Anda di halaman 1dari 21

Ujian Akhir Semester

Kelas Geometri dan Arsitek

”Penggunaan Sinonim dan Antonim pada Puisi dalam Prinsip Skalar dan Vektor
untuk Menghindari Kemonotonan”

Stevanny Putri
NPM. 1306367095

1
"Taklukkan Kelembahanmu!" tercengang pulas sampai langit

Karya Sutardji Calzoum Bachri (1987) tenggelam tanah


di kelembahan badan menyatu

para penyair ayo mengucap

jangan biarkan dirimu mendaki hakikat

berlamalama taklukkan kelembahanmu ayo

di lembahlembah walau pedih tebing-tebing para mawar

jangan lama terperangah harus kau atasi kepedihan tanggalkan kelopak pongahmu

pada keanekaragaman tanah meski luka di lembahlembah mendakilah

lembah dan lereng atas kedukaan di puncak

memang disiapkan jangan tenggelam tanah menyibak langit

agar kalian ingat! langit menyibak tanah

mengingat puncak Ibrahim tak suka barang tanah mendekap langit


tenggelam
menantang langit memeluk tanah
ayo
meraih saling membuka
mengatas
atas saling menutup berpelukan
meninggi
para penyair di puncak
sampai tanah menyatu
jangan biarkan segalanya terbuka
mengatasi keanekaragaman
batinmu tanah dan tersimpan

2
Puisi sejak jaman dahulu telah digunakan sebagai cara kuno dalam masyarakat setiap harinya, contohnya dalam masyarakat Jawa terdapat tradisi
nembang Jawa, yaitu lirik puisi yang dilagukan. Biasanya nembang dinyanyikan saat upacara sakral. Selain itu, puisi juga sebagai media untuk
mengisahkan cerita rakat seperti Jaka Tingkir, Raden Panji, dan media dalam dialog untuk pementasan ludruk dan drama tradisional Jawa
lainnya karena tidak hanya menyampaikan kata-kata namun juga petuah, nasehat, dan harapan. Penggunaan puisi dalam berbagai keseharian
seolah-olah menjadikan puisi sebagai media berkomunikasi yang efektif karena dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat sesuai dengan
kebudayaannya masing-masing meskipun bahasa yang digunakan berbeda. Jika puisi adalah media komunikasi verbal, maka desain arsitektur
dapat dianalogikan sebagai media komunikasi non verbal. Saya tertarik pada proses penerjemahan puisi menjadi sebuah desain arsitektur, karena
kata-kata yang dirancang dalam sebuah puisi pastilah menggunakan order tertentu seperti proses desain yang selama ini kita pelajari.

Supardji Calzoum Bachri terkenal dengan puisi-puisi kontemporernya di tokoh angkatan 661 karena sajak-sajaknya memperlihatkan konsepsinya
tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra. Kontemporer
artinya kekinian atau modern, tidak terikat oleh aturan – aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman sekarang (modern). Puisi kontemporer
tidak hanya terikat kepada tema, tetapi juga terikat kepada struktur fisik puisi (H, Nasution, dkk, 1998, p.6).

Sebuah puisi tersusun atas bait, kalimat, kata, huruf, tanda baca, spasi, dan format-format dalam penyusunannya. Unsur penyusunan tersebut
tidak se-sederhana yang dibayangkan jika ditelaah lebih lanjut, karena ada pengaturan (order) tertentu yang terdapat dalam sebuah puisi yang
menentukan kualitas sebuah puisi, apakah dapat dirasakan, dilihat, didengar, dan lain-lain yang dapat dilakukan oleh manusia dalam usaha
memahami order yang dimilikinya.

Saya mulai melihat puisi dari yang terlihat gamblang secara bentuk yaitu letak dimulainya sebuah kata dalam satu kalimat kemudian menjadi
lebih detail dengan melihat hubungan antara satu kata dengan kata, kalimat, dan bait secara keseluruhan. Pembongkaran yang saya lakukan

1
Wikipedia bahasa Indonesia. Supardji Calzoum Bachri. [Online] https://id.wikipedia.org/wiki/Sutardji_Calzoum_Bachri/ diakses tanggal 2 Juni 2016.

