Anda di halaman 1dari 5

A.

Dispepsia
1. Definisi
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen
bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala
berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah
makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan
sendawa. Untuk dispepsia fungsional, keluhan tersebut di atas harus berlangsung
setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum
diagnosis ditegakkan.
2. Patofisiologi
Patofisiologi ulkus peptikum yang disebabkan oleh Hp dan obat-obatan anti-
inflamasi non-steroid (OAINS) telah banyak diketahui.1 Dispepsia fungsional
disebabkan oleh beberapa faktor utama, antara lain gangguan motilitas
gastroduodenal, infeksi Helicobacter pylori, asam lambung, hipersensitivitas viseral,
dan faktor psikologis. Faktor-faktor lainnya yang dapat berperan adalah genetik, gaya
hidup, lingkungan, diet dan riwayat infeksi gastrointestinal sebelumnya.
1) Peranan gangguan motilitas gastroduodenal
Gangguan motilitas gastroduodenal terdiri dari penurunan kapasitas lambung
dalam menerima makanan (impaired gastric accommodation), inkoordinasi
antroduodenal, dan perlambatan pengosongan lambung. Gangguan motilitas
gastroduodenal merupakan salah satu mekanisme utama dalam patofisiologi
dispepsia fungsional, berkaitan dengan perasaan begah setelah makan, yang dapat
berupa distensi abdomen, kembung, dan rasa penuh.
2) Peranan hipersensitivitas viseral
Hipersensitivitas viseral berperan penting dalam patofisiologi dispepsia
fungsional, terutama peningkatan sensitivitas saraf sensorik perifer dan sentral
terhadap rangsangan reseptor kimiawi dan reseptor mekanik intraluminal
lambung bagian proksimal. Hal ini dapat menimbulkan atau memperberat gejala
dispepsia.
3) Peranan faktor psikososial
Gangguan psikososial merupakan salah satu faktor pencetus yang berperan
dalam dispepsia fungsional. Derajat beratnya gangguan psikososial sejalan
dengan tingkat keparahan dispepsia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
depresi dan ansietas berperan pada terjadinya dispepsia fungsional.
4) Peranan asam lambung
Asam lambung dapat berperan dalam timbulnya keluhan dispepsia fungsional.
Hal ini didasari pada efektivitas terapi anti-sekretorik asam dari beberapa
penelitian pasien dispepsia fungsional. Data penelitian mengenai sekresi asam
lambung masih kurang, dan laporan di Asia masih kontroversial.
5) Peranan infeksi Hp
Prevalensi infeksi Hp pasien dispepsia fungsional bervariasi dari 39% sampai
87%. Hubungan infeksi Hp dengan ganggguan motilitas tidak konsisten namun
eradikasi Hp memperbaiki gejala-gejala dispepsia fungsional.

3. Diagnosis Dispepsia
Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik dan
fungsional. Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis
erosi, gastritis, duodenitis dan proses keganasan. Dispepsia fungsional mengacu
kepada kriteria Roma III. Kriteria Roma III belum divalidasi di Indonesia. Konsensus
Asia-Pasifik (2012) memutuskan untuk mengikuti konsep dari kriteria diagnosis
Roma III dengan penambahan gejala berupa kembung pada abdomen bagian atas
yang umum ditemui sebagai gejala dispepsia fungsional. Dispepsia menurut kriteria
Roma III adalah suatu penyakit dengan satu atau lebih gejala yang berhubungan
dengan gangguan di gastroduodenal:
• Nyeri epigastrium
• Rasa terbakar di epigastrium
• Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
• Rasa cepat kenyang
Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir
dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Kriteria Roma III
membagi dispepsia fungsional menjadi 2 subgrup, yakni epigastric pain syndrome
dan postprandial distress syndrome. Akan tetapi, bukti terkini menunjukkan bahwa
terdapat tumpang tindih diagnosis dalam dua pertiga pasien dispepsia.

Gambar 1.Alur Diagnosis dispepsia belum diinvestigasi


B. Profil obat pantoprazole
1. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja obat golongan PPI adalah dengan menghambat produksi
asam pada tahap akhir mekanisme sekresi asam, yaitu pada enzim (H+, K+)-ATPase
dari pompa proton sel parietal. Enzim (H+, K+)-ATPase berperan penting dalam
pertukaran ion dari dan ke dalam sel parietal, hasil pertukaran ion inilah yang
membentuk asam lambung HCl. PPI bersifat lipofilik (larut dalam lemak), sehingga
dapat dengan mudah menembus membran sel parietal tempat asam dihasilkan serta
hanya aktif dalam lingkungan asam dan pada satu tipe sel saja yaitu sel parietal
mukosa lambung.
2. Farmakokinetik pantoprazole
Tabel 1: Perbandingan farmakokinetik golongan PPI

