PENDAHULUAN
Rubella adalah penyakit akut dan ringan yang sering menginfeksi anak dan
dewasa muda yang rentan. Akan tetapi yang menjadi perhatian dalam kesehatan
masyarakat adalah efek teratogenik apabila rubella ini menyerang pada wanita
hamil pada trimester pertama. Infeksi rubella yang terjadi sebelum konsepsi dan
selama awal kehamilan dapat menyebabkan abortus, kematian janin atau sindrom
rubella kongenital (Congenital Rubella Syndrome/CRS) pada bayi yang
dilahirkan.1
Di Indonesia, rubella merupakah salah satu masalah kesehatan masyarakat
yang memerlukan upaya pencegahan efektif. Data surveilans selama lima tahun
terakhir menunjukan 70% kasus rubella terjadi pada kelompok usia <15 tahun.
Selain itu, berdasarkan studi tentang estimasi beban penyakit CRS di Indonesia
pada tahun 2013 diperkirakan terdapat 2767 kasus CRS, 82/100.000 terjadi pada
usia ibu 15-19 tahun dan menurun menjadi 47/100.000 pada usia ibu 40-44 tahun.
Sedangkan perhitungan modelling di Jawa Timur diperkirakan 700 bayi
dilahirkan dengan CRS setiap tahunnya.1
Dalam Global Vaccine Action Plan (GVAP), campak dan rubella ditargetkan
untuk dapat dieliminasi di 5 regional WHO pada tahun 2020. Sejalan dengan
GVAP, The Global Measles & Rubella Strategic Plan 2012-2020 memetakan
strategi yang diperlukan untuk mencapai target dunia tanpa campak, rubella atau
CRS. Satu diantara lima strategi adalah mencapai dan mempertahankan tingkat
kekebalan masyarakat yang tinggi dengan memberikan dua dosis vaksin yang
mengandung campak dan rubella melalui imunisasi rutin dan tambahan dengan
cakupan yang tinggi (>95%) dan merata. Indonesia telah berkomitmen untuk
mencapai eliminasi campak dan pengendalian rubella/Congenital Rubella
Syndrome (CRS) pada tahun 2020.1,2
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
RUBELLA
A. Definisi
Rubella merupakan suatu penyakit virus yang umum pada anak dan dewasa
muda, yang ditandai oleh suatu masa prodromal yang pendek, pembesaran
kelenjar getah bening servikal, suboksipital dan postaurikular, disertai erupsi yang
berlangsung 2-3 hari.1
B. Epidemiologi
Penyakit ini terdistribusi secara luas di dunia. Setiap tahun melalui kegiatan
surveilans dilaporkan lebih dari 11.000 kasus suspek campak dan hasil konfirmasi
laboratorium menunjukkan 12-39% di antaranya adalah campak pasti (lab
confirmed) sedangkan 16-43% adalah rubella pasti. Dari tahun 2010 sampai 2015,
diperkirakan terdapat 30.463 kasus rubella. Di Indonesia, rubella merupakan salah
satu masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan upaya pencegahan efektif.
Data surveilans selama lima tahun terakhir selama lima tahun terakhir
menunjukkan 70% kasus rubella terjadi pada kelompok usia < 15 tahun. Selain
itu, berdasarkan studi tentang estumasi beban penyakit CRS (Congenital Rubella
Syndrome) di Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan terdapat 2.767 kasus,
82/100.000 terjadi pada usia ibu 15-19 tahun dan menurun menjadi 47/100.000
pada usia ibu 40-44 tahun. Berdasarkan data World Health Organization (WHO),
pada tahun 2015 di Indonesia terlapor kasus rubella sebanyak 2156 kasus. Jika
dibandingkan dengan kasus terlapor pada tahun 2016, Indonesia memiliki
penurunan jumlah kasus menjadi 1238 kasus. Kasus Congenital Rubella
Syndrome (CRS) yang terlapor pada tahun 2015 sebanyak 44 kasus dan
meningkat pada tahun 2016 sebanyak 174 kasus.2,3
2
Gambar 1 : Estimasi Kasus Campak dan Rubella di Indonesia Tahun 2010 – 2015
Data Kemenkes pada Januari s.d Juli 2017 mencatat sebanyak 8.099 suspek
Campak Rubella (2.535 positif Campak dan 1.549 positif Rubella). Apabila kita
bandingkan dengan laporan kasus pasca pelaksanaan imunisasi massal di Pulau
Jawa, laporan kasus mengalami penurunan menjadi 1.045 suspek Campak Rubella
(38 positif Campak dan 176 positif Rubella).4
Gambar 2 : Estimasi Kasus Campak dan Rubella di pulau jawa Tahun 2017.