3
mungkin ada beberapa yang tidak (belum) ditemukan hasil atau order atau sintesis darinya karena awalnya saya bergerak secara sporadis (tidak
tahu akan menemukan apa dengan membongkar melalui unsur-unsur yang telah disebutkan di atas).

Puisi “Taklukan Kelembahanmu” terdiri dari 9 bait dengan jumlah baris yang berbeda-beda di setiap baitnya. Jumlah kata dalam setiap baris
juga tidak sama dengan baris-baris lainnya. Saya mengelompokkan jumlah kata dalam setiap baris kemudian menyusunnya secara vertikal
berdasarkan urutan kata (meskipun penulisan kalimat dalam satu baris tidak rata pada sisi kiri saja atau sisi kanan saja). Ada 6 tipe yang didapat
yang juga terdapat kombinasi dari tipe lainnya, yaitu:

1. Tipe I: a-b-c

Susunan terdiri dari tidak adanya kesamaan unsurnya.

2. Tipe II: a-b-c-a

Susunan langsung kembali seperti awal dengan melongkapi (awal = akhir).

3. Tipe III: a-b-a-b

susunan terdiri dari 2 unsur utama yaitu a dan b yang berulang terus menerus sehingga jumlah unsur dan urutannya dipertahankan

4. Tipe IV: a-b-a-b-c

Susunan berulang dengan repetisi sama (a-b) kemudian diulang namun di akhir repetisi muncul unsur lain.

5. Tipe V: a-b-c-b-a

4
Susunan secara runut dengan memperhatikan urutan kebalikan dari unsur yang berada di sebelah kiri sehingga kesamaan pola di dapat seiring
dengan posisi relatifnya terhadap kiri atau kanan. Selain itu jika terdiri dari 3 unsur berbeda maka unsur ketiga akan menjadi titik potong yang
menimbulkan simetri, dalam hal ini adalah unsur c.

6. Tipe VI: a

Susunan hanya terdiri dari unsur tunggal, baik secara jumlah maupun secara kesamaan jenisnya.

Selain itu ketika membaca puisi beberapa kali tidak sengaja membayangkan kalimat-kalimatnya menjadi kenyataan. Ada beberapa kata yang
memiliki makna yang hampir sama meskipun menggunakan kata yang berbeda. Kemudian kata-kata yang menurut saya memiliki kesamaan
ketika dibayangkan dikelompokkan dalam tabel seperti gambar 1. Di dalam tabel tersebut ada 2 kolom yaitu makna kata yang terbayang berada
di atas dan makna kata yang terbayang berada di bawah. Dalam puisi “Taklukan Kelembahanmu” tersebut, kata-katanya seperti memiliki
sinonim dan antonim. Mungkin penulis berusaha menyampaikan perasaannya atau emosinya yang mendalam dengan menggunakan repetisi kata
namun dengan “sinonim-sinonimnya”, sehingga ketika membaca tidak membosankan – tidak monoton. Unsur spasial dari kata-kata dapat
dibayangkan secara tidak sadar namun tetap memberikan makna yang ingin disampaikan penulis. Sebenarnya ada beberapa metode yang penulis
gunakan untuk menghindari kemonotonan namun saya hanya akan membahas 2 metode ini sebagai bahan eksperimen selanjutnya. Pembahasan
metode lain akan dijelaskan pada bagian lampiran.

5
Gambar 1. Pembongkaran metode yang digunakan dalam puisi untuk menghindari kemonotonan. 6
Secara tidak sadar, penggunaan sinonim dan antonim dalam alternatif kata yang digunakan oleh
penyair berkaitan dengan cara yang dilakukan untuk merancang sebuah puisi yang memiliki nilai
emosi di dalamnya – tidak monoton.

