Anda di halaman 1dari 11

LARANGAN BERHUBUNGAN DENGAN JIN

Ma’asyirol Mukminina Rohimakumullah


Allah SWT menciptaan makhluknya ada yang bernyawa (makhluq hidup) dan ada pula
yang tidak bernyawa (benda mati). Dan jin, adalah termasuk dalam kelompok makhluk
yang bernyawa.
Kata jin menurut bahasa (Arab) berasal dari kata ijtinan yang berarti istitar
(tersembunyi). Jadi, dinamakan jin karena wujudnya yang tersembunyi dari pandangan
mata manusia (ghoib). Sedangkan setan ialah setiap yang durhaka baik dari golongan
jin maupun manusia dan Iblis adalah pemimpinnya para setan.
Firman Allah,
“Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang
kamu tidak bisa melihat mereka. (QS. Al-A'raf: 27)
Asal kejadian Jin
Kalau manusia diciptakan dari tanah, maka jin diciptakan dari api yang sangat panas.
Allah berfirman,
“Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (QS. Al
Hijr: 27)"
Rasulullah bersabda,

.‫ف لَ ُك ْم‬ ِ ‫ َو ُخ ِلقَ آدَ ُم ِم َّما ُو‬،‫َار‬


َ ‫ص‬ ٍ ‫ارجٍ ِم ْن ن‬ ُّ ‫ َو ُخ ِلقَ ْال َج‬،‫ور‬
ِ ‫ان ِم ْن َم‬ ٍ ُ‫ت ْال َمالَئِ َكةُ ِم ْن ن‬
ِ َ‫ُخ ِلق‬
‫رواه مسلم‬
Malaikat telah diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan
dari tanah (yang telah dijelaskan kepada kalian). (Muslim)
Bagaimana wujud api yang merupakan asal kejadian jin, Al Quran tidak menjelaskan
secara rinci, dan Allah pun tidak mewajibkan kita untuk meneliti-nya secara detail.
Karena diciptakan dari api, maka siapapun yang telah dirasuki oleh jin (setan) atau
siapapun yang mengikuti perintahnya, maka ia tidak akan merasakan ketenteraman
jiwa, sebagaimana firman Allah:
š“orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila”

Tempat-tempat Jin
Banyak perbedaan antara manusia dengan jin, namun persamaannya juga ada, di
antara persamaan kita dengan jin adalah sama-sama menghuni bumi. Bahkan jin telah
mendiami bumi sebelum adanya manusia.
Bangsa jin juga bisa tinggal bersama manusia di rumah manusia, tidur di ranjang dan
makan bersama manusia. Dan tempat yang paling disenangi jin adalah kamar mandi,
tempat manusia membuka aurat.
Oleh karena itu, Agar aurat kita terhalang dari pandangan jin ketika kita akan membuka
pakaian maka kita dapat membaca do’a Rosulullah berikut:
Anas bin Malik ra. Berkata bahwa Rosulullah saw bersabda, “Pembatas antara mata jin
dan aurat Bani Adam adalah tatkala seorang muslim melepas pakaiannya, maka
hendaklah ia berkata:

‫سم هللا الّذِي الَ ِإلَهَ ِإالَّ ُه َو‬


ِ ِ‫ب‬
“Dengan nama Allah yang tiada ilah melainkan Dia.” (HR. Ibnu Sunni)
Dan ketika kita akan masuk ke dalam WC, hendaknya kita berdoa
.ِ‫ث َو ْال َخبَا إِث‬
ِ ُ‫ع ْوذُبِ َك ِمنَ ْال ُخب‬
ُ َ ‫اَللّ ُه َّم اِ ِنّ ْي أ‬
"Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari (gangguan) setan laki-laki dan setan
perempuan." (HR. At-Turmudzi).
Jin Dapat Mengubah Bentuk
Setiap makhluk diberi Allah kekhususan atau keistimewaan tersendiri. Salah satu
kekhususan jin ialah dapat mengubah bentuk.
Maka, kalau ada manusia yang dapat melihat jin, maka jin yang dilihatnya itu adalah
yang sedang menjelma dalam wujud makhluk yang dapat dilihat mata manusia biasa,
bukan wujudnya yang asli. Karena aslinya jin adalah termasuk salah satu makhluk
ghaib yang Allah ciptakan.
Larangan Berhubungan dengan Jin
Sebagaimana malaikat, kita tidak dapat mengetahui informasi tentang jin serta alam
ghaib lainnya kecuali melalui Al-Quran maupun Hadits yang shahih dari Rasulullah saw.
Allah SWT berfirman:
Dia adalah Tuhan yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan
kepada seorang pun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya,
maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di
belakangnya. (Al-Jin: 26-27).
Hal ini membuat kita tidak dapat berhubungan dengan mereka (para jin) secara wajar
sebagaimana hubungan sesama manusia. Kalau pun terjadi hubungan, maka kita
berada pada posisi yang lemah, karena kita tidak dapat melihat mereka dan mereka
bisa melihat kita. Inilah salah satu penyebab mengapa kita dilarang untuk berhubungan
dengan jin–apapun bentuk hubungan tersebut. Walaupun jin tersebut mengaku muslim.
Meskipun jin ada yang muslim, tapi karena jin makhluk ghaib, maka tidak mungkin
muncul ketenteraman hati dan kepercayaan penuh bagi kita terhadap keislaman
mereka, apakah benar jin yang mengaku muslim itu jujur dengan pengakuannya atau
ternyata ia berdusta.
Kalau pun benar meraka adalah muslim, maka kita juga tidak mengetahui dan
memastikan kebenaran pengakuannya karena kita tidak dapat melihat apalagi
menyelidiki apakah mereka muslim yang baik dan taat kepada Allah atau sebaliknya.
Berhubungan dengan jin adalah salah satu pintu kerusakan dan berpotensi
mendatangkan bahaya besar bagi pelakunya.
Dalil tentang larangan berhubungan dengan jin adalah:

