Anda di halaman 1dari 28

1.

HIstologi Cavum Nasi


Terdiri atas:
a. Nares anterior
b. Vestibulum nasi (regio vestibularis):
- rongga terlebar, tepat di belakang nostril
- epitel berlapis pipih bertanduk
- rambut-rambut kaku
- kelenjar keringat dan lemak
- makin ke dalam lapisan epitel tak bertanduk & tipis.
c. Mukosa faring nasi terdiri dari:

1) Mukosa Respiratoria.
- Epitel berderet silindris dengan kinosilia & sel goblet → lebih tipis dari
mukosa olfactoria
- Sel goblet → lendir untuk membasahi mukosa rongga hidung
- Kinosilia → selalu bergerak ke arah nasopharynx → menghalau kotoran
yang akan masuk
- Lamina basalis jelas
- Lamina propria, terdapat jaringan ikat kendor berisi sinus venosus, sabut
elastis, makrofag, limfosit, sel plasma, tissue eosinophyl dan PMN, serta
kelenjar seromukous
- Lapisan terdalam menyatu dengan:
o Periosteum → muko-periosteum
o Perikondrium → muko-perikondrium
Lamina propria dan kelenjar mukosa berukuran tipis pada daerah
dimana aliran udara lambat atau lemah. Jumlah sel goblet yaitu sumber dari
mucus, sebanding dengan ketebalan lamina propria. Silia memiliki struktur
mirip rambut, panjangnya sekitar mikron, terletak pada permukaan epitel dan
bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan, kemudian
membengkok dan kembali tegak secara lambat.Silia yang terdapat pada
permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang
teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring.
Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya
sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam
rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret
terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan
silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret
kental dan obat – obatan.
2) Mukosa olfaktoria

- Pada seluruh atap rongga hidung, choncha nasalis superior bagian atas,
dan septum bagian atas
- Tidak ada sel goblet
- Epitel berderet silindris tebal, terdapat:
a. Sel pembau
o Inti bulat, letak lebih ke basal daripada inti sel penyangga
o Tonjolan sitoplasma mengarah ke permukaan, berbentuk ramping yang
merupakan dendrit, ujungnya membulat disebut sebagai vesikula
olfaktoria
o Dari masing-masing vesikula olfaktoria keluar 6-10 helai rambut halus
yang disebut silia olfactoria yang menerima rangsang bau
b. Sel penyangga
o Inti ovoid, terletak di tengah
o Memiliki mikrovili
c. Sel basal
o Inti ovoid dan gelap
o Letak di bagian basal, di antara sel-sel penyangga
o Lamina basalis tidak jelas
o Lamina propria terdiri dari:
- jaringan ikat kendor, berisi sinus venosus, sabut elastis, sel plasma,
makrofag, limfosit, tissue eosinophyl, dan PMN
- Schnederian membrane
- Kelenjar Bowmann bersifat serous murni
- Fila olfactoria
Epitel Respiratorius Epitel Olfaktorius

d. Septum nasi
- Kerangka jaringan tulang rawan hyalin dan jaringan tulang
- Kedua sisi dilapisi mukosa olfactoria atau respiratoria
e. Concha nasalis
- kerangka yang terdiri dari jaringan tulang → turbinate bone
- permukaan dilapisi mukosa respiratoria atau olfactoria
- sinus venosus banyak & lebar disebut plexus venosus
- kelenjar-kelenjar
f. Nares posterior

2. Fisiologi berbicara

Menurut beberapa ahli komunikasi, bicara adalah kemampuan anak untuk


berkomunikasi dengan bahasa oral (mulut) yang membutuhkan kombinasi yang serasi
dari sistem neuromuskular untuk mengeluarkan fonasi dan artikulasi suara. Proses bicara
melibatkan beberapa sistem dan fungsi tubuh, melibatkan sistem pernapasan, pusat
khusus pengatur bicara di otak dalam korteks serebri, pusat respirasi di dalam batang otak
dan struktur artikulasi, resonansi dari mulut serta rongga hidung.