“Attention increased when emotional images were displayed to them, suggesting that our attention
is instinctively drawn to emotive subjects.” (Schupp, 2007, p.27)

Sinonim dan antonim tersebut tidak dianggap sebagai sesuatu yang saling berlawanan namun
sebagai sesuatu yang saling melengkapi atau hubungan komplementer. Ketertarikan saya terhadap
penggunaan alternatif sinonim dan antonim tersebut membuat saya teringat pada hubungan antara
penari dan penonton (dalam kegiatan apapun). Penari menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) diartikan sebagai orang yang menggerakkan badannya secara beirama yang biasanya
diiringi oleh bunyi-bunyian atau musik (menurut siapa). Sedangkan penonton diartikan sebagai
orang yang hanya melihat, tidak bercampur dengan kegiatan lainnya. Atau dalam bahasa
Inggrisnya kegiatan melihat – watch menurut Oxford Dictionary, dapat diartikan sebagai look at or
observe attentively over a period of time.

Penari tanpa penonton tetap dapat dikatakan sebagai penari karena pekerjaan tersebut tidak
menuntut adanya subjek atau kegiatan lain yang mendukungnya, sedangkan penonton tidak dapat
dikatakan penonton jika tidak ada objek yang ditontonnya, kata penonton memiliki sifat
ketergantungan terhadap kegiatan lain yang dapat membuat seseorang dikatakan sebagai penonton.
Dengan adanya ketergantungan tersebut akan mempengaruhi spesifikasi tertentu yang membuat

Gambar 2. Bayangan secara spasial dari kata-


kata “sinonim” dan “antonim”.
7
kegiatan menonton menjadi terdefinisikan – kontekstual – tidak monoton dalam segala keadaan.

Kemampuan yang dimiliki oleh manusia terlalu biasa dengan apa yang sudah dilakukannya setiap hari, semua kegiatan yang sudah mendarah
daging, dan semua pemahaman yang sudah tertanam dengan kaku di dalam diri manusia sehingga kemampuan melakukan sesuatu dengan cara
yang tidak biasa jarang dilakukan karena terbiasa melihat hal yang terjadi sehari-hari. Sebuah desain arsitektur menjadi kegiatan yang terus
dilakukan berulang-ulang tanpa inovasi yang berarti,maksudnya adalah hanya sibuk pada aturan-aturan kaku yang sudah ditetapkan menurut
standarnya, ukuran minimum – jumlah minimum – semua tentang skalar, dan sibuk pada mengotak atik apa yang sudah terjadi agar menjadi
hal yang baru. Padahal, jika unsurnya sama saja maka kegiatan mengotak atik menjadi kurang berarti karena mengandung unsur-unsur yang juga
sama dan artinya pekerjaan seorang perancang hanya berhenti pada cara mengotak atik dari yang sudah ada untuk menjadi sesuatu yang baru –
monoton. Antara produk desain yang satu dengan yang lainnya hanya sebagai hubungan copy-paste baik sebagaian maupun seluruhnya. Tidak
ada perubahan baru yang diajukan untuk berusaha keluar dari apa yang biasanya terjadi (sampai) saat ini. Oleh karena itu, saya berusaha untuk
mencoba melihat hubungan antara penari dan penonton yang bisa dikatakan bahwa biasanya desain sebuah teater, tempat pertunjukan, dan
sejenisnya memperlakukan penari dan penonton dengan cara yang sama – kemudian dibalik yaitu penari menjadi penonton dan penonton
menjadi penari – sejalan dengan penggunaan sinonim dan antonim yang ditemukan dalam analisis puisi sebelumnya.

Eksperimen I. Pertama, saya mencoba untuk merubah titik acuan penonton yang melihat gerakan penari. Ada empat gerakan utama yang
saya tetapkan untuk menjadi bahan eksperimen-esksperimen selanjutnya (gambar 3).

Eksperimen II. Kedua, saya mencoba menjadikan diri saya sebagai penonton yang bertukar posisi dengan penari yaitu saya bergerak untuk
mendapatkan view gerakan penari selanjutnya sedangkan penari diam. Kesulitannya adalah saya baru menyadari bahwa jika hanya satu pose
penari dan saya berusaha bergerak dan mencari sudut pandang yang tepat hingga memperoleh pose penari maka seharusnya dibutuhkan data
mengenai pose awal yang menjadi dasar penglihatan pose sebenarnya karena jika data tersebut tidak ada maka tidak akan diperoleh view yang
sesuai posenya dengan cara apapun karena view-nya akan sama saja. Oleh karena itu saya melakukannya dengan mencari gerakan dan sudut

8
pandang yang sama untuk menjadi pose gerak selanjutnya yang dilakukan oleh penari. Sehingga ada dialog dua arah antara penari dan saya yang
komplementer.