“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta


perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, Maka jin-jin itu menambah bagi
mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al-Jin: 6)
Melakukan hubungan dengan jin berpotensi merusak penghambaan kita kepada Allah
yaitu terjatuh kepada perbuatan syirik.
Potensi bahaya ini dapat kita pahami dari hadits Qudsi di mana Rasulullah saw
menyampaikan pesan Allah swt:

ْ ‫ َو َح َّر َم‬،‫اجتَا َلتْ ُه ْم َع ْن دِينِ ِه ْم‬


‫ت‬ ْ ‫ين َف‬
ُ ‫اط‬ ِ ‫ش َي‬ َّ ‫ َو ِإنَّ ُه ْم أَتَتْ ُه ُم ال‬،‫َو ِإ ِنّي َخلَ ْقتُ ِع َبادِي ُحنَفَا َء ُكلَّ ُه ْم‬
‫ رواه مسلم‬.‫طانًا‬ َ ‫س ْل‬ُ ‫ َوأ َ َم َرتْ ُه ْم أ َ ْن يُ ْش ِر ُكوا بِي َما لَ ْم أ ُ ْن ِز ْل ِب ِه‬،‫َعلَ ْي ِه ْم َما أ َ ْحلَ ْلتُ لَ ُه ْم‬
Dan sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku semua dalam keadaan
hanif (lurus), dan sungguh mereka lalu didatangi oleh setan-setan yang menjauhkan
mereka dari agama mereka, mengharamkan apa yang telah Aku halalkan, dan
memerintahkan mereka untuk menyekutukan-Ku dengan hal-hal yang tidak pernah Aku
wahyukan kepada mereka sedikit pun. (Muslim)
Imam Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Meminta perlindungan kepada selain
Allah (salah satunya adalah jin) adalah syirik.”.
Sidang jum’at yang dirahmati Allah
Ketidakmampuan kita melihat mereka dan kemampuan mereka melihat kita berpotensi
menjadikan kita berada pada posisi yang lebih lemah, sehingga jin yang kafir atau
pendosa sangat mungkin memperdaya kita agar bermaksiat kepada Allah.
Dan sesungguhnya di antara kami ada jin yang taat dan ada (pula) jin yang
menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa yang taat, maka mereka itu benar-benar
telah memilih jalan yang lurus. Adapun jin yang menyimpang dari kebenaran, maka
mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahanam.
“ dan Sesungguhnya di antara Kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-
orang yang menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa yang yang taat, Maka mereka itu
benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun orang-orang yang menyimpang
dari kebenaran, Maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam.” (Al-Jin (72):
14-15).
Berhubungan dengan jin tidak mungkin dilakukan kecuali apabila jin itu
menghendakinya, dan sering kali ia baru bersedia apabila manusia memenuhi syarat-
syarat tertentu. Syarat-syarat ini dapat dipastikan secara bertahap akan menggiring
manusia jatuh kepada kemaksiatan, bahkan mungkin kemusyrikan dan kekufuran yang
mengeluarkannya dari ajaran Islam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Setan (dari kalangan jin) sering berbentuk wajah
orang yang dimintai tolong, jika orang tersebut telah meninggal.”
Oleh karena itu, maka manusia tidak diperbolehkan meminta bantuan kepada jin baik
untuk mengetahui perkara-perkara ghaib atau berdoa kepada mereka, mendekatkan
diri kepada mereka, membuat kemenyan, maupun selainnya. karena itu adalah suatu
bentuk kesyirikan.
Ma’asyirol mukminina rohimakumullah
Manusia diperintahkan oleh Allah swt untuk melakukan muamalah (pergaulan) dengan
sesama manusia, karena tujuan hubungan sosial adalah untuk melahirkan ketenangan hati,
kerja sama yang baik, saling percaya, saling menyayangi dan saling memberi. Semua itu
dapat berlangsung dan terwujud dengan baik, karena seorang manusia dapat
mendengarkan pembicaraan saudaranya, dapat melihat sosok tubuhnya, berjabatan tangan
dengannya, melihatnya gembira sehingga dapat merasakan kegembiraan nya, dan
melihatnya bersedih sehingga bisa merasakan kesedihannya.