Terdapat 2 hal proses terjadinya bicara, yaitu proses sensoris dan motoris. Aspek
sensoris meliputi pendengaran, penglihatan, dan rasa raba berfungsi untuk memahami apa
yang didengar, dilihat dan dirasa. Aspek motorik yaitu mengatur laring, alat-alat untuk
artikulasi, tindakan artikulasi dan laring yang bertanggung jawab untuk pengeluaran
suara.

Di dalam otak terdapat 3 pusat yang mengatur mekanisme berbahasa, dua pusat
bersifat reseptif yang mengurus penangkapan bahasa lisan dan tulisan serta satu pusat
lainnya bersifat ekspresif yang mengurus pelaksanaan bahsa lisan dan tulisan. Ketiganya
berada di hemisfer dominan dari otak atau sistem susunan saraf pusat.

Kedua pusat bahasa reseptif tersebut adalah area 41 dan 42 disebut area wernick,
merupakan pusat persepsi auditoro-leksik yaitu mengurus pengenalan dan pengertian
segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa lisan (verbal). Area 39 broadman adalah
pusat persepsi visuo-leksik yang mengurus pengenalan dan pengertian segala sesuatu
yang bersangkutan dengan bahasa tulis. Sedangkan area Broca adalah pusat bahsa
ekspresif. Ketiga pusat tersebut berhubungan satu sama lain melalui serabut asosiasi.

Saat mendengar pembicaraan maka getaran udara yang ditimbulkan akan masuk
melalui lubang telinga luar kemudian menimbulkan getaran pada membrane timpani. Dari
sini rangsangan diteruskan oleh ketiga tulang kecil dalam telinga tengah ke telinga bagian
dalam. Di telinga bagian dalam terdapat reseptor sensoris untuk pendengaran yang
disebut Coclea. Saat gelombang suara mencapai coclea maka impuls ini diteruskan oleh
saraf VII ke area pendengaran primer di otak diteruskan ke area wernick. Kemudian
jawaban diformulasikan dan disalurkan dalam bentuk artikulasi, diteruskan ke area
motorik di otak yang mengontrol gerakan bicara. Selanjutnya proses bicara dihasilkan
oleh getaran vibrasi dari pita suara yang dibantu oleh aliran udara dari paru-paru,
sedangkan bunyi dibentuk oleh gerakan bibir, lidah dan palatum (langit-langit). Jadi
untuk proses bicara diperlukan koordinasi sistem saraf motoris dan sensoris dimana organ
pendengaran sangat penting.

3. Rinitis

1. Definisi rinitis alergi

Rinitis alergi adalah inflamasi pada membran mukosa nasal yang

disebabkan oleh paparan material alergenik yang terhirup yang kemudian


memicu serangkaian respon imunologik spesifik diperantarai IgE (Bousquet et

al, 2008).

2. Etiologi rinitis alergi

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan

predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan

herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies and Higler.,

1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah allergen inhalan pada dewasa

dan ingestan pada anak-anak. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa

allergen sekaligus. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari

klasifikasi. Allergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa

serbuk sari atau jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat

adalah beberapa faktor nonspesifik di antaranya asap rokok, polusi udara, bau

aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker et al., 1994).
3. Patofisiologi rinitis alergi a.

Sensitisasi

Respon imun dalam alergi diawali dengan proses sensitisasi di mana

ketika suatu allergen terhirup, maka Antigen Presenting Cells

(APC) seperti sel langerhans pada epitelium yang melapisi saluran

paru-paru dan hidung, akan memproses dan mengekpresikan alergen

tersebut pada permukaan sel. Allergen tersebut kemudian akan

dipresentasikan kepada sel lain yang terlibat dalam respon imun, khususnya

sel t-limfosit. Melalui beberapa interaksi sel spesifik kemudian sel

b-limfosit akan bertransformasi menjadi antibody secretory cell, yaitu sel

plasma (Schwinghammer in DiPiro et al., 2009).