Gambar 3. Gerakan Ken dan gerakan saya yang bergerak ke gerakan Ken selanjutnya.
9
Seperti pada gambar 3, ketika pose Ken berada di pose 1, saya melakukan gerakan ke pose 2, begitupun jika Ken berada di pose 2, 3, dan 4 maka
pose yang saya lakukan adalah satu pose setelahnya. Jika pose Ken yang saya tentukan memang sebuah gerakan sekuensial, seharusnya saya pun
dapat berpose gerakan selanjutnya yang dilakukan Ken. Pada pose 1, 2, dan 3 terdapat 2 alternatif pose yang dapat saya lakukan sedangkan
dalam pose 2 terdapat 3 alternatif pose gerakan. Kegiatan mencari view agak menyulitkan karena keberadaan titik acuan gerak Ken menjadi
penting sebagai acuan saya ketika melakukan pose yang selanjutnya.

Eksperimen IIA. Skalar : merubah salah satu titik acuan tanpa melihat perubahan lainnya.

Pada gambar 4, ada perubahan titik acuan dari vertikal - tangan menjadi horizontal - kaki, kemudian pergerakan anggota tubuh dari satu pose ke
pose lainnya dihubungkan garis-garisnya untuk melihat bagaimana proses bergerak anggota tubuh tersebut. Terlihat perbedaan dalam perubahan
titik acuan meskipun yang saya lakukan hanya dengan memutar foto Ken sesuai titik acuan yang diinginkan namun anggota tubuh lain menjadi
berubah pergerakannya, ada beberapa di antaranya yang merupakan kebalikan (inverse) dari titik acuan lainnya namun ada juga yang sama
sekali berbeda seperti penggabungan dan penguraian. Jika dianggap sebagai sebuah surface, maka dari gambar tersebut terlihat proses
pembalikan surface anggota tubuh yang dipengaruhi oleh arah gerak (elevasi, rotasi, dan translasi). Pada titik acuan horizontal – kaki,
maksudnya kaki yang seharusnya sebagai unsur horizontal diputar 900 searah jarum jam menjadi vertikal, pembalikan surface kaki cenderung
tidak terjadi dan hanya berada dalam surface yang sama dalam posisi satu pandang. Sedangkan pada titik acuan aslinya vertikal – kaki
cenderung mengalami satu kali pembalikan surface. Anggap pose asli dengan titik acuan vertikal – tangan adalah sebuah desain awal, kemudian
perubahan titik acuan adalah desain baru (secara perkembangan waktu) dan foto tampak sebagai eksplorasi model tiga dimensi. Terlihat bahwa
mengubah titik acuan dengan memutarnya menghasilkan produk yang sama saja (hanya kebalikannya) atau tidak membuat desain menjadi lebih
baik, bahkan tidak terjadinya pembalikan surface dapat dikatakan monoton. Selain itu ada kesalahan penglihatan dengan hanya memutar satu
tampak dan memberlakukannya bagi tampak yang lain. Padahal, rotasi pada satu tampak pasti akan mengubah tampak yang lainnya. Tampak
yang tidak menjadi acuan dalam merubah titik acuannya menjadi tidak dipedulikan – unsur dominan yang diinginkan meniadakan kemungkinan-
kemungkinan yang mungkin timbul sehingga hasilnya pun salah karena memutar satu tampak tidak melihat perubahan tampak lainnya – lagi-lagi
10
monoton. Mungkin hal tersebut juga dapat menjadi alasan dibalik desain yang pure copy-paste, tidak mempelajari bagaimana hubungan satu
unsur dengan unsur lainnya sehingga hanya berkutat dengan siklus monoton dan mungkin bisa jadi jika hanya mempelajari hubungan satu unsur
mengakibatkan perubahan pada unsur lainnya, produk desainnya lebih baik karena satu prosesnya dipahami dengan baik. Pure copy paste
seolah-olah terlihat lebih detail dibandingkan satu proses yang dipahami meskipun sebenarnya tidak ada satu proses pun yang dipahami. Produk
desain monoton mungkin dihasilkan akibat ketidakpahaman terjadinya sebuah proses (dalam preseden secara tipologi), yang lagi-lagi hanya
sibuk pada unsur yang bersifat skalar. Jika desain hanya mempertimbangkan unsur skalar, maka sepertinya tidak diperlukan seorang perancang
untuk menghasilkan sebuah produk yang dikatakan “baik”.

Kemudian dari pose Ken diambil foto dari tampak depan, belakang, samping, dan atas serta dibuat titik sebagai sendi dan garis sebagai tulang
penghubung antar sendi. Titik dan garis dalam pose ini akan menjadi bahan menjadi analisis selanjutnya bagaimana kombinasi gerak antar
anggota tubuh dalam satu pose (gambar 5).

11
Gambar 4. Gerakan kaki setiap pose yang berubah titik acuannya dihubungkan dan dianggap menjadi satu surface sehingga terlihat proses pembalikan surface.
12
Gambar 5. Hubungan titik sebagai sendi dan garis sebagai tulang dalam setiap gerakan.
13
Eksperimen IIB. Vektor: menguraikan gerakan setiap anggota tubuh dan mengoperasikannya secara matematika

Selanjutnya, dari gambar 6 dan 7 dipetakan pergerakan anggota tubuh dan sudut pandang yang mempengaruhi kualitas view apakah sesuai
dengan pose selanjutnya atau tidak. Pada proses pemecahan elevasi, dari pose gerak Ken semula terdapat perubahan sudut pandang untuk
melanjutkan pose gerak Ken. Ada perbedaan ketinggian dalam sudut pandang yang tentunya mempengaruhi pose alternatif yang dapat
dilakukan. Pose semula hanya membalik setengah surface dari titik 0 sedangkan pada alternatif 1 dan 2 terdapat pembalikan penuh surface. Pada
proses pemecahan sendi pinggang terjadi perubahan dari surface yang tidak mengalami pembalikan ke alternatif 1 dan 2 yang mengalami
pembalikan surface setengah. Unsur elevasi sudut pandang dan sendi pinggang memiliki diagram yang sama antara pose awal dengan pose
alternatif sedangkan unsur kaki dan tangan memiliki sebagian diagram yang kebalikan antara pose awal dan pose alternatifnya. Ketika surface
pose awal bergerak turun baru kemudian naik maka di pose alternatifnya terjadi 2 surface yaitu seperti surface pose awal dan surface
kebalikannya, naik dahulu baru turun. Jika eksperimen pertama hanya mengubah satu unsur tanpa melihat perubahan unsur lain maka
eksperimen kedua adalah mengubah satu unsur dan melihat perubahan unsur lain akibat perubahan satu unsur tersebut. Perubahan pada unsur
kaki dan tangan mulai menghasilkan proses pembalikan surface yang tidak sama atau lebih rendah kualitasnya dibandingkan surface pose awal.
Adanya proses pembalikan surface yang berbeda mulai memunculkan alternatif penggunaan gerak yang bisa dilakukan untuk keluar dari sifat
monoton yang sudah ada sebelumnya. Monoton dalam hal ini tidak hanya tidak adanya perubahan dalam satu objek keseluruhan namun jika
unsur penyusun dalam satu objek tidak mengalami perubahan maka sama saja – monoton, seperti pada eksperimen pertama.

