Anda di halaman 1dari 17

I.

PENDAHULUAN

Rubela adalah penyakit yang di sebabkan oleh virus dan menimbulkan demam ringan
dengan ruam pungtata dan ruam makulopapuler yang menyebar dan kadang-kadang mirip
dengan campak atau demam scarlet. Penyakit ini di tularkan melalui cairan yang keluar dari
hidung atau tenggorokan, penyakit ini juga dapat di tularkan melalui aliran darah oleh seorang
wanita yang sedang hamil kepada janin yang di kandungnya. Bahaya medis yang utama dari
penyakit ini adalah infeksi pada wanita hamil yang dapat menyebabkan sindrom cacat bawaan
pada janin tersebut. Infeksi janin pada usia lebih muda mempunyai resiko kehamilan di dalam
rahim, abortus spontan dan kecacatan congenital dari sistem organ tubuh utama. Cacat yang
terjadi bisa satu atau kombinasi dari jenis cacat berikut seperti tuli, katarak, mikroftalmia,
glaucoma congenital, mikrosefali, meningoensefalitis, keterbelakangan mental, patent ductus
arteriosus, defek septum atrium atau ventrikel jantung, purpura.
Infeksi rubella berbahaya bila terjadi pada wanita hamil muda, karena dapat
menyebabkan kelainan pada bayinya. Jika infeksi terjadi pada bulan pertama kehamilan maka
resiko terjadinya kelainan adalah 50% sedangkan infeksi terjadi trimester pertama maka resiko
menjadi 25%.
Sebelum vaksin rubella tersedia pada tahun 1969 epidemi rubella terjadi 6-9 tahun, anak-
anak dengan usia 5-9 tahun menjadi korban utama dan muncul banyak kasus rubella bawaan.
Sekarang, dengan adanya program imunisasi pada anak-anak dan remaja usia dini hanya muncul
sedikit kasus rubella bawaan. Anak-anak biasanya memberikan gejala konstitusional yang
minimal, tetapi orang dewasa akan mengalami gejala prodromal selama 1-5 hari berupa demam
ringan, sakit kepala, malaise, coryza ringan dan konjungtivitis. Limfadenopati post aurikuler,
oksipital dan servikal posterir muncul dan merupakan ciri khas dari infeksi dari virus ini yang
biasanya muncul 5-10 hari sebelum timbulnya ruam. Hampir separuh infeksi virus ini tanpa
ruam. Lekopeni umum terjadi dan trombositopeni juga bisa terjadi tetapi manifestasi perdarahan
jarang. Arthalgia dan yang ensefalitis dan trombositopeni jarang terjadi pada anak-anak,
ensefalitis terjadi lebih sering pada orang dewasa.
1.1 Definisi dan Epidemiologi

