Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS YURIDIS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI


DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DAN
AMAR PUTUSAN NOMOR 05/KPPU-I/2002
Oleh: Yeni Triana dan Miftahul Haq
Alamat: Fakultas Hukum Unilak Pekanbaru Jl. Yos Sudarso Km 8 Rumbai, Pekanbaru
Email: yeni_hukum@yahoo.com

Abstrak
Penelitian ini menganalisis idealisme normatif Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat (UU Antimonopoli) dikomparasikan dengan Putusan Nomor 05/KPPU-
I/2002 dalam kasus monopoli industri film di Indonesia. Amar putusan KPPU
menyatakan bahwa 21 Group seharusnya dibatasi masa berlakunya agar
investor asing tidak dengan mudah berbisnis tanpa batasan waktu yang jelas.
Jenis penelitian ini bersifat penelitian hukum normatif. Hasil penelitian ini
menyimpulkan dua hal. Pertama, ketentuan yang terdapat dalam UU
Antimonopoli dibandingkan dengan realita, ternyata Grup 21 telah melanggar
ketentuan UU Antimonopoli, yaitu Pasal 14, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19,
Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27. Kedua, Grup 21 harus melakukan berbagai
perbaikan, seperti mengurangi pemusatan kepemilikan dalam Grup 21,
dengan cara mengurangi atau mengubah share ownership sehingga tidak lagi
terjadi rangkap jabatan strategis, mengurangi atau menghilangkan entry
barries agar pelaku usaha lain dapat mengambil bagian dalam bidang usaha
importir film lain dari MPA. Oleh karena itu, perlu dilakukan empat langkah
untuk mengatasi masalah tersebut. Pertama, mengawasi secara ketat
tumbuhnya industri bioskop di Indonesia dengan memaksimalkan penerapan
UU Antimonopoli. Kedua, meningkatkan peran serta masyarakat dan
pemerhati bioskop di Indonesia. Ketiga, meningkatkan fungsi KPPU sebagai
suatu lembaga independen untuk menjaga dan mengawasi terlaksananya UU
Antimonopoli. Keempat, memperbaiki dan menambah sistem jadwal
penayangan film nasional sesuai dengan Undang-Undang Perfilman yang
menegaskan bahwa impor film merupakan pelengkap untuk memenuhi
keperluan penayangan film di dalam negeri yang jumlahnya harus seimbang
dengan peningkatan produksi film Indonesia.

Abstract
This research analized the noratie idealism of Law Number 5/1999 on the
Prohibition of the Monopoly Practice and unfair business competition (Antitrust
law). It was due to Decision Number 05/KPPU-I/2002 concerning the
monopoly case of 21 group in cinema industry monopoly. KPPU decided that
the 21 group business must have a clear time limitation in conducting the
business. The restriction aimed to avoid the the barrier of another foreign
investor who want to run the cinema business. This research used normative
approach and formulated two important summaries. First, 21 group had

1
broken the ruling on Anti Trust Law, section 14, 17, 18,19, 25, 27. Secondly,
21 Group should reconstruct the centralized ownership by reducing or
subtituting the share holder position to avoid double strategic position and
loose the barrrier entry. Thus, the other party might take a part in the
business of importing film. Besides, the research recommended steps to
overcome the problem namely optimalizing the implementation of Antitrust
Law, improving the role of KPPU as independent body as well as the
participation from society and cinema sympathizer to watch the effectiveness
of the implementation of the Anti Trust Law, adding the number of the
national film schedule show due Cinema Law where it stated that imported
film was only variatif component to fulfill the need of cinema industry.
Therefore, the number of imported film must be balanced with the production
of Indonesian film.

Kata kunci: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Putusan Nomor 05/KPPU-I/2002,


