Anda di halaman 1dari 26

TUGAS

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

OLEH:

1. CHICILIA NUR ASIH


2. ELTANINA ULFAMEYTALIA D
3. MARITA KUMALA
4. RESTITUTA SUKMAWATI

PRODI S 1 KEPERAWATAN PROGRAM B


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BETHESDA YAKKUM
YOGYAKARTA
2012

BAB I
SYOK ANAFILAKTIK

A. PENGERTIAN
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari
kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal
ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak
jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau
anaphylaxis).

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai


oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah
jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh
adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen
yang sensitif masuk dalam sirkulasi.

Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang
merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat
vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi
darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. Syok anafilaktik
merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan
anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi
tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi
saluran napas

B. EPIDEMIOLOGI
Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa
angka kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling
banyak akibat penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian
terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat. Insiden anafilaksis diperkirakan
1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta
penduduk.Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari
kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun
2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4
kasus/10.000 total pasien anafilaksis.
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama
perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan
mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda,
sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.

C. ETIOLOGI
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah
sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan
alergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah
makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang,
ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah
makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan
yang bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat
anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam
folat, dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan
cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.

D. PATOFISIOLOGI
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas
tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu
fase sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang
dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik
pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan
waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai
timbulnya gejala.

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di
tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut
kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang
menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel
plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat
pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang


menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E
spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator
vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan
vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran


sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang
terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed
mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi
otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan
meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit.
Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin
leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya


fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan
penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti
dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi
yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada
keaadan syok yang membahayakan penderita.
E. TANDA DAN GEJALA
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe
dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1
jam setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24
jam setelah terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24
jam setelah terpapar dengan alergen.

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi
kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga
dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat.
1. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat,
rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung,
pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan
gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan.
2. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah
bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk
dan mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering
terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan.
3. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan tanda-
tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas
disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea
berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen,
muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi.
Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau
renjatan yang irreversible.

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi
pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi,
gastrointestinal, kulit, mata, susunan saaraf pusat dan sistem saluran kencing,
dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah
rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan
pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.

Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan.
Pada rhinitis alergi dapat dijumpaiallergic shiners, yaitu daerah di bawah
palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung
bagian luar di bidang alergi ada beberapa tanda, misalnya: allergic salute,
yaitu pasien dengan menggunakan telapak tangan menggosok ujung
hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan
sumbatan; allergic crease, garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung;
kemudian allergic facies, terdiri dari pernapasan mulut, allergic shiners, dan
kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung diperiksa untuk menilai warna
mukosa, jumlah, dan bentuk sekret, edema, polip hidung, dan deviasi septum.
Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau
dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.

Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun,


penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan
penurunan volume tidal. Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika
lidah atau orofaring terlibat sehingga terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan
tidak ada suara sama sekali jika edema terus memburuk. Obstruksi saluran
napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis.
Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena
bronkospasme atau edema mukosa. Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung
tersumbat, serta bersin-bersin.
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai
terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem
kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-
tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan
terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi
hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri
atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan
terjadinya gagal ginjal akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin
disertai dengan perubahan kandungan elektrolit pada urine.

Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel


sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul
pada sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan
spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang
kadang dijumpai perdarahan rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark
usus.

Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan


fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara
gangguan pada sistem neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar
adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental. Pada
keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob
sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi
keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran
sel.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan
diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan
untuk memonitor hasil pengbatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung
eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan
IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna
untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu
keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih
bermakna yaitu IgE spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test)
atau ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay test), namun memerlukan
biaya yang mahal.

Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab
yaitu dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji
cukit paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh
sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan lebih
ideal. Pemeriksaan lain sperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes
fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak,
dan lain-lain.

G. PENATALAKSANAAN
1. Tindakan
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik
peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting
dilakukan adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan
alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan
penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala
untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki
curah jantung dan menaikkan tekanan darah.

Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing,


dan circulation dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan
kebutuhan bantuan hidup dasar.
a. Airway, penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas
agar tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar,
posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang
menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple airway
manuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka
mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera
ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi,
atau trakeotomi.
b. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak
ada tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau
mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring,
dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.
Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain
ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan
oksigen 5-10 liter /menit.
c. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.
karotis atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.

2. Obat-obatan
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk
mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan
tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan
meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai
penghambat pelepasan histamin dan mediator lain yang poten. Mekanisme
kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil
sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine
dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan
memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan
otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi
jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir
dalam waktu pendek.
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun
sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada
penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat
setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok,
absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian
subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa
dan 0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali
tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan.

Tabel 2.1. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak

Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan


tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama
anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan
sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan,
adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis
500 mcg (5 ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan
dengan kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat
dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB (0,1
ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan injeksi
intravena lambat selama beberapa menit. Beberapa penulis menganjurkan
pemberian infus kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit. Individu yang
mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaksis perlu
membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara
penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus
kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin tersebut.
(Pamela, adrenalin, draholik)

Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-


obat yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan
bronkodilator. Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses
vasodilatasi dan peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang
diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat pada
tempat reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti
adrenalin. Tergantung beratnya penyakit, antihistamin dapat diberikan oral
atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat
diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin
(150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam
waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian
simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Anti histamin
yang juga dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara
pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48 jam.

Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan,


kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis
dan hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk
memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang.
Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam
pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam
sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau
hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB
setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.

Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin


intravena 4-7 mg/Kg BB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus
0,6 mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6 mg/Kg BB yang diencerkan dalam
20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15
menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin,
salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak 0,25
cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi.
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat
diberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml
epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrosa (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan
dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit (dengan infus
mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum
10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol
bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan 2ml/menit,
atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus dengan dextrosa 5%.

3. Terapi Cairan
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena
untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang
ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik.
Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung
serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan
kristaloid dan koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan
permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan
larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan
kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma.
Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah
yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.

Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga
bisa melepaskan histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik
kristaloid merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan
untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan intra
sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan
tekanan onkotik intravaskuler.
4. Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok
anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam
perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di
tempat kejadian harus seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang
tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu
dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari
jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat
dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6 jam
berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik. Hal-hal yang
perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran, vital
sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan
komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest.
Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler.
Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark
miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang
telah mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di
rumah sakit.
Gambar 2.3. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis

K. KOMPLIKASI
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok
anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis
riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan
etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat
penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak
obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok
anafilaktik.

Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa
tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-
obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi
anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi
positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan
kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.

Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian
dengan jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan
observasi selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi
yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok
anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang menyebabkan alergi.
Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat yang
menyebabkan alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat
penawar untuk mengantisipasi reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu
resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk
kebutuhan jangka panjang.

L. PROGNOSIS
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan,
reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis
tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama.
Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan anafilaksis
untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis


yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe
alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma,
keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti
β-blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh
alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.

BAB II
KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pengkajian secara umum didapatkan:
1. Data subyektif:
a. Pasien mengeluh kesulitan dalam bernafas.
b. Pasien mengeluh gatal-gatal.
c. Pasien mengeluh pusing.
d. Pasien mengeluh kesulitan menelan.
e. Pasien mengeluh muntah

2. Data objektif:
a. Bronkospasme dan edema saluran nafas atau laring
b. Pembengkakan periorbital
c. Pruritus
d. Pasien tampak menggaruk daerah yang gatal
e. Pasien terlihat kejang-kejang

Pemerisaan riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik harus dilakukan pada


kesempatan pertama bertemu pasien. Riwayat kesehatan sebelumnya samap
pentingnya dengan reaksi yang sedang berlangsung. Harus disadari bahwa
pasien dapat saja meningggalyang disebabkan karena reaksi anafilaksis.

Pengkajian menggunakan pendekatan ABCDE, antara lain:


1. Airway
a. Pastikan kepatenan jalan napas
b. Atur posisi pasien
c. Siapkan gudel atau nasofaringeal jika perlu
d. Pertimbangkan untuk melakukan instubasi jika pasien tidak dapat
mempertahankan jalan napas.
2. Breathing
a. Berikan oksigen tekanan tinggi
b. Monitoring saturasi oksigen untuk mempertahankan saturasi diatas
92%
c. Monitor frekuensi napas
d. Kaji ventilasi dengan bag valve mask jika perlu
e. Ukur peak expiratory flow rate (pefr)
f. Pertimbangkan pemberian nebulise salbutamol melalui oksigen

3. Circulation
a. Lakukan pemberian intravena
b. Monitoring jantung
c. Rekam ekg
d. Monitor tekanan darah setiap 5 menit
e. Jika hypotensi
f. Berikan 1:1,000 0.5 ml (500 mcg) im.
g. Ulangi pemberian adrenalin dalam waktu 5 menit jika tidak ada
perubahan klinis.

4. Disability
Kaji dengan menggunakan AVPU atau Glasgow Coma Scale:
A – alert (kesadaran)
V – respon terhadap perintah verbal
P – respon terhadap nyeri
U – unresponsive/tidak berespon

5. Exposure
a. Perhatikan adanya kemerahan dan luka pada kulit
b. Jika tidak yakin dengan penyebab, cari tanda adanya gigitan serangga,
dan ular.

6. Tanda ancaman kehidupan


a. stridor
b. wheezing
c. cyanosis
d. tachikardi
e. penurunan capillary refill time (CRT)

Jika pasien menunjukan adanya gejala tersebut, segera minta pertolongan


dan berikan adrenalin secepatnya.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi
ventilasi ditandai dengan sesak napas,takikardia, kulit pucat, hipotensi
renjatan, dan ada spasme bronkus.
2. Perfusi jaringan, perubahan perifer berhubungan dengan penurunan aliran
darah sekunder terhadap gangguan vaskuler akibat reaksi anafilaktik
ditandai dengan ada palpitasi, kulit pucat, akral dingin, hipotensi,
angioedema, aritmia, gambaran EKG gelombang T mendatar dan terbalik.
3. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan pembengkakan dinding
mukosa hidung ditandai dengan sesak napas, napas dengan bibir, ada
rhinitis.
4. Nyeri akut berhubungan dengan iritasi gastrik
5. Resiko terhadap penghentian pernapasan, dengan faktor resiko terjadi
oedema laring.
6. Perubahan kenyamanan berhubungan dengan hipermotilitas saluran cerna
akibat iritasi gastrik ditandai dengan mual dan muntah.
7. Perubahan kenyamanan berhubungan dengan reaksi anfilaktik ditandai
dengan pruritus/ gatal, ada hives berbatas jelas.
8. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi
ditandai dengan bengkak dan gatal pada kulit dan hidung, ada hives,
urtikaria, dan hidung berair.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
No Diagnosa (NANDA) Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
1 Pola nafas tidak efektifStatus Pernapasan: KepatenanManajemen jalan napas
berhubungan dengan spasmeJalan Napas Aktivitas :
otot bronkeolus Status Pernapasan: Ventilasi -Buka jalan nafas dengan
Batasan karakteristik Status Tanda-Tanda Vital teknik mengangkat dagu atau
-Napas dalam dengan mendorong rahang
-Perubahan gerakan dada sesuai keadaan
-Mengambil posisi tiga titik -Posisikan pasien untuk
-Bradipneu memaksimalkan ventilasi yang
-Penurunan tekanan ekspirasi potensial
-Penurunan tekanan inspirasi -Identifikasi masukan jalan
-Penurunan ventilasi semenit nafas baik yang aktual ataupun
-Penurunan kapasitas vital potensial
-Dispneu -Masukkan jalan nafas/
nasofaringeal sesuai kebutuhan
-Keluarkan sekret dengan batuk
atau suction/pengisapan
-Dorong nafas dalam, pelan dan
batuk
-Ajarkan bagaimana cara batuk
efektif
-Kaji keinsetifan spirometer
. TERAPI OKSIGEN
Aktivitas:
-Bersihkan sekresi mulut, hidung
dan trakea
-Batasi merokok
-Jaga kepatenan jalan napas
-Sediakan peralatan oksigen,
system humidifikasi
-Pantau aliran oksigen
-Pantau posisi peralatan yang
menyalurkan oksigen pada
pasien
-Secara teratur pantau jumlah
oksigen yang diberikan pada
pasien sesuai dengan indikasi
-Pantau kemampuan pasien
mentoleransi pemindahan
oksigen sambil makan
-Pantau tanda keracunan oksigen
dan tanda hipoventilasi yang
dipengaruhi oksigen
-Pantau kecemasan pasien terkait
terapi oksigen

2 Kekurangan volume cairan  Keseimbangan Manajemen cairan


Batasan karakteristik : Elektrolit dan Asam Aktivitas :
 Penurunan tekanan Basa -Timbang BB tiap hari
darah  Keseimbangan -Hitung haluran
 Penurunan volume Cairan -Pertahankan intake yang
nadi  Hidrasi akurat
 Penurunan tekanan  Status Nutrisi : -Pasang kateter urin
nadi Asupan Makanan dan -Monitor status hidrasi
 Penurunan turgor kulit Cairan (seperti :kelebapan mukosa
 Penurunan turgor lidah membrane, nadi)
 Penurunan haluaran -Monitor status hemodinamik
urin termasuk CVP,MAP, PAP
 Penurunan pengisian -Monitor hasil lab. terkait
vena retensi cairan (peningkatan
BUN, Ht ↓)
 Kulit kering
-Monitor TTV
 Membrane mukosa
-Monitor adanya indikasi
kering
retensi/overload cairan
(seperti :edem, asites, distensi
vena leher)
-Manajemen elektrolit
Aktivitas:
-Monitor keabnormalan level
untuk serum
-Dapatkan specimen lab untuk
memonitor level cairan/
elektrolit ( seperti Ht,
BUN,sodium, protein,
potassium )
-Timbang berat badan tiap hari
-Beri cairan
-Promosikan intake oral
-Beri terapi nasogastrik untuk
menggantikan output
-Beri serat pada selang makan
pasien untuk mengurangi
kehilangan cairan dan elektrolit
selama diare
-Kurangi konsumsi es / jumlah
intake oral pasien yang
terpasang NGT
-Irigasi selang NGT dengan
normal salin
-Pasang infuse IV
3 Memperbaiki Setelah dilakukanMandiri : Mandiri :
perfusi jaringantindakan
pasien keperawatan  
Selidiki perubahan Perfusi serebral
selama … x 24tiba – tiba atausecara langsung
jam : gangguan mentalberhubungan dengan
Kulit pasienkontinu contoh cemas,curah jantung.
hangat. bingung letargi, pingsan.
Tanda vital dalam
batas normal.  
Lihat kulit apakah Penurunan curah
Pasien sadar ataupucat, sianosis, belang,jantung dibuktikan
berorientasi. kulit dingin atauoleh penurunan
lembab, catat kekuatanperfusi kulit dan
nadi perifer. penurunan nadi.

 Penurunan curah
 Pantau pernapasan,jantung dapat
catat kerja pernapasan. mencetuskan stres
pernapasan.

4 Peningkatan Setelah dilakukan periksa tanda vital


- hipotensi dapat terjadi
toleransi aktivitas tindakan sebelum dan segerakarena efek obat,
keperawatan setelah aktivitas perpindahan
selama … x 24 cairan,pengruh fungsi
jam : jantung.
Pasien mencapai catat respon
- Penurunan / ketidak
peningktan cardiopulmonal mampuan
toleransi aktivitasterhadap aktivitas . miokardium untuk
yang dapat di meningkatkan volume
ukur. sekuncup selama
aktivitas.
kaji penyebab
- Kelemahan dapat
kelemahan disebabkan oleh efek
samping beberapa
obat,nyeri dan stres.
- Dapat menunjukan
peningkatan
evaluasi peningkatandecompensasi jantung
intoleran aktivitas. dari pada kelebihan
aktivitas.
- Pemenuhan
kebutuhan perawatan
berikan bantuan dalamdiri pasien tanpa
aktivitas perawatanmempengaruhi strees
mandiri sesuaimiokard/kebutuhan
indikasi.selingi periodeoksigen.
aktivitas dengan periode
istirahat.

5 Mecegah Setelah dilakukanMANDIRI : MANDIRI :


kerusakan kulittindakan Kaji kulit setiap hari.
- Untuk mengetahui
dan meningkatkankeperawatan Catatwarna kulit,turgorada tidaknya
kesembuhan. selama … x 24kulit,sirkulasi danperubahan kulit.
jam : sensasi.
Menunjukan Perthankan higiene kulit
kemajuan padamslnya membasuh dan
- Memprtahankan
luka ataukemudian mengeringkankebersihan karena
penyembuhan dng hati2 dankulit tiap kering dapat
melakukan masasemenjadi barier infeksi.
dengan menggunaknMasase meningkatkan
lotion/cream sirkulasi kulit dan
Pertahankan kebersihankenyamanan.
lingkungan pasien seprti
- Friksi kulit di
seprei bersih kering dansebabkan oleh kain
tidak berkerut yang berkerut dan
basah yang
Sarankan pasien untukmenebabkan iritasi
melakukan ambulasidan potensial terhadap
beberapa jam sekali jikainfeksi.
memungkinkan. - Menurunkan tekana
Gunting kuku secarapada kulit dari
teratur. istirahat lama di
temapat tidur.

- Kuku yang panjg


/kasar meningkatkan
KOLABORASI: kerusakan dermal.
Gunakn/berikan obat
obatn atau sistemik
sesuai indikasi. KOLABORASI:
- Digunakn pada
perawatan lesi kulit.
Jika digunakn slep
multi dosis,perawatn
harus dilakuakn untuk
menghindari
kontaminasi silang.
DAFTAR PUSTAKA

Franklin C M, Darovic G O, Dan B B. (1995). Monitoring the Patient in Shock.


Dalam buku: Darovic G O, ed, Hemodynamic Monitoring: Invasive and
Noninvasive Clinical Application. USA : EB. Saunders Co

Alexander R H, Proctor H J. Shock. (1993). Advanced Trauma Life Support


Course for Physicians. USA

Haupt M T, Carlson R W. Anaphylactic and Anaphylactoid Reactions. (1989)


Dalam buku: Shoemaker W C, Ayres S, Grenvik A eds, Texbook of Critical Care.
Philadelphia

Thijs L G. The Heart in Shock (With Emphasis on Septic Shock). Dalam


kumpulan makalah: Indonesian Symposium On Shock & Critical Care. Jakarta-
Indonesia, August 30 – September 1, 1996

Zimmerman J L, Taylor R W, Dellinger R P, Farmer J C, Diagnosis and


Management of Shock, dalam buku: Fundamental Critical Support. Society of
Critical Care Medicine, 1997.
Atkinson R S, Hamblin J J, Wright J E C. Shock. Dalam buku: Hand book of
Intensive Care. London: Chapman and Hall, 1981; 18-29.

Wilson R F, ed. Shock. Dalam buku: Critical Care Manual. 1981; c:1-42.

Bartholomeusz L, Shock, dalam buku: Safe Anaesthesia, 1996

Anda mungkin juga menyukai