Anda di halaman 1dari 1

IMAH's BLOG

Rabu, 08 Juni 2016

ANALISIS PUISI "BATU" KARYA


SUTRADJI COLZOUM BACHRI

BATU
Karya: Sutardji Colzoum Bachri

Batu mawar
Batu langit
Batu duka
Batu rindu
Batu jarum
Batu bisu
Kaukah itu
Teka teki yang tak menepati janji?
Dengan seribu gunung langit tak runtuh
Dengan seribu perawan hati tak jatuh
Dengan seribu sibuk sepi tak mati
Dengan seribu beringin ingin tak teduh
Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah
tak sampai
Mengapa gunung harus meletus sedang langit
tak sampai
Mengapa peluk diketatkan sedang hati tak
sampai
Mengapa tangan melambai sedang lambai tak
sampai. Kau tahu?
Batu risau
Batu pukau
Batu Kau-ku
Batu sepi
Batu ngilu
Batu bisu

Kaukah
itu?
Teka teki yang tak menepati janji?

A. Biodata Sutardji Colzoum Bachri


Lahir di Rengat, Indragiri Hulu, pada 24 Juni
1941, Sutardji Calzoum Bachri tumbuh dewasa
menjadi seorang penyair Indonesia yang
terkemuka. Setelah lulus SMA ia melanjutkan
studinya ke Fakultas Sosial Politik jurusan
Administrasi Negara, Universitas Pajajaran,
Bandung, kemudian ia mengirimkan sajak-sajak
dan esainya ke media massa di Jakarta, seperti
Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, majalah
bulanan Horison, dan Budaya Jaya.
Sutardji Calzoum Bachri tampil sekitar tahun
1967. Ia penyair yang mulai menggemparkan
dunia sastra Indonesia sekitar tahun 1972 – 1973,
yaitu dengan pembacaan sajak-sajak yang
bernapas baru yang dikumpulkan dalam
kumpulan O, yang pertama kali terbit dalam
bentuk stensilan tahun 1973. Sajak-sajak
Sutardji itu dianggap oleh sementara orang
sebagai sajak-sajak yang sudah mengganitikan
kedudukan sajak-sajak Chairil Anwar untuk
memimpin perkembangan puisi Indonesiamodern
selanjutnya. Sebab sajak-sajak Sutardji sungguh-
sungguh baru, lain dari corak sajak-sajak Chairil
Anwar. Dengan hadirnya sajak-sajak Sutardji ini
mulailah perkembangan baru dalam dunia
perpuisian Indonesia.
Setiap penyair mempunyai kekhususan dalam
mempergunakan bahasa dalam sajak-sajaknya.
Sutardji Calzoum Bachri pun mempunyai
kekhususan dalam penggunaan bahasa dalam
sajaknya yang dapat menimbulkan kepuitisan
tertentu.

B. Pengertian Pendekatan Stuktural


Struktur merupakan keseluruhan yang bulat,
yaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak
dapat berdiri sendiri di luar struktur itu. Berikut
ini ada beberapa pendapat para ahli mengenai
pendekatan struktural, yaitu suatu metode atau
cara pencarian terhadap suatu fakta yang
sasarannya tidak hanya ditujukan kepada salah
satu unsur sebagai individu yang berdiri sendiri
di luar kesatuannya, melainkan ditujukan pula
kepada hubungan antar unsurnya (Fokemma,
1977 : 21). Analisis struktural merupakan tugas
prioritas atau tugas pendahuluan. Sebab karya
sastra mempunyai kebulatan makna intrinsik
yang dapat digali dari karya itu sendiri (A. Teew.
1984 : 135).