C. Etiologi
Rubella disebabkan oleh suatu RNA virus, genus Rubivirus, famili
Togaviridae. Secara fisiko-kimiawi virus ini sama dengan anggota virus lain dari
famili tersebut, tetapi virus rubela secara serologik berbeda. Virus rubella
mempunya 3 polipeptida mayor yang mencakup 1 kapsid protein dan 2 amplop
glikoprotein E1 dan E2. Pada saat muncul gejala klinis virus ini dapat ditemukan
pada sekret nasofaring, darah, feses dan urin. Cara Penularannya melalui kontak
dengan sekret nasofaring dari orang terinfeksi. Infeksi terjadi melalui droplet atau
kontak langsung dengan penderita.5
3
Gambar 3 : Struktur virus rubella
D. Patofisiologi
Penularan terjadi melalui droplet dari nasofaring atau saluran pernafasan.
Selanjutnya virus rubela memasuki aliran darah. Tetapi terjadinya erupsi di kulit
belum diketahui patogenesisnya. Viremia mencapai puncaknya tepat sebelum
timbul erupsi di kulit. Di nasofaring virus tetap ada sampai 6 hari setelah
timbulnya erupsi dan kadang-kadang lebih lama.5
Selain dari darah dan sekret nasofaring, virus rubela telah diisolasi dari
kelenjar getah bening, urin, cairan serebrospinal, ASI, cairan sinovial dan paru.
Penularan dapat terjadi biasanya dari 7 hari sebelum hingga 5 hari sesudah
timbulnya erupsi. Daya tular tertinggi terjadi pada akhir masa inkubasi, kemudian
menurun dengan cepat dan berlangsung hingga menghilangnya erupsi. Ruam yang
timbul itu diakibatkan karena titer serum antibody meningkat dan mempengaruhi
antigen-antibodi sehingga berinteraksi di kulit.5,6
Virus dapat ditemukan diseluruh kulit baik yang terlibat maupun yang tidak
selama masa infeksi dan penyebarannya karena faktor lain yang mungkin
berperan dalam patogenesis eksantem. Antibody HAI mencapai puncaknya pada
hari 12 – 14 setelah timbulnya ruam dan akan kembali stabil setelah kira-kira 2
minggu kemudian. Antibodi anti-E1 mungkin memegang peranan utama dalam
respon serologik.6
4
E. Manifestasi klinik
Tanda-tanda dan gejala Infeksi rubella dimulai dengan adanya demam ringan
selama 1 atau 2 hari (99 - 100 Derajat Fajrenheit atau 37.2 - 37.8 derajat celcius)
dan kelenjar getah bening yang membengkak dan perih, biasanya di bagian
belakang leher atau di belakang telinga. Pada hari kedua atau ketiga, bintik-bintik
(ruam) muncul di wajah dan menjalar ke arah bawah. Di saat bintik ini menjalar
ke bawah, wajah kembali bersih dari bintik-bintik. Bintik-bintik ini biasanya
menjadi tanda pertama yang dikenali oleh para orang tua. Ruam rubella dapat
terlihat seperti kebanyakan ruam yang diakibatkan oleh virus lain. Terlihat sebagai
titik merah atau merah muda yang dapat berbaur menyatu menjadi sehingga
terbentuk tambalan berwarna yang merata. Bintik ini dapat terasa gatal dan terjadi
hingga tiga hari. Dengan berlalunya bintik-bintik ini, kulit yang terkena
kadangkala megelupas halus. Gejala lain dari rubella yang sering ditemui pada
remaja dan orang dewasa adalah sakit kepala, kurang nafsu makan, conjunctivitis
ringan (pembengkakan pada kelopak mata dan bola mata), hidung yang sesak dan
basah, kelenjar getah bening yang membengkak di bagian lain tubuh serta adanya
rasa sakit dan bengkak pada persendian (terutama pada wanita muda). Banyak
orang yang terkena rubella tanpa menunjukkan adanya gejala apa-apa.6
a. Masa inkubasi
Masa inkubasi adalah 14-21 hari. Dalam beberapa laporan lain waktu
inkubasi minimum 12 hari dan maksimum 17 sampai 21 hari. Tanda yang paling
khas adalah adenopati retroaurikuler, servikal posterior dan di belakang oksipital.
Enantem mungkin muncul tepat sebelum mulainya ruam kulit. Ruam ini terdiri
5
dari bintik?bintik merah tersendiri pada palatum molle yang dapat menyatu
menjadi warna kemerahan jelas pada sekitar 24jam sebelum ruam.3,6
b. Masa prodromal
Pada anak biasanya erupsi timbul tanpa keluhan sebelumnya; jarang disertai
gejala dan tanda masa prodromal. Namun pada remaja dan dewasa muda masa
prodromal berlangsung 1-5 hari dan terdiri dari demam ringan, sakit kepala, nyeri
tenggorok, kemerahan pada konjungtiva, rinitis, batuk dan limfadenopati. Gejala
ini segera menghilang pada waktu erupsi timbul. Gejala dan tanda prodromal
biasanya mendahului 1-5 hari erupsi di kulit. Pada beberapa penderita dewasa
gejala dan tanda tersebut dapat menetap lebih lama dan bersifat lebih berat. Pada
20% penderita selama masa prodromal atau hari pertama erupsi timbul suatu
enantema, tanda Forschheimer, yaitu makula atau petekiia pada palatum molle.
Pembesaran kelenjar limfe bisa timbul 5-7 hari sebelum timbul eksantema, khas
mengenai kelenjar suboksipital, postaurikular dan servikal dan disertai nyeri
tekan.3,5,6
c. Masa eksantema
Seperti pada rubeola, eksantema mulai retro-aurikular atau pada muka dan
dengan cepat meluas secara kraniokaudal ke bagian lain dari tubuh. Mula-mula
berupa makula yang berbatas tegas dan kadang-kadang dengan cepat meluas dan
menyatu, memberikan bentuk morbiliform. Pada hari kedua eksantem di muka
menghilang, diikuti hari ke-3 di tubuh dan hari ke-4 di anggota gerak. Pada 40%
kasus infeksi rubela terjadi tanpa eksantema. Meskipun sangat jarang, dapat
terjadi deskuamasi posteksantematik. Limfadenopati merupakan suatu gejala
klinis yang penting pada rubela. Biasanya pembengkakan kelenjar getah bening
itu berlangsung selama 5-8 hari. Pada penyakit rubela yang tidak mengalami
penyulit sebagian besar penderita sudah dapat bekerja seperti biasa pada hari ke-3.
sebagian kecil penderita masih terganggu dengan nyeri kepala, sakit mata, rasa
gatal selama 7-10 hari.5,6
6
F. Diagnosis
7
konvalesens dengan tes ELISA, HAI, pasif HA atau tes LA, atau dengan adanya
IgM spesifik rubella yang mengindikasikan infeksi rubella sedang terjadi.6
Sera sebaiknya dikumpulkan secepat mungkin (dalam kurun waktu 7-10 hari)
sesudah onset penyakit dan pengambilan berikutnya setidaknya 7-14 hari (lebih
baik 2-3 minggu) kemudian. Virus bisa diisolasi dari faring 1 minggu sebelum
dan hingga 2 minggu sesudah timbul ruam. Virus bisa ditemukan dari contoh
darah, urin dan tinja. Namun isolasi virus adalah prosedur panjang yang
membutuhkan waktu sekitar 10-14 hari. Diagnosa dari CRS pada bayi baru lahir
dipastikan dengan ditemukan adanya antibodi IgM spesifik pada spesimen
tunggal, dengan titer antibodi spesifik terhadap rubella diluar waktu yang
diperkirakan titer antibodi maternal IgG masih ada atau melalui isolasi virus yang
mungkin berkembang biak pada tenggorokan dan urin paling tidak selama 1
tahun. Virus juga bisa dideteksi dari katarak kongenital hingga bayi berumur 3
tahun.5,6
G. Penatalaksanaan
H. Pencegahan
Pada orang yang rentan, proteksi pasif dari atau pelemahan penyakit dapat
diberikan secara bervariasi dengan injeksi intramuskuler globulin imun serum
(GIS) yang diberikan dengan dosis besar (0,25 – 0,50 mL/kg atau 0,12-0,20
mL/lb) dalam 7-8 hari pasca pemajanan. Efektivitas globulin imun tidak dapat
diramalkan. Tampaknya tergantung pada kadar antibodi produk yang digunakan
dan pada faktor yang belum diketahui. Manfaat GIS telah dipertanyakan karena
8
pada beberapa keadaan ruam dicegah dan manifestasi klinis tidak ada atau
minimal walaupun virus hidup dapat diperagakan dalam darah. Bentuk
pencegahan ini tidak terindikasI, kecuali pada wanita hamil nonimun.7
I. Vaksinisasi
Tidak ada efek imunisasi yang terjadi pada anak yang sebelumnya telah
mendapat imunitas terhadap salah satu atau lebih dari ketiga penyakit ini. Pada
populasi dengan insidens yang tinggi pada infeksi campak dini, imunisasi MMR
dapat diberikan pada usia 9 bulan. Indikasi lain pada pemberian vaksin MMR
adalah anak dengan penyakit kronik seperti kistik fibrosis, kelainan jantung
bawaan, kelainan ginjal bawaan, gagal tumbuh, sindrom Down, anak berusia 1
9
tahun ke atas yang berada di lembaga pengasuh anak atau sekolah bermain, anak
yang tinggal di lembaga cacat mental, individu dengan HIV(+) dapat diberikan
vaksin MMR bila tidak ditemukan kontra indikasi lainnya. Vaksin MMR
diberikan dalam dosis tunggal 0,5 mL, diberikan secara intramuskular atau
subkutan dalam.8
Vaksin MMR dilaporkan dapat terjadi KIPI berupa reaksi sistemik seperti
malaise, demam atau ruam yang sering terjadi 1 minggu setelah imunisasi dan
berlangsung selama 2-3 hari, kejang setelah 6-11 hari setelah imunisasi, ensefalitis
pasca imunisasi, pembengkakan kelenjar parotis biasanya terjadi pada minggu
ketiga. Kontraindikasi pemberian vaksin MMR jika :
a. Anak dengan penyakit keganasan yang tidak diobati atau gangguan imunitas,
anak yang mendapat pengobatan dengan imunosupresif, terapi sinar, atau
mendapat steroid dosis tinggi.
b. Anak dengan alergi berat (pembengkakan pada mulut atau tenggorokan, sulit
bernapas, hipotensi dan syok).
c. Anak dengan demam akut. Vaksin MMR harus ditunda sampai demam
sembuh.
d. Anak yang mendapat vaksin hidup lain (termasuk BCG dan vaksin hidup
lain) dalam waktu 4 minggu. Pada keadaan ini, vaksinasi MMR ditunda lebih
kurang 1 bulan setelah imunisasi yang terakhir.
e. Vaksin MMR tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan setelah pemberian
imuniglobulin atau transfusi darah (whole blood).