Rubella atau di kenal juga dengan nama Campak Jerman adalah penyakit menular yang
di sebabkan oleh Virus Rubella. Virus biasanya menginfeksi tubuh melalui pernapasan seperti
hidung dan tenggorokan. Virus Rubella memiliki distribusi di seluruh dunia dengan wabah
terjadi paling sering pada akhir musim dingin dan awal musim semi. Manusia adalah satu-
satunya tuan rumah infeksi. Anak-anak usia sekolah, remaja, dan dewasa muda paling sering
terserang penyakit ini. Anak-anak biasanya sembuh lebih cepat di bandingkan orang dewasa.
Data epidemiologi terdahulu menunjukkan bahwa epidemi rubella minor terjadi tiap 6-9
tahun, sedangkan epidemi skala besar terjadi tiap interval 30 tahun. Epidemi besar rubella paling
mutakhir terjadi pada tahun 1964 ketika sebanyak 12 juta orang terinfeksi rubella. Epidemi
kadang-kadang terjadi di negara berkembang, khususnya dimana vaksinnya tidak tersedia. Sejak
diperkenalkannya vaksin rubella di Amerika Serikat pada tahun 1969, kejadian rubella dan
sindrom rubella bawaan telah secara drastis menurun. Sejak tahun 2003, kurang dari 20 kasus
dilaporkan setiap tahun di Amerika Serikat. Studi epidemiologi telah mengidentifikasi bahwa
individu yang lahir di luar negara atau di daerah miskin vaksin mengalami peningkatan risiko
rubella. Chang C, Ma H, Liang W, Hu P, Mo X, An Z, et al, 2014. Hum Vaccin Immunother . 2017.
            Rubella virus adalah virus RNA dari keluarga togavirus. Virion virus rubella berukuran
diameter 70nm dengan amplop lipid yang mengandung dua glikoprotein virus yang penting,
yakni E1 dan E2, serta sebuah nukleokapsid yang mengandung molekul RNA rantai positif dan
protein kapsid. Glikoprotein E1 dan E2 memiliki bentuk heterodimer dalam virion rubella.
Protein E1 tergolong dalam protein transmembran dengan domain fungsional yang penting untuk
Chen MH, Icenogle J. 2006
sifat antigenik virion rubella[ ].  Virus rubella memiliki waktu inkubasi 1-21
hari.
            Rubella adalah penyakit infeksi akut oleh  virus yang di tandai dengan demam  ringan
dan bintik dan berkas merah pada seluruh badan mirip dengan campak. Rubella berbeda dengan
(campak rubeola), meskipun kedua penyakit ini cenderung memiliki karakteristik yang sama
seperti ruam merah yang khas. Rubella di sebabkan oleh virus yang berbeda dari campak dan
tidak separah campak. Rubella yang mengenai ibu hamil terutama pada trimester pertama dapat
mengakibatkan kompikasi serius pada janin seperti kecacatan lahir bahkan kematian janin.
Rubella pada saat hamil juga menjadi penyebab paling umum dari tuli kongenital.
2.2       Penularan Rubella
            Cara penularan rubella melalui sekret nasofaring dari orang terinfeksi. Infeksi terjadi
melalui droplet atau kontak langsung dengan penderita. Bayi dengan Sindrom Kongenital
Rubella mengandung virus pada sekret nasofaring dan urin mereka dalam jumlah besar, sehingga
menjadi sumber infeksi. Penularan juga terjadi  melalui kontak dengan cairan yang berasal dari
nasofaring penderita. Virus ini juga menular melalui partikel udara.
            Penularan virus rubella dapat terjadi ketika orang yang terinfeksi batuk atau bersin atau
menular melalui kontak langsung dengan sekret pernapasan (seperti lendir) orang yang
terinfeksi. Rubella juga dapat di tularkan dari wanita hamil ke janinya melalui aliran darah.
Orang yang terinfeksi rubella juga dapat menularkan penyakitnya bahkan sebelum gejalanya
muncul. . Curti SP, Figueiredo CA, de Oliveira MI, Andrade JQ, Zugaib M, et al. 2014
Periode inkubasi Rubella bervariasi dari 12 hingga 23 hari, yang berlangsung selama 17 hari.
Setelah terpapar virus, biasanya terjadi ruam makulopapular, pertama kali muncul di wajah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Anak dengan sindrom rubella kongenital dapat mengeliminasi virus
selama lebih dari 1 tahun, dan transmisi yang terbesar dalam bulan pertama kehidupan. Imunitas
pasif diakuisisi oleh antibodi ibu dan kekebalan aktif oleh infeksi alami atau vaksinasi. kekebalan
Anak dari ibu umumnya tetap dilindungi oleh antibodi selama 6 sampai 9 bulan kehidupan.
Transmisi virus ke janin terjadi secara viremia melalui transplasental.Transmisi ini secara
langsung dipengaruhi oleh usia kehamilan.Tingkat transmisi janin mencapai 90% dalam 12
minggu kehamilan, dengan penurunan antara 12 sampai 28 minggu usia kehamilan dan
meningkat lagi pada akhir trimester ke-3 kehamilan dapat mencapai hingga 100%. Bayi baru
lahir terinfeksi akan menjadi reservoir virus, menyebarkan penyakit di kemudian hari: eliminasi
virus dapat terjadi hingga usia18 atau 24 bulan (80% transmisbilitas di bulan pertama
kehidupan; 62% bulan keempat; 33% antara bulan kelima dan bulan kedelapan; 11% antara
sembilan dan dua belas bulan dan 3% pada tahun kedua kehidupan). Thompson KM, Badizadegan ND. 2017
Gambaran Klinis

Eksantema, yang terjadi 14 hingga 17 hari setelah paparan, ditandai oleh makula merah
dan papula yang dimulai di wajah, dengan cepat berkembang melibatkan leher, badan, dan
ekstremitas . Lesi pada batang dapat menyatu, sedangkan pada bagian ekstremitas seringkali
tetap lebih terpisah. Ruam biasanya mulai menghilang dalam 2 hingga 3 hari,
           Gejala rubella terutama pada anak-anak seringkali sangat ringan sehingga sulit untuk di
identifikasikan. Jika memang tanda dan gejala terjadi, umunya baru akan muncul antara 2 atau 3
minggu setelah terpapar virus. Gejala-gejala umum dari rubella antara lain:
-       Ruam merah (di mulai dari wajah lalu menjalar ke leher dan ekstremitas kaki dan tangan yang
berlangsung sekitar 3 hari)
-       Demam ringan 38,9o C atau lebih rendah
-       Pembesaran kelenjar getah bening (di dasar tengkorak, bagian belakang leher dan belakang
telinga).
-       Mata merah
-       Hidung tersumbat atau meler
            Anak yang mengalami rubella pertama kali datang dengan ruam eritematosa,
makulopapular dan pruritik yang di mulai pada wajah dan menyebar ke ekstremitas. Ruam
biasanya berlangsung selama 3 hari, dengan bagian yang pertama kali bersih adalah wajah.
Orang dewasa dapat datang dengan gejala prodromal (demam, malaise, batu, nyeri tenggorokan
dan limfadenopati). Beberapa hari sebelum timbul ruam, limfadenopati berlangsung sekitar 1
minggu dan paling menonjol pada aurikular posterior, suboksipital dan rantai servikal posterior.
Artralgian dan asrtritis yang jarang terjadi pada anak, lebih sering terjadi pada remaja dan orang
dewasa terutama perempuan.