industri film, monopoli

Pendahuluan
Idealisme normatif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dikomparasikan dengan amar Putusan Nomor
05/KPPU-I/2002 dalam sidang Majelis yang menyatakan Group 21 tidak bersalah sangat
menarik ditelaah dalam tinjauan yuridis. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat memberikan nilai ideal
dalam persaingan industri film, tetapi di sisi lain amar putusan Nomor 05/KPPU-I/2002
memberikan angin segar kepada investor asing untuk masuk dalam industri film di
Indonesia terbuka selebar-lebarnya.
Kemenangan Group 21 dalam aspek hukum persaingan bisnis, berpengaruh pada
dua hal. Pertama, semakin banyak investor film internasional dengan modal besar mencari
pangsa pasar di Indonesia dengan asumsi tingginya pertumbuhan ekonomi Indonsia dan
tingginya animo masyarakat Indonesia terhadap impor film-film asing di tayangan bioskop
seluruh jaringan 21 Group. Kedua, semakin mengecilkan peran pengusaha industri film asal
Indonesia. Meskipun Group 21 berafiliasi dengan beberapa pengusaha Indonesia, namun
kemenangan Group 21 dalam aspek hukum sangat menarik dianalisis dari perspektif hukum
normatif.
Dugaan praktik monopoli yang mencengangkan terjadi pada tanggal 5 Juli 2002.
Laporan Monopoly Watch menyatakan bahwa adanya dugaan kuat pelanggaran terhadap
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat dilakukan oleh Group 21 yang mengakibatkan persaingan bisnis curang
dalam bentuk pelanggaran Pasal 19 mengenai penguasaan pasar.1
Dalam amar putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, seharusnya dibatasi masa
berlaku ditinjau kembali agar investor asing tidak dengan mudah menancapkan bisnis
tanpa batasan waktu yang jelas. Selain itu, putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
dapat disalahartikan oleh investor besar dalam ranah hukum Indonesia, seolah-olah hukum
di Indonesia sulit berhadapan dengan group korporasi besar mancanegara. Mencermati hal
tersebut maka timbul permasalahan, apakah alasan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

1
Laporan Monopoly Watch Position Paper Nomor 004/MW/VII/2002.

2
memberi amar Putusan Nomor 05/KPPU-I/2002 yang menyatakan bahwa tuduhan
Monopoly Watch dinyatakan KPPU tidak terbukti? Selanjutnya, bagaimanakah cara
mengurangi konglomerasi dan pembatasan waktu bagi investor dalam industri film di
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat? Tulisan ini berupaya menjawab beberapa
permasalahan tersebut.

Pendekatan Per See Illegal dan Rule of Reason


Larangan yang bersifat per see illegal adalah larangan yang bersifat jelas, tegas,
dan mutlak dalam rangka memberi kepastian bagi para pelaku usaha. Larangan ini bersifat
tegas dan mutlak disebabkan perilaku yang sangat mungkin merusak persaingan, sehingga
perlu lagi melakukan pembuktian akibat perbuatan tersebut. Tegasnya, pendekatan per see
illegal melihat perilaku usaha atau tindakan yang dilakukan bertentangan dengan hukum.
Pendekatan per see Illegal harus memenuhi dua syarat. Pertama, harus ditujukan
lebih dahulu kepada perilaku bisnis daripada situasi pasar, karena keputusan melawan
hukum dijatuhkan tanpa disertai pemeriksaan lebih lanjut. Misalnya, mengenai akibat dan
hal-hal melingkupinya. Kedua, adanya identifikasi secara cepat dan mudah mengenai
praktik atau batasan perilaku yang terlarang. Dengan kata lain, penilaian atas tindakan dari
perilaku baik di pasar maupun dalam proses pengadilan harus dapat ditentukan dengan
mudah. Meskipun demikian, diakui terdapat perilaku yang terlarang dan perilaku yang sah.
Sebab, penerapan per see illegal yang berlebihan dapat menjangkau perbuatan yang
sebenarnya tidak merugikan bahkan mendorong persaingan. 2
Mengenai jenis perjanjian atau tindakan yang dikategorikan sebagai per see
tidaklah selalu sama di setiap tempat atau industri. Perbedaan ini disebabkan perbedaan
dalam menimbang takaran kepatutan dan keadilan. Selain itu, perbedaan penetapan ini
juga melihat tingkat efisiensi dan manfaat bagi masyarakat. Pendekatan ini mempunyai
kelebihan dan kekurangan. Ada tiga kelebihannya, yaitu pertama, terjadinya kepastian
terhadap suatu persoalan hukum antimonopoli yang muncul. Ketika terjadi penetapan
harga (price pixing), boycott, horizontal market division, dan tying arrangement dilakukan
pelaku usaha maka hakim dapat menggunakan pendekatan ini secara langsung. Kedua,
jika suatu perjanjian atau perbuatan yang dilakukan yang hampir pasti merusak dan
merugikan persaingan maka untuk apalagi bersusah payah melakukan pembuktian, tidak
hanya memakan waktu, namun juga biaya yang mahal. Ketiga, pendekatan per see illegal
lebih memudahkan hakim memutuskan perkara persaingan usaha.
Penerapan pendekatan per see illegal secara berlebihan dapat menjangkau
perbuatan yang mungkin tidak merugikan. Terkadang pendekatan ini tidak selalu akurat
menghasilkan pandangan apakah suatu tindakan pelaku usaha benar-benar tidak effisien
dan merugikan konsumen. Sementara itu, pendekatan secara rule of reason adalah
kebalikan per see illegal. Dalam pendekatan ini hukuman terhadap perbuatan yang
dituduhkan melanggar industri persaingan harus mempertimbangkan situasi dan kondisi
kasus. Teori rule of reason mengharuskan pembuktian, mengevaluasi mengenai akibat
perjanjian, kegiatan atau posisi dominan tertentu guna menentukan apakah perjanjian atau
kegiatan tersebut menghambat atau mendukung persaingan. Dalam melakukan

2
A.M. Tri Anggraini, “Penerapan Pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal dalam Hukum
Persaingan,” Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 24, No. 2, 2005, hlm. 9-10.