Allah swt mengetahui fitrah manusia yang cenderung dan merasa tenteram bila bergaul
dengan sesama manusia, oleh karena itu, Dia tidak pernah menganjurkan manusia untuk
menjalin hubungan dengan makhluk ghaib yang asing bagi manusia (Jin dan berhubungan
dengannya). Bahkan Allah swt tidak memerintahkan kita untuk berkomunikasi dengan
malaikat sekalipun, padahal semua malaikat adalah makhluk Allah yang taat kepada-Nya.
Para nabi dan rasul alahimussalam pun hanya berhubungan dengan malaikat karena
perintah Allah swt dalam rangka menerima wahyu, dan amat berat bagi mereka jika
malaikat menampakkan wujudnya yang asli di hadapan mereka.

Tentang ketenteraman hati manusia berhubungan dengan sesama manusia Allah swt
berfirman:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(Ar-Rum: 21).

Makna “dari jenismu sendiri’ adalah dari sesama manusia, bukan jin atau malaikat, atau
makhluk lain yang bukan manusia. Karena hubungan dengan makhluk lain, apapun
bentuknya, apalagi dalam bentuk pernikahan, tidak akan melahirkan ketenteraman, padahal
ketenteraman adalah tujuan utama menjalin hubungan.
Melakukan hubungan dengan jin berpotensi merusak penghambaan kita kepada Allah
yaitu terjatuh kepada perbuatan syirik seperti yang dijelaskan di atas. Ketidakmampuan
kita melihat mereka dan kemampuan mereka melihat kita berpotensi menjadikan kita
berada pada posisi yang lebih lemah, sehingga jin yang kafir atau pendosa sangat
mungkin memperdaya kita agar bermaksiat kepada Allah swt.
Di samping itu, tidak ada manusia yang dapat menundukkan jin sepenuhnya (taat
sepenuhnya tanpa syarat) selain Nabi Sulaiman as dengan doanya:
Sulaiman berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku
kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah
yang Maha Pemberi”. (Shad (38): 35).
Maka berhubungan dengan jin tidak mungkin dilakukan kecuali apabila jin itu
menghendakinya, dan sering kali ia baru bersedia apabila manusia memenuhi syarat-
syarat tertentu. Syarat-syarat ini dapat dipastikan secara bertahap akan menggiring
manusia jatuh kepada kemaksiatan, bahkan mungkin kemusyrikan dan kekufuran yang
mengeluarkannya dari ajaran Islam. Na’udzu billahi min dzalik.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita petunjuk dan kesabaran dalam
menjalani kehidupan ini, dan Allah SWT melindungi dan menjaga kita dari segala tipu
daya syaiton baik dari bangsa jin maupun dari bangsa manusia.

‫ت َوال ِذّ ْك ِر ال َح ِك ْي ِم‬ ِ ‫آن ال َع ِظي ِْم َونَفَ َعنِي َو ِإيَّا ُك ْم ِب َما فِ ْي ِه ِمنَ اآل َيا‬ِ ‫ار َك هللاُ ِل ْي َولَ ُك ْم فِي القُ ْر‬ َ ‫َب‬
‫سا ِئ ِر‬ َ ‫س ِم ْي ُع ال َع ِل ْي ُم َوا ْست َ ْغ ِف ُر هللاَ العَ ِظي َْم ِل ْي َولَ ُك ْم َو ِل‬ َ ‫َوتَقَبَّ َل ِم ِنّي َو ِم ْن ُك ْم ِت‬
َّ ‫الوتَهُ إِنَّهُ ُه َو ال‬
‫الر ِحيم‬
َّ ‫ور‬ُ ُ‫ت فَا ْست َ ْغ ِف ُر ْوهُ إنَّهُ ُه َوالغَف‬ ِ ‫الُ ْم ِس ِل ْمينَ َوال ُم ْس ِل َما‬
ِ ‫ت َوال ُمؤْ ِمنِيْنَ َوال ُمؤْ ِمنَا‬

Jin adalah salah satu makhluk ghaib yang telah diciptakan Allah swt untuk beribadah kepada-Nya.

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku. (Adz-dzariyat: 56).
Sebagaimana malaikat, kita tidak dapat mengetahui informasi tentang jin serta alam ghaib lainnya kecuali melalui
khabar shadiq (riwayat & informasi yang shahih) dari Rasulullah saw baik melalui Al-Quran maupun Hadits beliau
yang shahih. Alasan nya adalah karena kita tidak dapat berhubungan secara fisik dengan alam ghaib dengan
hubungan yang melahirkan informasi yang meyakinkan atau pasti.

Katakanlah: “tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui
perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila
(kapan) mereka akan dibangkitkan. (An-Naml: 65)
Dia adalah Tuhan yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak
memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu. Kecuali
kepada Rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan
penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. Supaya Dia
mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan
risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang
ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu. (Al-Jin:
26-28).
Manusia diperintahkan oleh Allah swt untuk melakukan muamalah (pergaulan) dengan sesama manusia, karena
tujuan hubungan sosial adalah untuk melahirkan ketenangan hati, kerja sama yang baik, saling percaya, saling
menyayangi dan saling memberi. Semua itu dapat berlangsung dan terwujud dengan baik, karena seorang manusia
dapat mendengarkan pembicaraan saudaranya, dapat melihat sosok tubuhnya, berjabatan tangan dengannya,
melihatnya gembira sehingga dapat merasakan kegembiraan nya, dan melihatnya bersedih sehingga bisa merasakan
kesedihannya.
Allah swt mengetahui fitrah manusia yang cenderung dan merasa tenteram bila bergaul dengan sesama manusia,
oleh karena itu, Dia tidak pernah menganjurkan manusia untuk menjalin hubungan dengan makhluk ghaib yang
asing bagi manusia. Bahkan Allah swt tidak memerintahkan kita untuk berkomunikasi dengan malaikat sekalipun,
padahal semua malaikat adalah makhluk Allah yang taat kepada-Nya. Para nabi dan rasul alahimussalam pun hanya
berhubungan dengan malaikat karena perintah Allah swt dalam rangka menerima wahyu, dan amat berat bagi
mereka jika malaikat menampakkan wujudnya yang asli di hadapan mereka. Oleh karena itu tidak jarang para
malaikat menemui Rasulullah saw dalam wujud manusia sempurna agar lebih mudah bagi Rasulullah saw untuk
menerima wahyu.
Tentang ketenteraman hati manusia berhubungan dengan sesama manusia Allah swt berfirman:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu


istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Ar-Rum: 21).
Makna “dari jenismu sendiri’ adalah dari sesama manusia, bukan jin atau malaikat, atau makhluk lain yang bukan
manusia. Karena hubungan dengan makhluk lain, apalagi dalam bentuk pernikahan, tidak akan melahirkan
ketenteraman, padahal ketenteraman adalah tujuan utama menjalin hubungan.
Beberapa Informasi tentang Jin dari Al-Quran & Hadits
a. Jin diciptakan dari api dan diciptakan sebelum manusia

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat
kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan Kami
telah menciptakan jin sebelumnya dari api yang sangat panas. (Al-Hijr: 26-
27).
‫ رواه مسلم‬.‫ف َل ُك ْم‬ ٍ ‫ارج ٍ ِم ْن ن‬
ِ ‫ َو ُخلِقَ آدَمُ ِم َّما ُو‬،‫َار‬
َ ‫ص‬ ُّ ‫ َو ُخلِقَ ْال َج‬،‫ور‬
ِ ‫ان ِم ْن َم‬ َ ‫ت ْال َم‬
ٍ ُ‫الئِ َك ُة ِم ْن ن‬ ِ ‫ُخ ِل َق‬
Malaikat telah diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api, dan
Adam diciptakan dari tanah (yang telah dijelaskan kepada kalian).
(Muslim)
Perbedaan asal penciptaan ini menyebabkan manusia tidak dapat berhubungan dengan jin, sebagaimana manusia
tidak bisa berhubungan dengan malaikat kecuali jika jin atau malaikat menghendakinya. Apabila manusia meminta
jin agar bersedia berhubungan dengannya, maka pasti jin tersebut akan mengajukan syarat-syarat tertentu yang
berpotensi menyesatkan manusia dari jalan Allah swt.
b. Jin adalah makhluk yang berkembang biak dan berketurunan

Dan (Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah


kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari
golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu
mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain
daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu
sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zhalim. (Al-Kahfi:
50).
Al-Quran juga menyebutkan bahwa di antara bangsa jin ada kaum laki-laki nya (rijal) sehingga para ulama
menyimpulkan berarti ada kaum perempuannya (karena tidak dapat dikatakan laki-laki kalau tidak ada perempuan).
Dengan demikian berarti mereka berkembang biak.

Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta


perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu
menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (Al-Jin: 6).
c. Jin dapat melihat manusia sedangkan manusia tidak dapat melihat jin

Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan
sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia
menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada
keduanya ‘auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat
kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.
Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-
pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. (Al-A’raf: 27).
Hal ini membuat kita tidak dapat berhubungan dengan mereka secara wajar sebagaimana hubungan sesama manusia.
Kalau pun terjadi hubungan, maka kita berada pada posisi yang lemah, karena kita tidak dapat melihat mereka dan
mereka bisa melihat kita.
d. Bahwa di antara bangsa jin ada yang beriman dan ada pula yang kafir, karena mereka diberikan iradah (kehendak)
dan hak memilih seperti manusia.

Dan sesungguhnya di antara kami ada jin yang taat dan ada (pula) jin yang
menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa yang taat, maka mereka itu
benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun jin yang menyimpang
dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahanam. (Al-
Jin (72): 14-15).
Meskipun ada yang muslim, tapi karena jin makhluk ghaib, maka tidak mungkin muncul ketenteraman hati dan
kepercayaan penuh bagi kita terhadap keislaman mereka, apakah benar jin yang mengaku muslim jujur dengan
pengakuannya atau dusta?! Kalau benar, apakah mereka muslim yang baik atau bukan?! Bahkan kita harus waspada
dengan tipu daya mereka.
Berhubungan dengan jin adalah salah satu pintu kerusakan dan berpotensi mendatangkan bahaya besar bagi
pelakunya. Potensi bahaya ini dapat kita pahami dari hadits Qudsi di mana Rasulullah saw menyampaikan pesan
Allah swt:

‫ َو َأ َم َر ْتهُ ْم‬،‫ت عَ َل ْي ِه ْم َما َأ ْح َل ْلتُ َلهُ ْم‬


ْ ‫ َو َح َّر َم‬،‫ َوإ ِ َّنهُ ْم َأت َ ْتهُ ْم ال َّشيَا ِطينُ َفا ْجتَا َل ْتهُ ْم عَ ْن دِينِ ِه ْم‬،‫َوإ ِ ّنِي َخ َل ْقتُ ِعبَادِي ُحنَفَاءَ ُك َّلهُ ْم‬
‫ رواه مسلم‬.‫َأ ْن يُ ْش ِر ُكوا بِي َما َل ْم ُأ ْن ِز ْل ب ِ ِه سُ ْل َطا ًنا‬
Dan sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku semua dalam
keadaan hanif (lurus), dan sungguh mereka lalu didatangi oleh setan-setan
yang menjauhkan mereka dari agama mereka, mengharamkan apa yang
telah Aku halalkan, dan memerintahkan mereka untuk menyekutukan-Ku
dengan hal-hal yang tidak pernah Aku wahyukan kepada mereka sedikit
pun. (Muslim)
Dalil lain tentang larangan berhubungan dengan jin adalah:

Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta


perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu
menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (Al-Jin: 6).
Imam At-Thabari dalam tafsirnya menyebutkan: “Ada penduduk kampung dari bangsa Arab yang menuruni lembah
dan menambah dosa mereka dengan meminta perlindungan kepada jin penghuni lembah tersebut, lalu jin itu
bertambah berani mengganggu mereka.
Tujuan seorang muslim melakukan hubungan sosial adalah dalam rangka beribadah kepada Allah swt dan berusaha
meningkatkannya atau untuk menghindarkan dirinya dari segala hal yang dapat merusak ibadahnya kepada Allah.
Melakukan hubungan dengan jin berpotensi merusak penghambaan kita kepada Allah yaitu terjatuh kepada
perbuatan syirik seperti yang dijelaskan oleh ayat tersebut. Ketidakmampuan kita melihat mereka dan kemampuan
mereka melihat kita berpotensi menjadikan kita berada pada posisi yang lebih lemah, sehingga jin yang kafir atau
pendosa sangat mungkin memperdaya kita agar bermaksiat kepada Allah swt.
Bagaimana berhubungan dengan jin yang mengaku muslim? Kita tetap tidak dapat memastikan kebenaran
pengakuannya karena kita tidak dapat melihat apalagi menyelidiki nya. Bila jin tersebut muslim sekalipun, bukan
menjadi jaminan bahwa ia adalah jin muslim yang baik dan taat kepada Allah.
Di samping itu, tidak ada manusia yang dapat menundukkan jin sepenuhnya (taat sepenuhnya tanpa syarat) selain
Nabi Sulaiman as dengan doanya:

Sulaiman berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah


kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku,
sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi”. (Shad (38): 35).
Maka berhubungan dengan jin tidak mungkin dilakukan kecuali apabila jin itu menghendakinya, dan sering kali ia
baru bersedia apabila manusia memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini dapat dipastikan secara bertahap
akan menggiring manusia jatuh kepada kemaksiatan, bahkan mungkin kemusyrikan dan kekufuran yang
mengeluarkannya dari ajaran Islam. Na’udzu billah.
Wallahu a’lam.
Referensi:
1. Silsilah Aqidah oleh Umar Sulaiman Al Asyqar
2. Al ‘Aqaid Al-Islamiyah oleh Abdurrahman Hasan Habannakah
3. Tafsir At-Thabari.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2009/03/06/2016/larangan -berhubungan-dengan-jin-2/#ixzz5P4DdCpfq


Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Hal-hal yang Membatalkan Syahadat (Bagian 1)


Tim dakwatuna 02/11/07 | 12:29 Aqidah Ada 12 komentar66.200 Hits
Dengan mengucapkan dua kalimat syahadat seseorang berarti telah mempersaksikan diri sebagai hamba Allah
semata. Kalimat Lailaaha illallahu dan Muhammadur rasulullah selalu membekas dalam jiwanya dan
menggerakkan anggota tubuhnya agar tidak menyembah selain Allah. Baginya hanya Allah sebagai Tuhan yang
harus ditaati, diikuti ajaranNya, dipatuhi perintahnya, dan dijauhi laranganNya. Caranya bagaimana, lihatlah pribadi
Rasulullah saw. sebab dialah contoh hamba Allah sejati.
Dalam pembukaan surat Al-Israa’, Allah telah mendeklarasikan bahwa Rasulullah saw. adalah hambaNya.