Pada respon alergi, sel plasma tersebut memproduksi antibodi IgE

yang seperti isotip imunoglobulin lainnya, mampu berikatan dengan

allergen spesifik melalui sisi Fab-nya. Ketika IgE sudah terbentuk dan

memasuki sirkulasi, ia akan berikatan melalui sisi Fc-nya dengan reseptor

afinitas tinggi di sel mast, sementara sisi reseptornya yang

bersifat spesifik terhadap allergen akan siap untuk berinteraksi dengan

allergen pada paparan berikutnya. Sel lain yang telah diketahui mampu

mengekspresikan reseptor afinitas tinggi kepada IgE antara lain adalah

basofil, sel langerhans, dan monosit yang teraktivasi. Produksi antibodi IgE

yang bersifat allergen-spesific inilah yang menimbulkan respon imun yang

disebut sensitisasi (World Allergy Organization, 2003).


b. Reaksi alergi fase cepat

Merupakan reaksi cepat yang terjadi dalam beberapa menit, dapat

berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya.

Mediator yang berperan pada fase ini yaitu histamin, triptase,

dan mediator lain seperti leukotrien, prostaglandin (PGD2), dan bradikinin.

Mediator-mediator tersebut menyebabkan keluarnya plasma dari

pembuluh darah dan dilatasi dari anastomosis arteri yang menyebabkan

terjadi edema, berkumpulnya darah pada karvenous sinusoid

dengan gejala klinis berupa hidung tersumbat dan oklusi dari saluran hidung.

Rangsangan terhadap kelenjar mukosa dan sel goblet menyebabkan

hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.

Rangsangan pada ujung saraf sensoris (vidianus) menyebabkan rasa gatal

pada hidung dan bersin-bersin (Schwinghammer in DiPiro et al., 2009).

c. Reaksi alergi fase lambat

Reaksi alergi fase lambat terjadi 4-8 jam setelah fase cepat. Reaksi ini

disebabkan oleh mediator yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi terhadap

sel endotel post-kapiler yang menghasilkan suatu Vascular Cell Adhesion

Mollecule (VCAM) di mana molekul ini menyebabkan sel

leukosit seperti eosinofil menempel pada dinding endotel. Faktor

kemotaktik seperti interleukin-5 (IL-5) menyebabkan infiltrasi sel-sel

eosinofil, sel mast, limfosit, neutrofil, dan makrofag ke dalam mukosa


hidung. Sel-sel ini kemudian menjadi teraktivasi dan

menghasilkan
mediator lain seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic

Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic

Peroxidase (EPO) yang menyebabkan gejala hiperreaktivitas dan

hiperresponsivitas hidung. Gejala klinis yang ditimbulkan pada fase ini

lebih didominasi oleh sumbatan hidung (Schwinghammer in DiPiro et al.,

2009).

4. Klasifikasi rinitis alergi

Rinitis berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi dua golongan, yaitu:

a. Rinitis alergi : disebabkan oleh adanya allergen yang

terhirup oleh hidung.

b. Rinitis non-alergi : disebabkan oleh faktor-faktor pemicu tertentu. Rinitis

non-alergi dibagi lagi menjadi tiga, yaitu rinitis vasomotor, rinitis

medicamentosa, dan rinitis struktural.

1) Rinitis
vasomotor

Merupakan tipe rinitis di mana terjadi reaksi hiperresponsivitas

pada saluran pernapasan bagian atas terhadap faktor

pemicu eksternal non-spesifik, seperti perubahan suhu dan

kelembaban, asap rokok, atau aroma tajam. Simptom yang sering


muncul pada tipe ini adalah inflamasi nasal (sebagian kecil pasien),

hiperreaktivitas parasimpatik dan/atau glandular.


2) Rinitis medicamentosa

Rinitis medicamentosa adalah obstruksi nasal yang terjadi pada

pasien yang menggunakan vasokonstriktor intranasal secara kronis.

Belum diketahui dengan jelas penyebabnya, namun vasodilatasi dan

edema intravaskular telah menjadi implikasi utamanya. Penanganan

rinitis medicamentosa membutuhkan penghentian penggunaan nasal

dekongestan untuk memulihkan kondisi nasal, lalu diikuti dengan

terapi sesuai dengan simptom yang timbul.