2.4       Patofisiologi
            Secara patofisiologi, infeksi rubella postnatal dan kongenital memiliki persamaan dalam
hal mekanisme penularan virus melalui kontak langsung atau aerosol dari sekresi saluran napas
atas dari individu yang infeksius terhadap individu yang rentan. Namun, infeksi rubella postnatal
dan kongenital berbeda dalam hal tingkat kerusakan organ dan komplikasi jangka panjang yang
mungkin terjadi.

Infeksi Rubella Postnatal


Patogenesis infeksi rubella berawal ketika virus ditularkan secara kontak langsung atau
aerosol dari sekresi saluran napas atas individu yang infeksius. Tingkat infeksi ditentukan oleh
jumlah virus yang terkandung dalam sekresi yang berasal dari nasofaring dan dapat berlangsung
sejak 1 minggu sebelum hingga 2 minggu setelah munculnya ruam. Masa paling menular adalah
Mongua-Rodriguez N, Díaz-Ortega JL, García-García L, Piña-Pozas
antara 5 hari sebelum hingga 6 hari setelah awitan ruam.
M, Ferreira-Guerrero E, Delgado-Sánchez G, et al.2013.

Setelah paparan virus terjadi, virus melekat pada sel epitel saluran napas dan menginvasi
sel serta menyebar secara hematogen.  Manifestasi klinis viremia dapat terjadi selama 5-7 hari
setelah infeksi. Kemudian, virus mengalami replikasi di sistem retikuloendotelial yang diikuti
oleh viremia sekunder hingga akhir minggu kedua pasca infeksi. Bukti infeksi virus dalam sel
dapat dilihat hingga 4 minggu sejak infeksi bermula pada limfosit dan monosit dari sampel darah
perifer. Dalam kurun waktu 8-14 hari sejak paparan, replikasi virus secara aktif terjadi di dalam
tubuh dan virus dapat ditemukan pada berbagai lokasi anatomi seperti saluran napas, kulit, nodus
limfa, urin, cairan serebrospinal, dan air susu. Pada periode inilah gejala klinis, pembentukan
Banatvala
imunitas humoral, dan keluaran virus yang berasal dari nasofaring secara maksimal terjadi.
JE, Brown DWG. 2004
.

Respons imunitas humoral yang mengikuti infeksi alamiah dan vaksinasi rubella ditandai
oleh pembentukan berbagai golongan antibodi reaktif terhadap antigen virus yang berbeda,
termasuk hemaglutinin, antibodi pengikat komplemen, dan antigen presipitin. Jumlah antibodi
penghambat hemaglutinin mulai meningkat sejak awitan ruam sedangkan antibodi pengikat
komplemen baru muncul satu minggu setelah timbulnya ruam. Di sisi lain, titer puncak inhibisi
hemaglutinin dan antibodi penetral virus terjadi 2 minggu setelah awitan ruam. Antibodi
inhibitor hemaglutinin dan antibodi penetral virus tersebut masih dapat terdeteksi hingga jangka
waktu yang lama. Duszak RS. 2019

Sementara itu, peran imunitas seluler dalam respons terhadap infeksi rubella masih belum
dipelajari secara mendalam. Terdapat bukti bahwa kekebalan seluler terhadap virus rubella mulai
terjadi sejak 1 minggu sebelum pembentukan imunitas humoral dan diduga bertahan seumur
hidup. Di sisi lain, supresi temporer terhadap imunitas seluler dan penurunan jumlah leukosit
dapat terjadi pasca infeksi alamiah dan vaksinasi. Namun, supresi imunitas seluler tersebut
belum pernah dilaporkan hingga menyebabkan imunosupresi yang bermakna secara klinis pada
Mongua-Rodriguez N, Díaz-Ortega JL, García-García L, Piña-
individu imunokompeten yang mengalami infeksi rubella.
Pozas M, Ferreira-Guerrero E, Delgado-Sánchez G, et al.2013

Infeksi Rubella Kongenital


Berbeda dengan infeksi rubella postnatal, patogenesis infeksi rubella kongenital dapat
bersifat persisten dan berlangsung secara progresif. Janin yang mengalami sindrom rubella
kongenital (SRK) dapat mengeluarkan virus melalui sekresi nasofaring dan urin hingga usia 1
Sugishita Y,
tahun dan dapat menularkan virus tersebut pada individu yang rentan terhadap infeksi.
Akiba T, Sumitomo M, Hayata N, Hasegawa M, Tsunoda T, et al. 2016

