Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Campak dan Rubella

1. Definisi Campak dan Rubella

Penyakit campak adalah penyakit akut yang disebabkan oleh

virus campak yang sangat menular pada anak-anak, ditandai dengan

panas, batuk, pilek, konjungtivitas dan ditemukan spesifik enantem

(Koplik’s spot), diikuti dengan erupsi makulopapular yang

menyeluruh. Bahaya penyulit penyakit campak dikemudian hari

adalah kurang gizi sebagai akibat diare berulang dan berkepanjangan

pasca campak, SSPE (Sindrom Subakut Panensifilitis) pada anak >

10 tahun, munculnya gejala penyakit tuberkulosis paru yang lebih

parah pasca mengidap penyakit campak yang berat yang disertai

pneumonia. (Hadinegoro S.R.S, 2008)

Penyakit Rubella adalah infeksi yang menyerang tubuh,

terutama kulit dan kelenjar getah bening, yang disebabkan oleh virus

rubella, sehingga penyakit ini juga dikenal sebagai penyakit rubella.

Pada umumnya, virus ini menyebar dan menular melalui air yang

menetes dari hidung atau ludah dari mulut. Selain itu, penyakit

tersebut juga dapat menular melalui aliran darah wanita hamil yang

menulari anaknya yang belum lahir. Umumnya terjadi pada anak


usia 5 – 14 tahun. Gejalanya yaitu flu, batuk, pilek, dan demam

tinggi. (Mufida F, 2012)

2. Etiologi Campak dan Rubella

Penyakit campak disebabkan oleh virus campak yang

termasuk didalam family paramyxovirus. Virus campak sangat

sensitif terhadap panas, sangat mudah rusak pada suhu 37°C.

Toleransi terhadap tubuh pH baik sekali. Bersifat sensitif terhadap

eter, cahaya, dan trysine. Virus mempunyai jangka waktu hidup yang

pendek (short survival time) yaitu kurang dari 2 jam. Apabila

disimpan pada laboratorium, suhu penyimpanan yang baik adalah

pada suhu -70°C. (Hadinegoro S.R.S, 2008)

Rubela pada umumnya merupakan penyakit infeksi akut yang

ringan, yang disebabkan oleh virus rubella yang termasuk ke dalam

famili togavirus. (Mufida F, 2012)

3. Epidemiologi

Penyakit campak bersifat endemik di seluruh dunia, namun

terjadinya epidemi cenderung tidak beraturan. Pada umumnya

epidemi terjadi pada permulaan musim hujan, mungkin disebabkan

karena meningkatnya kelangsungan hidup virus pada keadaan

kelembaban yang relatif rendah. Epidemi terjadi 2-4 tahun sekali,

yaitu setelah adanya kelompok baru yang rentan terpajan dengan

virus campak. Penyakit campak jarang bersifat subklinis. Penyakit


campak ditularkan secara langsung dari droplet infeksi atau, agak

jarang dengan penularan lewat udara (airbone spread).

Strategi untuk eliminasi penyakit campak adalah melakukan

imunisasi masal pada anak umur 9 bulan sampai 12 tahun,

meningkatkan cakupan imunisasi rutin pada bayi umur 9 bulan,

melakukan surveilans secara intensif dan follow up imunisasi

massal. Di klinik, WHO juga telah mengembangkan standar program

penatalaksanaan kasus, tetapi masih ada beberapa kesukaran,

misalkan indikasi pemberian antibiotik, pemberian imunoglobulin

intravena dan risiko tuberkulosa sebagai komplikasi.

Penyakit rubella ditularkan melalui saluran pernapasan saat

batuk atau bersin. Virus dapat berkembang biak di nasofaring dan

kelenjar getah bening regional, dan viremia terjadi pada 4 – 7 hari

setelah virus masuk tubuh. Masa penularan diperkirakan terjadi pada

7 hari sebelum hingga 7 hari setelah rash. Masa inkubasi rubella

berkisar antara 14 – 21 hari. Gejala dan tanda rubella ditandai

dengan demam ringan (37,2°C) dan bercak merah/rash

makulopapuler disertai pembesaran kelenjar limfe di belakang

telinga, leher belakang dan sub occipital.

