Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi Dalam Menangani Pasien
Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi Dalam Menangani Pasien
MENANGANI PASIEN
SKRIPSI
110904114
MEDAN
2015
SKRIPSI
110904114
MEDAN
2015
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip
maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di
kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya
bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.
NIM : 110904114
Tanda Tangan :
Tanggal :
Kemuliaan bagi Allah Bapa yang Maha Kuasa karena hanya oleh anugerah
dan berkat-Nyalah saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Saya sangat
bersyukur oleh karena kasih dan pertolongan-Nya dan dukungan orang-orang
sekitar, saya dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu. Penulisan skripsi ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas
Sumatera Utara (USU).
Dalam pengerjaan skripsi ini, saya menyadari keterbatasan saya dalam hal
pengetahuan, pengalaman dan kelemahan lainnya sebagai mahasiswa. Namun, hal
tersebut tidak menjadi penghalang bagi saya untuk selalu berjuang memberikan
yang terbaik sebagai mahasiswa. Saya menyadari penyelesain skripsi ini tidak
terlepas dari dukungan, doa dan kerja sama dari berbagai pihak, baik dukungan
moral maupun materil. Oleh sebab itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua saya yaitu Bapak Demuriah Milala dan Mama Kartini
Sembiring, S.Pd yang telah memberikan semangat, dukungan, dan doa
di dalam setiap keterbatasannya sebagai manusia, tetapi terus berusaha
memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Demikian juga untuk
kakak dan abang Denni Sarai Milala, Amd, drg. Della Novela Talenta
Milala, dan Jhon Paskal Milala ST yang telah memberikan dukungan,
doa dan semangat kepada saya. Juga untuk keponakan saya Dika,
Farrel, Vayo, Sharon, Gladys dan Daffin yang senantiasa menghibur
dan menyemangati saya. Kiranya kasih dan damai Tuhan senantiasa
beserta kita selamanya.
2. Bapak Prof. Dr.Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Fatma Wardi Lubis, M.A selaku ketua Departemen Ilmu
Komunikasi.
4. Ibu Dra. Dayana, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi.
iii Universitas Sumatera Utara
Akhir kata penulis berharap agar Tuhan Yang Maha Esa senantiasa
memberkati, melindungi dan melimpahkan kasih karunia-Nya kepada semua
pihak yang sudah berpartisipasi dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini
dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu.
Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan
di bawah ini:
Nama : Deasy Sonia Br M
NIM : 110904114
Departemen : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas : Sumatera Utara
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-ekslusive
Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi dalam Menangani Pasien (Studi Kasus
tentang Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi yang Praktek Bersama dalam
Menangani Pasien Anak di Kota Medan).
Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak
menyimpan, mengaihmediakan/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan
data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta
izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta
dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Dibuat di : Medan
Pada Tanggal :
Yang Menyatakan
(Deasy Sonia Br M)
v Universitas Sumatera Utara
Kata Kunci:
Komunikasi Terapeutik, Pasien Anak, Rasa Takut Anak.
Keywords:
Therapeutic Communication, Paediatric Patients, The Fear of The Child.
HALAMAN JUDUL………………………………………………………... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS........................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………… iii
KATA PENGANTAR……………………………………………………... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………….. vi
ABSTRAK………………………………………………………………….. vii
DAFTAR ISI……………………………………………………………….. ix
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………. xi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………............ xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Konteks Masalah……………………………………………….... 1
1.2 Fokus Masalah……………………………………………………. 6
1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………. 7
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………….. 7
LAMPIRAN
Surat Izin Penelitian
Biodata Peneliti
Karakteristik Informan
Daftar Pertanyaan Wawancara
Daftar Bimbingan Skripsi
Foto Dokumentasi
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
2. Biodata Peneliti
3. Karakteristik Informan
6. Foto Dokumentasi
Kata Kunci:
Komunikasi Terapeutik, Pasien Anak, Rasa Takut Anak.
Keywords:
Therapeutic Communication, Paediatric Patients, The Fear of The Child.
BAB I
PENDAHULUAN
bahasa ataupun kata-kata (verbal), tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan,
seni, teknologi dan gerakan tubuh (Cangara, 2006 : 19). Sesuai dengan pengertian
komunikasi diatas, seorang dokter gigi tentu dapat menjalin hubungan dan
kedekatan dengan pasiennya dengan berinteraksi yang saling pengaruh
mempengaruhi satu sama lainnya. Hanya saja komunikasi yang biasa dipakai oleh
ilmu kedokteran dalam membantu proses penyembuhan pasiennya dinamakan
‘Komunikasi Terapeutik’.
Proses komunikasi terapeutik dalam ilmu kedokteran gigi akan diawali
dengan pemberian sugesti berupa pemberian kata-kata yang positif dan
menenangkan kepada pasien. Setelah pasien merasa nyaman dan tenang, barulah
dokter gigi mulai melakukan pengobatan dengan tindakan medis. Dalam
menghadapi pasien anak, tentu seorang dokter tersebut harus dapat mengambil
perhatian anak terlebih dahulu, kemudian mampu bersikap ramah sehingga anak
akan merasa nyaman dengan dokter tersebut, dan kemudian barulah membujuk
dia untuk menghilangkan rasa takut yang ada didalam dirinya dengan mengatakan
bahwa proses pengobatan tersebut tidak akan menimbulkan rasa sakit yang lama
dan proses penyembuhannya tidak akan berlangsung lama.
Kasus mengenai rasa cemas dan takut dalam diri anak jika berurusan dengan
dokter gigi merupakan masalah yang sudah banyak terdapat di kehidupan
masyarakat saat ini. Kemajuan zaman juga tidak dapat mengubah kebiasaan ini
secara drastis karena melihat kehidupan modernisasi pada sekarang ini ternyata
masih banyak anak-anak yang merasa sangat takut ketika diajak orang tuanya
untuk pergi ke dokter gigi. Padahal kesehatan gigi dan mulut adalah kesehatan
yang sangat perlu dijaga dari usia dini karena mulut adalah salah satu organ tubuh
yang sangat berpengaruh dalam proses pencernaan di dalam tubuh sehingga jika
kesehatannya terganggu maka akan berpengaruh juga terhadap proses pencernaan
di dalam tubuh anak tersebut. Namun dengan hadirnya ilmu komunikasi
terapeutik dalam ilmu kedokteran gigi diharapkan dapat mengubah citra dokter
gigi yang tadinya dianggap sebagai seorang yang menakutkan, kini berubah
menjadi sosok yang ramah dan bersahabat.
Rasa takut dan cemas yang ada dalam diri anak telah diakui selama
bertahun-tahun membuat anak sering menunda dan menolak untuk melakukan
Universitas Sumatera Utara
perawatan kesehatan gigi dan mulut mereka ke dokter gigi. Banyak anak yang
merasa bingung ketika merasakan sakit gigi, karena disatu sisi ketika orang tuanya
mengajak dia untuk berobat ke dokter gigi, ia akan merasa sangat takut untuk
berurusan dengan seorang dokter gigi, namun disisi yang lain ia akan merasa
sangat tersiksa untuk menahan rasa sakit pada giginya.
Salah satu aspek terpenting dalam mengatur rasa takut dan cemas anak
dalam perawatan kesehatan gigi dan mulut yang dapat dilakukan oleh seorang
dokter gigi adalah dengan mengontrol rasa sakit, karena dengan pengalaman yang
tidak menyenangkan ketika melakukan perawatan gigi akan berdampak negatif
terhadap perawatan giginya di masa mendatang. Bahkan pengalaman yang tidak
menyenangkan ketika berobat ke dokter gigi, dapat menimbulkan rasa trauma
dalam diri anak. Kebiasaan menunda perawatan gigi untuk menghindari rasa takut
juga akan mengakibatkan semakin menurunnya tingkat kesehatan gigi dan mulut
anak, dan terkadang menambah ketakutan dalam diri anak untuk berobat ke dokter
gigi.
Umumnya perawatan gigi anak dimulai saat usia sekolah dasar, dimana
banyak diantaranya mengalami pengalaman pertama yang kurang menyenangkan
sehingga menumpuk menjadi suatu kecemasan yang berkembang menjadi rasa
takut dan kemudian menetap hingga anak beranjak dewasa.
Perkembangan emosi tentunya sangat berhubungan dengan seluruh aspek
perkembangan anak. Perkembangan sosial dan emosi anak merupakan hal yang
mendasar dalam perkembangan kepribadiannya di masa yang akan datang. Setiap
orang akan mempunyai emosi rasa senang, marah, kesal dalam menghadapi
lingkunganya setiap hari.
Menurut Beaty (1994) ada beberapa emosi yang umum pada anak sebagai
berikut : (a) kemarahan, terjadi saat keinginan tidak terpenuhi; (b) kasih sayang,
sesuatu yang sangat dibutuhkan anak setiap saat; (c) cemburu, apabila ada hal
yang dilakukan anak lain melebihi apa yang dia lakukan; (d) takut akan sesuatu
yang baru, (e) sedih yang disebabkan hilangnya anggota keluarga, mainan, atau
teman; dan (f) senang dan malu (Susanto, 2011). Setiap anak tentunya mengalami
perkembangan emosi yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya.
Rasa cemas dan takut yang ada di dalam diri pasien anak, tentunya
berpengaruh pada sikapnya ketika diajak untuk konsultasi ke dokter gigi oleh
orangtuanya. Adapun sikap adalah cara seseorang menerima atau menolak sesuatu
yang didasarkan pada cara dia memberikan penilaian terhadap objek tertentu yang
berguna ataupun tidak bagi dirinya. Sikap seseorang dapat muncul sebagai hasil
dari proses pengamatan dan dari apa yang diterima dan dipelajari melalui
inderanya (Nuryanti, 2008 : 61). Pada umumnya, anak-anak akan menolak untuk
pergi ke dokter gigi karena dipenuhi rasa takut dan cemas yang selalu
dirasakannya.
Kecemasan terhadap perawatan gigi seringkali dinyatakan dengan
penolakan perawatan gigi atau ketakutan terhadap dokter gigi. Banyak hal yang
menyebabkan timbulnya kecemasan atau rasa takut anak terhadap perawatan gigi,
antara lain: a) pengalaman negatif selama kunjungan ke dokter gigi sebelumnya,
b) kesan negatif dari perawatan gigi yang didapatkan dari pengalaman keluarga
atau temannya, c) perasaan yang asing selama perawatan gigi misalnya
penggunaan sarung tangan, masker, pelindung mata oleh dokter gigi, takut jarum
suntik, dan lain-lain, d) merasa diejek atau disalahkan oleh karena keadaan
kesehatan rongga mulut yang tidak baik, e) bunyi dari alat-alat kedokteran gigi
misalnya bunyi bur, ultra skeler, dan lain-lain, f) kecemasan yang tidak diketahui
penyebabnya.
Rasa sakit dalam menjalani perawatan gigi sering disamakan persepsi oleh
pasien, terutama pada masalah pertumbuhan gigi yang mengharuskan untuk
dilakukannya pencabutan, penyakit gigi yang harus ditanggulangi dengan
tindakan bedah, atau gigi yang harus dirawat melalui saluran akar. Oleh karenanya
dokter gigi dianggap perlu untuk mengetahui cara mengontrol rasa sakit untuk
membantu anak dalam menanggulangi situasi seperti ini baik sebelum dan
sesudah perawatan. Adapun teknik yang dapat dilakukan adalah dengan
menggunakan anastesi lokal atau obat anti sakit. Anastesi lokal adalah cara untuk
menghilangkan rasa nyeri sementara dibagian tubuh tertentu tanpa menghilangkan
tingkat kesadaran. Pencegahan rasa nyeri selama prosedur perawatan gigi dapat
memelihara dan menjaga hubungan yang terjalin antara dokter gigi dengan pasien,
secara manual jumlah pasien yang mengantri di poli gigi rumah sakit tersebut.
Hari Senin, Selasa, Rabu adalah hari dimana banyak pasien poli gigi yang datang
mengantri. Peneliti kemudian bertanya kepada Ibu Sitepu, salah satu pasien yang
mengantri di poli gigi terkait alasan beliau datang pada hari Senin. Beliau
mengatakan jika datang hari Senin, biasanya dokter gigi yang dinas disini datang
semua, jadi penanganannya bisa lebih cepat dan efektif.
Setelah meneliti selama tiga hari yaitu dari tanggal 23 Februari 2015 sampai
tanggal 25 Februari 2015, peneliti kemudian mendapatkan jumlah pasien yaitu
sebagai berikut : pada hari Senin ada 29 pasien yang mengantri, tetapi tidak ada
satu pun pasien anak. Pada hari Selasa, ada sebanyak 23 pasien yang mengantri,
dan tetap tidak ada pasien anak. Pada hari Rabu, hanya ada 18 pasien yang
mengantri, dan pasien anak tetapi tidak ada.
Pada akhirnya peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian kepada
dokter gigi yang praktek bersama, karena di tempat praktek bersama peneliti dapat
langsung menemui dua orang atau lebih dokter gigi yang menangani pasien anak,
sehingga peneliti dapat mengumpulkan data yang lengkap mengenai proses
pelaksanaan komunikasi terapeutik ini di tempat praktek. Selain itu, di tempat
prakteknya masing-masing dokter gigi akan dapat meluangkan waktunya lebih
banyak untuk bercerita mengenai komunikasi terapeutik ini. Selanjutnya, peneliti
dapat langsung melakukan observasi atau pengamatan mengenai komunikasi
terapeutik antara dokter gigi dan pasien anak tersebut. Peneliti juga akan
melakukan wawancara dengan orang tua pasien anak tersebut. Sehingga peneliti
sangat berharap hasil penelitian akan lebih maksimal karena berhubungan
langsung dengan dokter gigi dan orang tua pasien anak. Peneliti sangat tertarik
untuk membahas topik ini, karena peneliti ingin mengetahui bagaimana
sebenarnya proses komunikasi terapeutik ini dalam praktek bersama ataupun
klinik bersama dokter gigi di Kota Medan.
tidak menyentuh hingga level makro (sistem politik, budaya, ekonomi, dan lain-
lain).
Konsentrasi analisis pada paradigma ini adalah menemukan bagaimana
suatu peristiwa ataupun realitas dikonstruksi, dan dengan cara apa konstruksi itu
dibentuk.
Untuk dapat dianggap sebagai komunikasi antar pribadi yang benar, maka
sebuah pesan harus menghasilkan atau memiliki efek atau pengaruh. Efek
atau pengaruh tersebut tidak harus segera dan nyata, tetapi harus terjadi.
f) Tidak harus melibatkan atau menggunakan kata-kata
Bahwa kita berkomunikasi tanpa kata-kata seperti pada komunikasi non
verbal karena komunikasi non verbal memiliki makna yang jauh lebih
besar dibandingkan kata-kata.
g) Dipengaruhi oleh konteks
Konteks merupakan tempat dimana pertemuan komunikasi terjadi
termasuk apa yang mendahului dan mengikuti apa yang dikatakan.
Konteks meliputi :
(1) Jasmaniah, seperti suhu udara, pencahayaan, jarak antara
komunikator, pengaturan tempat dan waktu mengenai hari.
(2) Sosial, apakah komunikasi terjadi atau mengambil tempat diantara
anggota keluarga, teman-teman, kenalan-kenalan, mitra kerja, atau
orang asing mempengaruhi apa dan bagaiman pesan-pesan dibentuk,
diberikan dan dimengerti.
(3) Historis, merupakan latar belakang yang diperoleh melalui peristiwa
komunikasi sebelumnya antara para partisipan.
(4) Psikologis, meliputi suasana hati dan perasaan dimana setiap orang
membawakannya kepada pertemuan antar pribadi.
(5) Keadaan kultural yang mengelilingi peristiwa komunikasi, seperti
nila-nilai, keyakinan, makna, hierarki sosial agama dan lain-lain.
h) Dipengaruhi oleh kegaduhan atau noise
(1) Kegaduhan/kebisingan eksternal berupa penglihatan, suara, dan
rangsangan lainnya
(2) Kegaduhan internal berupa pikiran dan perasaan yang bersaing guna
mendapatkan perhatian dan menggangu proses komunikasi.
(3) Kegaduhan semantic, berupa lambing-lambang tertentu yang
menjauhkan kita dari pesan-pesan yang utama (Budyatna & Leila,
2012 : 15).
pengirim tanpa penerima, tidak ada pesan tanpa pengirim, dan tidak ada umpan
balik tanpa penerima. Jika terdapat perubahan pada para pelaku komunikasi maka
juga akan menyebabkan perubahan pada aspek lainnya.
Nada suara merupakan gambaran gaya dari ekspresi yag digunakan pada saat
berbicara. Pasien yang mendengar pesan dengan suara lembut akan lebih
mudah mengerti dan merasa nyaman dibandingkan pesan yang diterimanya
dengan suara keras (Musliha & Siti Fatmawati, 2010: 14).
Salah satu komunikasi verbal yang sering dilakukan dokter gigi adalah
wawancara. Wawancara digunakan oleh dokter gigi untuk mencari tahu penyakit-
penyakit yang ada dalam diri pasiennya, dan kemudian untuk mengidentifikasi
kebutuhan kesehatan pasiennya, dan lain-lain. Sedangkan komunikasi nonverbal
merupakan komunikasi yang tidak kalah pentingnya. Banyak komunikator verbal
tidak efektif dikarenakan oleh komunikator yang tidak menggunakan komunikasi
non verbal dengan baik dalam waktu yang bersamaan. Melalui komunikasi non
verbal dengan baik, orang bisa mengambil suatu kesimpulan mengenai perasaan
senang, benci, cinta, sayang, dan lain-lain.