Walaupun hingga kini belum diketahui secara pasti apakah terdapat reseptor seluler
khusus yang menjadi jalur masuknya virus rubella ke dalam sel, bukti yang ada secara in
vitro menunjukkan bahwa protein E1 pada rubella dapat mengikat glikoprotein oligodendrosit
mielin (myelin oligondendrocyte glycoprotein/MOG). Kemampuan rubella dalam menginfeksi
plasenta disertai adanya patologi saraf yang berkaitan dengan sindrom rubella kongenital (SRK)
dan ekspresi MOG pada kedua jenis jaringan tersebut menimbulkan dugaan bahwa MOG adalah
reseptor virus rubella. Cong H, Jiang Y, Tien P,2011.
Infeksi janin dan plasenta oleh virus rubella terjadi setelah adanya infeksi rubella
maternal pada trimester pertama kehamilan. Masuknya virus rubella ke tubuh janin pada tahap
organogenesis tersebut berkaitan erat dengan peningkatan risiko kematian janin dan
teratogenisitas. Proporsi kelainan janin pada trimester pertama kehamilan yang mengikuti infeksi
rubella maternal mencapai 85%-90% kasus dan berkurang hingga 50% apabila infeksi terjadi
saat usia kehamilan 13-16 minggu dan 25% saat infeksi terjadi pada usia kehamilan 15-16
minggu. Sementara itu, kelainan janin sangat langka terjadi ketika usia kehamilan di atas 16
minggu walaupun tuli sensorineural pada bayi masih dapat terjadi pada infeksi maternal usia
kehamilan 20 minggu.

Hingga kini masih belum diketahui faktor yang berkaitan dengan kerentanan plasenta dan
janin terhadap infeksi virus rubella pada trimester pertama. Efek patologi dari infeksi rubella
kongenital terjadi akibat vaskulitis nekrotikans progresif imbas virus. Pemeriksaan histopatologi
janin pasca infeksi rubella kongenital menunjukkan kerusakan endotel non inflamatorik pada
Horn L-
pembuluh darah kecil yang menyebabkan trombosis dan nekrosis jaringan di sekelilingnya.
C, Röse I. 2018.

Kelainan patologi lainnya mencakup peradangan fokal, edema, dan perubahan


granulomatosa.  Terdapat bukti adanya gangguan mitosis akibat kerusakan sitoskeleton,
apoptosis, dan defek kromosom pada janin yang terinfeksi kongenital dan sel embrional yang
terinfeksi secara kronik. Spektrum infeksi virus rubella pada janin dapat bervariasi mulai dari
kelainan ekstensif multiorgan apabila infeksi terjadi sejak awal trimester pertama hingga
keterlibatan fokal pada beberapa organ, khususnya mata dan telinga, jika infeksi terjadi setelah
usia kehamilan 11-12 minggu. Geyer H, Bauer M, Neumann J, Lüdde A, Rennert P, Friedrich N, et al. 2016.

2.5     Diagnosa
            Ruam rubella bisa mirip dengan ruam penyakit akibat virus lainnya. Jadi selain dengan
mempelajari riwayat medis dan pemeriksaan fisik lengkap, penegakkan diagnosa rubella akan di
tunjang dengan kultur tenggorokan dan tes darah. Yang mana hal ini dapat mendeteksi
keberadaan  berbagai jenis antibodi rubella dalam darah. Antibodi ini akan menjukkan apakah
seseorang sedang atau pernah menggalami rubella atau pernah di vaksinasi rubella. Best JM, Enders G. 2006.
Kadar imonoglobulin M (IgM) serum dan IgG serum akut serta konvalesen biasanya
mengkonfirmasi diagnosis virus rubella dapat di kultur dari apusan nasofaring atau faring, urin,
darah dan cairan serebrospinal. Pemberitahuan pada petugas laboratorium  tentang kemungkinan
infeksi rubella dapat meningkatkan sensitivitas kultur.
Diagnosis biasanya dibuat menggunakan serologi untuk mendeteksi antibodi IgM
spesifik-rubella (hingga 8 minggu setelahnya infeksi) atau untuk mendokumentasikan
peningkatan empat kali lipat dalam antibodi titer dalam serum fase akut dan fase pemulihan.
Seperti campak, kasus rubella harus dilaporkan ke lokal atau departemen kesehatan negara.
Kultur virus (hidung, tenggorokan, darah, urin, serebrospinal cairan [CSF], dan cairan sinovial)
adalah sensitif tapi sering sulit karena pengaruh waktu, PCR dapat digunakan untuk mendeteksi
virus rubella dari usap tenggorokan atau cairan oral dengan genotipe strain berikutnya untuk
mengidentifikasi sumber selama wabah. Jumlah sel darah lengkap biasanya menunjukkan
leukopenia dengan neutropenia relatif.  Hübschen JM, Bork SM, Muller CP, Brown KE, Mankertz A, Santibanez S, et al. 2017.
Banyak penyakit memiliki presentasi klinis yang mirip dengan rubella. Diagnosis Rubella
pada umumnya biasanya dilakukan melalui gambar klinis yang kemudian dikonfirmasi dengan
tes laboratorium,seperti pencarian antibodi anti-Rubella. Laboratorium tes, serologi atau isolasi
virus dan rantai polymerase Reaksi (PCR), sangat penting untuk menetapkan diagnosis[21, 33].
virus Rubella dapat diisolasi dari cairan nasal, darah, tenggorokan, urin dan cairan serebrospinal
sampel dari pasien dengan Rubella dan CRS. Virus dapat diisolasi dari faring 1 minggu sebelum
dan sampai 2 minggu setelah ruam dimulai.
Serologi adalah metode yang paling umum untuk mendiagnosis rubella. Infeksi rubella
akut dapat dikonfirmasi oleh peningkatan signifikan dalam titer antibodi terhadap rubella di
sampel serum atau dengan adanya serum anti-Rubella IgM. Serum harus dikumpulkan sesegera
mungkin (dalam waktu 7-10 hari) setelah terjadinya penyakit dan lagi 14 sampai 21 hari
(minimal 7) hari ' kemudian . Namun, positif palsu dapat terjadi pada deteksi IgM,terutama pada
metodologi yang digunakan untuk deteksi dari imunoglobulin dalam serum. Tes IgM positif
palsu untuk Rubella terjadi pada orang dengan infeksi Parvovirus, dengan tes heterophile positif
untuk mononukleosis menular atau dengan faktor rematik positif. Hübschen JM, Bork SM, Muller CP, Brown KE, Mankertz
A, Santibanez S, et al. 2017 .
Enzim-Linked Immunosorbent assay (ELISA) banyak tersedia dan relatif mudah
Epidemiology and prevention of
untuk dilakukan dan juga dapat dimodifikasi untuk mengukur antibodi IgM.
Vaccine- Preventable Diseases. Rubella 2019.