3
pembuktian harus melihat seberapa jauh tindakan yang merupakan antipersaingan tersebut
berakibat kepada pengekangan persaingan di pasar. Dalam teori rule of reason sebuah
tindakan tidak secara otomatis dilarang, meskipun perbuatan yang ditudahkan tersebut
kenyataannya terbukti telah dilakukan. Dengan demikian, pendekatan ini memungkinkan
pengadilan untuk melakukan interpretasi terhadap undang-undang dan interpretasi pasar.
Alasan yang sah untuk melarang suatu perjanjian atau kegiatan berbeda-beda
antara satu industi dengan industri lainnya, tergantung dari tujuan industri persaingan yang
berlaku. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, rule of reason dapat dilihat dari
kalimat “mengakibatkan atau dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan tidak sehat atau juga dengan patut diduga”. Kalimat ini menyiratkan bahwa
perlu penelitian yang mendalam tentang suatu perjanjian atau kegiatan apakah berdampak
terjadinya praktik monopoli.

Tuduhan Monopoly Wacth Terhadap Pelanggaran Praktik Monopoli dan


Persaingan Usaha Tidak Sehat Grup 21
Investigasi Monopoly Watch dalam tulisan itu menunjukkan adanya persaingan
bisnis curang dalam berbagai bentuk setidaknya ada delapan pelanggaran. Pertama,
Pelanggaran Pasal 14 tentang Integrasi Vertikal. Grup 21 telah melakukan praktik integrasi
vertikal. Menurut Sthepen F. Ross, integrasi vertikal semacam ini dapat menimbulkan
efek negatif dalam industri film, terutama bagi persaingan ekportir dan importir film. Efek
negatif, di antaranya integrasi vertikal ke arah hulu (upstream) dapat mengurangi
kompetisi di antara penjual di tingkat hulu (upstream level), integrasi vertikal ke arah hilir
(downstream integration) dapat memfasilitasi diskriminasi harga dan meningkatnya
hambatan masuk (entry barriers).3 Kedua, pelanggaran Pasal 15 mengenai perjanjian
tertutup. Grup 21 telah melakukan perjanjian tertutup dengan alasan kerja sama produsen
film lokal dengan Grup 21 dalam pemutaran flm. Perjanjian tertutup atau excusive dealing
adalah suatu perjanjian yang terjadi antara mereka yang berada pada level yang berbeda
pada proses produksi atau jaringan distribusi suatu barang atau jasa.4
Permasalahan dalam exclusive dealing ialah kemungkinan matinya suatu pelaku
usaha karena tidak mendapatkan bahan baku atau tidak mempunyai distributor yang akan
menjual produknya. Selain itu, ekslusif dealing juga dapat menyebabkan meningkatnya
halangan untuk masuk ke pasar.5
Ketiga, pelanggaran Pasal 17 mengenai monopoli. Grup 21 telah melakukan
monopoli, yaitu adanya hak tunggal mendistribusikan film-film dari Major Companies ke
bioskop Grup 21 terutama di wilayah Jakarta. Salah satu jenis struktur pasar yang
mempunyai sifat-sifat monopoli adalah satu perusahaan dengan banyak pembeli,
kurangnya produk substitusi atau pengganti serta adanya pemblokiran pasar (barrier to
entry) yang tidak dapat dimasuki oleh pelaku usaha lainnya.6

3
Sthepen F. Ross, Principles of Antitrust Law, (Westbury-New York: The Foundation Press, 1993), hlm.
384.
4
Philip Clarke and Stephen Corones, Competition Law and Policy: Cases and Materials, (USA: Oxford
University Press, 2000), hlm. 376.
5
L.A. Sullivan & W.S. Grimes, The Law of Antitrust: An Integrated Handbook, (St.Paul-Minnesota:
West Group, 2000), hlm. 176.
6
Christopher Pass and Bryan Lowes dalam Elyta Ras Ginting, Hukum Antimonopoli Indonesia: Analisis
dan Perbandingan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 19.

