kurang peduli sama tempat
praktek dokter gigi. Kakak pilih tempat ini selain karena dekat
dengan rumah, dokter-dokter disini juga baik dan ramah. Mereka
juga mau mengajak anak untuk berkenalan lalu bercerita tentang
kesehatan gigi. Terus kakak rasa mereka juga sabar dalam
membujuk anak. Menurut kakak dokter gigi yang dulu sama yang
sekarang ama aja sih sebenarnya dek, cuma kalau dokter disini
kan ada dua orang. Jadi dalam pengerjaanya mereka sering
mengajak anak bercerita jadi buat anak nggak sadar kalau giginya
sedang di obati. Kalau ditempat praktek yang dulu, dokternya
kebanyakan diam, jadi membuat anak ngerasa takut dek.”

Meskipun pengalaman ini bukanlah pengalaman pertamanya berhubungan


dengan dokter gigi, namun rasa takut dalam diri Daniel tetap saja masih ada.
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


123

Kemampuan dokter gigi dalam mendekatkan diri dengan anak, juga membujuk
anak agar mau diperiksa merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan
pengobatan gigi anak. Dokter gigi yang sabar dan ramah selalu menjadi alasan
para ibu rumah tangga untuk tetap mengobati anaknya di dokter yang sama seperti
sebelumnya.

“ Kurang sih dek, kakak cuma sering aja mengingatkan dia untuk
rajin sikat gigi pagi sama malam hari. Tapi kakak jarang
mengecek apakah dia menyikat gigi dengan bersih atau hanya
sekedar menyikat aja. Kalau jadwal untuk periksa gigi nggak
nentu dek, tapi yang jelas kalau dia sakit gigi aja baru kakak bawa
ke dokter gigi. Kalau giginya nggak sakit ngapain juga kakak
bawa dia ke dokter gigi. Dulu awalnya dia takut kali sama dokter
gigi dek, kan biasanya anak-anak takut ke dokter gigi kan. Tapi
kakak bujuk-bujuk lah dulu, baru akhirnya dia mau. Gigi geraham
si Daniel kan udah berlubang dek, jadi dia sering merasa sakit
kalau ada makanan yang masuk ke dalam giginya. Tapi kata
dokter belum bisa dicabut karena umurnya belum bisa. Jadi kata
dokter harus dirawat dek baru ditambal. Makanya kami disuruh
datang berkali-kali ke sini.”

Kurangnya perhatian orang tua dalam menjaga dan merawat kesehatan


gigi anak dapat memburuk keadaan. Pada umumnya, anak belum mengerti
seutuhnya bagaimana cara menyikat gigi yang benar. Banyak juga orang tua yang
belum sadar untuk memeriksakan gigi anaknya setiap enam bulan sekali. Mereka
hanya membawa anaknya ke dokter gigi jika sedang mengalami sakit gigi.

“Udah beberapa kalinya kakak aja dia ke dokter gigi tapi dia
bilang malas. Tapi mungkin karena rasa sakitnya lama-lama
menyiksa dan nggak hilang-hilang akhirnya dia yang ngajak
kakak kesini. Mungkin dia juga udah nggak kuat untuk nahan rasa
sakitnya. Paling kakak bujuk pake kata-kata dek, tapi kalau dia
minta dibelikan suatu kakak iya kan aja, supaya dia mau ke
dokter gigi. Karena kadang kakak kesal juga kalau dia ngeluh
sakit gigi dirumah,buat kakak emosi juga. Jadi asal dia mau
berobat gigi, pasti kakak kabulkan permintaanya. Nggak lama
kok kakak ngebujuknya dek, paling cuma satu hari. Karena dia
juga sudah nggak tahan sama rasa sakitnya makanya akhirnya dia
menyerah dan mau diajak berobat gigi.”

Rasa sakit yang sudah tidak tertahankan lagi terkadang dapat membuat
anak memaksakan diri agar berani datang ke tempat dokter gigi. Perasaan sakit
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


124

dan takut semuanya bersatu ketika mereka berada di tempat praktek dokter gigi.
Ibu Indri termasuk ibu yang bijaksana dalam menghilangkan rasa takut anaknya.
Beliau berjanji akan memberikan apa yang diminta Daniel jika ia mau berobat
gigi. Hal ini jugalah yang kemudian dapat menumbuhkan rasa semangat dalam
diri Daniel sehingga ia mau berobat gigi.

“Bagus kok dek, dokter giginya ramah dan sabar. Kadang kan ada
dokter gigi yang nggak sabar ngebujuk anak. Tapi mereka berdua
saling bantu dek dalam mengobati pasien. Mereka juga sering
mengajak pasien cerita-cerita. Jadi kita kan merasa nyaman dek
kalau dokternya ramah dan mau membujuk anak kita. Tempatnya
bersih kok dek, jadi nyaman kalau kita nunggu. Terus pihak
apotiknya kan menyediakan TV, jadi kita nggak terlalu bosan
meskipun sedang mengantri. Tapi menurut kakak, ruangan
praktek dokternya terlalu sempit, jadi kalau anak kita minta
ditemani sewaktu diperiksa, dokternya jadi susah bergerak. Itu aja
sih dek. Sejauh ini sih kakak puas dengan pelayanannya dek.
Karena kan jarang juga kita dapat tempat praktek yang dokternya
ramah dan bersahabat. Udah gitu, disini dokternya ada dua orang
sekaligus menangani pasien, pasti hasilnya lebih optimal kan
dibandingkan kalau dokternya sendirian.”

Ibu Mery mengaku puas dengan pelayanan yang diberikan oleh drg. Erni
dan drg. Ida karena mereka sangat sabar untuk membujuk dan mendekatkan diri
dengan Daniel. Mereka juga membuat Daniel merasa lebih nyaman ketika berada
di dokter gigi. Meskipun ada sedikit rasa sakit yang dirasakan Daniel pada saat
giginya di obati oleh drg. Erni, namun hal tersebut tidak membuatnya trauma
dengan dokter gigi. Demikianlah hasil wawancara peneliti dengan ibu Indri.
Peneliti melihat drg. Erni sangat sabar dalam mengobati Daniel. Ketika
Daniel mengeluh dan merasa kesakitan ketika giginya sedang diobati, drg. Erni
lebih memilih untuk memberhentikannya sebentar daripada harus memaksa
Daniel. Dengan sabar ia menunggu Daniel hingga akhirnya proses pengobatannya
selesai. Meskipun ada pasien yang menunggu di luar, tidak membuat mereka
terburu-buru dalam mengerjakan pasiennya. Terlebih lagi Daniel bukanlah anak
yang cengeng, hanya saja ia tidak dapat menahan rasa ngilu dalam giginya ketika
drg. Erni membur giginya.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


125

Setelah menyelesaikan tugasnya, drg. Erni juga tetap berusaha


mendekatkan diri dengan Daniel. Beliau tetap menyemangati Daniel dan
mengingatkannya untuk rajin menyikat gigi dan mengurangi mengkonsumsi
makanan yang banyak mengandung gula. Ini salah satu cara beliau agar Daniel
tetap merasa nyaman dengannya meskipun proses pengobatannya sudah selesai.