Teknologi PCR (RT-PCR) real-time merupakan evolusi metode PCR. Prinsipnya


Namuwulya P,
didasarkan pada duplikasi untai DNA "in vitro" yang dapat diulang beberapa kali.
Abernathy E, Bukenya H, Bwogi J, Tushabe P, 2014.
Tes RT-PCR jauh lebih sensitif, spesifik dan cepat,terutama bila
dibandingkan dengan tes konvensional, hanya membutuhkan waktu 2 hingga 3 jam untuk
Zheng Q, Abernathy ES, Sun H, Zhu Z, de Filippis A, et al. 2013.
menampilkan hasilnya. . . RT-PCR saat ini adalah teknik
Rota PA1, Brown KE,
laboratorium yang paling banyak digunakan untuk konfirmasi infeksi Rubella .
Hübschen JM, Muller CP, Icenogle J, et al. 2011..
Sampel biasa diampbil dari sekresi hidung, nasofaringeal, urin
Takao S, Shigemoto N, Shimazu Y, Tanizawa Y, Fukuda S, et al, 2012
atau sel darah PMN. . Diagnosis infeksi Rubella
kongenital terutama didasarkan pada deteksi Rubella virus dalam cairan amnion oleh RT-PCR.
(atau deteksi virus Rubella-spesifik antibodi IgM dalam darah janin. Identifikasi yang cepat dan
akurat dari virus Rubella sangat penting pada wanita hamil karena dapat membantu pengobatan
dan mengidentifikasi perlunya tindak lanjut jangka panjang. Macé M, Cointe D, Six C, Levy-Bruhl D, Parent du Châtelet I,
et al. 2004.
Pada banyak negara, secara klinis rubella yang dapat dikonfirmasi dalam βirst 8 minggu
kehamilan dianggap sebagai indikasi untuk aborsi terapeutik karena tingginya insiden cacat
lahir . Curti SP, Figueiredo CA, de Oliveira MI, Andrade JQ, Zugaib M, et al. 2014.

2.6     Komplikasi
            Seperti yang diungkapkan di atas rubella merupakan infeksi ringan. Sekali saja orang
terkena rubella, maka dia akan kebal seumur hidup. Sebagian wanita yang terkena rubella
mengalami arthritis pada jari-jari, pergelangan tangan dan lutut yang umunya berlangsung
selama 1 bulan. Dalam kasus yang cukup jarang terjadi, rubella dapat menyebabkan infeksi
telinga (otitis media) atau radang otak (ensefalitis).
Komplikasi yang berbahaya adalah ketika seorang wanita hamil dan terkena rubella,
Konsekuensi berat pada bayi yang di kandungnya. Sekitar 90% bayi yang di lahirkan dari ibu
yang mengidap rubella pada trimester pertama kehamilan menyebabkan sindrom rubella bawaan.
Hal ini akan mengakibatkan satu atau beberapa gangguan, antara lain:
-       Retardasi pertumbuhan
-       katarak
-       ketulian
-       cacat jantung bawaan
-       cacat pada organ lain
-       keterbelakangan mental
Resiko tinggi janin akan berada dalam trimester pertama kehamilan, namun trimester
selanjutnya juga berbahaya. sebagian besar infeksi bersifat swasirna dan komplikasi klinis jarang
terjadi, namun infeksi kongenital di sertai dengan morbiditas dan mortalitas yang segnifikan.
Infeksi martenal pada trimester pertama menyebabkan infeksi fetal pada sebagian besar kasus
dan menyebabkan defek kongenital pada 100% bayi yang terinfeksi. Sebaliknya, hampir tidak
terdapat resiko infeksi fetal atau defek kongenital setelah trimester kedua. Infeksi kongenital
. Armstrong N.,
dapat menyebabkan abortos spontan, retardasi pertumbuhan intrauterin atau lahir mati.
2015.

