OLEH
KELOMPOK 3
DOSEN PENGAMPU
Dr. LA ODE SAHIDIN, S.Pd., M.Hum.
NIP 19750510 200812 1 003
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Makalah ini berjudul Analisis Alur Cerpen “Mereka Mengeja Larangan Mengemis”
Karya Ahmad Tohari Menggunakan Pendekatan Struktural
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih banyak kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dan mendidik untuk perbaikan selanjutnya. Walaupun demikian kami tetap berharap makalah
ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih
atas kontribusi yang diberikan kepada kami dalam proses penyusunan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang
Semi (dalam Jamaludin, 2003:31) mendefinisikan sastra adalah suatu bentuk atau
hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan
menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Dengan demikian, karya sastra erat kaitannya
dengan kehidupan. Sebagai pengarang, pengarang dapat menuliskan kehidupan-
kehidupan yang ia lihat dalam karya sastra. Karya sastra sebagai kreasi manusia memuat
pandangan pengarangnya yaitu, dilihat dari mana dan bagaimana pengarang melihat
kehidupan tersebut.
Karya sastra sebagai suatu karya seni, senantiasa menarik untuk dibicarakan dan
dikaji. Kajian karya-karya sastra banyak mengisi perpustakaan dan menjadikannya objek
bacaan yang menarik untuk sekedar dibaca ataupun untuk dikaji ulang. Salah satu bagian
dari karya sastra adalah cerita pendek atau yang biasa disingkat cerpen. Sesuai namanya,
rangkaian cerita dalam cerpen cenderung pendek sehingga dapat dibaca sampai selesai
dalam waktu singkat. Dalam cerpen terdapat kisahan cerita yang memberikan kesan
tunggal yang dominan dan memusatkan diri dalam satu tokoh dalam satu situasi.
Suatu karya sastra cerpen memiliki unsur instrisik sebagai pembangun dari dalam.
Unsur intrinsik yang dimaksud adalah tema, alur, tokoh, penokohan, latar, sudut pandang,
dan amanat serta tiap unsur tersebut memiliki keterkaitan sehingga memiliki makna yang
menyeluruh. Dalam penelitian karya sastra, hal tersebut menggunakan pendekatan
struktural. Fokus utama dalam penelitian ini adalah alur cerpen. Alur adalah rangkaian
cerita yang memiliki hubungan sebab-akibat (kausalitas) sehingga membentuk suatu
kesatuan. Sementara itu, jalan cerita hanyalah rangkaian cerita yang berbentuk kronologis
dari awal sampai akhir, tanpa disertai hubungan kausalitas yang kuat. Secara sederhana,
alur memiliki beberapa tahapan, mulai awalnya pengenalan, konflik, komplikasi
(kerumitan), klimaks, leraian, sampai pada penyelesaian.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi masalah dalam analisis
ini adalah bagaimana analisis alur menggunakan pendekatan struktural pada cerpen
“Mereka Mengeja Larangan Mengemis” karya Ahmad Tohari.
C. Tujuan
Sehubungan dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan analisis
ini adalah untuk mengetahui bagaimana bagaimana analisis alur menggunakan
pendekatan struktural pada cerpen “Mereka Mengeja Larangan Mengemis” karya Ahmad
Tohari.
D. Manfaat
Analisis ini diharapkan akan dapat berhasil dengan baik, yaitu dapat mencapai
tujuan secara optimal, menghasilkan laporan yang sistematis, dan dapat memberikan
manfaat bagi pengembangan keilmuan sastra Indonesia terutama dalam pengaplikasian
teori Struktural dalam analisis sebuah cerita pendek.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Cerita Pendek
Cerita pendek atau biasa disingkat menjadi cerpen merupakan salah satu contoh
teks narasi yang menceritakan ulang sebuah kejadian ataupun sebuah karangan fiktif yang
biasanya berpusat pada satu tokoh yang jumlah kata di dalamnya tidak lebih dari 10.000
kata atau kurang dari sepuluh halaman.
