PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANEMIA HEMOLOTIK PADA ANAK
2.1.1 Definisi
Anemia hemolitik adalah suatu keadaan anemia yang terjadi oleh karena
meningkatnya penghancuran dari sel eritrosit yang diikuti dengan
ketidakmampuan dari sum sum tulang dalam memproduksi sel eritrosit untuk
mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit. Pada anemia
hemolitik umur eritrosit menjadi lebih pendek (normal umur eritrosit 100-120
hari). Memendeknya umur eritrosit tidak saja terjadi pada anemia hemolitik tetapi
juga terjadi pada keadaan eritropoesis inefektiv seperti pada anemia megaloblastik
dan thalasemia.1
Hormon eritropoetin akan merangsang terjadinya hiperplasia eritroid
(eritropoetin-induced eritroid hyperplasia) dan ini akan diikuti dengan
pembentukan sel eritrosit sampai 10 x lipat dari normal. Anemia terjadi bila
serangan hemolisis yang akut tidak diikuti dengan kemampuan yang cukup dari
sumsum tulang untuk memproduksi sel eritrosit sebagai kompensasi, bila sumsum
tulang mampu mengatasi keadaan tersebut di atas sehingga tidak terjadi anemia,
keadaan ini disebut dengan istilah anemia hemolitik kompensata.1,2,3
2.1.2 Epidemiologi
Anemia merupakan kelainan nilai laboratorium yang paling umum
ditemukan dalam praktik dokter anak. Penyebab utama anemia pada anak di
seluruh negara adalah anemia defisiensi besi, namun anemia hemolitik merupakan
anemia yang berhubungan dengan mortalitas yang tinggi. Anemia hemolitik
memiliki beragam etiologi dan prevalensi yang berbeda satu dengan yang lainnya,
defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase memiliki prevalensi yang tinggi
dengan estimasi lebih dari 500 juta orang di dunia (mayoritas asimtomatik) dan
merupakan penyebab paling umum dari anemia hemolitik akut. Hereditary
spherocytosis adalah anemia hemolitik defek membran yang ditemukan di seluruh
2
kelompok ras dan etnis, namun paling umum ditemukan pada di Eropa utara
dengan estimasi sekitar 1 dari 5000 orang. Kelainan hemoglobin seperti sickle cell
disease merupakan penyakit genetik yang paling umum terdeteksi dalam program
skrining neonatus di Amerika Serikat yaitu 1 dari 2647 kelahiran. Autoimmune
Hemolytic Anemia (AIHA) primer tidak jarang terjadi, estimasi 1 dari 80.000
populasi per tahun.2,4
2.1.3 Etiologi
Menurut etiologinya, anemia hemolitik pada anak diklasifikasikan menjadi,
antara lain anemia hemolitik dengan defek selular (intrinsik) yaitu defek membran
(hereditary spherocytosis, hereditary elliptocytosis, hereditary pyropikilocytosis,
hereditary stomatocytosis, dan paroxysmal nocturnal hemoglobinuria), defisiensi
enzim (defisiensi piruvat kinase (PK) dan defisiensi glucose-6-phosphate
dehydrogenase), dan hemoglobinopati (sickle cell disease dan thalassemia), dan
anemia dengan defek ekstraselular (ekstrinsik) yaitu autoimun (“Warm” dan
“Cold” antibody), faktor mekanik, dan faktor plasma. Mayoritas defek intrinsik
adalah penyakit yang diturunkan (inher- ited), sedangkan ekstrinsik umumnya
didapat (acquired).4,5
2.1.4 Patofisiologi
Anemia hemolitik dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi defeknya,
antara lain defek selular dan ekstraselular. Pada anemia hemolitik, usia eritrosit
memendek, jumlah eritrosit menurun, EPO meningkat, dan terjadi peningkatan
aktivitas sumsum tulang. Peningkatan eritropoiesis direfleksikan dengan
ditemukannya peningkatan retikulosit di dalam darah. Sumsum tulang dapat
meningkatkan produksinya sebanyak 2-3 kali lipat dari normal dalam keadaan