4.3 Pembahasan

Pembahasan dari pengamatan peneliti adalah sebagai berikut:


Peneliti mengambil sembilan orang dokter gigi di empat tempat praktek bersama
sebagai informan dalam penelitian ini. Setelah peneliti mendapatkan jawaban
yang rata-rata sama mengenai komunikasi terapeutik terhadap pasien anak
diantara kesembilan dokter gigi tersebut, maka peneliti pun memutuskan untuk
menghentikan penelitian. Kekuatan dalam komunikasi terapeutik dokter gigi
terhadap pasein anak adalah pendekatan dan komunikasi persuasif yaitu dengan
bujukan. Tanpa adanya pendekatan dan bujukan, dokter gigi tidak akan berhasil
menaklukkan rasa takut anak. Proses komunikasi terapeutik yang baik dan efektif
ternyata sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses pengobatan gigi anak.
Berdasarkan kasus penelitian diatas, maka peneliti akan membuat pembahasan
yang dikaitkan dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui proses
komunikasi terapeutik antara dokter gigi dengan pasien anak di tempat praktek
bersama, untuk mengetahui manfaat pelaksanaan komunikasi terapeutik dan
pelayanan dokter gigi kepada pasien anak, dan untuk mengetahui hambatan-
hambatan dalam pelaksanaan komunikasi terapeutik oleh dokter gigi kepada
pasien anak di tempat praktek bersama. Dari penelitian yang telah dilakukan
dengan menggunakan teknik triangulasi untuk mengecek dan membandingkan
data, yaitu sebagai berikut:
Komunikasi dilakukan oleh para dokter gigi terhadap pasien anaknya dengan
harapan dapat menimbulkan perubahan tingkah laku atau muncul perilaku baru
sesuai dengan yang diinginkan oleh dokter gigi tersebut. Komunikasi merupakan
alat bagi dokter gigi untuk mempengaruhi tingkah laku pasien anaknya dalam
proses pengobatan giginya. Komunikasi dalam bidang kesehatan merupakan
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


126

proses untuk menciptakan hubungan antara tenaga medis dengan pasien, untuk
mengenal kebutuhan pasien dan menentukan rencana tindakan serta kerjasama
dalam memeuhi kebutuhan tersebut (Musliha & Siti Fatmawati, 2010:24).
Komunikasi terapeutik masuk ke dalam komunikasi dua arah, dimana
komunikator mengirimkan pesan dan akan diterima oleh komunikan setelah
disimpulkan kemudian komunikan akan mengirimkan umpan balik kepada
komunikator tersebut.
Terdapat lima komponen dalam komunikasi terapeutik, yaitu :
a. Pengirim : Yang menjadi asal dari pesan. Dalam penelitian ini yang
menjadi pengirim adalah dokter gigi.
b. Pesan : Suatu unit informasi yang dipindahkan dari pengirim kepada
penerima. Dalam penelitian ini yang menjadi pesan adalah
informasi dan bujukan dokter gigi yang ditujukan kepada
pasien anak.
c. Penerima : Yang mempersepsikan pesan, yang perilakunya dipengaruhi
oleh pesan. Dalam penelitian ini yang menjadi penerima
adalah pasien anak.
d. Umpan balik : Respon dari penerima pesan kepada pengirim pesan. Yang
menjadi umpan balik dalam penelitian ini adalah tangisan,
ucapan, sikap dan perubahan tindakan anak setelah menerima
pesan dari dokter gigi.
e. Konteks : Tatanan dimana komunikasi terjadi. Yang menjadi konteks
dalam penelitian ini adalah tempat praktek bersama dokter
gigi. (Musliha & Siti Fatmawati, 2010 : 114).

4.3.1 Proses Komunikasi Terapeutik


Dalam melaksanakan komunikasi terapeutik ada beberapa tahap yang
akan dilalui oleh tenaga medis, yaitu fase preinteraksi, fase orientasi, fase kerja,
dan fase terminasi (Musliha & Siti Fatmawati, 2010 : 116). Fase preinteraksi
merupakan masa dokter gigi untuk melakukan persiapan sebelum berinteraksi
langsung dengan pasiennya. Fase orientasi adalah masa dimana dokter gigi harus
dapat menjalin hubungan yang baik dengan pasiennya, karena pada masa inilah
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


127

dokter gigi mendapat kesempatan untuk membentuk citranya di depan pasiennya.


Sedangkan fase kerja adalah tahap yang paling penting bagi dokter gigi, dimana ia
harus tetap menerapkan komunikasi terapeutik agar proses pengobatannya
berjalan dengan lancar. Yang terakhir adalah fase terminasi, yang merupakan
tahap akhir dalam komunikasi terapaeutik ini dan akhir dari pertemuan antara
dokter gigi dan pasiennya.
Dari hasil temuan peneliti di lapangan, keempat tahap diatas memang
sudah dilakukan oleh sebagian besar dokter gigi. Peneliti mendapatkan temuan
bahwa dalam fase preinteraksi, dari sembilan dokter gigi yang peneliti
wawancarai, ada empat orang informan yang mengaku jika kondisi fisik, mood,
ataupun beban pikiran mereka tidak mempengaruhi rasa sabar mereka dalam
melayani pasien anak. Namun ada lima orang informan yang mengaku kalau
kondisi fisik, mood, dan beban pikiran mereka mempengaruhi rasa sabar mereka
dalam melayani pasien anak. Meskipun begitu, kelima informan tersebut sangat
berusaha untuk melupakan segala permasalahan yang sedang dihadapinya agar
dapat semaksimal mungkin memuaskan semua pasiennya.
Tahap kedua yang harus dilakukan dokter gigi adalah fase orientasi, yang
merupakan masa perkenalan antara dokter dengan pasiennya. Semua informan
yang peneliti wawancarai, memulai tahap ini dengan mengajak pasien anaknya
berkenalan terlebih dahulu. Mereka akan menanyakan nama, sekolah, kelas
berapa, dan alamat rumah untuk memancing anak agar mau bercerita dengannya.
Mereka juga harus bisa membawakan diri selayaknya anak-anak, agar pasien
anaknya tidak takut kepada mereka dan mau menjawab pertanyaannya. Tidak
jarang juga mereka memuji kecantikan/kegantengan pasien anaknya dan memuji
barang-barang yang mereka gunakan agar anak merasa diperhatikan oleh dokter
gigi tersebut. Menurut beberapa informan yang peneliti wawancarai, semua anak
akan merasa sangat senang jika kita memuji barang-barang yang ia gunakan, hal
itu akan dapat memancing anak untuk mau berkomunikasi dengan dokter.
Pada masa perkenalan ini, dokter gigi tidak akan memanggil dirinya
dengan panggilan dokter. Mereka lebih memilih untuk memanggil dirinya dengan
sebutan kakak, tante atau bibi. Hal ini mereka lakukan karena sudah banyak anak
yang mempunyai citra buruk terhadap panggilan ‘dokter’. Oleh karenanya,
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


128

mereka harus menggunakan sebutan yang dapat membuat anak merasa lebih dekat
dengannya. Selain itu, dokter gigi juga akan memanggil anak dengan nama
panggilannya di rumah, agar anak merasa lebih dekat lagi dengan dokter gigi
tersebut. Dokter gigi juga tidak akan memaksa anak untuk langsung duduk di
kursi pasien, karena sebagian anak menganggap kursi itu menyeramkan. Oleh
karenanya ketika mengajak anak berkenalan, dokter gigi akan meminta anak
duduk di kursi yang berhadapan dengannya agar komunikasi juga bisa berjalan
lebih efektif.
Pada kunjungan pertama anak, dokter gigi mengaku tidak pernah
memaksa agar tindakan medis dilakukan pada hari itu juga, karena hal itu dapat
menimbulkan rasa trauma dalam diri anak. Jika anak merasa sangat takut dengan
dokter gigi, maka pada kunjungan pertama dokter hanya mengajaknya untuk
berkenalan dan memberikan obat penghilang rasa sakit. Setelah rasa sakitnya
mulai berkurang, barulah dokter gigi meminta orang tuanya untuk membawanya
kembali ke tempat praktek agar dilakukan tindakan selanjutnya.
Pada tahap ketiga yaitu fase kerja yang merupakan tahap terpenting bagi
dokter gigi, mereka harus mampu melakukan tindakan yang tidak menambah rasa
sakit bagi anak. Bagi anak yang belum pernah ke dokter gigi sama sekali tentu
akan merasa sangat ketakutan ketika melihat peralatan medis dokter gigi yang
masih asing baginya. Disinilah kesempatan dokter gigi untuk memperkenalkan
semua alat-alat medis yang ia gunakan beserta fungsinya, agar rasa penasaran
anak dapat terjawab. Dokter gigi tidak boleh menggunakan kata-kata secara
sembarangan ketika memperkenalkan alatnya ke pasien anak, karena bisa saja
penjelasannya tersebut dapat membuat anak merasa semakin takut, seperti
pengalaman yang diceritakan oleh informan keempat. Ketepatan dan
kesederhanaan kata sangat dibutuhkan oleh dokter gigi ketika ia berkomunikasi
dengan pasien anak.
Menurut informan ketiga, pada fase kerja pasien anak jangan sampai
dibohongi. Ketika diawal dokter gigi berjanji hanya akan melihat kondisi gigi
anak, maka jangan sampai ia melanggar perjanjian tersebut lalu melakukan
tindakan medis terhadap pasien anak tersebut. Jika hal itu terjadi, anak tidak akan
percaya lagi dengan perkataan dokter gigi. Ketika sedang melayani pasien anak
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


