Anda di halaman 1dari 7

SISTEM PEMBERIAN SKOR DI UNIT PERAWATAN INTENSIF

Peran sistem pemberian skor pada kedokteran telah dikenal sejak tahun
1950-an. Saat ini terdapat banyak sistem pemberian skor untuk disfungsi organ,
keadaan penyakit, trauma, dan penyakit kritis. Sistem skor yang baru sedang
dikembangkan secara baik dan sistem yang lama telah ditetapkan kembali.
Penggunaan yang meluas ini berkaitan dengan perannya dalam komunikasi, audit
dan penelitian serta manajemen klinis pasien.
Sistem pemberian skor secara teori dapat dibentuk dari banyak tipe
variabel. Namun, untuk dapat berguna secara klinis, sistem pemberian skor harus
memiliki sifat prediktif, dan informasinya harus tidak ambigu, dapat dipercaya
dan mudah untuk ditentukan dan dikumpulkan. Idealnya variabel ini harus dicatat
atau diukur dengan sering. Variabel-variabel dapat dipilih dengan menggunakan
penilaian klinis dan pengenalan hubungan fisiologis, atau dengan menggunakan
pencarian data yang terkomputerisasi yang dikumpulkan dari database pasien dan
mengaitkannya dengan outcome. Variabel-variabel ini kemudian ditetapkan dalam
suatu beban yang berkaitan dengan kepentingannya terhadap kekuatan prediktif
sistem pemberian skor kembali dengan dengan apakah itu relevansi klinis atau
dari database yang terkomputerisasi.
Analisis regresi logistik, suatu prosedur statistik multivariat, digunakan
untuk mengonversi skor menjadi probabilitas yang diprediksi untuk outcome yang
diukur, biasanya berupa morbiditas dan mortalitas, dengan menggunakan database
pasien yang cocok untuk sistem pemberian skor yang dikembangkan. Terakhir
sistem pemberian skor harus divalidasi pada populasi pasien yang terlepas dari
mereka yang digunakan untuk mengembangkan sistem pemberian skor.
Pasien membentuk suatu populasi yang heterogen dan berbeda dari banyak
aspek termasuk usia, status kesehatan sebelumnya, alasan untuk rawat inap dan
tingkat keparahan penyakit. Ketika membandingkan pasien pada perawatan
intensif untuk tujuan penelitian atau audit, seringkali sulit untuk menstandarkan
untuk seluruh variabel fisiologis karena keberagaman pasien dan kondisi mereka.
Sistem pemberian skor oleh karena itu digunakan untuk menstandarkan variabel

1
fisiologis, usia dan alasan rawatan, yang memungkinkan dilakukannya
perbandingan antara pasien dengan tingkat keparahan penyakit yang berbeda.
Pada sebagian besar sistem pemberian skor, skor yang tinggi
mencerminkan pasien yang lebih sakit dibandingkan dengan seseorang dengan
skor yang lebih rendah (dengan pengecualian yang diberikan pada Glasgow Coma
Scale), namun skor tidak selalu mengikuti skala linear. Oleh karena itu seorang
pasien dengan skor sebesar 20 tidak selalu dua kali lipat lebih sakit dan tidak pula
mengalami peluang yang dua kali lipat lebih besar untuk meninggal dibandingkan
pasien dengan skor 10. Namun, dengan menggunakan regresi logistic
memungkinkan untuk memunculkan skor probabilitas morbiditas, atau mortalitas
di rumah sakit.

A. Audit
Kegunaan sistem pemberian skor yang paling sering adalah untuk
audit. Hal ini memungkinkan ICU untuk menilai kinerja mereka
dibandingkan dengan unit lain dan juga kinerja mereka dari tahun ketahun.
Jika ICU merawat pasien yang tidak terlalu sakit, maka mortalitas aktual
mereka pada unit tersebut akan lebih rendah dibandingkan pada unit yang
merawat pasien yang sangat sakit dan oleh karena itu akan sulit untuk
membandingkan kinerja dua unit tersebut. Hal ini telah mengarahkan pada
perbandingan mortalitas aktual dengan mortalitas yang diprediksi. Rasio
mortalitas aktual terhadap yang diprediksi memberikan suatu angkat untuk
rasio mortalitas standar (SMR). Oleh karena itu ICU dengan SMR sebesar
kurang dari 1 secara teoritis memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan
yang diperkirakan dan unit dengan SMR sebesar lebih dari 1 memiliki kinerja
yang lebih buruk dibandingkan yang diperkirakan. SMR oleh karena itu dapat
digunakan untuk membandingkan kinerja diantara unit. Dan juga jika tingkat
keparahan penyakit pasien berbeda-beda, atau jika tipe pasien yang dirawat
dari tahun ke tahun berbeda, SMR dapat digunakan untuk menilai kinerja unit
dari waktu ke waktu. Signifikansi klinis SMR yang bebeda dapat dievaluasi
dengan menggunakan interval kepercayaan.

2
B. Penelitian
Kebergaman pasien dan patologi yang berbeda di ICU menjadikan
perbandingan diantara penatalaksanaan atau prosedur sulit untuk dilakukan.
Sistem pemberian skor dapat digunakan untuk menyesuaikan perbedaan
dalam campuran kasus pada pasien yang direkrut untuk uji klinis, sehingga
jika intervensi digunakan pada semua pasien, sistem pemberian skor dapat
menstandardisasi untuk heterogenisitas apapun diantara kelompok sebelum
intervensi dimulai. Stratifikasi resiko kematian juga dapat berasal dari sistem
pemberian skor, yang memungkinkan penelitian pada subkelompok pasien
yang berbeda di ITU, dan memungkinkan peneliti untuk menilai respon
terhadap intervensi pada pasien-pasien dengan resiko mortalitas yang
berbeda.

C. Manajemen Klinis
Sebagaimana dengan menghitung derajat kelainan fisiologis atau
intervensi klinis, dan mempromosikan komunikasi yang lebih baik diantara
dokter, sistem pemberian skor juga dapat digunakan untuk memandu
manajemen pasien. Beberapa sistem pemberian skor memberikan penilaian
ulang sekuensial terhadap mereka sendiri dan oleh karena itu dapat digunakan
untuk memantau kemajuan pasien dari waktu ke waktu. Dan juga, karena
sebagian besar penelitian yang dilakukan di ICU menggunakan sistem
pemberian skor, rekomendasi dari penelitian kadangkala dapat diterapkan
pada sekelompok pasien dengan tingkat keparahan skor penyakit didalam
rentang tertentu. Hal ini memungkinkan terapi dapat diarahkan dengan sesuai
kepada pasien dengan tingkat keparahan penyakit yang sesuai. Karen
sebagian besar sistem pemberian skor ITU bisa memberi penilaian resiko
kematian mereka juga dapat digunakan untuk memicu rawat inap ke tempat
dengan dependensi yang tinggi atau perawatan intensif.

3
D. Sistem pemberian skor di ICU
Sistem pemberian skor seringkali diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok: (1) Anatomis (misalnya, skor tingkat keparahan cedera); (2)
fisiologis (misalnya, GCS), dan terapeutik (misalnya, sistem pemberian skor
intervensi terapeutik). Sebagian besar skor perawatan intensif didasarkan
pada variabel fisiologis; namun data lain juga dimasukkan dalam skor ini, yan
gmenjadikan klasifikasi sederhana menjadi sangat sulit.
Sistem pemberian skor yang ideal akan sederhana untuk digunakan
dan dapat diaplikasikan kepada seluruh pasien perawatan intensif terlepas dari
usia, diagnosis dan urgensi perawatan. Sistem ini juga tidak boleh bergantung
pada penatalaksanaan yang diberikan sebelum perawatan di ICU. Pemodelan
prediksi outcome harus memberikan sensitivitas yang tinggi dan spesifisitas
yang tinggi pula. Sistem pemberian skor perawatan intensif dikembangkan
dari database yang besar yang menggabungkan data dari banyak ICU. Data
ini mencakup variabel fisiologis, komorbiditas, usia, diagnosis, urgensi
perawattan, dan outcome saat keluar dari rumahsakit.

E. Evaluasi Fisiologi Akut dan Kesehatan Kronis


Knaus dkk (1981) pertama kalinya memperkenalkan model Acute
Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) di tahun 1981 dan
merevisinya menjadi APACHE II pada tahun 1985. APACHE III disajikan
pada tahun 1991 namun karena pemodelan analisis regresi tidak berada pada
domain publik ambilannya bersifat lambat.
APACHE II tersusun atas empat komponen dasar: (1) skor fisiologis
akut; (2) evaluasi kesehatan kronis; (3) usia; (4) urgensi perawatan ke layanan
kritis. Skor fisiologi akut terdiri atas 12 variabel, dengan pengukuran selama
24 jam pertama setelah perawatan ke layanan kritis yang digunakan untuk
menghitung skor. Pengumpulan data yang asli untuk APACHE II terjadi
antara tahun 1979 dan 1982 dari ICU di Amerika Utara, dan populasi yang
diteliti mencakup pasien bedah dan trauma yang relatif sedikit. Dan juga,

4
telah terdapat banyak kemajuan dalam perawatan pasien sejak tahun 1980an,
yang telah menjadikan APACHE II tertinggal, meskipun masih popular.

F. Skor fisiologis akut yang disederhanakan


The Simplified Acute Physiological Score (SAPS) pada awalnya
menggunakan 14 variabel, dan tidak memberikan kemungkinan kelangsungan
hidup. Pada tahun 1993 skor ini direvisi menjadi SAPS II dengan data yang
berasal dari ICU di Eropa dan Amerika UTARA. Skor ini mencakup 12
variabel fisiologis (nilai yang terburuk dalam waktu 24 jam pertama), usia,
tipe perawatan dan tiga variabel penyakit yang mendasari (sindroma
defisiensi imun didapat (AIDS), Kanker metastasis, dan keganasan
hematologi). Dengan menggunakan regresi logistik, SAPS II juga dapat
digunakan untuk mengestimasi kemungkinan kelangsungan hidup. Ini
merupakan sistem pemberian skor yang lebih sederhana dibandingkan
APACHE dan juga di domain publik, yang menghasilkan penggunaannya
yang luas, terutama di Eropa. Skor ini juga memiliki kerugian seperti
APACHE berkenaan dengan waktu pengumpulan data, namun didasarkan
pada data yang lebih baru dan bersifat internasional.

G. Model prediksi mortalitas


Model prediksi mortalitas (MPM) yang asli berasal pada akhir tahun
1980-an dengan data dari satu rumah sakit, dan berbeda dari banyak sistem
pemberian skor karena tidak bergantung pada data fisiologis namun
berdasarkan ada atau tidak adanya patologi. Oleh karen itu terdapat
kurangnya dampak menurut penatalaksanaan terhadap fisiologis sebelum dan
saat masuk ke perawatan intensif. Pada tahun 1993 MPM direvisi menjadi
MPM II berdasarkan kelompok data yang sama dengan SAPS II namun
dengan inklusi enam ICU tambahan. Pada awalnya model ini dibentuk dari
dua titik waktu: dalam waktu 1 jam (MPM II 0) dan 24 jam pertama (MPM
II24) setelah perawatan. Saat ini skor ini dapat digunakan untuk waktu 48 dan
72 jam, dengan memberikan prediksi mortalitas pada waktu-waktu tersebut.

5
Variabelnya mencakup parameter fisiologis, usia, diagnosis akut, penyakit
kronis, tipe perawatan, serta yang lainnya. MPM II0 berguna karena hanya
sedikit terpengaruh oleh penatalaksanaan yang diberikan di ICU.

H. Sistem pemberian skor intervensi terapeutik


Sistem pemberian skor intervensi terapeutik yang asli (TISS) berasal
pada tahun 1976, yang terdiri atas 76 aktivitas terapeutik dan digunakan pada
awalnya untuk mengelompokkan tingkat keparahan penyakit. Penggunaannya
untuk tujuan ini sangat didukung oleh sistem pemberian skor yang lebih baru,
namun ini masih seringkali digunakan untuk menilai beban kerja perawatan
dan pada manajemen sumberdaya, yang mana ini sebenarnya tidak dirancang
untuk itu. TISS yang disederhanakan dikembangkan pada tahun 1996, yang
hanya mencaku p 28 aktivitas terapeutik.

I. Keterbatasan
Secara keseluruhan hanya terdapat sangat sedikit yang dapat dipilih
diantara sistem pemberian skor generasi ketiga (APACHE III, SAPS II, MPM
II) dalam hal kekuatan prediktifnya. Meskipun terdapat hal ini, APACHE II
terus mendominasi kepustakaan dan terus menjadi skor yang paling luas
digunakan hingga saat ini.
Sistem pemberian skor APACHE II/III dan SAPS I/II mengukur
variabel-variabel fisiologis selama 24 jam pertama dari perawatan di ITU dan
telah terdapat kekhawatiran bahwa ini akan menimbulkan bias. JIka pasien
diobati sebelum masuk ke ITU, variabel fisiologis mereka akan membaik dan
pasien akan memiliki skor yang lebih rendah. Demikian pula jika pasien
dirawat ke ITU dan mendapatkan penatalaksanaan yang tidak tepat selama 24
jam pertama, skor mereka akan mengesankan bahwa ITU sesuai dengan
pasien yang lebih sakit. Terakhir, jika pasien meninggal dalam waktu 24 jam
skor mereka sebelum meninggal akan sangat tinggi, dan oleh karena itu
mencondongkan SMR suatu unit untuk mengesankan bahwa unit ini merawat
pasien yang sangat sakit. MPM II mengukur variabel-variabel selama satu

6
jam pertama dan selama 24 jam pertama, sehingga mengurangi bias yang
mungkin muncul pada skor ketika diukur selama 24 jam.
Keterbatasan dan kesalahan yang berkaitan dengan penggunaan sistem
pemberian skor ini mencakup data yang tidak lengkap, kesalahan dari
observer, dan variabilitas antar pengamat. Bahkan metode pengumpulan data
(entri data manual berbanding data yang dikumpulkan secara otomatis dari
sistem pemantauan) mengarahkan pada variasi skor yang besar. Meskipun
sistem pemberian skor diatas berguna untuk menilai dan membandingkan
outcome pada populasi pasien, skor seperti itu mungkin tidak cocok untuk
memberikan penilaian resiko individual pada pasien yang mengalami sakit
kritis.

Anda mungkin juga menyukai