akut dengan kapasitas maksimum sampai 6-8 kali pada hemolisis kronik.6
3
Gambar 1 : Etiopatogenesis dari anemia hemolitik
4
seperti teh atau kola (hemoglobinuria, biasanya pada anemia hemolitik
intravaskular), ikterus (keadaan sekarang atau riwayat ikterus saat neonatus
(biasanya berhubungan dengan etiologi anemia hemolitik kongenital seperti
hereditary spherocytosis atau defisiensi G6PD), dan riwayat batu empedu. Etnis,
usia, dan jenis kelamin pasien memiliki nilai cukup penting dalam mengarahkan
diagnosis anemia hemolitik. Hemoglobinopati, seperti hemoglobin S dan C lebih
umum ditemukan pada orang kulit hitam, thalassemia beta lebih umum ditemukan
pada orang kulit putih, thalassemia alfa paling sering ditemukan pada orang kulit
hitam dan kuning. Etiologi anemia hemolitik yang dicurigai pada neonatus adalah
anemia hemolitik kongenital, sedangkan pada usia 3-6 bulan merupakan
hemoglobinopati. Pada anak lakilaki etiologi anemia hemolitik kongenital yang
dicurigai adalah penyakit yang diturunkan terpaut X (X-linked disorder) seperti
defisiensi G6PD dan piruvat kinase. Selain itu, riwayat keluarga (anemia, ikterus,
batu empedu atau splenomegali), riwayat pengobatan (obat-obat pencetus anemia
hemolitik), dan riwayat transfusi darah dapat pula mengarahkan diagnosis.6
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda ikterik
(hiperbilirubinemia yang biasa ditemukan pada anemia hemolitik), pucat (tanda
umum anemia), splenomegali, petekie atau purpura (anemia hemolitik autoimun
dengan trombositopenia), ulkus pada ekstremitas bawah (hemoglobinopati), pe-
rubahan bentuk wajah (anemia hemolitik kongenital, thalassemia mayor), dan
katarak (defisiensi G6PD).5,6
Penurunan kadar hemoglobin dan serum haptoglobin, peningkatan hitung
retikulosit, bilirubin indirek, serum lactate dehydrogenase (LDH), urobilinogen
urin, dan hemoglobinuria (+ darah pada urine dipstick, namun tidak ada eritrosit
pada urin) merupakan hasil pemeriksaan penunjang yang dapat ditemukan pada
anemia hemolitik. Pada pasien yang diduga dengan anemia hemolitik,
pemeriksaan apusan darah tepi harus dilakukan karena mayoritas etiologi anemia
hemolitik berhubungan dengan kelainan morfologi yang dapat dilihat pada apusan
darah tepi (Tabel 1). Direct antiglobulin test (DAT) atau yang dikenal dengan
Coombs test dapat diperiksa untuk mengidentifikasi antibodi dan komponen
komplemen pada permukaan eritrosit. Coombs test yang positif akan
5
mengarahkan diagnosis ke autoimmune hemolytic anemia (AIHA). Pemeriksaan
untuk mengkonfirmasi diagnosis anemia hemolitik lainnya, antara lain
elektroforesis Hb, panel enzim eritrosit (G6PD, piruvat kinase), dan osmotic
fragility test.7
Tabel 1 : Anemia hemolitik: kemungkinan diagnosis berdasarkan
morfologi eritrosit
Morfologi eritrosit Kemungkinan diagnosis
Sickle cells Sickle cells disease
Target cells Hemoglobinopati (HbC, HbS,
thalassemia, liver disease)
Schistocytes/burr cells/helmet Microangiopathic hemolytic
cells/RBC fragments anemia – DIC, HUS, TTP
Spherocytes Hereditary spherocytosis,
autoimmune hemolytic anemia
Cigar shaped cells Hereditary elliptocytosis
Bite” Cells Defisiensi G6PD
Poikilocytosis, microcytosis, Hereditary pyropoikilocytosi
fragmented erythrocytes,
elliptocytes
2.1.6 Penatalaksanaan
Terapi pada anemia hemolitik umumnya bersifat suportif, seperti terapi
transfusi, suplemen asam folat, dan splenektomi. Terapi spesifik diberikan
tergantung etiologi dari anemia hemolitik itu sendiri, seperti pemberian
imunosupresif pada autoimmune hemolytic anemia (AIHA), penggunaan