Edward T. Hall menamai komunikasi non verbal sebagai “bahasa diam”
(silent language) dan “dimensi tersembunyi” (hidden dimension) suatu budaya
(Mulyana, 2007 : 344). Dikatakan diam dan tersembunyi karena pesan-pesan non
verbal tersebut, tertanam dalam konteks komunikasi. Selain isyarat situasional dan
relasional dalam transaksi komunikasi, pesan non verbal juga memberi isyarat-
isyarat kontekstual. Pesan non verbal kemudian membantu dalam menafsirkan
seluruh makna komunikasi.
Tujuan komunikasi non verbal menurut Stuart dan Sundeen (1995) adalah
a. Mengekspresikan emosi
b. Mengekspresikan tingkah laku interpersonal
c. Membangun, mengembangkan dan memelihara interaksi sosial
d. Menunjukkan diri
e. Mendukung komunikasi verbal (Musliha & Siti Fatmawati, 2010 : 15).
a. Pesan ‘Saya’
Nyatakan perasaan tentang perilaku dalam istilah ‘saya’. Hindari
penggunaan kata ‘anda’ (kamu) yamg banyak.. Pesan ‘Anda’
adalah perlawanan yang menghakimi dan menghasut.
b. Teknik ‘Orang ketiga’
Teknik ini biasanya menggunakan orang terdekat pasien. Teknik
ini kurang mengancam dibandingkan dengan menanyakan pada
anak secara langsung bagaimana perasaannya, karena hal ini
memberi kesempatan pada mereka untuk setuju atau tidak setuju
tanpa merasa dibantah.
c. Respon ‘Fasilitatif’
Libatkan teknik mendengar dengan perhatian dan cerminkan
kembali pada pasien perasaan dan isi pernyataan yang mereka
ungkapkan. Respon yang dilakukan dokter gigi tidak menghakimi
dan empati.
d. Storytelling (bercerita)
Gunakan bahasa anak untuk masuk ke dalam area berpikir mereka
sementara menembus batasan kesadaran atau rasa takut anak.
Teknik paling sederhana adalah dengan menjelaskan proses
perawatan giginya dengan menggunakan kata-kata yang sederhana.
e. Saling bercerita
Tunjukkan pikiran anak dan upayakan untuk mengubah persepsi
anak atau rasa takutnya dengan menceritakan kembali suatu cerita
yang berbeda (pendekatan yang lebih terapeutik dibandingkan
bercerita). Dikatakan lebih efektif daripada bercerita karena
melalui cara ini anak akan merasa lebih dekat dengan dokternya.
f. Biblioterapi
Digunakan dalam proses terapeutik dan suportif. Beri kesempatan
pada anak untuk mengeksplorasi kejadian yang serupa dengan
mereka sendiri tetapi cukup berbeda. Anak diajak untuk
menceritakan kembali isi buku tersebut sehingga dapat meringkas
pesan moral atau arti dari cerita tersebut.
g. Dreams (mimpi)
Minta anak untuk menceritakan tentang mimpi-mimpi mereka dan
kemudian gali bersamanya tentang kemungkinan arti mimpi
tersebut. Hal ini dilakukan agar anak merasa diperhatikan oleh
dokter tersebut.
h. Pertanyaan ‘Bagaimana jika’
Dorong anak untuk menggali situasi potensial dan untuk
mempertimbangkan pilihan pemecahan masalah yang berbeda. Jika
si anak tetap tidak mau melakukan perawatan gigi dan mulutnya
meskipun sudah dilakukan pendekatan, dokter perlu melakukan
metode ini.
i. Tiga harapan
Libatkan pertanyaan ‘Bila kamu memiliki tiga hal di dunia ini, hal
apa sajakah itu?’ Bila anak menjawab, ‘semua harapan saya
menjadi kenyataan’, lalu tanya kepadanya harapan khusus
tersebut. Hal ini dilakukan agar anak mau membuka dirinya kepada
dokter (Damaiyanti, 2008 : 15).
gigi tidak akan bisa sabar dalam menghadapi keluhan-keluhan dari pasien
anak yang cenderung lebih cengeng dan rewel dibandingkan pasien
dewasa.
Adapun tugas tenaga kesehatan pada fase ini adalah :
a. Mengeksplorasi perasaan, harapan dan kecemasannya
b. Menganalisa kekuatan dan kelemahan diri, dengan analisa diri ia akan
terlatih untuk memaksimalkan dirinya agar bernilai terapeutik bagi
klien, jika merasa tidak siap maka perlu belajar kembali
c. Mengumpulkan data tentang klien, sebagai dasar dalam membuat
rencana interaksi
d. Membuat rencana pertemuan secara tertulis, yang akan di
implementasikan saat bertemu dengan klien (Musliha & Siti
Fatmawati, 2010 : 116).
b. Fase Orientasi
Pada masa inilah kesempatan bagi tenaga kesehatan untuk menjalin
hubungan yang baik dengan pasiennya, karena pada fase inilah ia akan
membentuk citranya melalui pertemuan pertama dengan pasiennya.
Baiknya pada fase ini, tenaga kesehatan memberikan sikap yang ramah
dan menunjukkan sikap empatinya dalam menerima kedatangan pasien.
Adapun tugas-tugas tenaga kesehatan pada tahap ini adalah :
a. Membina hubungan saling percaya, menunjukkan sikap penerimaan
dan komunikasi terbuka. Misalnya seperti bersikap jujur, iklas, ramah,
menepati janji dan menghargai pasiennya.
b. Merumuskan kontrak bersama pasien, seperti waktu pertemuan
berikutnya.
c. Menggali perasaan dan pikiran serta mengidentifikasi masalah pasien.
d. Merumuskan tujuan dengan klien, seperti proses yang akan dilalui
dalam pengobatan pasien Musliha & Siti Fatmawati, 2010 : 116).
c. Fase Kerja
Tahap ini merupakan tahap yang paling penting, dimana dalam menjalani
proses pengobatan pasien, seorang tenaga kesehatan juga harus tetap
menerapkan komunikasi terapeutik. Teknik komunikasi terapeutik yang
biasa digunakan oleh tenaga kesehatan adalah mendengarkan dengan aktif,
refleksi, memberikan persepsi yang positif, dan kemudian membantu
meyakinkan pasien bahwa pengobatan tersebut dapat membantu
penyembuhan pasien.
d. Fase Terminasi
Terminasi merupakan tahap akhir dalam komunikasi terapaeutik ini dan
akhir dari pertemuan antara dokter gigi dan pasiennya. Terbagi menjadi
dua, yaitu:
a. Terminasi sementara, berarti masih ada pertemuan lanjutan;
b. Terminasi akhir, terjadi bila pengobatan giginya sudah benar-benar
sembuh dan tidak diperlu lagi melakukan perawatan rutin dengan
dokter gigi yang bersangkutan (Musliha & Siti Fatmawati, 2010 :
117).
10. Mampu berperan sebagai role model agar dapat menunjukkan dan
meyakinkan orang lain tentang kesehatan, oleh karena itu dokter gigi perlu
mempertahankan suatu keadaan sehat fisik terlebih giginya, mental,
spiritual, dan gaya hidup.
11. Disarankan untuk mengeskpresikan perasaan bila dianggap mengganggu.
12. Altruisme untuk mendapatkan kepuasan dengan menolong orang lain
secara manusiawi.
13. Berpegang pada etika dengan cara berusaha sedapat mungkin mengambil
keputusan berdasarkan prinsip kesejahteraan manusia.
14. Bertanggung jawab dalam dua dimensi yaitu tanggung jawab terhadap diri
sendiri atas tindakan yang dilakukan dan tanggung jawab terhadap orang
lain yaitu pasiennya (Damaiyanti, 2008 : 13).
GIGI ANAK
PERAWATAN GIGI
YANG OPTIMAL
Subjek penelitian dalam studi kasus komunikasi terapeutik ini adalah dokter
gigi yang praktek bersama, baik dua orang atau lebih dan juga orang tua dari
pasien anak yang bersangkutan. Peneliti memilih dokter gigi yang praktek
bersama karena dengan melakukan penelitian di tempat praktek bersama, peneliti
dapat langsung mewawancarai dua orang atau lebih dokter gigi sekaligus dan
dalam proses observasi pun peneliti akan dapat mengamati cara kerja dua orang
atau lebih dokter gigi tersebut sekaligus, sehingga akan lebih efektif dan efisien.
Pemilihan ini juga didasarkan kepada banyaknya jumlah dokter gigi yang ada di
kota Medan, untuk itu peneliti memutuskan untuk melakukan pemilihan dokter
gigi yang praktek bersama sebagai subjek penelitian agar subjek penelitian lebih
spesifik.
Unit analisis adalah satuan yang diteliti yang bisa berupa individu,
kelompok, benda atau suatu latar peristiwa sosial (Hamidi, 2004). Menurut
Spradly, unit analisis meliputi tiga komponen, yakni actor (individu atau
kelompok), Place (latar tempat peliputan data), dan activity (kegiatan atau sikap
yang dilakukan individu dalam situasi terkait penelitian) maka berdasarkan
komponen tersebut, unit analisis dalam penelitian ini adalah :
1. Para dokter gigi dan orang tua pasien anak di tempat praktek yang
bersangkutan (Actor).
2. Tempat praktek dokter gigi di Kota Medan (Place).
Universitas Sumatera Utara
a. Penelitian Lapangan
Data primer adalah data yang didapatkan dari sumber pertama atau tangan
pertama di lapangan tempat penelitian.
yang penting. Apabila data yang diperoleh dari informan memiliki banyak
kesamaan maka peneliti akan mengklasifikasikan dan jawabannya akan di
generalisasikan.
b. Display Data
Setelah peneliti melakukan reduksi data, maka data akan diklasifikasikan
menurut pokok permasalahan dan dibuat dalam bentuk matriks agar dapat
memudahkan peneliti untuk melihat hubungan antara suatu data dengan
data lainnya.
c. Triangulasi Data
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara
terhadap objek penelitian (Moloeng, 2006 : 330)
Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang berbeda
yaitu wawancara, observasi dan dokumen. Triangulasi ini selain digunakan
untuk mengecek kebenaran data juga dilakukan untuk memperkaya data.
Menurut Nasution, selain itu triangulasi juga dapat berguna untuk
menyelidiki validitas tafsiran peneliti terhadap data, karena itu triangulasi
bersifat reflektif (Nasution, 2003 : 115).
Adapun untuk mencapai kepercayaan itu, maka ditempuh langkah sebagai
berikut :
- Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara
- Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa
yang dikatakan secara pribadi.
- Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
- Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan masyarakat dari berbagai kelas.
- Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan.
d. Mengambil Kesimpulan
Pada bagian akhir penelitian ini setelah melakukan reduksi data dan
display data, peneliti akan mermbuat kesimpulan berdasarkan data yang
telah diperoleh yang disajikan dalam bentuk narasi. Dalam kasus ini
kesimpulannya berupa penjelasan mengenai komunikasi terapeutik dokter
gigi yang praktek bersama dalam melayani pasien anak di Kota Medan.
Pada bab IV ini, peneliti akan memaparkan hasil- hasil yang sudah
ditemukan di lapangan, baik data yang telah didapatkan melalui wawancara
mendalam dengan dokter gigi dan orang tua pasien anak dan juga data yang
diperoleh dari pengamatan peneliti di tempat praktek ketika dokter gigi sedang
menangani pasien anak.
Kasus Pertama :
Nama Informan : drg. Martha, Sp. Ort
Usia : 54 tahun
Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 548, Pasar 1
Medan
ada yang bisa dibujuk dan kadang ada yang tidak. Pola asuh orang
tua di rumah tentunya sangat mempengaruhi, ada orang tua yang
dengan bijaksana memperkenalkan anaknya ke dokter gigi tetapi
banyak juga orang tua yang sering mengancam anaknya dirumah
jika tidak bisa dibilangi akan di bawa ke dokter agar disuntik. Hal
ini tentunya membentuk image dokter yang menyeramkan di
dalam pikiran anak. Banyak anak yang berpikiran kalau dokter itu
identik dengan jarum suntik. Ini yang membuat dokter gigi harus
bekerja keras dalam menangani pasien anak.”
Beliau juga mengatakan bahwa tidak semua pasien anak merasa takut
ketika datang ke praktek dokter gigi, ada juga pasien anak yang tidak takut ketika
diajak ke dokter gigi. Hal yang sangat berpengaruh terhadap rasa takut anak
adalah bagaimana orang tua mampu menunjukkan kebijaksanaannya dalam
memperkenalkan anaknya terhadap dunia kedokteran gigi. Kebiasaan orang tua
ketika mengancam akan membawa anaknya untuk disuntik oleh dokter ketika ia
berbuat salah juga dapat menimbulkan rasa takut anak terhadap dokter.
“Pasien anak disini kebanyakan terkena kasus gigi berlubang.
Gigi yang berlubang sebaiknya dirawat terlebih dahulu. Karena
gigi orang dewasa sekalipun kalau dalam keadaan sakit tidak bisa
dicabut. Jadi biasanya akan dilakukan perawatan untuk
membersihkan kuman-kumannya.”
Drg. Martha juga mengatakan bahwa kasus yang sering dihadapi pasien
anak yang datang ke prakteknya adalah karies atau gigi berlubang. Mengingat
umur pasien anak yang datang berkisar tiga sampai sepuluh tahun, maka gigi yang
berlubang tidak boleh sembarang di cabut. Gigi tersebut haruslah dirawat terlebih
dahulu, agar bisa menetralkan saraf sekaligus juga untuk membersihkan kuman-
kuman yang ada di dalamnya.
“Kemarin ada pasien anak yang datang kesini bersama ibu dan
adiknya. Kedua-duanya ingin mengobati gigi mereka yang sakit.
Setelah memeriksanya ternyata giginya belum dicabut karena
masih dalam keadaan yang sakit, jadi harus diberikan obat
peringan rasa sakit dulu agar beberapa hari lagi bisa dicabut.
Berbeda dengan kasus dirinya, ternyata adiknya memiliki
penyakit jantung bawaan, saya lupa stadium berapa. Jadi saya
meminta orang tuanya untuk membawanya dulu ke dokter jantung
untuk memeriksakan kondisi jantung anaknya dan menyuruh
dokternya untuk membuat surat pernyataan kalau si anak bisa
menjalani pencabutan gigi. Agar nanti kalau terjadi apa-apa
Beliau menyampaikan sejauh ini belum ada pasien anak yang begitu
berkesan ketika dilayani, karena pada umumnya masalah terbesar dalam
menghadapi pasien anak adalah rasa takutnya, hanya yang membedakan adalah
besar/kecilnya rasa takut tersebut. Namun ketika ditanyakan pengalaman yang
paling berkesan dalam melayani pasien anak, beliau mengatakan ketika melayani
pasien anak yang memiliki penyakit jantung yang sangat berbahaya jika orang
tuanya tidak memberitahukannya terlebih dahulu.
“Ada juga beberapa orang tua yang saya jumpai mempunyai sifat
yang tempramen. Dia mau memukul atau berlaku kasar kepada
anaknya karena tidak sabar untuk membujuk anaknya. Tetapi
sebenarnya sih tidak bisa, kalau memaksa anak dengan
menggunakan kekesaran, sama saja rasa takut yang ada dalam
dirinya tidak akan hilang. Bayangkan saja, anak yang sedang
ketakutan justru malah dipukuli, bukannya diam malah si anak
tambah menangis.”
Ada beberapa orang tua yang tidak sabar dalam membujuk anaknya,
sehingga mendorong mereka tidak segan berlaku kasar di depan dokter gigi.
Padahal drg. Martha sangat tidak setuju dengan sikap orang tua yang seperti itu,
karena bukannya dapat menghilangkan rasa takut anak, tapi justru membuat rasa
takut anak semakin besar. Tak heran jika pasien anak tersebut akan menangis
lebih keras lagi ketika ia di pukul oleh orang tuanya, karena ia merasa terancam.
Gigi yang sedang dalam keadaan sakit tidak bisa dipaksa untuk dicabut,
biasanya drg. Martha akan memberikan obat penghilang rasa sakit terlebih dahulu
kepada pasien anaknya agar kemudian ketika giginya sudah tidak sakit lagi dapat
dilakukan tindakan medis. Peneliti melihat bahwa dokter ini, kurang banyak
menerapkan komunikasi terapeutik dalam proses pengobatan terhadap pasien
anaknya. Beliau juga mengakui bahwa ia sering menakut-nakuti anak dengan
mengatakan jika tidak dibersihkan maka akan ada monster yang keluar dari gigi
yang busuk tersebut.
Kasus Kedua :
Nama Informan : drg. Christy Nora Sembiring
Usia : 34 tahun
Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 193 A Medan
Ternyata perawat tersebut memberitahukan saya bahwa dokter gigi yang bertugas
hari ini adalah drg. Christy dan beliau belum datang, sehingga perawat tersebut
meminta saya untuk menunggu dokter diruangan tunggu. Tetapi karena
perawatnya terlihat sangat sibuk membersihkan ruangan tersebut sehingga peneliti
merasa segan untuk bertanya-tanya kepadanya.
Setelah menunggu beberapa menit, pada pukul 16.10 drg. Christy datang
ke tempat prakteknya. Ketika melihat beliau datang, akhirnya saya pun
menemuinya diruangan dokter, dan menjelaskan maksud dan tujuan saya datang
ke tempat prakteknya. Dan berhubung pada saat itu belum ada pasien yang
datang, sehingga peneliti dapat langsung melakukan wawancara dengan dokter
gigi tersebut.