Jusuf Sjarif Badudu atau lebih dikenal dengan nama J. S. Badudu mendefinisikan
cerpen sebagai suatu cerita yang hanya menjurus serta terfokus pada satu peristiwa saja.
Selain itu, Jakobus Sumarjo atau Jakob Sumarjo mendefinisikan cerpen sebagai seni atau
ketrampilan menyajikan cerita (skill to present story), yang di dalamnya merupakan satu
kesatuan bentuk utuh, manunggal (memfokuskan pada satu bagian atau satu karakter
saja), dan tidak ada bagian–bagian yang tidak perlu, tetapi juga ada bagian yang terlalu
banyak. Menurut Hans Bague Jassin atau H. B. Jassin mendefinisikan cerpen sebagai
sebuah cerita singkat yang harus memiliki bagian terpenting yakni perkenalan, pertikaian,
serta penyelesaian.
Menurut Edgar Allan Poe dalam Nurgiyantoro (2005: 10), cerpen adalah sebuah
cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai
dua jam, suatu hal yang kiranya tidak mungkin dilakukan untuk sebuah novel.
Nurgiyantoro (2005: 11), menyatakan bahwa cerpen memiliki kelebihan yang khas, yaitu
kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak, jadi secara implisit, dari sekedar apa
yang diceritakan.
Sayuti (2000: 9), berpendapat bahwa cerpen merupakan karya prosa fiksi yang
dapat selesai dibaca dalam sekali duduk dan ceritanya cukup dapat membangkitkan efek
tertentu dalam diri pembaca. Dengan kata lain, sebuah kesan tunggal dapat diperoleh
dalam sebuah cerpen dalam sekali baca. Cerita pendek adalah karangan pendek yang
berbentuk prosa. Dalam cerpen dipisahkan sepenggal kehidupan tokoh, yang penuh
pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung kesan
yang tidak mudah dilupakan (Kosasih dkk, 2004:431). Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2008: 283), cerita pendek adalah karangan pendek (kurang dari 10.000 kata)
yang memberikan kesan tunggal dan memusatkan diri pada satu tokoh dan satu situasi.
B. Pendekatan Strukturalisme
Struktur pada dasarnya adalah seperangkat unsur yang antar unsur atau
seperangkat unsur itu terjalin satu hubungan. Menurut Pradopo (1987:118), struktur
adalah bangunan unsur - unsur yang bersistem; antara masing-masing unsur tersebut
terjadi hubungan timbal balik yang saling menentukan. Struktural adalah cara kerja
pendekatan terhadap karya sastra secara ilmiah, yaitu pendekatan yang didalamnya
terdapat sikap objektifitas, kepastian, dan sikap tidak terlibat (Wellek, 1989:43)
Satoto (dalam Anggraini, 2017: 27), mengatakan bahwa pendekatan struktural
merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur
yang membangun karya sastra dari dalam. Pendekatan tersebut meneliti karya sastra
sebagai karya yang otonom terlepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografi
pengarang, dan segala hal yang ada diluar karya sastra.
Menurut Teeuw (dalam Anggraini, 2017: 28) pendekatan struktural adalah suatu
pendekatan dalam ilmu sastra yang cara kerjanya menganalisis unsur-unsur struktur yang
membangun karya sastra dari dalam, serta mencari relevansi atau keterkaitan
antarunsurnya tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna.
Struktural maupun strukturalisme sebagai pendekatan dalam sastra menitik
beratkan pada karya sastra itu sendiri secara otonom, dan merupakan kesatuan yang bulat
yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berhubungan secara koheren. Pendekatan
demikian oleh M.H Abrams disebut pendekatan objektif, yaitu pendekatan yang
menekankan karya sastra sebagai struktur yang bersifat mandiri atau otonom.