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha
yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)
Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [QS. Al Israa’ (17): 1]

Begitu juga dalam pembukaan surat Al-Kahfi, Allah menegaskan bahwa Rasulullah adalah hambaNya yang
mendapat bimbingan Al-Qur’an.

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Qur’an) dan dia tidak mengadakan
kebengkokan di dalamnya. [QS. Al-Kahfi (18): 1]

Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa makna dua kalimat syahadat –yang intinya adalah tauhid—harus benar-
benar tercermin dalam jiwa dan perbuatan orang yang mengikrarkannya. Dan bagi orang yang mengikrarkan
syahadatain itu bentuk pengakuan dirinya sebagai hamba Allah. Sebagai hamba Allah, orang yang berikrar tadi tidak
ada pilihan kecuali mencontoh pribadi Rasulullah saw. dalam segala sisi kehidupannya, baik dari sisi akidah dan
ibadah, maupun sisi-sisi lainnya seperti sikapnya terhadap istri dan pelayannya di rumah, pergaulannya bersama-
sahabatnya, akhlaknya dalam melakukan tansaksi bisnis dan kepemimpinannya sebagai kepala Negara. Kenapa?
Karena Rasulullah adalah seorang hamba Allah sejati yang memang dibentuk sebagai figur ideal yang wajib
dicontoh akhlaknya.

Untuk menjaga kemurnian tauhid, seperti yang dicontohkan Rasulullah saw., seorang hamba hendaknya menghindar
jauh-jauh dari hal-hal yang merusak kemurnian tauhid sebagai cerminan dua kalimat syahadat tersebut. Setidaknya
ada tiga hal yang bisa membatalkan syahadatnya, yaitu asy-syirku (menyekutukan Allah), al-ilhaadu (menyimpang
dari kebenaran), dan an-nifaaku (berwajah dua, menampakkan diri sebagai muslim, sementara hatinya kafir).
Syirik (menyekutukan Allah)
Definisi syirik adalah lawan kata dari tauhid, yaitu sikap menyekutukan Allah secara dzat, sifat, perbuatan, dan
ibadah. Adapun syirik secara dzat adalah dengan meyakini bahwa dzat Allah seperti dzat makhlukNya. Akidah ini
dianut oleh kelompok mujassimah. Syirik secara sifat artinya seseorang meyakini bahwa sifat-sifat makhluk sama
dengan sifat-sifat Allah. Dengan kata lain, mahluk mempunyai sifat-sifat seperti sifat-sifat Allah. Tidak ada bedanya
sama sekali.
Sedangkan syirik secara perbuatan artinya seseorang meyakini bahwa makhluk mengatur alam semesta dan rezeki
manusia seperti yang telah diperbuat Allah selama ini. Sedangkan syirik secara ibadah artinya seseorang
menyembah selain Allah dan mengagungkannya seperti mengagungkan Allah serta mencintainya seperti mencintai
Allah. Syrik-syirik dalam pengertian tersebut, secara eksplisit maupun implisit, telah ditolak oleh Islam. Karenanya,
seorang muslim harus benar-benar berhat-hati dan menghindar jauh-jauh dari syirik-syirik seperti yang telah
diterangkan di atas.
Contoh bentuk-bentuk syirik ada banyak. Di antaranya, pertama, menyembah patung atau berhala (al-ashnaam).
Allah swt. menyebutnya dalam ayat berikut ini.
Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu
adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang
diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-
perkataan dusta. [QS. Al Hajj (22): 30]

Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya, “Wahai Bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak
mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?” [QS. Maryam (19): 42]

Menyembah matahari adalah bentuk syirik yang kedua. Allah menolak orang-orang yang menyebah matahari, bulan,
dan atau bintang.
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia
bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-
Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan
dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. [QS. Al A’raaf (7): 54]

“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud kepada
matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu
hanya kepada-Nya saja menyembah”. [QS. Fushshilat (41): 37]

Bentuk syirik yang ketiga adalah menyembah malaikat dan jin.


Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-
jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan) bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan,
tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan. [QS. Al
An’aam (6): 100]

“Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada
malaikat, “Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?” Malaikat-malaikat itu menjawab, “Maha Suci Engkau.
Engkaulah pelindung kami, bukan mereka. Bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman
kepada jin itu.”. [QS. Saba’ (34): 40-41]

Bentuk syirik keempat adalah menyembah para nabi, seperti Nabi Isa a.s. yang disembah kaum Nasrani dan Uzair
yang disembah kaum Yahudi. Keduanya sama-sama dianggap anak Allah.
Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair itu putera Allah,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al masih itu putera
Allah.” Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang
terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?” [QS. At-Taubah (9): 30]

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putera Maryam.”
Padahal Al-Masih (sendiri) berkata, “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya
orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan
tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. [QS. Al-Maidah (5): 72]

Bentuk syirik yang kelima adalah menyembah rahib atau pendeta. Allah berfirman, “Mereka menjadikan orang-
orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih
putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”