Peneliti pun memulai wawancara dengan menanyakan beberapa informasi
mengenai dokter tersebut. Dari wawancara dengan informan, peneliti mengetahui
bahwa beliau sudah membuka tempat praktek bersama tersebut sejak pertengahan
tahun 2011. Dan untuk saat ini, beliau hanya bekerja di tempat praktek ini, tidak
ada tempat yang lain, karena mengingat usia anaknya yang masih balita, sehingga
membuat beliau merasa belum tega untuk meninggalkannya dirumah dalam
jangka waktu yang lama. Karena alasan ini jugalah beliau memutuskan untuk
membuka tempat praktek bersama, jika membuka praktek bersama beliau bisa
membagi waktunya dengan rekan kerjanya sehingga beliau tidak harus masuk
kerja setiap hari.
Drg. Christy juga menceritakan bahwa rekan kerjanya dalam praktek
bersama ini adalah teman dekatnya dan teman satu stambuk beliau ketika masih
kuliah di FKG USU, sehingga ketika rekannya mengajak beliau untuk membuka
praktek bersama, beliau pun langsung menyetujuinya. Dalam membagi pasien di
tempat praktek bersamanya, mereka memiliki kesepakatan bersama yaitu untuk
berbagi hari kerja, dimana drg. Christy masuk setiap hari Senin dan Jumat
sedangkan rekannya masuk setiap hari Selasa, Rabu, dan Kamis. Beliau juga
sering memberitahukan kepada pasiennya mengenai jadwalnya itu, jadi jika ada
pasien yang ingin dilayani oleh drg. Christy haruslah datang pada hari Senin atau
Jumat. Beliau juga mengatakan bahwa mereka tidak pernah mempermasalahkan
mengenai pembagian pasien, siapa yang sedang dinas di praktek maka dialah yang
berkewajiban untuk melayani pasien yang datang, kecuali pasien orto (behel).
“Selama ini sih tergantung anaknya, gak semua takut, kadang ada
anak yang langsung mau buka mulut, namun ada yang jangan kan
disuruh buka mulut, untuk masuk keruangan ini aja dia ga berani.
Sebagian besar sih rasa takutnya dipengaruhi oleh orang tua dan
lingkungannya. Banyak orang tua ketika anaknya susah untuk
dibilangin atau bandel lalu mengancamnya akan dibawa ke dokter
untuk disuntik. Jadi si anak akan ingat terus kalau dokter itu
adalah sosok yang sangat menyeramkan karena dia mempunyai
jarum suntik. Bahkan kadang bisa membuat anak trauma dengan
dokter. Namun begitu, masih ada juga orang tua yang bijaksana
dalam memberikan pengertian akan pentingnya menjaga
kesehatan gigi dan mulut bagi anak-anaknya. Mereka juga
menyadarkan anaknya tentang peran dokter gigi dalam membantu
menjaga kesehatan giginya dan bukan menyakitinya. Sehingga
anak akan merasa dokter bukanlah sosok yang menyeramkan
tetapi akan membantunya dalam merawat giginya. Hal yang
berpengaruh berikutnya adalah lingkungan, misalnya ada teman
atau saudara yang sudah pernah ke dokter gigi sebelumnya dan
ternyata mengalami pengalaman yang buruk. Dan ketika si anak
mendengar pengalaman yang kurang menyenangkan tersebut,
maka ia akan dengan mudah mempercayainya dan bahkan dapat
memperbesar rasa takutnya kepada dokter gigi.”
Drg. Christy menjelaskan bahwa sebenarnya tidak semua anak takut ketika
berhadapan dengan dokter gigi, ada anak yang gampang diajak bekerja sama
namun ada juga anak yang sangat susah untuk diajak bekerja sama. Hal yang
sangat berpengaruh dalam rasa takut anak tersebut menurut beliau adalah pola
asuh orang tua dirumah yang sering menakut-nakuti anaknya dengan mengancam
akan dibawa kedokter supaya di suntik ketika anaknya melakukan kesalahan di
rumah dan juga pengaruh dari lingkungan anak itu sendiri, yaitu kakak, abang,
adik, teman sepermainannya yang sudah pernah mengalami pengalaman buruk
dengan dokter gigi. Rasa takut ini termasuk ke dalam rasa takut subjektif yaitu,
rasa takut yang disebabkan oleh perasaan dan sikap yang dibisikkan atau didengar
dari orang lain tanpa mengalami sendiri sebelumnya (Diktat Bahan Kuliah Ilmu
Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara,
2014 : 20).
“Pernah sih kemaren itu ada orang tua yang gak sabaran untuk
ngebujuk anaknya, dia sampai menampar, menjewer dan
memukul kepala anaknya. Padahal sebenarnya anaknya bukan
tipe yang sangat susah untuk dibujuk, saya yakin meskipun
tadinya tidak dipukul oleh orang tuanya, pasti si anak akan mau
membuka mulutnya. Tetapi karena orang tuanya tempramen, saya
merasa sangat kasihan dengan anak tersebut.”
Salah satu hal yang juga sering terjadi pada saat berlangsungnya proses
perawatan gigi anak adalah sikap orang tua yang dapat merusak psikologis anak.
Anak yang sedang ketakutan jika dimarahi dan dipukul maka akan membuat rasa
takutnya semakin besar.
sudah kelas berapa dan sekolah dimana. Tidak jarang juga saya
memuji kegantengan dan kecantikannya, terkadang saya juga
memuji barang-barang yang dipakainya seperti baju, sepatu, dan
lain-lain. Intinya sih harus tetap sabar dalam menghadapinya,
harus dibujuk-bujuk. Sesuai dengan pelajaran saya dulu, kalau
pasien anak itu tidak boleh ditakut-takutin atau dibohongi karena
bisa menimbulkan rasa trauma dalam diri anak tersebut. Saya
hanya menggunakan kata-kata sewajarnya saja, tidak
menggunakan kata-kata monsters atau hal yang menakutkan
lainnya, paling hanya menggunakan kata-kata kuman dan
penyakit. Dan dalam penggunaan alat-alat medis pun harus hati-
hati dalam menghadapi anak yang penakut, baiknya alat-alat
seperti jarum suntik, tang pencabut gigi disembunyikan dan
jangan sampai terlihat oleh anak. Dan kalau saya biasanya
menyembunyikannya di tempat yang jauh dari kursi duduk pasien
dan jika ingin digunakan maka saya akan memegang alat tersebut
tetapi menaruh tangan saya dipunggung jadi si anak tidak akan
dapat melihatnya. Saya juga sering membujuk anak-anak dengan
menggunakan kalimat seperti ini, ‘kamu kan ganteng/cantik masa
mau punya gigi yang rusak, nanti malu dong kalau teman-teman
mainnya tahu kamu punya gigi busuk?’. Jika dengan seperti
itupun dia tetap tidak mau maka saya akan menyuruh orang
tuanya untuk memegang tubuh pasien anak itu agar dapat
dilakukan perawatan giginya. Jika hal itu pun tidak dapat
dilakukan, maka saya akan meminta orang tuanya supaya
membawanya kerumah dulu dan membujuknya sehingga jika
dilain waktu ia sudah mau dirawat hendak membawanya lagi
kembali kesini.”
maka tidak akan sakit lagi (karena sudah dalam keadaan kebas)
dan jika sudah diobati maka kuman penyakitnya akan mati dan
tidak akan menganggu kesehatan gigi yang lain. Dengan begitu
anak menjadi mau diajak bekerja sama dan kemudian dia tidak
akan takut lagi berhadapan dengan dokter gigi.”
“Sejauh ini sih ngga ada hambatan yang begitu besar ya. Mungkin
rasa kesal pasti ada karena kadang habis juga kesabaran dalam
membujuk pasien anak ini. Tapi karena dulunya, saya juga
seorang guru sekolah minggu jadi saya lebih sabar dan sudah
terbiasa dalam membujuk anak. Faktor penghambat lainnya,
kadang kesabaran saya habis juga untuk membujuk-bujuk anak.
Yang menjadi faktor yang paling berpengaruh dalam hambatan
terapeutik ini biasanya dari pasien anaknya yang sangat susah
untuk dibujuk-bujuk. Kadang selama sepuluh sampai lima belas
menit saya membujuk-bujuk anak tersebut, namun jika sudah
dibujuk pun tetap tidak mau bekerja sama maka saya akan
menyuruh orang tua untuk membawanya pulang dulu biar dibujuk
dirumah, nanti lain waktu kalau anaknya sudah berani dan mau
dibujuk barulah datang kembali kesini.”
“Ketika anak tidak mau diajak bekerja sama maka saya akan
membujuk-bujuk anak tersebut, jika sudah dibujuk pun tetap tidak
mau maka saya menggunakan metode ‘modelling’ yaitu dengan
mencontohkannya ke orang lain ntah ke kakaknya atau ke
adeknya yang lebih berani. Kalau tidak bisa juga kadang saya
menyuruh orang tuanya untuk memegang anaknya. Sejauh ini sih
kondisi fisik saya tidak berpengaruh, karena saya tidak mau asal-
asalan dalam melayani pasien anak, saya menganggap bahwa
pasien itu adalah anak saya jadi sebisa saya, saya akan berikan
Universitas Sumatera Utara
Kasus Ketiga :
Informan terdiri dari:
Nama Informan : drg. Juli Perangin-angin
Usia : 34 tahun
Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 193 A Medan
Informan ketiga ini memiliki tempat praktek yang sama dengan informan
kedua, yang membedakannya adalah hari kerjanya. Beberapa hari setelah selesai
mewawancarai informan kedua yaitu pada tanggal 4 Februari 2015, peneliti
akhirnya memutuskan untuk datang kembali ke tempat praktek yang sama tetapi
mewawancarai dokter gigi yang berbeda.
Berbeda kondisi dengan informan kedua, ketika peneliti sampai di tempat
praktek drg. Juli, peneliti melihat sudah ada dua orang pasien yang mengantri di
ruang tunggu, dan beliau sedang sibuk melayani pasien di ruang kerjanya. Oleh
karena itu, peneliti memutuskan untuk menunggu beliau menuntaskan
pekerjaanya.
Pada pukul 17.30 beliau selesai melayani pasiennya sehingga meminta
perawatnya untuk menyuruh peneliti masuk ke dalam ruang kerjanya.
Sesampainya di dalam, peneliti langsung menjelaskan apa tujuan peneliti datang
“Pasien anak yang datang kesini sih beragam ya, ada yang takut
namun kadang ada yang santai aja datang kesini. Kebanyakan sih
yang mempengaruhi rasa takut itu adalah rasa trauma yang pernah
dialami sebelumnya maka ia akan takut setiap bertemu dengan
dokter gigi. Faktor yang mempengaruhi berikutnya adalah
informasi yang dia terima tentang dokter gigi ataupun berobat
gigi yang membuat dia takut untuk datang kesini. Ntah bukan dia
yang trauma tetapi orang tua, jadi orang tuanya mungkin sering
menakut-nakutinya, banyak orang tua mengancam akan
membawa anaknya ke dokter biar disuntik ketika anak tersebut
nakal. Jadi si anak sudah punya image kalau ke dokter itu
menyeramkan termasuk ke dokter gigi. Kalau faktor umur sih
menurut saya tidak terlalu mempengaruhi rasa takut anak, karena
banyak anak yang sudah kelas 4 SD tetapi masih takut aja sama
dokter gigi.”
Beliau mengakui bahwa ada beberapa orang tua yang tidak sabar ketika
anaknya susah untuk dibujuk, terkadang mereka tidak segan memukul anaknya di
depan beliau. Hal ini diakui beliau dapat mengganggu kenyamanannya dalam
mendekatkan diri dengan pasien, sehingga terkadang beliau mengingatkan orang
tua tersebut agar tidak memukul anaknya.
anak tersebut bisa dibujuk atau tidak. Tetapi setiap anak pasti
akan saya bujuk-bujuk agar melawan rasa takutnya. Memang
sebagian anak berhasil tetapi ada juga beberapa yang tidak
berhasil dibujuk, jadi ketika anak tersebut tidak mau melakukan
perawatan gigi meskipun sudah dibujuk-bujuk maka saya tidak
akan memaksa anak tersebut. Saya akan meminta orang tuanya
agar membawanya dulu ke rumah, agar dia bisa menenangkan
anaknya terlebih dahulu, karena memang peran orang tua juga
sangat penting dalam menghilangkan rasa takut anak terhadap
dokter gigi. Dalam memotivasi pasien anak, saya selalu
mengatakan kalau tindakan yang saya lakukan tidak akan
menyakiti mereka. Dan saya mengatakan kepada anak tersebut
jika giginya tidak diobati maka dapat membuat kuman
penyakitnya bertambah banyak, tetap jika diobati maka giginya
akan bersih dari kuman penyakit sehingga tidak akan sakit lagi.
Manfaat yang saya rasakan setelah melakukan komunikasi
terapeutik adalah anak yang tadinya datang dengan perasaan
takut, menangis ataupun terkadang marah tetapi setelah saya
bujuk-bujuk akhirnya dia mau bekerja sama. Ada juga beberapa
pasien anak yang saya jumpai, malah dipertemuan berikutnya
sudah tidak takut lagi bertemu dengan saya, malah ada yang
menyuruh orang tuanya untuk menunggu diluar.”
Dari jawaban yang diberikan oleh drg. Juli, peneliti dapat melihat
bagaimana komunikasi terapeutik sangat diperlukan oleh dokter gigi dalam
menangani pasien anak. Anak cenderung lebih sensitif dibandingkan pasien
dewasa. Beliau dengan sabarnya berusaha untuk tidak terburu-buru dalam
melakukan tindakan medis terhadap pasien anak, semampunya beliau berusaha
untuk mendekatkan diri dengan anak yaitu dengan menimbulkan rasa nyaman
dalam diri anak terhadap dokter gigi.
“Sejauh ini sih saya tidak merasa kesulitan. Semampu saya, saya
akan mencoba mengerti mereka karena dengan begitu saya bisa
lebih sabar dalam membujuk-bujuk mereka. Terkadang yang
menjadi penghambatnya adalah kesabaran saya. Apalagi dalam
waktu setengah jam sudah membujuk anak tetapi dia tetap tidak
mau diajak bekerja sama, dan kadang saya melihat sudah banyak
pasien yang lain mengantri maka kadang kesabaran saya juga
sudah habis. Yang sering saya lakukan untuk mengatasi hambatan
tersebut adalah dengan lebih bersabar lagi dalam menangani
pasien anak tersebut. Dengan mendekatkan diri dengannya dan
membujuk-bujuknya. Karena jika saya tidak bersabar dalam
membujuknya dapat menimbulkan rasa trauma dalam dirinya”.
Kasus Keempat :
Informan terdiri dari :
Nama Informan : drg. Ida Kristina
Usia : 50 tahun
Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 180 P. Bulan,
Simpang Kwala, Medan
Kemudian saya pun meminta izin untuk mewawancarai drg. Ida Kristina
terlebih dahulu. Setelah melakukan wawancara dengan beliau, peneliti akhirnya
mengetahui beberapa informasi mengenai tempat praktek mereka. Drg. Ida
Kristina ternyata sudah membuka praktek bersama rekannya mulai tahun 2005
tetapi bukan di daerah ini. Pada tahun 2009lah mereka membuka tempat praktek
disini. Selain bekerja di tempat praktek ini, beliau juga dinas di puskesmas Desa
Singa. Beliau juga menceritakan alasan mengapa ia membuka tempat praktek
bersama. Awalnya, ia dan drg. Erni mengikuti tes pegawai negeri tetapi tidak
lulus, dan mengingat umur mereka juga yang sudah melewati batas umur tertua
untuk mengikuti tes CPNS maka mereka memutuskan untuk membuka tempat
praktek bersama daripada tidak ada kerjaan sama sekali. Lalu beberapa saat
kemudian, pemerintah ternyata membuka jalur penerimaan CPNS melalui jalur
honor, sehingga pada akhirnya mereka berdua lulus menjadi PNS.
Perkenalan diantara keduanya dimulai pada saat beberapa tahun lalu
dimana mereka sama-sama PTT di Kabupaten Karo, drg. Ida di Tiganderket dan
drg. Erni di Simpang IV. Urusan dinas mengharuskan mereka untuk sering datang
ke kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Karo, karena sering bertemu akhirnya
mereka menjadi dekat sehingga pada akhirnya memutuskan untuk membuka
tempat praktek bersama.
Peneliti melihat ada hal yang unik dalam pasangan rekan kerja ini. Jika
kebanyakan dokter gigi yang praktek bersama membagi pasien mereka
berdasarkan hari kerja mereka, sedangkan kedua dokter gigi ini membagi
pasiennya secara bergantian. Mereka berdua akan masuk setiap hari kerja, dan jika
ada pasien yang datang maka mereka secara bergantian akan melayani pasien
tersebut. Hasil yang mereka dapatkan dalam satu hari, akan dikumpulkan di satu
laci dan kemudian jika waktu untuk menutup praktek sudah dekat maka mereka
membagi sama rata hasil yang diperoleh selama satu hari tersebut. Peneliti melihat
rekan kerja ini jauh lebih kompak jika dibandingkan dengan pasangan dokter gigi
praktek bersama lainnya. Karena alasan kekompakan ini jugalah mereka tidak
membutuhkan bantuan perawat dalam praktek mereka, mereka saling bahu-
membahu dalam urusan praktek, mulai dari membersihkan tempat praktek hingga
melayani pasiennya.
Universitas Sumatera Utara
sering dihadapi beliau adalah gigi berlubang dan masalah pergantian gigi susu
dengan gigi tetap. Kesadaran orang tua dalam memelihara kesehatan gigi anaknya
sangat dibutuhkan agar perawatan gigi anak dapat optimal. Membawa anak ke
dokter gigi dalam keadaan sakit tentu lebih merepotkan bagi dokter gigi
dibandingkan membawa anak dalam keadaan yang tidak sakit. Karena anak yang
sedang sakit gigi cenderung lebih sensitif dan susah diajak berbicara dibandingkan
dengan anak yang tidak sakit gigi.
