Anda di halaman 1dari 18

Diagnosis Apendisitis : Evidence -Based Review

terhadap pendekatan diagnostik 2014


Daniel J. Shogilev, MD* Nicolaj Duus, MD†Stephen R. Odom, MD‡ Nathan I. Shapiro, MD,
MPH§

* Duke University, Division of Emergency Medicine, Duke University, Durham, North Carolina

† Beth Israel Deaconess Medical Center, Department of Emergency Medicine, Boston,Massachusetts

‡ Beth Israel Deaconess Medical Center, Department of Surgery, Boston, Massachusetts

§ Beth Israel Deaconess Medical Center, Department of Emergency Medicine and

Center for Vascular Biology, Boston, Massachusetts

Pendahuluan : Apendisitis akut adalah kegawat daruratan abdomen yang sering


ditemukan dan membutuhkan operasi emergensi. Tetapi, diagnosis terkadang sulit
ditegakkan sehingga mengganggu keputusan untuk mengoperasi, observasi dan untuk
evaluasi berikutnya. Terdapat sistem skor (Skor Alvarado), penanda laboratorium, dan
penanda lain dalam penegakkan diagnosis apendisitis yang masih menjadi
kontroversial. Artikel ini akan memberikan berita terbaru terhadap pendekatan
diagnosis apendisitis berdasarkan evidence-based

Metode : Kami melakukan penelitian terhadap gambaran radiologi, skor Alvarado,


penanda laboratorium yang sering muncul, dan penanda lainnya terhadap pasien yang
dicurigai apendisitis.

Hasil : Computed Tomography (CT) adalah yang paling akurat dalam mendiagnosis
apendisitis, tetapi terkadang paparan radiasi dapat mengganggu diagnosis. Skor
Alvarado yang merupakan sistem skor klinis yang digunakan untuk mendiagnosis
apendisitis berdasarkan tanda serta gejala dan laboratorium. Hal ini dapat membantu
membedakan risiko pada pasien yang dicurigai terkena apendisitis dan mengurangi
penggunaan CT scan yang dianggap tidak perlu. sel darah putih (WBC), C-reactive
protein (CRP), jumlah granulosit dan proporsi sel polimorfonuklear (PMN) sering
meningkat pada pasien dengan apendisitis tetapi tidak cukup untuk dijadikan
modalitas diagnostik. Saat beberapa marker digabung untuk mendiagnosis maka
peningkatan dalam diagnosis meningkat. Beberapa penanda lain telah drencanakan
dalam mendiagnosis apendisitis, tetapi masih dalam tahap penelitian.

Kesimpulan : CT Scan adalah modalitas yang paling akurat dalam mendiagnosis


apendisitis tetapi perlu pertimbangan apakah terpapar radiasi. USG dapat membantu
diagnosis yang dapat menurunkan kebutuhan dalam penggunaan CT Scan. Skor
Alvarado memiliki nilai diagnostik yang baik dan spesifik. Penanda laboratorium
memiliki keterbatasan diagnostik tetapi menunjukkan peningkatan yang berakna jika
digunakan secara kombinasi. Penelitian lebih lanjut sangat diperlukan untuk penanda
laboratorium yang dikombinasikan dan untuk memvalidasi penanda potensial baru.

Pendahuluan :
Apendisitis akut adalah kegawatdaruratan abdomen yang paling sering
membutuhkan operasi dengan estimasi seumur hidup sekitar 7%. Walaupun angka
prevalensi yang tinggi, diagnosis apendisitis tetaplah membutuhkan tantangan.
Diagnosis apendisitis membuat semangat Sir Willam Osler saat ia menyatakan "Ilmu
kedokteran tidaklah pasti dan seni probabilitas". Presentasi klinis sering tidak khas
dan diagnosis menjadi sulit dikarenakan gejala tidak berhubungan dengan kondisi
lainnya. Keputusan penting dalam diagnosis pasien dengan kecurigaan apendisitis
adalah apakah harus dioperasi atau tidak. Idealnya, tujuan dari terapi segala kasus
apendisitis tanpa intervensi bedah. Penelitian tahun 2001 melaporkan apendektomi
yang negatif meningkat antara 15% dan 34% dengan perkiraan 15% yang sesuai
untuk mengurangi insiden perforasi.
Evaluasi yang bermakna dari apendisitis akut mengenai intervensi operasi dini
bertujuan untuk mencegah perforasi dan pendekatan untuk mengurangi pembedahan
yang tidak diperlukan. Selain itu serorang dokter harus mempertimbangkan
ketepatan, penundaan menuju operasi, dan risiko radiasi dalam menggunakan CT
Scan dan juga terhadap hasil labratorium. Terakhir, sayangnya seorang dokter dalam
bertindak dipengaruhi oleh litigasi malpraktek terhadap apendisitis sebagai kondisi
medis tersering yang berhubungan dengan litigasi terhadap gawat darurat dokter
dengan klaim yang dibayarkan kepada pasien hingga sepertiga dari kasus
Tujuan dari artikel ini adalah menyajikan kepada pembaca terhadap
perkembangan dari pendekatan diagnosis apendisitis dengan menyajikan berdasarkan
evidence base berdasarkan radiologi, sistem skor, laboratorium dan biomarker baru
untuk apendisitis.