C. Analisis Puisi Berdasarkan Pendekatan


Struktural
Setiap penyair mempunyai gaya tersendiri dalam
penggunaan bahasa pada sajak-sajaknya. Hal ini
ditentukan oleh jalinan-jalinan bahasanya, mulai
dari kosa kata, bentuk tata bahasa, pemilihan
kata, sampai dengan penggunaan kalimatnya.
Untuk mengetahui strukturnya yang kompleks ini
perlu ada analisis, seperti yang dikatakan Knox
C. Hill (1966: 6) bahwa suatu tulisan yang rumit
(kompleks) dapat dimengerti dengan baik hanya
jika dianalisis. Ada bermacam-macam cara
menganalisis, tetapi tidak semua analisis sama
baiknya.
Sebuah analisis yang tidak tepat hanya akan
menghasilkan fragmen-fragmen. Selanjutnya
dikatakan oleh Hill bahwa analisis yang bagus
akan menunjukkan bagian sebagai bagian, dan
akan membawa suatu pengertian tentang
keseluruhan sebagai suatu keseluruhan. Dengan
demikian, dalam analisis yang berikut penulis
menggunakan pendekatan struktural, yaitu
pendekatan yang menganalisis struktur bahasa
puisi ke dalam unsur-unsur pembentukannya.
Pendekatan struktural adalah suatu metode atau
cara pencarian terhadap suatu fakta yang
sasarannya tidak hanya ditujukan kepada salah
satu unsur sebagai individu yang berdiri sendiri
di luar kesatuannya, melainkan ditujukan pula
kepada hubungan antar unsurnya.
Pendekatan Struktural yang dipergunakan, akan
menghasilkan gambaran yang jelas terhadap
diksi, citraan, bahasa kiasan, majas,dan sarana
retorika yang digunakan pengarang dalam
menulis puisinya.
1. Diksi (Pilihan Kata)
Diksi merupakan pemilihan kata
yang tepat, padat, dan kaya akan nuansa
makna dan suasana sehingga mampu
mengembangkan dan mempengaruhi daya
imajinasi pembaca.
Dalam puisi “BATU” pengarang
(penyair) mencoba menyeleksi kata-kata
yang dipakainya, sehingga kata-kata
tersebut benar-benar mendukung maksud
puisinya.
Seperti pada bait:
Batu langit
Batu duka
Batu rindu
Batu janun
Analisis; pada bait diatas penyair
menggunakan kata-kata yang
mempengaruhi imajinasi pembaca. Kata-
kata yang digunakan membuat pembaca
berfikir maksud puisi tersebut, sebab
pemilihan kata yang digunakan bukanlah
kata yang sebenarnya, sehingga sulit
untuk dipahami.
2. Pengimajian (citraan)
Pengimajian adalah kata atau susunan
kata yang dapat mengungkapkan pengalaman
sensoris seperti penglihatan, pendengaran
dan perasaan. Pada puisi “BATU” pengimajian
yang digunakan oleh pengarang terdapat
pada:
Citra penglihatan, pada bait:
Dengan seribu gunung hati tak runtuh
Dengan seribu beringin ingin tak teduh
Citra pendengaran, pada bait:
Mengapa gunung harus meletus
Sedang langit tak sampai
Citra perasaan, pada bait:
Dengan seribu perawan hati tak jauh
Dengan siapa aku mengeluh?

3. Kata-Kata Konkret
Kata konkret adalah kata-kata yang
dapat menyarankan kepada arti yang
menyeluruh. Kata-kata konkret yang jika
dilihat secara denotatif sama, tetapi
secara konotatif mempunyai arti yang
berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi
pemakaiannya. Pengonkretan kata
berhubungan erat dengan
pengimajinasian, pengembangan dan
pengiasan.
Pada puisi “BATU” kata-kata konkret
terdapat pada bait:
Dengan seribu beringin
Ingin tak teduh
Analisis: dimana penyair menggambarkan
banyaknya tempat berteduh, tetapi tidak
ada rasa ingin berteduh.
Sedangkan pada bait:
Batu langit
Batu duka
Batu rindu
Batu janun
Analisis: penyair meletakan makna
konotasi dimana semua batu tidak ada
dilangit ataupun merasakan duka dan
rindu.