“Pernah tetapi bukan sering. Ada beberapa orang tua yang mau
memukul, dan mencubit karena mereka tidak sabar. Jadi, saya
biasanya akan menyuruhnya berhenti memukul atau mencubit
anaknya, lebih baik dibawa ke rumah dulu, kalau memang tidak
mau lebih baik di bujuk daripada dikasari, kasian kan kalau anak-
anak dipukul dan dicubit hanya karena orang tua yang kurang
sabar.”
Beliau juga mengakui terkadang ada orang tua pasien anak yang kurang
bersabar dalam membujuk-bujuk anaknya. Anak yang takut akan dokter gigi
harusnya diberikan penjelasan secara pelan-pelan agar ia tidak takut lagi, tetapi
jika langsung dipukul atau dimarahi bisa saja membuat anak semakin merasa
terancam sehingga membuat rasa takutnya semakin besar.
akan membuat anak mau menahan rasa takutnya demi mendapatkan hadiah dari
orang tuanya.
“Saya sering mengatakan kalau gigi yang rusak itu dipenuhi oleh
kuman penyakit dan bisa merusak gigi yang lainnya juga, jadi
kalau tidak di bersihkan kumannya maka bisa merusak gigi yang
lainnya. Sering sekali saya menjelaskan kepada anak mengenai
apa yang terjadi dengan giginya tetapi dengan menggunakan
bahasa anak agar dapat mudah dimengerti olehnya. Hal ini saya
harapkan dapat memotivasi dia supaya mau melakukan perawatan
dan mengobati gigi yang bermasalah. Manfaat yang saya rasakan
setelah melakukan komunikasi terapeutik yaitu dapat mengurangi
rasa takut anak. Karena sering sekali, anak yang sewaktu datang
kesini dipenuhi oleh perasaan takut dan marah, tetapi karena
merasa nyaman dengan pendekatan yang kami lakukan dan
merasa tidak terlalu disakiti dalam proses pengobatannya maka
dalam kunjungan berikutnya, anak tersebut tidak akan takut lagi
ketika diajak pergi ke dokter gigi.”
Kasus Kelima :
Informan terdiri dari :
Nama Informan : drg. E. Erni Ginting
Usia : 44 tahun
Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 180 P. Bulan,
Simpang Kwala, Medan
tanggal 6 Februari 2015. Mereka berdua selalu bersikap ramah kepada peneliti,
dan menjawab pertanyaan peneliti dengan senang hati.
Hampir sama dengan yang diceritakan oleh drg. Ida, mereka sudah
membuka praktek dari tahun 2005 tetapi tidak di tempat ini. Pada tahun 2009lah
mereka membuka tempat praktek disini. Drg. Erni dinas di Puskesmas Munthe.
Dan ketika menanyakan beberapa pertanyaan seperti alasan mengapa ia membuka
tempat praktek bersama, bagaimana ia mencari rekan sekerja dalam praktek
bersamanya, dan bagaimana cara pembagian pasien mereka, jawaban beliau sama
seperti jawaban rekan kerjanya drg. Ida.
“Tidak menentu, terkadang tidak ada dan kadang bisa pasien anak
semua yang datang dalam satu hari itu.”
Beliau menjelaskan bahwa tidak semua pasien anak yang datang ke tempat
prakteknya takut dengan dokter gigi, ada juga beberapa anak yang mau diajak
bekerja sama. Ada dua hal yang mempengaruhi rasa takut dan berani anak
tersebut menurut beliau, yaitu pertama pola asuh orang tua yang sering
mengancam akan membawanya ke dokter dan disuntik jika anaknya nakal dan
tanpa disadari oleh orang tua perkataan tersebut tertanam di dalam pikiran anak,
sehingga membuat anak selalu menganggap dokter gigi itu sebagai sosok yang
sangat menyeramkan. Faktor kedua adalah informasi yang sering diterima oleh
anak dari orang lain misalnya kakak/adik, teman sepermainan yang memiliki
pengalaman buruk ketika berobat gigi membuat anak juga dengan mudan percaya
akan informasi tersebut. Rasa takut ini sering disebut dengan rasa takut subjektif,
yaitu jenis rasa takut yang paling sukar untuk mengatasinya (Diktat Bahan Kuliah
Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera
Utara, 2014 : 20).
Beliau mengatakan bahwa kasus gigi pasien anak yang sering ditangani
beliau adalah kasus gigi berlubang yang sudah menimbulkan rasa sakit.
Mengingat umur rata-rata pasien yang datang ke tempat praktek beliau adalah tiga
sampai sepuluh tahun, yang pada umumnya belum dapat dengan maksimal
menjaga kesehatan gigi dan mulutnya sendiri, disinilah peran orang tua sangat
dibutuhkan. Orang tua perlu mengontrol makanan anaknya agar tidak memakan
makanan yang banyak mengandung gula, selain itu beliau juga mengatakan
bahwa orang tua hendaknya selalu mengingatkan anak untuk rajin menyikat gigi
minimal dua kali sehari.
Drg. Erni juga mengatakan bahwa kebanyakan pasien anak yang datang ke
tempat beliau memiliki rasa takut yang normal, sehingga beliau masih bisa
menguasai pasien anaknya dengan melaksanakan komunikasi terapeutik.
“Iya terkadang ada beberapa orang tua yang tidak sabar dalam
membujuk anaknya, sehingga tidak segan memukul, mencubit
ataupun mengasari anaknya di depan saya. Biasanya saya akan
meminta orang tua tersebut agar tidak bersikap kasar kepada
anaknya, karena saya merasa kasihan. Lebih baik dibawa ke
rumah dulu dan dibujuk supaya anaknya bisa merasa lebih
tenang.”
Agar perawatan gigi anak dapat dilakukan secara optimal, bukan hanya
dokter gigi saja yang dituntut untuk bersabar, para orang tua juga harus ikut
bersabar dalam menghadapi anaknya. Anak yang sedang dalam rasa ketakutan
lebih baik dibujuk-bujuk daripada harus dimarahi dan dipukul. Hal ini dapat
membuat anak semakin merasa diancam, dan bisa saja membuat anak trauma
dengan proses berobat giginya.
perawatan di hari itu juga, tetapi tetap akan kami berikan obat
pengurang rasa sakit.”
Bahkan dalam kondisi gigi yang sudah sangat kritis pun beliau tidak mau
terburu-buru dalam melakukan tindakan medis. Terlebih dahulu beliau akan
memberikan obat peringan rasa sakit, agar dikemudian hari ketika rasa sakit itu
sudah berkurang barulah tindakan medis dapat dilakukan. Beliau juga
menjelaskan bahwa jika dalam keadaan yang sakit, gigi tidak boleh dicabut atau
ditambal karena dapat menyebabkan infeksi di bagian sarafnya, untuk itu hal yang
dilakukan beliau pada saat gigi anak sakit adalah dengan memberikannya obat
penghilang rasa sakit.
dokter gigi di dalam pikiran anak yang tadinya menyeramkan, kini berubah
menjadi sosok yang ramah dan bersahabat.
Kasus Keenam :
Nama Informan : drg. Bernadetta Sembiring
Usia : 30 tahun
Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 548 , Pasar 1,
Medan
waktu kosongnya. Mengingat jadwal beliau yang setiap hari Rabu dan Kamis
dinas PTT di Kuta Buluh, sehingga untuk hari Senin, Selasa dan Jumat beliau
bekerja di praktek bersamanya. Berhubung karena drg. Martha adalah bibi
kandungnya, yaitu adik kandung dari ayahnya membuat mereka dapat langsung
bekerja sama dalam melayani pasien anak.
Kesepakatan mereka dalam membagi pasiennya, drg. Martha khusus
melayani pasien dengan kasus ortho ataupun ingin merapikan gigi, sedangkan
pasien umum seperti penambalan, pencabutan, termasuk pasien anak diserahkan
kepada drg. Berna.
Drg, Berna menjelaskan bahwa tidak semua pasien yang datang ke tempat
praktek beliau merasa takut dengan dokter gigi, ada juga anak yang sudah terbiasa
bertemu dengan dokter gigi. Menurut beliau, sangatlah wajar jika anak takut
kepada dokter gigi karena orang dewasa saja terkadang merasa takut ketika harus
melakukan perawatan gigi.
Hal yang mempengaruhi rasa takut tersebut menurut drg. Berna adalah
pengajaran orang tua dirumah, ada beberapa orang tua yang sering mengancam
akan menyuntik anaknya ke dokter jika anaknya susah diatur. Tanpa disadari,
orang tua tersebut sudah menanamkan image buruk tentang dokter kepada
anaknya. Hal kedua yang juga mempengaruhi adalah belum banyak orang tua
yang dengan bijaksana mau memperkenalkan dunia kedokteran gigi kepada
anaknya. Jika dunia kedokteran gigi sudah diperkenalkan kepada anak sebelum ia
merasakan sakit gigi, maka hal itu dapat membuat anak dapat mengenal alat-alat
medis yang digunakan sehingga ia tidak akan merasa takut dengan dokter gigi.
Kebanyakan kasus gigi anak yang datang ke tempat praktek drg. Berna
adalah gigi berlubang dan pencabutan gigi susu yang sudah goyang. Mengingat
rata-rata umur anak yang datang adalah tiga sampai sepuluh tahun, dimana pada
masa itulah biasanya anak mengalami pergantian gigi susu menjadi gigi tetap.
Tindakan medis yang biasa dilakukan oleh beliau adalah mencabut gigi susu yang
sudah goyang.
Dalam melayani pasien anak yang berkebutuhan khusus pun seperti autis,
beliau selalu berusaha untuk tidak menyakiti pasiennya pada kunjungan
pertamanya, karena hal itu dapat menimbulkan rasa trauma dalam diri anak
tersebut. Untuk menghindari resiko dalam melayani pasien anak autis, beliau
langsung memberikan rujukan kepada dokter gigi spesialis pedodonsia yang lebih
mengerti dan memahami bagaimana cara menghadapi anak-anak berkebutuhan
khusus seperti itu.
Dalam melayani pasien anak yang susah dibujuk pun beliau tidak pernah
memaksakan agar anak tersebut tetap menjadi pasiennya, seperti pasien anak yang
datang dari Desa Lau Baleng, ia justru memberikan nama teman dokter giginya
yang lebih dekat dengan tempat tinggal pasien agar pasien dapat lebih mudah
bertemu dengan dokter tersebut. Beliau tidak pernah memaksakan bahwasanya
anak harus mau diperiksa olehnya, jika anak tetap tidak mau dibujuk maka ia akan
menyerahkannya kepada orang tuanya.
Begitu juga dengan anak, kadang ada tipe anak yang dikasari dulu
baru mau nurut, kalau dibujuk-bujuk malah makin merengek-
rengek”.
Beliau mengaku sudah pernah bertemu dengan orang tua yang tempramen
sebelumnya, tetapi di satu sisi beliau juga tidak sepenuhnya menyalahkan orang
tua ketika ia marah dan mencubit anaknya, karena ada sebagian anak yang
memang harus dimarahi terlebih dahulu sehingga kemudian ia mau mengikuti
perkataan dokter gigi meskipun sambil menangis.
Pada masa pendekatan, hal yang paling diperlukan oleh dokter gigi adalah
sikap yang ramah, menyenangkan dan bersahabat. Jika anak merasa nyaman
bercerita dengan dokter giginya, hal itu membuktikan bahwasaya dokter gigi
sudah berhasil mendekatkan diri dengan anak. Hal selanjutnya yang perlu
dilakukan oleh dokter gigi pada masa kunjungan pertama anak adalah
memperkenalkan semua alat medis yang digunakan beserta dengan fungsinya
tetapi haruslah menggunakan bahasa anak-anak, agar ia dapat lebih mudah
mengerti. Dokter gigi harus mampu bersabar dalam menjawab semua pertanyaan
yang disampaikan oleh anak karena disatu sisi dengan bercerita, dokter gigi dapat
mengalihkan perhatian anak.
Dengan memberikan obat peringan rasa sakit pada saat anak mengalami
rasa sakit gigi bisa jadi membuat anak merasa dokter gigi adalah sosok orang
yang baik. Karena pada saat merasakan sakit gigi, anak cenderung lebih sensitif
jadi ketika dalam keadaan sakit dokter gigi langsung melakukan tindakan medis
dapat membuat anak merasa trauma dengan dokter gigi tersebut.
Salah satu cara yang juga bisa dilakukan dokter gigi untuk menimbulkan
semangat dalam diri anak adalah dengan menggali cita-cita yang ada di dalam diri
anak tersebut. Cita-cita adalah hal yang ingin dicapai oleh anak, sehingga jika kita
meminta dia melakukan sesuatu agar dia kemudian dapat menggapai cita-citanya,
maka kemauan anak untuk mengikuti petunjuk dokter gigi akan semakin besar.
Ada beberapa orang tua yang mengaku sulit untuk menyuruh anaknya
rajin menyikat gigi. Oleh sebab itu, mereka meminta dokter gigi yang
mengatakannya kepada anak karena anak cenderung lebih mendengarkan
perkataan dokter dibanding perkataan orang tuanya sendiri.
Setelah melakukan komunikasi terapeutik, selain dapat menjalin hubungan
yang harmonis dengan pasiennya, dokter gigi juga dapat mengubah sikap dan
prilaku pasiennya. Rasa takut yang dimiliki anak dapat diubah menjadi perasaan
yang nyaman dan bersahabat setiap bertemu dengan dokter gigi. Tentunya
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dalam sepuluh menit, kini selesainya lebih lama lagi karena sebelum
melakukan tindakan beliau harus menjelaskan terlebih dahulu kepada anak
mengenai alat dan obat yang ia gunakan.
Meskipun ada beberapa hambatan yang beliau temukan pada saat
melakukan komunikasi terapeutik kepada pasien anak, namun beliau masih
mempunyai cara yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Beliau sangat
berusaha semaksimal mungkin untuk melayani pasien anaknya.
Kasus Ketujuh :
Nama Informan : drg. M. Ridwan Muchlis
Usia : 24 tahun
Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 2, Rumah Sakit Siti
Hajar, Medan.
Dokter gigi ini adalah informan ketujuh yang peneliti wawancarai, yaitu
pada tanggal 12 Februari 2015. Rumah Sakit Siti Hajar merupakan lokasi
penelitian pertama yang peneliti kunjungi, namun karena pada saat itu ada salah
seorang pekerja kliniknya yang menyuruh peneliti untuk meneliti di praktek
dokter gigi spesialis anak atau pedodonsia yaitu di tempat drg. Siti Salmiah Sp.
KGA maka peneliti menunda untuk melakukan penelitian di rumah sakit tersebut.
Pada kunjungan peneliti berikutnya ke Rumah Sakit Siti Hajar, peneliti
melihat pekerja di klinik tersebut tidak lagi sama dengan yang sebelumnya,
sehingga ketika peneliti meminta izin untuk penelitian di Rumah Sakit tersebut,
beliau langsung mengizinkannya dan menyampaikan kepada dokter yang sedang
bertugas di Rumah Sakit tersebut.
Pada saat peneliti masuk ke ruangan tempat dokter bekerja, peneliti
melihat ada dua orang dokter gigi yang sedang sibuk menangani pasiennya. Oleh
karena itu, peneliti memutuskan untuk menunggu di ruangan tunggu. Setelah
menunggu hampir satu jam, akhirnya ada seorang dokter yang memanggil peneliti
untuk masuk ke dalam ruangan prakteknya, dan beliau adalah drg. M. Ridwan
Muchlis. Peneliti pun meminta izin kepada dokter tersebut untuk melakukan
wawancara dengan beliau, dan beliau pun mengizinkannya.
Drg. Ridwan merupakan dokter gigi termuda yang peneliti wawancarai.
Beliau sudah bekerja di RS. Siti Hajar selama sebulan, mengingat bahwa beliau
merupakan mahasiswa FKG USU yang baru saja wisuda sehingga beliau belum
lama bertugas di tempat tersebut. Beliau sempat bekerja di tempat praktek
temannya di daerah setia Budi karena pada saat itu teman beliau sedang ada
urusan di luar kota, maka beliaulah yang menggantikan temannya untuk berdinas
di tempat praktek tersebut. Namun karena temannya sudah menyelesaikan
urusannya di luar kota maka kontrak mereka sudah berakhir.
Ketika ditanyakan mengenai alasan beliau membuka praktek bersama,
beliau mengatakan bahwa beliau masih sangat membutuhkan pengajaran dari
dokter gigi senior dalam melayani pasien. Dengan membuka praktek bersama
seperti ini beliau merasa lebih lega karena ada patner kerja yang bisa diajak untuk
berdiskusi.
Sebelum beliau ikut bergabung dengan dokter gigi yang ada di Siti Hajar,
sudah ada dua orang dokter gigi yang bertugas di tempat praktek tersebut. Namun,
ketika beliau mendapatkan tawaran untuk bekerja disana, beliau langsung
menyetujuinya karena beliau berharap dapat menambah pengalamannya dalam hal
melayani pasien gigi di tempat tersebut.
Mereka membagi waktu dinas di Siti Hajar, dimana drg. Ridwan bertugas
setiap hari Selasa dan Kamis. Dalam hal pembagian pasien, drg. Ridwan biasanya
lebih menangani pasien umum seperti penambalan, pembersihan karang gigi,
pencabutan, perawatan saraf, dan lain-lain. Sedangkan kalau urusan orto biasanya
diserahkan kepada dokter gigi yang lebih berpengalaman.
“Disini jarang sih pasien anak, kadang ada, kadang tidak ada.
Kadang cuma satu orang aja seminggu, kadang ada dua atau tiga
orang”.
Beliau juga menambahkan bahwa tidak semua pasien anak yang datang ke
tempat praktek beliau memiliki rasa takut kepada dokter gigi, ada beberapa anak
yang langsung mau ketika diperintah oleh dokter gigi untuk membuka mulutnya.
