Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dermatitis atopic (DA) adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang
kronis residif, disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu terutama di
wajah pada bayi (fase infantile) dan bagian fleksura ekstremitas (pada fase anak)
dermatitis atopic kerap terjadi pada bayi dan anak, sekitar 50% menghilang pada
saat remaja, kadang dapat menetap, atau bahkan baru mulai muncul saat dewasa.
Istilah “atopi” telah diperkenalkan oleh coca dan cooke pada tahun 1923, asal
kata “ atopi” (out of place) yang berarti berbeda ; dan yang dimaksud adalah
penyakit kulit yang tidak biasa, baik lokasi kulit yang terkena, maupun perjalanan
penyakitnya.1
Data epidemiologi mencakup prevalensi, usia, jenis kelamin, distribusi
tempat, dan penyebaran geografis baik di dalam maupun di luar negri belum
tercatat dengan baik. Evaluasi lanjut tentang berbagai factor resiko dan factor
yang mempengaruhi penyakit telah ditemukan oleh para peneliti, hasilnya
bervarisasi tergantung pada negara tempat penelitian berlangsung. 1
DA seringkali mengenai 10-15% anak diseluruh belahan dunia dan
prevalensinya meningkat dengan cepat. Gejala pertama biasanya dimulai saat
bayi, dan sekitar 50% kasus didiagnosis pada usia 1 tahun, dan DA bersifat jangka
panjang dan menetap hingga dewasa pada sepertiga pasien. Sekitar 70 persen
kasus DA dimulai pada anak usia dibawah 5 tahun, meskipun sebanyak 10 persen
kasus yang dijumpai di rumah sakit dimulai saat usia dewasa.1
Sampai saat ini etiologi DA dianggap muliti factor namun pathogenesis
yang pasti masih diteliti para pakar, baik dibidang genetic, maupun berbagai
factor eksternal dan internal, termasuk sawar kulit. Perjalanan penyakit bervariasi,
di pengaruhi berbagai factor tersebut serta berkaitan erat dengan penyakit atopi
lainnya, yakni asma bronchial, rhinitis allergic, urtikaria, hay fever. 1

1.2 Tujuan Penulisan


Penulisan case ini bertujuan untuk lebih memahami tentang diagnosis
dan penatalaksanaan pada Dermatitis Atopi.

1
1.3 Batasan Masalah
Dalam case ini hanya akan dibahas tentang diagnosis dan penatalaksanan
pada Dermatitis Atopi.

1.4 Metode Penulisan


Case ini disusunberdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada
berbagai literatur .

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi1
Dermatitis atopic (DA) adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang
kronis residif, disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu
terutama di wajah pada bayi (fase infantile) dan bagian fleksura ekstremitas
(pada fase anak).
Istilah “atopi” telah diperkenalkan oleh coca dan cooke pada tahun
1923, asal kata “atopos” (out of place) yang berarti berbeda ; dan yang
dimaksud adalah penyakit kulit yang tidak biasa, baik lokasi kulit yang
terkena, maupun perjalanan penyakitnya.

2.2 Sinonim
S. Prurigo Besnier, Eczema1

2.3 Epidemiologi
Sulit memperoleh data akurat mengenai epidemiologi, insiden,
maupun prevalensi di Indonesia. Data kunjungan pasien baru dermatitis atopic
(diagnosis ditetapkan dengan kriteria Hanifin Rajka) kelompok usia 0-14
tahun di divisi kulit anak, poli klinik departemen IK Kulit dan Kelamin,
RSCM pada periode tahun 2005, 2006, 2007.1,2
Berbagai penelitian DA telah dilakukan, hasilnya bergantung pada
kriteria diagnosis DA yang ditetapkan pada setiap penelitian serta negara dan
subjek yang diteliti. Prevalensi DA bervariasi, sebagai contoh prevalensi DA
yang diteliti di singapura tahun 2002 menggunakan kriteria united Kingdom (
UK ) working party pada anak sekolah ( 7-12 tahun ) sebesar 20,8% dari
12.323 anak. Penelitiaan Hannover ( Jerman ) prevalensi DA ( menggunakan
kriteria Hanifin Rajka ) pada anak sekolah ( 5-9 tahun ) ditemukan sebesar
10,5 % dari 4219 anak. Umumnya, pada anak penelitiaan epidemiologi,
diagnosis DA ditetapkan degan menggunakan kriteria diagnostik UK Working
Party, karena lebih praktis dan mudah digunakan. Sedangkan penelitian di
rumah sakit lebih bnayak menggunakan kriteria Hanifin-Rajka.2

3
Penelitian tentang perjalanan penyakit DA dari berbagai negara
industri memperlihatkan data yang bervariasi. Di negera berkembang, 10-20%
anak menderita Dermatitis atopic dan 60% di antaranya menetap sampai
dewasa.2

2.4 Etiologi
 Factor predisposisi genetic (Melibatkan banyak gen) yang
menghasilkan disfungsi sawar kulit serta perubahan pada system imun,
khususnya hipersensitifitas terhadap berbagai allergen dan atigen
mikroba.
 Factor psikologis dapat merupakan penyebab atau sebagai dampak
DA.
 Factor hygieneakhir-akhir ini merupakan salah satu factor resiko DA
di dalam keluarga.1,2

2.5 Patogenesis1,2
1. Hubungan disfungsi sawar kulit dan pathogenesis DA
Dermatitis atopic erat kaitannya dengan gangguan fungsi sawar kulit
akibat menurunya fungsi gen yang meregulasi amplop keratin (filagrin dan
lorikrin), berkurangnya volume seramid serta meningkatnya enzim
proteolotik dan Trans-Epidermal-Water Loss (TEWL). TEWL pada pasien
DA meningkat 2-5 kali orang normal. Sawar kulit dapat juga menurun akibat
terpajan protease eksogen yang berasal dari tungau debu rumah (haouse dust
mite) dan superantigen staphylococcus aures (SA) serta kelembaban udara.
Perubahan sawar kulit mengakibatkan peningkatan absorpsi dan
hipersensitifitas terhadap allergen ( misalnya allergen hirup tungau rumah).
Peningkatan TEWL dan penurunan kapasitas kemampuan menyimpan air
(skin capacitance), serta perubahan komposisi lipid esensial kulit,
menyebabkan kulit DA lebih kering dan sensitifitas gatal terhadap berbagai
rangsangan bertambah. Garukan akibat gatal menimbulkan erosi atau
ekskoriasi yang mungkin dapat meningkatkan penetrasi mikroba dan
kolonisasi mikroba di kulit. Peningkatan hipersensitifitas tersebut berdampak

4
pula pada meningkatnya sensitifitas respirasi pasien DA terhadap allergen
dikemudian hari.

Gambar 1. Hubungan Disfungsi Sawar Kulit dan Patogenesis DA

2. Perubahan system imun (imunopatologik)


Pada kulit pasien DA terjadi perubahan system imun yang erat
hubungannya dengan factor genetic, sehingga manifestasi fenotip DA
bervariasi. Penelitian genetic terhadap pasien asma memperlihatkan gen yang
sama dengan pasien dermatitis atopic , yaitu gen pada 11q13 sebagai gen
pengkode reseptor igE. Eksperi reseptor igE tersebut pada sel penyaji atigen
dapat memicu terjadinya rangkaian peristiwa imunologi pada DA.

Keratinosit, sel langerhans, sitokin, igE, eosinofil, dan sel T.


Kerusakan sawar kulit menyebabkan produksi sitokin keratinosit { IL-
1, IL-6, IL-8, tumor necrosis factor- α (TNF-α)} meningkat dan selanjutnya
merangsang molekul adhesi sel endotel kapiler dermis sehingga terjadi
regulasi limfosit dan leukosit.