Gerakan kemudian dibagi berdasarkan gerakan tangan, kaki, dan punggung – pinggang dan diuraikan setiap empat posenya (gambar 8). Secara
tidak sengaja jika diperhatikan maka terdapat hal menarik yaitu susunan gerakan sendi tersebut seperti komponen vektor-vektor yang dapat
saling dijumlahkan (resultan). Pada pose asli, resultan vektor dapat dijumlahkan dalam satu garis lurus baik secara baris maupun kolom.
Maksudnya adalah, jika vektor gerakan kaki ditambah dengan vektor gerakan tangan menghasilkan vektor gerakan punggung. Urutan
penjumlahan vektor sama dengan operasi pada matematika yaitu arah vektor yang dijumlahkan sesuai dengan titik temu yang sama. Selain itu,
penjumlahan vektor dengan menjaga kesinambungan titik temunya maka akan menjamin kemenerusan atau keutuhan aturannya. Untuk pose
14
Gambar 6. Penguraian titik sudut pandang (elevasi) dan punggung pose alternatif. 15
Gambar 7. Penguraian gerakan kaki dan tangan pose alternatif.
16
alternatif 1 dan 2 terdapat perbedaan dengan pose asli yaitu vektor-vektornya tidak dapat dijumlahkan secara satu garis lurus namun berpindah
kolom atau baris dan terjadi pelongkapan baris atau kolomnya. Pose alternatif 1 menyajikan pose gerakan kaki, tangan, dan punggung yang
berbeda semua secara garis lurus, sedangkan pose alternatif 2 terdapat dua vektor yang berada dalam satu baris atau kolom yang sama. Jika
analisis puisi sebelum eksperimen menunjukkan adanya 6 tipe yang terdapat dalam repetisi kata, huruf vokal, maupun jumlah suku katanya,
maka resultan pose alternatif 1 sesuai dengan tipe I dan resultan pose alternatif 2 sesuai dengan tipe III. Anggap pose awal adalah puisi awal
maka proses perubahan penari menjadi penonton dan sebaliknya ternyata mengeliminasi 6 tipe yang terdapat di puisi, hanya tipe I dan tipe III
yang sesuai dengan pose alternatifnya. Artinya, pembalikan tersebut menghasilkan sesuatu yang lebih spesifik, yang hanya mungkin terjadi
dengan proses tertentu – kontekstual. Saya tidak mengatakan bahwa eliminasi akan membuat segala sesuatu menjadi kontekstual, mungkin saja
dikatakan bahwa eliminasi menjadi batasan untuk menghasilkan produk yang bermacam-macam. Namun, proses eliminasi akan membawa pada
aturan atau rules yang lebih mendasar ketika melakukan eksplorasi form misalnya. Sehingga desain-desain yang copy paste baik secara
gamblang ataupun tidak – tidak terulang kembali karena perubahan satu unsur kecil ternyata sudah dapat merubah aturan unsur-unsur lainnya,
bukan sekedar mendekorasi. Lebih lanjut, tidak hanya penjumlahan vektor, maka pengurangan juga berlaku aturan yang sama, hanya saja jika
vektor bernilai negatif artinya arahnya menjadi berlawanan atau dicerminkan terhadap vektor awalnya. Sedangkan dalam perkalian juga dapat
dilakukan dengan memproyeksikannya terhadap sudut tertentu. Selama ini jika ada objek A ingin diperbanyak maka yang dilakukan adalah
dengan meng-copy objek A secara keseluruhan, lepas dari ketergantungan terhadap bidang, titik, atau sudut tertentu sehingga meng-copy tidak
menyelesaikan masalah atau membuat produk desain menjadi lebih baik, karena yang dilakukan adalah perkalian skalar. Jika yang dilakukan
adalah perkalian vektor, maka harusnya keberadaan sudut menjadi dipertimbangkan dan tentunya akan membuat copy objek A menjadi spesifik
tergantung proyeksi terhadap sudutnya.

Mungkin, desain dengan penonton dan penari sebagai subjeknya dapat merubah keruangan yang terjadi, karena ada unsur lain yang
mempengaruhinya (misalnya adanya elevasi sudut pandang mengindikasikan kursi penonton saat ini yang hanya diam di satu titik dalam satu
dataran menjadi tidak berlaku dan pengolahan ruang menjadi lebih besar atau sempit dapat menjadi stimulus penonton yang menari).