Hal yang mempengaruhi rasa takut tersebut menurut beliau adalah peralatan-
peralatan medis yang digunakan oleh dokter gigi yang mungkin bentuknya terlihat
asing dan menyeramkan bagi anak.
Kebanyakan kasus gigi anak yang dihadapi oleh drg. Ridwan adalah gigi
berlubang. Mengingat rata-rata umur pasien anak yang datang berkisar lima tahun
ke atas, dimana anak pada usia tersebut pada umumnya masih aktif dalam
mengkonsumsi susu botol. Kurangnya perhatian orang tua untuk menyuruh
anaknya menyikat gigi ataupun kumur-kumur setelah minum susu membuat sisa-
sisa gula yang ada di dalam susu berpotensi menimbulkan kuman-kuman yang
kemudian dapat merusak gigi anak.
Tindakan medis drg. Ridwan tergantung kepada umur anak tersebut, jika
ia melihat umur anak tersebut sedang pada masa pertumbuhan gigi yang baru
maka ia akan mencabutnya. Beliau tidak mau sembarangan dalam melakukan
tindakan medis kepada anak, karena dapat mempengaruhi pertumbuhan giginya di
masa mendatang.
Beliau juga mengaku belum pernah bertemu dengan orang tua pasien anak
yang tempramen. Berhubung karena masih beberapa orang saja pasien anak yang
sudah beliau tangani selama di praktek ini, maka beliau belum memiliki banyak
pengalaman dalam hal melayani pasien anak.
pasien anaknya tersebut. Hal ini dilakukan beliau agar anak merasa lebih nyaman
dengan dokter gigi.
Ketika menghadapi pasien anak yang krisis tetapi tidak mau dilakukan
pemeriksaan, maka drg. Ridwan akan memberikan obat pengurang rasa sakit
terlebih dahulu. Jika dalam beberapa hari sakitnya sudah mulai hilang, barulah
beliau melakukan tindakan medisnya. Dalam melayani pasien anak yang susah
dibujuk, peneliti melihat drg. Ridwan kurang dapat bersabar untuk mengambil
hati pasiennya. Beliau langsung menyerahkan keputusan kepada orang tuanya.
“Sulit sih tidak, tetapi dalam hal membujuknya ini yang sangat
menantang. Mengingat kasus gigi mereka juga masih sangat
sederhana, jadi dalam proses pengobatannya tidak akan memakan
waktu yang lama, tapi membujuknya ini yang sampai berjam-jam.
Yang menjadi penghambatnya adalah rasa takut anak yang sangat
besar kadang membuat saya sangat susah membujuknya. Apalagi
ketika menghadapi pasien anak yang nangis terus-terusan,
terkadang ketika saya ingin mengajaknya untuk berbicara pun
tidak kedengaran karena suara tangisannya yang begitu kuat. Oleh
karenanya aktor penghambat yang paling besar itu datangnya dari
anak yaitu rasa takut anak. Tapi kadang tidak bisa dipungkiri,
kesabaran saya dalam membujuk anak pun kadang menjadi faktor
penghambat komunikasi terapeutik dalam menghadapi pasien
anak. Yang saya lakukan dalam menghadapi pasien anak yang
terus-terusan menangis biasanya saya akan menyerahkannya
kepada orang tuanya, tetapi kalau anak yang masih bisa diajak
berkomunikasi pasti saya sangat berusaha untuk membujuknya
agar mau diajak bekerja sama. Dan kalau mengatasi hambatan
yang datangnya dari saya, saya lebih mengintrospeksi diri agar
lebih bisa membawakan diri dalam menghadapi pasien anak.”
Kasus Kedelapan :
Nama Informan : drg. Afrida Hanum Sitepu
Usia : 34 tahun
Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 2, Rumah Sakit Siti
Hajar, Medan.
Tidak semua pasien anak yang beliau layani takut dengan dokter gigi. Ada
beberapa anak yang justru sudah terbiasa berhubungan dengan dokter gigi. Pola
asuh orang tua di rumah yang sering mengancam akan membawa anaknya untuk
disuntik ke dokter dapat membuat anak selalu mengingat bahwa sosok dokter
adalah orang yang menyeramkan. Kesadaran orang tua sangat diperlukan dalam
hal ini, agar ia dapat memberikan penjelasan mengenai dokter gigi kepada
anaknya sehingga anak tidak akan takut lagi ketika bertemu dengan dokter gigi.
Rata-rata umur pasien anak yang sering beliau layani adalah lima tahun ke
atas. Anak yang masih dalam umur lima sampai sepuluh tahun banyak sekali yang
belum mnegrti bagaimana cara membersihkan gigi yang benar. Oleh sebab itu
meskipun mereka rajin menyikat giginya tapi karena belum paham bagaiman cara
yang benar, maka tetap saja kuman-kumannya akan tinggal dan merusak gigi anak
tersebut.
Peneliti melihat drg. Afrida tidak sembarangan dalam mengobati penyakit
pasiennya. Beliau terlebih dahulu melihat kondisi gigi pasien anaknya. Jika
memungkinkan untuk dirawat, maka beliau akan merawatnya. Namun jika
giginya sudah tidak pantas lagi dipertahankan dan gigi tetapnya akan segera
tumbuh maka beliau akan mencabut gigi yang bermasalah tersebut.
“Belum pernah sih, karena biasanya kalau pasien anak yang autis
gitu lebih baik dibawa ke spesialis pedodonsia (dokter gigi anak)
karena disana mereka lebih telaten lagi dalam menghadapi pasien
yang seperti itu. Karena mereka kan sudah belajar bagaimana
teknik-teknik khusus untuk menghadapi semua anak-anak,
pastinya mereka lebih berpengalaman dalam menghadapi pasien
yang seperti itu. Kalau anak normal kebanyakan sih sama
kasusnya, yaitu rasa takut. Selama ini saya belum pernah bertemu
dengan pasien yang kasusnya luar biasa sehingga membuat saya
berkesan. Sejauh ini sih sama-sama aja semuanya, ya kalau takut
dibujuk pelan-pelan sampai dia mau, tapi kalau tidak mau pun
saya akan meminta orang tuanya untuk datang lagi besok.”
Peneliti melihat bahwa drg. Afrida tidak mau mengambil resiko dalam
melayani pasien anak yang berkebutuhan khusus, seperti autis. Beliau lebih
memilih untuk meminta orang tua anak tersebut agar membawa anaknya ke
dokter gigi spesialis pedodonsia.
Dalam melayani pasien anak biasa, beliau juga tidak pernah memaksa agar
ketika anak itu datang ke tempat prakteknya harus dilakukan tindakan medis.
Ketika anak sudah dibujuk tetapi tetap tidak mau diperiksa, maka beliau akan
meminta orang tuanya membawanya dulu ke rumah dan datang kembali besok
harinya.
“Pernah sih, ada beberapa orang tua yang tidak segan memukul,
dan kadang membentak anaknya. Hal itu disebabkan karena
mereka tidak sabar membujuk anaknya. Tapi biasanya saya akan
mengingatkan orang tua tersebut agar jangan memaksa anaknya
dengan kekerasan seperti itu, karena jika dipaksa pun dapat
menyebabkan anak trauma dengan dokter gigi, apalagi kalau
traumanya bertahan sampai dia dewasa. Masalahnya akan
menjadi semakin rumit.”
sedikit ke tangannya, biar dia tahu gimana nanti rasanya jika obat
itu sudah ada dimulutnya. Dan kalau yang menggunakan suntik
bius, biasanya akan saya suntikkan sedikit ke jari jempol saya,
kan kulit di dekat kuku jari jempol tebal, jadi saya bilang aja, ini
lihat tangan ibu aja disuntik tidak sakit dan tidak berdarah, nanti
di giginya juga gitu, kayak di gigit semut api aja kok sakitnya,
cuma sedikit. Dan kalau menghadapi anak yang takut dengan bur,
biasanya saya akan member sedikit kuku saya, supaya
membuktikan kalau bur itu tidak akan menimbulkan darah di
dalam mulutnya. Faktor yang diperlukan dalam melayani pasien
anak tentunya kesabaran, karena kesabaran sangat mempengaruhi
berhasil tidaknya perawatan gigi anak. Kalau dokternya sabar
pasti bisa membujuk pasien anaknya. Kreativitas dokter yang
tinggi juga sangat diperlukan dalam menghadapi pasien anak
yang dapat mengalihkan perhatian anak, misalnya memeriksa gigi
sambil menonton film kartun dan anak diajak mengobrol tentang
film kartun tersebut, tentu anak akan lupa kalau giginya sedang
diobati dan mereka akan cenderung mengabaikan rasa sakitnya.”
Peneliti sangat tertarik dengan teknik yang digunakan oleh drg. Afrida.
Selain mengajak anak untuk berkenalan, beliau juga sering memberikan hadiah
kepada anak sebagai cara untuk mendekatkan diri dengan anak. Teknik beliau
yang mau mencontohkan suntikan ke kuku jempol tangannya membuat peneliti
merasa tertarik. Peneliti belum pernah mendapatkan teknik seperti ini dari dokter
gigi sebelumnya. Drg. Afrida juga mencontohkan cara kerja bur di kukunya, hal
ini beliau lakukan supaya dapat meyakinkan anak bahwa tindakan yang
dilakukannya tidak akan menyakiti anak.
Teknik beliau berikutnya adalah mengajak anak untuk menonton film
kartun sewaktu diobati membuat anak tidak sadar kalau giginya sedang diperiksa.
Peneliti sangat tertarik dengan kreativitas beliau dalam melayani pasien anak.
Ketika melayani pasien anak yang sudah kritis tetapi tidak mau diperiksa,
beliau akan memberikan obat penghilang rasa sakit terlebih dahulu. Peneliti
melihat bahwa drg. Afrida tidak mau memaksa pasien anaknya untuk diperiksa
ketika anak tersebut tidak mau diperiksa, karena beliau tidak ingin jika nantinya
muncul perasaan trauma dalam diri anak tersebut setiap kali berhubungan dengan
dokter gigi.
Beliau juga sering mengingatkan pasien anaknya agar rajin menyikat gigi
minimal dua kali dalam sehari. Kepedulian beliau terhadap pasien anaknya juga
terlihat ketika beliau menyempatkan waktunya dalam mengajarkan bagaimana
cara menyikat gigi yang baik dan benar dengan menggunakan model gigi.
Manfaat yang beliau rasakan setelah melaksanakan komunikasi terapeutik adalah
dapat mengubah sikap pasien anaknya sehingga sudah mau diperiksa dan tidak
takut lagi ketika berhubungan dengan dokter gigi.
“Kesulitan sih tidak, tapi kadang kalau anaknya tipe yang tidak
bisa dibujuk capek juga menghadapinya. Apalagi disini kan
dokter gigi umum dan bukan spesialis pedodonsia, jadi kalau saya
sudah liat banyak pasien yang mengantri terkadang saya menjadi
tidak sabar dalam membujuk pasien anak tersebut. Terkadang rasa
takut anak yang berlebihan membuat saya susah untuk melakukan
pendekatan dengan dia, karena jika diajak berkomunikasi pun dia
tidak akan mendengar yang ada hanya menangis sekeras
mungkin, jadi percuma saya ajak berbicara. Lagipula disini kan
tidak ada pernak pernik anak-anak seperti sticker kartun, mainan
gigi anak-anak, dan lain-lain, kalau yang spesialis pedodonsia
biasanya pasti lengkap semuanya, sampai kursi giginya pun
dibuat sarung yang bergambar kartun supaya anak tidak merasa
Universitas Sumatera Utara
asing lagi. Selain itu, terkadang kesabaran saya juga tidak stabil
dalam mengadapi pasien anak ini, apalagi jika sudah dibujuk-
bujuk sampai lima belas menit dan tetap tidak mau kadang
membuat saya menyerah dan menyuruh orang tuanya untuk
membawanya dulu ke rumah dan jangan dipaksa. Yang saya
lakukan untuk mengatasi faktor penghambat yang datang dari
saya adalah dengan menyabarkan diri dalam menghadapi pasien
anak tersebut, dan untuk mengatasi faktor penghambat dari anak-
anak biasanya saya akan membujuknya, tetapi jika dia tetap tidak
mau maka saya akan meminta orang tuanya untuk membawanya
kerumah dulu dan jangan dipaksa.”
Peneliti melihat bahwa drg. Afrida tidak merasa kesulitan dalam melayani
pasien anak. Hanya saja yang menjadi faktor penghambat beliau adalah kesabaran
yang terkadang akan berkurang jika melihat sudah banyak pasien yang mengantri
di luar. Hal ini tentunya membuat pelayanan beliau tidak maksimal kepada pasien
anaknya. Namun begitu, beliau tetap berusaha untuk lebih menyabarkan dirinya
ketika sedang melayani pasien anak, agar komunikasi teraepeutik beliau dapat
berjalan dengan maksimal.
Kasus Kesembilan :
Nama Informan : drg. Indira Sembiring
Usia : 37 tahun
Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 2, Rumah Sakit Siti
Hajar, Medan.
Jumlah pasien anak yang datang ke tempat praktek beliau tidak terlalu
banyak. Jika rata-ratakan ada sekitar dua orang per minggu, namun terkadang
tidak ada pasien anak yang datang dalam seminggu.
“Beragam sih ya, kadang ada yang koperatif yang langsung enak
diajak untuk bekerja sama, disuruh buka mulut juga langsung
mau. Tapi terkadang ada juga pasien anak yang histeris ketakutan,
kadang nangis ada juga yang tidak mau masuk ke tempat praktek
ini. Ketakutan mereka mungkin karena alat-alat yang kami
gunakan disini tampak asing bagi anak-anak. Bisa saja ketika
mendengar suara bur dia ketakutan karena menganggap giginya
akan dihancurkan oleh bur tersebut. Belum lagi melihat tang
untuk mencabut gigi, tentunya sangat menyeramkan bagi anak-
anak.”
Tidak semua pasien anak yang datang ke tempat praktek beliau merasa
takut ketika berhubungan dengan dokter gigi. Namun pada umumnya kebanyakan
anak takut ketika diajak untuk berobat gigi. Hal yang mempengaruhi rasa takut
mereka menurut drg. Indira adalah alat-alat medis yang terdapat di tempat praktek
gigi yang terlihat asing bagi anak-anak. Suara bur dan bunyi alat lainnya yang
nyaring membuat anak semakin takut ketika sedang berada di dalam ruangan
praktek. Tak heran jika ada beberapa anak yang tidak mau masuk ke dalam
ruangan kerja dokter gigi.
“Kasus yang paling sering sih biasanya gigi berlubang dan gigi
yang sudah goyang. Kalau giginya sedang sakit biasanya akan
dirawat terlebih dahulu, kalau memang umurnya sudah untuk
dicabut ya kita cabut. Tapi pada umumnya anak yang datang itu
kan dalam kondisi gigi yang sakit, jadi lebih baik kita obati dulu
rasa sakitnya, barulah beberapa hari lagi datang kembali supaya
dilakukan tindakan selanjutnya.”
Anak yang sedang berumur empat tahun ke atas sangat rentan terkena gigi
berlubang, karena pada umur tersebut anak belum sepenuhnya memahami
bagaimana cara merawat dan menjaga kesehatan giginya. Drg. Indira selalu
berusaha untuk tidak sembarangan dalam mengambil tindakan medis untuk
pasiennya. Ia selalu mempertimbangkan tindakannya. Jika anak tersebut sudah
mendekati masa pertumbuhan gigi maka beliau akan mencabut giginya, tetapi jika
belum beliau tidak akan mencabut gigi anak tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Peneliti melihat drg. Indira salah satu dokter gigi yang dapat dikatakan
cekatan. Meskipun beliau merasa agak susah ketika melayani pasien anak autis
karena harus berbicara lewat perantara, beliau berusaha semaksimal mungkin
untuk dapat menyelesaikan proses pengobatan gigi anak tersebut. Ketika anak
mau membuka mulutnya, disitulah beliau berusaha secepat mungkin
menyelesaikan tindakan medis beliau. Dalam melayani pasien anak yang takut,
beliau juga selalu berusaha untuk membujuk-bujuk anak agar mau bekerja sama
dengan beliau.
“Kalau orang tua yang mengancam sih sering, tapi kalau yang
langsung main fisik belum pernah. Biasanya orang tua tersebut
mengatakan kalau anaknya tidak mau membuka mulut nanti
dicubit ya atau dipukul. Kebanyakan sih gitu.”
Karena beliau belum pernah bertemu dengan orang tua pasien yang
tempramen, maka beliau belum mengetahui bagaimana cara mengatasi orang tua
yang tempramen. Tetapi beliau tidak merasa terganggu jika ada orang tua yang
mengancam anaknya, tetapi hanya menggunakan kata-kata.
Pendekatan yang dilakukan oleh drg. Indira hampir sama dengan dokter
gigi lainnya, yaitu dengan mengajak anak berkenalan. Dalam kunjungan
pertamanya, pasien anak biasanya hanya akan diajak mengobrol untuk
mengakrabkan diri. Beliau berusaha untuk tidak menambah rasa sakit anak yang
dapat berujung kepada rasa trauma. Hampir sama dengan dokter gigi lainnya,
sebelum memulai tindakan medisnya beliau terlebih dahulu mengenalkan alat-alat
medisnya supaya anak tidak takut lagi.
Beliau tidak mau mengambil resiko untuk melakukan tindakan medis pada
saat gigi pasiennya sedang sakit. Ketika gigi anak sedang sakit, beliau tidak akan
memaksa untuk melakukan tindakan medisnya pada hari itu juga, beliau akan
memberikan obat penghilang rasa sakit dan meminta orang tuanya untuk
membawa anak itu kembali ke rumah dulu. Jika nanti rasa sakitnya sudah hilang
barulah ia melakukan tindakan medisnya.
berhubungan dengan dokter gigi kini berubah menjadi rasa senang ketika diajak
untuk berobat gigi.