5
Ishizaka dkk. Tahun 1996 menyatakan bahwa pada DA terdapat
peningkatan kadar igE yang menyebabkan reaksi eritema dikulit. Terjadi
stimulasi interleukin-4 (IL-4) terhadap sel T ( CD4+) dan IL-13 terhadap sel B
untuk memproduksi IgE, sebaiknya interferon y (IFN y) dapat memsupresi
sel B. jumah dan potensi IL-4 lebih besar dari pada IFNy. IL-5 berfungsi
menginduksi proliferasi sel eosinofil yang merupakan salah satu parameter
DA.
Lesi akut DA ditandai dengan edema interselular (spongiosis) dan
sebukan infiltrate di epidermis yang terutama terdiri atas limfosit T. Sel
langerhans (LC) dan makrofag (sebagai sel dendritik pemajan antigen/antigen
presenting cell) mengekspresikan molekul igE. Didermis serbukan sel radang
terdiri atas limfosit T dengan epitop CD3, CD4 dan CD45R, monosit-
makrofag, sedangkan sel eosinofil jarang terlihat, jumlah sel mast normal
tetapi aktif berdegranulasi.
Lesi kronik DA ditandai hiperplasi epidermis, pemanjangan rete
ridges, sedikit spongiosis dan hyperkeratosis. Terdapat peningkatan LC dan
jumlah igE di epidermis, infiltrate di dermis lebih banyak mengandung sel
mononuclear/makrofag, dan sel mast yang bergranulasi penuh, banyak sel
eosinofil, serta tidak ada neutrofil walaupun terdapat peningkatan kolonisasi
dan infeksi staphylococcus aureus.
Pada fase akut sel T-helper 2 (TH-2) melepaskan sitokin ( IL-4 dan
IL-13 ) yang menginduksi pembentukan igE dan ekspresi molekul adhesi sel
endhotel, sedangkan IL-5 menginduksi dan memilahara sel eosinofil pada lesi
kronik DA.
Pada fase kronik sitokin yang berperan adalah IL-12 dan IL-18 yang
dihasilkan oleh sel T helper-1 ( TH-1), IL-11 dan transforming growth factors
β-1. Sebagaimana tertera pada gambar 2.1,2

6
Gambar 2. Mekanisme Imunobiologi pada fase akut dan fase kronik DA

Sel efektor pada reaksi imunologik DA :


1. Keratinosit memiliki berbagai kemampuan, antara lain sebagai signal
transducer (pencetus signal), sebagai sel asesori, dan sebagai sel penyaji
antigen (SPA); oleh Karena itu, keratinosit sekarang lebih di anggap
sebagai pelaku aktif system imun di epidermis. Pada mekanisme inflamasi
di epidermis selain keratinosit, sel langerhans (LCs) merupakan SPA poten
( mengekspresikan MHCII dan memiliki reseptor IgE dan juga
mengekspresikan molekul B 7, ICAM-1, dan LFA-1 dalam jumlah besar.
2. Sel T dapat mengenal antigen berkat adanya T cell receptor ( TCR )
dengan rantai α dan β yang membentuk kompleks reseptor dengan CD30.
Sel T di dermis dalam keadaan teraktifasi dapat mengenali antigen dalam
ikatan major histocompatibility-II (MHC-II) dan menampilkan reseptor
IL-2. Pada DA sel T helper ( T-CD4+) lebih banyak dari pada sel supresor
(T-C8+), dan subset sel T helper-2 (TH-2) lebih berperan. TH-2
memproduksi interleukin-4 (IL-4) dan IL-5. Interleukin-4 berperan dalam
menginduksi sel B menjadi sel plasma yang memproduksi igE, sedangkan
IL-5 ( chemotatic factor 0 mampu menarik dan memelihara eosinofil di
jaringan. Selain mampu bermigrasi ke jaringan, eosinofil mampu
memproduksi major basic protein ( MBP) yang menyebabkan kerusakan
jaringan (toksik).
3. Sel endotel berfungsi mengatur lalu lintas leukosit pada inflamsi dan pada
saat di unduksi reaksi hipersensitifitas mengekspresikan berbagai molekul
adhesi, yaitu ICAM-1, ICAM-2, VCAM-1, ELAM-1.

7
Dapat disimpulkan bahwa pada reaksi inflamasi/allergic DA selain
factor allergen dan IgE, juga berperan berbagai sel inflamasi, mediator
(sitokin), sel endhotel, serta molekul adhesi. Allergen yang masuk kekulit
akan ditangkap oleh SPA, diproses dan disajikan pada sel T ( TH-2 ),
berkaitan dengan kompleks TCR, sehingga mampu mengeluarkan IL-4
dan membantu sel B memproduksi IgE. IgE akan menempati reseptor di
permukaan sel mast. IgE berikatan dengan allergen memacu sel mast
berdegranulasi dan melepaskan berbagai mediator serta IL-4 dan IL-5.
Interleukin-3 (IL-3), IL-4 dan IL-5 mampu menarik eosinofil dan
memeliharanya dijaringan. Factor lain yang menyebabkan migrasi
eusinofil adalah eusinophylic Factor of Anaphylaxis (ECF-A), Leukotrien
B4, dan histamine.
Sitokin dan kemokin berperan penting pada reaksi inflamsi DA.
Beberapa sitokin, misalnya tumor necrotic factors-α (TNF-α) dan IL-1
yang dihasilkan sel keratinosit, sel mas, dan LC, berikatan dengan reseptor
sel indotel kapiler, mengaktifkan sinyal jalur sel, dan mengaktifkan
molekul adhesi sel endotel. Peristiwa tersebut menyebabkan ekstravasasi
sel inflamasi ke kulit dan segera menuju tempat peradangan atau infeksi.
Pada pasien DA diketahui IgE berjumlah lebih banyak dan
menunjukkan daya afinitas yang tinggi pada reseptor dikeratinosit dan sel
langerhans, sehingga pathogenesis DA lebih di perankan oleh rekasi tipe I.
pada reaksi hipersensitifitas tipe I (IgE mediated), rangsangan zat / bahan
langsung pada sel mas dapat menyebabkan sel mas berdegranulasi dan
melepaskan berbagai mediator, antara lain histamine, himin, bradikinin,
tripsin, papain, leukotriene B4, prostaglandin E2, dan 12 HETE. Mediator
tersebut menimbulkan vasodilatasi, reaksi inflamasi (migrasi sel, ekspresi
adhesi molekul, dan lain – lain), rasa gatal , dan manifestasi inflamasi
dikulit. Pasien DA secara genetic menunjukkan hipersensitifitas terhadap
berbagai allergen, missal nya debu rumah, tungau debu rumah, serbuk sari
bunga/polen, makanan, dan staphylococcus aureus (Superantigen). 2

8
3.Alergen dan superantigen
a. Allergen
Factor eksogen, terutama allergen hirup (debu rumah,tungau debu
rumah) berperan penting pada terjadinya DA. Allergen hirup lainnya yang
sering mempengaruhi adalah kuman dander, animal dander, molds,
grasses, tress, ragweed, dan pollen. Beberapa penelitian membuktikan
peningkatan kadar IgE spesifik ( IgE RAST ) terhadap tungau debu rumah
(D.Pteronyssinus) lebih tinggi pada pasien DA dibandingkan dengan
kondisi lain (OR>20). Kadar IgE spesifik meningkat terhadap debu rumah,
bulu anjing, bulu kucing, bulu kuda, dan jamur. Hasil uji tempel terhadap
alergen tungau debu rumah menginduksi perubahan histopatologik berupa
pembentukan infiltrate selular yang diperantarai sel T (TH-2) serta
ditemukan eusinofil dan basofil. Bukti lain adalah berkurangnya reaksi
alergi bila menghindari allergen. Penelitian Ridha Wati Muchtar tahun
2000 di Divisi Kulit Anak, poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSCM, pada 20 DA Anak kelompok usia 4-7 tahun didapatkan hasil uji
tusuk terhadap TDR Positif pada 14(70%) DA anak, dan uji atopic patch
test (APT) positif pada 10(50%) DA Anak IgE spesifik terhadap TDR
positif pada 12 (60%) DA anak.
Hasil penelitian alergi terhadap makanan bervariasi dalam jenis
dan frekuensi. Selain dilakukan anamnesis riwayat alergi makanan pada
kekambuhan DA, atau dengan IgE RAST, dapat juga dibuktikan dengan
uji kulit antara lain uji tusuk (Prick Test), soft allergen food patch test
(SAFPT) atau atopi patch test dan double blind placebo controlled food
challenge test (DBPCFCT). Data hasil satu penelitian memperlihatkan
urutan allergen yang sering ditemukan dan uji kulit bereaksi positif pada
DA adalah telur (69%), susu sapi (52%), kacang – kacangan (42%), soya
(34%), dan gandum (33%) serta lainnya terhadap ikan dan ayam.
b. Superantigen
Berbagai hasil penelitian pada lesi DA menunjukkan peningkatan
kolonisasi staphylococcus aureus (SA). Walaupun demikian sangat jarang
terjadi komplikasi sepsis. Hasil intervensi antibiotic menurunkan jumlah