4
Keempat, pelanggaran Pasal 18 mengenai monopsoni. Grup 21 telah melakukan
monopsoni dengan alasan Grup 21 memiliki hak tunggal dalam distribusi film-film dari
Major Companies yang diberikan pihak MPA (distributor film-film Hollywood: Century Fox,
Universal Studio, Wanner Bros, Buena Toucshtone dan Columbia Tri Star). Dalam pasar
monopsoni, biasanya harga barang atau jasa akan lebih rendah dari harga pada pasar yang
kompetitif.7
Kelima, pelanggaran Pasal 19 mengenai penguasaan pasar. Grup 21 telah
melakukan penguasaan pasar dengan alasan dengan hak tunggal tersebut Grup 21
memiliki prioritas untuk mendistribusikan film-film Major Campanies ke bioskop Grup 21,
terutama di wilayah Jakarta. Walaupun pasal ini tidak merumuskan berapa besar
penguasaan pasar atau berapa pangsa pasar suatu pelaku usaha, namun demikian suatu
perusahaan yang menguasai suatu pasar pasti mempunyai posisi dominan di pasar. 8
Keenam, pelanggaran Pasal 25 mengenai posisi dominan. Grup 21 memiliki posisi
dominan dengan alasan persyaratan perjanjian kerja sama produsen film nasional dengan
Grup 21 dalam pemutaran film (termasuk di antaranya biasa promosi dan bagi hasil
pendapatan) tidak dalam keadaan seimbang. Ketujuh, pelanggaran Pasal 26 mengenai
jabatan Rangkap. Grup 21 melakukan jabatan rangkap dengan alasan jabatan rangkap
tersebut terlihat pada perilaku dan aktivitas beberapa personalia yang namanya selalu ada
pada beberapa posisi di beberapa perusahaan berbeda yang terafiliasi. Kedelapan,
pelanggaran Pasal 27 mengenai kepemilikan saham. Kepemilikan saham beberapa
perusahaan yang terafiliasi dan bergerak pada bidang yang sama serta terintegrasi, yaitu
bisnis bioskop, distribusinya, dan impor film.

Tanggapan Majlis Komisi KPPU


Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha menimbang berdasarkan fakta-fakta,
seterusnya menyimpulkan beberapa hal. Pertama, dari Terlapor I dan Terlapor II
terintegrasi secara vertikal dalam rangkaian jasa pendistribusian dan penayangan film
impor MPA, namun penguasaan tersebut di bawah 50% dari keseluruhan film impor,
sehingga bukan merupakan integrasi vertikal sebagaimana dimaksudkan Pasal 14 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999. Kedua, perjanjian yang dibuat oleh Terlapor I dan Terlapor
II dengan beberapa anggota MPA tidak memuat persyaratan-persyaratan mengenai
keharusan untuk memasok kembali film kepada pihak tertentu dan atau pada tempat
tertentu atau mengenai keharusan dari Terlapor I dan Terlapor II bersedia membeli barang
dan atau jasa lain dari pihak MPA, atau mengenai harga atau potongan-potongan tertentu
dengan syarat membeli barang dan jasa lain atau tidak akan membeli film dari produsen
lain, sehingga perjanjian tersebut bukan merupakan perjanjian tertutup sebagaimana
dimaksud Pasal 15 Undang Nomor 5 Tahun 1999. Ketiga, Terlapor I dan Terlapor II telah
menguasai distribusi film impor MPA, namun penguasaan tersebut kurang dari 50 %
keseluruhan film impor pada tahun 2001 dan tahun 2002, sehingga kegiatan yang
dilakukan Terlapor I dan Terlapor II bukan merupakan kegiatan monopoli sebagaimana
dimaksud Pasal 17 Undang Nomor 5 Tahun 1999.

7
R. Sheyam Khemani, A Framework for the Design and Implementation of Competition Law and
Policy, (World Bank and OECD. 2001), hlm. 30.
8
Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, 2000, hlm. 273.