Metode : Kami melakukan penelitian luas PubMed dengan mengetik "diagnosis dan
apendisitis", "Gambaran radiologi dan apendisitis", "Marker laboratorium pada
apendisitis", "skor Alvarado" dan "Marker baru pada apendisitis". Kami mencari
meta-analisis, review sistemik, review dan percobaan sejak 2000. Hanya penelitian
yang dipublikasikan yang digunakan pada paper kami. Kami juga menggunakan
sumber sekunder terhadap artikel yang sangat berhubungan. Sejak banyak
metaanalisis yang tersedia, kami memfokuskan pada hal tersebut dan juga termasuk
publikasi data seseorang yang relevan. Fokus kami adalah membawa para pembaca
untuk memperbaharui perkembangan dalam ilmu tersebut.

Gambaran Radiologi
Perkembangan teknologi dan meningkatnya ketersediaan CT telah menjadi hal
yang sangat fundamental dalam mendiagnosis apendisitis. Pada tahun 2011 dilakukan
penelitian terhadap 2871 pasien, multi-detector CT memiliki sensitivitas 98.5% dan
spesifisitas 98%. Serupa dengan meta analisis pada tahun 2006 yang terdiri dari 31
penelitian dan 4341 pasien yang menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas 94%. pada
2011 metaanalisis pada 28 penelitian dengan 9330 pasien menemukan bahwa nilai
apendektomi negatif sekitar 8.7% ketika digunakan CT dibandingkan 16.7% ketika
dilakukan evaluasi klinis saja. Serupa dengan penelitian tersebut, penelitian ini juga
menunjjukan tingginya nilai apendektomi negatif sebelum era CT scan dibanding era
setelah CT Scan (10% vs. 21.5%). menariknya adalah, insiden perforasi apendik,
yaitu komplikasi terbanyak dari apendisitis dilaporkan tidak berubah sejak
menggunakan CT Scan.
Pada review sistemik 2007 (25 penelitian dan 9121 pasien) menggunakan
USG untuk mendiagnosis apendisitis akut memiliki sensitivitas 83.7% dan spesifisitas
95.9%. Hal serupa terjadi pada meta analisis tahun 2006 pada pasien baik anak
ataupun orang dewasa. masih terjadi perdebatan pada penggunaan USG untuk
mendiagnosis apendisitis yang kurang akurat dibanding dengan CT Scan. Perbedaan
terlihat pada penelitian yang beberapa dokter bedah yang tetap menggunakan USG
pada kasus yang dicurigai apendisitis. Hal ini bergantung terhadap operator dan
ketersediaan USG, hal ini juga menggambarkan perbandingan antara mesin USG dan
mesin resolusi tinggi pada departemen radiologi.
Peningkatan perkembangan diagnostik menggunakan CT Scan berdampak
pada peningkatan radiasi dan risiko panjang terjadinya kanker. Satu penelitian
memperkirakan 29000 kanker terjadi dimasa akan datang berhubungan dengan
penggunaan CT pada tahun 2007, dengan jumlah yang discan terdapat pada
abdomen/pelvis dengan kecurigaan apendisitis. Pada penelitian lain diperkirakan
adanya peningkatan radiasi yang berhubungan dengan kanker pada pria 620 dan 470
wanita yang dilakukan CT Scan abdomen dengan kontras pada umur 20. Pada pasien
yang dilakukan CT Scan pada umur 60, diperkirakan sekitar 1 dari 1250 pria dan 1
dari 1320 wanita akan terkena kanker yang berkaitan dengan radiasi.