4. Bahasa Figuratif (Majas)


Bahasa figuratif adalah cara yang
digunakan oleh penyair untuk
membangkitkan dan menciptakan
imajinasi dengan menggunakan gaya
bahasa, perbandingan, kiasan,
pelambangan, dan sebagainya. Bahasa
figuratif yang digunakan dalam puisi
“BATU” adalah sebagi berikut:
- Personifikasi adalah kiasan yang
memersamakan benda dengan manusia, di
mana
benda mati dapat berbuat seperti
manusia. Hal ini terdapat pada bait:
Batu duka
Batu rindu
Analisis: dalam kehidupan nyata,
semua batu tidak ada yang
merasakan duka dn rindu, sebab
batu adalah benda mati, bukan
manusia.
- Perumpamaan epos adalah
perbandingan yang dilanjutkan atau
diperpanjang yaitu dibentuk dengan
cara melanjutkan sifat-sifat
pembandingnya lebih lanjut dalam
kalimat atau frase berturut-turut.
Pada bait:
Dengan seribu gunung
Langit tak runtuh
Analisis: perumpamaan begitu
banyaknya benda yang ada seperti
gunung, tetapi langit tidak runtuh.
- Metafora di tiap sajaknya ada
beberapa atau banyak terdapat
metafora, yang membuat hidup dan
menambah kepuitisan. Metafora di
situ merupakan ucapan yang sampai
kepada hakikat, sampai pada intinya,
dan menjadi simbolik. Ungkapan itu
bukanlah mempergunakan logika
biasa. Pada bait:
Mengapa jam harus berdenyut
Sedang darah tak sampai
Analisis: kata jam dan darah
menjadi simbol dalam puisi ini.
- Sinekdos pada umumnya dengan
menyebut bagian sebagai
keseluruhan atau keseluruhan untuk
menyebut bagian. Sinekdos ini
membuat lukisan langsung pada
hakikatnya yang ditunjuk atau pada
pusat perhatian. Begitulah sinekdos
yang dipergunakan oleh Sutardji.
Pada umumnya sinekdos yang
terdapat dalam sajaknya adalah pars
pro toto atau bagian untuk
keseluruhan. Pada bait:
dengan seribu gunung langit tak
runtuh
dengan seribu perawan hati tak jatuh
dengan seribu sibuk sepi tak mati
dengan seribu beringin ingin tak
teduh
Dengan siapa aku mengeluh?
mengapa jam harus berdenyut
sedang darah tak sampai
mengapa gunung harus meletus
sedang langit tak sampai
mengapa peluk diketatkan sedang
hati tak sampai
mengapa tangan melambai sedang
lambai tak sampai. Kau tahu?
Analisis: Seribu gunung, perawan,
sibuk, beringin, adalah pars pro toto.

5. Verifikasi (rima, ritme dan metrum)


- Rima adalah pengulangan bunyi
dalam puisi. Pada bait:
dengan seribu gunung
langit tak runtuh
dengan seribu perawan
hati tak jatuh
Analisis: pada puisi ini banyak
pengulangan bunyi yang diucapkan
seperti contoh kuitpan diatas yang
memiliki bunyi yang sama diulang
kembali.
- Ritme adalah pengulngan bunyi,
kata, dan kalimat. Pada bait:
Dengan seribu gunung langit tak
runtuh
Dengan seribu perawan hati tak jauh
Dengan seribu beringin ingin tak teduh
Analisis: Jelas pada bait diatas
terdapat pengulangan bunyi uh diakhir
kalimat, pengulangan kata dengan
seribu pada kalimat awal, tetapi tidak
ada pengulangan kalimat.
- Metrum adalah pengulangan tekanan
kata yang tetap/irama yang tetap
menurut pola tertentu. Pada bait:
Mengapa jam harus berdenyut sedang
darah tak sampai
Mengapa gunung harus meletus sedang
langit tak sampai
Analisis: terdapat pengulangan
tekanan kata.

6. Sarana retorika
Untuk mendapatkan intensitas dan
ekspresivitas, Sutardji menggunakan sarana
retorika juga. Sarana retorika yang paling
menonjol dalam sajak-sajaknya ialah
ulangan. Ulangan-ulangan dalam sajak
Sutardji bermacam-macam. Namun,
semuanya itu hampir berupa ulangan yang
berlebih-lebihan. Ulangan ituberupa ulangan
suku kata, kata, frase, dan kalimat. Yang
terbanyak adalah ulangan pola kalimat yang
berupa persetujuan (paralelisme) atau juga
penjumlahan pada bait:
batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu jarum
batu bisu
Analisis: Pada sajak “Batu”, dapat kita lihat
pengulangan kata batu di posisi awal.

Imah di 08.30

Berbagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

‹ Beranda ›
Lihat versi web

Mengenai Saya
Imah

Lihat profil lengkapku

Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai