Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Retinopati Diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering


ditemukan pada usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes
memiliki risiko 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan dibanding
nondiabetes. Risiko mengalami retinopati pada pasien diabetes meningkat
sejalan dengan lamanya diabetes. Pada waktu diagnosis diabetes tipe 2
ditegakkan, sekitar 25% sudah menderita Retinopati Diabetik Nonproliferatif.
Setelah 20 tahun, prevalensi meningkat menjadi lebih dari 60% dalam
berbagai derajat.
Penyebab retinopati diabetik belum diketahui pasti, namun hiperglikemia
yang berlangsung lama diduga merupakan faktor resiko utama terjadinya
retinopati diabetikum. Oleh sebab itu kontrol glukosa darah sejak dini penting
dalam pencegahan timbulnya retinopati diabetikum.
1.2. Tujuan

Referat ini disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior di


Rumah Sakit Umum Daerah Solok dan sebagai bahan pengayaan materi dan
diharapkan agara dapat menambah pengetahuan penulis serta pembaca
tentang “Retinopati Diabetikum”.
1.3. Manfaat

1. Sebagai referensi dalam pembelajaran tentang “Retinopati Diabetikum”.


2. Untuk menambah pengetahuan penulis dan pembaca tentang “Retinopati
Diabetikum”.
3. Metode Penulisan

Referat ini dibuat dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk


kepada berbagai sumber dan literatur.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi retina

Retina adalah bagian mata yang sensitif terhadap cahaya yang terletak di
segmen posterior mata. Retina merupakan struktur yang terorganisasi
memberikan informasi visual ditransmisikan melalui nervus optikus ke
korteks visual. Retina berkembang dari cawan optikus eksterna yang
mengalami invaginasi mulai dari akhir empat minggu usia janin (Vaughan &
Asbury’s general ophthalmology, 2007).
Bola mata orang dewasa memiliki diameter sekitar 22 mm - 24,2 mm
(diameter dari depan ke belakang). Bola mata anak ketika lahir berdiameter
16,5 mm kemudian mencapai pertumbuhannya secara maksimal sampai umur
7-8 tahun. Dari ukuran tersebut, retina menempati dua pertiga sampai tiga
perempat bagian posterior dalam bola mata. Total area retina 1.100 mm2.
Retina melapisi bagian posterior mata, dengan pengecualian bagian nervus
optikus, dan memanjang secara sirkumferensial anterior 360 derajat pada ora
serrate. Tebal retina rata-rata 250 μm, paling tebal pada area makula dengan
ketebalan 400 μm, menipis pada fovea dengan ukuran 150 μm, dan lebih tipis
lagi pada ora serrata dengan ketebalan 80 μm (Vaughan & Asburry’s general
ophthalmology, 2007).
Retina mendapatkan vaskularisasi dari arteri oftalmika (cabang pertama
dari arteri karotis interna kanan dan kiri) dan arteri siliaris (berjalan bersama
nervus optikus). Arteri siliaris memberikan vaskularisasi pada lapisan luar
dan tengah, termasuk lapisan pleksiform luar, lapisan fotoreseptor, lapisan
inti luar, dan lapisan epitel pigmen.

2
Gambar 1. Anatomi retina

Retina memiliki 10 lapisan, yang terdiri dari (dari luar ke dalam):

1. Lapisan epitel pigmen retina, merupakan batas antara retina dan koroid
2. Lapisan fotoreseptor, terdiri dari sel batang dan kerucut.
3. Membran limitans eksterna, merupakan membran ilusi.
4. Lapisan inti luar, merupakan lapisan inti sel kerucut dan sel batang.
5. Lapisan pleksiform luar, merupakan tempat sinaps sel fotoresptor dengan
sel bipolar dan sel horizontal.
6. Lapisan inti dalam, merupakan badan sel bipolar, sel horizontal dan sel
Muller.
7. Lapisan pleksiform dalam, merupakan lapisan aseluler tempat sinaps sel
bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion.
8. Lapisan sel ganglion, merupakan badan sel dari neuron kedua.
9. Lapisan serabut saraf, merupakan akson-akson sel ganglion menuju saraf
ke arah saraf optic.
10. Membran limitans interna, merupakan membran hialin antara retina dan
vitreous.

3
Gambar 2. Lapisan retina

2.2 Definisi

Retinopati diabetikum adalah suatu mikroangiopati yang mengenai


prekapiler retina, kapiler dan venula, sehingga menyebabkan oklusi
mikrovaskuler dan kebocoran vaskuler, akibat kadar gula darah yang tinggi
dan lama.

Gambar 3. Normal Retina dibandingkan Retinopati Diabetikum

4
2.3 Epidemiologi

Retinopati diabetikum merupakan penyebab kebutaan paling sering


ditemukan pada usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes
memiliki resiko 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan dibanding
nondiabetes. Pada waktu diagnosis diabetes tipe I ditegakkan, retinopati
diabetik hanya ditemukan pada <5% pasien. Setelah 10 tahun, prevalensi
meningkat menjadi 40-50% dan sesudah 20 tahun lebih dari 90% pasien
sudah menderita rerinopati diabetik. Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis
ditegakkan, sekitar 25% sudah menderita retinopati diabetik non proliferatif.
Setelah 20 tahun, prevalensi retinopati diabetik meningkat menjadi lebih dari
60% dalam berbagai derajat.
Amerika, Australia, Eropa, dan Asia melaporkan bahwa jumlah penderita
retinopati DM akan meningkat dari 100,8 juta pada tahun 2010 menjadi 154,9
juta pada tahun 2030 dengan 30% di antaranya terancam mengalami
kebutaan. Dari seluruh kunjungan pasien Poliklinik Mata RSCM, jumlah
kunjungan pasien dengan retinopati diabetik meningkat dari 2,4% tahun 2005
menjadi 3,9% tahun 2006.

2.4 Etiologi

Penyebab pasti Retinopati Diabetikum belum diketahui. Tetapi diyakini


bahwa lamanya terpapar terhadap keadaan hiperglikemia dapat menyebabkan
perubahan fisiologis dan biokimia yang akhirnya menyebabkan kerusakan
endotel pembuluh darah.

2.5 Faktor Resiko

1. Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol dengan baik


2. Hipertensi yang tidak terkontrol dengan baik
3. Hiperlipidemia

5
2.6 Patofisiologi

Ada empat proses biokimiawi yang diduga berkaitan dengan timbulnya


retinopati diabetik yaitu jalur poliol (akumulasi sorbitol), pembentukan
protein kinase C, pembentukan Advanced Glycation End Product (AGE) dan
pembentukan reactive oxygen speciase (ROS).

Gambar 4. Skema Patofisiologi Retinopati Diabetikum

Mekanisme terjadinya Retinopati Diabetikum masih belum jelas, namun


beberapa studi menyatakan bahwa hiperglikemi kronis merupakan penyebab
utama kerusakan multipel organ. Komplikasi hiperglikemia kronis pada retina
akan menyebabkan perfusi yang kurang adekuat akibat kerusakan jaringan
pembuluh darah organ, termasuk kerusakan pada retina itu sendiri. Terdapat 4
proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia kronis yang diduga
berhubungan dengan timbulnya retinopati diabetik, antara lain:

1. Akumulasi Sorbitol
Produksi berlebihan serta akumulasi dari sorbitol sebagai hasil dari
aktivasi jalur poliol terjadi karena peningkatan aktivitas enzim aldose

6
reduktase yang terdapat pada jaringan saraf, retina, lensa, glomerulus,
dan dinding pembuluh darah akibat hiperglikemi kronis. Sorbitol
merupakan suatu senyawa gula dan alkohol yang tidak dapat melewati
membrana basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah yang banyak
dalam sel. Kerusakan sel terjadi akibat akumulasi sorbitol yang bersifat
hidrofilik sehingga sel menjadi bengkak akibat proses osmotik.
2. Pembentukan protein kinase C
Protein kinase C (PKC) diketahui memiliki pengaruh terhadap
pemeabilitas vaskular, kontraktilitas, sintesis membrana basalis dan
proliferasi sel vaskular. Dalam kondisi hiperglikemia aktivitas PKC di
retina dan sel endotel meningkat akibat peningkatan sintesi de novo dari
diasilgliserol, suatu regulator PKC yang berasal dari glukosa.
3. Pembentukan Advanced Glycation End Product (AGE)
Glukosa mengikat gugus amino membentuk ikatan kovalen secara
non enzimatik. Proses tersebut pada akhirnya akan menghasilkan suatu
senyawa AGE.
Efek dari AGE ini saling sinergis dengan efek PKC dalam
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, sintesis growth
factor, aktivasi endotelin-1 sekaligus menghambat aktivasi nitrit oxide
oleh sel endotel. Proses tersebut tentunya akan meningkatkan risiko
terjadinya oklusi vaskular retina.
AGE terdapat di dalam dan di luar sel, berkorelasi dengan kadar
glukosa. Akumulasi AGE mendahului terjadinya kerusakan sel.
Kadarnya 10-45x lebih tinggi pada DM daripada non DM dalam 5-20
minggu. Pada pasien DM, sedikit saja kenaikan glukosa maka
meningkatkan akumulasi AGE yang cukup banyak, dan akumulasi ini
lebih cepat pada intrasel daripada ekstrasel.
4. Pembentukan Reactive Oxygen Speciesi (ROS)
ROS dibentuk dari oksigen dengan katalisator ion metal atau enzim
yang menghasilkan hidrogen peroksida (H2O2), superokside (O2-).
Pembentukan ROS meningkat melalui autooksidasi glukosa pada jalur

7
poliol dan degradasi AGE. Akumulasi ROS di jaringan akan
menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang menambah kerusakan sel.
Kerusakan sel yang terjadi sebagai hasil proses biokimiawi akibat
hiperglikemia kronis terjadi pada jaringan saraf (saraf optik dan retina),
vaskular retina dan lensa.
2.7 Klasifikasi

Klasifikasi retinopati diabetikum menurut ETDRS (Early Treatment Diabetik

Retinopathy Study), yaitu:

Gambar 5. Stadium Retinopati Diabetikum


1. Retinopati Diabetik Non Proliferatif, atau dikenal juga dengan
Background Diabetik Retinopathy. Ditandai dengan: mikroaneurisma,
perdarahan retina, eksudat, IRMA, dan kelainan vena
a. Minimal: terdapat ≥ 1 tanda berupa dilatasi vena, mikroaneurisma,
perdarahan intraretina yang kecil atau eksudat keras
b. Ringan-sedang: terdapat ≥ 1 tanda berupa dilatasi vena derajat
ringan, perdarahan, eksudat keras, cotton wool spots, IRMA
c. Berat: terdapat ≥1 tanda berupa perdarahan dan mikroaneurisma
pada 4 kuadran retina, dilatasi vena pada 2 quadran atau IRMA
pada 1 quadran

8
d. Sangat berat: ditamukan ≥ 2 tanda pada derajat berat.
2. Retinopati Diabetik Proliferatif. Ditandai dengan neovaskularisasi.
a. Ringan (tanpa resiko tinggi): bila ditemukan minimal adanya
neovaskular pada discus (NVD) yang mencakup < ¼ dari daerah
diskus tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus, atau
neovaskularisasi dimana saja diretina (NVE) tanpa disertai
perdarahan preretina atau vitreus.
b. Berat (resiko tinggi): apabila ditemukan 3 atau 4 dari faktor resiko
sebagai berikut
 Ditemukan NVE
 Ditemukan NVD
 Pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat yang
mencakup > ¼ daerah diskus
 Perdarahan vitreus
Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada discus opticus atau
setiap adanya pembuluh darah baru yang disertai perdarahan,
merupakan 2 gambaran yang paling seing ditemukan pada
retinopati proliferative resiko tinggi.

Perbedaan Retinopati Diabetik Non Proliferatif (NPDR) dan Retinopati


Diabetik Proliferatif (PDR), yaitu:
NPDR PDR
Mikroaneurisma (+) Mikroaneurisma (+)
Perdarahan intraretina (+) Perdarahan intraretina (+)
Hard eksudat (+) Hard eksudat (+)
Oedem retina(+) Oedem retina(+)
Cotton Wool Spots (+) Cotton Wool Spots (+)
IRMA (+) IRMA (+)
Neovaskularisasi (-) Neovaskularisasi (+)
Perdarahan Vitreous (-) Perdarahan Vitreous (+)
Pelepasan retina secara traksi (-) Pelepasan retina secara traksi (+)
Tabel 1. Perbedaan NPDR dan PDR

9
Klasifikasi Retinopati Diabetikum menurut Bagian Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo:
 Derajat I: terdapat mikroaneurisma dengan atau tanpa eksudat lemak
pada fundus okuli
 Derajat II: terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak
dengan atau tanpa eksudat lemak pada fundus okuli
 Derajat III: terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak
terdapat neovaskularisasi dan proliferasi pada fundus okuli.
Jika gambaran fundus mata kiri tidak sama beratnya dengan mata kanan,
maka penderita digolongkan pada derajat yang lebih berat.

2.8 Diagnosa
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik, terutama
funduskopi.
1. Anamnesa
a. Tidak ada keluhan penglihatan
b. Penglihatan buram terjadi terutama bila terjadi edema makula
c. Floaters atau penglihatan mendadak terhalang akibat komplikasi
perdarahan vitreus dan/atau ablasio retina traksional.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Riwayat diabetes mellitus (tipe I / tipe II).
b. Mata tenang dengan atau tanpa penurunan visus.
c. Pada pemeriksaan funduskopi pupil lebar pada retina dapat
ditemukan perdarahan retina, eksudat keras, pelebaran vena, dan
mikroaneurisma (pada NPDR), yang pada kondisi lebih lanjut
disertai neovaskularisasi di diskus optik atau di tempat lain di
retina (pada PDR).
d. Pada keadaan berat dapat ditemukan neovaskularisasi iris (rubeosis
iridis).
e. Refleks cahaya pada pupil normal, pada kerusakan retina yang luas
dapat ditemukan RAPD (Relative Aferent Pupilary Defect), serta

10
penurunan refleks pupil pada cahaya langsung dan tak langsung
normal.

2.9 Pemeriksaan Penunjang

Tidak diperlukan

2.10 Diagnosis Banding

1. Oklusi vena retina


2. Retinopati hipertensi

2.11 Skrining dan Pencegahan

Skrining diperuntukkan bagi :


1. Penderita DM Tipe I : 3 – 5 tahun setelah diagnosis DM Tipe I, dan
dilanjutkan dengan follow-up setiap tahun.
2. Penderita DM Tipe II : pada saat diagnosis DM Tipe II, dan
dilanjutkan dengan follow-up setiap tahun.
3. Sebelum Kehamilan ( DM Tipe I dan DM Tipe II) :skrining
dikerjakan sebelum konsepsi dan pada awal trisemester satu, dengan
follow-up:
a. Tanpa retinopati atau dengan NPDR sedang: setiap 3 – 12 bulan
b. NPDR berat atau lebih berat: setiap 1 – 3 bulan

Pencegahan retinopati terutama dikerjakan dengan:

1. Melakukan kontrol ketat terhadap gula darah


2. Pada pasien DM dengan hipertensi, dilakukan kontrol tekanan darah

2.12 Penatalaksanaan

1. Setiap pasien yang terdiagnosis diabetes melitus perlu segera dilakukan


pemeriksaan mata, sekalipun belum ada keluhan mata.
2. Apabila tidak didapatkan tanda-tanda retinopati, pasien harus diperiksa
ulang dalam waktu 1 tahun (follow-up).

11
3. Apabila didapatkan tanda-tanda retinopati, pasien perlu dirujuk ke dokter
spesialis mata.

2.13 Komplikasi

1. Perdarahan vitreus
2. Edema makula diabetik
3. Ablasio retina traksional
4. Glaukoma neovaskular

2.14 Prognosis

1. Pasien NPDR minimal dengan hanya ditandai mikroaneurisma yang jarang


memiliki prognosis baik sehingga cukup dilakukan pemeriksaan ulang
setiap 1 tahun.
2. Pasien yang tergolong NPDR sedang tanpa disertai oedema macula perlu
dilakukan pemeriksaan ulang setiap 6-12 bulan karena sering bersifat
progresif.
3. Pasien NPDR derajat ringan sampai sedang dengan disertai edema macula
yang secara klinik tidak signifikan perlu dilakukan pemeriksaan ulang
setiap 4-6 bulan karena dapat berkembang menjadi clinically significant
macular edema (CSME).
4. Untuk pasien NPDR dengan CSME harus dilakukan fotokoagulasi.
5. Pasien NPDR berat beresiko tinggi untuk menjadi PDR.
6. Pasien dengan PDR resiko tinggi harus segera diterapi fotokoagulasi.

12
BAB III

KESIMPULAN

Retinopati diabetikum adalah suatu mikroangiopati yang mengenai


prekapiler retina, kapiler dan venula, sehingga menyebabkan oklusi mikrovaskuler
dan kebocoran vaskuler, akibat kadar gula darah yang tinggi dan lama. . Dalam
urutan penyebab kebutaan secara global, Retinopati Diabetikum menempati
urutan ke-4 setelah katarak, glaukoma, dan degenerasi makula (AMD= age-
related macular degeneration).

Penyebab pasti Retinopati Diabetikum belum diketahui. Tetapi diyakini


bahwa lamanya terpapar terhadap keadaan hiperglikemia yang menyebabkan
perubahan biokimiawi. Ada empat proses biokimiawi yang diduga berkaitan
dengan timbulnya retinopati diabetik yaitu jalur poliol (akumulasi sorbitol),
pembentukan protein kinase C, pembentukan Advanced Glycation End Product
(AGE) dan pembentukan reactive oxygen speciase (ROS).

Pemeriksaan oftalmologi Retinopati Diabetikum secara khas terbagi dalam


Diabetik Retinopathy Severity Scale meliputi: Non proliferative, prolifertative dan
maculopathy DM dengan masing-masing temuan klinis yang khas pada tiap
tingkat perkembangan penyakitnya.

Terapi retinopati diabetikum mencakup perawatan medis untuk kontrol gula


darah dan terapi oftalmologi yang mencakup terapi bedah dan medikamentosa.
Prognosis ditentukan oleh faktor-faktor yang menguntungkan dan merugikan
dalam perjalanan penyakit ini serta tindakan yang dilakukan dalam intervensinya.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Chris Tanto, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran edisi ke-4. Media
Aesculapius. Jakarta.
2. Ilyas, H.S. 2015. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-5. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
3. Kanski J Jack. 2007. Clinical Ophthalmology A Systematic Approach. 6th
ed: 577-84. Elsevier. London.
4. Ola S Mohammad. 2011.Cellular and Molecular Mechanism of Diabetic
Retinopathy.Department of Ophthalmology, King Saud University.
Riyadh.
5. Rahmawati Rodiah. 2007. Diabetik Retinopati. Bagian Ilmu Penyakit
Mata FK USU. Medan.

14

Anda mungkin juga menyukai