Usaha untuk mencegah dari kerugian CT Scan dengan penegakkan diagnosis


yang tepat perlu dilakukan. Salah satu strategi terutama pada pasien anak adalah
dengan melakukan USG sebagai langkah awal penegakkan diagnosis. Jika tanda
klinis dari apendisitis nampak maka dilakukan operasi tanpa dibutuhkan CT Scan.
Dikarenakan keterbatasan terutama sensitivitas dari USG, hasil yang negatif dari USG
tidak bisa digunakan untuk menyingkirkan apendisitis. Poortman dkk mengikuti
protokol ini pada penelitian mereka terhadap 151 pasien dengan kecurigaan
apendisitis. Pada USG menunjukkan 79 hasil yang positif dan 71 pasien memang
terkena apendisitis akut. Pada hasil USG yang negatif dan dilakukan CT 21
menunjukkan apendisitis. Pada studi yang lebih besar terhadap 620 pasien dengan
penemuan USG yang positif, dilakukan follow up menggunakan CT Scan. Disini,
tidak diketahui adanya diagnosis yang terlewat pada apendisitis. Terbaru, penelitian
pada 2014 dengan 662 pasien dibawah 18 tahun dengan kecurigaan apendisitis
dbandingkan antara CT Scan dan MRI. Mereka menemukan bahwa MRI dan CT scan
tidak menunjukkan perbedaan waktu terhadap pemberian antibiotik, waktu
apendektomi, nilai apendektomi yang negatid, dan waktu dari perforasi. Pada
penelitian yang lebih dalam, gabungan antara USG, CT Scan dan MRI diperlukan
untuk mengurangi biaya, radiasi dan menjaga agar tetap rendah nilai dari apendektomi
yang negatif.
Beberapa usaha untuk mengurangi radiasi CT Scan telah dilakukan dengan
paparan rendah CT Scan. Kim dkk, telah mencoba CT Scan abdomen paparan rendah
untuk mendiagnosis apendisitis. Pada percobaan pada 891 orang dewasa dan dewasa
muda, telah dicoba bahwa CT Scan paparan rendah dan CT Scan standart memiliki
kesamaan terhadap nilai apendektomi negatif, dan tidak ada perbedaan yang besar
terhadap nilai perforasi. Pada percobaan yang lebih kecil yang dilakukan juga
menunjukkan hasil yang sama, dan sekarang sedang dilakukan satu percobaan yang
lebih besar yang berupa trial control.

Sistem skor sistem Alvarado


Skor Alvarado adalah sistem skoring klinis digunakan untuk stratifikasi risiko
apendisitis pada pasien dengan nyeri perut. Penemuan Alvarado ini diterbitkan pada
tahun 1988 dan didasarkan pada analisis data retrospektif nya dari 305 pasien dengan
nyeri perut sugestif apendisitis akut. Penelitian ini menemukan delapan faktor
prediktif nilai diagnostik dalam apendisitis akut dan diberikan setiap faktor nilai 1
atau 2 berdasarkan berat diagnostik mereka. Skor 1 diberikan untuk masing-masing
berikut: ditinggikan suhu> 37,3 ° C, nyeri lepas, migrasi nyeri kuadran kanan bawah
(RLQ), anoreksia, mual atau muntah, dan peningkatan neutrofil. Sebuah skor 2
diberikan untuk nyeri RLQ dan leukositosis> 10 000. Kemungkinan apendisitis dan
manajemen rekomendasi yang diberikan berdasarkan skor total. Skor dari 5 atau 6
"kompatibel" dengan diagnosis apendisitis akut dan merekomendasikan dokter
mengamati atau berulang memeriksa pasien. Sebuah nilai 7 atau 8 adalah
"kemungkinan" apendisitis dan skor 9 atau 10 adalah "sangat mungkin" apendisitis
dan merekomendasikan intervensi bedah

Ironisnya, hasil dalam studi validasi berikutnya dari skor Alvarado sebagian
besar mengungguli temuan studi asli dan memberikan dukungan utama untuk
pertimbangan aturan dalam praktek klinis. Dalam meta-analisis oleh Ohle dkk
dilakukan pada tahun 2011, review dari 29 studi termasuk 5.960 subyek
mengungkapkan bahwa untuk cutoff dari 5 (kriteria untuk mengamati / mengakui) ada
sensitivitas 99% (95% CI: 97 -99%) dan spesifisitas dari 43% (36-51%). Pada cutoff
dari 7 (kriteria untuk melanjutkan langsung ke operasi) sensitivitas adalah 82% (76-
86%) dan spesifisitas 81% (76-85%). Berdasarkan hasil tersebut, penulis berpendapat
bahwa menggunakan skor cutoff dari 5 atau lebih rendah dapat "menyingkirkan
diagnosis" , sementara cutoff dari 7 tidak ckup spesifik untuk untuk menegakkan
diagnosis . Namun , beberapa studi lainnya yang lebih kecil tidak menunjukkan
sensitivitas tinggi. Sebuah 2007 studi retrospektif 150 pasien berusia 7 dan lebih tua
yang datang ke UGD dengan nyeri perut dan ditemukan bahwa 5% dari pasien dengan
skor 3 atau kurang memiliki apendisitis, seperti yang dilakukan 36% dari pasien
dengan skor antara 4-6. Demikian pula, dalam studi retrospektif dari 215 orang
dewasa dan anak-anak yang datang dengan sakit perut akut, Gwynn dkk menemukan
bahwa 8,4% (12 dari 143) dari subjek dengan apendisitis memiliki skor Alvarado
bawah 5. Penelitian retrospektif lain dari 156 anak-anak menemukan bahwa 9% dari
subyek dengan apendisitis yang rumit akan tidak terdeteksi dengan penggunaan skor
Alvarado.
Apa yang bisa kita simpulkan dari ini? Berdasarkan hasil tersebut pada 2011
meta-analisis dapat disimpulkan bahwa sejak skor Alvarado dari ≥5 memiliki
sensitivitas 99%, ini adalah strategi yang menjanjikan untuk mengesampingkan pasien
yang secara klinis berisiko rendah untuk apendisitis. Pasien-pasien ini dapat diamati
secara klinis atau dengan peringatan rawat jalan yang kontraindikasi dengan CT
Scan. Sementara beberapa studi kecil mempertanyakan keakuratan skor Alvarado,
pendekatan ini tampaknya menjadi titik awal yang wajar dalam penilaian pasien
dengan dugaan apendisitis.
Salah satu kritik utama dari skor Alvarado adalah penerapannya pada populasi
pediatrik. Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa pada cutoff dari 5 (amati /
kriteria yang tepat) untuk 1.635 pasien anak sensitivitas 99% dan spesifisitas 57%,
mirip dengan subyek dewasa. Pada cutoff dari 7 (kriteria operasi) sensitivitas adalah
87% dan spesifisitas 76% . Dengan demikian, aturan prediksi klinis yang sama dapat
diterapkan seperti di atas. Meta-analisis tidak memberikan definisi yang jelas tentang
apa yang merupakan "anak," dan dengan demikian, tidak jelas apakah hasil ini
berlaku untuk semua populasi pediatrik. Skor Alvarado membutuhkan anak-anak
untuk mengidentifikasi migrasi nyeri, mual dan anoreksia, variabel yang tidak mudah
diidentifikasi pada anak.

Penanda Laboratorium

Sel Darah Putih (leukosit):


Tingkat sel darah putih (WBC) yang meningkat pada apendisitis akut telah
dipelajari secara ekstensif. Hal ini sangat umum meningkat pada pasien dengan
apendisitis akut. Namun, itu bukan penanda spesifik tertentu dan umumnya meningkat
pada pasien dengan kondisi peradangan lainnya dan termasuk dalam daftar diagnosis
banding. Tabel 1 yang merupakan publikasi termasuk dua meta-analisis sensitivitas
WBC, spesifisitas, rasio kemungkinan dan akurasi. Bagian yang susah dalam menarik
kesimpulan yang tepat dari data tersebut adalah bahwa ada variabilitas yang besar
dalam konsentrasi WBC cut-off. Sebuah WBC cut-off yang lebih besar dari 10-12.000
sel / mm3 menghasilkan berbagai sensitivitas antara 65-85% dan spesifisitas 32-
82% .Tahun 2003 sebuah meta-analisis termasuk 14 studi ( 3382 pasien)
kemungkinan memberikan sensitivitas dan spesifisitas jika WBC> 10 000 sel / mm3
diukur 83% dan 67%, dengan kemungkinan positif dan negatif rasio 2,52 dan 0.26.
Dengan demikian WBC> 10 000 sel / mm3 kurang memadai sebagai modalitas
diagnostik. Peningkatan WBC, terdapat daerah di bawah kurva (AUC), dapat dilihat
pada Tabel 1. Nilai-nilai AUC berkisar 0,72-0,8 kurangnya WBC sebagai penanda
rendah sebagai diagnostik. Nilai rasio kemungkinan juga ditunjukkan pada Tabel 1.
Sedangkan nilai-nilai ini secara, umumnya sepakat bahwa nilai-nilai klinis signifikan
untuk rasio kemungkinan yang baik lebih besar dari 10 atau di bawah 0,1. Dengan
demikian, nilai-nilai ini hanya mengubah probabilitas diagnosis untuk tingkat
sederhana, dan dengan demikian, tidak mengubah hasil pemeriksaan diagnostik
sendiri.
C-Reactive Protein (CRP):
CRP adalah reaktan fase akut. CRP merupakan diagnostik signifikan yang
sebagian besar didasarkan pada kedua sifat kinetik dan kegunaan sebagai penanda
apendisitis yang komplikasi. Tingkat CRP menunjukkan peningkatan antara 8-12 jam
setelah onset dari dalam proses inflamasi dengan puncak antara 24 dan 48 jam, yang
kemudian dibandingkan WBC. Akibatnya, CRP kontribusi untuk diagnostik yang
lebih awal dalam kasus apendisitis sederhana. Tabel 2 daftar 12 yaitu studi termasuk
dua meta besar analisis pada tingkat CRP di apendisitis. Sebuah CRP cut-off dari> 10
mg / L menghasilkan berbagai sensitivitas antara 65-85% dan spesifisitas 59-73%.
Dalam sebuah studi dari 542 orang AUC (daerah dibawah kurva) CRP pada hari 1
hanya 0,60 dibandingkan dengan 0,77 pada hari 2 dan 0,88 hari 3. Dalam kasus
apendisitis perforasi, AUC adalah 0.90 pada hari 1, 0,92 pada hari 2 dan 0,96 pada
hari 3. Oleh karena itu, CRP berfungsi sebagai prediktor kuat untuk perforasi
appendix tetapi cukup terbatas untuk apendisitis pada umumnya.

Granulosit Count dan Proporsi polimorfonuklear (PMN) Sel:


Sebuah publikasi pada Tabel 3 daftar 10 termasuk satu meta-analisis dari
jumlah granulosit dan proporsi polimorfonuklear (PMN) yang menggambarkan
sensitivitas, rasio kemungkinan dan akurasi. Sebuah jumlah granulosit yang normal
berkisar antara 2500-6000 sel. Sebuah PMN sedikit meningkat lebih besar dari 7-7,5
sel x109/L menghasilkan berbagai sensitivitas 71-89% dan dan spesifisitas 48-80%
dalam diagnosis akut appendisitis. Meta-Analisis dari Andersson pada tahun 2003
terhadap variabel laboratorium apendisitis akut menunjukkan bahwa jumlah
granulosit yang lebih besar dari 11 × 10 9/L memiliki rasio kemungkinan lebih besar
daripada penanda laboratorium lain yang diukur dan merupakan salah satu pembeda
laboratorium terkuat pada appendisitis. Namun, rasio kemungkinan bahkan tidak
meningkat mendekati nilai yang bermakna kecuali PMN sangat tinggi untuk > 13 x
109 sel/L. Pada tingkat ini, 2 studi dari 502 dan 1013 pasien menemukan rasio
kemungkinan 7.09 dan 6.67, secara respektif.
Demikian pula, seperti yang dijelaskan dalam Tabel 3, rasio PMN> 75%, yang
merupakan pembeda apendisitis akut tetapi memiliki keterbatasan karena
sensitivitasnya 66-87% dan spesifisitas 33-84% . Sekali lagi, rasio kemungkinan tidak
cukup tinggi untuk merubah kemungkinan apendisitis.
Menilai "pergeseran ke kiri," didefinisikan sebagai jumlah > 700 / microL,
sebuah penelitian retrospektif 2002 pada 1013 subyek menemukan sensitivitas 28%,
spesifisitas 87%, dan AUC 0.58. Dalam penelitian ini adanya "pergeseran ke kiri"
yang tersedia rasio kemungkinan 2.17 yang telah membatasi signifikansi klinis.
Dalam studi lain dari 722 pasien dengan usia rata-rata 9,7 tahun yang disampaikan
kepada ED anak, "pergeseran kiri" memiliki sensitivitas total 59% dan kota tertentu
90%. Rasio kemungkinan adalah 5,7. Jadi, petunjuk diagnostik, "pergeseran ke kiri "
tidak menghasilkan kesimpulan mutlak.