Konfirmasi laboratorium dilakukan untuk diagnosis pasti

rubella dengan melakukan pemeriksaan serologis atau virologis. IgM

rubella biasanya mulai muncul pada 4 hari setelah rash dan setelah 8

minggu akan menurun dan tidak terdeteksi lagi, dan IgG mulai
muncul dalam 14-18 hari setelah infeksi dan puncaknya pada 4

minggu kemudian dan umumnya menetap seumur hidup. Virus

rubella dapat diisolasi dari sampel darah, mukosa hidung, swab

tenggorok, urin atau cairan serebrospinal. Virus di faring dapat

diisolasi mulai 1 minggu sebelum hingga 2 minggu setelah rash.

Rubella pada anak sering hanya menimbulkan gejala demam ringan

atau bahkan tanpa gejala sehingga sering tidak terlaporkan.

Sedangkan rubella pada wanita dewasa sering menimbulkan arthritis

atau arthralgia. (Kemenkes RI, 2017)

4. Gejala Klinis

Demam timbul secara bertahap dan meningkat sampai hari

kelima atau keenam pada puncak timbulnya ruam. Kadang-kadang

kurva suhu menunjukan gambaran fisik, ruam awal pada 24 sampai

48 jam pertama diikuti dengan turunnya suhu tubuh sampai normal

selama periode satu hari dan kemudian diikuti dengan kenaikan suhu

tubuh yang cepat mencapai 40°C pada waktu ruam sudah timbul di

seluruh tubuh. Pada kasus yang tanpa komplikasi, suhu tubuh

mengalami lisis dan kemudian turun mencapai suhu tubuh yang

normal.

Gejala awal lainnya yang sering ditemukan adalah batuk, pilek

mata merah selanjutnya dicari gejala Koplik’s spot. Dua hari

sebelum ruam timbul, gejala koplik’s spot yang merupakan tanda

pathognomonis dari penyakit campak, dapat dideteksi. Timbulnya


Koplik’s spot hanya berlangsung sebentar, kurang lebih 12 jam,

sehingga sukar terdeteksi dan biasanya luput pada waktu dilakukan

pemeriksaan klinis.

Ruam timbul pertama kali pada hari ketiga sampai keempat

dari timbulnya demam. Ruam dimulai sebagai erupsi makulopapula

eritematosa, dan mulai timbul pada bagian samping atas leher,

daerah belakang telinga, perbatasan rambut di kepala dan meluas ke

dahi. Kemudian menyebar ke bawah ke seluruh muka dan leher

dalam waktu 24 jam. Seterusnya menyebar ke ekstremitas atas, dada,

daerah perut dan punggung, mencapai kaki pada hari ke-3. Bagian

yang pertama terkena mengandung lebih banyak lesi daripada yang

terkena kemudian. Setelah tiga atau empat hari, lesi tersebut berubah

menjadi berwarna kecoklatan. Hal ini kemungkinan sebagai akibat

dari perdarahan kapiler, dan tidak memucat dengan penekanan.

Dengan menghilangnya ruam, timbul perubahan warna dari ruam,

yaitu menjadi berwarna kehitaman atau lebih gelap. Kemudian

disusul dengan timbulnya deskuamasi berupa sisik berwarna

keputihan. (Hadinegoro S. R. S, 2008)

Anak yang terinfeksi campak jerman (rubella) menunjukan

beberapa gejala, seperti demam ringan selama 1-2 hari dan bengkak

getah bening di bagian belakang leher atau belakang telinga. Ruam

dimulai pada wajah dan menyebar ke bagian tubuh yang lain.


Ruam campak jerman (rubella) tidak berbeda dengan

kebanyakan ruam yang diakibatkan virus lainnya. Ruam ini terlihat

sebagai bintik-bintik merah muda atau bercahaya, yang dapat

menyebabkan rasa gatal dan berlangsung hingga 3 hari. (Mufida F,

2012)

2.1.2 Vaksin MR (Measles Rubella)

1. Definisi

Vaksin MR adalah vaksin hidup yang dilemahkan (live

attenuated) berupa serbuk kering dengan pelarut. Kemasan vaksin

adalah 10 dosis per vial.

Setiap dosis vaksin MR mengandung:

1000 CCID50 virus campak

1000 CCID50 virus rubella

Gambar 2.1.2 Manfaat Vaksin MR (Measles Rubella)

Sumber : Kemenkes RI (2017)

Vaksin MR diberikan secara subkutan dengan dosis 0,5 ml.

Vaksin hanya boleh dilarutkan dengan pelarut yang disediakan dari


produsen yang sama. Vaksin yang telah dilarutkan harus segera

digunakan paling lambat sampai 6 jam setelah dilarutkan.