Beliau mengaku merasa kesulitan ketika melayani pasien anak yang tidak
koperatif, karena beliau harus membujuk-bujuknya sampai berjam-jam. Rasa
takut anak yang sangat besar juga diakuinya sebagai salah satu hambatan terbesar
dalam proses pengobatan gigi anak. Faktor penghambat berikutnya adalah rasa
sabarnya yang kadang sudah habis jika harus membujuk anak sampai setengah
jam. Namun, beliau selalu berusaha untuk mengatasi hambatan tersebut dengan
menganggap pasien anak tersebut sebagai anak kandungnya sehingga beliau lebih
bersabar dalam membujuknya.
Kasus Ke-10 :
Nama Informan : Merta, AMKG (Perawat Gigi)
Usia : 24 tahun
Namun, diakhir kegiatan ketika peneliti meminta foto dokumentasi kepada beliau,
beliau sama sekali tidak mengizinkannya, dengan alasan beliau sedang tidak
dalam keadaan yang rapi sehingga membuat beliau enggan untuk difoto. Oleh
karena itu, peneliti tidak mendapatkan foto dokumentasi ketika mewawancarai
drg. Martha.
Kasus Ke-11 :
Nama Informan : Ibu Mery (Orang Tua Pasien)
Usia : 42 tahun
Margaret sudah rajin menyikat giginya atau belum, sambil malu-malu Garet
mengakui kalau malam hari dia sering lupa menyikat giginya.
Peneliti mendengar dalam berkomunikasi dengan Garet, drg.Ida
menggunakan panggilan tante, untuk mendekatkan diri dengan pasien anaknya.
Drg. Ida tampak dengan lembut mengarahkan kepala Garet agar posisi
duduknya dapat lebih nyaman. Garet tampak memejamkan matanya. Mungkin dia
takut karena kali ini drg. Ida akan mencabut giginya.
“Nanti tante akan kasi obat penghilang rasa sakitnya dulu, rasa
sakitnya cuma dikit aja kok. Kayak digigit semut merah, abis itu
langsung hilang. Kalau Garet nggak percaya, nanti kalau Garet
rasa sakit langsung angkat tangan aja, biar tante berhenti ngasi
obatnya.”
Lalu Garet pun mengangguk menyatakan bahwa ia setuju. Drg. Ida sengaja
tidak mengatakan bahwa ia ingin menyuntik gigi Garet, karena beliau tahu hal itu
dapat membuat rasa takut Garet semakin besar. Peneliti juga melihat drg. Ida
menyembunyikan alat suntik di belakang punggungnya agar Garet dapat tidak
melihatnya.
Ketika drg. Ida sedang menyuntik bius, peneliti melihat Garet
memejamkan matanya, mungkin ia sedang menahan rasa sakit yang ditimbulkan
oleh jarum suntik. Setelah selesai menyuntik, drg. Ida kembali mengajak Garet
untuk berbicara sambil menunggu obat biusnya bekerja.
Selang beberapa menit, Garet tampak memegang-megang bibirnya
sehingga membuat drg. Ida tertawa.
“Garet pinter kan te, jarang-jarang kita dapat pasien anak yang
pinter kayak Garet, udah cantik, nggak cengeng, nurut lagi. Garet
udah nggak takut lagi kan nak kalo cabut gigi? Sakitnya cuma
sebentar kok kayak tadi, abis itu langsung selesai.”
tempat lain kami belum pernah dek, masih ini aja tempat praktek
dokter gigi yang kami datangi. Udah lama sih kakak tahu tentang
tempat praktek ini karena tempat prakteknya kan dipinggir jalan,
jadi semua orang kalau sering lewat sini pasti tahu tentang tempat
praktek ini. Dulu pertamanya kakak yang ngajak dia ke sini, tapi
karena udah pernah ke sini sebelumnya dan Garet juga suka,
yaudah tadi dia yang minta ke sini. Kalau dulu awalnya kami
cuma coba-coba ajanya datang kesini, tapi karena pelayanan
dokternya baik, jadi kami tetap datang kesini.”
“Kalau dulu sih kurang dek, tapi semenjak kemarin sepulang dari
tempat praktek ini kakak jadi sering mengingatkan Garet untuk
rajin sikat gigi minimal dua kali sehari. Nggak bisa dipastikan
berapa bulan sekali kakak bawa dia ke sini, kalau ada masalah
giginya baru kakak bawa dia ke dokter gigi kalau nggak ada
ngapain juga kakak bawa dia ke dokter gigi. Dulu awalnya Garet
takut kali sama dokter gigi mungkin karena dia takut sama alat-
alat di tempat praktek dokter gigi ini, tapi lama-kelamaan rasa
takutnya itu berkurang mungkin karena dokter giginya juga pintar
mengambil hati si Garet. Sekarang pun masih adanya rasa
takutnya, tapi tinggal sedikit. Mungkin karena dia belum terbiasa
aja dengan semua alat-alat dokter gigi ini.”
nanti ada gigi tetap yang tumbuh di belakang gigi susu itu,
malahan dapat membuat giginya jadi berantakan. Waktu kakak
ajak ke dokter gigi dia langsung setuju kok. Mungkin karena
pengalaman sebelumnya juga tidak mengerikan baginya sehingga
dia tidak trauma diajak ke dokter gigi. Kakak sering berjanji akan
memberikan hadiah jika Garet mau ke dokter gigi. Hadiahnya
terserah Garet, kadang boneka atau mainan masak-masakan. Yang
penting dia mau ke dokter gigi aja kakak udah lega. Gak lama sih
kakak ngebujuknya, tapi biasanya sehari sebelum mengajaknya ke
dokter gigi kakak pasti meminta izinnya dulu. Supaya dia merasa
dihargai dan bukan dipaksa.”
“Bagus kok, disini kan dokternya ada dua, jadi mereka saling
membantu dalam mengobati pasiennya. Terus mereka juga
ramah-ramah, mau berkenalan dengan pasien. Jadi anak kan
merasa dekat kalau diajak ngomong-ngomong terus. Mereka juga
pintar dalam mengalihkan perhatian anak. Tempatnya juga
nyaman kok, bersih. Sambil menunggu kita bisa nonton TV di
apotiknya, jadi nggak terlalu bosan. Cuma menurut kakak
ruangan prakteknya terlalu sempit, jadi susah bergerak kalau kita
nunggu di dalam. Itu aja sih kekurangannya. Kakak puas kok
sama pelayanannya. Buktinya si Garet aja ketagihan datang ke
sini hehe. Nanti kalau kakak juga kena sakit gigi, pasti kakak juga
datang ke sini. Dokternya juga ramah-ramah jadi bikin kita
nyaman.”
Ibu Mery mengaku puas dengan pelayanan yang diberikan oleh drg. Ida
dan drg. Erni. Bahkan beliau juga memuji keramahan dan kenyamanan tempat
praktek drg. Ida. Demikianlah wawancara peneliti dengan informan tambahan
yaitu Ibu Mery.
Peneliti melihat dalam penanganan pasiennya, drg. Ida sangat
berpengalaman. Mungkin sudah banyak pengalaman yang beliau pernah alami
dalam menangani pasien anak. Oleh karena itu beliau tampak dengan mudah
Universitas Sumatera Utara
Kasus Ke-12 :
Nama Informan : Ibu Siti Agustina (Orang Tua Pasien)
Usia : 32 tahun
“Khansa kan anak pintar, cita-citanya mau jadi dokter. Kalo mau
jadi dokter, giginya harus sehat, nggak boleh ada yang busuk.
Coba buka mulutnya sebentar ya, biar kakak bisa lihat giginya.”
“Tuh liat, kakak perawatnya udah mau nutup kita di dalam. Ini
kan udah sore, jadi kakak perawatnya mau pulang. Sebentar ajaaa
Khansa buka mulutnya, biar kita cepat selesai lalu kita pulang.
Nanti kakak itu ngunci kita di dalam ruangan, jadi kita nggak bisa
pulang. Udah gitu adik Khansa kan juga lagi nangis diluar, nanti
kalau kelamaan nunggu Khansa bisa buat adik makin kuat suara
nangisnya.”
“Iya dek, dia baru pertama kali ke dokter gigi. Makanya dia takut
kali ngeliat tempat praktek ini. Tapi bibinya juga dokter gigi kok,
giginya sering diperiksa oleh bibinya tapi dia belum pernah di
bawa ke tempat praktek dokter gigi. Kalau mengenai tempat
praktek ini kakak udah lama taunya, tapi kakak belum pernah
kesini. Yang pilih tempat praktek ini kakak dek, kalau Khansa
mau di bawa kemana pun tetap nangisnya itu, karena dia takut
kali memang sama alat- alat dokter gigi itu. Alasan kakak pilih
tempat praktek ini selain karena dekat sama rumah, kakak dengar
dari tetangga kalau dokter gigi disini masih muda dek. Kalau
masih muda kan biasanya lebih sabar ngadapi anak, jadi kalau
anak kita rewel pun biasanya pasti dibujuk dek.”
Khansa Nativa yang merupakan anak sulung dari Ibu Siti sebelumnya
tidak pernah diajak ke dokter gigi. Peneliti melihat bahwa Khansa merupakan tipe
anak yang penakut dan cengeng. Mengingat usianya yang masih empat tahun,
memang masih pantas jika anak bersifat cengeng. Meskipun ia takut dan terus
menangis ketika melihat peralatan dokter gigi, namun ia tetap mau membuka
mulutnya walaupun kepalanya dipegang oleh ibunya.
Ibu Siti mengaku bahwa yang memilih untuk pergi ke tempat praktek drg.
Juli adalah dirinya, dengan alasan selain tempat praktek tersebut dengan dengan
rumahnya, juga informasi yang didapatkannya dari tetangga bahwa dokter yang
bekerja di praktek itu masih muda membuatnya tertarik untuk datang ke tempat
praktek tersebut. Ia berharap dokter gigi yang bertugas di praktek itu dapat dengan
sabar membujuk anaknya yang penakut.
“Kadang kalau ingat dan nggak sibuk kakak sikat giginya setiap
pagi dan malam. Tapi kan adik khansa ini masih kecil, jadi kakak
sering kerepotan dek. Kakak sering nyuruh si Khansa mandi
sendiri, otomatis kalo sikat gigi sendiri kan pasti kurang bersih.
Terus kadang Khansa ini nggak bisa dibilangi dek, kalau kakak
larang makan permen atau coklat pasti dia langsung nangis.
Makanya giginya bisa sakit kek gitu, soalnya keseringan makan
coklat sama permen. Sebenarnya baru kali ini kakak periksakan
giginya ke dokter gigi, tapi kakak berusahalah untuk sering
memeriksakan gigi Khansa ke dokter gigi, biar kesehatan giginya
bisa lebih terawatt lagi.”
“Iya dek, takut kali pun. Liat aja dari tadi kan dia nangis terus.
Sampe kakak aja harus ikut duduk di bangku pasien itu, untunglah
dokternya sabar makanya bisa berhasil diobati giginya.
Sebelumnya dia sering ngeluh kesakitan dek pas lagi makan,
apalagi kalau ada makanan yang masuk ke lubang giginya, dia
langsung nangis. Pas malam lagi sebelum dia tidur, dia sering
nangis karena giginya berdenyut. Kakak aja sering diganggunya
pas tidur malam karena dia udah nggak tahan sama rasa sakitnya,
jadi kadang-kadang kakak sering kesal juga. Jadi kakak pikir
lebih baik kakak bawa aja ke dokter gigi, biarlah dia nangis
sebentar asal siap itu nggak mengganggu lagi setiap malam. Tapi
Universitas Sumatera Utara
waktu kakak aja ke dokter gigi, dia langsung nolak dek. Tapi
kakak kasi penjelasanlah, kakak bilang biar giginya nggak sakit
lagi kita harus ke dokter biar dihilangkan semua kuman-
kumannya. Tadi pas di rumah udah iya nya katanya, tapi ternyata
pas sampe disini nangis lagi dia. Kalau untuk membujuknya ya
kakak bilang aja, Khansa kan cita-citanya mau jadi dokter
gigi,kalau mau jadi dokter gigi nggak boleh giginya berlubang.
Nanti nggak bisa jadi dokter. Terus kakak bilang juga kalau mau
jadi dokter gigi harus berani sama dokter gigi, kalau penakut
mana bisa jadi dokter. Udah tiga hari juga kakak bujuk-bujuk dia
dek. Jadi setiap dia nangis waktu giginya sakit, kakak selalu
bilang kan mama udah ngajak ke dokter gigi tapi tetap nggak
mau, yaudah biarin aja kumannya hidup di gigi Khansa. Jadi
lama-lama dia kan nggak tahan juga sama sakit giginya itu,
makanya tadi dia mau kakak ajak ke sini.”
Kasus Ke-13 :
Nama Informan : Ibu Indri (Orang Tua Pasien)
Usia : 37 tahun
menyimpulkan bahwa anak ini sudah pernah datang beberapa kali ke tempat
praktek ini sehingga dokter sudah mengetahui namanya.
Daniel terkena kasus gigi persistensi, dimana gigi gerahamnya sudah
berlubang sehingga sering menimbulkan rasa ngilu dan sakit jika ada makanan
yang masuk. Oleh karenanya drg. Erni ingin melakukan perawatan saluran akar
agar kemudian dapat dilakukan penambalan.
Peneliti melihat sepertinya Daniel sudah terbiasa berhubungan dengan
dokter gigi. Ia tidak lagi merasa takut ketika masuk ke dalam ruangan dokter gigi.
Namun tetap saja, drg. Erni mengajaknya mengobrol terlebih dahulu, untuk
mencairkan suasana. Daniel adalah anak yang pendiam dan tidak banyak bicara
sehingga ia hanya menjawab pertanyaan dokter seadanya. Drg. Erni dan drg. Ida
saling bergantian mengajak Daniel berbicara.
Setelah itu barulah drg. Erni memeriksa keadaan gigi Daniel. Daniel bukan
tipe anak yang susah diajak bekerja sama, jadi ketika dokter memintanya
membuka mulut, ia pun langusng melakukannya. Namun pada saat drg. Erni
menyuruhnya untuk berkumur, ia pun merasakan ngilu di gigi gerahamnya
tersebut sehingga sempat membuatnya merintih kesakitan.
Meskipun umurnya sudah delapan tahun, tetapi Daniel tetap saja masih
takut dengan alat-alat medis seperti bur, tang, dan lain-lain. Oleh karena itu, drg.
Erni tetap menyembunyikan alat-alat yang menyeramkan tersebut di tempat yang
tersembunyi. Dan jika ingin memakainya, beliau akan menyembunyikannya di
balik punggungnya.
Karena keadaan gigi Daniel yang sudah agak parah, membuat drg. Erni
susah untuk bekerja. Sedikit saja beliau membur giginya, Daniel langsung merasa
ngilu dan mengangkat tangannya. Oleh karena itu, drg. Erni harus bersabar dalam
melayani Daniel. Setiap beberapa detik sekali, drg. Erni harus memberhentikan
pekerjaanya. Namun drg. Erni terlihat sangat sabar dalam mengobati gigi Daniel.
Selama giginya proses pengobatan giginya, Daniel selalu menutup matanya.
Hingga pada akhirnya drg. Erni menyelesaikan pekerjaannya. Begitu
beliau mengatakan bahwa pengobatannya sudah selesai, Daniel langsung
membuka matanya.
Drg. Erni pun langsung mengelus kepala Daniel, Daniel pun tersenyum
sambil mengucapkan terima kasih kepada beliau. Peneliti kemudian menunggu
Daniel dan ibunya di ruang antrian untuk meminta izin wawancara. Setelah Ibu
Indri mengizinkannya, peneliti langsung memulai wawancara.
“Enggak dek, kami sudah tiga kali datang kesini. Kemarin sempat
kami datang untuk mencabut giginya, tapi sekarang mau merawat
giginya. Kakak udah lama tahu tentang praktek ini, kan tempat
praktek ini sudah buka selama bertahun-tahun, udah gitu
lokasinya strategis lagi, di pinggir jalan jamin ginting. Pasti
orang gampang menemukannya. Yang pilih tempat praktek ini
kakak dek, kalau anak-anak kan pasti kurang peduli sama tempat
praktek dokter gigi. Kakak pilih tempat ini selain karena dekat
dengan rumah, dokter-dokter disini juga baik dan ramah. Mereka
juga mau mengajak anak untuk berkenalan lalu bercerita tentang
kesehatan gigi. Terus kakak rasa mereka juga sabar dalam
membujuk anak. Menurut kakak dokter gigi yang dulu sama yang
sekarang ama aja sih sebenarnya dek, cuma kalau dokter disini
kan ada dua orang. Jadi dalam pengerjaanya mereka sering
mengajak anak bercerita jadi buat anak nggak sadar kalau giginya
sedang di obati. Kalau ditempat praktek yang dulu, dokternya
kebanyakan diam, jadi membuat anak ngerasa takut dek.”
Kemampuan dokter gigi dalam mendekatkan diri dengan anak, juga membujuk
anak agar mau diperiksa merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan
pengobatan gigi anak. Dokter gigi yang sabar dan ramah selalu menjadi alasan
para ibu rumah tangga untuk tetap mengobati anaknya di dokter yang sama seperti
sebelumnya.
