1) Mukosa Respiratoria.
- Epitel berderet silindris dengan kinosilia & sel goblet → lebih tipis dari
mukosa olfactoria
- Sel goblet → lendir untuk membasahi mukosa rongga hidung
- Kinosilia → selalu bergerak ke arah nasopharynx → menghalau kotoran
yang akan masuk
- Lamina basalis jelas
- Lamina propria, terdapat jaringan ikat kendor berisi sinus venosus, sabut
elastis, makrofag, limfosit, sel plasma, tissue eosinophyl dan PMN, serta
kelenjar seromukous
- Lapisan terdalam menyatu dengan:
o Periosteum → muko-periosteum
o Perikondrium → muko-perikondrium
Lamina propria dan kelenjar mukosa berukuran tipis pada daerah
dimana aliran udara lambat atau lemah. Jumlah sel goblet yaitu sumber dari
mucus, sebanding dengan ketebalan lamina propria. Silia memiliki struktur
mirip rambut, panjangnya sekitar mikron, terletak pada permukaan epitel dan
bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan, kemudian
membengkok dan kembali tegak secara lambat.Silia yang terdapat pada
permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang
teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring.
Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya
sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam
rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret
terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan
silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret
kental dan obat – obatan.
2) Mukosa olfaktoria
- Pada seluruh atap rongga hidung, choncha nasalis superior bagian atas,
dan septum bagian atas
- Tidak ada sel goblet
- Epitel berderet silindris tebal, terdapat:
a. Sel pembau
o Inti bulat, letak lebih ke basal daripada inti sel penyangga
o Tonjolan sitoplasma mengarah ke permukaan, berbentuk ramping yang
merupakan dendrit, ujungnya membulat disebut sebagai vesikula
olfaktoria
o Dari masing-masing vesikula olfaktoria keluar 6-10 helai rambut halus
yang disebut silia olfactoria yang menerima rangsang bau
b. Sel penyangga
o Inti ovoid, terletak di tengah
o Memiliki mikrovili
c. Sel basal
o Inti ovoid dan gelap
o Letak di bagian basal, di antara sel-sel penyangga
o Lamina basalis tidak jelas
o Lamina propria terdiri dari:
- jaringan ikat kendor, berisi sinus venosus, sabut elastis, sel plasma,
makrofag, limfosit, tissue eosinophyl, dan PMN
- Schnederian membrane
- Kelenjar Bowmann bersifat serous murni
- Fila olfactoria
Epitel Respiratorius Epitel Olfaktorius
d. Septum nasi
- Kerangka jaringan tulang rawan hyalin dan jaringan tulang
- Kedua sisi dilapisi mukosa olfactoria atau respiratoria
e. Concha nasalis
- kerangka yang terdiri dari jaringan tulang → turbinate bone
- permukaan dilapisi mukosa respiratoria atau olfactoria
- sinus venosus banyak & lebar disebut plexus venosus
- kelenjar-kelenjar
f. Nares posterior
2. Fisiologi berbicara
Terdapat 2 hal proses terjadinya bicara, yaitu proses sensoris dan motoris. Aspek
sensoris meliputi pendengaran, penglihatan, dan rasa raba berfungsi untuk memahami apa
yang didengar, dilihat dan dirasa. Aspek motorik yaitu mengatur laring, alat-alat untuk
artikulasi, tindakan artikulasi dan laring yang bertanggung jawab untuk pengeluaran
suara.
Di dalam otak terdapat 3 pusat yang mengatur mekanisme berbahasa, dua pusat
bersifat reseptif yang mengurus penangkapan bahasa lisan dan tulisan serta satu pusat
lainnya bersifat ekspresif yang mengurus pelaksanaan bahsa lisan dan tulisan. Ketiganya
berada di hemisfer dominan dari otak atau sistem susunan saraf pusat.
Kedua pusat bahasa reseptif tersebut adalah area 41 dan 42 disebut area wernick,
merupakan pusat persepsi auditoro-leksik yaitu mengurus pengenalan dan pengertian
segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa lisan (verbal). Area 39 broadman adalah
pusat persepsi visuo-leksik yang mengurus pengenalan dan pengertian segala sesuatu
yang bersangkutan dengan bahasa tulis. Sedangkan area Broca adalah pusat bahsa
ekspresif. Ketiga pusat tersebut berhubungan satu sama lain melalui serabut asosiasi.
Saat mendengar pembicaraan maka getaran udara yang ditimbulkan akan masuk
melalui lubang telinga luar kemudian menimbulkan getaran pada membrane timpani. Dari
sini rangsangan diteruskan oleh ketiga tulang kecil dalam telinga tengah ke telinga bagian
dalam. Di telinga bagian dalam terdapat reseptor sensoris untuk pendengaran yang
disebut Coclea. Saat gelombang suara mencapai coclea maka impuls ini diteruskan oleh
saraf VII ke area pendengaran primer di otak diteruskan ke area wernick. Kemudian
jawaban diformulasikan dan disalurkan dalam bentuk artikulasi, diteruskan ke area
motorik di otak yang mengontrol gerakan bicara. Selanjutnya proses bicara dihasilkan
oleh getaran vibrasi dari pita suara yang dibantu oleh aliran udara dari paru-paru,
sedangkan bunyi dibentuk oleh gerakan bibir, lidah dan palatum (langit-langit). Jadi
untuk proses bicara diperlukan koordinasi sistem saraf motoris dan sensoris dimana organ
pendengaran sangat penting.