Suhu:
Riwayat demam memberikan sedikit nilai diagnostik pada appendisitis akut.
Dalam sebuah penelitian terhadap 492 pasien, suhu lebih besar dari 37,7 ° C memiliki
sensitivitas 70% spesifisitas 65% . Dalam meta-analisis yang terdiri dari 570 pasien
yang diduga apendisitis, riwayat demam hanya memberikan rasio kemungkinan 1.64.
Sebuah meta-analisis dari 502 pasien melaporkan bahwa rata-rata suhu diukur pada
nyeri perut non-bedah adalah 37,7 ° C dibandingkan 37,8 ° C dalam kasus apendisitis
pada saat dilakukan perngukuran pertama kali. Namun, variabel diagnostik meningkat
secara signifikan pada pemeriksaan serial dan merupakan pembeda penting dari
apendisitis. Kurva (ROC) untuk semua apendisitis pada pemeriksaan awal adalah 0,56
meningkat menjadi 0,77 setelah pemeriksaan serial. Oleh karena itu, meskipun suhu
awal tidak memberikan banyak nilai diagnostik, masih tetap menjadi parameter yanag
layak melihat ketika mengamati seseorang yang dicurigai apendisitis.

Nilai laboratorium di Kombinasi:


Mungkin pendekatan multi-penanda laboratorium diperlukan untuk diagnosis
apendisitis. Sementara masing-masing elemen data klinis dan laboratorium membawa
nilai diagnostik yang terbatas, banyak studi menunjukkan peningkatan eksponensial
dalam daya prediktif dan diskriminatif ketika beberapa penanda dikombinasikan.
Keterbatasan utama dari publikasi ini adalah bahwa beberapa data mungkin
berlebihan dan produk dari post-hoc analisis.
Tabel 4 menunjukkan banyak kombinasi yang berbeda dari penanda
laboratorium dievaluasi. Sebuah studi dari 502 pasien di atas usia 10 tahun
menemukan bahwa gabungan dalam parameter inflamasi (termasuk WBC, sel PMN,
rasio PMN, suhu tubuh dan CRP) memiliki akurasi 0,85, yang mirip dengan total
akurasi temuan klinis (0.87) dan lebih besar dari semua elemen dari riwayat penyakit
(0,78). Studi terbesar mengidentifikasi termasuk 897 pasien dan memberikan
sensitivitas 99% dan spesifisitas 6% bila salah satu dari CRP≥8 mg / L, WBC≥10.4 x
103 sel / mm3 atau PMN Ratio> 74%, dan sensitivitas 98% dan spesifisitas 12%
ketika salah WBC atau CRP adalah meningkat. Sedangkan tidak adanya semua
penanda laboratorium ini berpotensi dapat "menyingkirkan" adanya diagnosis
apendisitis, kurangnya spesifisitas sangat membatasi penerapannya. Dalam sebuah
penelitian kecil dari 98 pasien, Sengupta dkk dihitung sensitivitas 100%, spesifisitas
50% dan NPV dari 100% ketika salah CRP≥10 mg / L atau WBC≥11 x 103 sel / mm3.
Vaughn-Shaw dkk mencoba penelitian Sengupta di 297 pasien dan menemukan
sensitivitas lebih rendah dari 92-94% dan spesifisitas 60-64%. Dalam studi prospektif
lain dari 102 pasien (49 yang memiliki apendisitis), gabungan AUC dari WBC> 109
sel / L dan CRP> 6 mg / L adalah 0,96 dengan rasio kemungkinan 23.32 ketika semua
variabel ada , 0.53 ketika sedikitnya satu variabel ada dan 0,03 ketika semua variabel
yang tidak ada. Banyak studi ini menggunakan poin cut-off yang berbeda sehingga
sulit untuk membandingkan. Namun, berdasarkan hasil ini, apendisitis akut sangat
tidak mungkin jika WBC, CRP dan rasio PMN semua dalam batas normal. Dengan
demikian, jika seorang pasien dengan temuan klinis apendisitis tapi tidak ada elevasi
setiap penanda lab tersebut. Berdasarkan kumpulan studi yang sangat kecil, diagnosis
apendisitis tidak mungkin. Sementara studi ini lebih lanjut dibatasi oleh sekunder dan
pasca-hoc analisis, mereka memberikan beberapa bukti empiris untuk pendekatan
multi-penanda. Namun, validasi lebih lanjut diperlukan.
Tabel 4 juga menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas ketika kedua CRP dan
WBC atau CRP, WBC dan rasio PMN semua meningkat. Sekali lagi, kombinasi yang
berbeda dan cut-off nilai yang digunakan sehingga dif kultus untuk membandingkan
studi individu. Data menunjukkan spesifisitas berkisar 77-99% . Oleh karena itu