3) Rinitis stuktural

Rinitis tipe ini disebabkan oleh adanya kelainan

anatomi hidung yang diakibatkan oleh injury (kecelakaan), congenital

(kelainan bawaan), maupun kelainan tumbuh-kembang. Pasien rinitis

tipe ini dapat mengalami simptom rinitis kapan saja dalam setahun dan

biasanya keparahannya lebih tinggi pada salah satu sisi hidung

dibanding sisi lainnya (Northern Nevada Allergy Clinic, 2006).

c. Rinitis alergi berdasarkan waktunya digolongkan menjadi tiga, yaitu:

1) Seasonal (hay fever)

Terjadi sebagai respon terhadap allergen spesifik seperti pollen,

rerumputan, dan alang-alang) pada waktu yang dapat terprediksi


tiap tahunnya (musim semi dan/atau gugur) dan umumnya memicu

simptom- simptom akut lebih banyak.


2) Perrenial (intermittent or persistent)

Dapat terjadi kapanpun sepanjang tahun, sebagai respon terhadap

allergen non-musiman seperti dust mites, bulu hewan, jamur,

dan biasanya menimbulkan simptom yang lebih kronis.

a) Intermittent

Seseorang dapat dikatakan menderita rinitis alergi tipe ini bila

gejala rinitis yang ia alami terjadi kurang dari 4 hari tiap minggunya,

atau terjadi selama tidak lebih dari empat minggu berturut-turut.

b) Persistent

Sedangkan seseorang dapat dikatakan menderita rinitis alergi

tipe ini bila gejala rinitis yang ia alami terjadi lebih dari 4 hari tiap

minggunya, dan terjadi selama lebih dari empat minggu berturut- turut.

3) Occupational

Rinitis alergi yang terjadi sebagai akibat dari paparan allergen di

tempat kerja, misalnya paparan terhadap agen dengan bobot

molekul tinggi, agen berbobot molekul rendah, atau zat-zat iritan, melalui

mekanisme imunologi atau patogenik non-imunologi yang tidak begitu

diketahui (Ikawati, 2011).


5. Diagnosis rinitis alergi

a. Gejala dan tanda

Seseorang dapat diduga menderita rinitis alergi bila mengalami dua

atau lebih dari gejala-gejala rinore anterior dengan produksi air berlebih,

bersin-bersin, obstruksi nasal, rasa gatal atau pruritis pada hidung, atau

konjungtivitis (jarang) selama lebih dari satu hari (Bousquet et al., 2008).

b. Pemeriksaan fisik

Pada anak, hasil pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan adanya

lingkaran hitam di bawah mata (allergic shiners), adanya luka

pada daerah hidung yang disebabkan karena seringnya anak

menggosok hidung, pernapasan adenoidal, edema nasal yang dilapisi

dengan lendir jernih, serta pembengkakan periorbital. Simptom

fisik lebih susah diamati pada orang dewasa (Schwinghammer in DiPiro

et al., 2009).

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan mikroskopik dari jaringan nasal biasanya

menunjukkan jumlah eosinofil yang sangat banyak. Penghitungan eosinofil

darah periferal dapat dilakukan, tapi sifatnya kurang spesifik dan


15
15
kegunaannya terbatas. Uji radioallergosorbent (RAST) dapat digunakan

untuk mendeteksi IgE dalam darah yang beraksi spesifik terhadap antigen

tertentu, tapi uji ini tidak lebih efektif ketimbang test perkutan (Bousquet et

al., 2008)

d. Rinoskopi anterior atau Endoskopi nasal

Rinoskopi anterior menggunakan spekulum dan cermin dapat

memberikan informasi penting mengenai kondisi fisiologis pasien.

Sementara endoskopi nasal dibutuhkan untuk mengidentifikasi gejala-

gejala lain dari rinitis seperti polip hidung dan abnormalitas anatomik

lainnya. Kedua metode diagnosa di atas sering digunakan untuk penegakan

diagnosis pasien yang diduga menderita rinitis alergi

persisten.

e. Skin test

Skin test atau skin prick test mampu mengidentifikasi allergen-

spesific IgE dalam serum. Test ini diperlukan bila simptom yang dialami

bersifat persisten dan/atau sedang sampai berat, atau bila kualitas hidup

pasien mulai terpengaruh.

f. Nasal challenge test

16
16
Test ini dilakukan ketika pasien diduga menderita rinitis alergi tipe

occupational. Test ini juga akan mengidentifikasi sensitivitas pasien

terhadap faktor pemicu tertentu secara spesifik.