“ Kurang sih dek, kakak cuma sering aja mengingatkan dia untuk
rajin sikat gigi pagi sama malam hari. Tapi kakak jarang
mengecek apakah dia menyikat gigi dengan bersih atau hanya
sekedar menyikat aja. Kalau jadwal untuk periksa gigi nggak
nentu dek, tapi yang jelas kalau dia sakit gigi aja baru kakak bawa
ke dokter gigi. Kalau giginya nggak sakit ngapain juga kakak
bawa dia ke dokter gigi. Dulu awalnya dia takut kali sama dokter
gigi dek, kan biasanya anak-anak takut ke dokter gigi kan. Tapi
kakak bujuk-bujuk lah dulu, baru akhirnya dia mau. Gigi geraham
si Daniel kan udah berlubang dek, jadi dia sering merasa sakit
kalau ada makanan yang masuk ke dalam giginya. Tapi kata
dokter belum bisa dicabut karena umurnya belum bisa. Jadi kata
dokter harus dirawat dek baru ditambal. Makanya kami disuruh
datang berkali-kali ke sini.”
“Udah beberapa kalinya kakak aja dia ke dokter gigi tapi dia
bilang malas. Tapi mungkin karena rasa sakitnya lama-lama
menyiksa dan nggak hilang-hilang akhirnya dia yang ngajak
kakak kesini. Mungkin dia juga udah nggak kuat untuk nahan rasa
sakitnya. Paling kakak bujuk pake kata-kata dek, tapi kalau dia
minta dibelikan suatu kakak iya kan aja, supaya dia mau ke
dokter gigi. Karena kadang kakak kesal juga kalau dia ngeluh
sakit gigi dirumah,buat kakak emosi juga. Jadi asal dia mau
berobat gigi, pasti kakak kabulkan permintaanya. Nggak lama
kok kakak ngebujuknya dek, paling cuma satu hari. Karena dia
juga sudah nggak tahan sama rasa sakitnya makanya akhirnya dia
menyerah dan mau diajak berobat gigi.”
Rasa sakit yang sudah tidak tertahankan lagi terkadang dapat membuat
anak memaksakan diri agar berani datang ke tempat dokter gigi. Perasaan sakit
Universitas Sumatera Utara
dan takut semuanya bersatu ketika mereka berada di tempat praktek dokter gigi.
Ibu Indri termasuk ibu yang bijaksana dalam menghilangkan rasa takut anaknya.
Beliau berjanji akan memberikan apa yang diminta Daniel jika ia mau berobat
gigi. Hal ini jugalah yang kemudian dapat menumbuhkan rasa semangat dalam
diri Daniel sehingga ia mau berobat gigi.
“Bagus kok dek, dokter giginya ramah dan sabar. Kadang kan ada
dokter gigi yang nggak sabar ngebujuk anak. Tapi mereka berdua
saling bantu dek dalam mengobati pasien. Mereka juga sering
mengajak pasien cerita-cerita. Jadi kita kan merasa nyaman dek
kalau dokternya ramah dan mau membujuk anak kita. Tempatnya
bersih kok dek, jadi nyaman kalau kita nunggu. Terus pihak
apotiknya kan menyediakan TV, jadi kita nggak terlalu bosan
meskipun sedang mengantri. Tapi menurut kakak, ruangan
praktek dokternya terlalu sempit, jadi kalau anak kita minta
ditemani sewaktu diperiksa, dokternya jadi susah bergerak. Itu aja
sih dek. Sejauh ini sih kakak puas dengan pelayanannya dek.
Karena kan jarang juga kita dapat tempat praktek yang dokternya
ramah dan bersahabat. Udah gitu, disini dokternya ada dua orang
sekaligus menangani pasien, pasti hasilnya lebih optimal kan
dibandingkan kalau dokternya sendirian.”
Ibu Mery mengaku puas dengan pelayanan yang diberikan oleh drg. Erni
dan drg. Ida karena mereka sangat sabar untuk membujuk dan mendekatkan diri
dengan Daniel. Mereka juga membuat Daniel merasa lebih nyaman ketika berada
di dokter gigi. Meskipun ada sedikit rasa sakit yang dirasakan Daniel pada saat
giginya di obati oleh drg. Erni, namun hal tersebut tidak membuatnya trauma
dengan dokter gigi. Demikianlah hasil wawancara peneliti dengan ibu Indri.
Peneliti melihat drg. Erni sangat sabar dalam mengobati Daniel. Ketika
Daniel mengeluh dan merasa kesakitan ketika giginya sedang diobati, drg. Erni
lebih memilih untuk memberhentikannya sebentar daripada harus memaksa
Daniel. Dengan sabar ia menunggu Daniel hingga akhirnya proses pengobatannya
selesai. Meskipun ada pasien yang menunggu di luar, tidak membuat mereka
terburu-buru dalam mengerjakan pasiennya. Terlebih lagi Daniel bukanlah anak
yang cengeng, hanya saja ia tidak dapat menahan rasa ngilu dalam giginya ketika
drg. Erni membur giginya.
4.3 Pembahasan
proses untuk menciptakan hubungan antara tenaga medis dengan pasien, untuk
mengenal kebutuhan pasien dan menentukan rencana tindakan serta kerjasama
dalam memeuhi kebutuhan tersebut (Musliha & Siti Fatmawati, 2010:24).
Komunikasi terapeutik masuk ke dalam komunikasi dua arah, dimana
komunikator mengirimkan pesan dan akan diterima oleh komunikan setelah
disimpulkan kemudian komunikan akan mengirimkan umpan balik kepada
komunikator tersebut.
Terdapat lima komponen dalam komunikasi terapeutik, yaitu :
a. Pengirim : Yang menjadi asal dari pesan. Dalam penelitian ini yang
menjadi pengirim adalah dokter gigi.
b. Pesan : Suatu unit informasi yang dipindahkan dari pengirim kepada
penerima. Dalam penelitian ini yang menjadi pesan adalah
informasi dan bujukan dokter gigi yang ditujukan kepada
pasien anak.
c. Penerima : Yang mempersepsikan pesan, yang perilakunya dipengaruhi
oleh pesan. Dalam penelitian ini yang menjadi penerima
adalah pasien anak.
d. Umpan balik : Respon dari penerima pesan kepada pengirim pesan. Yang
menjadi umpan balik dalam penelitian ini adalah tangisan,
ucapan, sikap dan perubahan tindakan anak setelah menerima
pesan dari dokter gigi.
e. Konteks : Tatanan dimana komunikasi terjadi. Yang menjadi konteks
dalam penelitian ini adalah tempat praktek bersama dokter
gigi. (Musliha & Siti Fatmawati, 2010 : 114).
mereka harus menggunakan sebutan yang dapat membuat anak merasa lebih dekat
dengannya. Selain itu, dokter gigi juga akan memanggil anak dengan nama
panggilannya di rumah, agar anak merasa lebih dekat lagi dengan dokter gigi
tersebut. Dokter gigi juga tidak akan memaksa anak untuk langsung duduk di
kursi pasien, karena sebagian anak menganggap kursi itu menyeramkan. Oleh
karenanya ketika mengajak anak berkenalan, dokter gigi akan meminta anak
duduk di kursi yang berhadapan dengannya agar komunikasi juga bisa berjalan
lebih efektif.
Pada kunjungan pertama anak, dokter gigi mengaku tidak pernah
memaksa agar tindakan medis dilakukan pada hari itu juga, karena hal itu dapat
menimbulkan rasa trauma dalam diri anak. Jika anak merasa sangat takut dengan
dokter gigi, maka pada kunjungan pertama dokter hanya mengajaknya untuk
berkenalan dan memberikan obat penghilang rasa sakit. Setelah rasa sakitnya
mulai berkurang, barulah dokter gigi meminta orang tuanya untuk membawanya
kembali ke tempat praktek agar dilakukan tindakan selanjutnya.
Pada tahap ketiga yaitu fase kerja yang merupakan tahap terpenting bagi
dokter gigi, mereka harus mampu melakukan tindakan yang tidak menambah rasa
sakit bagi anak. Bagi anak yang belum pernah ke dokter gigi sama sekali tentu
akan merasa sangat ketakutan ketika melihat peralatan medis dokter gigi yang
masih asing baginya. Disinilah kesempatan dokter gigi untuk memperkenalkan
semua alat-alat medis yang ia gunakan beserta fungsinya, agar rasa penasaran
anak dapat terjawab. Dokter gigi tidak boleh menggunakan kata-kata secara
sembarangan ketika memperkenalkan alatnya ke pasien anak, karena bisa saja
penjelasannya tersebut dapat membuat anak merasa semakin takut, seperti
pengalaman yang diceritakan oleh informan keempat. Ketepatan dan
kesederhanaan kata sangat dibutuhkan oleh dokter gigi ketika ia berkomunikasi
dengan pasien anak.
Menurut informan ketiga, pada fase kerja pasien anak jangan sampai
dibohongi. Ketika diawal dokter gigi berjanji hanya akan melihat kondisi gigi
anak, maka jangan sampai ia melanggar perjanjian tersebut lalu melakukan
tindakan medis terhadap pasien anak tersebut. Jika hal itu terjadi, anak tidak akan
percaya lagi dengan perkataan dokter gigi. Ketika sedang melayani pasien anak
Universitas Sumatera Utara
yang sangat ketakutan merupakan tantangan tersendiri bagi setiap dokter gigi.
Ada beberapa cara yang mereka lakukan agar proses pengobatan gigi anak dapat
berhasil. Cara yang paling banyak dilakukan oleh informan adalah dengan
bujukan. Anak akan dibujuk-bujuk agar mau dilakukan perawatan gigi. Tidak
jarang juga dokter gigi memberikan hadiah berupa sikat gigi, odol atau mainan
anak lainnya supaya anak mau diatur.
Peneliti sangat tertarik dengan tindakan yang dilakukan oleh informan
kedepalan pada saat sedang melayani pasien anak yang sangat ketakutan. Ketika
bujukan sudah tidak dapat diandalkan lagi, maka beliau memilih untuk
mempraktekkan tindakan medisnya di tangannya untuk membuktikan kepada
anak bahwa tindakannya tersebut tidak akan menyakiti anak. Jika ingin menyuntik
bius anak, beliau akan mempraktekkannya dengan menyuntikkan sedikit jarum
suntik tersebut ke kulit jari jempol tangannya. Karena kulit di sekitar jari jempol
bersifat lebih tebal maka ketika disuntik tidak akan mengeluarkan darah. Setelah
itu ia akan menunjukkannya kepada anak dan mengatakan bahwa hal yang sama
akan terjadi kepada gigi anak itu. Sedangkan jika ingin membur gigi anak,
informan kedepalan tersebut juga akan mempraktekkannya di kuku jari jempol
tangannya. Setelah itu ia akan menunjukkannya kepada anak dan mengatakan
bahwa hal yang sama akan terjadi kepada anak. Beliau mengaku hal ini cukup
berhasil bagi sebagian besar anak.
Ada juga beberapa informan ketika ingin menyuntik bius gigi anak, akan
mengatakan bahwa jarum suntik tersebut tidak akan menimbulkan rasa sakit yang
parah. Rasa sakitnya hanya seperti rasa sakit ketika digigit oleh semut merah
karena jarum suntiknya memang khusus untuk anak padahal ukuran jarum suntik
akan sama untuk semua jenis usia. Ketika mereka ingin menyuntik gigi anak,
maka mereka akan menyimpan jarum suntik tersebut dibalik punggungnya agar
anak tidak bisa melihatnya. Begitu juga dengan alat medis lainnya seperti tang,
bur, dan lain-lain.
Cara lain yang dilakukan dokter gigi adalah dengan mengajak anak untuk
terus berbicara sehingga dapat mengalihkan perhatian anak. Ketika anak tetap
merasa takut pada saat dokter gigi sedang mengobati giginya, dokter gigi dapat
mengajak anak tersebut untuk terus berbicara mengenai hal-hal yang disukai anak
Universitas Sumatera Utara
pada umumnya, seperti film kartun sehingga perhatian anak dapat teralihkan. Cara
ini juga diakui dokter gigi ampuh bagi sebagian anak.
Sama halnya seperti yang peneliti amati ketika informan kelima sedang
menangani pasien anaknya, dimana ia tidak berusaha untuk memaksakan tindakan
medisnya agar cepat selesai. Ketika Daniel merasa kesakitan, beliau pun
menghentikan sebentar pekerjaannya, ketika Daniel sudah merasa lega baru
kemudian ia melanjutkan pekerjaanya. Kesabaran dan bisa membawa diri
selayaknya anak-anak diakui oleh informan ketujuh sebagai faktor yang sangat
mempengaruhi keberhasilan dokter gigi menangani pasien anaknya.
Tahap terakhir dalam proses komunikasi terapeutik adalah fase terminasi,
yang merupakan akhir dari pertemuan antara dokter gigi dan pasiennya. Fase
Terminasi terbagi dua, yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir. Ketika
dokter gigi sudah menyelesaikan tindakan medisnya, mereka juga harus tetap
bersikap ramah dan bersahabat kepada pasien anak tersebut. Beberapa informan
mengaku akan tetap menjalin komunikasi dengan pasien anaknya meskipun sudah
selesai mengobati anak tersebut. Mereka juga sering memotivasi pasien anaknya
dengan sering mengingatkan mereka untuk rajin menyikat gigi minimal dua kali
sehari, pagi setelah sarapan dan malam sebelum tidur. Mereka juga
mempraktekkan cara menyikat gigi yang benar dengan menggunakan model gigi
agar dapat memudahkan anak untuk mengerti.
Beberapa informan juga mengaku akan tetap memberikan semangat
kepada pasien anaknya meskipun sudah selesai mengobati anak tersebut. Tidak
jarang juga mereka menyalam dan mengelus rambut pasien anaknya, juga
meminta maaf kepada pasien anaknya jika ada tindakan mereka yang melukai
anak tersebut. Hal ini mereka lakukan agar anak tetap mengingat pengalaman
menyenangkan mereka ketika bertemu dengan dokter gigi, sehingga pada
kunjungan berikutnya mereka tidak akan takut lagi bertemu dengan dokter gigi.
oleh informan sebagai suatu cara untuk mendekatkan diri dengan pasien anaknya.
Jika ia sudah dapat mengakrabkan diri dengan anak, maka dokter gigi tersebut
juga akan mendapat kesempatan untuk mengubah mindset anak tentang citra
buruk dokter gigi.
Manfaat yang berikutnya adalah dapat mengurangi rasa takut anak,
meskipun tidak dapat langsung menghilangkannya secara drastis, tapi setidaknya
dapat menguranginya. Dengan membujuk dan melakukan pendekatan dengan
anak, ia akan merasa lebih nyaman dengan dokter gigi tersebut sehingga rasa
takutnya akan semakin berkurang.
Manfaat komunikasi terapeutik bagi dokter gigi selanjutnya adalah dapat
merubah sikap dan prilaku anak. Anak akan merasa lebih dimengerti ketika dokter
gigi tidak memaksakan tindakan medisnya pada kunjungan pertama. Jika rasa
takut anak terhadap dokter gigi sudah berkurang, maka akan menimbulkan
perubahan sikap dan prilaku dalam diri anak tersebut. Anak yang tadinya sangat
takut ketika diajak orang tuanya ke dokter gigi, kini tidak akan merasa takut lagi
dalam kunjungan berikutnya ke dokter gigi karena dokter giginya melaksanakan
komunikasi terapeutik dengan benar. Ketika anak sudah tidak takut lagi bertemu
dengan dokter gigi maka hal itu dapat memudahkan dokter gigi dalam proses
pengobatan gigi anak karena anak tersebut sudah mau diajak untuk bekerja sama.
beberapa hari lagi coba untuk mengajak anak tersebut untuk datang kembali ke
tempat praktek tersebut. Sedangkan untuk mengatasi faktor penghambat yang
datangnya dari orang tua, dokter gigi akan berusaha untuk mengingatkan orang
tua pasien agar tidak memperlakukan anaknya dengan kasar ketika sedang berada
di ruangan kerja dokter. Jika beliau memang tidak sabar dalam membujuk
anaknya lebih baik ia menunggu di luar ruangan sehingga tidak mengganggu
kinerja dokter gigi.
a. Kinesics
Kinesics merupakan proses komunikasi yang dilakukan melalui pergerakan
tubuh. Seperti yang dikatakan oleh informan kedua, begitu beliau melihat
pasien anaknya, beliau langsung tahu apakah anak tersebut dapat dibujuk
atau tidak. Beliau dapat menyimpulkan seperti itu karena beliau melihat dari
gerakan tubuh dan psikologi anak tersebut. Anak yang sedang memegang
erat bagian tubuh ataupun pakaian orang tuanya menunjukkan bahwa ia
sangat takut dan merasa asing dengan kehadiran dokter gigi. Banyak
gerakan tubuh anak yang ditangkap dan disimpulkan oleh dokter gigi untuk
melihat perasaan pasien anak tersebut. Seperti halnya anak dari informan
ke-13, anak tersebut memang sudah pernah sebelumnya ke dokter gigi,
meskipun mengaku tidak takut lagi bertemu dengan dokter gigi namun tetap
saja ekpresi wajahnya yang menutup mata ketika ditangani oleh dokter gigi
menunjukkan bahwa ia masih merasa takut dengan tindakan yang dilakukan
oleh dokter gigi.
b. Paralanguage
Paralanguage menunjukkan pada bahasa itu sendiri. Vocal dapat
membedakan emosi yang dirasakan satu orang dengan orang lain. Dokter
gigi harus dapat berbicara dengan irama yang bagus, volume yang pas dan
kejernihan suara agar dapat memaksimalkan proses komunikasi terapeutik.