berbagai ini nilai yang terukur, studi saat ini tidak menunjukkan spesifisitas yang
cukup tinggi secara konsisten untuk "mendiagnosis" apendisitis dan operasi tanpa
tanda klinis dan / atau gambaran radiologi lebih lanjut.
Menariknya, dalam studi tahun 1999 oleh Gronroos dkk, tidak ditemukan pada
200 pasien dewasa dengan apendisitis akut memiliki baik CRP dan WBC dalam batas
normal. Namun, Gronroos juga melaporkan bahwa dalam studi yang sama dilakukan
pada anak-anak, ditemukan nilai normal dari kedua WBC dan CRP yang ditemukan
pada 7 dari 100 anak-anak. Oleh karena itu, sensitivitas dan spesifisitas penanda
laboratorium gabungan dapat bervariasi dalam demografi usia yang berbeda.
Analisis ini dibatasi oleh kelangkaan dan sampel kecil terhadap pemeriksaan
penanda laboraorium. penelitian kecil telah menunjukkan peningkatan diagnostik tapi
ukuran sampel yang lebih besar diperlukan sebelum rekomendasi mutlak ditetapkan.
Selanjutnya, evaluasi pendekatan multi-marker ini pada kelompok-kelompok yang
berbeda demografi, terutama anak-anak, orang dewasa dan orang tua masih
diperlukan.
Penanda baru - Penanda Diagnostik Masa Depan?
Menanggapi kesulitan dalam membuat diagnosis yang akurat dari apendisitis
dan untuk mengurangi pemanfaatan CT dan nilai apendektomi yang negatif, telah
dilakukan banyak usaha untuk mencari penanda baru. Tabel 5 daftar beberapa tanda
tersebut, yang akan sekarang kita bahas. Sementara beberapa tanda tersebut telah
menunjukkan kemajuan dalam diagnosis, keberhasilan studi ini masih terbatas karena
ukuran sampel yang kecil. Interleukin 6 (IL-6) adalah sitokin yang berperan dalam
respon inflamasi akut. Pada 2011 studi prospektif dari 280 pasien berusia 3-18 dengan
dugaan apendisitis menunjukkan tingkat IL-6 meningkat awal apendisitis konsentrasi
juga meningkat sesuai dengan tingkat di inflamasi . Paajanen dkk menemukan bahwa
Sensitivitas, spesifisitas dan akurasi IL-6 menjadi lebih tinggi dari WBC atau CRP.
Sementara studi ini menunjukkan hubungan yang jelas antara IL-6 tingkat dan
apendisitis akut, mereka tidak menunjukkan bahwa IL-6 meningkatkan diagnosis
appendisitis akut.
Serum Amyloid A (SAA) adalah penanda inflamasi non spesifik. Sebuah studi
kecil 2005 pada 42 pasien dengan usia rata-rata 10,6 tahun dan dikonfirmasi pada
pembedahan memiliki sensitivitas 86%, spesifisitas 83% dan AUC 0,96 pada cut off
dari SAA > 45 mg/L. Semua 42 pasien dengan apendisitis akut memiliki peningkatan
kadar SAA, sedangkan hanya 14/42 memiliki nilai WBC normal dan 9/42 memiliki
CRP yang normal. Mereka juga menemukan bahwa SAA memiliki peningkatan awal
dan lebih dinamis di dalam kondisi inflamasi dibandingkan dengan WBC dan CRP.
Dengan demikian, SAA mungkin berguna dalam apendisitis awal.
Muenzer dkk mempelajari leukosit ekspresi gen (Riboleukograms) dan sitokin
pada anak-anak sedang dievaluasi untuk apendisitis. Dalam penelitian cohort dari 20
pasien, mereka mengidentifikasi 28 gen dan 5 sitokin yang sangat berhubungan
dengan diagnosis apendisitis. Mereka kemudian menguji potensi diagnostik gen dan
sitokin terhadap delapan pasien. Empat dari lima pasien dengan diagnosis apendisitis
ditemukan riboleukograms. Dari tiga pasien tanpa apendisitis, terdapat satu hasil
positif palsu. Dengan demikian, riboleukograms menunjukkan potensi untuk menjadi
sensitif penanda dan plasma sitokin sebagai c penanda spesifik untuk apendisitis akut.
Beberapa keterbatasan utama dari penelitian ini adalah ukuran yang sangat kecil
sampel, biaya dan real-time kelayakan teknis.
Allister menguji granulosit colony- stimulating factor (G-CSF) dalam
diagnosis apendisitis akut pada 32 pasien dengan usia rata-rata 12 tahun. G-CSF
muncul pada apendisitis akut dan berperan pada sumsum tulang untuk merangsang
produksi dan pelepasan granulosit ke dalam darah perifer. Menggunakan cut-off dari
28,3 pg / ml menghasilkan sensitivitas 91% dan spesifisitas 51%. Selain itu, tingkat