2.7 Diagnosis Banding


Infeksi rubella sulit dibedakan secara klinis dari parvovirusB19, karena demam,gejala
ruam dan sendi umumnya terjadi pada kondisi keduanya.Namun,eritema konfluen dari kedua
pipi lebih mungkin terlihat dengan parvovirus. Pada wanita hamil,baik dengan riwayat pajanan
atau presentas idengan ruam nonvesikular, harus diselidiki untuk infeksi keduanya.Perjalanan
klinis rubella lebih pendek dan lebih ringan dari pada campak. Mononukleosis juga merupakan
diferensial diagnosis karena temuan klinis limfadenopati;namun,mononukleosis sendiri
menunjukkan atipikal limfositosis pada uji laboratorium.

2.8 Prognosis
Pada kasus infeksi rubella postnatal, prognosis penyakit umumnya baik tanpa
menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa.

2.9    Pengobatan
            
Penatalaksanaan kuratif secara spesifik untuk infeksi rubella postnatal dan sindrom
rubella kongenital (SRK) masih belum diketahui. Pengobatan simptomatik untuk gejala demam
dan nyeri sendi atau arthritis dapat dilakukan apabila terdapat indikasi. Pada era modern pasca
penemuan vaksin rubella, pemberian vaksin pada anak-anak maupun orang dewasa yang rentan
Mongua-Rodriguez N, Díaz-Ortega JL, García-García L,
merupakan strategi pilihan untuk mencegah sindrom rubella.
Piña-Pozas M, Ferreira-Guerrero E, Delgado-Sánchez G, et al, 2013

Pengobatan medikamentosa pada orang dewasa dengan infeksi rubella umumnya bersifat
suportif saja. Penggunaan paracetamol dan peningkatan asupan cairan dapat membantu
meredakan demam. Hingga kini belum ada bukti yang cukup untuk mendukung penggunaan
imunoglobulin pada wanita hamil dengan tujuan menurunkan komplikasi janin akibat rubella.
Namun, pada wanita hamil dengan riwayat paparan rubella yang memilih untuk
mempertahankan kehamilan, pemberian imunoglobulin (IVIG) dapat dipertimbangkan.Dontigny L,

Arsenault MY, Martel MJ, Biringer A, Cormier J, Delaney M, et al. 2008


. Sayangnya, IVIG belum tersedia di Indonesia.

Untuk kasus yang lebih berat dapat diberikan:


 Pada arthritis yang berat, sarankan pasien untuk beristirahat dan dapat diberikan obat anti
inflamasi non steroid (OAINS).

 Pada pasien dengan ensefalitis, berikan terapi suportif dengan pemberian cairan rumatan
dan menjaga keseimbangan elektrolit.

 Trombositopenia umumnya self limited, tetapi jika berat dan terjadi perdarahan, dapat
diberikan imunoglobulin intravena (IVIG).

Sindrom Rubella Kongenital (SRK)


Pada neonatus, lakukan pemeriksaan dan rujukan mata jika terdapat kekeruhan kornea,
katarak, dan retinopati. Adanya kekeruhan kornea bisa menandakan glaukoma infantil. Sindrom
rubella kongenital dapat menyebabkan depresi pernafasan, dan bayi harus dirawat di ICU untuk
dilakukan pemantauan ketat dan bantuan napas menggunakan ventilator.

Pasien dengan hiperbilirubinemia mungkin memerlukan fototerapi atau transfusi tukar


untuk mencegah kernikterus. Tindakan operatif mungkin diperlukan pada pasien yang memiliki
penyakit jantung bawaan karena rubella dan juga pada pasien dengan defek oftalmologi seperti
katarak, glaukoma, dan neovaskularisasi. Pada anak dengan gangguan pendengaran, dapat
dilakukan implan koklea. Ezike, Elias. Pediatric Rubella. Medscape, 2017 ; Kanchanalarp C,dkk, 2016]

2.9       Pengendalian
            Pengendalian rubella yaitu dengan menambahkan imunisasi rubella ke dalam imunisasi
rutin nasional dalam bentuk vaksin kombinasi dengan campak (Measles Rubella/MR) yang
dengan di dahului oleh imunisasi tambahan MR pada tahun 2017. Untuk memastikan seluruh
kegiatan tersebut berjalan dengan baik dan sesuai rencana di butuhkan tim yang terdiri dari
pemerintah, para ahli, stakeholder dan lintas sektor terkait yang berperan aktif mulai dari tahap
persiapan, pelaksanaan sampai pemantauan dan evaluasi seluruh rangkaian kegiatan.