Dokter gigi harus bisa berbicara dengan irama yang lembut dan volume
yang tidak terlalu besar agar dapat membuat pasien anaknya merasa
nyaman. Meskipun terkadang kesabaran dokter gigi sudah habis dalam
membujuk anak, para informan akan tetap berusaha untuk tidak berbicara
dengan volume yang berlebihan yang dapat membuat anak merasa semakin
takut.
c. Proxemics
Proxemics adalah ilmu yang mempelajari tentang jarak hubungan dalam
interaksi sosial. Jarak yang biasa digunakan informan ketika sedang
berkomunikasi dengan pasiennya adalah jarak intim (sampai dengan 18
inchi). Jarak ini digunakan oleh informan dapat bisa lebih mengenal pasien
anaknya dengan jarak dekat. Jarak ini juga diharapkan oleh informan dapat
Universitas Sumatera Utara
membuat anak merasa lebih dekat dengan dokter giginya. Seperti yang
dikatakan oleh informan keempat dan keenam, mereka akan mmenyuruh
pasien anaknya terlebih dahulu untuk duduk berhadapan dengannya agar
dapat memudahkan proses perkenalan. Jika sudah selesai berkenalan
barulah kemudian mereka menyuruh pasien anaknya untuk duduk di kursi
pasien. Dalam proses tindakan medisnya, informan juga diharuskan
memakai jarak intim dengan pasien anaknya agar memudahkan fase kerja.
d. Sentuhan
Sentuhan merupakan alat komunikasi yang sangat kuat, dapat menimbulkan
reaksi positif dan negatif tergantung dari orang yang terlibat dan lingkungan
disekeliling interaksi tersebut. Beberapa informan mengaku bahwa mereka
tidak mau memaksa untuk melakukan tindakan medis kepada pasien
anaknya meskipun keadaan gigi anak tersebut sudah sangat kritis. Karena
jika dipaksa, tentunya dengan orang tua yang memegang kuat anaknya dan
dokter gigi memaksa membuka mulut anak dapat menimbulkan rasa trauma
dalam diri anak. Ketika peneliti mengamati cara kerja informan keempat,
peneliti melihat saat beliau ingin memperbaiki posisi duduk pasiennya,
maka ia akan memindahkan posisi kepala pasiennya dengan lembut. Ia
kemudian mengarahkan mulut pasien anaknya agar posisinya pas di depan
wajah beliau dengan lembut. Karena jika anak diperlakukan dengan kasar
dapat membuat anak merasa tidak nyaman.
e. Cultural Artifact
Artifact adalah hal-hal yang ada dalam interaksi seseorang dengan orang
lain yang mungkin bertindak sebagai rangsangan non verbal seperti baju,
kosmetik, parfum dan lain-lain. Cultural artifact yang peneliti temukan
dalam penelitian ini adalah para informan yang berusaha untuk tidak
memakai masker dan sarung tangan ketika melayani pasien anak yang
sangat ketakutan. Hal ini dilakukan mereka agar anak merasa suasana
tersebut tidak terlalu kaku dan juga karena sebagian besar anak merasa
sangat asing dengan masker dan sarung tangan dokter gigi.
f. Gaya Berjalan
Gaya berjalan tentu dapat menunjukkan pesan tertentu. Dari gaya berjalan
pasien anaknya, tentu dokter gigi langsung dapat mengetahui perasaan anak
tersebut. Anak yang berjalan dengan lemas dan ditarik orang tuanya
menandakan bahwa anak tidak bersemangat bertemu dengan dokter
tersebut. Anak yang berjalan bersembunyi di belakang orang tuanya atau
sedang digendong oleh orang tuanya menandakan bahwa anak tersebut
merasa takut dengan dokter gigi. Sedangkan anak yang datang dengan
gembira menandakan bahwa anak sedang bersemangat bertemu dengan
dokter gigi.
g. Penampilan fisik umum
Dari penampilan fisik pasien anaknya, dokter gigi dapat melihat bagaimana
kondisi anak tersebut. Pipi bengkak menandakan bahwa ada yang tidak
beres dengan gigi anak tersebut. Pola nafas anak yang cepat menandakan
bahwa anak tersebut sedang merasa cemas. Seperti halnya anak informan
ke-11 yang memejamkan matanya sewaktu dokter menyuntik bius giginya,
hal ini menunjukkan bahwa ia sedang merasa sakit dan takut terhadap jarum
suntik tersebut (Musliha & Siti Fatmawati, 2010 : 16).
Dalam menjalankan komunikasi terapeutik tenaga kesehatan tidak boleh
sembarangan memilih tekniknya, karena jika tekniknya kurang tepat maka dapat
membuat komunikasi terapeutiknya tidak berjalan dengan lancar. Terdapat
beberapa teknik komunikasi terapeutik (Damaiyanti, 2008 : 15). Namun peneliti
melihat hanya beberapa teknik saja yang dilakukan oleh informan dalam
penelitian ini. Berikut adalah penjelasannya:
a. Respon ‘Fasilitatif’
Respon fasilitatif ditunjukkan oleh informan ketika ia berkenalan dengan
pasien anaknya. Mereka akan berusaha untuk merespon jawaban anak, saat
ia mengajak anak untuk berkenalan maka ia akan berusaha untuk dapat
membawakan diri selayaknya teman dari anak tersebut. Begitu juga ketika
informan berusaha untuk menceritakan nama dan fungsi dari alat-alat
medisnya mereka akan berusaha memberikan respon fasilitatif dari setiap
pertanyaan yang disampaikan oleh pasien anaknya. Hal ini dilakukan agar
dapat menjawab rasa penasaran anak.
Universitas Sumatera Utara
b. Storytelling (bercerita)
Tujuh informan yang mengaku sering memperkenalkan nama dan fungsi
dari alat yang ia gunakan mengaku harus menggunakan bahasa anak yang
sederhana agar mudah dimengerti oleh anak. Ketika informan kelima
menjelaskan bagaimana keadaan gigi pasien anak tersebut kepada yang
bersangkutan, beliau akan berusaha menjelaskannya dengan bahasa yang
sangat sederhana selayaknya bahasa anak-anak. Dokter gigi akan
menggunakan bahasa anak untuk masuk ke area berpikir mereka.
c. Saling bercerita
Teknik ini biasanya lebih efektif dibandingkan dengan teknik storytelling
atau bercerita, karena dalam teknik ini bukan hanya dokter gigi yang
bercerita melainkan anak juga dipancing untuk menceritakan kembali apa
yang diketahuinya.
d. Tiga harapan
Sebenarnya dalam penelitian ini teknik tiga harapan tidak dijalankan oleh
informan. Namun, informan keenam mengaku sering menanyakan cita-
cita pasien anaknya agar dapat mengajak anak tersebut mau bekerja sama.
Beliau mengaku jika kebanyakan anak perempuan memiliki cita-cita
menjadi seorang dokter, maka beliau akan mengatakan bahwa seseorang
yang memiliki kondisi gigi yang rusak tidak akan dapat menjadi seorang
dokter. Begitu juga dengan pasien anak yang laki-laki, pada umumnya
memiliki cita-cita menjadi seorang polisi ataupun tentara. Informan
keenam akan mengatakan bahwa jika ingin menjadi seorang tentara
ataupun polisi harus memiliki gigi yang sehat dan terawat. Hal ini diakui
beliau berhasil bagi sebagaian anak.
Sedangkan untuk teknik non verbalnya, para informan belum ada yang
melakukannya. Mungkin disebabkan karena pertemuan dokter gigi dengan pasien
anak tidak sesering dan selama pertemuan antara dokter umum ataupun dokter
anak dengan pasien anaknya sehingga teknik non verbal belum dilakukan oleh
dokter gigi.
Menurut Egan, ada lima sikap ataupun cara untuk menghadirkan diri
secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi yang terapeutik bagi tenaga
medis , yaitu:
1. Berhadapan.
Artinya dari posisi ini adalah “Saya siap untuk Anda”. Informan keempat
dan informan keenam sering mengajak anak duduk berhadapan dengannya
pada saat berkenalan. Hal ini mereka lakukan agar komunikasi dapat
berjalan dengan efektif. Namun bukan hanya dua orang informan tersebut
yang melakukan sikap ini, hampir semua informan yang peneliti
wawancarai akan duduk berhadapan dengan pasiennya ketika mengajak
orang tersebut berkenalan dan melakukan pendekatan.
2. Mempertahankan kontak mata.
Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai pasien dan
menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi. Mempertahankan kontak
mata dengan pasien anak tak jarang dapat membuat anak merasa ketakutan.
Ada baiknya dokter gigi jangan menatap mata anak dengan tatapan yang
sinis, melainkan dengan tatapan yang hangat dan bersahabat.
3. Membungkuk ke arah pasien.
Posisi ini menunjukkan keinginan untuk mengatakan atau mendengar
sesuatu. Hal ini dilakukan oleh para informan untuk dapat mendekatkan diri
dengan pasien anaknya.
4. Mempertahankan sikap terbuka.
Tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan untuk
berkomunikasi. Salah satu sikap yang menunjukkan keterbukaan dokter gigi
dalam berkomunikasi dengan anak adalah dengan tidak melipat tangan
ketika berkomunikasi dengan pasiennya. Apalagi sampai bertopang dagu
sewaktu berkomunikasi dengan pasiennya, hal tersebut menunjukkan bahwa
dokter gigi tidak bersemangat dalam melayani pasiennya.
5. Tetap rileks.
Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi
dalam memberikan respon kepada pasien. Ketika peneliti melihat informan
ketiga dalam menangani anak dari informan ke-12, meskipun pasien
Universitas Sumatera Utara
dapat menjadi magnet bagi dokter gigi yang dapat menarik pasiennya agar
tetap datang dan berobat di praktek gigi tersebut (Musliha & Siti Fatmawati,
2010 : 135).
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Dari hasil penelitian komunikasi terapeutik dokter gigi yang praktek
bersama dalam menangani pasien anak di Kota Medan, maka dapat ditarik
kesimpulan yakni:
1. Rasa takut terhadap dokter gigi yang ada di dalam diri anak terbagi atas
tiga macam, yaitu rasa takut objektif, rasa takut subjektif dan rasa takut
sugesti.
2. Proses komunikasi terapeutik terbagi atas empat fase yaitu fase
preinteraksi, fase orientasi, fase kerja, dan fase terminasi. Hal yang penting
diperhatikan ketika sedang melayani pasien anak adalah kesabaran, sikap
yang ramah, hangat, bersahabat, empati dan mampu membawakan diri
selayaknya anak-anak.
3. Ada beberapa manfaat yang didapatkan setelah melaksanakan komunikasi
terapeutik, yaitu komunikasi terapeutik dapat digunakan sebagai suatu cara
bagi dokter gigi untuk mendekatkan dirinya dengan pasien anaknya, dapat
mengubah mindset anak tentang dokter gigi, dapat mengurangi rasa takut
anak terhadap dokter gigi, dapat mengubah sikap dan prilaku anak sesuai
dengan yang diinginkan.
4. Hambatan komunikasi terapeutik terbagi atas tiga, yaitu hambatan yang
datang dari dalam diri dokter gigi itu sendiri, hambatan yang datang dari
dalam diri anak, dan hambatan yang datang dari orang tua pasien.
5.2 Saran
Setelah melakukan penelitian mengenai komunikasi terapeutik dokter gigi
yang praktek bersama dalam menangani pasien anak di Kota Medan, maka
peneliti berusaha untuk merumuskan beberapa saran yang diharapkan dapat
bermanfaat bagi berbagai pihak. Beberapa saran tersebut adalah :
5.3 Implikasi
a. Teoritis
Penelitian ini menunjukkan bahwa komunikasi yang efektif harus
dilaksanakan selama proses perawatan gigi anak. Bukan hanya komunikasi verbal
seperti membujuk dan merayu yang diperlukan, komunikasi non verbal juga
memegang peranan yang sangat penting dalam komunikasi antar dokter gigi
dengan pasien anak. Dari sentuhan tangan dokter gigi, anak bisa menerima makna
pesan yang sedang disampaikan oleh dokter gigi karena memang komunikasi non
verbal lebih mengandung makna yang luas dan lebih jujur dibandingkan dengan
komunikasi verbal.
b. Praktis
Peneliti menyarankan untuk para dokter gigi ketika sedang melayani anak
sebaiknya jangan hanya berpaku pada kekuatan pesan komunikasi verbal saja,
tetapi juga harus mampu menggunakan komunikasi non verbal dengan baik.
Harus ada kesesuaian makna pesan antara komunikasi verbal dan non verbal. Jika
dokter gigi dengan tulus dan ikhlas melayani pasien anaknya, tentu secara
bersamaan akan terjadi kesesuaian makna dari komunikasi verbal dan non verbal.
Selanjutnya akan tercapai komunikasi yang efektif yang dapat mencapai tujuan
komunikasi terapeutik pada penelitian ini yaitu perawatan gigi dan mulut anak
yang optimal.
DAFTAR REFERENSI
BlackBurn, Ivy Marie & Kate Davidson. 1994. Terapi Kognitif untuk Depresi dan
Kecemasan Suatu Petunjuk Bagi Praktisi. Semarang : IKIP Semarang Press.
(Diterjemahkan oleh Rusda Koto Sutadi).
Budyatna, Muhammad & Leila Mona Ganiem. 2012. Teori Komunikasi Antar
Pribadi. Jakarta : PT. Kencana Prenada Media Group.
Chalil, Diana & Riantri Barus. 2014. Analisis Data Kualitatif . Medan : USU
Press.
Fajar, Marhaeni. 2009. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik. Jogjakarta : Graha
Ilmu.
Gunarsa, Singgih D. 1997. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta : PT.
BPK Gunung Mulia.
Hariwijawa, M dan Basri M. Jaelani. 2005. Teknik Menulis Bidang Skripsi dan
Thesis. Yogyakarta : Zenith Publisher.
Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : PT. Re,aja
Rosdakarya.
Nuryanti, Lusi. 2008. Psikologi Anak. Jakarta : PT. Macanan Jaya Cemerlang.
Sabarguna, Boy S. 2008. Analisis Data pada Penelitian Kualitatif. Jakarta : UI-
Press.
Susanto, Ahmad. 2012. Perkembangan Anak Usia Dini. Jakarta : Prenada Media.
Sumber lain:
Diktat Bahan Kuliah Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara, 2014.
http://www.poltekkes-mks.ac.id/index.php/tutorials-mainmenu-48/media-
kesehatan-gigi/edisi-iii/653-pengaruh-komunikasi-terapeutik-perawat-gigi-
terhadap-tingkat-kepuasan-pasien-di-puskesmas-bungoro-kecamatan-bongoro-
kabupaten-pangkep-tahun-2011
diakses pada 12 Oktober 2014 Pukul 18:10 WIB
http://pustaka.unpad.ac.id/archives/125499/
diakses pada 13 Oktober 2014 Pukul 19:00 WIB
http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=69659&idc=45
diakses pada 13 Oktober 2014 Pukul 20:00
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/125717-R18-PED-205 Perbedaan tingkat-
Pendahuluan.pdf
Alamat
Nama Jenis
No Usia Pendidikan Stambuk Tempat
Informan Kelamin
Praktek
1. drg. Martha, Sp. 54 Perempuan S-1 1979 Jln.
Ort tahun FKG USU Letjen
Spesialis Jamin
Orthodonti Ginting
USU No. 548,
Pasar 1,
Medan
2. drg. Christy 34 Perempuan S-1 1999 Jln.
Nora Sembiring tahun FKG USU Letjen
Jamin
Ginting
No.
193A
Medan
3. drg. Juli 34 Perempuan S-1 1999 Jln.
Perangin-angin tahun FKG USU Letjen
Jamin
Ginting
No.
193A
Medan
4. drg. Ida Kristina 50 Perempuan S-1 1983 Jln.
tahun FKG USU Letjen
Jamin
Ginting
No. 180
P. Bulan,
Sp.
Kwala
5. drg. E. Erni 44 Perempuan S-1 1989 Jln.
Ginting tahun FKG USU Letjen
Jamin
Ginting
No. 180
P. Bulan,
Sp.
Kwala
6. drg. Bernadetta 30 Perempuan S-1 2003 Jln.
Sembiring tahun FKG USU Letjen
Jamin
Ginting
No. 548,
Pasar 1,
Medan
7. drg. M. Ridwan 24 Laki-laki S-1 2009 Jln.
Muchlis tahun FKG USU Letjen
Jamin
Ginting
No. 2,
Rumah
Sakit Siti
Hajar
Medan
8. drg. Afrida 34 Perempuan S-1 1999 Jln.
Hanum Sitepu tahun FKG USU Letjen
Jamin
Ginting
No. 2,
Rumah
Sakit Siti
Hajar
Medan
9. drg. Indira 37 Perempuan S-1 1996 Jln.
Sembiring tahun FKG USU Letjen
Jamin
Ginting
No. 2,
Rumah
Sakit Siti
Hajar
Medan
10. Merta 24 Perempuan D-3 2009 Jln.
(Perawat gigi tahun Perawat Letjen
drg.Martha dan gigi Jamin
drg. Bernadetta) Ginting
No. 548,
Pasar 1,
Medan
11. Siti Agustina 32 Perempuan - - Jln.
(Ibu Khansa, tahun Jamin
pasien anak drg. Ginting
Juli) Nomor
175
12. Mery (Ibu 42 Perempuan - - Jln Jamin
Margaret, pasien tahun Ginting
anak drg. Ida) Perumah
an Royal
Platinum
13. Indri (Ibu 37 Perempuan - - Jln.
Daniel, pasien tahun Jamin
anak drg. Erni) Ginting
Perumah
an Buena
Vista
Biodata Peneliti
KARTINI BR SEMBIRING
NIM : 110904114
FOTO DOKUMENTASI
Foto peneliti dan informan kedua Foto peneliti dan informan ketiga
Foto peneliti dengan informan ketujuh Foto peneliti dan informan kedelapan
Foto peneliti dengan informan kesembilan Foto anak dari informan ke-11
Foto anak dari informan ke-12 Foto anak dari informan ke-13