f. Wanita hamil tidak dianjurkan mendapat imunisasi MMR dan dianjurkan
tidak hamil selama 3 bulan setelah mendapat suntikan. Jika seorang anak > 12
bulan belum mendapat imunisasi, pemberian human immunoglobulin dapat
dilakukan dengan dosis 0,2 mL/kgBB pada anak sehat dan 0,5 mL/kgBB
10
pada individu imunokompromais (dosis maksimal 15 mL). Pada wanita hamil
nonimun yang terapar dengan campak dapat diberikan NIGH 0,2 mL/kgBB.8
J. Diagnosis Banding
Penyakit yang memberikan gejala klinis dan eksantema yang menyerupai
rubela adalah :
a. Penyakit virus : campak, roseola infantum, eritema mononukleosis infeksiosa
dan Pityriasis rosea
b. Penyakit bakteri : scarlet fever (Skarlatina).
c. Erupsi obat : ampisilin, penisilin, asam salisilat, barbiturat, INH, fenotiazin
dan diuretik tiazid. Bercak erupsi rubela yang berkonfluensi sulit dibedakan
dari morbili, kecuali bila ditemukan bercak koplik yang karakteristik untuk
morbili. Erupsi rubela cepat menghilang sedangkan erupsi morbili menetap
lebih lama. Bila terjadi kemerahan difus dan tampak bercak-bercak berwarna
lebih gelap diatasnya, perlu dibedakan dari scarlet fever. Tidak seperti scarlet
fever, pada rubela daerah perioral terkena.5,6,8
Erupsi pada infeksi mononukleosis dapat menyerupai rubela derajat berat,
namun penyakit itu dimulai dengan difteroid atau Plaut-Vincent-like
tonsilitis, demam lebih tinggi, pembesaran kelenjar getah bening umum serta
pembesaran hepar dan limpa.5,6,8
Pada sifilis stadium dua ditemukan juga eksantema yang menyerupai
rubela, disertai pembesaran kelenjar getah bening umum, kadang-kadang
perlu pemeriksaan serologik untuk sifilis. Erupsi obat menyerupai rubela
yang dapat disertai pembesaran kelenjar getah bening disebabkan terutama
oleh senyawa hidantoin. Pada kasus yang meragukan dapat dilakukan
pemeriksaan hemogram dan serologik.5,6,8
DAFTAR PUSTAKA
11
1. Rubella [Internet]. World Health Organization. World Health
Organization; [cited 2018sept05]. Available from:
http://www.searo.who.int/indonesia/topics/immunization/mr_measles_stat
us.pdf?ua=1
2. Rubella (crs) reported cases [Internet]. WHO World Health Organization:
Immunization, Vaccines And Biologicals. Vaccine preventable diseases
Vaccines monitoring system 2017 Global Summary Reference Time
Series: RUBELLA (CRS). [cited 2018sept05]. Available from:
http://apps.who.int/immunization_monitoring/globalsummary/timeseries/ts
incidencecrs.html
3. [Internet]. 2018 [cited 05 september 2018]. Available from:
https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/rubella.pdf
4. Kemenkes. 2018 [ cited 27 agustus 2018 ]. Available from :
http://www.depkes.go.id/article/view/18082900001/imunisasi-mr-massal-
di-pulau-jawa-pada-2017-berhasil-turunkan-kasus-campak-dan-
rubella.html
5. German Measless[Internet]. 2018 [cited 05 september 2018]. Available
from: http://fac.ksu.edu.sa/sites/default/files/rubella_virus.pdf
6. The Immunological Basis for Immunization Series. Modue 11:
Rubella[Internet]. 2018 [cited 01 september 2018]. Available from:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/43922/1/9789241596848_eng.pdf
7. Treatment and prevention of rubella [Internet]. Healthdirect.gov.au. 2018
[cited 01 september 2018]. Available from:
https://www.healthdirect.gov.au/treatment-and-prevention-of-rubella
8. WHO-recommended standard for surveillance of selected vaccine-
preventable disease. [cited 01 september 2018] Available from
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/68334/1/WHO_V-
B_03.01_eng.pdf?ua=1.
12
13