serum G-CSF berkorelasi erat dengan tingkat keparahan di inflamasi dan dengan
demikian memiliki potensi untuk tindakan diagnostik lainnya dan juga membantu
untuk menentukan keparahan apendisitis akut.
Penanda baru lain yang menjanjikan di apendisitis akut adalah urine kaya
Leusin α-2-glikoprotein (LRG). LRG dipercaya muncul lebih awal dalam urin pasien
dibanding yang neutrofil diaktifkan secara lokal. Sebuah studi 2010 dan 2012 oleh
Kentsis dkk dari 49 pasien ditemukan LRG terdeteksi lebih dari 100 kali lipat dalam
urin pasien di bawah 18 tahun dengan apendisitis dibandingkan untuk mereka yang
tidak. Ditemukan meningkat pada urin dari beberapa pasien dengan apendisitis akut
bahkan dalam tidak adanya perubahan makroskopik. (Dua pasien ditemukan apendix
yang patologis tetapi memiliki pencitraan negatif pada gambaran radiologis tetapi
terdapat peningkatan LRG tinggi.) Hal ini juga mungkin meningkat pada pielonefritis
dan infeksi bakteri lainnya. Pengukuran langsung dari LRG urin menggunakan pilih
ion pemantauan uji spektrometri massa menghasilkan AUC 0,99, tetapi menggunakan
LRG-ELISA AUC hanya 0,80 karena efek interferensi immunoassay. Salah satu fokus
utama adalah untuk melihat apakah peningkatan LRG pada urin cukup untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan klinis dokter UGD. Selanjutnya, lebih banyak
upaya diperlukan untuk mengembangkan teknik laboratorium standar luas yang
tersedia dan mampu secara akurat mengukur LRG.
Calprotectin (juga dikenal sebagai S100A8 / A9) adalah kalsium mengikat
protein yang terkait dengan akut peradangan, terutama pada gastrointestinal.
Hubungan antara Calprotectin sebagai alat diagnostik di apendisitis akut itu pertama
dipelajari oleh Bealer dkk pada tahun 2010. Dalam studi pendahuluan dari 181 pasien,
Bealer menemukan sensitivitas 93% dan spesifisitas 54% pada cut-off dari 20 unit
Elisa. Hasil yang menjanjikan berhasil meyakinkan para peneliti untuk menjalani
studi berkelanjutan yang lebih besar meneliti hubungan ini. Pada tahun 2012, Mills
dkk melakukan penelitian serupa dengan 843 pasien. Menggunakan cut-off dari 14
unit Elisa menghasilkan sensitivitas 96% dan spesifisitas 16%. Salah satu masalah
utama dalam penelitian ini adalah bahwa nilai yang diukur dari ELISA untuk
Calprotectin menunjukkan peningkatan 13-43% di level yang sebenarnya karena efek
pengiriman dimana nilai-nilai tes menurun karena keterlambatan dalam analisis.
Dengan demikian, langkah berikutnya dalam pengembangan Calprotectin sebagai
penanda laboratorium untuk apendisitis akut adalah untuk menciptakan sebuah real-
time analyzer laboratorium yang akurat. Singkatnya, Calprotectin adalah penanda
baru yang menjanjikan dari apendisitis yang dapat membantu membedakan
apendisitis akut dari penyebab non-in inflamasi dari sakit perut akut.
KESIMPULAN
Tujuan artikel ini adalah untuk menyajikan pembaca dengan update pada
pendekatan diagnostik yang dicurigai apendisitis dengan menyediakan ulasan berbasis
bukti pencitraan radiologi, sistem penilaian klinis, uji laboratorium, dan biomarker
baru untuk apendisitis. CT tetap yang terbaik modalitas radiologi untuk mendiagnosis
apendisitis tetapi radiasi paparan dan risiko kanker jangka panjang adalah perhatian
utama. Penggunaan alternatif USG dapat membantu mengurangi penggunaan CT
dalam keadaan tertentu. Pada orang dewasa, sebuah Alvarado skor hingga 5
menunjukkan dapat menyingkirkan apendisitis. Penanda laboratorium semua
berkontribusi terhadap apendisitis tetapi tidak dapat mengubah manajemen
diagnostik. Ketika digunakan dalam kombinasi mampu menunjukkan hasil bermakna.
Terakhir, ada beberapa penanda baru yang dapat menjadi acuan diagnostik yang
diduga apendisitis. penelitian lebih lanjut dari beberapa tanda tersebut, serta potensi
lain, perlu dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai