Anda di halaman 1dari 18

SYOK

Syok merupakan keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan perfusi darah
ke jaringan, sehingga mengakibatkan gangguan metabolism sel. Dalam keadaan
berat terjadi kerusakan sel yang tak dapat dipulihkan lagi (syok ireversibel);
oleh karena itu penting untuk mengenali keadaan yang dapat disertai syok,
gejala dini dan penanggulangannya.

A. Syok Sepsis
1. Definisi
Syok septik merupakan keadaan dimana terjadi penururnan tekanann
darah (teekanan darah sistolik < 90mmHg/ penurunan darah sistolik >
40 mmHg) disertai tanda kegagalan sirkulasi, meskipun telah dilakukan
resusitsi cairan secara adekuat atau memerlukan vasopresor untuk
mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ.
Syok septik merupakan keadaan yang diakibatkan respon sistemik tubuh
terhadap infeksi dan merupakan keadaan gawat darurat yang
membutuhkan penangan segera.

2. Tanda Gejala
a. Demam > 38, 3 0 atau hipotermi < 36 0
b. HR . 90x/ menit
c. Takipnoe
d. Perubahan status mental
e. Edema kesemimbangan cairan positif
f. Hiperglikemi
g. Leukositosis
h. Leukopeni
i. Hipotensi
j. Hipoksemia arteri
k. Oliguria
l. Peningkatan kreatinin
m. Trombositopeni
n. hiperbilirubinemia

3. Patofisiologi
penyebab syok sepsis yang paling banyak diakibatkan adanya stimulasi
toksin baik endotoksin maupun eksotoksin yang menyebabkan
kerusakan pada endotel menyebabkan ganggguan vaskuler yang
menyebabkan pada akhirnya menyebakan kerusakan multiorgan.
Trombosit dan koagulasi pada pembuluh darah kecil mengakibatkan
syok septik dan mengakibatkan kematian.
Pathway:
PENYERBUAN
MIKROORGANISME

AKTIVASI MEDIATOR AKTIVASI SSP


DEPRESI KERUSAKAN
BIOKEMIKAL, HUMORAL DAN SISTEM
MIOKARDIAL ENDOTEL ENDOKRIN
DAN SELULAR

PENINGKATAN
VASODILATASI TROMBUS VASOKONSTRIKSI
PERMEABILITAS
PERIFER MIKROVASKULER SELEKTIF
MEMBRAN KAPILER

GANGGUAN
SIRKULASI
VOLUME
STATUS
DARAH
HIPERMETABOLIK

PENINGKATAN
KEBUTUHAN
PENURUNAN
OKSIGEN
PERSEDIAAN
SELULER
OKSIGEN
SELULER

Kegagalan
pembentukan
energi

KETIDAKEFEKTIFAN
PERFUSI JARINGAN

KERUSAKAN METABOLISME SELULER


B. Syok Neurogenik
1. Definisi

Disebut juga sebagai syok spinal yang merupakan bentuk dari syok
distributif yang terjadi akibat kegagalan pusat vasomotor karena
hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak diseluruh tubuh
sehingga terjadi hipotensi dan penimbunan darah.Syok neurogenik
juaga disebut sinkop.

Syok neurgenik terjadi karena reaksi vasofagal berlebihan yang


mengakibatkan terjadinya vasodilatasi menyeluruh di daerah
spalangnikus sehingga aliran darah ke otak berkurang. Reaksi vasofagal
disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut atau nyeri
hebat.

Keadaan gangguan metabolik dan hemodinamik yang sangat berat dan


ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan
organ vital yang disebabkan oleh vasodilatasi neurogenik, yang
ditimbulkan karena trauma atau perdarahan serebral, cedera medula
spinalis, anestesi spinal atau anestesi umum yang dalam, atau depresi
toksik sistem saraf pusat. (Dorland ,2010)

2. Tanda Gejala
a. Hipotensi
b. Nadi tidak bertambah cepat bahkan dapat bradikardi
c. Defisit neurologis ( paraplegi/quadri plegi)

3. Patofisiologi
a. Penderita segera dibaringkan dengan kepala lebih rendah; pada
pemeriksaan mungkin didapatkan bradikardi.
b. Hilangkah penyebab; bila perlu dapat diberikan analgetik.
c. Dalam hal lesi sumsum tulang, berikan kortikosteroid untuk
mencegah edema sumsum tulang.

Biasanya penderita akan sadar beberapa saat kemudian setelah sirkulasi


serebral membaik oleh tindakan-tindakan di atas.
Pathway:

Trauma cerebral dan medula spinalis, anestesi spinal,


anestesi umum yang dalam, depresi toksik SSP

Tonus simpatethik
menurun

Vasodilatasi
pembuluh darah

Perfusi jaringan
menurun

Metabolisme sel
anaeob

Nyeri akut Hipoksia

Iskemia

Ekstremitas Paru Jantung Otak

Kesadaran
Hipothermia Sianosis Kerja paru ↑ Kerja jantung ↑

Teraba
Takhipnea
dingin, 1. Perubahan proses
kebiruan berpikir.
2. Resiko cedera
Kelelahan Takhikardi
Resiko
kerusakan
integritas
kulit
Intoleran
aktifitas
C. Syok Anafilatik
1. Definisi

Secara harfiah, anafilaksis berasal dari


kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang berarti perlindungan.
Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis)
justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada
melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang


diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang
ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat.
Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang
timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi.

Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis


yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang
nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai
kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya
kematian. Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu
sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena
anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada
anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas.

2. Tanda Gejala
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3
tipe dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa
menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat
terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan alergen; serta
reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi
kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis
juga dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat.
a. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi
hangat, rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi
kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-
bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam
pertama setelah pemajanan.
b. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan
ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan
dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan
gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan
reaksi ringan.
c. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan
tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah
disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah
bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa
diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan
kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian
dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan
yang irreversible.

Ciri kedua dari anafilaksis merupakan reasi sistemik yang terdiri dari :

a. Umum : lesu, lemah, rsa tak enak yang sukar dilukiskan, rasa tak
eak di dada dan perut, rasa gatal di hidung an palatum.
b. Pernapasan :
c. Hidung : hidung gatal, bersin dan tersumbat.
d. Laring : rasa tercekik, suara serak, sesak napass, stridor, edema,
spasme.
e. Lidah : edema
f. Bronkus : batuk, sesak, mengi,spasme.
g. Kardiovaskuler : pingsan, sinkop, palpitasi, takikardi, hipotnsi
sampai syok, aritmia.
h. Kelainan EKG : gelombang T datar, terbalik, atau tanda2 infark
miokard.
i. Gastro intestinal : disfagia, mual, muntah, kolik, diare tyang
kdang2 diertai darah, peristaltik usus meninggi
j. Kuit : urtikaria, angiodema, dibibir, muka atau ekstremitas.
k. Mata : gatal, lakrimasi,
l. Susunan saraf pusat : gelisa, kejang.

3. Patofisiologi

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam


hipersensitivitas tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme
anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase
sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan
basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya
pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala.

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan
antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan
sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi
sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk
antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast
(Mastosit) dan basofil.

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang


menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk
alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat
oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan
mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan
beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan
istilah preformed mediators.

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari


membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan
prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi
yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu
terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator
yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada
organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,
meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan
edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot
polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan
meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit.
Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil.
Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan
bronkokonstriksi.

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan


terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini
menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung
menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian
terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun
anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang
membahayakan penderita.
Pathway:

Alergen masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran


makan

di tangkap oleh Makrofag

Makrofag mempresentasikan antigen kpd Limfosit T yg mensekresikan sitokin (IL4,


IL13) → induksi Limfosit B berproliferasi mjd sel Plasma (Plasmosit)

Sel plasma produksi Ig E spesifik → terikat pd reseptor permukaan sel Mast


(Mastosit)&basofil.

Mastosit dan basofil melepaskan granula yg menimbulkan reaksi pd


paparan ulang.

Alergen diikat oleh Ig E spesifik → reaksi pelepasan mediator vasoaktif


a/l histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain
dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel


yg akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG)

 Histamin : efek bronkokonstriksi, ↑ permeabilitas kapiler yg menyebabkan


edema, sekresi mucus&vasodilatasi
 Serotonin : ↑ permeabilitas vaskuler
 Bradikinin : kontraksi otot polos
 PAF : bronkospasme & ↑ permeabilitas vaskuler, agregasi&aktivasi trombosit

Vasodilatasi pembuluh darah mendadak → fenomena maldistribusi dari


volume dan aliran darah

Penurunan aliran darah balik → curah jantung ↓ diikuti dg ↓ TD

↓ tekanan perfusi yg berlanjut pd hipoksia/anoksia jaringan yg berimplikasi pd


keaadan syok
D. Pengkajian Fokus pada Syok
Pengkajian secara umum didapatkan:
1. Data subyektif:
a. Pasien mengeluh kesulitan dalam bernafas.
b. Pasien mengeluh gatal-gatal.
c. Pasien mengeluh pusing.
d. Pasien mengeluh kesulitan menelan.
e. Pasien mengeluh muntah

2. Data objektif:
a. Bronkospasme dan edema saluran nafas atau laring
b. Pembengkakan periorbital
c. Pruritus
d. Pasien tampak menggaruk daerah yang gatal
e. Pasien terlihat kejang-kejang

Pemerisaan riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik harus dilakukan pada


kesempatan pertama bertemu pasien. Riwayat kesehatan sebelumnya samap
pentingnya dengan reaksi yang sedang berlangsung. Harus disadari bahwa
pasien dapat saja meningggalyang disebabkan karena reaksi anafilaksis.

Pengkajian menggunakan pendekatan ABCDE, antara lain:


1. Circulation
a. Lakukan pemberian intravena
b. Monitoring jantung
c. Rekam ekg
d. Monitor tekanan darah setiap 5 menit
e. Jika hypotensi
f. Berikan 1:1,000 0.5 ml (500 mcg) im.
g. Ulangi pemberian adrenalin dalam waktu 5 menit jika tidak ada
perubahan klinis.
2. Airway
a. Pastikan kepatenan jalan napas
b. Atur posisi pasien
c. Siapkan gudel atau nasofaringeal jika perlu
d. Pertimbangkan untuk melakukan instubasi jika pasien tidak dapat
mempertahankan jalan napas.
3. Breathing
a. Berikan oksigen tekanan tinggi
b. Monitoring saturasi oksigen untuk mempertahankan saturasi diatas
92%
c. Monitor frekuensi napas
d. Kaji ventilasi dengan bag valve mask jika perlu
e. Ukur peak expiratory flow rate (pefr)
f. Pertimbangkan pemberian nebulise salbutamol melalui oksigen

4. Disability
Kaji dengan menggunakan AVPU atau Glasgow Coma Scale:
A – alert (kesadaran)
V – respon terhadap perintah verbal
P – respon terhadap nyeri
U – unresponsive/tidak berespon

5. Exposure
a. Perhatikan adanya kemerahan dan luka pada kulit
b. Jika tidak yakin dengan penyebab, cari tanda adanya gigitan
serangga, dan ular.

E. Diagnosis Keperawatan Syok


1. Ketidakefektifan perfusi jaringan (kardiopulmonal) berhubungan
dengan penurunan pertukaran sel.
2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan isi sekuncup
yang disebabkan oleh masalah mekanis atau structural.
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan (renal) berhubungan dengan
penurunan pertukaran sel.

F. Intervensi
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan (kardiopulmonal ) berhubungan
dengan penurunan pertukaran sel.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 X 24 jam pasien akan


memperbaiki perfusi jaringan yang efektif selama dalam perawatan,
dengan kriteria hasil:
1. Curah jantung pasien adekuat
2. Pasien mencapai stabilitas hemodinamik. Frekuensi nadi tidak kurang
dari 80 kali/menit, dan tidak lebih dari 100x/menit. Tekanan darah
tidak kurang dari 120/70 mmHg, dan tidak lebih dari 120/80 mmHg.
3. Ferkuensi jantung tetap dalam batas yang telah ditentukan pada saat
pasien melakukan aktivitas hidup sehari-hari.
4. Kulit tetap hangat dan lembab.
5. Pasien tidak menunjukan aritmia.

Intervensi Rasional
a. Pantau tanda-tanda vital pasien a. Penurunan frekuensi jantung,
(frekuensi jantung, tekanan CVP, dan tekanan darah dapat
darah, dan tekanan vena sentral mengindikasikan perubahan
(Central Venous Pressure / arteriovenousa yang mengarah
CVP) setiap jam hingga stabil, pada penurunan perfusi
kemudian setiap 2 jam. jaringan.
b. Pantau warna dan suhu kulit b. kulit yang dingin, pucat,
pasien setiap 2 jam dan kaji berbercak dan sianosis dapat
tanda-tanda kerusakan kulit. mengindikasikan penurunan
perfusi jaringan.

c. Pantau laju pernapasan dan c. peningkatan laju pernapasan


suara napas pasien. Catat setiap dapat mengindikasikan bahwa
temuan. pasien sedang bekompensasi
terhadap hipoksia jaringan.
d. Pantau perubahan frekuensi dan d. untuk mengetahui perubahan
irama jantung pada EKG. perfusi jaringan yang mungkin
mengancam jiwa.
e. Pertahankan terapi oksigen e. untuk memaksimalkan
untuk pasien, sesuai program. pertukaran oksigen dalam
alveolidan pada tingkat sel.
f. Dorong pasien untuk sering f. untuk menghemat energy dan
beristirahat memaksimalkan perfusi
jaringan
g. Pantau kadar kreatinin kinase, g. temuan abnormal mungkin
laktat dehidrogenase dan kadar mengindikasikan kerusakan
gas darah arteri. jaringan atau penurunan
pertukaran oksigen dalam paru
pasien.

2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan isi sekuncup


yang disebabkan oleh masalah mekanis atau structural.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selam 1 X 24 jam pasien akan


memperbaiki curah jantung yang normal selama dalam perawatan.
dengan kriteria hasil;
1. Pasien mencapai stabilitas hemodinamik. Frekuensi nadi tidak kurang
dari 80 kali/menit, dan tidak lebih dari 100x/menit. Tekanan darah
tidak kurang dari 120/70 mmHg, dan tidak lebih dari 120/80 mmHg.
2. Pasien tidak menunjukan aritmia.
3. Kulit tetap hangat dan kering.
4. Pasien tidak menunjukan adanya edema pada kaki.
5. Pasien mencapai aktivitas dengan denyut jantung dalam batas normal.
6. Penurunan beban kerja jantung
Intervensi Rasional
a. Pantau dan catat tingkat a. untuk mendeteksi hipoksia
kesadaran ,denyut dan irama serebral akibat penurunan curah
jantung, dan tekanan darah jantung.
sekurang-kurangnya setiap 4
jam atau lebih sering bila
diperlukan.
b. Lakukan auskultasi bunyi b. bunyi jantung tambahan dapat
jantung dan suara napas mengindikasikan dekompensasi
minimal setiap 4 jam. Laporkan jantung awal ; sura napas
suara napas yang tidak normal tambahan dapat
sesegera mungkin. mengindikasikan kongesti
pulmonal dan penurunan curah
jantung.
c. Ukur dan catat asupan dan c. penurunan haluaran urine tanpa
haluaran secara akurat. penurunan asupan cairan dapat
mengindikasikan penurunan
perfusi ginjal akibat penurunan
curah jantung.
d. Atasi aritmia secara tepat sesuai d. untuk mencegah krisis yang
instruksi. mengancam hidup.
e. Secara bertahap tingakatkan e. agar jantung dapat melakukan
aktivitas dengan denyut jantung penyesuaian terhadap
dalam batas normal. peningkatan kebutuhan
oksigen.
f. Pantau kecepatan denyut nadi f. untuk membandingkan
sebelum dan setelah kecepatan dan mengukur
beraktivitas, sesuai instruksi. toleransi.
g. Rencanakan aktivitas pasien. g. untuk menghindari keletihan
dan peningkatan beban kerja
miokardium.

2. Ketidakefektifan perfusi jaringan (renal) berhubungan dengan penurunan


pertukaran sel.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 X 24 pasien akan


memperbaiki keefektifan perfusi jaringan selama dalam
perawatan.dengan kriteria hasil ;
1. Pasien dapat mempertahnkan keseimbangan cairan
2. Pasien dapat mempertahankan berat jenis urin dalam batas normal
3. Berat badan pasien tidak mengalami fluktuasi
4. Pasien melaporkan peningkatan rasa nyaman
5. Pasien dapat mempertahnkan stabilitas hemodinamik
6. Pasien dapat mengidentifikasi factor resiko yang memperburuk
penurunan perfusi jaringan dan modifikasi gaya hidup dengan benar.
Intervensi Rasional
a. Pantau dan dokumentasikan a. penurunan atau tidak adanya
asupan dan haluaran pasien haluaran urine biasanya
setiap jam hingga haluaran lebih mengindikasikan perfusi renal
dari 30 ml/ jam, kemudian yang buruk.
setiap 2 hingga 4 jam. Bila
pasien tidak memiliki riwayat
penyakit ginjal, haluaran urine
merupakan indicator yang baik
untuk mengetahui perfusi
jaringan.
b. Dokumentasikan warna dan b. untuk yang pekat dapat
karakteristik urine pasien. mengindikasikan fungsi gijal
Laporkan semua perubahan yang buruk atau dehidrasi.
yang terjadi.
c. Pantau dan dokumentasikan c. penimbangan berat badan
berat badan pasien setiap hari pasien akan membantu
(sebelum sarapan). meprediksikan status cairan
secara keseluruhan.
Peningkatan berat badan dapat
menunjukan kelebihan caian.
d. Observasi pola kemih pasien d. untuk mencatat adanya
keabnormalan pasien.
e. Pantau berat jenis urine; kadar e. peningkatan kadar dapat
elektrolit serum, dan kreatinin menunjukan penurunan funggsi
pasien. ginjal.
f. Pantau status hemodinamik dan f. peningkatan dari nilai dasar
tanda-tanda vital pasien. Catat dapat mengindikasikan
dan laporkan perubahnnya. kelebihan cairan akibat
kurangnya fungsi ginjal.
g. Berikan dopamine dosis rendah, g. untuk mendilatasi arteri renal
sesuai program pasien dan meningkatkan
perfusi jaringan.
Daftar Pustaka

Boswick, John A. 2013. Perawatan Gawat Darurat. Jakarta: EGC.

Guntur HA. 2008. SIRS, SEPSIS dan SYOK SEPTIK (Imunologi, Diagnosis dan
Penatalaksanaan). Surakarta: Sebelas Maret University Press

Harrison. 2013. Neurologi. Tangerang: Binapura Aksara

Kartikawati, D. 2011. Buku Ajar Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat.


Jakarta: Salemba

Morton, Patricia Gonce, Dkk. 2013. Keperawatan Kritis:Pendekatan Asuhan


Holistik. Edisi 8 volume 2. Jakarta: EGC.

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika

Muslihah. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yokyakarta: Nuha Medika.

Purwadianto, Agus dan Budi Sampurna. 2013. Kedaruratan Medik. Tangerang:


Binapura Aksara.

Sudoyo, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II1(Edisi 4). Jakarta:
Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Sutrisno. 2013. Keperawatan Kegawat Daruratan. Jakarta: Media Aesculapins.

Anda mungkin juga menyukai