129

yang sangat ketakutan merupakan tantangan tersendiri bagi setiap dokter gigi.
Ada beberapa cara yang mereka lakukan agar proses pengobatan gigi anak dapat
berhasil. Cara yang paling banyak dilakukan oleh informan adalah dengan
bujukan. Anak akan dibujuk-bujuk agar mau dilakukan perawatan gigi. Tidak
jarang juga dokter gigi memberikan hadiah berupa sikat gigi, odol atau mainan
anak lainnya supaya anak mau diatur.
Peneliti sangat tertarik dengan tindakan yang dilakukan oleh informan
kedepalan pada saat sedang melayani pasien anak yang sangat ketakutan. Ketika
bujukan sudah tidak dapat diandalkan lagi, maka beliau memilih untuk
mempraktekkan tindakan medisnya di tangannya untuk membuktikan kepada
anak bahwa tindakannya tersebut tidak akan menyakiti anak. Jika ingin menyuntik
bius anak, beliau akan mempraktekkannya dengan menyuntikkan sedikit jarum
suntik tersebut ke kulit jari jempol tangannya. Karena kulit di sekitar jari jempol
bersifat lebih tebal maka ketika disuntik tidak akan mengeluarkan darah. Setelah
itu ia akan menunjukkannya kepada anak dan mengatakan bahwa hal yang sama
akan terjadi kepada gigi anak itu. Sedangkan jika ingin membur gigi anak,
informan kedepalan tersebut juga akan mempraktekkannya di kuku jari jempol
tangannya. Setelah itu ia akan menunjukkannya kepada anak dan mengatakan
bahwa hal yang sama akan terjadi kepada anak. Beliau mengaku hal ini cukup
berhasil bagi sebagian besar anak.
Ada juga beberapa informan ketika ingin menyuntik bius gigi anak, akan
mengatakan bahwa jarum suntik tersebut tidak akan menimbulkan rasa sakit yang
parah. Rasa sakitnya hanya seperti rasa sakit ketika digigit oleh semut merah
karena jarum suntiknya memang khusus untuk anak padahal ukuran jarum suntik
akan sama untuk semua jenis usia. Ketika mereka ingin menyuntik gigi anak,
maka mereka akan menyimpan jarum suntik tersebut dibalik punggungnya agar
anak tidak bisa melihatnya. Begitu juga dengan alat medis lainnya seperti tang,
bur, dan lain-lain.
Cara lain yang dilakukan dokter gigi adalah dengan mengajak anak untuk
terus berbicara sehingga dapat mengalihkan perhatian anak. Ketika anak tetap
merasa takut pada saat dokter gigi sedang mengobati giginya, dokter gigi dapat
mengajak anak tersebut untuk terus berbicara mengenai hal-hal yang disukai anak
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


130

pada umumnya, seperti film kartun sehingga perhatian anak dapat teralihkan. Cara
ini juga diakui dokter gigi ampuh bagi sebagian anak.
Sama halnya seperti yang peneliti amati ketika informan kelima sedang
menangani pasien anaknya, dimana ia tidak berusaha untuk memaksakan tindakan
medisnya agar cepat selesai. Ketika Daniel merasa kesakitan, beliau pun
menghentikan sebentar pekerjaannya, ketika Daniel sudah merasa lega baru
kemudian ia melanjutkan pekerjaanya. Kesabaran dan bisa membawa diri
selayaknya anak-anak diakui oleh informan ketujuh sebagai faktor yang sangat
mempengaruhi keberhasilan dokter gigi menangani pasien anaknya.
Tahap terakhir dalam proses komunikasi terapeutik adalah fase terminasi,
yang merupakan akhir dari pertemuan antara dokter gigi dan pasiennya. Fase
Terminasi terbagi dua, yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir. Ketika
dokter gigi sudah menyelesaikan tindakan medisnya, mereka juga harus tetap
bersikap ramah dan bersahabat kepada pasien anak tersebut. Beberapa informan
mengaku akan tetap menjalin komunikasi dengan pasien anaknya meskipun sudah
selesai mengobati anak tersebut. Mereka juga sering memotivasi pasien anaknya
dengan sering mengingatkan mereka untuk rajin menyikat gigi minimal dua kali
sehari, pagi setelah sarapan dan malam sebelum tidur. Mereka juga
mempraktekkan cara menyikat gigi yang benar dengan menggunakan model gigi
agar dapat memudahkan anak untuk mengerti.
Beberapa informan juga mengaku akan tetap memberikan semangat
kepada pasien anaknya meskipun sudah selesai mengobati anak tersebut. Tidak
jarang juga mereka menyalam dan mengelus rambut pasien anaknya, juga
meminta maaf kepada pasien anaknya jika ada tindakan mereka yang melukai
anak tersebut. Hal ini mereka lakukan agar anak tetap mengingat pengalaman
menyenangkan mereka ketika bertemu dengan dokter gigi, sehingga pada
kunjungan berikutnya mereka tidak akan takut lagi bertemu dengan dokter gigi.

4.3.2 Manfaat Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik


Ada beberapa manfaat yang dirasakan oleh informan sesudah mereka
melaksanakan komunikasi terapeutik kepada pasien mereka. Manfaatnya pertama
yang dirasakan oleh dokter gigi adalah komunikasi terapeutik dapat digunakan
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


131

oleh informan sebagai suatu cara untuk mendekatkan diri dengan pasien anaknya.
Jika ia sudah dapat mengakrabkan diri dengan anak, maka dokter gigi tersebut
juga akan mendapat kesempatan untuk mengubah mindset anak tentang citra
buruk dokter gigi.
Manfaat yang berikutnya adalah dapat mengurangi rasa takut anak,
meskipun tidak dapat langsung menghilangkannya secara drastis, tapi setidaknya
dapat menguranginya. Dengan membujuk dan melakukan pendekatan dengan
anak, ia akan merasa lebih nyaman dengan dokter gigi tersebut sehingga rasa
takutnya akan semakin berkurang.
Manfaat komunikasi terapeutik bagi dokter gigi selanjutnya adalah dapat
merubah sikap dan prilaku anak. Anak akan merasa lebih dimengerti ketika dokter
gigi tidak memaksakan tindakan medisnya pada kunjungan pertama. Jika rasa
takut anak terhadap dokter gigi sudah berkurang, maka akan menimbulkan
perubahan sikap dan prilaku dalam diri anak tersebut. Anak yang tadinya sangat
takut ketika diajak orang tuanya ke dokter gigi, kini tidak akan merasa takut lagi
dalam kunjungan berikutnya ke dokter gigi karena dokter giginya melaksanakan
komunikasi terapeutik dengan benar. Ketika anak sudah tidak takut lagi bertemu
dengan dokter gigi maka hal itu dapat memudahkan dokter gigi dalam proses
pengobatan gigi anak karena anak tersebut sudah mau diajak untuk bekerja sama.

4.3.3 Hambatan Komunikasi Terapeutik


Kesembilan informan yang peneliti wawancarai mengaku merasa tidak
kesulitan dalam melayani pasien anak. Hanya saja, mereka menemukan beberapa
faktor penghambat yang dapat mengganggu keberhasilan komunikasi terapeutik.
Faktor penghambat tersebut terbagi tiga, yaitu faktor penghambat yang datang
dokter gigi itu sendiri, faktor penghambat yang datang dari pasien anak, dan yang
terakhir adalah faktor penghambat yang datang dari orang tua.
Faktor penghambat yang datang dari dokter gigi adalah kesabaran mereka
yang terkadang akan berkurang ketika sudah lewat setengah jam membujuk anak.
Apalagi jika sebelumnya dokter gigi tersebut sudah melayani beberapa pasien
sebelumnya sehingga membuat tenaga dan kesabarannya berkurang. Hal ini
membuat dokter gigi tidak lagi berusaha semaksimal mungkin untuk menerapkan
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


132

komunikasi terapeutik kepada pasien anaknya. Mereka mengaku akan


menyerahkan keputusan kepada orang tua pasien, jika ingin tetap dilakukan
tindakan medis maka akan sedikit memaksa anak tersebut, tetapi jika tidak ingin
memaksa anaknya maka dokter gigi tersebut akan menyuruh orang tuanya untuk
membawa pasien anak tersebut ke rumah dulu.
Faktor penghambat yang datang dari pasien anak adalah rasa takut yang
sangat besar kepada dokter gigi. Hal ini diakui dokter gigi merupakan faktor
penghambat yang sangat besar dan yang paling berpengaruhi, karena jika anak
merasa sangat ketakutan maka ia akan terus menangis di depan dokter gigi
sehingga ketika dokter berusaha mengajaknya untuk berbicara, ia tidak akan
mendengarnya. Apalagi jika suara tangisan anak tersebut lebih kuat dibandingkan
dengan suara dokternya, maka komunikasi terapeutik tidak akan dapat
dilaksanakan.
Faktor penghambat terakhir datangnya dari orang tua. Terkadang ada
beberapa orang tua yang tidak sabar menunggu dokter dalam membujuk anaknya
sehingga mereka tidak segan untuk memukul, mencubit dan memarahi anaknya di
depan dokter gigi tersebut. Tentu hal ini dapat membuat anak semakin merasa
terancam. Disaat ia takut bertemu dengan dokter gigi orang tuanya malah
menambah rasa takutnya dengan memarahi dan bertindak kasar terhadap anak
tersebut. Hal ini dapat menimbulkan rasa trauma di dalam diri anak. Namun, tak
bisa dipungkiri, ada beberapa anak yang justru mau mengikuti perintah dokter gigi
setelah di marahi oleh orang tuanya. Ia takut jika orang tuanya memukulnya di
depan umum sehingga membuatnya lebih memilih untuk mengikuti perintah
dokter gigi daripada dipukul oleh orang tuanya.
Meskipun terdapat beberapa faktor penghambat komunikasi terapeutik,
dokter gigi masih mempunyai cara untuk mengatasi faktor penghambat tersebut.
Untuk mengatasi faktor penghambat dari dirinya sendiri, dokter gigi berusaha
untuk melatih kesabaran di dalam dirinya agar dapat melayani pasien anak
semaksimal mungkin. Untuk mengatasi faktor penghambat yang datangnya dari
anak, sebisa mungkin mereka membujuk anak tersebut. Namun jika tetap tidak
berhasil, mereka akan meminta orang tua pasien tersebut untuk membawa
anaknya pulang ke rumah dulu dan memberikan mereka penjelasan di rumah, lalu
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


133

beberapa hari lagi coba untuk mengajak anak tersebut untuk datang kembali ke
tempat praktek tersebut. Sedangkan untuk mengatasi faktor penghambat yang
datangnya dari orang tua, dokter gigi akan berusaha untuk mengingatkan orang
tua pasien agar tidak memperlakukan anaknya dengan kasar ketika sedang berada
di ruangan kerja dokter. Jika beliau memang tidak sabar dalam membujuk
anaknya lebih baik ia menunggu di luar ruangan sehingga tidak mengganggu
kinerja dokter gigi.

Menurut Rogers, terdapat beberapa karakteristik dari seorang tenaga medis


yang dapat memfasilitasi tumbuhnya hubungan yang terapeutik. Karakteristik
tersebut antara lain:
1. Kejujuran
Kejujuran merupakan modal utama agar dapat melakukan komunikasi yang
bernilai terapeutik, tanpa kejujuran mustahil dapat membina hubungan
saling percaya. Seperti yang dikatakan oleh informan ketiga, meskipun
sedang menangani pasien anak seorang dokter gigi tidak boleh membohongi
anak tersebut. Jika diawal dokter gigi mengatakan bahwa ia hanya akan
melihat kondisi gigi pasiennya yang sakit, maka ia harus menepati kata-
katanya tersebut. Ketika anak sudah mulai mau diajak bekerja sama dengan
membuka mulutnya, dokter gigi tetap tidak boleh melakukan tindakan
medis jika diawal ia sudah menjanjikan hanya untuk melihat keadaan gigi
anak. Jika dokter gigi melanggar janji yang sudah diucapkannya diawal
dapat membuat anak tidak akan mau percaya lagi dengan perkataan yang
disampaikan oleh dokter gigi tersebut. Menurut informan kedua, pasien
anak tidak boleh dibohongi ataupun ditakut-takuti dengan penggunaan
bahasa seperti monster, dan lain-lain, melainkan dokter gigi harus dapat
memberikan informasi yang jujur dan tidak berlebihan agar anak dapat
mempercayainya.
2. Tidak membingungkan dan cukup ekspresif.
Dalam berkomunikasi hendaknya tenaga medis menggunakan kata-kata
yang mudah dimengerti oleh pasien. Komunikasi non verbal harus
mendukung komunikasi verbal yang disampaikan. Semua informan yang
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


134

peneliti wawancarai mengaku akan mengajak anak berkenalan terlebih


dahulu untuk dapat mendekatkan diri dengan anak. Informan keempat
mengaku akan menganggap pasien anaknya sebagai temannya sendiri
sehingga ia mampu bersikap selayaknya anak-anak. Ia juga akan memuji
kecantikan/kegantengan pasien anaknya tersebut agar dapat memancing
anak untuk mau berkomunikasi dengannya. Beliau juga cukup ekspresif
ketika berkomunikasi dengan anak, dengan riangnya beliau akan mengajak
anak untuk terus berbicara.
Menurut informan pertama, ketiga, kelima, keenam, ketujuh, kedepan dan
kesembilan pada kunjungan pertama anak ke dokter gigi, dokter gigi perlu
memperkenalkan semua alat-alat yang ia gunakan agar mampu menjawab
rasa penasaran anak. Dalam menjelaskan nama dan fungsi dari alat-alat
tersebut, mereka akan menggunakan bahasa yang sederhana dan tidak
bertele-tele agar dapat memudahkan anak untuk mengerti. Informan kelima
juga mengaku sering menceritakan bagaimana keadaan gigi anak kepada
anak tersebut agar anak dapat mengerti betapa giginya sangat perlu untuk
diobati. Beliau akan menggunakan bahasa sederhana dalam menjelaskan
kondisi gigi anak agar anak tidak merasa kebingungan dalam menerima
pesan yang disampaikan oleh beliau.
3. Bersikap positif
Bersikap positif dapat ditunjukkan dengan sikap yang hangat, penuh
perhatian dan penghargaan terhadap pasien. Sikap yang hangat dan ramah
ditunjukkan semua informan ketika mereka mengajak anak untuk
berkenalan, menanyakan siapa nama, sekolah dimana, rumahnya dimana,
dan lain-lain. Hal ini menunjukkan perhatian dokter gigi kepada pasien
anaknya. Tak jarang juga beberapa informan mau memuji keberanian dan
kehebatan pasien anaknya setelah menyelesaikan proses perawatan gigi
anak tersebut. Hal ini dilakukan agar anak tidak merasa takut lagi ketika
bertemu dengan dokter gigi di masa mendatang.
4. Empati bukan simpati.
Sikap empati sangat diperlukan dalam asuhan tenaga medis, karena dengan
sikap ini tenaga medis akan mampu merasakan dan memikirkan
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


135

permasalahan pasien seperti yang dirasakan dan dipikirkan oleh pasien.


Seperti yang dikatakan oleh informan ketujuh, hal yang sangat diperlukan
oleh dokter gigi agar dapat melaksanakan komunikasi terapeutik kepada
pasien anak adalah mampu membawakan diri selayaknya anak-anak. Jika
dokter gigi dapat menempatkan dirinya di posisi pasien anaknya, maka
dokter gigi tersebut akan lebih mengerti akan rasa takut yang sedang dialami
anak tersebut. Ia juga akan lebih sabar dalam membujuk-bujuk anak tersebut
karena ia menyadari sudah sepantasnya diumur yang masih muda dan belum
memiliki banyak pengalaman bersama dokter gigi, anak akan merasa sangat
ketakutan melihat semua peralatan dokter gigi yang terlihat asing baginya.
5. Mampu melihat permasalahan pasien dari kacamata pasien.
Dalam memberikan asuhan keperawatan tenaga medis harus berorientasi
pada pasien. Untuk itu agar dapat membantu memecahkan masalah pasien,
tenaga medis harus memandang permasalahan tersebut dari sudut pandang
pasien. Hampir semua informan yang peneliti wawancarai berusaha
semaksimal mungkin untuk melakukan pendekatan dengan pasien anaknya.
Dokter gigi juga harus bisa memahami rasa takut anak sesuai dengan
psikologi anak. Oleh karenanya dokter gigi dapat lebih sabar lagi dalam
membujuk-bujuk pasien anaknya.
6. Menerima pasien apa adanya.
Jika seseorang diterima dengan tulus, seseorang akan merasa nyaman dan
aman dalam menjalin hubungan intim terapeutik. Dokter gigi tidak boleh
menyalahkan pasien anaknya mengenai permasalahan gigi mereka,
melainkan akan lebih baik jika dokter gigi mengingatkan dan mengajarkan
anak bagaimana cara merawat gigi yang baik dan benar. Jika dokter gigi
secara langsung menyalahkan anak yang sering memakan coklat dan
permen sehingga membuat giginya rusak, maka anak akan merasa
disudutkan. Hal ini dapat membuat anak merasa malas ketika diajak ke
dokter gigi karena ia takut akan disalahkan mengenai kondisi giginya.
7. Sensitif terhadap perasaan pasien.
Tanpa kemampuan ini hubungan terapeutik sulit terjalin dengan baik,
karena jika tidak sensitif tenaga medis dapat saja melakukan pelanggaran
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


136

batas, privasi dan menyinggung perasaan pasiennya. Ketika informan


kelima sedang menangani anak dari informan ke-13, peneliti melihat bahwa
informan kelima sangat peka terhadap perasaan pasien anaknya. Beliau
tidak mau memaksa ketika sedang melakukan tindakan medis. Ketika beliau
melihat wajah pasiennya yang mengkerut karena kesakitan maka beliau pun
memberhentikan sejenak tindakan medisnya. Hal ini dilakukan oleh beliau
agar anak tidak trauma dengan tindakan dokter gigi. Bahkan ketika pasien
anaknya susah untuk dibujuk tetapi melihat ada pasien yang mengantri
diluar informan keempat dan kelima juga mengaku berusaha berbicara
kepada orang tua pasien agar mereka mau mengalah untuk mengantri diluar.
Jika salah menggunakan kata-kata, bisa saja kedua informan tersebut
menyinggung perasaan orang tua pasiennya. Untuk itu dalam menolak
ataupun menyuruh orang tua pasien untuk membawa anaknya terlebih
dahulu ke rumah, dokter gigi juga harus sensitif dan memilih kata-kata
yang sopan sehingga tidak menyinggung perasaan pasiennya.
8. Tidak mudah terpengaruh oleh masa lalu pasien ataupun diri tenaga medis
sendiri.
Seseorang yang selalu menyesali tentang apa yang telah terjadi pada masa
lalunya tidak akan mampu berbuat yang terbaik hari ini. Sangat sulit bagi
tenaga medis untuk membantu pasiennya, jika ia sendiri memiliki segudang
masalah dan ketidakpuasaan dalam hidupnya. Meskipun ada sebanyak lima
dari sembilan informan yang mengaku bahwa kondisi fisik, mood, ataupun
beban pikiran mereka berpengaruh terhadap rasa sabar mereka dalam
membujuk anak, namum mereka tetap berusaha semaksimal mungkin untuk
melupakan setiap permasalahan yang mereka miliki agar dapat memberikan
pelayanan yang terbaik bagi pasiennya (Musliha & Siti Fatmawati,
2010:114).
Dalam komunikasi tearapeutik, bukan hanya komunikasi verbal yang
harus diperhatikan melainkan juga komunikasi non verbal. Komunikasi non
verbal sangat berpengaruh dalam berhasil tidaknya komunikasi terapeutik karena
pesan non verbal menambah arti terhadap pesan verbal. Secara umum,
komunikasi non verbal terdiri dari :
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


137

a. Kinesics
Kinesics merupakan proses komunikasi yang dilakukan melalui pergerakan
tubuh. Seperti yang dikatakan oleh informan kedua, begitu beliau melihat
pasien anaknya, beliau langsung tahu apakah anak tersebut dapat dibujuk
atau tidak. Beliau dapat menyimpulkan seperti itu karena beliau melihat dari
gerakan tubuh dan psikologi anak tersebut. Anak yang sedang memegang
erat bagian tubuh ataupun pakaian orang tuanya menunjukkan bahwa ia
sangat takut dan merasa asing dengan kehadiran dokter gigi. Banyak
gerakan tubuh anak yang ditangkap dan disimpulkan oleh dokter gigi untuk
melihat perasaan pasien anak tersebut. Seperti halnya anak dari informan
ke-13, anak tersebut memang sudah pernah sebelumnya ke dokter gigi,
meskipun mengaku tidak takut lagi bertemu dengan dokter gigi namun tetap
saja ekpresi wajahnya yang menutup mata ketika ditangani oleh dokter gigi
menunjukkan bahwa ia masih merasa takut dengan tindakan yang dilakukan
oleh dokter gigi.
b. Paralanguage
Paralanguage menunjukkan pada bahasa itu sendiri. Vocal dapat
membedakan emosi yang dirasakan satu orang dengan orang lain. Dokter
gigi harus dapat berbicara dengan irama yang bagus, volume yang pas dan
kejernihan suara agar dapat memaksimalkan proses komunikasi terapeutik.
Dokter gigi harus bisa berbicara dengan irama yang lembut dan volume
yang tidak terlalu besar agar dapat membuat pasien anaknya merasa
nyaman. Meskipun terkadang kesabaran dokter gigi sudah habis dalam
membujuk anak, para informan akan tetap berusaha untuk tidak berbicara
dengan volume yang berlebihan yang dapat membuat anak merasa semakin
takut.
c. Proxemics
Proxemics adalah ilmu yang mempelajari tentang jarak hubungan dalam
interaksi sosial. Jarak yang biasa digunakan informan ketika sedang
berkomunikasi dengan pasiennya adalah jarak intim (sampai dengan 18
inchi). Jarak ini digunakan oleh informan dapat bisa lebih mengenal pasien
anaknya dengan jarak dekat. Jarak ini juga diharapkan oleh informan dapat
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


138

membuat anak merasa lebih dekat dengan dokter giginya. Seperti yang
dikatakan oleh informan keempat dan keenam, mereka akan mmenyuruh
pasien anaknya terlebih dahulu untuk duduk berhadapan dengannya agar
dapat memudahkan proses perkenalan. Jika sudah selesai berkenalan
barulah kemudian mereka menyuruh pasien anaknya untuk duduk di kursi
pasien. Dalam proses tindakan medisnya, informan juga diharuskan
memakai jarak intim dengan pasien anaknya agar memudahkan fase kerja.
d. Sentuhan
Sentuhan merupakan alat komunikasi yang sangat kuat, dapat menimbulkan
reaksi positif dan negatif tergantung dari orang yang terlibat dan lingkungan
disekeliling interaksi tersebut. Beberapa informan mengaku bahwa mereka
tidak mau memaksa untuk melakukan tindakan medis kepada pasien
anaknya meskipun keadaan gigi anak tersebut sudah sangat kritis. Karena
jika dipaksa, tentunya dengan orang tua yang memegang kuat anaknya dan
dokter gigi memaksa membuka mulut anak dapat menimbulkan rasa trauma
dalam diri anak. Ketika peneliti mengamati cara kerja informan keempat,
peneliti melihat saat beliau ingin memperbaiki posisi duduk pasiennya,
maka ia akan memindahkan posisi kepala pasiennya dengan lembut. Ia
kemudian mengarahkan mulut pasien anaknya agar posisinya pas di depan
wajah beliau dengan lembut. Karena jika anak diperlakukan dengan kasar
dapat membuat anak merasa tidak nyaman.
e. Cultural Artifact
Artifact adalah hal-hal yang ada dalam interaksi seseorang dengan orang
lain yang mungkin bertindak sebagai rangsangan non verbal seperti baju,
kosmetik, parfum dan lain-lain. Cultural artifact yang peneliti temukan
dalam penelitian ini adalah para informan yang berusaha untuk tidak
memakai masker dan sarung tangan ketika melayani pasien anak yang
sangat ketakutan. Hal ini dilakukan mereka agar anak merasa suasana
tersebut tidak terlalu kaku dan juga karena sebagian besar anak merasa
sangat asing dengan masker dan sarung tangan dokter gigi.
f. Gaya Berjalan

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


139

Gaya berjalan tentu dapat menunjukkan pesan tertentu. Dari gaya berjalan
pasien anaknya, tentu dokter gigi langsung dapat mengetahui perasaan anak
tersebut. Anak yang berjalan dengan lemas dan ditarik orang tuanya
menandakan bahwa anak tidak bersemangat bertemu dengan dokter
tersebut. Anak yang berjalan bersembunyi di belakang orang tuanya atau
sedang digendong oleh orang tuanya menandakan bahwa anak tersebut
merasa takut dengan dokter gigi. Sedangkan anak yang datang dengan
gembira menandakan bahwa anak sedang bersemangat bertemu dengan
dokter gigi.
g. Penampilan fisik umum
Dari penampilan fisik pasien anaknya, dokter gigi dapat melihat bagaimana
kondisi anak tersebut. Pipi bengkak menandakan bahwa ada yang tidak
beres dengan gigi anak tersebut. Pola nafas anak yang cepat menandakan
bahwa anak tersebut sedang merasa cemas. Seperti halnya anak informan
ke-11 yang memejamkan matanya sewaktu dokter menyuntik bius giginya,
hal ini menunjukkan bahwa ia sedang merasa sakit dan takut terhadap jarum
suntik tersebut (Musliha & Siti Fatmawati, 2010 : 16).
Dalam menjalankan komunikasi terapeutik tenaga kesehatan tidak boleh
sembarangan memilih tekniknya, karena jika tekniknya kurang tepat maka dapat
membuat komunikasi terapeutiknya tidak berjalan dengan lancar. Terdapat
beberapa teknik komunikasi terapeutik (Damaiyanti, 2008 : 15). Namun peneliti
melihat hanya beberapa teknik saja yang dilakukan oleh informan dalam
penelitian ini. Berikut adalah penjelasannya:
a. Respon ‘Fasilitatif’
Respon fasilitatif ditunjukkan oleh informan ketika ia berkenalan dengan
pasien anaknya. Mereka akan berusaha untuk merespon jawaban anak, saat
ia mengajak anak untuk berkenalan maka ia akan berusaha untuk dapat
membawakan diri selayaknya teman dari anak tersebut. Begitu juga ketika
informan berusaha untuk menceritakan nama dan fungsi dari alat-alat
medisnya mereka akan berusaha memberikan respon fasilitatif dari setiap
pertanyaan yang disampaikan oleh pasien anaknya. Hal ini dilakukan agar
dapat menjawab rasa penasaran anak.
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


140

b. Storytelling (bercerita)
Tujuh informan yang mengaku sering memperkenalkan nama dan fungsi
dari alat yang ia gunakan mengaku harus menggunakan bahasa anak yang
sederhana agar mudah dimengerti oleh anak. Ketika informan kelima
menjelaskan bagaimana keadaan gigi pasien anak tersebut kepada yang
bersangkutan, beliau akan berusaha menjelaskannya dengan bahasa yang
sangat sederhana selayaknya bahasa anak-anak. Dokter gigi akan
menggunakan bahasa anak untuk masuk ke area berpikir mereka.
c. Saling bercerita
Teknik ini biasanya lebih efektif dibandingkan dengan teknik storytelling
atau bercerita, karena dalam teknik ini bukan hanya dokter gigi yang
bercerita melainkan anak juga dipancing untuk menceritakan kembali apa
yang diketahuinya.
d. Tiga harapan
Sebenarnya dalam penelitian ini teknik tiga harapan tidak dijalankan oleh
informan. Namun, informan keenam mengaku sering menanyakan cita-
cita pasien anaknya agar dapat mengajak anak tersebut mau bekerja sama.
Beliau mengaku jika kebanyakan anak perempuan memiliki cita-cita
menjadi seorang dokter, maka beliau akan mengatakan bahwa seseorang
yang memiliki kondisi gigi yang rusak tidak akan dapat menjadi seorang
dokter. Begitu juga dengan pasien anak yang laki-laki, pada umumnya
memiliki cita-cita menjadi seorang polisi ataupun tentara. Informan
keenam akan mengatakan bahwa jika ingin menjadi seorang tentara
ataupun polisi harus memiliki gigi yang sehat dan terawat. Hal ini diakui
beliau berhasil bagi sebagaian anak.
Sedangkan untuk teknik non verbalnya, para informan belum ada yang
melakukannya. Mungkin disebabkan karena pertemuan dokter gigi dengan pasien
anak tidak sesering dan selama pertemuan antara dokter umum ataupun dokter
anak dengan pasien anaknya sehingga teknik non verbal belum dilakukan oleh
dokter gigi.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


141

Menurut Egan, ada lima sikap ataupun cara untuk menghadirkan diri
secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi yang terapeutik bagi tenaga
medis , yaitu:
1. Berhadapan.
Artinya dari posisi ini adalah “Saya siap untuk Anda”. Informan keempat
dan informan keenam sering mengajak anak duduk berhadapan dengannya
pada saat berkenalan. Hal ini mereka lakukan agar komunikasi dapat
berjalan dengan efektif. Namun bukan hanya dua orang informan tersebut
yang melakukan sikap ini, hampir semua informan yang peneliti
wawancarai akan duduk berhadapan dengan pasiennya ketika mengajak
orang tersebut berkenalan dan melakukan pendekatan.
2. Mempertahankan kontak mata.
Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai pasien dan
menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi. Mempertahankan kontak
mata dengan pasien anak tak jarang dapat membuat anak merasa ketakutan.
Ada baiknya dokter gigi jangan menatap mata anak dengan tatapan yang
sinis, melainkan dengan tatapan yang hangat dan bersahabat.
3. Membungkuk ke arah pasien.
Posisi ini menunjukkan keinginan untuk mengatakan atau mendengar
sesuatu. Hal ini dilakukan oleh para informan untuk dapat mendekatkan diri
dengan pasien anaknya.
4. Mempertahankan sikap terbuka.
Tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan untuk
berkomunikasi. Salah satu sikap yang menunjukkan keterbukaan dokter gigi
dalam berkomunikasi dengan anak adalah dengan tidak melipat tangan
ketika berkomunikasi dengan pasiennya. Apalagi sampai bertopang dagu
sewaktu berkomunikasi dengan pasiennya, hal tersebut menunjukkan bahwa
dokter gigi tidak bersemangat dalam melayani pasiennya.
5. Tetap rileks.
Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi
dalam memberikan respon kepada pasien. Ketika peneliti melihat informan
ketiga dalam menangani anak dari informan ke-12, meskipun pasien
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


142

anaknya terus menangis sewaktu ditangani, beliau tetap rileks mengerjakan


pekerjaanya. Suara tangisan anak informan ke-12 tidak mempengaruhi
kinerja beliau, beliau juga tidak terlihat gugup, beliau terlihat rileks
mengobati gigi pasiennya (Musliha & Siti Fatmawati, 2010 : 121).