17
17
6. Penatalaksanaan terapi rinitis alergi

Gambar 1. Tatalaksana Terapi Rinitis Alergi (Bousquet et al., 2008)

a. Tujuan terapi

1) Meningkatkan kualitas tidur

18
18
2) Meningkatkan performa pasien di tempat kerja atau sekolah

3) Menghilangkan gejala-gejala yang mengganggu aktivitas

4) Menghilangkan atau meminimalkan efek samping terapi

19
19
b. Strategi terapi (farmakologi dan non-farmakologi)

1) Terapi non-farmakologi

Salah satu terapi alergi adalah pencegahan terhadap paparan

allergen. Namun, pencegahan alergi tidak mudah, apalagi

jika allergen penyebabnya belum bisa dipastikan. Rumah harus

kerap dibersihkan, tidak boleh memelihara binatang, sebaiknya tidak

menggunakan bantal atau kasur kapuk (diganti dengan busa atau

springbed) dan sebaiknya tidak menggunakan karpet. Jika

memungkinkan, perlu digunakan penyaring udara berupa Air

Conditioner (AC) atau High Efficiency Particulate Air

(HEPA) filter. Hindarkan berada dekat bunga-bunga pada musim

penyerbukan, dan gunakan masker pada saat berkebun

(Ikawati,

2011).

2) Terapi farmakologi

Tujuan terapi farmakologi untuk rinitis alergi adalah mencegah

dan mengurangi atau meminimalkan gejala. Obat-obat yang

digunakan antara lain adalah: antihistamin, dekongestan nasal,

kortikosteroid nasal, antikolinergik dan golongan kromolin (Ikawati,

2011).

20
20
7. Obat-obat yang digunakan

a. Oral antihistamin (H1-blocker)

H1-blocker atau H1-antihistamin adalah senyawa yang memblokir

histamin pada reseptor H1. H1-antihistamin oral efektif mengatasi gejala-

gejala rinitis yang diperantarai oleh histamin, seperti rinore,

bersin, hidung gatal dan gejala-gejala pada mata, tapi kurang efektif untuk

mengatasi hidung tersumbat. Obat golongan ini terbukti aman

untuk anak-anak. Oral antihistamin generasi pertama

menimbulkan efek samping yang signifikan akibat sifat sedatif

dan antikolinergiknya (ARIA, 2008). Contoh obat golongan ini antara

lain adalah cetirizin, loratadin, dan fexofenadin.

b. Lokal H1 antihistamin (intranasal, intraokular)

Intranasal H1-antihistamin beraksi efektif di tempatnya

diadministrasikan dalam mengatasi gejala hidung gatal, kemerahan,

tersumbat dan bersin-bersin. Intraokular H1-antihistamin efektif dalam

mengurangi gejala alergi di mata. Onset aksi obat golongan ini adalah

sekitar 20 menit, dengan aturan pakai dua kali sehari (ARIA, 2008).

Contoh obat golongan ini adalah azelastin, levocabastin dan olopatadin.

21
21
c. Lokal glukokortikosteroid

Intranasal glukokortikosteroid adalah obat dengan efikasi paling baik

dalam penanganan rinitis alergi maupun non-alergi. Contoh obat

22
22
golongan ini adalah metilprednisolon, flutikason, mometason, dan lain

sebagainya. Keuntungan menggunakan intranasal glukokortikosteroid

untuk penanganan rinitis alergi adalah konsentrasi obat yang tinggi pada

nasal mukosa dapat tercapai tanpa adanya efek sistemik yang tidak

diinginkan. Obat golongan ini efektif memperbaiki semua gejala rinitis

alergi maupun gejala-gejala pada mata. Bila gejala hidung tersumbat dan

gejala-gejala lain sering diderita pasien, maka obat golongan ini adalah

first line therapy yang direkomendasikan di atas obat golongan lain.