Prinsip pendekatan strukturalisme adalah; analisis struktural yang bertujuan untuk
membongkar dan memaparkan secermat, sedetail, dan semendalam mungkin keterkaitan
dan keterjalinan semua aspek dan unsur karya sastra secara bersama menghasilkan dan
membentuk makna menyeluruh dan utuh. Selain itu, peneliti dapat meneliti satu unsur
karya sastra saja. Dalam penelitian ini, unsur yang akan dianalisis adalah alur cerpen.
C. Alur Cerpen
Andri Wicaksono, dalam Menulis Kreatif Sastra (2014)
menyatakan Alur merupakan konstruksi yang dibuat mengenai sebuah deretan peristiwa
secara logik dan kronologik saling berkaitan dan diakibatkan atau dialami oleh para
pelaku. M. Antar Semi, dalam Anatomi Sastra (1988) menyatakan Alur adalah struktur
rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interelasi fungsional yang
sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Aminudin, dalam
Pengantar Apresiasi karya sastra (2002) menyatakan bahwa Plot atau Alur adalah
rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu
cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa Alur adalah
struktur cerita yang disusun oleh rentetan peristiwa, yang mana diakibatkan atau dialami
oleh pelaku. Sederhananya, Alur atau juga bisa disebut plot merupakan rangkaian
peristiwa dalam cerita. Peristiwa-peristiwa dalam alur memiliki hubungan sebab akibat
hingga menjadikannya sebuah cerita yang utuh. Adapun tahapan alur dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Tahap pengenalan (Eksposition atau Orientasi). Tahap pengenalan merupakan
tahapan awal cerita yang digunakan untuk mengenalkan tokoh, latar, situasi, waktu,
dan lain sebagainya.
2. Tahap pemunculan konflik (Rising action). Tahap pemunculan konflik merupakan
tahap dimunculkannya masalah. Tahap ini ditandai dengan adanya ketegangan atau
pertentangan antar tokoh.
3. Tahap konflik memuncak (Turning point atau Klimaks). Tahap konflik memuncak
atau biasa disebut klimaks merupakan tahap di mana permasalahan atau ketegangan
berada pada titik paling puncak.
4. Tahap konflik menurun (Antiklimaks). Tahap konflik menurun atau biasa disebut
antiklimaks merupakan tahap di mana masalah mulai dapat diatasi dan ketegangan
berangsur-angsur menghilang.
5. Tahap penyelesaian (Resolution). Tahap penyelesaian merupakan tahap di mana
konflik sudah terselesaikan. Sudah tidak ada permasalahan maupun ketegangan antar
tokohnya, karena telah menemukan penyelesaiannya.
Secara umum, alur dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam. Pembagian ini
didasarkan pada urutan waktu atau kronologisnya. Adapun jenis alur dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Alur Maju. Alur maju atau bisa disebut progresif adalah sebuah alur yang klimaksnya
berada di akhir cerita. Rangkaian peristiwa dalam alur maju berawal dari masa awal
hingga masa akhir cerita dengan urutan waktu yang teratur dan beruntut. Tahapan
pada Alur maju adalah sebagai berikut. Pengenalan → Muncul konflik → Klimaks →
Antiklimaks → Penyelesaian
2. Alur Mundur. Alur mundur atau bisa disebut regresi adalah sebuah alur yang
menceritakan masa lampau yang menjadi klimaks di awal cerita. Rangkaian peristiwa
dalam alur mundur berawal dari masa lampau ke masa kini dengan susunan waktu
yang tidak sesuai dan tidak beruntut. Tahapan pada Alur mundur adalah sebagai
berikut. Penyelesaian → Antiklimaks → Klimaks → Muncul konflik → Pengenalan
3. Alur Campuran. Alur campuran atau bisa disebut alur maju-mundur adalah alur yang
diawali dengan klimaks, kemudian menceritakan masa lampau, dan dilanjutkan
hingga tahap penyelesaian. Pada saat menceritakan masa lampau, tokoh dalam cerita
dikenalkan sehingga saat cerita satu belum selesai, kembali ke awal cerita untuk
memperkenalkan tokoh lainnya. Tahapan pada Alur campuran adalah sebagai berikut.
Klimaks → Muncul konflik → Pengenalan→ Antiklimaks → Penyelesaian
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kualitatif yang menghasilkan data
deskriptif dengan menggunakan pendekatan objektif. Jenis penelitian ini menganalisis
data yang berupa unsur-unsur inrinsik dan keterkaitan antar unsur-unsur tersebut dalam
membangun cerpen “Mereka Mengeja Larangan Mengemis” karya Ahmad Tohari.
B. Data Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif,
yaitu data yang berupa unsur kata, kalimat yang merupakan informasi-informasi penting,
mengenai alur yang terdapat dalam cerpen “Mereka Mengeja Larangan Mengemis”
karya Ahmad Tohari.
C. Sumber Data
Sumber data yang digunakan adalah cerpen yang berjudul “Mereka Mengeja
Larangan Mengemis” karya Ahmad Tohari.
PEMBAHASAN
Mereka lima anak tanggung dan hanya Gupris yang perempuan. Kelimanya jarang
mandi, dan lebih jarang lagi berganti pakaian. Di antara mereka, Gupris yang paling
banyak bergerak dan usil, juga cerewet. Hanya Gupris pula yang pernah bersekolah meski
hanya sebentar.
Dan sekarang kelima anak itu telah berlompatan ke atas bak truk tak berdinding
yang mulai bergerak meninggatkan pangkalan. Setiap pagi mereka berkumpul di
pangkalan truk yang dikelilingi warung-warung, paling banyak warung nasi. Empat anak
laki-laki memang selalu tidur di situ, di lantai emper warung yang sudah tutup atau di
mana saja sesuka mereka. Di malam hari mereka sudah terbiasa dengan banyaknya
nyamuk. Tetapi mereka sering tidak bisa tidur ketika perut lapar. Gupris tidak ikut tidur
jadi gelandangan di pangkalan. Dia lain. Dia punya rumah kecil di belakang pangkalan.
Ada emak, tapi tidak ada ayah.
Jam tiga pagi adalah waktu yang paling dibenci Gupris. Dia sering terbangun oleh
bau wangi. Dia sering melihat emaknya dini hari sudah mandi, berdandan, pakai bedak,
dan bergincu. Lalu mengambil keranjang tenteng dan bilang mau belanja ke pasar. Pada
mulanya Gupris tidak peduli. Tapi kemudian dia jadi benci karena emaknya selalu pulang
dengan keranjang kosong. Menornya sudah berantakan. Gupris benci dan makin benci.
Jadi sekarang tiap jam setengah tiga pagi dia bangun dan pergi ke pangkalan, bergabung
dengan empat teman sebelum emaknya pulang.
Gupris dan keempat temannya duduk bersila di atas bak truk kosong yang
meluncur menuju pabrik semen. Truk itu besar sekali, jumlah rodanya empat belas,
baknya berlantai baja, tidak berdinding. Satu anak main gendang kecil, satu anak main
kecrek, dan satu lagi main gitar butut. Jadi ada panggung dangdut berjalan. Para sopir
truk tidak pernah marah meski pun lima anak jalanan itu sering bikin berisik dengan
memukul-mukul lantai bak. Gupris biasanya nyanyi dangdutan, tapi kali ini dia lebih suka
asyik dengan HP-nya. Dia sudah suka nonton gambar cabul. Rambut Gupris masih
dikucir dua.
Mendekati perempatan Karangasu, Gupris bangkit dan berdiri oleng. Dia
mengajak keempat temannya bersiap turun. Bila mereka beruntung, lampu di perempatan
pas menyala merah. Tapi kali ini tidak. Maka seorang anak yang tidak sabar terjun lewat
sisi samping. Dia terbanting dan langsung mengaduh. Gupris lari ke depan untuk
memukul-mukul atap kabin truk. Akhirnya truk berhenti setelah menyeberang
perempatan. Sopirnya melongok ke belakang, tapi tidak marah. Empat anak melompat
turun. Mereka mau menolong teman yang duduk kesakitan, tapi kendaraan sangat ramai.
Gupris bertindak, bergerak ke tengah jalan. Dia mengangkat tangan tinggi-tinggi dan
minta peluang untuk menyeberang. Panas matahari mulai menyengat.
Lima anak tanggung yang jarang mandi itu berjalan menyingkir dari perempatan.
Yang satu dituntun menuju tempat yang terlindung dan ditinggal sendiri di sana. Gupris
mengajak tiga teman kembali ke sudut perempatan. Gendang dari pipa pralon dengan
membran karet ban mulai berdebam. Kecrek dan gitar butut mulai berbunyi. Gupris siap
dangdutan. Tetapi tiba-tiba dia berhenti bergerak. Dia melihat sesuatu; ada yang berubah
di sudut perempatan itu. Di dekat mereka telah terpancang sebuah papan pengumuman.
Tulisannya hitam di atas papan kayu bercat putih. Berbeda dengan teman-temannya yang
tidak tertarik karena tidak bisa membaca, Gupris lain. Dia ingin membaca tulisan itu. Dia
mulai mengeja. Teman-temannya mendekat dan berdiri di belakangnya untuk menguping.
“Ba-ran-g si-a-pa me-nge-mis dan me-ng-a-men… di-pi-da-na… ku-ru-ng-an…”.
Gupris berhenti, lalu berbalik menghadap teman-teman.
“Dipidana itu apa? Dipidana kurungan artinya apa?” tanyanya.
Keempat anak laki-laki itu nyengir lalu bergantian menggeleng. Semua tidak tahu.
Mereka hanya saling pandang. Gupris kesal dan jadi merasa percuma. Maka Gupris
mengajak teman-temannya pergi. Tetapi mereka mendadak berhenti.
“Nah, baca itu! Kalian anak-anak liar yang kerjanya keluyuran, harus baca itu.
Harus!”
Gupris dan teman-temannya serentak menoleh ke samping. Ada seorang hansip
keluar dari warung nasi sambil membersihkan mulut dengan punggung tangan. Di atas
saku kanan bajunya tersulam jelas nama Karidun. Dia bergerak setengah berlari. Dan
berhenti, pasang gaya. Suara kerasnya mengatasi bunyi mobil dan motor. Masih ada
remah nasi atau ampas kelapa di sudut bibirnya. Sisa makanan terus berjoget mengikuti
gerak mulut ketika hansip itu bicara. Itu pemandangan yang membuat Gupris menahan
tawa.
“Teruskan baca. Harus!” kata hansip Karidun. Tangannya menunjuk ke papan di
sana dengan gaya komandan. “Aku petugas keamanan, eh, sekuriti dari Dinas Sosial. Aku
yang memasang papan itu tadi pagi. Untuk orang-orang semacam kalian. Tahu? Ingat,
aku sekuriti dari Dinas Sosial, tahu?”
Lengang, Gupris berhenti, wajahnya buntu. Lalu menoleh ke belakang ke arah
teman-temannya.
“He, kenapa berhenti. Baca terus. Aku ini sekuriti. Dan menyuruh kamu
membaca. Ayo terus,” seru hansip Karidun, kali ini dengan suara lebih keras.
“Di-pi-da-na, itu artinya apa, Pak?” tanya Gupris dengan gaya yang biasa saja.
Meskipun masih gadis kecil yang jarang mandi, Gupris berani cengar-cengir kepada
hansip Karidun yang maunya disebut sekuriti.
Lengang lagi. Hansip Karidun kelihatan tidak siap menjawab pertanyaan Gupris.
Wajahnya berubah-ubah. Seperti orang gagap, bingung, tapi alisnya mengeras.
Kemudian memutar badan sampil mengusap-usap kening. Akhirnya dia kembali tegak
menghadap kelima anak jalanan itu. Dia juga menggagah-gagahkan diri.
“Aku ini petugas sekuriti. Iya, kan?”
“Ya!” jawab Gupris cepat sekali.
“Jadi, menurut saya, dipidana pasti tidak sama dengan diberi dana. Dipidana
mungkin sama dengan dihukum. Ya. Dipidana kurungan sama dengan dihukum kurung,
dibui, dipenjara. Tahu? Itulah, maka kalian jangan ngemis dan ngamen terus. Seharusnya
kalian bersekolah. Jadi kalian bisa seperti saya yang sekuriti dan tahu dipidana itu artinya
apa.”
Gupris diam sejenak. Lalu berbalik lagi menghadap teman-teman. “Kalian dengar,
kita seharusnya sekolah.”
“Sekolah dapat uang apa tidak?” potong seorang anak.
“Ah, dasar! Sekolah, ya, tidak dapat uang, malah bayar,” jawab Gupris.
“Wah, susah kalau begitu? Tidak dapat uang? Lalu kita beli makan pakai apa?
Enakan ngamen terus, ngemis terus, bisa makan terus.”
“Hai, apa?” seru hansip Karidun dengan muka dibuat galak. “Kamu sudah saya
kasih tahu, mengemis dan mengamen dipidana kurungan. Di-pi-da-na ku-ru-ngan 30 hari
dan didenda 50 juta rupiah! Kamu dengar itu?”
Wajah Gupris ciut. Tapi kemudian tersenyum samar karena melihat sisa makanan
di sudut bibir Karidun berjoget-joget lagi.
“Mengapa bisa begitu?” tanggap Gupris lagi. “Mengemis bukan nyopet atau
mencuri, kan?”
“Ya, tapi melanggar larangan. Siapa saja yang melanggar larangan pasti dipidana,
ya dihukum.”
“Mengapa bisa begitu? Siapa yang membuat larangan?”
“Nah, saya sekuriti. Maka saya tahu siapa yang membuat larangan mengemis itu:
Bapak Wali Kota dan para dewan.”
“Wali Kota itu apa?”
“Dasar anak liar. Wali Kota adalah pejabat penting.”
“Para dewan itu orang juga?”
“Iyyya. Nah dengar, saya sekuriti mau menerangkan semua. Dewan itu wakil
rakyat, jadi wakil kalian juga.”
Alis Gupris merapat. Bingung dia. Tapi setidaknya dia sudah tahu, dewan itu
sejenis manusia juga. Dan mereka bersama wali kota membuat larangan, siapa mengemis
dan mengamen dipidana kurungan. “Ya, ya. Kami mengemis dan mengamen saban hari.
Tapi kami belum pernah dihukum.” Gupris nyengir. Empat temannya tertawa.
“O, jadi kalian minta dihukum. ya?” Karidun sibuk mencari HP di sakunya.
Mulutnya komat-kamit dan ampas itu belum tanggal juga dari sudut bibirnya. Gupris dan
keempat temannya tertawa lagi. “Tunggulah, saya akan panggil mobil satpol PP buat
menggaruk kalian. Tunggu saja. Saya sekuriti yang memanggil satpol PP. Jadi mereka
akan datang segera.”
“Satpol PP itu apa?” Gupris menatap Karidun. Tapi tak ada jawaban.
Ketika Karidun sibuk ber-HP. Gupris berbalik menghadap ke teman-temannya.
Dia berbisik-bisik. Empat temannya mengangguk bersamaan. Mereka kemudian melirik
ke samping. Lampu jalan sedang menyala merah. Dua truk besar yang kosong dengan bak
terbuka dan satu mobil bagus berhenti. Lampu berganti menyala kuning, lalu hijau.
Gupris bergerak paling cepat, diikuti yang lain. Mereka melompat cekatan seperti
munyuk, naik ketika truk besar dengan bak tanpa dinding itu mulai bergerak. Mereka
kemudian ramai-ramai melambaikan tangan kepada hansip Karidun.
“Hai Pak Hansip, kami mau ke Tegal, terus Cirebon. Terus ke…, terus, terus….
Kalau mau menghukum, kejar kami ke sana, ya, Pak?” Gupris berseru sekerasnya sambil
tertawa tergelak. Keempat temannya berjoget ria di atas truk yang terus berlari. Suara
Gupris terus terdengar, tapi makin lama makin samar. Truk pengangkut semen itu
menjauh, terus menjauh ke utara menuju Tegal.
Perempatan Karangasu tetap ramai, tetapi telah ditinggalkan oleh Gupris dan
empat orang temannya. Kelima anak jalanan yang masih bocah itu telah pergi berkelana.
Mereka akan keluyuran Tegal, Cirebon, atau entah di mana lagi. Hansip Karidun masih
berdiri di sudut perempatan. Dia lama menatap papan pengumuman larangan mengemis
yang baru dipasangnya tadi pagi. O, begitu dipasang papan berukuran enam puluh kali
seratus sentimeter itu langsung terbukti keampuhannya. Lima anak jalanan telah
menyingkir dari perempatan Karangasu. Hansip Karidun bangga karena merasa telah
melaksanakan tugas dengan baik. Atau, entahlah. Karena bayangan wajah Gupris yang
imut-imut dengan dua kepang rambut terus hadir di rongga mata. Suara Gupris ketika
mengeja dengan suara terbata-bata, “… dipidana kurungan itu apa?”, juga masih
terngiang-ngiang di dalam telinga.
A. Kesimpulan
Alur adalah struktur cerita yang disusun oleh rentetan peristiwa, yang mana
diakibatkan atau dialami oleh pelaku. Sederhananya, Alur atau juga bisa disebut plot
merupakan rangkaian peristiwa dalam cerita. Peristiwa-peristiwa dalam alur memiliki
hubungan sebab akibat hingga menjadikannya sebuah cerita yang utuh. Adapun
tahapan alur dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Tahap pengenalan (Eksposition atau Orientasi). Tahap pengenalan merupakan
tahapan awal cerita yang digunakan untuk mengenalkan tokoh, latar, situasi,
waktu, dan lain sebagainya.
2. Tahap pemunculan konflik (Rising action). Tahap pemunculan konflik merupakan
tahap dimunculkannya masalah. Tahap ini ditandai dengan adanya ketegangan
atau pertentangan antar tokoh.
3. Tahap konflik memuncak (Turning point atau Klimaks). Tahap konflik memuncak
atau biasa disebut klimaks merupakan tahap di mana permasalahan atau
ketegangan berada pada titik paling puncak.
4. Tahap konflik menurun (Antiklimaks). Tahap konflik menurun atau biasa disebut
antiklimaks merupakan tahap di mana masalah mulai dapat diatasi dan ketegangan
berangsur-angsur menghilang.
5. Tahap penyelesaian (Resolution). Tahap penyelesaian merupakan tahap di mana
konflik sudah terselesaikan. Sudah tidak ada permasalahan maupun ketegangan
antar tokohnya, karena telah menemukan penyelesaiannya.
B. Saran
Kami sadar bahwa dalam analisis yang kami lakukan ini masi terdapat banyak
kekurangan, untuk itu kami meminta kritik dan saran guna perbaikan analisis kami
kedepannya.
Kami juga berharap bahwa mahasiswa di tingkat S1 untuk jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia dapat menjadikan makalah ini sebeagai acuan bahan ajar
terhadap materi kuliah terkait.
Daftar Pustaka