(Kemenkes RI, 2017)

Pemberian imunisasi MR pada usia 9 bulan sampai dengan

<15 tahun dengan cakupan tinggi (minimal 95%) dan merata

diharapkan akan membentuk imunitas kelompok (herd immunity),

sehingga dapat mengurangi transmisi virus ke usia yang lebih

dewasa dan melindungi kelompok tersebut ketika memasuki usia

reproduksi. (Kemenkes RI, 2017). Oleh karena itu, vaksinasi MR

bagi balita sangat penting untuk dilakukan.

2. Indikasi dan Kontraindikasi

Pemberian imunisasi campak dan rubella dapat melindungi

anak dari kecacatan dan kematian akibat pneumonia, diare,

kerusakan otak, ketulian, kebutaan dan penyakit jantung bawaan.

Kontraindikasi vaksin MR yaitu Individu yang sedang dalam terapi

kortikosteroid, imunosupresan dan radioterapi, wanita hamil,

leukemia, anemia berat dan kelainan darah lainnya, kelainan fungsi

ginjal berat, decompensatio cordis, setelah pemberian gamma

globulin atau transfusi darah, riwayat alergi terhadap komponen

vaksin (neomicyn). Pemberian imunisasi vaksin MR ditunda jika

balita dan anak sedang mengalami demam, batuk dan pilek, serta

diare. (Kemenkes RI, 2017)


3. Efek Samping

Efek Samping Obat (ESO) adalah respon terhadap suatu obat

yang merugikan dan tidak diinginkan dan yang terjadi pada dosis

yang biasanya digunakan pada manusia untuk pencegahan,

diagnosis, atau terapi penyakit atau untuk modifikasi fungsi

fisiologik (BPOM RI, 2012). Efek samping merupakan Kejadian

Ikutan Pasca Imunisasi yang berhubungan dengan imunisasi. Efek

samping yang mungkin terjadi adalah efek lokal seperti, nyeri,

bengkak dan kemerahan di lokasi suntikan dan efek sistemik berupa

ruam atau rash, demam, dan malaise dan efek samping tersebut akan

sembuh dengan sendirinya (Kemenkes RI, 2017). Kejadian Ikutan

Pasca Imunisasi (KIPI) merupakan suatu kejadian medis yang

berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek vaksin atau efek

pemberian imunisasi. Reaksi KIPI dapat bersifat ringan bahkan

sampai mengancam jiwa. (Norlita W dan Siwi T.K.N, 2016)

Peluang terjadinya efek samping vaksin pada bayi dan anak-

anak adalah karena mereka dijadikan target imunisasi massal oleh

pemerintah, pabrik vaksin, maupun dokter. Padahal, imunisasi

massal yang memiliki sikap “satu ukuran untuk semua orang” ini

sangat berbahaya. Karena, “Setiap anak adalah pribadi tersendiri,

dengan bangun genetika, lingkungan sosial, riwayat kesehatan,

keluarga dan pribadi yang unik, yang bisa berefek terhadap cara

mereka bereaksi terhadap suatu vaksin”. (Sunarti, 2012)


KIPI setelah pemberian vaksin campak dan rubella dapat

mencapai masa 42 hari. Ada beberapa macam reaksi pasca

imunisasi, diantaranya:

a. Reaksi suntikan, biasanya timbul rasa nyeri, bengkak dan

kemerahan pada tempat suntikan. Reaksi suntikan tidak langsung

misalnya rasa takut, trauma, pusing, mual, hingga pingsan.

b. Reaksi vaksin, misalnya berupa demam, keracunan,masalah

persyarafan, kesulitan memusatkan perhatian, autisme, hingga

kematian. (Sunarti, 2012)

Berikut ini macam-macam efek samping yang terjadi setelah

pemberian vaksin MR:

a. Nyeri pada daerah penyuntikan

Nyeri merupakan salah satu kejadian ikutan pasca imunisasi

yang disebabkan karena reaksi suntikan. Jenis nyeri dapat dilihat

atau diamati dari wajah dan tangisan berdasarkan tingkat skala

nyeri. Nyeri setelah pemberian imunisasi terjadi didaerah bekas

suntikan. Nyeri (pain) adalah pengalaman sensoris dan emosi

yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan

aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan

semacam itu. (Mander, 2003). Intensitas nyeri mengacu pada

kehebatan nyeri itu sendiri, individu yang merasakan nyeri

merupakan penilai tebaik dari nyeri yang dialaminya dan harus


dapat menggambarkan dan membuat tingkat nyeri tersebut.