Selanjutnya, ada tiga hal mendasar yang memberi ciri-ciri komunikasi


terapeutik yaitu sebagai berikut:
1. Ikhlas
Semua perasaan negatif yang dimiliki oleh pasien harus bisa diterima dan
pendekatan individu dengan verbal maupun non verbal akan memberikan
bantuan kepada pasien untuk mengkomunikasikan kondisinya secara tepat.
Dalam melayani pasien anaknya, dokter gigi harus mampu melayani mereka
dengan ikhlas. Jika mereka dapat melakukannya dengan ikhlas, maka
mereka akan dapat memberikan pelayanan yang maksimal dari diri mereka
terhadap pasien anaknya. Dan kesabaran mereka juga akan bertambah jika
mereka mau melayani pasien anaknya dengan ikhlas.
2. Empati
Merupakan sikap jujur dalam menerima kondisi pasien. Objektif dalam
memberikan penilaian terhadap kondisi pasien dan tidak berlebihan. Dokter
gigi harus mampu menerima kondisi gigi pasiennya meskipun sudah sangat
parah. Mereka tidak boleh menyalahkan anak tersebut mengenai kondisi
mulutnya, hal ini dapat membuat anak merasa disalahkan dan disudutkan.
Jika dokter gigi dapat menunjukkan sikap empatinya kepada pasien, maka
secara langsung pasien juga akan merasa lebih dekat dan dihargai oleh
dokter tersebut.
3. Hangat
Kehangatan dan sikap permisif yang diberikan diharapkan pasien dapat
memberikan dan mewujudkan ide-idenya tanpa rasa takut sehingga pasien
dapat bisa mengekspresikan perasaannya lebih mendalam. Suasana yang
hangat dan sikap dokter gigi yang ramah diakui oleh informan ke-12 dan ke-
13 membuat mereka merasa nyaman dan ingin datang kembali ke tempat
praktek dokter gigi tersebut. Dengan menunjukkan sikap yang ramah, hal itu
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


143

dapat menjadi magnet bagi dokter gigi yang dapat menarik pasiennya agar
tetap datang dan berobat di praktek gigi tersebut (Musliha & Siti Fatmawati,
2010 : 135).

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


144

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Dari hasil penelitian komunikasi terapeutik dokter gigi yang praktek
bersama dalam menangani pasien anak di Kota Medan, maka dapat ditarik
kesimpulan yakni:
1. Rasa takut terhadap dokter gigi yang ada di dalam diri anak terbagi atas
tiga macam, yaitu rasa takut objektif, rasa takut subjektif dan rasa takut
sugesti.
2. Proses komunikasi terapeutik terbagi atas empat fase yaitu fase
preinteraksi, fase orientasi, fase kerja, dan fase terminasi. Hal yang penting
diperhatikan ketika sedang melayani pasien anak adalah kesabaran, sikap
yang ramah, hangat, bersahabat, empati dan mampu membawakan diri
selayaknya anak-anak.
3. Ada beberapa manfaat yang didapatkan setelah melaksanakan komunikasi
terapeutik, yaitu komunikasi terapeutik dapat digunakan sebagai suatu cara
bagi dokter gigi untuk mendekatkan dirinya dengan pasien anaknya, dapat
mengubah mindset anak tentang dokter gigi, dapat mengurangi rasa takut
anak terhadap dokter gigi, dapat mengubah sikap dan prilaku anak sesuai
dengan yang diinginkan.
4. Hambatan komunikasi terapeutik terbagi atas tiga, yaitu hambatan yang
datang dari dalam diri dokter gigi itu sendiri, hambatan yang datang dari
dalam diri anak, dan hambatan yang datang dari orang tua pasien.

5.2 Saran
Setelah melakukan penelitian mengenai komunikasi terapeutik dokter gigi
yang praktek bersama dalam menangani pasien anak di Kota Medan, maka
peneliti berusaha untuk merumuskan beberapa saran yang diharapkan dapat
bermanfaat bagi berbagai pihak. Beberapa saran tersebut adalah :

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


145

1. Sebaiknya dokter gigi harus menguasai semua teknik-teknik komunikasi


terapeutik sehingga mereka tidak kehabisan cara dalam melayani pasien
anaknya. Dokter gigi juga harusnya lebih dapat mengontrol emosi mereka,
jika sedang berada di tempat praktek, sebaiknya mereka melupakan segala
permasalahan dan beban pikiran yang sedang dimiliki agar kemudian tidak
berpengaruh terhadap kesabaran mereka dalam membujuk-bujuk pasien
anaknya.
2. Bagi para orang tua sebaiknya mengurangi kebiasaan mereka untuk
mengancam akan membawa anaknya ke dokter agar disuntik ketika
mereka berbuat salah, karena tanpa disadari hal ini merupakan faktor yang
paling berpengaruh terhadap rasa takut anak. Orang tua juga sebaiknya
dapat menjaga sikap dan prilaku mereka ketika berada di tempat praktek
dokter gigi. Hindarilah sikap tempramen yang dapat mengganggu
kenyamanan dokter gigi dalam bekerja. Jika memang anak sangat susah
untuk dibujuk, ada baiknya dibawa kerumah dulu jangan dipaksakan
karena dapat menumbuhkan rasa trauma dalam diri anak.
3. Sangatlah baik jika sedini mungkin orang tua sudah memperkenalkan
tempat praktek dokter gigi kepada anaknya dengan membawa anak
tersebut ke tempat praktek, jangan membawanya jika sudah mengalami
sakit gigi. Jika sedini mungkin sudah dikenalkan, kemungkinan besar anak
tidak akan merasa asing lagi dengan tempat praktek dokter gigi.

5.3 Implikasi
a. Teoritis
Penelitian ini menunjukkan bahwa komunikasi yang efektif harus
dilaksanakan selama proses perawatan gigi anak. Bukan hanya komunikasi verbal
seperti membujuk dan merayu yang diperlukan, komunikasi non verbal juga
memegang peranan yang sangat penting dalam komunikasi antar dokter gigi
dengan pasien anak. Dari sentuhan tangan dokter gigi, anak bisa menerima makna
pesan yang sedang disampaikan oleh dokter gigi karena memang komunikasi non
verbal lebih mengandung makna yang luas dan lebih jujur dibandingkan dengan
komunikasi verbal.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


146

b. Praktis
Peneliti menyarankan untuk para dokter gigi ketika sedang melayani anak
sebaiknya jangan hanya berpaku pada kekuatan pesan komunikasi verbal saja,
tetapi juga harus mampu menggunakan komunikasi non verbal dengan baik.
Harus ada kesesuaian makna pesan antara komunikasi verbal dan non verbal. Jika
dokter gigi dengan tulus dan ikhlas melayani pasien anaknya, tentu secara
bersamaan akan terjadi kesesuaian makna dari komunikasi verbal dan non verbal.
Selanjutnya akan tercapai komunikasi yang efektif yang dapat mencapai tujuan
komunikasi terapeutik pada penelitian ini yaitu perawatan gigi dan mulut anak
yang optimal.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


147

DAFTAR REFERENSI

BlackBurn, Ivy Marie & Kate Davidson. 1994. Terapi Kognitif untuk Depresi dan
Kecemasan Suatu Petunjuk Bagi Praktisi. Semarang : IKIP Semarang Press.
(Diterjemahkan oleh Rusda Koto Sutadi).

Budyatna, Muhammad & Leila Mona Ganiem. 2012. Teori Komunikasi Antar
Pribadi. Jakarta : PT. Kencana Prenada Media Group.

Cangara, H. Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : PT


RajaGrafindo Persada.

Chalil, Diana & Riantri Barus. 2014. Analisis Data Kualitatif . Medan : USU
Press.

Dalami, Ermawati dkk. 2009. Buku Saku Komunikasi Keperawatan. Jakarta


Timur : Trans Info Media.

Damaiyanti, Mukhripah. 2008. Komunikasi Terapeutik dalam Praktik


Keperawatan. Bandung : Refika Aditama.