2.9     Pencegahan
            Imunisasi MMR pda usia 12 bulan dan 4 tahun. Vaksin rubella merupakan bagian dari
imunisasi rutin pada masa kanak-kanak. Vaksin MMR di berikan pada usia 12-15 bulan, dosis
kedua di berikan pada usia 4-6 tahun.
Wanita usia subur bisa menjalani pemeriksaan serologi untuk rubella. Jika tidak memiliki
antibodi, di berikan imunisasi dan baru boleh hamil 3 bulan setelah penyuntikkan. Vaksin
sebaiknya tidak di berikan ketika ibu sedang hamil atau kepada orang yang mengalami gangguan
sistem kekebalan akibat kanker, terapi kortikosteroid maupun terapi penyinaran.
            Vaksin campak, gondong dan rubella (MMR) merupakan kombinasi vaksin yang
berfungsi melindungi anak-anak dari serangan tiga virus ini. Vaksin MMR efektif memberikan
kekebalan pada kebanyakkan orang dan orang yang sudah terkena rubella biasanya akan kebal
seumur hidupnya.
Vaksin MMR yang pertama biasanya di berikan pada saat anak berusia 12 bulan, vaksin
ke dua di berikan saat usia 4-6 tahun. Walau sebenarnya vaksin ke dua sudah bisa di berikan
setelah 28 hari sejak pemberian vaksin pertama, meskipun belum berusia 4 tahun.
            Perawatan pencegahan terdiri dari regimen vaksin dua dosis (bagian dari vaksin MMR
campak (measles) parotitis dan mumps) rubella). Vaksin rubella adalah vaksin yang hidup dan
dilemahkan dan dikontraindikasikan pada kehamilan. Profilaksis pascapajana untuk perempuan
yang terpajan pada awal kehamilan yang tidak menginginkan terminasi kehamilan terdiri dari
imunoglobulin intramuskular (20ml). Pemberian imunoglobulin dalam waktu 72 jam setelah
pajanan paling efektif dalam mencegah infeksi. Tidak ada pengobatan yang efektif untuk infeksi
selama kehamilan atau untuk bayi dengan CRS. Isolasi kontak harus di lakukan untuk setiap bayi
untuk kecurigaan CRS.
            Usaha-usaha pencegahan:
-       Imunisasi aktif
-       Pemberian immune globulin (IG) pada wanita hamil setiap trimester kehamilan
-       Medikamentosa
-       Simtomatis
Pencegahan rubella juga dapat dilakukan dengan:
1. Melakukan penyuluhan kepada masyarakat umum mengenai cara penularan dan pentingnya
imunisasi rubella.
2.   Berikan dosis tunggal vaksin hidup, yaitu vaksin virus rubella yang dilemahkan, dosis tunggal ini
memberikan respon antibodi yang signifikan yaitu kira-kira 98-99% dari orang yang rentan.
3.  Vaksin ini dikemas dalam bentuk kering dan sesudah dilarutkan harus di simpan dalam suhu 2-
80oC (35,60-46,40F) atau pada suhu yang lebih dingin dan dilindungi dari sinar mata hari agar
tetap poten.
4.  Jika diketahui adanya infeksi pada awal kehamilan, tindakan aborsi sebaiknya di pertimbangkan
karena risiko terjadinya cacat pada janin sangat tinggi.
5.  Pemberian Imunoglobulin yang diberikan sesudah pajanan pada awal masa kehamilan mungkin
tidak melindungi terhadap terjadinya infeksi atau viremia, tetapi mungkin bisa mengurangi gejala
klinis yang timbul.
II. RINGKASAN

Rubella atau disebut juga campak Jerman adalah infeksi virus eksantematosa akut yang
disebabkan oleh virus rubella. Kendati sebagian besar kasus infeksi rubella menyebabkan gejala
yang ringan dan self limited, penyakit ini berpotensi menimbulkan masalah kesehatan yang
serius ketika virus rubella menginfeksi janin khususnya pada trimester pertama kehamilan.
Infeksi rubella maternal dan sejumlah gejala yang dialami janin akibat gangguan pembentukan
organ serta inflamasi sistemik disebut sebagai sindrom rubella kongenital.
Walaupun hingga kini belum diketahui secara pasti apakah terdapat reseptor seluler
khusus yang menjadi jalur masuknya virus rubella ke dalam sel, bukti yang ada secara in
vitro menunjukkan bahwa protein E1 pada rubella dapat mengikat glikoprotein oligodendrosit
mielin (myelin oligondendrocyte glycoprotein/MOG). Kemampuan rubella dalam menginfeksi
plasenta disertai adanya patologi saraf yang berkaitan dengan sindrom rubella kongenital (SRK)
dan ekspresi MOG pada kedua jenis jaringan tersebut menimbulkan dugaan bahwa MOG adalah
reseptor virus rubella.
Pemeriksaan serologi masih menjadi pemeriksaan penunjang ideal untuk memastikan
diagnosis infeksi rubella. Hasil yang didapat adalah peningkatan titer imunoglobulin M spesifik
rubella sebanyak empat kali lipat atau lebih pada sampel berpasangan yang diambil dengan
interval 2 minggu, atau serokonversi imunoglobulin G yang mengisyaratkan adanya infeksi baru.

Sementara itu, diagnosis rubella kongenital dibantu adanya riwayat infeksi rubella
maternal atau manifestasi klinis pada janin yang sesuai dengan infeksi rubella kongenital seperti
mikrosefali, hepatosplenomegali, limfadenopati, trombositopenia, dan kelainan penglihatan.
Konfirmasi diagnosis rubella kongenital kemudian dilakukan melalui pemeriksaan serologi atau
virologi melalui pengukuran antibodi terhadap virus rubella dari sampel ibu dan bayi.