9
kolonisasi tersebut. Yang menarik adalah jumlah kolonisasi SA tersebut
juga menurun setelah pemberian kortikosteroid topical poten atau
trakolimus topical. Staphylococcus aureus mampu melekat dikulit karena
interaksi antara protein A2 dan asam teikoik (teichoic acid) pada dinding
sel dengan fibronektin, laminin, dan fibrinogen. Pada DA perubahan
komposisi lipid serta berkurangnya sfongosin dan natural antimicrobial
agent memungkin kan SA tumbuh dan berkolonisasi.
Sebagaian jalur SA memproduksi toksin yang bertindak sebagai
superantigen (SAg) antara lain enterotoksin A (SEA), enterotoksin B
(SEB), dan toksin SSS penyebab staphylococcal scalded skin syndrome
(4S). superantigen mempunyai efek imunomodulator, menyebabkan
apoptosis sel T, sel eusinofil, meningkatkan penglepasan histamine dan
leukotrien, sintesis IgE, serta menurunkan potensi glukokortikoid. Selain
itu hasil penelitian menunjukkan bahwa SAg menyebabkan inflamasi pada
kulit DA (50-60%). Penelitian lain memperlihatkan temuan IgE anti-
staphylococcus pada sekitar 25% pasien DA, sedangkan IgE antibody
terhadap SAg didapatkan pada 57% pasien DA dewasa dan pada 34 pasien
DA anak. Demikian pula terhadap peningkatan IgE spesifik terhadap SEB.
Superantigen memacu kekambuhan lesi DA menjadi rekalsitran dan
kronik serta menginduksi influks cutaneus lymphocyte antigen (CLA)
pada reseptor sel T ( gambar 3).

Gambar 3. Mekanisme sag pada inflamasi DA

10
Pada tahap pengobatan DA terhadap SAg dapat diberikan obat
golongan makrolit, yaitu takrolimus atau pimekrolimus yang berpotensi
menghambat kalsineurin yang diproduksi sel T dan menghambat IL-2, IL-
3, IL-4, TNF-α, dan GSM-CSF. Tahun 1977 Aly dkk. Melaporkan bahwa
63% SA resisten terhadap penisilin, 14 terhadap tetrasiklin dan 20%
terhadap eritromisin. Di Australia di temukan pada isolasi methicilin
resistant staphylococcus aureus (MRSA) pada 30% pasien dermatologi. Di
Mancester, dari pasien DA dapat di isolasi MRSA pada 6% dari 36 bayi,
10% dari 80 anak kelompok usia 1 – 5 tahun, dan 19% dari 78 kelompok
usia diatas 6 tahun. Penelitian terhadap anak dengan DA oleh Deasy 2009
di RSCM, tidak menemukan MRSA pada lesi DA dan nares.
4. Predisposisi genetic
Penelitian genetic berdasarkan silsilah keluarga menyatakan bahwa
resiko DA pada kembar monozigot sebesar 77% dan pada kembar dizigot 25%.
Dermatitis atopic sering dijumpai pada sebuah keluarga, namun penurunannya
tidak mengikuti hokum mandel. Ada kecenderungan lebih banyak terjadi pada
perempuan dan ditemukan banyak gen yang terlibat pada DA, sehingga dapat
disimpulkan bahwa pola warisan DA bersifat multifaktorial. Uehara dan
Kimura (1993) menyatakan bahwa 60% pasien DA mempunyai anak atopi.
Jika kedua orang tua nya menderita DA, maka 80% anak nya akan beresiko
mederita DA. Apabila hanya salah satu orang tua nya menderita DA maka
resiko menderita DA menjadi 59%.
Penelitian lain menemukan pada ibu berpenyakit DA menunjukkan
rasio Odds ( RO) anak kandung 2,66 ; sedangkan bila ayah yang menderita DA
maka resiko nya menjadi 1,29. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
penurunan DA cenderung bersifat maternal.
Sejak lama telah diketahui keterkaitan antara dermatitis atopic, asma
bronchial, rhinitis alergi, dan peningkatan kadar IgE dalam serum dengan
human leukocyte antigen (HLA) pada kromosom 6 dan lokus yang berbeda.
Hasil penelitian sebagai berikut.
1. Kromosom 5 (interleukin cluster) : banyak penelitian terhadap kromosom
5 memperlihatkan hubungan antara asma, atopi, dan dermatitis atopic

11
dengan 5q23-31 yang merupakan cluster sitokin. Sitokin tersebut adalah
IL-4, IL-13, CD14 antigen dan IL-12B.
2. Kromosom 6-major Histocompatibility Complex (MHC): hasil penelitian
menunjukkan keterikatan antara asma dan atopi dengan gen MHC-II, yaitu
pada alel HLA-DR4 dan DR7.
3. Kromosom 16: telah terditeksi keterkaitan polimorfisme gen IL-4RA
dengan IL-4, IL-13, sitokin Th2, dan IgE dengan fenotip dermatitis atopic
serta asma bronchial.
Tidak semua fenotip DA diekspresikan oleh genotip. Gen
predisposisi atopi pada ras atau Negara tertentu hasilnya bervariasi.
Keadaan ini lazim ditemukan pada pola penurunan yang bersifat
multifactor.
Wollenberg dan Bleiber tahun 2002 mengumpulkan berbagai hasil
penelitian hubungan antara gen yang diduga berperan ( candidate gene)
pada DA dengan regio gen terkait. Publikasi kluken, Weiner dan Bleiber
2003 menyampaikan temuan gen yang diduga berperan pada dermatitis
atopic. Tabel 1. memperlihatkan fenotip sel atau produk yang dihasilkan,
keterkaitan dengan sel atau produk dan regio gen yang berperan pada DA.
Farida Tabri pada disertasinya tahun 2011 membuktikan bahwa
pada pasien DA fase anak, terjadi mutasi gen polimorfisme CTLA-4 dan
penurunan kadar IL-6 dalam serum. Selain itu, tak seorangpun anak
dengan DA yang mengidap cacing usus.

5. Mekanisme Pruritus pada dermatitis atopik


Patofisiologis pruritus pada DA belum diketahui pasti. Pada
umumnya para pakar berpendapat bahwa sensai gatal dan nyeri disalurkan
melalui saraf C tidak bermielin di daerah taut dermoepidermal.
Rangsangan kereseptor gatal tersebut menjalar melalui saraf spinal
sensorik kemudian ke hipotalamus kontra lateral dan selanjutnya ke
korteks untuk di persepsikan.
Rangsangan ringan dan superficial dengan intensitas rendah
menyebabkan rasa gatal, namun bila lebih dalam dan intensitas tinggi

12
dapat menyebabkan sensai nyeri. Pathogenesis DA berkaitan dengan
factor genetic dan hipersesitifitas tipe I fase lambat ( IgE Mediated, late
phase). Namun, kemudian dianggap pada DA dapat terjadi reaksi yang
diperantarai hipersensitifitas tipe IV dan tipe I.
Untuk memahami pathogenesis pruritus pada DA perlu memahami
lebih dulu berbagai factor yang berpengaruh pada DA, antara lain IgE, sel
inflamasi DA, mediator, sitokin, serta factor lain nya. Telah ditemukan
peningkatan kadar histamine dikulit pasien DA, namun peningkatan
tersebut tidak disertai dengan peningkatan didalam darah. Hasil salah satu
penelitian memperlihatkan antihistamin hanya member efek minimal
sampai sedang dalam mengatasi pruritus pada DA. Hal tersebut terjadi
karena mungkin histamine bukan satu – satu nya zat pruritogenik. Perlu
dipikirkan kemungkinan mediator lain yang dikeluarkan oleh sel mas atau
factor non imunologik yang diduga sebagai penyebab pruritus, yaitu zat
tergolong neuropeptida, protease, opoid, eikosanoid, dan sitokin.
Faktor lain penyebab pruritus pada DA :
Berbagai perubahan abnormal pada pasien DA menyebabkan
pruritus dan kelainan kulit, antara lain perubahan respon vascular dan
farmakologik. Demikian pula kulit yang kering pada DA menyebabkan
ambang rangsang gatal lebih rendah. Stimulus ringan (misalnya mekanis,
elektris, termal) dapat menyebabkan pruritus melalui jalur reflex akson
terminal yang mengeluarkan substansi P, sehingga menyebabkan
vasodilatasi atau rangsangan terhadap sel mas. Kulit yang kering
menyebabkan diskontinuitas sel keratosit sehingga bahan pruritogenik
yang dikeluarkan merangsang reseptor dan dapat meningkatkan reaksi
hipersensitifitas kulit.

6.Faktor Psikologis
Pada psikoanalisis didapatkan tingkat gangguan psikis pada DA
tergolong tinggi, antara lain berupa rasa cemas, stress, dan depresi. Rasa
gatal yang hebat memicu garukan yang terus menerus. Sehingga
menyebabkan kerusakan kulit, sebaliknya dengan melihat kerusakan kulit

13
rasa cemas makin meningkat. Rasa cemas bertambah manakala pasien
bertemu dengan saudara, teman disekolah, dan kesukaran menghentikan
garukan. Pasien DA mempunyai kecenderungan bersifat temperamental,
mudah marah, agresif, frustasi dan sulit tidur.2

7.Teori atau hipotesis hygiene


Awalnya diduga infeksi merupakan salah satu pencetus DA atau
sebagai salah satu sumber superantigen ( antara lain sumber endoksin SA).
Jumlah anggota keluarga yangbsedikit menyebabkan sedikit pula pajanan
terhadap infeksi akibat kontak dengan saudara yang lebih tua ( kakak ) disatu
keluarga. Pajanan dini tersebut menyebabkan system imun pada anak
berkembang secara normal, sehingga tubuh membentuk pertahanan imun
selular. Hal tersebut akan meningkatkan kerentanan terhadap alergi sehingga
menurunkan resiko DA. Sampai saat ini hipotesis hygiene masih dalam
penelitian. Beberapa hasil diantaranya masih kontrofersial, termasuk
penelitian probiotik (lakto-bacilus acidophilus) pada pengendalian DA.1,2

2.6 Klasifikasi
Klasifikasi DA umum nya didasarkan atas keterlibatan organ tubuh.
DA murni hanya terdapat dikulit, sedangkan DA dengan kelainan organ lain,
misalnya asma brokial, rhinitis alergi, serta hipersensitifitas terhadap berbagai
allergen polivalen (hirup dan makanan). Bentuk DA murni terdiri atas 2 tipe
yaitu : tipe DA intrinsic dan ekstrinsik. DA intrinsic adalah DA tanpa bukti
hipersensitifitas terhadap allergen polivalen dan tanpa peningkatan kadar IgE
total didalam serum. Tipe ke 2 adalah DA eksternsik, bila terbukti pada uji
kulit terdapat hipersensitifitas terhadap allergen hirup dan makanan.
Klasifikasi yang lebih praktis untuk aplikasi klinis didasarkan atas usia saat
terjadinya DA, yaitu : DA fase infantil, anak dan dewasa.3

a. DA Fase Infantil
DA lebih sering muncul pada usia bayi (2 bulan-2 tahun),
umumnya awitan DA terjadi usia 2 bulan. Tempat predileksi utama

14
diwajah diikuti kedua pipi dan tersebar simetris. Lesi dapat meluas kedahi,
kulit kepala, telinga, leher, pergelangan tangan, dan tungkai terutama
dibagian volar atau fleksor.
Dengan bertambahnya usia, fungsi motoric bertambah sempurna,
anak mulai merangkak dan belajar berjalan, sehingga lesi kulit dpat
ditemukan di bagian ekstensor, misalnya lutut, siku, atau ditempat yang
mudah mengalami trauma. Gambaran klinis pada fase ini lebih mirip
dermatitis akut, aksudatif, erosi, dan ekskoriasi. Karena gatal dan garukan
lesi mudah mengalami infeksi sekunder. Fase infantile dapat mereda dan
menyembuh. Pada sebagian pasien dapat berkembang menjadi fase anak
atau remaja. Pada bayi usia < 1 tahun, bebarapa allergen makanan ( susu
sapi, telur, kacang-kacangan) kadang kadang masih berpengaruh.

Gambar 4. DA pada invantil

Gambar 5. Penyebaran DA invantil

15
b. DA Fase Anak
Pada DA Fase anak ( usia 2-10 tahun) dapat merupakan kelanjutan
fase infantile atau muncul tanpa didahului fase infantile. Tempat predileksi
lebih sering di fossa cubiti dan poplitea, fleksor pergelangan tangan,
kelopak mata dan leher, dan tersebar simetris. Kulit pasien DA dan kulit
pada lesi cendrung lebih kering. Lesi dermatitis cendrung menjadi kronis,
disertai hyperkeratosis, hiperpigmentasi, erosi, ekskoriasi, krusta dan
skuama. Pada fase ini pasien DA lebih sensitive terhadap allergen hirup,
wall dan bulu binatang.

Gambar 6. DA pada anak

c. DA Fase Dewasa dan Remaja


DA fase remaja dan dewasa ( usia >13 tahun ) dapat merupakan
kelanjutan fase infantile atau fase anak. Tempat predileksi mirip dengan
fase anak, dapat meluas mengenai kedua telapak tangan, jari-jari,
pergelangan tangan, bibir, leher bagian anterior, scalp, dan putting susu.
Manifestasi klinis bersifat kronis, berupa plak hiperpigmentasi,
hyperkeratosis, likenifikasi, eskoriasi, dan skuamasi. Rasa gatal lebih
hebat saat istirahat, udara panas, dan berkeringat. Fase ini berlangsung
kronik-residif sampai usia 30 tahun, bahkan lebih.

16
Gambar 7. Predileksi DA pada dewasa

2.7 Manifestasi Klinis


Manifestasi dan tempat predileksi DA pada masing-masing fase dapat
berbeda. Dibandingkan dengan dermatitis lainnya, DA secara subyektif lebih
gatal. Rasa gatal dan garukan yang terus menerus memicu kerusakan barrier
kulit, sehingga memudahkan masukknya allergen dan iritan. Keadaan tersebut
menyebabkan DA sering berulang (kronik-residif). Perjalanan penyakit yang
demikian berdampak gangguan fisik dan emosi pasien, sehingga kualitas
pasien menurun.1,3

2.8 Kriteria diagnosis DA


Diagnosis DA dapat ditegakkan secara klinis dengan gejala utama
gatal, penyebaran simetris di tempat predileksi (sesuai usia), terdapat
dermatitis yang kronik-residif, riwayat atopi pada pasien atau keluarganya.
Kriteria tersebut disebut sebagai kriteria mayor Hanifin-Rajka, untuk
memastikan diagnosis dibutuhkan 3 tanda minor lainnya sebagaimana tertera
pada table 1. khusus pada bayi diagnosis ditegakkan berdsarkan kriteria yang
tertera pada table 2.
Dalam praktik sehari hari dapat digunakan William guna menetapkan
diagnosis DA, yaitu :
I. Harus ada :
Kulit yang gatal (atau tanda garukan pada anak kecil)
II. Ditambah 3 atau lebih tanda berikut :

17
 Riwayat perubahan kulit/ kering di fossa cubiti, fossa poplitea,
bagian anterior dorsum pedis, atau seputar leher ( termasuk kedua
pipi pada anak < 10 tahun)
 Riwayat asma / hay feverpada anak ( riwayat atopi pada anak < 4
tahun pada generasi-1 dalam keluarga)
 Riwayat kulit kering sepanjang akhir tahun
 Dermatitis fleksural ( pipi, dahi, dan paha bagian lateral pada anak <
4 tahun)
 Awitan dibawah usia 2 tahun ( tidak dinyatakan pada anak <4 tahun)
Kriteria William lebih sederhana, praktis, dan cepat, karena tidak
memasukkan bebrapa kriteria minor Hanifin Rajka yang hanya didapatkan
< 50% pasien DA. Kriterea William lebih spesifik, sedangkan kriteria
Hanifin Rajka lebih sensitive.

Tabel 1. Diagnosis DA berdasarkan kriteria Hanifin Rajka


Kriteria Mayor ( harus terdapat 3) Kriteria Minor ( harus 3 atau lebih)
Riwayat dermatitits fleksura Hiperpigmentasi daerah periorbita
Onset< 2 tahun Tanda Dennie-Morgan
Adanya ruam gatal Keratokonus
Riwayat adanya asma Konjungtivitis rekuren
Riwayat kulit kering Katarak subkapsuler anterior
Tampak dermatitits flexsural Cheilitis pada bibir
White dermatographisme
Pitiriasis Alba
Fissura pre aurikular
Dermatitis di lipatan leher anterior
Facial pallor
Hiperliniar palmaris
Keratosis palmaris
Papul perifokular hiperkeratosis
Xerotic
Iktiosis pada kaki

18
Eczema of the nipple
Gatal bila berkeringat
Awitan dini
Peningkatan Ig E serum
Reaktivitas kulit tipe cepat (tipe 2)
Kemudahan mendapat infeksi
Stafilokokus dan Herpes Simpleks
Intoleransi makanan tertentu
Intoleransi beberapa jenis bulu binatang
Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor
lingkungan dan emosi
Tanda Hertoghe ( kerontokan pada alis
bagian lateral).

Gambar 8. Gambaran Kriteria Minor pada Dermatitis Atopik

Tabel 2. Kriteria Hanifin dan Rajka untuk Bayi1,2


Kriteria Mayor Kriteria Minor
Riwayat keluarga Dermatitis Atopi Xerosis/Iktiosis/hiperlinear Palmaris
Dermatitis dengan tanda gatal Aksentuasi perifolikular
Dermatitis yang typical facial atau Fisura belakang telinga
eczematous ekstensor atau dermatitis Skuama di scalp kronis
likenifikasi

19
Diagnosa bisa ditegakkan bila ada sedikitnya 2 gambaran pada kriteria mayor atau
1 gambaran pada kriteria mayor plus 1 gambaran pada kriteria minor.

Derajat Keparahan Dermatitis Atopik

Guna menilai drajat sakit, Hanifin dan Rajka membuat skoring untuk
drajat sakit seperti dicantumkan pada table berikut :
No Kondisi Ciri-ciri Skor
1 Luas Penyakit a.Fase anak
- Kurang dari 9% luas tubuh 1
- Sekitar 9-36% luas tubuh 2
- Lebih dari 36 persen luar tubuh 3
b.Fase Invantil
- Kurang dari 18% luas tubuh 1
- Sekitar 18-54% luas tubuh 2
- Lebih dari 54 persen luar tubuh 3
2 Kekambuhan - Lebih dari 3 bulan remisi/tahun 1
- Kurang dari 3 bulanremisi/tahun 2
- Terus menerus 3
3 Intensitas - Gatal ringan, kadang 1
mengganggu tidur dimalam
hari 2
- Gatal sedang, sering
mengganggu tidur malam hari
(tidak terus menerus) 3
- Gatal hebat mengganggu tidur
sepanjang malam(terus-
menerus)
Penilaian skor :
 3-4 Ringan
 5-7 Sedang
 8-9 Berat

20
Cara lain menilai drajat sakit, yaitu dengan kriteria Nothingham Eczema
Severuty Score (NESS). Hasil penelitian Prevention of Atopi among Children in
Torndhein (PACT) memperlihatkan bahwa lebih dari 70% anak. DA yang
didiagnosis dengan kriteria UK Working Party, menderita DA ringan baik dengan
cara NESS maupun SCORAD.

Indeks SCORAD
a. Penilaian luas penyakit :
Dihitung menggunakan system rule of nine. Pada anak usia
dibawah 2 tahun, wajah dan kepala masing-masing dihitung 8,5% dan
kedua ektremitas masing-masing 6%. Sedangkan pada orang dewasa
wajah dan kepala masing-masing dinilai 4,5 dan kedua ekstremitas bawah
masing-masing dinilai 9%.

b. Penilaian intensitas :
Parameter yang dinilai adalah morfologi pada kulit dengan
dermatitis, yaitu eritema, edema, atau papul, eksudat atau krusta,
ekskoriasi, likenifikasi. Setiap lesi dinilai sebagai beriku : 0 bila tidak ada,
1 bila ringan, 2 bila sedang, 3 bila berat. Tidak ada nilai ½ atau 0,5.
Sedangkan untuk kulit kering yang dinilai adalah kulit diluar kelima lesi.
Intensitas morfologi dinilai oleh 2 orang pengamat dengan variasi
(perbedaan) penilaian yang tidak bermakna. Standar penilaian intensitas
pada SCORAD adalah foto atau slide foto pasien.
c. Penilaian subjektif :
Dilakukan terhadap rasa gatal dan gangguan tidur. Untuk kedua
parameter tersebut pasien diminta menilai dengan menggunakan Visual
Analog Scales dari 0 sampai dengan 10. Penilaian berdasarkan kesimpulan
analogi drajat rasa gatal dan tidak bias tidur selama 3 hari atau 3 malam
terakhir. Untuk anak usia dibawah 7 tahun pemberian nilai tidak dapat
dipercaya, sehingga tidak ikut dinilai.
d. Total nilai indeks SCORAD : ditetapkan dengan menggunakan rumus :
A/5+7B/2+C.

21
Untuk penilaian drajat sakit dapat dipakai skor atopic dermatitis
(SCORAD). Penentuan indeks SCORAD tidak sederhana. Para pakar
dermatitis atopic. Di Europa Telah mengadakan rapat kerja dan pelatihan
untuk menyusun satu panduan cara menilai drajat sakit DA. Secara klinis
lesi DA dinilai dengan menggunakan acuan foto/slide berwarna pasien
DA. Untuk akurasi penilaian diperlukan pendapat dari 2 orang penilai
yang menilai masing-masing lesi. Penilaian kedua orang tersebut tidak
berbeda makna.
SKORING DERMATITIS ATOPIK (SCORAD)

Sumber: Linuwih, Sri. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi VII. Balai
Penerbit FK UI, Jakarta, 2015.

22
2.9 Diagnosis Banding
Fase Bayi : Dermatitis Seboroik, Psoriasis, Dermatitits Popok
Fase Anak : Dermatitis Numularis, Dermatitis Intertriginosa, Dermatitis
Kontak, dan Dermatitis traumatika.
Fase Dewasa : Neurodermatitis, atau likensimpleks kronikus.1,3

2.10 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang hanya dilakukan bila ada keraguan klinis.
 Peningkatan kadar IgE dalam serum juga dapat terjadi pada sekitar
15% orang sehat, demikian pula kadar eosinophil, sehingga tidak
patognomonik.
 Uji kulit dilakukan bila ada dugaan pasien alergik terhadap debu atau
makanan tertentu, bukan untuk diagnostic.
 Dermatografisme putih, untuk melihat perubahan dari rangsangan
goresan terhadap kulit. Penggoresan pada kulit normal akan
menimbulkan tiga respon yakni berturut-turut akan terlihat: Garis
merah ditempat penggoresan selama 15 detik, warna merah
disekitarnya selama beberapa detik, edema timbul setelah beberapa
menit. Penggoresan pada penderita yang atopi akan bereaksi belainan.
Garis merah tidak disusul warna kemerahan, tetapi kepucatan selama 2
detik sampai 5 menit, sedangkan edema tidak timbul. Keadaan ini
disebut dermatografisme putih.
 Percobaan asetyl kolin akan menimbulkan vasokonstriksi kulit yang
tampak sebagai garis pucat selama 1 jam.Suntikan secara intra kutan
solusio asetilkolin 1/5000 akan menyebabkan hyperemia pada orang
normal. Pada orang dengan dermatitis atopi akan timbul vasokonstriksi
terlihat kepucatan selama satu jam

23
2.11 Penatalaksanaan
1. Umum
 Memberikan informasi dan edukasi kepada orang tua, para
pengasuh, keluarga dan pasien tentang DA. Jelaskan bahwa
penyakit ini berulang.
 Pengobatan hanya sebatas mengurangi gejala.
 Identifikasi dan singkirkan faktor yang memperberat misalnya
sabun dan deterjen, kontak dengan bahan kimia, pakaian kasar,
pajanan terhadap panas atau dingin yang ekstrim.
 Bila memakai sabun hendaknya yang berdaya larut minimal
terhadap lemak dan mempunyai PH netral.
 Pakaian baru sebaiknya dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai
untuk membersihkan bahan kimia tambahan.
 Hindari stress.
 Pada bayi perhatikan kebersihan bokong dan genitalia, popok sering
diganti bila basah atau kotor.
 Lindungi daerah yang terkena terhadap garukan agar tidak
memperparah keadaan penyakit.
 Mandi dengan pembersih yang mengandung pelembap, hindari
pembersih yang mengandung antibakteri.
 Usahakan untuk tidak memakai pakaian yang bersifat iritan.3,4

2. Pengobatan Topikal
a. Pelembab
Pelembab berfungsi memulihkan disfungsi sawar kulit. Pelembab
biasanya merupakan emulsi minyak dalam air (oil in water) seperti lotion
atau emulsi air dalam minyak (water in oil) seperti krim. Tipe utama
pelembab terdiri dari oklusif dan humektan, pelembab yang baik terdiri dari
dua tipe tersebut. 3,4
- Bahan Oklusif
Pelembab golongan ini bersifat untuk oklusif atau membentuk
lapisan yang mempunyai kemampuan untuk mengganti lapisan hidrofilik

24
alamiah, sehingga mengurangi TEWL. Preparat tersebut biasanya dikenal
sebagai emolien.
Emolien membentuk sawar lipid yang mencegah penguapan air
dari permukaan kulit dan memperbanyak akumulasi air dalam lapisan
tanduk yang berasal dari lapisan di bawahnya. Efek melembabkan juga
mengubah sifat biofisik stratum korneum secara nyata. Efek maksimum
terjadi 30 menit hingga 1 jam setelah penggunaan dan bertahan hingga lebih
dari 4 jam. Bahan oklusif yang umum digunakan antara lain : lemak
hewani, minyak tumbuhan, minyak mineral dan lilin lemak.
- Humektan
Humektan adalah suatu bahan yang bersifat larut dalam air dan
mempunyai kemampuan tinggi menyerap air. Humektan dapat menyerap air
dari sekeliling dan dari epidermis di bawah lapisan korneum. Kemampuan
humektan menyerap air dari sekeliling hanya dapat dilakukan bila
kelembapan lingkungan sekeliling mencapai 80%. Sebaiknya pemakaian
humektan dikombinasi dengan emolien sehingga dapat mencapai efek
maksimal.
Oleh karena humektan mempunyai kemampuan menyerap air
maka terjadi pembengkakan ringan pada lapisan korneum, perubahan ini
akan memberikan sensasi kulit yang halus dan tidak keriput. Humektan
terdiri atas :
1. Natural moisturizing factor (NMF), merupakan substansi larut dalam air,
bersifat higroskopis pada stratum korneum. Substansi ini berperan penting
dalam menahan air pada stratum korneum, contohnya: Asam amino
pirolidon dan urea.
2. Polyol, terdiri dari sejumlah molekul hidroksil yang bersifat higroskopis,
bahannya antara lain: Gliserin, sorbitol, propilen glikol
3. Molekul makro adalah bahan yang termasuk hidrofilik, memiliki bentuk
molekul yang besar sehingga tidak dapat berpenetrasi ke dalam stratum
korneum, tetpa dapat membentuk suatu lapisan permukaan yang
semipermeabel seperti :Asam hialuronat dan kondroitin sulfat

25
4. Liposom merupakan vesikel kecil yang berdiameter 50-500nm yang
dikelilingi oleh satu atau beberapa membran biologikal. Bentuk liposom
yang khusus disebut niosom. Sekarang, fosfolipid digantikan dengan bentuk
sintetiknya yakni non-ionic amphiphilic lipids yang memiliki afinitas tinggi
terhadap stratum korneum dan meningkatkan kekuatan hidrasi.
Pada penderita dermatitis atopic dengan keadaan kulit yang kering
dapat diberikan pelembap berupa hidrofilik urea 10% dapat pula
ditambahkan hidrokortison 1%. Setelah mandi kulit dilap, kemudian
memakai emolien agar kulit tetap lembab. Pemakaian pelembab dilakukan
secara teratur selama 2 kali sehari. Pelembab senantiasa diberikan walaupun
tanpa gejala DA.

a. Kortikosteroid Topikal
Kortikosteroid topikal adalah terapi first line untuk D.A. Terapi
ini berperan sebagai anti inflamasi, anti proliferasi dan imunosupressan.
Kortikosteroid topikal digunakan pada area kulit yang inflamasi sebelum
menggunakan emolien. Untuk pengobatan yang hendaknya memperhatikan
lokasi anatomis, luas area diobati, potensi kortikosteroid yang digunakan
termasuk jenis konsentrasinya vehikulum frekuensi pengolesan dan lama
pemakaiannya. Bila penggunaan kortikosteroid tersebut dilakukan dengan
benar, diharapkan dapat mengurangi terjadinya efek samping. Efek samping
lokal penggunaan kortikosteroid diantaranya adalah striae, ptekie,
telengangiektasis, penipisan kulit, atropi dan jerawat. Bagaimanapun, efek
ini tidak terjadi pada penggunaan sediaan steroid potensi lemah atau sedang.
Efek sistemik jarang terjadi pada penggunaan kortikosteroid topikal, tapi
kemungkinan termasuk retardasi pertumbuhan pada anak-anak,
pengurangan kepadatan tulang dan supresi HPA axis. Penelitian terbaru
menemukan bahwa penggunaan metilprednisolon(0,1% cream) ditambah
emolien mengurangi resiko kekambuhan.
 Bayi dan anak : dianjurkan pemilihan kortikosteroid golongan
VII-IV. Pada DA fase bayi / anak yang ringan dapat dimulai

26
dengan kortikosteroid golongan VII, minsalnya hidrokortikon
krim 1-2 ½ %, metil prenisolon atau fumetason.
 Pada DA derajat sedang digunakan kortikostreroid golongan VI,
minsalnya desenoid, triamsinolon, asetonid, prednikarbat,
hidrokortison butirat, fusinolon asetonid.
 Pada DA yang berat digunakan kortikosteroid golongan V,
minsalnya flutikason, betametason 17 valerat atau golongan IV,
yaitu mometason furoat atau aklometason.
Pasien harus diberitahu cara penggunaan kostikosteroid topikal
untu menghindari efek samping. Kortikosteroid kuat tidak boleh pada
wajah, genital, dan area intertriginous. Kortikosteroid lemah bisa digunakan
pada area-area ini.

Tabel 3. Pemilihan kortikosteroid berdasarkan stadium DA4


Stadium DA Morfologi klinis kortikosteroid Bahan vehikulum
1. Stadium akut : • Eritem, vesikel, • Potensi ringan • Krim o/w
fase infantil erosi, ekskoriasi (VII-VI)
(tampak
eksudatif)
2. Stadium • Eritem ringan, • Potensi sedang • Krim o/w atau
subakut : fase erosi, skuama, (V-IV) w/o
anak dan krusta
3. Stadium kronis: • Hiperpigmentasi • Potensi kuat atau • Salap, salap
fase dewasa hiperkeratosis sangat kuat berlemak, atau
dan likenifikasi (III,II,I) gel, propilen
glikol, asam
salisilat >3%

27
b. Obat penghambat kalsineurin
TCI adalah imunosupresan yang menunjukkan efektifitas terhadap
terapi DA. Ada 2 macem TCI yaitu pimekrolimus dan takrolimus. adalah
alternatif second line setelah kortikosteroid topikal. Digunakan pada DA
sedang-berat, atau pada pasien yang kena pada area sensitif (misalnya sekitar
mata, wajah, leher atau genital) dimana bisa terjadi resiko atropi dengan
penggunaan topikal kortikosteroid. Efek samping lokal yang paling banyak
dari penggunaan TCI adalah kulit seperti terbakar dan iritasi. Jarang terjadi
keganasan pada kulit akibat penggunaan obat ini.
 Takrolimus
Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurin, dapat
diberikan dalam bentuk salep 0,03% untuk anak usia 2-15 tahun, untuk
dewasa 0,03% dan 0,1%. Takrolimus menghambat aktivasi sel yang terlibat
dalam D.A. yaitu: sel langerhans, sel T, sel mas, dan keratinosit. Pada
pengobatan jangka panjang dengan salep takrolimus, koloni S.Aureus
menurun. Tidak ditemukan efek samping kecuali rasa seperti terbakar
setempat. Tidak menyebabkan atrofi kulit seperti pada pemakaian
kortikosteroid; dapat digunakan di muka dan kelopak mata.Takrolimus lebih
efektif dibandingkan pimekrolimus.
 Pimekrolimus
Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin yaitu
imunomodulator golongan makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil
fermentasi Streptomyces hygroscopicus var. Ascomyceticus. Cara kerja
sangat mirip siklosporin dan takrolimus, walaupun ketiganya berbedadalam
struktur kimianya, yaitu bekerja sebagai prodrug, yang baru menjadi aktif bila
terikat pada reseptor sitosilik imunofilin. Reseptor imunofilin untuk
askomisin ialah makrofilin-12. Ikatan askomisin pada makrofilin 12 dalam
sitoplasma sel T, akan menghambat calcineurin (suatu molekul yang
dibutuhkan untuk inisiasi transkripsi gen sitokin), sehingga poduksi sitokin
TH1 (IFN-ɤ dan IL2) dan TH2 (IL4 dan IL10) dihambat. Askomisin juga
menghambat aktivasi sel mas. Askomisin menghasilkan efek imunomodulator
lebih selektif dalam menghambat fase elisitasi dermatitis kontak alergi , tetapi

28
respon imun primer tidak terganggu bila diberikan secara sistemik tidak
seperti takrolimus dan siklosporin.
Derivat askomisin yang digunakan ialah krim SDZ ASM 981
konsentrasi 1% mempunyai efektivitas sama dengan krim klobetasol 17
propionat 0,05% (steroid superpoten), tidak menyebabkan atrofi kulit
(setidaknya selama 4 minggu), aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit
yang sensitif misalnya pada muka dan lipatan. Cara pemakaian dioleskan 2
kali sehari.
Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia
kurang dari 2 tahun. Penderita yang diobati dengan pemikrolimus dan
takrolimus dinasehati untuk memakai pelindung matahari karena ada dugaan
bahwa kedua obat tersebut berpotensi menimbulkan kanker kulit.

3. Pengobatan sistemik
Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal
yang hebat, terutama malam hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena
itu antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai efek sedatif, misalnya
hidroksisin atau difenhidramin. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan
doksepin hidroklorid yang mempunyai antidepressan dan memblokade
reseptor histamin H1 dan H2, dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral
malam hari pada orang dewasa.
o Dipenhydramine HCl i.m
 Dewasa : 10-20mg/dosis, sehari 3 kali
 Anak : 0,5mg/kg/dosis, sehari 3 kali
o Chlorpheniramine maleat
 Dewasa : 3-4mg/dosis, sehari 3 kali p.o
 Anak-anak : 0,09mg/kg/dosis, sehari 3 kali p.o
o Cetirizine 10mg/dosis, sehari 1 kali p.o
o Loratadine 10mg/dosis, sehari 1 kali p.o.
Antihistamin yang berefek sedasi optimal dipakai pada malam hari
karena anti pruritus dan efek sedasi mereka. Cetirizine juga efektif untuk

29
menangani gatal akibat D.A. pada anak-anak dan dewasa. Ini biasanya
digunakan jika AH1 tidak adekuat untuk menangani gatalnya.

4. Diet makanan pada anak dengan dermatitis Atopi


Khususnya pada bayi atau anak < 1 tahun, allergen makanan lebih
berpengaruh pada allergen debu rumah. Perlu bukti korelasi riwayat alergi
makanan dengan kekambuhan lesi. Alergen makanan yang sering dilaporkan
berupa telur, susu sapi, ikan, kacang- kacangan, gandum, tomat dan jeruk,
bahan pewarna, dan penyedap serta aditif lainnya. Pemberian makanan tersebut
ditunda, dihentikan, dilakukan diet terpimpin, atau ditukar dengan makanan
pengganti, misalnya susu sapi diganti dengan susu kedelai (soya). Perlu
dimonitor kolerasi antara diet dengan perbaikan lesi klinis. Air susu ibu (ASI)
ekslusif dan keterlambatan pemberian makanan padat pada bayi DA dapat
mencegah alergi terhadap makanan.
5. Obat Imunosupresi pada DA anak
Obat imunosupresi sitemik pada DA, merupakan obat pilihan terakhir.
Penggunaan kortikosteroid jangka panjang umumnya menimbulkan efek
ketergantungan obat dan penekanan siklus HPA. Penggunaan kortikosteroid
sistemik dibatasi penggunaanya pada kasus akut dan berat serta diberikan
untuk jangka waktu singkat.

30
ALGORITME PENATALAKSANAAN DERMATITIS ATOPIK
(ICCAD II)
Penilaian awal riwayat penyakit, luas dan derajat penyakit
Termasuk penilaian efek psikologis, pengaruh kepada keluarga

Pelembab, edukasi

Mengatasi pruritus dan


inflamasi akut
 Kortikosteroid topikal atau Terapi ajuvan
Remisi penyakit
(tidak ada tanda  Penghambat kalsineurin
Hindari faktor-
dan gejala) topikal Pimekrolimus 2 kali
faktor pencetus
sehari atau Takrolimus 2 kali
sehari
Infeksi bakterial:
antibiotik oral
dan atau topikal
Terapi pemeliharaan Infeks viral:
Untuk penyakit persisten dan atau sering terapi antiviral
kambuh
 Pada tanda dini rekurensi gunakan Intervensi
penghambat kalsineurin topikal untuk psikologis
mencegah progresivitas penyakit
Pimekrolimus mengurangi terjadinya flare Antihistamin
 Penggunaan penghambat kalsineurin
topikal jangka waktu lama untuk
pemeliharaan
 Kortikosteroid topikal secara intermiten.

Penyakit berat dan refrakter


 Fototerapi
 Kortikosteroid topikal poten
 Siklosporin
 Metotreksat
 Kortikosteroid oral
 Azatioprin
 Psikoterapi

Sumber: Linuwih, Sri. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi VII.
Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2015.

31
6. Terapi sinar (phototherapy)
Untuk D.A. yang berat dan luas dapat digunakan PUVA
(Photochemotherapy) seperti yang dipakai pada psoriasis. Terapi UVB
atau Goeckerman dengan UVB dan ter juga efektif. Kombinasi UVB dan
UVA lebih baik daripada hanya UVB. UVA bekerja pada sel langerhans
dan eosinofil, sedangkan UVB mempunyai efek imunosupresif dengan
cara memblokade fungsi sel Langerhans dan mengubah produksi sitokin
keratinosit.
UVB, UVA, NB-UVB, UVA-1 dan kombinasi UVA-B
phototerapy dapat dijadikan terapi tambahan pada D.A. UVA biasa
digunakan pada pasien D.A. berat dan lesi yang luas. Efek samping jangka
pendek termasuk eritema, nyeri pada kulit, gatal, dan pigmentasi.
Sedangkan efek jangka panjang termasuk penuaan kulit dini dan
malignansi.
Jika terapi topikal tidak bisa mengontrol D.A., phototerapy adalah
pilihan selanjutnya. Narrow-band UVB(NB-UVB) adalah yang paling
efektif. Ketika terjadi inflamasi yang akut pasien D.A. kemungkinan tidak
bisa mentolerir terapi ini. Pasien dengan eritema harus mengunakan UV
dengan dosis yang sangat rendah untuk menghindari iritasi dan perburukan
D.A. nya. Pada inflamasi yang akut UVA bisa digunakan. Pada pasien
yang gagal menggunakan NB-UVB bisa menggunakan PUVA. Kombinasi
tar dan UVB berefek baik terhadap lebih dari 90% pasien dan
memperlama waktu remisi.5

2.12 Komplikasi
DA yang mengalami perluasan dapat menjadi eritroderma. Atrofi
kulit (striae atrofikan) dapat terjadi akibat pemberian kortikosteroid jangka
panjang.5

2. 13 Prognosis
Sulit meramalkan prognosis D.A. pada seseorang. Prognosis lebih
buruk bila kedua orangtuanya menderita D.A.Ada kecenderungan perbaikan

32
spontan pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja.
Sebagian kasus menetap pada usia di atas 30 tahun. Penyembuhan spontan
D.A. yang diderita sejak bayi pernah dilaporkan terjadi setelah umur 5 tahun
sebesar 40-60%, terutama kalau penyakitnya ringan. Sebelumnya juga ada
yang melaporkan bahwa 84% D.A. anak berlangsung sampai masa remaja.
Ada pula laporan, D.A. pada anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja,
20% menghilang, dan 65% berkurang gejalanya. Lebih dari separo D.A.
remaja yang telah diobati kambuh kembali setelah dewasa.
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik D.A. yaitu:
 D.A. luas pada anak
 Menderita rinitis alergik dan asma bronkial
 Riwayat D.A. pada orang tua atau saudara kandung
 Awitan (onset) D.A. pada usia muda
 Anak tunggal
 Kadar IgE serum sangat tinggi
Diperkirakan 30 hingga 50 persen D.A. infantil akan berkembang
menjadi asma bronkial atau hay fever. Penderita atopi mempunyai risiko
menderita dermatitis kontak iritan akibat kerja di tangan.5

33
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Penderita


Nama : An. W
Umur : 13 tahun
Jenis kelamin : Laki – laki
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Bukittinggi
Status : Belum menikah

3.2 Anamnesa
Anamnesis dilakukan dengan cara autoanamnesa dan alloanamnesa
pada tanggal 31 Agustus 2018 di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD. Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi.

Keluhan utama
Timbul bercak merah gatal pada kedua lipatan siku sejak 6 bulan yang
lalu.

Riwayat penyakit sekarang :


• Awalnya berupa bintik – bintik merah kemudian melebar disertai rasa
gatal.
• Gatal terasa hebat terutama pada waktu siang saat berkeringat dan
malam saat mau tidur.
• Gatal muncul saat pasien mengkonsumsi telur dan ayam

Riwayat Penyakit Dahulu :


• Pasien belum pernah mengalami penyakit ini sebelumnya
• Pasien sering bersin di pagi hari dan mata sering berair jika terlalu
lelah.

34
Riwayat Penyakit Keluarga
• Kakak pasien pernah mengeluhkan penyakit yang sama seperti pasien
• Ayah pasien menderita asma

Riwayat pengobatan
Pasien sudah berobat ke puskesmas dan mendapat obat tablet dan cream.
Penyakit membaik, tapi kemudian kambuh lagi.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
• Keadaan umum : Baik
• Kesadaran : Compos mentis
• Kepala : Normochepal
• Leher : Dalam batas normal
• Thorax : Dalam batas normal
• Abdomen : Dalam batas normal
• Ekstremitas : Dalam batas normal
• Genitalia : Dalam batas normal

Status Dermatologis
Lokasi : Kedua lipatan siku
Distribusi : Simetris bilateral
Bentuk : Tidak khas
Susunan : Tidak khas
Ukuran : Melier dan lentikuler
Efloresensi : Tampak papul eritem, skuama, makula eritem, krusta.

35
Status Venereologikus
Kelainan selaput : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan kuku : Kuku dan jaringan sekitar kuku tidak
ditemukan kelainan
Kelainan rambut : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan kelenjar limfe : Tidak terdapat pembesaran KGB

3.4 Diagnosa Kerja:


Dermatitis Atopi

3.5 Diagnosa Banding :


Dermatitis kontak alergi

3.6 Pemeriksaan anjuran :


• Prick test
• Pemeriksaan IgE spesifik
• Pemeriksaan eosinofil ( hitung jenis )

3.7 Penatalaksanaan
A. Umum
• Memberikan informasi dan edukasi kepada orang tua, para
pengasuh, keluarga dan pasien tentang DA. Jelaskan bahwa
penyakit ini berulang.

36
• Pengobatan hanya sebatas mengurangi gejala.
• Identifikasi dan singkirkan faktor yang memperberat misalnya
sabun dan deterjen, kontak dengan bahan kimia, pakaian kasar,
pajanan terhadap panas atau dingin yang ekstrim.
• Bila memakai sabun hendaknya yang berdaya larut minimal
terhadap lemak dan mempunyai PH netral.
• Pakaian baru sebaiknya dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai
untuk membersihkan bahan kimia tambahan.
• Hindari stress.
• Lindungi daerah yang terkena terhadap garukan agar tidak
memperparah keadaan penyakit.
• Mandi dengan pembersih yang mengandung pelembap, hindari
pembersih yang mengandung antibakteri.

B. Khusus
1. Topikal
Kortikosteroid : Metilprednisolon (0,1% cream) 2x1

2. Sistemik
• Cetirizine 10mg 1x1

3. Pelembab
Hidrofilik urea cream 10 % 2x1 setelah mandi

37
RSUD dr. Acmad Mochtar Bukittinggi
Ruangan/Poliklinik: Kulit Dan Kelamin
Dokter: dr. A
SIP No: 3001/SIP/2016

Bukit Tinggi, 31 Agustus 2018


R/Metilprednisolon 0,1% tube No.I
SUE
R/ Cetirizine tab 10 mg No. VII
S1 dd tab 1
R/ Hidrofilik urea cream 10% No I
SUE (setelah mandi)

Pro : An. W
Umur :13 tahun
Alamat : Bukittinggi

3.8 Prognosis
 Quo ad vitam : Bonam
 Quo ad sanationam : Bonam
 Quo ad Kosmetikum : Dubia ad Bonam
 Quo ad fungtionam : Bonam

38
BAB IV
PENUTUP

Dermatitis atopic (DA) adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang


kronis residif, disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu terutama di
wajah pada bayi (fase infantile) dan bagian fleksura ekstremitas (pada fase anak).
Patogenesis DA sangat kompleks, melibatkan unsur alergi-imunologik dan
non-imunolgik. Factor endogen berupa disfungsi sawar kulit sangat berperan
penting karena memungkinkan penetrasi allergen maupun iritan. Pola pewarisan
genetic multifactor menunjukkan banyak gen yang terlibat dan berperan pada DA.
Alel pada region gen tertentu berkaitan erat dengan fenotip sel dana tau produk
(sitokin/mediator) yang dihasilkan. Factor psikologis merupakan factor yang
dapat memicu atau sebagai dampak perjalanan penyakit DA yang kronik residif
serta mengganggu estetika. Pasien umumnya agresif disertai stress ringan sampai
berat. Patogenesis penting dipahami agar dapat menangani DA secara lebih tepat.
Pengobatan holistic dan komprehensif meliputi medikamentosa dan non
medikamentosa, antara lain menghindari penyebab, memperbaiki sawar kulit,
pruritus dan inflamasi. Konseling perlu dilakukan pada DA yang rekalsitran guna
meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Sri Linuwih SW Menaldi. (2016). Dermatitis Atopi.. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi Ketujuh. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
2. Mansjoer Arif. Dermatitis Atopi dalam Kapita Selekta Jilid 2 edisi III. Media
Aesculaplus. FKUI, Jakarta, 2001
3. Natalia . (2011) . Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian
Berkelanjutan. Perkembangan Terkini Pada Terapi Dermatitis Atopik. Vol.
61, 299-304.
4. S.Siregar. 2014. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 3. Penerbit
Buku Kedokteran : EGC. Jakarta
5. Sularsito, Sri Adi dan Suria Djuanda. (2011). Dermatitis. In Djuanda, Adhi
dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keenam. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 138-147.

40

Anda mungkin juga menyukai