Melihat dari mekanisme aksinya, efek obat ini baru muncul 7-8 jam

setelah pemakaian, namun efikasi maksimum kemungkinan baru tercapai

dalam 2 minggu (Bousquet et al., 2008).

d. Oral/intramuskular glukokortikosteroid

Pada beberapa kasus, pasien dengan gejala yang parah dan tidak

merespon terhadap obat-obatan lain atau intoleran terhadap sediaan

intranasal, perlu ditangani dengan glukokortikosteroid sistemik (misal:

prednisolon) jangka pendek. Glukokortikosteroid dapat diberikan dalam

sediaan oral ataupun depot-injection (misal: metilprednisolon).

Pemberian jangka panjang yaitu selama beberapa minggu, dapat

menimbulkan efek samping sistemik yang bermakna. Penggunaan

23
23
intramuskular glukokortikosteroid tidak disarankan (Bousquet et

al., 2008).

24
24
e. Lokal kromon (intranasal, intraokular)

Obat golongan ini dikenal sebagai penstabil sel mast,

karena bekerja dengan mencegah degranulasi sel mast dan pelepasan

mediator, termasuk histamin. Contoh obat golongan ini adalah kromoglikat

dan nedokromil. Efek sampingnya yang paling sering adalah

iritasi lokal yaitu bersin dan rasa perih pada membran mukosa

hidung (Ikawati,

2011).

f. Dekongestan

Obat golongan ini merupakan golongan simpatomimetik yang

beraksi pada reseptor α-adrenergik pada hidung yang menyebabkan

vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang membengkak, dan

memperbaiki pernapasan. Contoh obat golongan ini antara lain adalah

pseudoefedrin dan oxymetazolin (intranasal). Penggunaan agen topikal

yang lama dapat menyebabkan rinitis medicamentosa, oleh karena itu

durasi terapi dengan dekongestan topikal sebaiknya dibatasi 3-5 hari.

Sedangkan dekongestan oral secara umum tidak

direkomendasikan, karena efek klinisnya masih meragukan dan banyak

memiliki efek samping (Ikawati, 2011).

25
25
g. Intranasal antikolinergik

Obat golongan ini beraksi dengan memblokir saraf kolinergik,

efektif untuk pasien rinitis alergi maupun non-alergi, yang menderita

gejala rinore. Efek samping topikal jarang ditemui, dan

intensitasnya bersifat dose-dependent (Bousquet et al., 2008). Contoh obat

golongan ini adalah ipratropium.

h. Antileukotrien

Obat ini bekerja dengan memblokir reseptor leukotrien. Contoh

obat golongan ini adalah montelukast, pranlukast dan zafirlukast. Beberapa

penelitian menyebutkan bahwa obat ini lebih efektif ketimbang placebo

dan setara dengan oral H1-antihistamin, tetapi kurang unggul dibanding

intranasal glukokortikosteroid dalam menangani rinitis alergi seasonal

(Bousquet et al., 2008)

i. Imunoterapi

Imunoterapi atau terapi desensitisasi juga bermanfaat dalam terapi

rinitis alergi. Tetapi obat ini hanya efektif jika allergen spesifiknya

26
26
diketahui. Obat injeksi ini mengandung zat-zat allergen yang dianggap

dapat memicu timbulnya gejala alergi.

Imunoterapi diindikasikan bagi pasien yang tidak mempan terhadap

farmakoterapi yang diberikan, sulit melakukan penghindaran allergen,

dan telah tersedia ekstrak allergen yang sesuai. Imunoterapi

dikontraindikasikan bagi pasien yang menderita asma yang tidak stabil,

penyakit paru atau kardiovaskuler yang berat, penyakit autoimunitas dan

27
27
kanker serta ibu hamil, karena beresiko menyebabkan reaksi

anafilaksis sistemik pada janinnya (Ikawati, 2011).

Daftar Pustaka :

1. Bousquet, J., Khaltaev, N. and Cruz, A. A. et al., 2008, Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma. ARIA workshop report. Eur J Allergy Clin Immunol, 63 (Suppl
86): 1-160.
2. Ikawati, Z. 2011. Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya.
Yogyakarta: Bursa Ilmu.

28
28

Anda mungkin juga menyukai