Adi bin Hatim r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah mengenai hal tersebut, seraya berkata, “Sebenarnya mereka
tidak menyembah pendeta atau rahib mereka.” Rasululah saw. menjawab, “Benar, tetapi para rahib atau pendeta itu
telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, sementara mereka mengikutinya. Bukankah itu
tindak penyembahan terhadap mereka?”
Bentuk syirik yang keenam, menyembah Thaghuut. Istilah thaghuut diambil dari kata thughyaan artinya melampaui
batas. Maksudnya, segala sesuatu yang disembah selain Allah. Setiap seruan para rasul intinya adalah mengajak
kepada tauhid dan menjauhi thaghuut. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-
tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu. Maka di antara umat itu ada
orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan
baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang
mendustakan (rasul-rasul).” [QS. An-Nahl (16): 36].
Dan tauhid yang murni tidak akan bisa dicapai tanpa menghindar dari menyembah thaghuut. Allah berfirman,
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang
sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thaghuut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” [QS. Al-Baqarah (2): 256]

Allah bangga dengan orang-orang beriman yang menjauhi thaghuut. “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut
(yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita
itu kepada hamba-hamba-Ku.” [QS. Az-Zumar (39): 17]
Bentuk syirik yang ketujuh adalah menyembah hawa nafsu. Hawa nafsu adalah kecendrungan untuk melakukan
keburukan. Seseorang yang menuhankan hawa nafsu, mengutamakan keinginan nafsunya di atas cintanya kepada
Allah. Dengan demikian ia telah mentaati hawa nafsunya dan menyembahnya. Allah berfirman, “Terangkanlah
kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi
pemelihara atasnya?” [QS. Al-Furqaan (25): 43]

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah
membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya, dan
meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” [QS. Al-Jatsiyah (45): 23]

Macam-macam Syirik
Ada dua macam syirik, yaitu syirik besar dan syirik kecil. Masing-masing dari kedua macam ini mempunyai dua
dimesi: zhahir (tampak) dan khafiy (tersembunyi).
Syirik besar (asy-syirkul akbar) adalah tindakan menyekutukan Allah dengan makhlukNya. Dikatakan syirik besar
karena pelakunya tidak akan diampuni dosanya dan tidak akan masuk surga. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah
tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia; dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik
itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka
sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [QS. An-Nisaa’ (4): 116]
Syirik besar ini dibagi dua dimensi: zhahir dan kafiy. Contoh syirik besat yang zhahir adalah seperti menyembah
bintang, matahari, bulan, patung-patung, batu-batu, pohon-pohon besar, dan manusia (seperti menyembah Fir’un,
raja-raja, Budha, Isa bin Maryam, malaikat, jin dan Setan). Sementara yang khafiy bisa dicontohkan seperti meminta
kepada orang-orang yang sudah mati dengan keyakinan bahwa mereka bisa memenuhi apa yang mereka yakini, atau
menjadikan seseorang sebagai pembuat hukum, menghalalkan dan mengharamkan seperti yang seharusnya menjadi
hak Allah swt.
Adapun syirik kecil (asy-syirkul ashghar) adalah suatu tindakan yang mengarah kepada syirik, tetapi belum sampai
ke tingkat keluar dari tauhid, hanya saja mengurangi kemurniannya. Syirik kecil juga dua
dimensi: dzahir dan khafiy. Yang zhahir bisa berupa lafal (pernyataan) dan perbuatan.
Contoh yang berupa lafal adalah bersumpah dengan nama selain Allah dan mengarah ke syirik seperti “demi Nabi,
demi Ka’bah, demi kakek dan nenek.” Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda, “Man halafa bighairillahi
faqad kafara wa asyraka (siapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka ia kafir dan musyrik).” (HR. Turmidzi
nomor 1535). Termasuk lafal yang mengarah ke syirik pernyataan, “Kalau tidak karena Allah dan si fulan niscaya
ini tidak akan terjadi.” Contoh yang lain adalah memberikan nama anak dengan Abdul Ka’bah dan lain sebagainya.
Adapun contoh syirik kecil zhahir yang berupa perbuatan seperti mengalungkan jimat dengan keyakinan bahwa itu
bisa menyelamatkan dari mara bahaya.
Syirik kecil yang khafiy biasanya berupa niat atau keinginan, seperti riya’ dan sum’ah. Yaitu melakukan tindak
ketaatan kepada Allah dengan niat ingin dipuji orang. Seperti menegakkan shalat dengan tampak khusyu’ karena
sedang di samping calon mertua. Seseorang berbuat seperti itu dengan harapan supaya dipuji sebagai orang shalih.
Padahal di saat sendirian, shalatnya tidak demikian. Riya’ adalah termasuk dosa hati yang sangat berbahaya. Karena
itu, Islam sangat memperhatikan sebab perbuatan hati adalah faktor yang menentukan bagi baik tidaknya
perbuatan zhahir.
Allah berfirman, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-
nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada
manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin
yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah).
Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir.” [QS. Al-Baqarah (2): 264]

Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda, “Man samma’a sammallahu bihii, waman yaraa’ii yaraaillahu
bihii (siapa yang menampakkan amalnya dengan maksud riya’ Allah akan menyingkapnya di hari Kiamat, dan siapa
yang menunjukkan amal shalihnya dengan maksud ingin dipuji orang, Allah mengeluarkan rahasia tersebut di hari
Kiamat).” (HR. Bukhari 11/288 dan Muslim nomor 2987)
Bahaya-bahaya Syirik
Perbuatan syirik sangat berbahaya. Berikut ini beberapa bahaya yang akan menimpa orang-orang pelaku syirik.