5
Keempat, meskipun Terlapor III menguasai pangsa pasar bioskop first run sebagian
besar kota, namun tidak ditemukan bukti adanya praktik monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat sebagaimana dimaksud Pasal 17 Undang Nomor 5 Tahun 1999. Kelima,
Film-film impor yang ditayangkan di bioskop-bioskop milik Terlapor III tidak bersifat
mutually exclusive. Artinya, film-film tersebut bisa juga ditayangkan di bioskop non 21 pada
saat bersamaan dan tidak ada paksaan bagi importir film untuk memasok filmnya ke
bioskop Grup 21, sehingga bukan merupakan kegiatan monopsoni sebagaimana dimaksud
Pasal 18 Undang Nomor 5 Tahun 1999. Keenam, Terlapor I dan Terlapor II
mendistribusikan film impor kepada bioskop Grup 21 dan bioskop non 21 berdasarkan
pertimbangan teknis dan ekonomis, sehingga bukan merupakan praktik diskriminasi
sebagaimana di maksud Pasal 19 huruf d Undang Nomor 5 Tahun 1999. Ketujuh,
penguasaan film impor oleh Terlapor I dan Terlapor II kurang dari 50%, Terlapor I dan
Terlapor II tidak berada pada posisi monopoli. Oleh karena itu, tidak berada pada posisi
dominan sebagaimana dimaksud Pasal 25 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Kedelapan, meskipun Terlapor III berada dalam posisi dominan sebagaimana
dimaksud Pasal 25 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 di sebagian besar kota,
namun tidak ditemukan bukti adanya penetapan syarat-syarat perdagangan untuk
mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh jasa penayangan film yang
bersaing atau membatasi pasar atau menghambat pelaku usaha bioskop lain yang
berpotensi menjadi pesaingnya, sehingga tidak memenuhi ketentuan Pasal 25 Undang-
Nomor 5 Tahun 1999. Kesembilan, Harris Lesmana dan Suryo Suherman menduduki
jabatan rangkap dan jabatan strategis pada beberapa perusahaan importir film dan atau
perusahaan bioskop. Hal ini berpotensi besar menimbulkan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat, tetapi hingga berakhirnya pemeriksaan Majelis Komisi
Pengawas Persaingan Usaha belum menemukan cukup bukti untuk menyatakan
perangkapan jabatan tersebut, sehingga mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana dimaksud Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999. Kesepuluh, Terlapor III tebukti memiliki saham mayoritas pada beberapa
perusahaan yang bergerak dalam bidang perbioskopan, seperti PT Intra Mandiri dan PT
Wedu Mitra di pasar bersangkutan yang sama di Surabaya. Bioskop-bioskop yang dimiliki
oleh kedua perusahaan tersebut menguasai lebih dari 50% pangsa pasar, sehingga
kepemilikan saham Terlapor III tersebut memenuhi ketentuan Pasal 28 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha


Pemeriksaan pendahuluan mulai tanggal 2 Agustus 2002 hingga tanggal 12
September 2002, Tim Pemeriksa telah mendengar keterangan dari Pelapor, Terlapor I dan
Terlapor II dan Terlapor III dan pemeriksaan lanjutan mulai tanggal 13 September 2002
hingga tanggal 18 februari 2003. Tim Pemeriksa telah mendengar keterangan dan
melakukan penyelidikan dari Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III dan 25 saksi. Setelah
meneliti dan menilai 271 surat dan dokumen serta mengingat Pasal 43 angka 3 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 maka Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha
memutuskan beberapa hal. Pertama, menyatakan Terlapor I, yakni PT Camila Internusa
Film dan Terlapor II, yakni PT Satrya Perkasa Estethika Film tidak terbukti melanggar Pasal
15, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 25, Passal 26, Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999. Kedua, menyatakan Terlapor III, yakni PT Nusantara Sejahtera Raya tidak
terbukti melanggar Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27

6
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Ketiga, menyatakan Terlapor I, yakni PT Camila
Internusa Film, Terlapor II, yakni PT Satrya Perkasa Estethika Film, dan Terlapor III PT
Nusantara Sejahtera raya tidak terbukti melanggar Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999.
Keempat, menyatakan Terlapor II, yakni PT Nusantara Sejahtera Raya terbukti
secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 27 UU Undang Nomor 5 Tahun 1999. Kelima,
memerintahkan Terlapor III, yakni PT Nusanatara Sejahtera Raya untuk mengurangi
kepemilikan sahamnya pada PT Intra Mandiri dan PT Wedu Mitra atau mengambil tindakan
lain, sehingga tidak melanggar Pasal 27 dalam waktu 48 hari terhitung sejak dibacakan
putusan ini. Keenam, menghukum Terlapor III, yaitu PT Nusantara Sejahtera Raya untuk
membayar denda Rp 1.000.000.000 apabila Terlapor III tidak melaksanakan diktum 5
tersebut. Ketujuh, menghukum Terlapor III, yaitu PT Nusantara Sejahtera Raya untuk
membayar denda keterlambatan sebesar 0.1 % dari nilai denda yang dikenakan untuk
setiap hari keterlambatan tidak melaksanakan diktum 6 hingga hari ke 30. Apabila batas
waktu sebagaimana dimaksud dalam diktum 7 terlewati maka putusan ini akan diserahkan
kepada penyidik untuk dilaksanakan penyidikan sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Analisis Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik


Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Amar Putusan Nomor 5/KPPU-
I/2002.
Mencermati adanya permasalahan dugaan praktik monopoli sebagaimana
dikemukakan di atas maka terdapat empat analisis. Pertama, tuduhan pelanggaran Pasal
14 Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengenai integrasi vertikal dan Pasal 18 Undang Nomor 5
Tahun 1999 mengenai monopsoni. Integrasi vertikal adalah penguasaan serangkaian
proses produksi atas barang tertentu mulai dari hulu sampai hilir atau proses yang
berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu, yang dilarang
sepanjang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.9
Perilaku usaha Grup 21 sebagai pemilik hak tunggal dalam mendistribusikan film-film Major
Companies dari MPA dan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang terafiliasi, dalam hal
ini perusahaan milik Terlapor II (PT Camila Internusa Film) dan perusahaan milik Terlapor
II ( PT Satrya Perkasa Estethika) jelas menunjukkan praktik integrasi vertikal. Hal ini dapat
dilihat dari tambahan berita negara tentang perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan
Grup 21.
Pada tanggal 6 januari 2003, Terlapor I dalam pemeriksaan lanjutan menyatakan
bahwa Terlapor I, Terlapor II dan Terlapor III tidak berada dalam kelompok yang sama 21
ialah merk dagang bioskop Grup 21, sementara Terlapor I, Terlapor II ialah perusahaan
distributor film. Hal ini tidak dapat mengingari kenyataan pola perilaku intergrasi vertikal
yang dilakukan oleh Grup 21 sebagai Terlapor III. Apalagi Terlapor I pada tanggal 4
September 2002 dalam pemeriksaan pendahuluan menyatakan bahwa Harris Leesmana
ialah Direktur Utama Terlapor III dan sebagai Direktur Utama Terlapor I. Walaupun Komisi
Pengawas Persaingan Usaha menyatakan bahwa integrasi vertikal yang dilakukan oleh
Grup 21 kurang dai 50%, namun melalui konfirmasi yang dilakukan oleh tim investigasi
Komisi Pengawas Persaingan Usaha dengan Monopoly Wacth mengenai perhitungan jumlah

9
Sthepen F. Ross, Principles of Antitrust Law, (Westbury New York: The Foundation Press, 1993), hlm.
384.

7
film yang dimpor oleh Grup 21 pada tahun 2001 sebanyak 90 film atau sebesar 61% dari
total keseluruhan 214 film impor kategori film eropa-amerika.10 Selanjutnya, pada tahun
2001 sebanyak 56 film atau sebesar 59 % dari total keseluruhan 151 film impor Eropa-
Amerika. Data ini diolah oleh monopoly wacth berdasarkan rekapitulasi produser/pemilik
film LSF Tahun 2001 dan tahun 2003.
Besarnya persentase yang diimpor oleh Grup 21 di atas 50%, menegaskan perilaku
usaha monopsoni yang dilakukan oleh Grup 21. Hal ini berarti melanggar Pasal 18 Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1999 yang melarang pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan
atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau dianggap melakukan tindakan
monopsoni tersebut jika satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai
lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Sepanjang tahun 2001
dan tahun 2002, Grup 21 menayangkan lebih dari 90% film impor.
Kedua, tuduhan pelanggaran Pasal 19 Undng-Undang Nomor 5 Tahun 1999
mengenai penguasaan pasar. Sebagai pemegang hak tunggal mendistribusikan film-film
major companies dari MPA, Grup 21 memiliki prioritas untuk mendistribusikan dan
menayangkan film-flm tersebut ke bioskop-bioskop miliknya sendiri. Jumlahnya merupakan
mayoritas dari keseluruhan bioskop Indonesia. Berarti film-film yang kemudian ditayangkan
oleh Grup 21 ialah film-film fist run dan yang up to date karena lebih banyak diminati
penonton. Walaupun menurut keterangan Terlapor I, Terlapor II bahwa pendistribusian
film impor kepada bioskop Grup 21 dan non Grup 21 adalah berdasarkan pertimbangan
teknis dan ekonomis, namun sebagai pemegang hak tunggal importir film MPA, ada
kemungkinan Grup 21 secara sepihak dapat menentukan bioskop-bioskop mana saja, baik
milik Grup 21 maupun non 21 yang dapat menerima copy film dan menayangkannya.
Ketika bioskop-bioskop non 21 mendapat giliran untuk menayangkan film-film first run film
tersebut sudah tidak up to date lagi, sehingga secara otomatis menurunkan minat
penonton akibatnya rendah jumlah penonton.
Tindakan Grup 21 yang mendiskriminasikan bioskop non 21 dalam memasok film-
film impor produksi MPA telah melanggar Pasal 19 huruf f Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999, yakni pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan baik sendiri
maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, antara lain melakukan praktik
diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.11
Menurut Monopoly Wacth, dalam siaran persnya tanggal 18 maret 2003, perilaku
diskriminasi terpaksa membuat pemilik bioskop non 21 harus menuggu putaran berikutnya
untuk menayangkan film-film first run setelah bioskop Grup 21 terlebih dahulu
menayangkannya, sehingga meninggalkan kesan bioskop non 21 ialah bioskop nomor 2.12
Akibat rendahnya jumlah penonton, pemasukan keuntungan dari hasil penjualan tiket
masuk menjadi tidak maksimal, sehingga mempengaruhi kelangsungan hidup bioskop-
bioskop non 21 tersebut. Banyak bioskop non 21 yang kemudian ditinggalkan oleh
konsumennya.
Ketiga, tuduhan terhadap pelanggran Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 mengenai posisi dominan. Pasal ini melarang pelaku usaha menggunakan posisi