(Brunner dan Suddarth, 2012)

b. Demam

Demam adalah peningkatan suhu tubuh dari normalnya.

Dalam keadaan normal, suhu tubuh berkisar antara 36,5°C - 37°C.

Demam merupakan gejala adanya suatu infeksi, gangguan

metabolisme atau suatu kerusakan jaringan yang luas. (Anandita

F.P, 2010).

Secara garis besar, ada 2 kategori demam yang sering

diderita oleh anak balita, yaitu:

1) Demam Non infeksi

Adalah demam yang bukan disebabkan oleh masuknya

bibit penyakit kedalam tubuh. Demam ini timbul karena

adanya kelainan pada tubuh yang dibawah sejak lahir, dan

tidak ditangani dengan baik. Contohnya demam yang

disebabkan adanya kelainan degeneratif atau kelainan bawaan

pada jantung, demam karena stress, atau karena adanya

penyakit-penyakit berat seperti leukimia atau kanker.

2) Demam Infeksi

Adalah demam yang disebabkan oleh masuknya patogen,

misalnya kuman, bakteri, viral atau virus, atau binatang kecil

lainnya dalam tubuh. Imunisasi termasuk dalam kategori ini

sebab imunisasi merupakan tindakan yang secara sengaja


memasukan kuman, bakteri, atau virus yang sudah dilemahkan

ke dalam tubuh balita dengan tujuan membuat anak balita

menjadi kebal terhadap penyakit tertentu. (Widjaja M.C,

2004).

2.1.3 Balita

1. Pengertian Balita

Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai Balita adalah

anak yang berusia 0 - 59 bulan. Masa balita merupakan periode

penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Perkembangan dan

pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan

dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh

kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan

tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau

masa keemasan. (Wikipedia, 2017)

2. Perkembangan Balita

Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan struktur dan

fungsi tubuh menjadi lebih kompleks yang sifatnya kualitatif.

Mengukur perkembangan lebih sulit dibandingkan pertumbuhan yang

dapat dinilai secara kuantitatif. Sifat perkembangan adalah bertahap

dan berurutan. Dan perkembangan pada tahap sebelumnya merupakan

dasar bagi tahapan perkembangan selanjutnya. (Trendilmu, 2015)

Adapun pengelompokan usia balita berdasarkan perkembangannya,

yaitu:
Tabel 2.1.3.2 Perkembangan Balita

KELOMPOK USIA PERKEMBANGAN


Tersenyum, menggerakan tangan dan kaki,
tertawa, mengangkat kepala tegak ketika
tengkurap, membalas senyum, mengoceh
0-6 Bulan spontan, menggerakan kepala kekiri dan
kekanan, menatap ke ibu, menirukan bunyi,
menggenggam mainan, berbalik dari telungkup
ke terlentang, meraih benda yang ada
didekatnya.

Merambat, mengucapkan ma ... ma, da ... da,


meraih benda sebesar kacang, mencari
benda/mainan yang dijatuhkan, bermain tepuk
tangan atau ciluk-ba, makan kue/biskuit
9 bulan – 1 tahun sendiri, berdiri dan berjalan berpegangan,
memegang benda kecil, meniru kata sederhana
seperti ma.. ma.., pa.. pa.., mengenal anggota
keluarga, takut pada orang yang belum dikenal,
menunjuk apa yang diinginkan tanpa
menangis/merengek.

Naik tangga dan berlari-lari, mencoret-coret


pensil pada kertas, dapat menunjuk 1 atau lebih
bagian tubuhnya, menyebut 3-6 kata yang
1 – 2 tahun
mempunyai arti seperti bola, piring dan
sebagainya, memegang cangkir sendiri, belajar
makan-minum sendiri.

Mengayuh sepeda roda tiga, berdiri di atas satu


kaki tanpa berpegangan, bicara dengan baik
menggunakan 2 kata, mengenal 2-4 warna,
2 – 3 tahun menyebut nama, umur dan tempat,
menggambar garis lurus, bermain dengan
teman, melepas pakaiannya sendiri,
mengenakan baju sendiri.

Melompat-lompat dengan 1 kaki, menari dan


3 – 5 tahun berjalan lurus, menggambar orang 3 bagian
(kepala, badan, tangan/kaki), menggambar
tanda silang dan lingkaran, menangkap bola
kecil dengan kedua tangan, menjawab
pertanyaan dengan kata-kata yang benar,
menyebut angka, menghitung jari, bicaranya
mudah dimengerti, berpakaian sendiri tanpa
dibantu, mengancing baju atau pakaian boneka,
menggosok gigi tanpa bantuan.

(Kemenkes RI, 2016)

Organ tubuh, jaringan tubuh, hormon, dan zat antibodi pada balita

masih tumbuh dan berkembang, karena itu mekanisme pertahanan

tubuhnya belum optimal seperti orang dewasa. Hal inilah yang sering kali

menyebabkan balita lebih mudah terserang penyakit. (Widjaya, M.C,

2004). Oleh sebab itu, apabila balita diberi imunisasi, ada kemungkinan

timbul Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) berupa efek samping baik

reaksi vaksin ataupun reaksi pemberian imunisasi.

2.1.4 Posyandu

1. Pengertian Posyandu

Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) merupakan salah satu

bentuk Upaya Kesehatan Bersumber daya Masyarakat (UKBM) yang

dilaksanakan oleh, dari dan bersama masyarakat, untuk

memberdayakan dan memberikan kemudahan kepada masyarakat

guna memperoleh pelayanan kesehatan bagi ibu, bayi dan anak balita.

Semua anggota masyarakat yang membutuhkan pelayanan

kesehatan dasar yang ada di Posyandu terutama pada bayi, anak balita,

ibu hamil, ibu nifas, ibu menyusui, pasangan usia subur, pengasuh

anak.
2. Kegiatan Posyandu

Kegiatan Posyandu meliputi 2 kelompok kegiatan , diantaranya:

a. Kegiatan utama Posyandu mencakup kesehatan ibu dan anak,

keluarga berencana, imunisasi, gizi, pencegahan dan

penanggulangan diare.

b. Kegiatan pengembangan/pilihan, masyarakat dapat menambah

kegiatan baru disamping lima kegiatan utama yang telah

ditetapkan, dinamakan Posyandu Terintegrasi. Kegiatan baru

tersebut misalnya Bina Keluarga Balita (BKB), Tanaman Obat

Keluarga (TOGA), Bina Keluarga Lansia (BKL), Pos Pendidikan

Anak Usia Dini (PAUD), berbagai program pembangunan

masyarakat desa lainnya. (Kemenkes RI, 2012)

2.2 Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka yang dibangun dari berbagai teori yang

ada dan saling berhubungan sebagai dasar untuk membangun kerangka konsep.

Kerangka teori perlu diungkapkan dan merupakan kerangka acuan

komprehensif mengenai konsep, prinsip, atau teori yang digunakan sebagai

landasan dalam memecahkan masalah yang dihadapi. (Supardi, S dan

Surahman, 2014. Adapun kerangka teori dalam penelitian ini, seperti:


Campak & Usia Balita Posyandu

Efek Samping
- Demam Vaksin MR
- Nyeri pada daerah suntikan
Gambar 2.2 Kerangka Teori
Sumber: Hadinegoro, S.R.S, (2008), Mufida, F (2012), Kemenkes RI (2012

dan 2017), Sunarti (2012), Mander (2003), BPOM RI (2012), Brunner

dan Suddarth (2012), Anandita F.P (2010), Widjaja, M.C (2004),

Norlita, W dan Siwi, T.K.N (2016), Trendilmu (2015), Wikipedia

(2017).

2.3 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah uraian tentang hubungan antar variabel-

variabel yang terkait dengan masalah penelitian dan dibangun berdasarkan

keranfka teori/kerangka pikir atau hasil studi sebelumnya sebagai pedoman

penelitian. Kerangka konsep merupakan bagian kerangka teori yang akan

diteliti, untuk mendeskripsikan secara jelas variabel yang dipengaruhi dan

variabel yang mempengaruhi. (Supardi, S dan Surahman, 2014)

Kerangka konsep didalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Posyandu Balita Efek Samping:


- Nyeri pada daerah suntikan
- Demam
- Ruam
- Mual
Vaksin MR - Pingsan
- Anafilaksis
- Kematian

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian


Sumber: data primer yang diolah

Keterangan :

: Diteliti

----------- : Tidak diteliti

Anda mungkin juga menyukai