Fajar, Marhaeni. 2009. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik. Jogjakarta : Graha
Ilmu.

Gunarsa, Singgih D. 1997. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta : PT.
BPK Gunung Mulia.

Hamidi. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Malang : Penerbitan Universitas


Muhammadiyah Malang.

Hariwijawa, M dan Basri M. Jaelani. 2005. Teknik Menulis Bidang Skripsi dan
Thesis. Yogyakarta : Zenith Publisher.

Jahja, Yudrik. 2011. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Kencana Prenada Media


Group.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


148

Moelong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja


RosdakaryaOffset.

Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : PT. Re,aja
Rosdakarya.

Musliha & Siti Fatmawati. 2010. Komunikasi Keperawatan Plus Materi


Komunikasi Terapeutik. Yogyakarta : Mulia Medika.

Nasution, S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung : Tarsito.

Nuryanti, Lusi. 2008. Psikologi Anak. Jakarta : PT. Macanan Jaya Cemerlang.

Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : PT.


Remaja Rosdakarya.

Sabarguna, Boy S. 2008. Analisis Data pada Penelitian Kualitatif. Jakarta : UI-
Press.

Samovar, Larry A. dkk. 2010. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta : Salemba


Humanika.

Santrock, Jhon W. 2007. Perkembangan Anak Edisi Kesebelas Jilid 2. Jakarta :


Penerbit Erlangga.

Susanto, Ahmad. 2012. Perkembangan Anak Usia Dini. Jakarta : Prenada Media.

Taufik, M & Juliane . Komunikasi Terapeutik dan Konseling Dalam Praktik


Kebidanan. Jakarta : Penerbit Salemba Medika.

Sumber lain:
Diktat Bahan Kuliah Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara, 2014.
http://www.poltekkes-mks.ac.id/index.php/tutorials-mainmenu-48/media-
kesehatan-gigi/edisi-iii/653-pengaruh-komunikasi-terapeutik-perawat-gigi-

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


149

terhadap-tingkat-kepuasan-pasien-di-puskesmas-bungoro-kecamatan-bongoro-
kabupaten-pangkep-tahun-2011
diakses pada 12 Oktober 2014 Pukul 18:10 WIB
http://pustaka.unpad.ac.id/archives/125499/
diakses pada 13 Oktober 2014 Pukul 19:00 WIB

http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=69659&idc=45
diakses pada 13 Oktober 2014 Pukul 20:00
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/125717-R18-PED-205 Perbedaan tingkat-
Pendahuluan.pdf

diakses pada tanggal 15 Oktober 2014 Pukul 20:00

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


150

Karakteristik Informan Penelitian

Alamat
Nama Jenis
No Usia Pendidikan Stambuk Tempat
Informan Kelamin
Praktek
1. drg. Martha, Sp. 54 Perempuan S-1 1979 Jln.
Ort tahun FKG USU Letjen
Spesialis Jamin
Orthodonti Ginting
USU No. 548,
Pasar 1,
Medan
2. drg. Christy 34 Perempuan S-1 1999 Jln.
Nora Sembiring tahun FKG USU Letjen
Jamin
Ginting
No.
193A
Medan
3. drg. Juli 34 Perempuan S-1 1999 Jln.
Perangin-angin tahun FKG USU Letjen
Jamin
Ginting
No.
193A
Medan
4. drg. Ida Kristina 50 Perempuan S-1 1983 Jln.
tahun FKG USU Letjen
Jamin
Ginting
No. 180
P. Bulan,

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


151

Sp.
Kwala
5. drg. E. Erni 44 Perempuan S-1 1989 Jln.
Ginting tahun FKG USU Letjen
Jamin
Ginting
No. 180
P. Bulan,
Sp.
Kwala
6. drg. Bernadetta 30 Perempuan S-1 2003 Jln.
Sembiring tahun FKG USU Letjen
Jamin
Ginting
No. 548,
Pasar 1,
Medan
7. drg. M. Ridwan 24 Laki-laki S-1 2009 Jln.
Muchlis tahun FKG USU Letjen
Jamin
Ginting
No. 2,
Rumah
Sakit Siti
Hajar
Medan
8. drg. Afrida 34 Perempuan S-1 1999 Jln.
Hanum Sitepu tahun FKG USU Letjen
Jamin
Ginting
No. 2,
Rumah

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


152

Sakit Siti
Hajar
Medan
9. drg. Indira 37 Perempuan S-1 1996 Jln.
Sembiring tahun FKG USU Letjen
Jamin
Ginting
No. 2,
Rumah
Sakit Siti
Hajar
Medan
10. Merta 24 Perempuan D-3 2009 Jln.
(Perawat gigi tahun Perawat Letjen
drg.Martha dan gigi Jamin
drg. Bernadetta) Ginting
No. 548,
Pasar 1,
Medan
11. Siti Agustina 32 Perempuan - - Jln.
(Ibu Khansa, tahun Jamin
pasien anak drg. Ginting
Juli) Nomor
175
12. Mery (Ibu 42 Perempuan - - Jln Jamin
Margaret, pasien tahun Ginting
anak drg. Ida) Perumah
an Royal
Platinum
13. Indri (Ibu 37 Perempuan - - Jln.
Daniel, pasien tahun Jamin
anak drg. Erni) Ginting

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


153

Perumah
an Buena
Vista

Sumber : Wawancara dari tanggal 27 Januari 2015 sampai 26 Februari 2015

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


154

Biodata Peneliti

Nama : DEASY SONIA BR M

TEMPAT/TANGGAL LAHIR : KABANJAHE / 25 MARET 1993

JENIS KELAMIN : PEREMPUAN

AGAMA : KRISTEN PROTESTAN

ALAMAT : JLN. BERDIKARI NO. 56, PASAR 1,


PADANG BULAN MEDAN.

NAMA ORANG TUA : DEMURIAH MELIALA

KARTINI BR SEMBIRING

ALAMAT ORANG TUA : JLN. NUSA INDAH NO. 7, SIMP. 6,


KABANJAHE

PENDIDIKAN : SD SANTO XAVERIUS 3 KABANJAHE

SMP NEGERI 1 KABANJAHE

SMA NEGERI 1 KABANJAHE

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


155

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Jl. Dr. A. Sofyan No. 1. Telp. (061) 8217168

LEMBAR CATATAN BIMBINGAN SKRIPSI

NAMA : Deasy Sonia Br M

NIM : 110904114

PEMBIMBING : Lusianna A. Lubis, M.A., Ph.D

No. TGL. PEMBAHASAN PARAF


PERTEMUAN PEMBIMBING
1. 27 Oktober 2014 ACC Seminar Proposal
2. 29 Oktober 2014 Seminar Proposal
3. 3 Desember 2014 Revisi Bab I- III
4. 10 Desember 2014 Revisi beberapa bagian dari Bab
II mengenai kajian pustaka dan
Model Teoritik
5. 17 Desember 2014 Menyusun daftar pertanyaan
6. 22 Desember 2014 Revisi daftar pertanyaan dan
revisi beberapa bagian Bab II- III
7. 15 Januari 2015 Revisi urutan teori, revisi Bab III
mengenai metode penelitian dan
teknik pengumpulan data.
8. 19 Januari 2015 Revisi daftar pertanyaan
wawancara dan diizinkan turun ke
lapangan.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


156

9. 28 Januari 2015 Diskusi persiapan wawancara


lapangan
10. 20 Februari 2015 Diskusi hasil wawancara dan
ditugaskan untuk melanjutkan ke
bab IV
11. 13 Februari 2015 Revisi Bab IV dan ditugaskan
menyusun Bab V

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


157

FOTO DOKUMENTASI

Foto peneliti dan informan kedua Foto peneliti dan informan ketiga

Foto informan keempat dan kelima Foto informan keenam

Foto peneliti dengan informan ketujuh Foto peneliti dan informan kedelapan

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara


158

Foto peneliti dengan informan kesembilan Foto anak dari informan ke-11

Foto anak dari informan ke-12 Foto anak dari informan ke-13

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera utara

Anda mungkin juga menyukai