Hingga kini belum ada terapi spesifik yang terbukti memperpendek perjalanan penyakit
rubella. Imunisasi dengan menggunakan vaksin virus rubella yang dilemahkan masih menjadi
pendekatan preventif yang berfungsi untuk mencegah infeksi dan komplikasi penyakit rubella.
Rasionalisasi penggunaan vaksin adalah untuk mencegah sindrom rubella kongenital melalui
pengendalian infeksi rubella pascanatal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Chang C, Ma H, Liang W, Hu P, Mo X, An Z, et al. Rubella outbreak and outbreak


management in a school setting, China, 2014. Hum Vaccin Immunother [Internet].
2017;13(4):772–5.
2. Armstrong N. the Health-Related Quality of Life in Mothers of Surviving Deaf Blind Adult
Children With Congenital Rubella Syndrome in the United States. 2015;2(May):31–52.
3. Banatvala JE, Brown DWG. Rubella. Lancet (London, England) [Internet].
2004;363(9415):1127–37.
4. Geyer H, Bauer M, Neumann J, Lüdde A, Rennert P, Friedrich N, et al. Gene expression
profiling of rubella virus infected primary endothelial cells of fetal and adult origin. Virol J
[Internet]. 2016 Feb 2;13:21.
5. Mongua-Rodriguez N, Díaz-Ortega JL, García-García L, Piña-Pozas M, Ferreira-Guerrero E,
Delgado-Sánchez G, et al. A systematic review of rubella vaccination strategies implemented
in the Americas: Impact on the incidence and seroprevalence rates of rubella and congenital
rubella syndrome. Vaccine. 2013;31(17):2145–51.
6. Chen MH, Icenogle J. Chapter 1 Molecular Virology of Rubella Virus. Perspect Med Virol.
2006;15(06):1–18.
7. Dontigny L, Arsenault MY, Martel MJ, Biringer A, Cormier J, Delaney M, et al. Rubella in
Pregnancy. J Obstet Gynaecol Canada. 2008;30(2):152–8.
8. Ezike, Elias. Pediatric Rubella. Medscape, 2017.
https://emedicine.medscape.com/article/968523-overview
38. Kanchanalarp C, Cheewaruangroj W, Thawin C, Lhertsukprasert K. Indication and
Surgical Consideration of Cochlear Implantation at Ramathibodi Hospital. J Med Assosc
Thai, 2006. 89 (8): 1171-7.
9. Duszak RS. Congenital rubella syndrome—major review. Optom - J Am Optom Assoc
[Internet]. 2009 Jan;80(1):36–43.
10. Best JM, Enders G. Chapter 3 Laboratory Diagnosis of Rubella and Congenital Rubella.
Perspect Med Virol. 2006;15(06):39–77.
11. Hübschen JM, Bork SM, Muller CP, Brown KE, Mankertz A, Santibanez S, et al. Challenges
of measles and rubella laboratory diagnostic in the era of elimination. Clin Microbiol Infect.
2017;23(8):511–5. PubMed: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28412379
12. Cong H, Jiang Y, Tien P. Identification of the myelin oligodendrocyte glycoprotein as a
cellular receptor for rubella virus. J Virol [Internet]. 2011 Nov;85(21):11038–47.
3. Best JM. Lesson of the week: Interpretation of rubella serology in pregnancy.
13. Epidemiology and prevention of Vaccine- Preventable Diseases. Rubella 2019. Ref:
https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/ rubella.html#congenital
14. Namuwulya P, Abernathy E, Bukenya H, Bwogi J, Tushabe P, et al. Phylogenetic analysis of
rubella viruses identifi ed in Uganda, 2003- 2012. J Med Virol. 2014; 86: 2107-2113.
PubMed: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24700073
15. . Zheng Q, Abernathy ES, Sun H, Zhu Z, de Filippis A, et al. Genotyping of rubella virus
RNA in sera and dried blood spots collected during routine surveillance and in archival sera.
J Virol Methods. 2013; 187: 284-287. PubMed:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23201287
16. Rota PA1, Brown KE, Hübschen JM, Muller CP, Icenogle J, et al. Improving global
virologic surveillance for measles and rubella. J Infect Dis. 2011; 204: S506-S513.
17. Curti SP, Figueiredo CA, de Oliveira MI, Andrade JQ, Zugaib M, et al. Prenatal diagnosis of
congenital rubella infection in São Paulo. Revista da Associação Medica Brasileira. 2014; 60:
451-456.
18. Takao S, Shigemoto N, Shimazu Y, Tanizawa Y, Fukuda S, et al. Detection of exanthematic
viruses using a TaqMan real-time PCR assay panel in patients with clinically diagnosed or
suspected measles. Jpn J Infect Dis. 2012; 65: 444-448.
19. Macé M, Cointe D, Six C, Levy-Bruhl D, Parent du Châtelet I, et al. Diagnostic value of
reverse transcription-PCR of amniotic fl uid for prenatal diagnosis of congenital rubella
infection in pregnant women with confi rmed primary rubella infection. J Clin Microbiol.
2004; 42: 4818-4820.
20. Thompson KM, Badizadegan ND. Modeling the Transmission of Measles and Rubella to
Support Global Management Policy Analyses and Eradication Investment Cases. Risk
Analysis. 2017; 37: 1109-1131.

Anda mungkin juga menyukai