17
A. Kaki
B. Tangan
C. Kepala-
pinggang

Gambar 8. Penguraian pose gerakan asli dan gerakan alternatif berdasarkan gerakan kaki, tangan, dan punggung setiap gerakan dan penjumlah vektor gerakan
18
tubuhnya.
Kesimpulan

Monoton dalam sebuah proses desain dapat dihindari dengan penggunaan prinsip vektor dalam pengolahan form dan tektoniknya karena tahap
yang sering dilakukan baru sampai pada prinsip skalar, baik disadari maupun tidak. Selain itu, pentingnya menghindari kemonotonan adalah
untuk dapat menuangkan atau memberikan emosi dalam sebuah produk desain sehingga menimbulkan kesan dan mungkin menjadi pembangkit
memori bagi sebagian orang tertentu – bukan sebuah produk desain yang mati dan tidak memberikan dampak apapun terhadap subjeknya. Jika
sebuah desain dikatakan tidak monoton, sudah seharusnya unsur kontekstual termasuk di dalamnya, yang ditunjukkan dengan proses eliminasi
pada eksperimen yang dilakukan di atas. Hubungan antar satu unsur dengan unsur lainnya tidak sedangkal yang selama ini dilakukan dan dengan
memahami bagaimana satu unsur mempengaruhi unsur lainnya secara sadar maka tidak ada lagi konsep desain yang hanya di permukaan
(dekorasi). Sifat ketergantungan (dependent) seperti arti kata penonton sebaiknya dimiliki oleh setiap produk desain karena ketergantungan itu
yang akan menghasilkan spesifikasi dan kontekstualitasnya. Aturan-aturan lain yang dapat dilakukan untuk menghindari kemonotonan adalah
melakukan penjumlahan vektor dengan kelongkapan tertentu, perkalian dengan basis vektor (bukan sekedar memperbanyak objek seutuhnya),
dan operasi-operasi lain yang belum ditemukan dalam eksperimen yang saya lakukan.

Namun dalam analisis metode dalam puisi yang dilakukan masih belum melibatkan aspek-aspek lainnya yang mungkin akan memunculkan hal-
hal baru dan menarik lainnya, karena sebuah kata tidak hanya tersusun dari abjad melainkan juga memiliki sejarah, asal usul, dan terdiri dari
berbagai layer seperti idiom. Sehingga pengolahan sebuah puisi menjadi spasial atau keruangan membutuhkan beberapa tahap untuk sampai
pada kesimpulan yang tepat mengenai maksud puisi tersebut.

19
Referensi

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2012-2016). Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Online).
Tersedia: http://kbbi.web.id/ [8 Juni 2016].
Oxford University Press. (2016). Oxford Dictionaries. (Online). Tersedia: http://www.oxforddictionaries.com/ [8 Juni 2016].
Psychologist World Team. (2014). Emotions and Memory. (Online). Tersedia: https://www.psychologistworld.com/emotion/emotion-memory-
psychology.php [8 Juni 2016]
Schupp, H.T., Stockburger, J., Codispoti, M., Junghöfer, M., Weike, A.I. and Hamm, A.O. (2007). Selective Visual Attention to Emotion. The
Journal of Neuroscience.

Lampiran

Analisis selengkapnya pada puisinya terlampir pada:

Lampiran I: hubungan huruf kapital atau kecil terhadap letak dimulainya kata dalam satu baris

Lampiran II: huruf vokal di awal dan akhir setiap kata

Lampiran III: pengelompokan kata dengan kesamaan huruf vokal di awal dan di akhir kata

Lampiran IV: pengelompokan jumlah kata dalam setiap baris dan tipe-tipenya dalam satu bait

Lampiran V: pengelompokan kesamaan huruf vokal di awal dan di akhir kata pada setiap kata di awal baris dan tipe-tipenya

Lampiran VI: kata-kata yang saling mendukung (sinonim) dan kata-kata yang berlawanan (antonim

20
Lampiran VII: susunan kata-kata sinonim dan antonim dalam satu bait secara vertikal dan tipenya

Lampiran VIII: susunan kata-kata sinonim dan antonim dalam satu bait secara horizontal dan tipenya

Lampiran IX: kata-kata yang berulang (repetisi) dan jumlah kata-kata repetisi dengan huruf vokal di awal dan di akhir kata

Lampiran X: penguraian huruf vokal di awal dan di akhir kata

Lampiran XII: penggabungan huruf vokal di awal dan akhir kata dalam satu kolom yang sama, bait yang sama, letak penambahan kata
berimbuhan, huruf vokal di awal dan akhir dalam satu kaliimat serta penguraiannya

21

Anda mungkin juga menyukai