10
Laporan Monopoly Watch Position Paper Nomor 004/MW/VII/2002.
11
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
12
Laporan Monopoly Watch Position Paper Nomor 004/MW/VII/2002.

8
dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menetapkan syarata-syarat
perdagangan yang mencegah atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau
jasa yang bersaing, yang membatasi pasar maupun pengembangan teknonolgi dan
menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing. Satu pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha dianggap memiliki dominan jika menguasai 50% atau lebih pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu, atau jika dua atau tiga pelaku usaha atau
kelompok usaha menguasai 75 % atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.
Keterangan saksi tentang perilaku usaha bioskop yang tergabung dalam Grup 21,
yang dapat menimbulkan entry barries dan abuse of dominan, menurut Monopoly Wacth,
dapat diperoleh dari beberapa sumber, yaitu Sinea Muda arya Kusumadewa, Nia Dinata
dan Loal Amaria, serta senior perfilman Rohim Latif, dan JB Kristanto. Persyaratan
perjanjian kerja sama produsen film nasional dengan Grup 21 dalam pemutaran film tidak
dalam keadaan seimbang yang mana seluruh promosi (printed media, poster, banner dan
media massa, iklan media cetak dan media elektronik) dibebankan kepada produsen film
nasional. Bagi hasil pendapatan 50%-50% setelah dipotong PTO (pajak tontonan).
Negosiasi dilakukan kedua belah pihak untuk melakukan pemutaran film perdana produsen
film nasional, tetapi produsen tidak memiliki bargaining position.
Lemahnya bargaining position yang dimiliki oleh produsen film nasional juga
dirasakan oleh saksi III. Menurut keterangan di bawah sumpah yang disampaikan di depan
Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha pada tanggal 1 november 2002 dalam
pemeriksaan lanjutan, saksi III menyatakan kerja samanya dengan Terlapor III dilakukan
secara lisan berdasarkan kepercayaan dengan sistem bagi hasil 50%-50%. Mengingat
penguasaan jumlah bioskop dan jumlah layar yang dimiliki oleh Grup 21, seperti terlihat
pada tabel 4,3, dan kepemilikan saham Grup 21 pada tabel 4, tidak dapat dipungkiri bahwa
posisi dominan yang dikuasai oleh Grup 21 besarnya melebihi 50 % pangsa pasar bioskop
di Indonesia.
Keempat, tuduhan terhadap pelanggaran Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Jabatan Rangkap. Pasal tersebut melarang seseorang yang menduduki
jabatan sebagai Direksi atau Komisaris dari suatu perusahaan pada waktu yang bersamaan
dilarang merangkap menjadi Direksi atau Komisaris pada perusahaan lain. Jika perusahaan-
perusahaan tersebut berada dalam pasar bersangkutan yang sama, atau memiliki
keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha atau secara bersama dapat
menguasai pangsa barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Jabatan rangkap terlihat terhadap perilaku dan aktivitas beberapa personalia yang
namanya selalu ada pada beberapa posisi strategis pada beberapa perusahaan berbeda
yang terafiliasi dalam Grup 21, yaitu (a) Sudwikatmono, menduduki jabatan-jabatan
sebagai Komisaris PT Suptan Film, Komisari PT Subentra Nusantara, dan Komisaris PT
Satrya Perkasa Estethik Film; (b) Benny Suherman menduduki jabatan-jabatan sebagai
Komisaris PT Suptan Film, Komisaris PT Subentra Nusantara, dan Komisaris PT Satrya
Perkasa Estethik Film; (c) Harris Lesmana, menduduki jabatan-jabatan sebagai Direktur PT
Subentra Nusantara, Direktur PT Camila Internusa Film, dan Direksi PT Nusantara Film.
Berdasarkan suratnya pada tanggal 14 januari 2003 kepada Majelis Komisi
Pengawas Persaingan Usaha, Harris Lesmana menyatakan mengundurkan diri secara
efektif terhitung sejak tanggal 13 january 2003 sebagai Komisaris PT Kartika Insani Raya,
Sebagai Komisaris PT PAN Mitra Sembada, sebagai Direktur PT Gading Adi Permai, sebagai

9
Direktur PT Trimnuggal Subentra, sebagai Direktur PT Sanggar Usaha Mandiri sebagai
Direktur PT Perisai Permata Buana, dan sebagai Komisaris Utama PT Indo Ika Mandiri Film.
Selanjutnya, berdasarkan suratnya tanggal 3 Pebruari 2003 kepada Ketua Majelis Komisi
Pengawas Persaingan Usaha, Suryo Suherman menyatakan mengundurkan diri secara
efektif terhitung sejak tanggal 13 januari 2002 sebagai Komisaris Utama PT Kartika Insani
Raya, PT Gading Adi Permai, PT Sanggar usaha Mandiri, dan PT Wedu Mitra. KPPU
menganggap bahwa pengunduran diri Harris Lesmana dan Suryo Suherman dari jabatan
direksi pada beberapa perusahaan yang memiliki keterkaitan erat dalam bidang
pendistribusian dan penayangan film patut dicatat sebagai suatu itikad baik untuk
mengurangi potensi penyalahgunaan perangkapan jabatan.
Penulis sependapat dengan analisis yang dilakukan oleh Monopoly Wacth bahwa
pengunduran diri tersebut masih berada dalam batas waktu perpanjangan pemeriksaan
lanjutan, yakni tertanggal 7 januari 2003 hingga 18 Februari 2003 merupakan suatu
strategi Grup 21 untuk menghindar dari jeratan hukum. Apalagi di dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun1999 belum ada aturan satupun pasal yang mengatur soal pengunduran diri
para pelaku usaha yang diduga melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat, yang mengundurkan diri dari jabatannya pada waktu proses pemeriksaan masih
berlangsung.

Penutup
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa ketentuan mengenai
pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dibandingkan dengan realita
menunjukkan Grup 21 patut diduga telah melanggar ketentuan Undang-Undang
Antimonopoli, yaitu Pasal 14 mengenai Integrasi Vertikal, Pasal 17 mengenai Monopoli,
Pasal 18 mengenai Monopsoni, Pasal 19 mengenai Penguasaan Pasar, Pasal 25 mengenai
Posisi Dominan, Pasal 26 mengenai Jabatan Rangkap dan Pasal 27 mengenai Pemilikan
Saham. Pada saat tuduhan pelanggaran undang-undang antimonopoli tersebut dilaporkan
oleh Monopoly Wacth kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan proses pemeriksaan
masih berjalan, Grup 21 melakukan tindakan pengunduran diri pejabat direksi yang
merangkap di beberapa perusahaan yang terafiliasi. Komisi Pengawas Persaingan Usaha
menganggap hal ini sebagai itikad baik. Sedangkan pada saat itu belum ada satupun pasal
di dalam undang-undang antimonopoli yang mengatur soal pengunduran diri dari pelaku
usaha yang diduga melakukan praktik monopoli pada waktu sedang berjalannya proses
pemeriksaan.
Hal lainnya yang dilakukan Grup 21 adalah melakukan langkah-langkah perbaikan,
yakni mengurangi pemusatan kepemilikan dalam Grup 21 dengan cara mengurangi atau
mengubah share ownership, sehingga tidak lagi terjadi perangkapan jabatan-jabatan
strategis dan mengurangi bahkan menghilangkan entry barries, agar pelaku usaha lain
dapat mengambil bagian dalam bidang usaha importir film lain dari MPA yang selama ini
hanya dijalankan oleh Harris Lesmana sebagai pemegang hak tunggal, selain untuk
meningkatkan persaingan yang potensial hal ini dapat mencegah terbentuknya kegiatan
usaha yang bersifat terintegrasi secara vertikal, yaitu bisnis dari hulu sampai ke hilir.

10
Daftar Pustaka

A.M. Tri Anggraini. 2005. “Penerapan Pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal dalam
Hukum Persaingan.” Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 24, No. 2.
Christopher Pass and Bryan Lowes dalam Elyta Ras Ginting. 2001. Hukum Antimonopoli
Indonesia: Analisis dan Perbandingan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 2000. Undang-Undang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
L.A. Sullivan & W.S. Grimes. 2000. The Law of Antitrust: An Integrated Handbook. St.Paul-
Minnesota: West Group.
Laporan Monopoly Watch Position Paper Nomor 004/MW/VII/2002.
Philip Clarke and Stephen Corones. 2000. Competition Law and Policy: Cases and Materials.
USA: Oxford University Press.
R. Sheyam Khemani. 2001. A Framework for the Design and Implementation of
Competition Law and Policy. World Bank and OECD.
Sthepen F. Ross. 1993. Principles of Antitrust Law. Westbury New York: The Foundation
Press.

11

Anda mungkin juga menyukai