3. Rinitis
al, 2008).
herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies and Higler.,
1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah allergen inhalan pada dewasa
serbuk sari atau jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat
adalah beberapa faktor nonspesifik di antaranya asap rokok, polusi udara, bau
aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker et al., 1994).
3. Patofisiologi rinitis alergi a.
Sensitisasi
dipresentasikan kepada sel lain yang terlibat dalam respon imun, khususnya
allergen spesifik melalui sisi Fab-nya. Ketika IgE sudah terbentuk dan
allergen pada paparan berikutnya. Sel lain yang telah diketahui mampu
basofil, sel langerhans, dan monosit yang teraktivasi. Produksi antibodi IgE
dengan gejala klinis berupa hidung tersumbat dan oklusi dari saluran hidung.
Reaksi alergi fase lambat terjadi 4-8 jam setelah fase cepat. Reaksi ini
disebabkan oleh mediator yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi terhadap
menghasilkan
mediator lain seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic
2009).
1) Rinitis
vasomotor
3) Rinitis stuktural
tipe ini dapat mengalami simptom rinitis kapan saja dalam setahun dan
a) Intermittent
gejala rinitis yang ia alami terjadi kurang dari 4 hari tiap minggunya,
b) Persistent
tipe ini bila gejala rinitis yang ia alami terjadi lebih dari 4 hari tiap
minggunya, dan terjadi selama lebih dari empat minggu berturut- turut.
3) Occupational
molekul tinggi, agen berbobot molekul rendah, atau zat-zat iritan, melalui
atau lebih dari gejala-gejala rinore anterior dengan produksi air berlebih,
bersin-bersin, obstruksi nasal, rasa gatal atau pruritis pada hidung, atau
konjungtivitis (jarang) selama lebih dari satu hari (Bousquet et al., 2008).
b. Pemeriksaan fisik
et al., 2009).
c. Pemeriksaan penunjang
untuk mendeteksi IgE dalam darah yang beraksi spesifik terhadap antigen
tertentu, tapi uji ini tidak lebih efektif ketimbang test perkutan (Bousquet et
al., 2008)
gejala lain dari rinitis seperti polip hidung dan abnormalitas anatomik
persisten.
e. Skin test
spesific IgE dalam serum. Test ini diperlukan bila simptom yang dialami
bersifat persisten dan/atau sedang sampai berat, atau bila kualitas hidup
16
16
Test ini dilakukan ketika pasien diduga menderita rinitis alergi tipe
17
17
6. Penatalaksanaan terapi rinitis alergi
a. Tujuan terapi
18
18
2) Meningkatkan performa pasien di tempat kerja atau sekolah
19
19
b. Strategi terapi (farmakologi dan non-farmakologi)
1) Terapi non-farmakologi
(Ikawati,
2011).
2) Terapi farmakologi
2011).
20
20
7. Obat-obat yang digunakan
bersin, hidung gatal dan gejala-gejala pada mata, tapi kurang efektif untuk
mengurangi gejala alergi di mata. Onset aksi obat golongan ini adalah
sekitar 20 menit, dengan aturan pakai dua kali sehari (ARIA, 2008).
21
21
c. Lokal glukokortikosteroid
22
22
golongan ini adalah metilprednisolon, flutikason, mometason, dan lain
untuk penanganan rinitis alergi adalah konsentrasi obat yang tinggi pada
nasal mukosa dapat tercapai tanpa adanya efek sistemik yang tidak
alergi maupun gejala-gejala pada mata. Bila gejala hidung tersumbat dan
gejala-gejala lain sering diderita pasien, maka obat golongan ini adalah
Melihat dari mekanisme aksinya, efek obat ini baru muncul 7-8 jam
d. Oral/intramuskular glukokortikosteroid
Pada beberapa kasus, pasien dengan gejala yang parah dan tidak
23
23
intramuskular glukokortikosteroid tidak disarankan (Bousquet et
al., 2008).
24
24
e. Lokal kromon (intranasal, intraokular)
iritasi lokal yaitu bersin dan rasa perih pada membran mukosa
hidung (Ikawati,
2011).
f. Dekongestan
25
25
g. Intranasal antikolinergik
h. Antileukotrien
i. Imunoterapi
rinitis alergi. Tetapi obat ini hanya efektif jika allergen spesifiknya
26
26
diketahui. Obat injeksi ini mengandung zat-zat allergen yang dianggap
27
27
kanker serta ibu hamil, karena beresiko menyebabkan reaksi
Daftar Pustaka :
1. Bousquet, J., Khaltaev, N. and Cruz, A. A. et al., 2008, Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma. ARIA workshop report. Eur J Allergy Clin Immunol, 63 (Suppl
86): 1-160.
2. Ikawati, Z. 2011. Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya.
Yogyakarta: Bursa Ilmu.
28
28