Pantoprazole memiliki profil farmakokinetik yang linier dan tidak bervariasi


setelah pemberian tunggal ataupun berulang, baik pada pemberian oral maupun
intravena (IV). Setelah pemberian infus dengan kecepatan konstan selama 15 menit
atau bolus selama 2 menit, kadar pantoprazole injeksi turun secara bieksponensial.
Kira-kira 15 menit setelah selesai injeksi atau infus, terjadi fase distribusi yang sangat
cepat dan diikuti dengan fase eliminasi akhir dengan waktu paruh kira-kira 1 jam.
Total bersihan serum pantoprazole kirakira 0,1 L/jam/kg. Volume distribusi kira-kira
0,15 L/kg. Ikatan protein plasma pantoprazole sekitar 98%. Obat dimetabolisme di
hati oleh sitokrom P450 (terutama oleh CYP2C19 dan dalam jumah sedikit oleh CYP
3A4, 2D6, dan 2C9) dan ekskresi utama dari metabolitnya (sekitar 80%) melalui
ginjal dalam bentuk metabolit inaktif. Pantoprazole tidak diakumulasi, dan profil
farmakokinetiknya tidak berubah dengan pemberian berulang.
3. Indikasi pantoprazole
Berdasarkan cara kerja pantoprazole yang dapat menghambat produksi asam
lambung membuat obat ini dapat digunakan untuk beberapa penyakit yang dipicu atau
disebabkan oleh asam lambung seperti berikut:
a) Mengobati refluk asam lambung (GERD) yang biasanya ditandai dengan nyeri
pada ulu hati. Mengobati tukak lambung dan tukak duodenum.
b) Mengobati esofagitis erofis, yaitu kondisi perlukaan di kerongkongan akibat
naiknya asam lambung.
c) Mengobati tukak lambung yang disebabkan oleh efek samping penggunaan obat
anti nyeri non steroid (OAINS).
d) Mengobati tukak lambung akibat infeksi bakteri H. pylori.
e) Mengobati sindrom Zollinger-Ellison yang merupakan salah satu penyebab tukak
lambung akibat pertumbuhan tumor garsinoma di duodenum dan pankreas. Tumor
ini dapat langsung meningkatkan produksi asam di lambung.
4. Kontraindikasi pantoprazole
Tidak semua orang boleh menggunakan obat ini, orang yang diketahui
memiliki kondisi di bawah ini tidak boleh menggunakannya:
a) Memiliki riwayat hipersensitifitas atau alergi terhadap kandungan pantoprazole
atau obat jenis penghambat pompa proton lainnya.
b) Sedang mengonsumsi obat rilpivirin, atazanavir atau nelfinavir yang merupakan
obat yang digunakan untuk pengobatan infeksi HIV.
c) Sedang dalam masa menyusui.
5. Dosis dan sediaan pantoprazole
Pantoprazole tersedia dalam bentuk sediaan dan kekuatan dosis berikut:
a) Tablet salut enterik: 20 mg, 40 mg
b) Serbuk injeksi: 40 mg
c) Cairan injeksi: 40 mg
Dosis pantoprazole

6. Efek samping pantoprazole


Beberapa efek samping pantoprazole, antara lain sebagai berikut:
a) Nyeri perut.
b) Sakit kepala.
c) Reaksi kulit pada area injeksi.
d) Penglihatan buram.
e) Mulut kering. Kulit kering.
f) Mulut beraroma seperti buah.
g) Meningkatkan rasa lapar.
h) Meningkatkan rasa haus.
i) Meningkatkan keluaran urin.
j) Mual dan muntah.
k) Sering berkeringat.
l) Meningkatkan risiko diare yang disebabkan oleh bakteri C. difficile (CDAD)
Pada penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan efek samping seperti berikut:
a) Menyebabkan gastritis atrofik.
b) Menyebabkan hipomagnesemia.
c) Menyebabkan malabsorbsi cyanokobalamin.
d) Meningkatkan risiko patah tulang pada penderita osteoporosis
7. Interaksi pantoprazole dengan obat lain
Obat golongan PPI dimetabolisme oleh CYP450 isoenzim CYP2C19 dan
CYP3A4, sehingga obat ini memiliki potensi berinteraksi dengan obat-obatan lain
terutama yang dimetabolisme di CYP-450. Beberapa laporan mengenai interaksi obat
antara PPI dan obat-obatan lain yang dimetabolisme di CYP450. Pantoprazole
memiliki potensi interaksi paling rendah dengan CYP450, sehingga potensinya untuk
berinteraksi dengan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim ini paling minimal.
Beberapa studi juga melaporkan tidak terjadi interaksi klinis yang signifikan antara
pantoprazole dengan obat lainnya. Pada orang sehat, pantoprazole secara klinis tidak
menunjukkan interaksi yang signifikan dengan diazepam, theophylline,
carbamazepine, diclofenac, warfarin, nifedipine, caffein, metoprolol, atau ethanol.

Dapus:

1. Simadibrata M dkk. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi


Helicobacter pylori. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI);
2014
2. Bertram G.Katzung. Farmakologi dasar dan klinik. 10th ed. Jakarta. EGC; 2010.
3. Panggabean MS. Tinjauan atas Pantoprazole - a Proton Pump Inhibitor. Jurnal Cermin
Dunia Kedokteran (CDK). 2017; 44(11): 831-834
4. Farrel B dkk. Deprescribing proton pump inhibitors Evidence-based clinical practice
guideline. Canadian Family Physician Journal. 2017 May; Vol 63: 354-364

Anda mungkin juga menyukai