Pertama, syirik adalah kezhaliman yang nyata. Allah berfirman, “Innasy syirka ladzlumun adziim (sesungguhnya
mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar).” [QS. Luqman (31): 13]. Mengapa disebut
kezhaliman yang besar? Sebab dengan berbuat syirik seseorang telah menjadikan dirinya sebagai hamba makhluk
yang sama dengan dirinya yang tidak berdaya apa-apa.
Kedua, syirik merupakan sumber khurafat. Sebab, orang-orang yang meyakini bahwa selain Allah –seperti bintang,
matahari, kayu besar dan lain sebagainya– bisa memberikan manfaat atau bahaya, berarti ia telah siap melakukan
segala khurafat dengan mendatangi para dukun, kuburan-kuburan angker, dan mengalungkan jimat di lehernya.
Ketiga, syirik adalah sumber ketakutan dan kesengsaraan. Allah berfirman, “Akan Kami masukkan ke dalam hati
orang-orang kafir rasa takut disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak
menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal
orang-orang yang zhalim.” [QS. Ali Imran (3): 151]

Keempat, syirik merendahkan derajat kemanusiaan si pelakunya. Allah berfirman, “Barangsiapa mempersekutukan
sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan
angin ke tempat yang jauh.” [QS. Al-Hajj (22): 31]

Kelima, syirik menghancurkan kecerdasan manusia. Allah berfirman, “Dan mereka menyembah selain daripada
Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan. Dan mereka
berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafa`at kepada kami di sisi Allah.’ Katakanlah, ‘Apakah kamu mengabarkan
kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?’ Maha Suci Allah dan Maha
Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu).” [QS. Yunus (10): 18]

Keenam, di akhirat nanti orang-orang musyrik tidak akan mendapatkan ampunan Allah dan akan masuk neraka
selama-lamanya. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu)
dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa
yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [QS. An-
Nisaa’ (4): 116]

Allah juga berfirman, “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang
penolong pun.” [QS. Al-Maidah (5): 72]

Sebab-sebab Syirik
Ada tiga sebab fundamental munculnya prilaku syirik, yaitu al-jahlu (kebodohan), dha’ful iiman (lemahnya iman),
dan taqliid (ikut-ikutan secara membabi-buta).

Al-jahlu sebab pertama perbuatan syirik. Karenanya masyarakat sebelum datangnya Islam disebut dengan
masyarakat jahiliyah. Sebab, mereka tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Dalam kondisi yang penuh
dengan kebodohan itu, orang-orang cendrung berbuat syirik. Karenanya semakin jahiliyah suatu kaum, bisa
dipastikan kecendrungan berbuat syirik semakin kuat. Dan biasanya di tengah masyarakat jahiliyah para dukun
selalu menjadi rujukan utama. Mengapa? Sebab mereka bodoh, dan dengan kobodohannya mereka tidak tahu
bagaimana seharusnya mengatasi berbagai persoalan yang mereka hadapi. Ujung-ujungnya para dukun sebagai
narasumber yang sangat mereka agungkan.

Penyebab kedua perbuatan syirik adalah dha’ful iimaan (lemahnya iman). Seorang yang imannya lemah cendrung
berbuat maksiat. Sebab, rasa takut kepada Allah tidak kuat. Lemahnya rasa takut kepada Allah ini akan
dimanfaatkan oleh hawa nafsu untuk menguasai diri seseorang. Ketika seseorang dibimbing oleh hawa nafsunya,
maka tidak mustahil ia akan jatuh ke dalam perbuatan-perbuatan syirik seperti memohon kepada pohonan besar
karena ingin segera kaya, datang ke kuburan para wali untuk minta pertolongan agar ia dipilih jadi presiden, atau
selalu merujuk kepada para dukun untuk suapaya penampilannya tetap memikat hati orang banyak.

Taqliid sebab yang ketiga. Al-Qur’an selalu menggambarkan bahwa orang-orang yang menyekutukan Allah selalu
memberi alasan mereka melakukan itu karena mengikuti jejak nenek moyang mereka. Allah berfirman, “Dan
apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, ‘Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang
demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah tidak menyuruh
(mengerjakan) perbuatan yang keji.’ Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui?” [QS. Al-A’raf (7): 28]

Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.” Mereka menjawab, “(Tidak),
tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” “(Apakah mereka
akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat
petunjuk?” [QS. Al-Baqarah (2): 170]

Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka
menjawab, “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka
akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak
(pula) mendapat petunjuk?” [QS. Al-Maidah (5): 104]

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2007/11/02/295/hal-hal-yang-membatalkan-syahadat-bagian-
1/#ixzz5P4EWSgOE
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Anda mungkin juga menyukai