antimalaria pada infeksi malaria, dan penghentian agen yang memperberat
hemolisis pada defisiensi G6PD. 7
6
Tabel 2 : Agen Pencetus Hemolisis pada Defisiensi Glucose-6-Phosphate
Dehydrogenase
A. Terapi transfusi
Secara prinsip, indikasi utama pada transfusi eritrosit adalah pemberian
eritrosit yang cukup untuk mencegah atau mengembalikan keadaan hipoksia jaringan
yang diakibatkan kompensasi yang tidak adekuat. Transfusi umumnya diberikan bila
anemia terjadi secara akut dan bergejala, pasien memiliki penyakit jantung atau paru,
atau sebelum pembedahan mayor (Tabel 3). Gejala simtomatik anemia antara lain
dispneu, takipneu, takikardia, apnea, bradikardi, kesulitan makan (feeding
difficulties), dan letargi. Dosis transfusi umumnya 10-15 ml/kg dan diberikan dalam
2-4 jam.7
7
Tabel 3 : Pedoman transfusi eritrosit pada anak
Resiko transfusi antara lain infeksi, reaksi transfusi hemolitik dan nonhemolitik,
kelebihan cairan (fluid overload), graft vs host disease, gangguan elektrolit dan
keseimbangan asam-basa, reaksi alergi, acute lung injury, post transfusion
purpura, hipotermia, dan transfusion hemosiderosis (iron overload) pada transfusi
eritrosit jangka panjang. Transfusional hemosiderosis merupakan komplikasi
transfusi eritrosit yang sering ditemukan pada pasien dengan thalassemia mayor,
namun dapat dicegah dengan penggunaan deferoxamine. Deferoxamine mengikat
besi dan beberapa kation bivalen sehingga dapat dieksresikan melalui urin dan
feses. Obat ini diberikan dengan dosis 30-40 mg/kgbb secara subkutan dalam 8-12
jam (malam hari) dan minimal 5-6 malam dalam satu minggu. Selain
8
deferoxamine, dikenal pula deferiprone dan deferasirox sebagai terapi pengikat
besi lainnya. Deferiprone tidak lebih efektif dari deferoxamine dalam mengikat
besi tubuh, namun lebih efektif dalam mengikat besi pada jantung (cardiac
iron).7,8
B. Splenektomi
Indikasi splenektomi tersering adalah kelainan hematologi (Tabel 4).
Splenektomi dilakukan pada pasien dengan anemia hemolitik karena dapat
mengurangi anemia yang terjadi, namun pertimbangan untuk tindakan tersebut
harus dipikirkan dengan matang karena resiko komplikasi yang mungkin terjadi.
Secara umum, splenektomi dapat dipertimbangkan pada anemia hemolitik berat
dengan etiologi tertentu, seperti hereditary spherocytosis, defisiensi piruvat
kinase, warm-antibody autoimmune hemolytic anemia, dan hemoglobinopati
(sickle cell anemia, thalassemia). Splenektomi pada defisiensi G6PD masih
kontroversial. Komplikasi dari splenektomi antara lain komplikasi
pascasplenektomi langsung (infeksi lokal, perdarahan, pankreatitis), sepsis
pascasplenektomi, peningkatan resiko infeksi babesiosis dan malaria, trombosis
dan tromboemboli. Splenektomi sebaiknya ditunda sampai pasien berusia 6-9
tahun karena resiko infeksi yang tinggi bila pembedahan dilakukan dibawah umur
tersebut. Kegagalan splenektomi (Splenectomy failure) jarang terjadi, namun
penyebab tersering dikarenakan accessory spleen yang tidak terangkat ketika
pembedahan. Setiap kandidat splenektomi harus menerima vaksinasi, antara lain
pneumococcus, meningococcus dan H. influenza, dan antibiotik profilaksis
pascasplenektomi yaitu penicillin V 125 mg dua kali sehari pada anak dibawah 5
tahun dan 250 mg dua kali sehari pada anak lebih besar dan orang dewasa (pada
pasien alergi penicillin dapat diberikan eritromisin) selama minimal 5 tahun
setelah pembedahan.7,8
9
Tabel 4 : indikasi spelenektomi pada kelainan hematologi
10
DAFTAR PUSTAKA
11